Lingkungan Hidup TINJAUAN PUSTAKA

57 1. Pencemaran Lingkungan Hidup Pencemaran lingkungan hidup dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 adalah: “masuk atau dimasukkannya mahkluk hidup, zat, energy danatau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga melampaui baku mutu lingkungan hidup yang telah ditetapkan”. Terdapat perbedaan mendasar tentang definisi pencemaran lingkungan hidup dalam Undang-Undang Nomor Tahun 1997 dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009. Perbedaan tersebut adalah: a. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 inti dari definisi pencemaran lingkungan hidup adalah masuk atau dimasukannya mahluk hidup, dll sehingga kualitasnya turun sampai tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan hidup tidak dapat berfungsi sesuai peruntukannya; b. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 inti dari definisi pencemaran lingkungan hidup adalah masuk atau dimasukannya mahluk hidup, dll sehingga sehingga melampaui baku mutu lingkungan hidup yang telah ditetapkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 mengatur bahwa pengertian “…………sehingga kualitas lingkungan turun sampai pada tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan hidup tidak dapat berfungsi sesuai peruntukannya..” Konsekuensi yang muncul akibat pengertian tidak dapat berfungsi sesuai peruntukannya menimbulkan multitafsir antara aparat penegak hukum sehingga hakim menjadi sangat bebas dalam memaknai tentang pencemaran lingkungan hidup dan berakibat pada banyaknya kasus yang diputus bebas Vrijspraak atau 58 lepas dari segala tuntutan hukum Oonslaag. Untuk mengatasi diskresi hakim yang begitu besar dalam memaknai pencemaran lingkungan hidup maka Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2009 mendefinisikan pencemaran lingkungan hidup sebagai “…………masuk atau dimasukannya mahluk hidup dll sehingga melampaui baku mutu lingkungan hidup yang telah ditetapkan. Dalam Undang- Undang Nomor 32 tahun 2009 definisi tentang pencemaran lingkungan hidup dibatasi pada melampaui baku mutu lingkungan hidup yang telah ditetapkan oleh pemerintah melalui Peraturan Pemerintah maupun Peraturan Menteri LH, sehingga hakim terikat pada criteria yang tetapkan dalam baku mutu lingkungan hidup dan tidak dapat menafsirkan lain dalam memutuskan suatu perkara. 2. Perusakan Lingkungan Hidup Perbedaan definisi tentang perusakan lingkungan hidup menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 dengan perusakan lingkungan hidup menurut Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2009 adalah sebagai berikut: Perusakan lingkungan hidup dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 adalah tindakan yang menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik danatau hayatinya yang mengakibatkan lingkungan hidup tidak berfungsi lagi dalam menunjang pembangunan berkelanjutan. Perusakan lingkungan hidup dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 adalah tindakan orang yang menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik, kimia, danatau hayati lingkungan hidup sehingga melampaui kriteria baku kerusakan lingkungan hidup. 59 Pemaknaan perusakan lingkungan hidup dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 “……. Yang mengakibatkan lingkungan hidup tidak berfungsi lagi dalam menunjang pembangunan berkelanjutan merupakan suatu definisi yang abstrak serta tidak mempunyai batasan yang jelas. Ini turut memberikan andil untuk hakim bebas menafsirkan perusakan lingkungan hidup yang pada akhirnya berimplikasi pada putusan yang tidak berpihak pada lingkungan hidup. Untuk mengatasi persoalan tersebut maka Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 mendefinisikan perusakan lingkungan hidup sebagai “…………tindakan yang menyebabkan perubahan….sehingga melampaui kriteria baku kerusakan lingkungan hidup”. Definisi yang rigid dan memberikan batasan yang jelas tentang apa yang dimaksud dengan perusakan lingkungan hidup membuat hakim tidak bisa menafsirkan hukum dengan leluasa dan harus terikat pada definisi sebagaimana yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009. Kelebihan hukum pidana dengan instrumen hukum lain : administrasi, perdata adalah terletak pada sifat penjeraan. Dimana orang orang perseorangan danatau badan usaha berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum akan ditimpakan pidana atau nestapa atas perbuatannya yang memenuhi unsur pidana dan mempunyai unsur kesalahan. Berbeda dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup yang tidak memuat ancaman minimum terhadap pelaku tindak pidana lingkungan, dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup telah memperkenalkan ancaman hukuman minimum di samping maksimum sebagaimana table berikut: 60 Tabel1: Perbedaan antara Jenis Sanksi Undang-Undang 23 Tahun 1997 dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Jenis Sanksi UU 231997 UU 322009 PIDANA Minimum Tidak ada 1 tahun Maksimum 15 Tahun 15 tahun DENDA Minimum Tidak ada 500 juta rupiah Maksimum 750 juta rupiah 15 miliar rupiah Berdasarkan table di atas dapat diketahui bahwa tujuan dari pembatasan hukuman minimum adalah hakim “dipaksa” untuk memvonis suatu perkara tindak pidana lingkungan hidup dengan mengacu pada batasan minimum sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009. Sehingga diharapkan dari putusan tersebut melahirkan efek jera bagi pelaku tindak pidana lingkungan hidup. Selain jenis hukuman minimum yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009, hal lain yang baru adalah perluasan alat bukti sebagai mana dimuat dalam Pasal 96 : Alat bukti yang sah dalam tuntutan tindak pidana lingkungan hidup terdiri atas: a. keterangan saksi; b. keterangan ahli; c. surat; d. petunjuk; e. keterangan terdakwa; danatau f. alat bukti lain, termasuk alat bukti yang diatur dalam peraturan perundang- undangan. Alat bukti dalam huruf f merupakan alat bukti baru yang sebelumnya tidak diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997. Perluasan alat bukti ini dipandang perlu sebab motif, alat untuk melakukan kejahatan lingkungan tidak terbatas pada hal-hal yang konvensional namun juga seiring perkembangan zaman telah maju. 61 Pengaturan tentang tindak pidana korporasi merupakan bukti progresifitas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009. Korporasi sebagai subjek hukum rechtpersoon selain daripada manusia persoonlijk merupakan pelaku yang dominan dalam kejahatan lingkungan. Jarang kita melihat, mendengar bahwa perusakan danatau pencemaran dilakukan oleh orang perorang sebab motif orang melakukan kejahatan lingkungan adalah ekonomi. Atas dasar itu Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 mengatur pidana korporasi dalam Pasal 116 : 1 Apabila tindak pidana lingkungan hidup dilakukan oleh, untuk, atau atas nama badan usaha, tuntutan pidana dan sanksi pidana dijatuhkan kepada: a. badan usaha; danatau b. orang yang member perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut atau orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan dalam tindak pidana tersebut. 2 Apabila tindak pidana lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dilakukan oleh orang, yang berdasarkan hubungan kerja atau berdasarkan hubungan lain yang bertindak dalam lingkup kerja badan usaha, sanksi pidana dijatuhkan terhadap pemberi perintah atau pemimpin dalam tindak pidana tersebut tanpa memperhatikan tindak pidana tersebut dilakukan secara sendiri atau bersama-sama.

III. METODE PENELITIAN A.

Pendekatan Masalah Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui dua pendekatan, yaitu: 1. Pendekatan Yuridis Normatif Pendekatan yuridis normati adalah pendekatan yang dilakukan dalam bentuk untuk mencari kebenaran dengan melihat asas-asas dalam ketentuan baik masalah perundangan, teori-teori, konsep-konsep serta peraturan yang berkaitan dengan permasalahan. Pendekatan ini dimaksudkan untuk memperoleh gambaran dan pemahaman yang jelas dan benar terhadap permasalahan yang akan dibahas. 2. Pendekatan Yuridis Empiris Pendekatan yuridis empiris adalah pendekatan yang dilakukan dengan cara mengadakan penelitian lapangan dengan melihat kenyataan yang ada misalnya dalam prilaku hukum, kepatuhan hukum dan lainnya yang terdapat di lingkungan masyarakat serta penegak hukum.