Analisis Kewenangan Penyidik Pegawai Negeri Sipil Perkebunan Dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil Lingkungan Hidup Dalam Melakukan Penyidikan Tindak Pidana Lingkungan Hidup Di Lahan Perkebunan

(1)

ANALISIS KEWENANGAN PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL

PERKEBUNAN DAN PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL LINGKUNGAN

HIDUP DALAM MELAKUKAN PENYIDIKAN

TINDAK PIDANA LINGKUNGAN HIDUP

DI LAHAN PERKEBUNAN

TESIS

Oleh

ALBOIN

067005002/HK

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N

2 0 0 8


(2)

ANALISIS KEWENANGAN PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL

PERKEBUNAN DAN PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL LINGKUNGAN

HIDUP DALAM MELAKUKAN PENYIDIKAN

TINDAK PIDANA LINGKUNGAN HIDUP

DI LAHAN PERKEBUNAN

TESIS

Untuk Memproleh Gelar Magister Humaniora Dalam Program Studi Ilmu Hukum

Pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh

ALBOIN

067005002/HK

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N

2 0 0 8


(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat dan rahmat-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas penelitian tesis dengan judul ”Analisis Kewenangan Penyidik Pegawai Negeri Sipil Perkebunan dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil Lingkungan Hidup Dalam Melakukan Penyidikan Tindak Pidana Lingkungan Hidup Di Lahan Perkebunan”.

Penulisan tesis untuk memenuhi salah satu persyaratan yang harus dipenuhi untuk memperoleh gelar Magister Humaniora dalam bidang Ilmu Hukum pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, MS, Bapak Syafruddin S. Hasibuan, SH, MH, DFM, Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution, SH,MH selaku dosen pembimbing yang telah demikian sabar dalam membimbing dan memberikan saran kepada penulis. 2. Bapak Prof. Dr. Muhamad Yamin, SH, MH, Ibu Dr. Sunarmi, SH, M. Hum,

Selaku dosen penguji yang telah Begitu banyak memberikan kritik, saran dan masukan pada penulis demi kesempurnaan tesis ini.


(4)

4. Bapak Direktur Sekolah Pascasarjana, Ibu Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B. M.Sc, Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH., Ketua Program Studi Ilmu Hukum dan Ibu Dr. Sunarmi, SH., M.Hum., Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

5. Para Dosen dan Staf Sekolah Pascasarjana Program Studi Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara.

6. Bapak Dekan Fakultas Hukum USU, Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH., M.Hum.

7. Sahabat-sahabat tercinta dan rekan-rekan seperjuangan Kelas Khusus Hukum Ekonomi Sekolah Pascasarjana Program Studi Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara. Tahun 2006 yang telah memberikan motivasi dan dorongan bagi penulis. 8. Ibu saya tercinta, Ostina br. Ambarita yang telah tulus memberi cinta dan

perhatiannya bagi kami anak-anaknya dan terlebih terhadap cucu-cucunya.

Teramat khusus terhadap anak-anakku Indra dan Andre yang telah setia dan sabar serta penuh perhatian dan kasih sayang menolong saya sebagai orang tuanya dalam pekerjaan sehari-hari.

Akhirnya penulis menyadari bahwa tesis ini masih belum sempurna, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran membangun demi kesempurnaan tesis ini.

Semoga tesis ini bermanfaat bagi penulis dan kita semua.

Medan, April 2008 Penulis,


(5)

ABSTRAK

Berdasarkan pasal 48 ayat (1), pasal 50 ayat (1) Undang-undang Undang-undang Nomor 18 tahun 2004 tentang Perkebunan disebutkan adanya tindak pidana lingkungan hidup yang terjadi dilahan perkebunan yang berhubungan dengan tindak pidana membuka dan/atau mengolah lahan perkebunan dengan cara pembakaran yang berakibat pada terjadinya pencemaran dan perusakan fungsi lingkungan hidup; dan tindak pidana mengedarkan, memperdagangkan hasil usaha perkebunan yang melanggar larangan berupa; Pemalsuan mutu dan/atau kemasan hasil perkebunan; Menggunakan bahan penolong untuk usaha industri pengolahan hasil perkebunan; Mencampur hasil perkebunan dengan benda atau bahan lain yang dapat merusak fungsi lingkungan hidup;

sebenarnya mempunyai sifat dan karakteristik yang sama dengan pasal 41 ayat (1),

pasal 43 ayat (1) Undang-undang Nomor 23 Tahun 1977 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, yaitu; Tindak pidana karena melakukan perbuatan melawan hukum yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup; dan tindak

pidana melanggar ketentuan perundang-undangan yang berlaku, impor, ekspor,

memperdagangkan, padahal mengetahui atau sangat beralasan untuk menduga bahwa perbuatan tersebut dapat menimbulkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.

Salah satu solusi yang dikemukan dalam tulisan ini adalah; untuk menemukan dasar hukum apa yang akan diajukan sebagai dasar penuntutan atas tindak pidana yang berakibat pada rusak dan tercemarnya fungsi lingkungan hidup. Setelah diketahui dasar hukum pengajuan tuntutannya maka, diketahuilah PPNS mana yang berwenang melakukan penyidikan atas perkara tindak dimaksud. Salah satu solusinya adalah menggunakan Undang-undang Nomor 23 Tahun 1977 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, sehingga PPNS yang berwenang untuk menyidiknya pun haruslah PPNS Lingkungan Hidup.

Penelitian ini didasarkan atas penelitian yuridis normatif ditambah dengan penelitian kepustakaan, dengan didukung oleh data primer, data sekunder dan data tertier.

Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa kesamaan sifat dan karekteristik tindak pidana yang disebut diatas lebih mengarah ke persoalan lingkungan hidup, sehingga perlunya ketegasan penggunaan dasar tuntutan pada tindak pidana tersebut. Ketegasan ini adalah untuk mewujud suatu kepastian hukum dan kepastian kewenangan penyidik. Sebab konsekwensinya apabila sesorang PPNS ternyata tidak berwenang melakukan penyidikan terhadap tindak pidana lingkungan hidup dimaksud maka, seluruh rangkaian kegiatan penyidikan dan seluruh Berita Acara Pemeriksaan yang dikeluarkan menjadi tidak sah.

Penulisan tesis ini juga menyarankan agar; jika terjadi saling klaim antara PPNS Perkebunan dan PPNS Lingkungan Hidup atas kewenangan penyidikan maka, pihak Polri dapat mengambil peran untuk memutuskan PPNS mana yang bertindak sebagai penyidik, dan jika salah satu PPNS dimaksud tidak puas pada hasil keputusan Penyidik


(6)

Polri maka dapat ditempuh jalur Mahkamah Konstitusi dengan dasar gugatan atas sengketa wewenang antar lembaga pemerintah.

Kata kunci : Kewenangan Penyidikan; PPNS; Tindak Pidana Lingkungan Hidup


(7)

ABSTRACT

Based on chapter 48 verse (1), chapter 50 verse (1) of the Law 18/2004 regarding the estate, it has been said that there is criminal matter of live environment in estate farm related to criminal of opening and/or cultivating estate farm by burning leading to pollution and environmental degradation; and criminal matter of distributing, trading the estate product that break the prohibition such as: quality manipulation and/or package of estate product, using auxiliary materials to produce the estate product, mixing the estate product with another materials to destroy the function of life environment; actually they have the same attitudes and characteristic as that of chapter 41 verse (1), chapter 43 verse (1) of the Law No. 23/1997 regarding the Cultivation of Life Environment, i.e., criminal matter of breaking the law leading to pollution and/or environmental degradation; and criminal matter of breaking the applicable statues, import, export, trade, tough they have god knowledge and reasons to assume that what they are commit ting will led to pollution and/or environmental degradation.

One of solution offered in this paper is : to find out the foundation of law to be proposed as prosecution reason for criminal matter leading to pollution and degradation the gradation of life environment. Once the reason of law prosecution known, it should be then known which PPNS to have the authority in making the investigation for those criminal matter. The solution is to apply the Law No. 23/1997 regarding Management of Life Environment, thus the authorizing PPNS for investigation should be PPNS of Live Environment.

This research is based on normative juridical research supported by library research, primary data, secondary and tertiary data.

The result of research indicates that the similarity of attitudes and characteristics of criminal mater mentioned above than more toward the problem of life environment, thus there should be the certainity in prosecution basis application for the criminal matters. This certainity will be to realize the law enforcement and authority of the investigators. Because as consequence, if PPNS in fact those not have the authority to make the investigation for criminal matter of life environment, all set of investigation activities and all investigation Official news issued, will become invalid.

It is also suggested; in presence of claim between PPNS of estate and PPNS of life Environment for authority of investigation, police can take the role to decide which PPNS is to act as investigator, and if one of the PPNS is not satisfied whit the decision, then Police investigator can be reached through constitution of Court in basis of claim for authority conflict between government institutions.

Keyword : Authority of investigation; PPNS; Criminal matter of Life Environment


(8)

RIWAYAT HIDUP

N a ma : Alboin

Tempat / Tgl. Lahir : Kisaran, 15 Juni 1964 Jenis Kelamin : Laki-laki

Agama : Kristen

Instansi : Dinas Kehutanan Kabupaten Tapanuli Utara. Pendidikan :

- Sekolah Dasar Methodist Lubuk Pakam (lulus tahun 1977) - Sekolah Menengah Pertama Nasional Medan (lulus tahun 1981) - Sekolah Menengah Atas Negeri Lubuk Pakam (lulus tahun 1984) - Sarjana Hukum STIH Tambun Bungai Palangka Raya (lulus tahun 1991)

- Program Studi Magister Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara (lulus tahun 2008)


(9)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... iii

KATA PENGANTAR ... v

RIWAYAT HIDUP... vii

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR SINGKATAN ... xi

BAB I : PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang... 1

B. Rumusan Masalah... 9

C. Tujuan Penelitian ... 10

D. Kegunaan Penelitian ... 10

E. Keaslian Penelitian ... 11

F. Metode Penelitian ... 12

1. Tipe Penelitian ... 12

2. Sumber Data ... 14

3. Metode Pengumpulan Data... 15


(10)

G. Landasan Teori ... 17

BAB II : TINDAK PIDANA YANG BERKAITAN DENGAN

LINGKUNGAN HIDUP PADA LAHAN PERKEBUNAN 32

A. Tindak Pidana Pada Lahan Perkebunan ... 32 B. Tindak Pidana yang Berkaitan dengan Lingkungan Hidup

Pada Lahan Perkebunan... 57

BAB III : PPNS YANG BERWENANG SEBAGAI PENYIDIK

TINDAK PIDANA LINGKUNGAN HIDUP PADA LAHAN

PERKEBUNAN ... 71 A. Analisis Wewenang PPNS Perkebunan dan Wewenang

PPNS Lingkungan Hidup ... 71 B. Adanya Kesamaan Sifat dan Karakteristik Tindak Pidana

Lingkungan Hidup ... 80 C. PPNS yang Berwenang Sebagai Penyidik Tindak Pidana

Lingkungan Hidup di lahan Perkebunan .... 95

BAB IV : PERAN PENYIDIK POLRI DALAM MENETAPKAN PPNS SEBAGAI PENYIDIK TINDAK PIDANA

LINGKUNGAN HIDUP PADA LAHAN PERKEBUNAN 102

A. Peran Penyidik Polri Dalam Menetapkan PPNS Sebagai Penyidik Tindak Pidana Lingkungan Hidup Pada Lahan


(11)

B. Pertimbangan PPNS Sebagai Penyidik Tindak Pidana

Lingkungan Hidup Pada Lahan Perkebunan... 108

BAB V : PENUTUP ... 114

A. Kesimpulan ... 114

B. Saran ... 115


(12)

DAFTAR SINGKATAN

BUMN : Badan Usaha Milik Negara.

PTPN : Perseroan Terbatas Perkebunan Negara HPH : Hak Pengusahaan Hutan

HTI : Hutan Tanaman Industri PPNS : Penyidik Pegawai Negeri Sipil POLRI : Kepolisian Republik Indonesia

KORWAS : Koordinatordan Pengawas

UUPLH : Undang-undang Nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup

UU PERKEBUNAN : Undang-undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan

BAP : Berita Acara Pemeriksaan

KUHP : Kitab Undang-undang Hukum Pidana KUHAP : Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana PTK : Pemeriksaan Tempat Kejadian

UU : Undang-undang


(13)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Salah satu primadona ekspor yang sedang dikembangkan Indonesia di luar migas adalah hasil perkebunan, baik itu perkebunan yang dikelola pekebun, perkebunan swasta maupun yang dikelola oleh Negara lewat Badan Usaha Milik Negara atau BUMN.Hasil ekspor dimaksud adalah dalam rangka peningkatan devisa negara. Dalam peningkatan devisa negara ini, pemerintah juga sedang melakukan revitalisasi dan perluasan perkebunan, baik yang dilakukan BUMN, Perkebunan Swasta dan pekebun yang bersifat perorangan.

Di dalam melakukan revitalisasi dan perluasan perkebunan ini tentu akan melakukan pengolahan lahan dan perluasan lahan

perkebunan. Revitalisasi ini sangat terkait akan penggunaan teknologi pengolahan lahan dan teknologi pengolahan hama tanaman, teknologi pembukaan lahan tanpa bakar, serta teknologi antisipasi kekeringan. Sedangkan perluasan lahan perkebunan juga sangat terkait pada pembukaan lahan baru di luar perkebunan. Luas areal perkebunan Indonesia sampai tahun 2004 adalah sekitar 17,6 juta ha dengan rincian


(14)

sekitar 75% nya dikelola langsung oleh rakyat (pekebun)1 dan akan bertambah lagi setelah lewat tahun tersebut. Revitalisasi dan penambahan luasan penanaman tanaman perkebunan ini dilakukan tidak saja yang dikelola sebuah Badan Hukum, baik Badan Hukum Swasta maupun Badan Hukum Negara yang dikelola oleh sebuah BUMN seperti PTPN, akan tetapi pekebun yang dikelola secara perorangan oleh masyarakat turut juga direvitalisasi dan ditambah luasannya serta ditingkatkan mutunya. Pembangunan perkebunan baik yang dilakukan dengan cara merevitalisasi dan menambah luasan lahan akan sangat terkait dengan masalah lingkungan hidup, karena akan terjadi perubahan ekologi dan perubahan ekosistem Lingkungan Hidup baik secara wajar dan dapat ditoleransi maupun perubahan Lingkungan Hidup yang memerlukan penanganan dan pengelolaan secara baik. Perubahan ekologi2 dan perubahan ekosistem3 ini disebabkan oleh adanya mata rantai salah satu benda yang terputus, sebab segala sesuatu benda, manusia dan binatang di dunia ini mempunyai hubungan yang erat dan saling mempengaruhi jika terjadi suatu peristiwa yang menimpa alam, menimpa manusia, itu dapat

dikatakan sebagai Resultante berbagai pengaruh di sekitarnya,

1

Departemen Pertanian, Rencana Strategis Direktorat Perlindungan Perkebunan, Tahun

2005-2009, (Jakarta: Direktorat Jenderal Perkebunan, 2005) hlm. 1.

2

Koesnadi Hardjasoemantri, Hukum Tata Lingkungan, Cet. Ke 18, (Yogyakarta, Perc. Gadjah Mada University Press, 2005), Hlm 1, menyebutkan : Ecology yakni ilmu yang mempelajari hubungan antara satu organisme dengan yang lainnya, dan antara organisme tersebut dengan lingkungannya.

3

Undang-undang No. 23 Tahun 1977 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Pasal 1 ayat (4) mengatakan : Ekosistem adalah tatanan unsur lingkungan hidup yang merupakan kesatuan utuh menyeluruh dan saling mempengaruhi dalam membentuk keseimbangan, stabilitas, dan produktivitas lingkungan hidup.


(15)

tapi manusia berfungsi sebagai “subjek” dari ekologi dan ekosistem itu. Kerusakan lingkungan ini merupakan pengaruh sampingan dari tindakan manusia untuk mencapai tujuan yang mempunyai konsekuensi terhadap lingkungan.

Pembukaan lahan perkebunan baik yang dilakukan oleh Badan Hukum Swasta, Badan Hukum Negara yaitu BUMN dan pekebun perorangan akan sangat mempengaruhi ekologi dan ekosistem dan tentu mempengaruhi pula pada kondisi lingkungan hidup itu sendiri. Oleh karenanya perlu dilakukan perlindungan terhadap alam agar ekologi dan ekosistemnya dapat terjaga, sehingga tidak menciptakan bencana bagi manusia.

Perlindungan terhadap alam ini, perlu dilakukan dengan menciptakan kesadaran manusia yang tinggi supaya tanggung jawab terhadap lingkungan itu makin tinggi. Disamping penciptaan atas kesadaran lingkungan ini juga dibuat hukum yang baik dan pasti serta hukum yang berwibawa yang mengatur tentang lingkungan. Hukum lingkungan modern sekarang ini sudah berorientasi pada lingkungan yang sifat dan wataknya mengikuti sifat dan watak dari lingkungan itu sendiri dan berguna kepada ekologi itu sendiri. Dengan berorientasi kepada lingkungan itu sendiri maka hukum lingkungan modern itu sendiri memiliki sifat dan watak utuh menyeluruh dan komprehensif integral,


(16)

selalu berada pada dinamika yang luwes. Hukum perlindungan lingkungan itu menyebar ke berbagai bidang kebijaksanaan, peraturan perundang-undangan baik di bidang pengelolaan lingkungan hidup maupun di luar peraturan pokok lingkungan hidup, seperti Undang-undang No. 18 Tahun 2003 tentang Perkebunan yang sudah berorientasi untuk menjaga perlindungan akan lingkungan hidup yang sehat, seimbang dan lestari, hukum agraria, hukum bangunan dan bekerja bagian khusus dalam hukum pemerintahan, seperti hukum perumahan rakyat dan hukum kehutanan.

Di dalam revitaliasi perkebunan, kendala yang dihadapi Indonesia setiap tahunnya adalah adanya pembakaran hutan yang dipersiapkan sebagai lahan perkebunan, atau persiapan lahan perkebunan dalam rangka penanaman kembali lahan perkebunan tersebut dengan cara pembakaran yang dilakukan para pelaku usaha perkebunan.

Hutan Indonesia sebenarnya termasuk lahan basah yang sebenarnya kecil kemungkinan terjadinya kebakaran dengan sendirinya atau disebabkan oleh karena faktor alam, tapi fakta di lapangan yang terlihat adalah : bahwa hutan yang terbakar adalah kawasan perkebunan yang dibersihkan melalui proses land clearing sebagai salah satu cara dalam persiapan pembukaan dan/atau pengolahan lahan perkebunan. Artinya,


(17)

pemicu kebakaran lahan perkebunan tersebut lebih banyak karena faktor disengaja dimunculkannya api.

Penyebab lain meningkatnya tingkat pembakaran lahan perkebunan pada masa persiapan dan/atau pengolahan lahan perkebunan setidak-tidaknya dipengaruhi; oleh adanya pembangunan industri kayu

monokultur yang tidak dibarengi adanya pembangunan hutan tanaman

sebagai bahan baku industrinya; dan besarnya peluang yang diberikan pemerintah kepada pengusaha Hutan Tanaman Industri (HTI) dan Pengusaha Hak Pengusahaan Hutan (HPH) untuk melakukan konversi lahan menjadi perkebunan monokultur dalam skala besar, seperti Perkebunan Kelapa Sawit dan Perkebunan Kayu HTI; serta penegakan hukum yang lamban merespon tindakan pembakaran lahan perkebunan.

Pembakaran lahan yang direfleksikan dalam tulisan ini adalah, pembakaran lahan perkebunan (yang disengaja dan/ataupun karena kelalaiannya) pada masa persiapan lahan, yaitu : pada waktu membuka dan/atau mengolah lahan perkebunan dengan cara pembakaran lahan perkebunan yang berakibat terjadinya pencemaran dan kerusakan fungsi lingkungan hidup, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 dan ancaman hukuman serta denda pada Pasal 49 Undang-undang Nomor 18 tahun 2004 tentang Perkebunan.4

4

Pasal 26: Setiap pelaku usaha perkebunan dilarang membuka dan/atau mengolah lahan dengan cara pembakaran yang berakibat terjadinya pencemaran dan kerusakan fungsi lingkungan hidup. Pasal 48 ayat (1) : Setiap orang yang dengan sengaja membuka dan/atau mengolah lahan dengan cara pembakaran yang


(18)

Kalimat pembakaran lahan perkebunan pada masa persiapan lahan seperti : membuka dan atau mengolahnya dengan cara pembakaran yang mengakibatkan terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan fungsi lingkungan hidup, sifat dan karakteristiknya adalah lebih mengarah ke

tindak pidana lingkungan hidup sebagaimana yang juga diatur di dalam

Pasal 41 ayat (1) dan (2) Undang-undang Nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, yaitu : adanya ancaman pidana bagi siapa yang melakukan perbuatan melawan hukum yang mengakibatkan terjadinya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.5 Sehingga timbul permasalahan, yaitu; adanya 2 (dua) undang-undang yang mengatur 1 (satu) tindak pidana yang sama, yaitu : tindak pidana yang berakibat kepada pencemaran dan kerusakan fungsi lingkungan hidup. Jika terjadi tindak pidana yang demikian maka undang-undang mana yang harus diterapkan. Apakah Undang-undang Nomor 18 tahun 2004 tentang

berakibat terjadinya pencemaran dan kerusakan fungsi lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26, diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda Rp. 10.000.000.000.- (sepuluh miliar rupiah). Ayat (2) : Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mengakibatkan orang mati atau luka berat, pelaku diancam dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp. 15.000.000.000.- (lima belas miliar rupiah).

5

Pasal 41 ayat (1) : Barang siapa yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup, diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dengan denda paling banyak Rp. 500.000.000.- lima ratus juta rupiah); ayat (2) : Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang mati atau luka berat, pelaku tindak pidana diancam dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp. 750.000.000.- (tujuh ratus lima puluh juta rupiah).

Pasal 42 ayat (1) : Barang siapa yang karena kealpaannya melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup, diancam dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dengan denda paling banyak Rp. 00.000.000.- (Seratus juta rupiah); ayat (2) : Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang mati atau luka berat, pelaku tindak pidana diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 150.000.000.- (Seratus lima puluh juta rupiah).


(19)

Perkebunan atau Undang-undang Nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup? Selanjutnya Apakah penyidikannya masuk wewenang PPNS Perkebunan? Sebab PPNS Perkebunan diberi wewenang berdasarkan Pasal 45 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) Undang-undang Nomor 18 tahun 2004 tentang Perkebunan6 atau penyidikannya masuk pada wewenang PPNS Lingkungan Hidup, yang juga diberi wewenang untuk melakukan penyidikan berdasarkan Pasal 40 ayat (1) dan ayat (2) Undang-undang Nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.7

6

Pasal 45 menyebutkan :

(1) Selain penyidik pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia, pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang perkebunan juga diberi wewenang khusus sebagai penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang tentang Hukum Acara Pidana, untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang perkebunan.

(2) Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berwenang untuk :

a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan yang berkenan dengan tindak pidana di bidang perkebunan.

b. melakukan pemanggilan terhadap seseorang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau sebagai saksi dalam tindak pidana di bidang perkebunan.

c. melakukan pemeriksaan terhadap orang atau badan hukum yang diduga melakukan tindak pidana di bidang perkebunan.

d. memeriksa tanda pengenal seseorang yang berada dalam kawasan pengembangan perkebunan; e. melakukan penggeledahan dan penyitaan barang bukti tindak pidana di bidang perkebunan.

f. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang atau badan hukum sehubungan dengan tindak pidana di bidang perkebunan;

g. membuat dan menandatangani berita acara; dan

h. menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat cukup bukti tentang adanya tindak pidana di bidang perkebunan.

7

Pasal 40 menyebutkan :

(1) Selain penyidik pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia, pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan instansi pemerintah yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang pengelolaan lingkungan hidup, diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang tentang Hukum Acara Pidana yang berlaku.

(2) Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berwenang :

a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan yang berkenan dengan tindak pidana di bidang lingkungan hidup.

b. melakukan pemeriksaan terhadap orang atau badan hukum yang diduga melakukan tindak pidana di bidang lingkungan hidup.


(20)

Dari permasalahan-permasalahan tersebut di atas perlu dibahas guna menciptakan suatu kepastian hukum bagi pelaku tindak pidana dan kepastian wewenang bagi PPNS Perkebunan dan PPNS Lingkungan Hidup. Kepastian hukum bagi pelaku tindak pidana adalah, berdasarkan undang-undang yang mana yang akan didakwakan kepadanya. Kepastian wewenang sangat terkait dengan kepastian hukum tadi. Jika jelas dasar hukum tuntutan pidananya maka jelas pula PPNS yang akan menyidiknya.

Jika terjadi saling klaim antara PPNS Perkebunan dengan PPNS Lingkungan Hidup, bahwa pelaku tindak pidana membuka dan/atau mengolah lahan perkebunan dengan cara pembakaran lahan perkebunan yang berakibat terjadinya pencemaran dan kerusakan fungsi lingkungan hidup harus disidik berdasarkan undang-undang yang menjadi dasar kewenangannya maka, bagaimana peran penyidik Polri yang mempunyai fungsi sebagai koordinator dan pengawasan seluruh PPNS dimaksud dalam mencari jalan keluar terciptanya suatu kepastian hukum dan kepastian wewenang PPNS tadi? Tentu inilah yang akan dibahas dalam bab-bab selanjutnya dengan cara mencari dan menemukan sifat dan karakteristik tindak pidana tersebut, sehingga lebih terkait dan

c. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang atau badan hukum sehubungan dengan peristiwa tindak pidana di bidang lingkungan hidup.

d. melakukan pemeriksaan atas pembukuan, catatan dan dokumen lain serta melakukan penyitaan terhadap bahan dan barang hasil pelanggaran yang dapat dijadikan bukti dalam perkara tindak pidana di bidang lingkungan hidup,

e. meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang lingkungan hidup.


(21)

mendekati ke peraturan perundang-undangan mana penyelesaiannya, terkait dalam penyelesaiannya maka juga akan dianalisis wewenang masing-masing PPNS tersebut, maka ditemukanlah solusi kepastian wewenang tersebut.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, dapat dirumuskan pokok masalah yang selanjutnya akan dibahas dalam

tulisan ini pada bab selanjutnya.

Adapun rumusan masalah dalam penulisan ini adalah sebagai berikut : 1. Tindak pidana apa saja yang berkaitan dengan Lingkungan Hidup di

lahan Perkebunan?

2. PPNS mana yang berwenang sebagai penyidik tindak pidana lingkungan hidup di lahan perkebunan?

3. Bagaimana Peran penyidik Polri dalam menetapkan PPNS sebagai

penyidik tindak pidana lingkungan hidup di lahan perkebunan?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan tersebut diatas maka, yang menjadi tujuan penulisan tesis ini, adalah :

1. Untuk mengetahui tindak pidana yang berkaitan dengan lingkungan hidup di lahan perkebunan.


(22)

2. Untuk mengetahui PPNS mana yang berwenang sebagai penyidik tindak pidana lingkungan hidup di lahan perkebunan.

3. Untuk mengetahui bagaimana peran penyidik Polri dalam menetapkan PPNS sebagai penyidik tindak pidana lingkungan hidup di lahan perkebunan.

D. Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat mempunyai kegunaan dalam menganalisa tindak pidana lingkungan hidup berdasarkan Undang-undang Nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang terdapat pada lahan perkebunan sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang Nomor 18 tahun 2004 tentang Perkebunan, setelah itu baru ditentukan berdasarkan wewenang PPNS mana sebagai penyidiknya, baik secara praktis maupun secara teoritis, yaitu :

1. Menjadi bahan masukan bagi PPNS Lingkungan Hidup, PPNS Perkebunan dalam menangani perkara Tindak Pidana Lingkungan Hidup pada lahan perkebunan, agar tidak terjadi rebutan/sengketa kewenangan dan menjadi kerangka acuan bagi kedua PPNS dalam menjalankan/melaksanakan tugasnya sesuai dengan dasar kewenangannya masing-masing. Disamping itu, menjadi bahan masukan bagi Penyidik Polri dalam perannya menetapkan PPNS, karena kewenangannya sebagai Koordinator dan Pengawas seluruh PPNS berdasarkan pertimbangan yang logis dan pertimbangan yuridis.


(23)

2. Secara teoritis penelitian ini diharapkan akan menjadi bahan untuk penelitian lebih selanjutnya terhadap kewenangan kedua PPNS ini dalam melakukan penyidikan Tindak Pidana Lingkungan Hidup yang terjadi pada lahan perkebunan. Disamping itu, dan juga memberi masukan dan kontribusi positif bagi perkembangan dan pengayaan ilmu hukum.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan pemeriksaan yang telah dilakukan oleh peneliti, diketahui bahwa penelitian dengan judul “Analisis Kewenangan Penyidik Pegawai Negeri Sipil Perkebunan dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil Lingkungan Hidup Dalam Melakukan Penyidikan Tindak Pidana Lingkungan Hidup Pada Lahan Perkebunan” belum pernah dilakukan pada pernasalahan pendekatan yang sama, walaupun penelitian tentang PPNS di perpustakaan Universitas Sumatera Utara (USU) yang membahas tentang peranan PPNS dalam melakukan penyidikan ada di teliti, namun pada konteks bidang lain, untuk yang membahas tentang judul diatas belum pernah dilakukan, termasuk juga permasalahan dan pendekatan yang dilakukan juga berbeda. Jadi Penelitian ini adalah asli dan belum pernah ditulis dan diteliti oleh peneliti lain sebelumnya, dan keaslian tulisan ini secara akademis keilmuan dapat


(24)

F. Metode Penelitian

1. Tipe Penelitian

Sebagai konsekwensi pemilihan ke-3 (tiga) topik permasalahan yang disebutkan diatas maka, tipe penelitian yang dilakukan adalah

Yuridis Normatif, yakni penelitian yang memfokuskan pada kajian

kepada kaidah-kaidah atau norma-norma hukum positif dengan pertimbangan bahwa titik tolak analisisnya terhadap paraturan perundang-undangan yang menjadi dasar kewenangan PPNS Perkebunan dan PPNS Lingkungan Hidup. Namun disamping itu juga, kajian lain turut diikutsertakan, seperti; penelitian kepustakaan untuk membantu memperdalam pengkajian hukum normatifnya adalah sangat membantu dalam mencari solusi pemecahan masalahnya; Penelitian bersifat deskriptif analisis terhadap norma-norma atau kaidah-kaidah artinya, penelitian ini menggambarkan suatu keadaan normatif peraturan perundangan-undangan yang menjadi dasar kewenangan masing-masing PPNS dihadapkan kepada permasalahan yang dikemukakan dengan tujuan adalah untuk memberi pembatasan terhadap kerangka studi atas suatu analisis/klasifikasi tanpa ada maksud dan tujuan lainnya, yaitu untuk menguji hipotesa-hipotesa atau teori-teori yang sudah ada.


(25)

Jadi, dengan permasalahan dikemukakan di atas maka, penelitian yuridis normatif ini sesuai pendapat yang dikemukakan oleh Johnny Ibrahim, yaitu bahwa;

“Penelitian Normatif adalah untuk menghasilkan ketajaman analisis hukum yang didasarkan pada doktrin dan norma-norma yang telah ditetapkan dalam sistem hukum, baik yang telah tersedia sebagai bahan hukum maupun yang dicari sebagai bahan kajian guna memecahkan problem hukum faktual yang dihadapi masyarakat, maka tidak ada jalan lain berkenalan dengan ilmu hukum normatif sebagai ilmu praktis normologis dan mengandalkan penelitian hukum normative.”8

dan ini sesuai dengan pendapat Surjono Soekanto dan Sri Mamudji; yang menyebutkan bahwa;

“dalam penelitian hukum normatif, maka penelitian terhadap asas-asas hukum dilakukan terhadap kaidah-kaidah hukum yang merupakan patokan-patokan berperilaku atau bersikap tidak pantas dapat dilakukan (terutama) terhadap bahan hukum primer dan sekunder, sepanjang bahan-bahan penelitian tersebut mengandung kaidah-kaidah hukum. Sebab, tidak setiap pasal dalam suatu perundang-undangan misalnya mengandung kaidah hukum, ada pasal-pasal yang hanya merupakan batasan saja sebagaimana lazimnya ditemukan pada bab-bab ketentuan umum dari perundang-undangan tersebut.” 9

2. Sumber Data

Sumber data yang diperoleh dalam penelitian ini adalah diambil dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.

8

Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Cet. ke-2, (Surabaya, (Bayu Media Publishing, 2006), hlm. 73.

9

Surjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), hlm. 12.


(26)

2.1. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer adalah : bahan hukum yang diurutkan berdasarkan hirearki yang terdiri dari atas Undang-Undang Dasar 1945, Tap MPR, Undang-Undang, Peraturan Pemerintah dan peraturan lainnya di bawah Undanga-undang

2.2. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang diperoleh dari hasil pengkajian dari buku-buku, teks, literatur, karya tulis ilmiah, yang berkaitan dalam mendukung pemecahan masalah.

2.3. Bahan Hukum Tersier

Bahan Hukum Tersier adalah bahan hukum yang dapat memberi petunjuk atau penjelasan bermakna terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus, tulisan dan lain-lain yang dapat menunjang dan sekaligus digunakan sebagai bahan tambahan informasi dalam penelitian ini.

3. Metode Pengumpulan Data

Untuk mencari bahan-bahan yang diperlukan dalam penelitian tesis ini, maka perolehan data atau pengumpulan datanya dilakukan


(27)

dengan cara studi kepustakaan (Library Research) yaitu menghimpun data dengan melakukan penelaahan bahan kepustakaan, yaitu : pengumpulan data primer berupa peraturan perundang-undangan yang gunanya adalah sebagai bahan hukum yang mengikat dari sudut acuan dasar, peraturan dasar dan peraturan perundang-undangan, data

sekunder berupa buku-buku teks, literatur, karya tulis ilmiah yang

gunanya adalah untuk memberi penjelasan terhadap bahan hukum primer yaitu berupa hasil penelitian karya ilmiah dari kalangan hukum yang dianggap relevan dengan penelitian ini dan data tersier seperti kamus, tulisan dan lain-lain yang gunanya adalah memberi petunjuk dan penjelasan lebih lanjut tentang bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.

4. Analisa Data

Analisa data merupakan suatu proses atau langkah-langkah dalam pengorganisasian dan mengurutkan bahan hukum yang dikumpulkan pada suatu pola kategori dan satuan untuk menjawab permasalahan yang telah dirumuskan di atas. Jadi bahan hukum yang diperoleh dari kepustakaan, bahan hukum primer seperti peraturan perundang-undangan, bahan hukum sekunder seperti buku-buku teks, literatur, karya tulis ilmiah, dan bahan hukum tersier seperti kamus, tulisan dan lain-lain, penulis uraikan dan dihubungkan begitu rupa,


(28)

sehingga disajikan dalam penulisan yang lebih sistematis guna membahas dan menjawab permasalahan yang telah dirumuskan. Bahwa cara pengolahan bahan hukum dilakukan secara deduktif yang menarik kesimpulan dari suatu permasalahan yang bersifat umum terhadap permasalahn konkrit yang dihadapi. Dengan demikian kegiatan analisis ini diharapkan akan dapat menghasilkan kesimpulan dengan permasalahan dan tujuan penelitian yang benar dan akurat.

G. Landasan Teori

Didalam setiap pembangunan yang bahan bakunya berasal dari pengelolaan sumber daya alam maka, kebijakan pemerintah adalah selalu mempertahankan fungsi lingkungan hidup dengan melakukan Perlindungan Lingkungan Hidup yang berkelanjutan.

Menurut Alvi Syahrin: bahwa:

“Perlindungan Lingkungan Hidup mempunyai arti penting bagi pembangunan jangka panjang dan kemakmuran rakyat, sehingga penyediaan,penggunaan dan peningkatan kemampuan lingkungan hidup perlu mendapat perhatian pemerintah. Pemerintah dalam mewujudkan kemakmuran rakyat, berkewajiban melakukan upaya pencegahan maupun pembaharuan kemampuan lingkungan hidup, bekerja sama dengan negara lain dalam perlindungan lingkungan hidup dunia, mempertimbangkan pentingnya perlindungan lingkungan hidup dalam memutuskan segala permasalahan ekonomi dan sosial, serta melindungi warisan generasi yang akan datang. Perlindungan lingkungan hidup merupakan bagian dari proses pembangunan dan tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya.”10

10

Alvi Syahrin, Pengaturan Hukum dan Kebijakan Pembangunan Perumahan dan Permukiman


(29)

Jadi pemerintah dalam melakukan perlindungan terhadap lingkungan hidup dapat dilakukan lewat penataan kebijaksanaan dan peraturan perundang-undangan guna mewujudkan pembangunan jangka panjang yang dapat meningkatkan kemampuan lingkungan hidup. Peningkatan kemampuan lingkungan hidup ini juga diwujudkan dengan adanya kepastian hukum. Kepastian hukum ini menjadi suatu hal yang harus diwujudkan guna peningkatan kemampuan lingkungan hidup, oleh karenanya peraturan perundang-undangan dibidang lingkungan hidup haruslah diwujudkan lewat hukum positif yang memuat norma-norma berperilaku bagi pelaku usaha perkebunan.

Hukum posistf yang memuat tentang tindak pidana lingkungan hidup di lahan perkebunan mengalami dualisme antara undang-undang perkebunan dan UUPLH. Harusnya UU Perkebunan hanya mengatur masalah perkebunan saja, sebab masalah lingkungan hidup telah diatur dalam UUPLH.

Menurut Hans Kelsen, mengatakan ;

Teori hukum murni adalah teori hukum positif, yang berupaya membatsi dirinya atas penertian hukum pada bidang-bidang lain dan hendaknya menghindari pencampuranadukan dengan berbagai displin ilmu lainnya, yang dapat mengaburkan esensi ilmu hukum dan meniadakan batas-batas yang ditetapkan padanya oleh sifat pokok bahasannya.11

11

Hans Kelsen, Teori Hukum Murni, Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif; (Bandung, Penerbit Nusa Media & Penerbit Nuansa, 2007), hlm. 1-2.


(30)

Sedangkan pengertian hukum positif terletak pada fakta bahwa hukum itu dibuat dan dihapuskan oleh tindakan-tindakan manusia yang disebut norma hukum12

Sedangkan maksud norma adalah sesuatu yang harus ada dan yang harus terjadi khsusunya bagaimana manusia harus berperilaku dengan cara tertentu.13

Pengertian kewenangan didalam pasal 45 ayat (2) Undang-undang Perkebunan dan pasal 40 ayat (2) undang-undang Pengelolaan Lingkungan Hidup tidaklah secara tegas disebutkan, namun secara umum dapat dikatakan bahwa pengertian wewenang PPNS Perkebunan dan PPNS Lingkungan Hidup dapat dilihat dari apa yang dilakukan dalam tahapan-tahapan kegiatan penyidikannya yaitu; memeriksa kebenaran laporan, memeriksa orang/pelaku tindak pidana,meminta keterangan dan barang bukti, melakukan pemeriksaan administrasi dan tempat kejadian perkara, melakukan penyitaan,meminta keterangan ahli, meminta keterangan ahli, membuat Berita Acara seluruh rangkaian penyidikan dan menghentikan penyidikan.

Jadi, arti wewenang adalah sebuah tindakan rangkaian penyidikan yang didasarkan atas undang-undang untuk melakukan penyidikan atas suatu tindak pidana lingkungan hidup yang khusus terjadi hanya dilahan perkebunan.

12

Hans Kelsen, Teori Hukum Murni dan Negara, (Jakarta, Bee Media Indonesia, 2007), hlm. 142-143.

13


(31)

Dasar wewenang ini diberikan secara khusus juga oleh Pasal 7 ayat (2) KUHAP dengan sebutan kewenangan khusus melakukan tugas penyidikan atas dasar undang-undang sebagai dasar kwewenangannya. Jadi wewenang khusus itu hanya diberi oleh undang-undang dalam melakukan rangkaian penyidikan.

Undang-undang Nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup adalah undang-undang yang harus menjadi acuan, walaupun tidak secara tegas disebutkan oleh undang-undang dimaksud, tapi secara umum diakui sebagai undang-undang yang menjadi acuan pokok. Artinya seluruh undang-undang yang berkaitan dengan lingkungan hidup maka harus mempedomani Undang-undang Nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, tak terkecuali dengan Undang-undang Nomor 18 tahun 2004 tentang Perkebunan tetap mempedomani undang-undang Pengelolaan Lingkungan Hidup ini.

Permasalahannya disini adalah, bahwa adanya diatur tindak pidana yang berkaitan dengan tindak pidana lingkungan hidup terutama Pasal 26 Undang-undang Nomor 18 tahun 2004 tentang Perkebunan, dimana tindak pidana membuka dan/atau mengolah lahan perkebunan dengan cara pembakaran sehingga mengakibatkan pencemaran dan kerusakan fungsi lingkungan hidup terjadi di lahan perkebunan, sehingga menimbulkan penafsiran dan menjadi perdebatan, apakah tindak pidana ini masuk kategori lingkungan hidup yang kebetulan terjadi dilahan perkebunan?


(32)

Sementara itu setiap tindak pidana yang berakibat terjadinya pencemaran dan kerusakan fungsi lingkungan hidup maka dapat dikenakan ancaman pidana berdasarkan Pasal 41 ayat (1) Undang-undang Nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Lalu peraturan perundang-undangan mana yang harus digunakan sebagai dasar melakukan tuntutan terhadap tindak pidana yang sama? Sebab adanya 2 (dua) peraturan perundang-undangan yang bebrbeda mengatur 1 (satu) tindak pidana yang sama?

Untuk menjawab persoalan ini maka, landasan teori yang dipergunakan adalah dengan memperhatikan pasal 1 ayat (2) Kitab Undang-undang Hukum Pidana14 yang menyebutkan adanya perlakuan khusus bagi tindak pidana yang bersifat khusus, yaitu; dengan menggunakan;

Asas ”Lex specialist derogat lex generale”, yaitu; asas yang mengemukakan bahwa; undang-undang yang bersifat khusus menyampingkan undang-undang yang bersifat umum. Maksud dari asas ini adalah; bahwa terhadap peristiwa khusus wajib diperlakukan undang-undang yang menyebut peristiwa itu, walaupun untuk peristiwa khusus tersebut dapat diperlakukan undang-undang yang menyebut peristiwa yang lebih luas atau lebih umum yang dapat mencakup peristiwa khusus tersebut.15

14

Pasal 1 ayat 2 (dua) menyebutkan; Jikalau undang-undang diubah, setelah perbuatan itu dilakukan, maka kepada tersangka dikenakan ketentuan yang menguntungkan baginya. Pasal 1 ayat 2 (dua) menyebutkan; Jikalau undang-undang diubah, setelah perbuatan itu dilakukan, maka kepada tersangka dikenakan ketentuan yang menguntungkan baginya.

15

C.C.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum, Cet. Ke-6 (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), hal. 81 C.C.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum, Cet. Ke-6 (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), hal. 81.


(33)

Lalu menjadi PPNS mana yang berwenang dalam menyidik perkara tindak pidana lingkungan hidup ini?

Menurut Koesnadi Hardjasoemantri, bahwa ;

“tindak pidana di bidang lingkungan hidup menyangkut aspek yang bersifat sangat teknis, sehingga memerlukan keahlian tertentu untuk melakukan penyidikan, yang sukar diharapkan dari para penyidik pejabat Polri”16

Dari pendapat beliau ini dapat digariskan bahwa tindak pidana lingkungan hidup ini karena sifatnya sangatlah teknis maka, Penyidiknyapun haruslah yang berasal dari lembaga teknis dimaksud, yaitu PPNS Lingkungan Hidup. Sebab kalau diteliti lebih lanjut bahwa dasar pengajuan tuntutannya haruslah menggunakan Undang-undang Nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, dimana PPNS Lingkungan Hidup mempunyai dasar kewenangan menurut undang-undang ini.

Didalam pelaksanaan kewenangan masing-masing PPNS Perkebunan dan PPNS Lingkungan Hidup maka, masing-masing PPNS ini mempunyai dasar kewenangannya dalam melakukan penyidikan. PPNS Perkebunan mempunyai kewenangan khusus berdasarkan Pasal 45 ayat (1) Undang-undang Nomor 18 tahun 2004, sedangkan PPNS Lingkungan Hidup mempunyai kewenangannya berdasarkan Pasal 40 Undang-undang Nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.

16

Koesnadi Hardjasoemantri, Hukum Tata Lingkungan, (Yogyakarta, Gadjah Mada University Press, 2005), hlm. 433.


(34)

Yang menjadi dasar awal diperbolehkannya Pegawai Negeri Sipil (PNS) sebagai penyidik adalah didalam Undang-undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana atau lazim disebut Kitab undang-undang Hukum Acara Pidana KUHAP) Pasal 6 ayat (2) b dan Pasal 7 ayat ( 2 ), dimana berdasarkan pasal ini merupakan dasar hukum diberikannya wewenang khusus terhadap PPNS untuk melakukan penyidikan di bidang tindak pidana khusus dan sekaligus diberi wewenang sesuai undang-undang yang menjadi dasar hukumnya untuk melakukan tugasnya di bawah koordinasi dan pengawasan POLRI.17 Sebutan wewenang khusus pada PPNS mempunyai arti bahwa PPNS hanya mempunyai wewenang terbatas hanya pada undang-undang itu saja yang artinya PPNS dalam melakukan penyidikan tidak boleh menggunakan dasar tuntutannya di luar undang-undang yang menjadi dasar penuntutannya. Dalam melakukan penyidikan maka PPNS dimaksud adalah seorang penyidik pada sebuah Departemen yang diangkat oleh Menteri atau Kepala pada sebuah lembaga vertikal (Nasional) atau diusulkan dan diangkat oleh instansi yang berwenang atas rekomendasi/pertimbangan tidak keberatan dari Kepala Kepolisian Republik Indonesia dan Jaksa Agung.

17

UU No. 8 tahun 1981, tentang Hukum Acara Pidana Pasal 6 ayat (1) mengatakan penyidik adalah :

a. Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia

b. Pejabat pegawai Negeri Sipil yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang

Pasal 7 ayat (2) mengatakan; penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b mempunyai wewenang sesuai dengan undang-undang yang menjadi dasar hukumnya dan dalam pelaksanaan tugasnya berada di bawah koordinasi dan pengawasan penyidik tersebut dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a.


(35)

Di dalam istilah sebutan, maka, ada 2 (dua) sebutan terhadap PPNS ini, yaitu; pertama; PPNS Nasional (pusat), dan kedua; PPNS Daerah. PPNS Nasional (pusat) lahir dari undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP khususnya dalam Pasal 6 ayat (1) b dan oleh karenanya lahirlah PPNS Perkebunan yang dasar kewenangnnya lahir atas dasar Undang-undang Nomor 18 tahun 2004 tentang Perkebunan kemudian PPNS Lingkungan Hidup lahir atas dasar kewenangannya dari Undang-undang Nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Sementara itu PPNS Daerah lahir dari undang-undang No. 5 tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah yang menyebutkankan bahwa penyidikan terhadap penyelenggaraan Pemerintahan Daerah dilakukan oleh PPNS Daerah dan dipertegas lagi dengan Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 149 ayat (2) yang menyatakan bahwa : Penyidikan dan penuntutan terhadap penyelenggaraan atas ketentuan Perda dilakukan oleh penyidik dan pemutusan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.18

Dalam hal menjalankan kewenangan masing-masing PPNS ini maka, atas dasar masing-masing undang-undang yang menjadi dasar kewenangan PPNS Perkebunan dan PPNS Lingkungan Hidup itu, maka

18

Biro Humas Sekretariat Jenderal Departemen Dalam Negeri, Pembinaan dan Pemberdayaan


(36)

secara umum, kewenangan PPNS Perkebunan, PPNS Lingkungan Hidup, PPNS Daerah, bahkan PPNS lainnya adalah sama, hanya bidang tugasnya yang berbeda, kalau profil bentuk wewenangnya adalah serupa, bahkan bagi seluruh PPNS diharuskan melakukan koordinasi dengan Penyidik Polri, karena Penyidik Polri yang fungsinya sebagai koordinator dan fungsi pengawasan bahkan sampai pada fungsi pembinaan teknis terhadap seluruh PPNS (tugas ini diemban oleh bagian reserse).

Adapun secara umum kewenangannya adalah sebagai berikut : 1. Melakukan tindakan upaya paksa, seperti :

a. penangkapan b. penahanan c. penggeledahan d. pemeriksaan surat

2. Membuat Berita Acara Pemeriksaan (BAP) atas semua tindakan, seperti :

a. BAP pemeriksaan tersangka b. BAP penangkapan

c. BAP penahanan d. BAP penggeledahan e. BAP penyitaan


(37)

f. BAP pemeriksaan surat g. BAP pemasukan rumah h. BAP pemeriksaan saksi

i. BAP pemeriksaan tempat kejadian (PTK) j. BAP pemeriksaan lain-lainnya sesuai KUHAP k. BAP pelaksanaan lain-lain sesuai dengan KUHAP

Apabila dalam proses penyidikan ternyata tidak cukup bukti sesuai dengan kewenangannya pada poin 1 di atas tadi maka, kedua PPNS tersebut harus menghentikan proses penyidikan dengan pemberitahuan kepada Kejaksaan melalui penyidik Polri. Selanjutnya apabila proses penyidikan berlanjut dan bentuk tindakan upaya paksa dilakukan oleh PPNS Perkebunan dan PPNS Lingkungan Hidup maka upaya paksa itu dilakukan harus dalam bentuk ”koordinasi dengan polisi”.19

Di dalam usaha mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga suatu tindak pidana lingkungan hidup, apakah PPNS Lingkungan Hidup dan PPNS Perkebunan mempunyai wewenang untuk melakukan penyelidikan? Sebab sesuai dengan perkembangan tindak pidananya maka, Penyelidikan bisa merupakan bahagian dari penyidikan.

19

Departemen Hukum dan Hak Azasi Manusia - Kantor Wilayah Sumatera Utara, Undang-Undang, Yang Menjadi Dasar Hukum Penyidik Pegawai Negeri Sipil, (Medan, 2005) hal. 13


(38)

Menurut pendapat Tim Analisis dan Evaluasi Hukum Kewenangan PPNS berdasarkan UU No, 8 Tahun 1981 tentang KUHAP yang dipimpin Oleh Bapak Edi Warman, mengatakan bahwa;

”di dalam KUHAP tidak tegas disebutkan sebab KUHAP tidak mengatur hal itu, tetapi KUHAP juga tidak secara tegas melarang PPNS untuk melakukan penyelidikan”.20

Memang di dalam Pasal 1 angka 4, Pasal 4, Pasal 5 ayat (1) KUHAP menyebutkan bahwa penyelidik itu adalah Polri,21 sedangkan undang Nomor 18 tahun 2004 tentang Perkebunan dan Undang-undang Nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup tidak menyebutkan apakah PPNS perkebunan dan PPNS Lingkungan Hidup berwenang melakukan penyelidikan.

Tindak pidana pembakaran lahan yang dilakukan oleh pelaku usaha perkebunan sudah barang tentu banyak yang dilakukan secara disengaja, atau paling tidak, dilakukan karena adanya unsur kelalaian. Pembakaran lahan perkebunan oleh pelaku usaha perkebunan pada waktu membuka dan/atau mengolah lahan perkebunan biasanya dilakukan untuk

20

Badan Pembinaan Hukum Nasional, Laporan Akhir Tim Analisis dan Evaluasi Hukum

Kewenangan PPNS Berdasarkan UU No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP, (Jakarta:Badan Pembinaan Hukum Nasional, 2004), hlm. 74.

21

Pasal 1 ayat (4); Penyelidik adalah pejabat kepolisian negara Republik Indonesia yang diberi undang-undang ini untuk melakukan penyelidikan.

Pasal 4; Penyelidik adalah setiap pejabat polisi negara Republik Indonesia

Pasal 5 ayat (2); Penyelidik membuat dan menyampaikan laporan hasil pelaksanaan tindakan sebagaimana tersebut pada ayat (1) huruf a dan huruf b kepada penyidik.


(39)

menghemat biaya dan waktu, namun rata-rata pihak pelaku usaha perkebunan tidak ada yang mau mengaku telah melakukan pembakaran pada lahan perkebunannya.

Lahan perkebunan yang diperoleh baik dari konversi hutan, biasanya rata-rata mempunyai tingkat kepadatan serasah yang banyak dan oksigen yang cukup dan rata-rata hutan basah, sehingga sangat sulit kemungkinannya untuk terbakar sendiri, atau karena faktor alam.

Ada beberapa penyebab kebakaran ini terjadi, baik itu kebakaran hutan maupun kebakaran lahan. Menurut Departemen Kehutanan dan Perkebunan, bahwa;

“kerusakan hutan yang diakibatkan kesengajaan misalnya baik itu karena persiapan persiapan perubahan lahan perkebunan adalah sangat tinggi. Bahkan sumber api dan atau penyebab kebakaran hutan itu terjadi karena ada 3 unsur yaitu : panas, bahan bakar dan oksigen berbaur. Jika salah satu ke-3 unsur ini tidak ada maka kebakaran hutan itu tidak akan terjadi. Karena oksigen terdapat hampir merata di semua wilayah, maka yang diterangkan disini hanyalah unsur panas dan bahan bakar.

a. Panas

Dalam kebakaran hutan, unsur ini hanya berperan, terutama kemarau panjang. Hampir seluruh wilayah Indonesia musim kemarau terjadi setiap tahun, pada bulan-bulan tertentu yang dapat diperkirakan sebelumnya. Musim kemarau panjang umumnya datang 5-10 tahun sekali, kecuali untuk Nusa Tenggara Timur, Timor Timur dan Irian Jaya bagian Selatan (Merauke). Musim Kemarau panjang terjadi setiap tahun, erat kaitannya dengan panas adalah sumber api. Umumnya disepakati bahwa 90% sumber api yang mengakibatkan


(40)

kebakaran hutan berasal dari manusia, sedangkan selebihnya berasal dari alam.

1).Sumber api yang berasal dari manusia digolongkan menjadi : a. Yang dinyalakan secara sengaja, dalam kaitannya dengan

perladangan, penggembalaan ternak, perburuan binatang liar, persiapan penanaman (perkebunan, kehutanan), tindakan iseng (untuk kesenangan), balas dendam terhadap petugas kehutanan, mengalihkan perhatian petugas (untuk dapat mencuri hasil hutan ditempat lain), pembuatan api unggun, dan lain-lain.. Api yang berasal dari kebakaran ladang, di Sumatera Utara, memberikan andil 54% terhadap terjadinya kebakaran hutan. Angka tersebut nampaknya berlaku di daerah lain untuk Pulau Jawa. Perlu dicatat bahwa penggunaan api untuk perladangan, perkebunan, kehutanan dan lain lain tak terhindarkan dan tak harus mengakibatkan kebakaran hutan, asal terkendali.

b. Yang tak disengaja, seperti api dari kereta api, pekerja hutan, pengunjung objek wisata hutan, obor, puntung rokok, perkemahan, dapur arang, dan lain-lain.

2).Faktor alam, misalnya api yang timbul karena terjadinya petir, meletusnya gunung berapi dan api abadi.

b. Bahan Bakar

Bahan bakar merupakan faktor yamg paling dominan sebagai penyebab kebakaran hutan.

Di Taman Nasional Wasur, Irian Jaya , misalnya, kemarau panjang dan juga kebakaran hutan, terjadi setiap tahun di areal yang luas. Namun kebakarannya tidak pernah besar, karena serasah hutan yang menjadi bahan bakar tipis saja. Seseorang tidak perlu panik melintasi hutan yang sedang terbakar. Tunggu saja api lewat sekitar lima menit, dan sesudah itu seperti tak pernah terjadi apa-apa. Pohon-pohonan tetap berdiri tegak. Di Kalimantan dan Sumatera, terutama di daerah bergambut atau areal bekas tebangan, kebakaran hutan yang terjadi pada musim kemarau panjang dapat di pastikan merupakan kebakaran besar. Seperti kebakaran hutan tahun 1982/1983 di Kalimantan Timur dan tahun 1994 di Sumatera Selatan, Jambi, Riau dan Kalimantan. Kecuali berlangsung sekitar 6 (enam)


(41)

bulan, juga menimbulkan asap tebal yang sangat mengganggu kegiatan hidup manusia.”22

Terkait dengan peran Polri dalam mengeluarkan keputusan dalam menetapkan PPNS jika terjadi saling klaim antara PPNS Perkebunan dan PPNS Lingkungan Hidup jika terjadi tindak pidana dibidang lingkungan hidup pada lahan perkebunan maka, Polri dapat menetapkan PPNS berdasarkan kewenangan yang dimilikinya sebagai Koordinator dan Pengawas keseluruhan PPNS, yaitu; di dalam Pasal 7 ayat (2) Undang-undang No.8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana atau lazim disebut Kitab undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Hal ini sangat berguna dalam rangka memenuhi asas dalam KUHAP itu sendiri, yaitu; asas peradilan cepat. Sebab apabila dibiarkan masing-masing PPNS ini saling klaim kewenangan akan menimbulkan terhambatnya proses penyidikan terhadap si pelaku tindak pidana tersebut.

22

Departemen Kehutanan dan Perkebunan, Buku Pintar Penyuluh Kehutanan dan Perkebunan, (Jakarta: Departemen Kehutanan dan perkebunan, 2000), hlm. 176-177.


(42)

BAB II

T I N D A K P I D A N A Y A N G B E R K A I T A N D E N G A N

LINGKUNGAN HIDUP PADA LAHAN PERKEBUNAN

A. Tindak Pidana Pada Lahan Perkebunan

Di dalam Undang-Undang tentang Perkebunan, ada disebutkan bermacam beberapa tindak pidana yang dapat dilakukan penyidikan terhadap pelaku tindak pidana oleh Undang-Undang ini, wewenang penyidikannya adalah oleh PPNS yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya berada di bidang perkebunan, dalam hal ini yang tersedia adalah PPNS Perkebunan, yang sekarang berada pada Direktorat Jenderal Perkebunan – Departemen Pertanian.

Tindak pidana yang disebutkan dalam Undang-Undang tentang perkebunan ini ada yang berkaitan murni tentang perkebunan itu sendiri dan juga berkaitan dengan Lingkungan Hidup. Namun dalam tulisan ini akan disebutkan secara keseluruhan dari apa yang disebutkan sebagai tindak pidana, baik itu tindak pidana tentang perkebunan itu sendiri maupun tindak pidana yang berkaitan langsung dengan tindak pidana lingkungan hidup.


(43)

Adapun yang disebutkan sebagai perbuatan tindak pidana oleh Undang-undang tentang Perkebunan ini adalah sebagai berikut :

1. Melakukan suatu usaha budi daya tanaman perkebunan dengan luasan tanah tertentu dan/atau usaha industri pengolahan hasil perkebunan dengan kapasitas tertentu tanpa memiliki izin.

2. Melanggar ketentuan yang berakibat pada kerusakan kebun dan/atau aset lainnya, menggunakan lahan perkebunan tanpa izin dan/atau tindakan lainnya yang mengakibatkan terganggunya usaha perkebunan.

3. Membuka dan/atau mengolah lahan perkebunan dengan cara pembakaran yang berakibat pada terjadinya pencemaran dan perusakan Fungsi Lingkungan Hidup.

4. Melakukan pengolahan, peredaran, dan/atau pemasaran hasil perkebunan yang melanggar larangan berupa :

a. Pemalsuan mutu dan/atau kemasan hasil perkebunan;

b. Menggunakan bahan penolong untuk usaha industri pengolahan hasil perkebunan;

c. Mencampur hasil perkebunan dengan benda atau bahan lain yang dapat membahayakan kesehatan dan keselamatan manusia, merusak


(44)

fungsi lingkungan hidup, dan/atau menimbulkan persaingan usaha tidak sehat.

5. Mengiklankan hasil usaha perkebunan yang menyesatkan konsumen. 6. Menadah hasil usaha perkebunan yang diperoleh dari penjarahan

dan/atau pencurian.

Dari ke-6 (enam) tindak pidana ini, oleh Undang-undang tentang Perkebunan menjadi satu kesatuan pengaturan, karena mengatur mulai dari Pembukaan Lahan, Mengolah Lahan, Budi Daya Tanaman Perkebunan, Mengolah Hasil Perkebunan sampai dengan Peredaran dan Pemasarannya dan mengatur pada persoalan Lingkungan Hidup.

Berikut akan dijelaskan secara sekilas ke-6 (enam) tindak pidana yang oleh Undang-undang Perkebunan ini dimasukkan dalam beberapa pasal-pasal, yaitu :

1. Melakukan suatu usaha budi daya tanaman perkebunan dengan luasan tanah tertentu dan/atau usaha industri pengolahan hasil perkebunan dengan kapasitas tertentu tanpa memiliki izin

Di dalam Pasal 46 ayat (1) Undang-undang Nomor 18 tahun 2004 tentang Perkebunan23 dijelaskan bahwa dilarang untuk

23

Pasal 46 menyebutkan; ayat (1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan usaha budi daya tanaman perkebunan dengan luasan tanah tertentu dan/atau usaha industri pengolahan hasil perkebunan dengan kapasitas tertentu tidak memiliki izin usaha perkebunan sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 17 ayat (1) diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp.


(45)

melakukan suatu usaha budi daya tanaman perkebunan dengan luasan tanah tertentu dan/atau usaha industri pengolahan hasil perkebunan dengan kapasitas tertentu tanpa memiliki izin. Melakukan suatu usaha budi daya tanaman perkebunan dengan luasan tanah tertentu dan/atau usaha industri pengolahan hasil perkebunan dengan kapasitas tertentu tanpa memiliki izin. Undang-undang Nomor 18 tahun 2004 tentang Perkebunan.

Yang menjadi unsur-unsur tindak pidana menurut Pasal 46 ayat (1) ini adalah :

2. Setiap orang. 3. Dengan sengaja.

4. a. Melakukan usaha budi daya tanaman perkebunan dengan luasan tertentu

b. Melakukan usaha industri pengolahan hasil perkebunan dengan kapasitas tertentu

5. Dengan tidak memiliki izin usaha perkebunan.

Di dalam poin ini, disebutkan ada 2 (dua) jenis perbuatan yang menjadi tindak pidana yang berkaitan dengan izin, baik yang

2.000.000.000,- (dua miliar rupiah). Ayat (2) Setiap orang yang karena kelalaiannya melakukan usaha budi daya tanaman perkebunan dengan luasan tanah tertentu dan/atau usaha industri pengolahan hasil perkebunan dengan kapasitas tertentu tidak memiliki izin usaha perkebunan sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 17 ayat (1) diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,- (satu miliar rupiah).


(46)

dilakukan secara sengaja maupun akibat kelalaiannya, juga yang dilakukan oleh orang-perorangan ataupun suatu Badan Hukum, yaitu : 1. Melakukan suatu usaha budi daya tanaman perkebunan;

2. Usaha industri pengolahan hasil perkebunan dengan kapasitas tertentu; dimana kedua jenis tindak pidana ini dilakukan secara sengaja maupun karena kelalaiannya yang dilakukan dengan tidak memiliki izin usaha perkebunan.

Kedua perbuatan tindak pidana ini adalah untuk memenuhi pelarangan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) dalam undang-undang ini, yaitu bahwa : setiap pelaku usaha perkebunan baik itu usaha budi daya tanaman perkebunan dan/atau usaha industri pengolahan hasil perkebunan dengan kapasitas pabrik tertentu harus memiliki izin terlebih dahulu, jika tanpa izin adalah dianggap illegal.24 Jadi, dengan melakukan Kegiatan suatu usaha budi daya tanaman perkebunan pada luasan tanah tertentu atau hanya melakukan usaha industri pengolahan hasil perkebunan dengan kapasitas tertentu; tanpa memiliki izin usaha perkebunan saja sudah dapat memenuhi unsur sebagai perbuatan tindak pidana, tanpa harus

24

Pasal 17 ayat (1) menyebutkan; Setiap pelaku usaha budi daya tanaman perkebunan dengan luasan tanah tertentu dan/atau usaha industri pengolahan hasil perkebunan dengan kapasitas pabrik tertentu wajib memiliki usaha perkebunan.


(47)

melakukan kedua jenis tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (1) dan (2).

Jenis usaha budi daya tanaman perkebunan itu adalah serangkaian kegiatan pratanam, penanaman, pemeliharaan, tanaman, pemanenan dan sortasi (penyeleksian), sedangkan jenis usaha industri pengolahan hasil perkebunan itu adalah merupakan serangkaian kegiatan pengolahan yang bahan baku utamanya adalah hasil dari budi daya tanaman perkebunan tadi dan/atau yang dibeli dari hasil perkebunan lainnya di luar areal perkebunannya. Misalnya dibeli dari pekebun atau perusahaan perkebunan lainnya, sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 15 Undang-undang Nomor 18 tahun 2004 tentang Perkebunan.25

Izin Usaha Perkebunan ini sangat besar tujuan dan manfaatnya bagi pemerintah atau masyarakat, guna mengendalikan dan memasukkan persyaratan-persyaratan tertentu yang dapat menolong masyarakat dan pemerintah, seperti; persyaratan tentang Lingkungan Hidup dengan tujuan untuk mengamankan dan melestarikan fungsi lingkungan hidup;

25

Pasal 15 Ayat (1) Usaha perkebunan terdiri dari usaha budi daya tanaman perkebunan dan/atau Usaha industri pengolahan hasil perkebunan; ayat (2) Usaha budi daya tanaman perkebunan sebagaimana dimaksud ayat (1) merupakan serangkaian kegiatan pratanam, penanaman, pemeliharaan, tanaman, pemanenan dan sortasi; Ayat (3) Usaha industri pengolahan hasil perkebunan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan kegaiatan pengolahan yang bahan baku utamanya hasil perkebunan untuk memperoleh nilai tambah; Ayat (4) Industri Pengolahan hasil perkebunan merupakan pengolahan hasil perkebunan yang bahan bakunya karena menurut sifat dan karakteristiknya tidak dapat dipisahkan dengan usaha budi daya tanaman perkebunan terdiri dari gula pasir dari tebu, teh hitam dan teh hijau serta ekstraksi kelapa sawit; Ayat (5) Penambahan atau pengurangan jenis usaha industri pengolahan hasil perkebunan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah.


(48)

persyaratan adanya pengenaan pajak bagi negara dengan tujuan untuk biaya pembangunan, membuka lapangan pekerjaan dengan tujuan mensejahterakan masyarakat sebagaimana yang diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar tahun 1945 yang menginginkan agar seluruh masyarakat mendapat pekerjaan dan penghidupan yang layak; meningkatkan devisa, pembatasan kepemilikan tanah dan melarang untuk mengalihfungsikan tanah perkebunan, dan lain-lain.26 Sehingga tercapailah apa yang dimaksudkan dalam Pasal 3 Undang-undang Nomor 18 tahun 2004 tentang Perkebunan tadi.

Manfaat untuk pelestarian fungsi lingkungan hidup adalah, dengan adanya kewajiban bagi setiap pelaku usaha perkebunan untuk memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup dan melakukan pencegahan kerusakannya. Dan yang lebih penting adalah adanya kewajiban membuat Analisa Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (Amdal) sebelum dimulainya usaha perkebunan atau sebelum izin diperoleh maka pelaku usaha perkebunan harus lebih dahulu membuat Amdal pada lokasi kegiatan usaha perkebunan dimaksud atau upaya pengelolaan lingkungan

26

Pasal 3; Perkebunan diselenggarakan dengan tujuan : a. meningkatkan pendapatan masyarakat;

b. meningkatkan penerimaan negara; c. meningkatkan penerimaan devisa negara; d. menyediakan lapangan pekerjaan;

e. meningkatkan produktivitas, nilai tambah, dan daya saing;

f. memenuhi kebutuhan konsumsi dan bahan baku industri dalam negeri; dan g. mengoptimalkan pengelolaan sumber daya alam secara berkelanjutan.


(49)

hidup dan upaya pemantauan lingkungan hidup bagi yang hanya memiliki luasan tertentu, sehingga kepada pelaku usaha perkebunan hanya diberi kewajiban ini. Hal ini untuk memenuhi persyaratan izin sebagaimana yang disyaratkan dalam Pasal 25 Undang-undang Nomor 18 tahun 2004 tentang Perkebunan.27

Disamping itu adalah untuk melarang pelaku usaha perkebunan untuk mengalihfungsikan lahan perkebunan untuk peruntukan lainnya di luar sektor perkebunan sesuai dengan izin yang dimilikinya, sehingga terjadi pengurangan luasan minimum lahan perkebunan.28 Misalnya lahan perkebunan digunakan untuk pembangunan perumahan yang dijual ke masyarakat.

27

Pasal 25, menyebutkan :

(1) Setiap pelaku usaha perkebunan wajib memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup dan mencegah kerusakannya.

(2) Untuk mencegah kerusakan fungsi lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), sebelum memperoleh izin usaha perkebunan perusahaan perkebunan wajib :

a. Membuat analisis mengenai dampak lingkungan hidup atau upaya pemantauan lingkungan hidup. b. Memiliki analisis dan manajemen resiko bagi yang menggunakan hasil rekayasa genetik;

c. Membuat pernyataan kesanggupan untuk menyediakan sarana, prasarana, dan sistem tanggap darurat yang memadai untuk menanggulangi terjadinya kebakaran dalam pembukaan dan/atau pengolahan lahan

(3) Untuk memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup dan mencegah dan menanggulangi kerusakannya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), setelah memperoleh izin usaha perkebunan wajib menerapkan analisis mengenai dampak lingkungan hidup atau upaya pengelolaan lingkungan hidup dan upaya pemantauan lingkungan hidup dan/atau analisis dan manajemen resiko lingkungan hidup serta memantau penerapannya.

(4) Setiap perusahaan perkebunan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditolak permohonan izin usahanya.

(5) Setiap perusahaan perkebunan yang telah memperoleh izin usaha perkebunan tetapi tidak menerapkan analisis mengenai dampak lingkungan hidup atau upaya pengelolaan lingkungan hidup dan upaya pemantauan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dicabut izin usahanya.

28

Pasal 10 ayat (3) menyebutkan; Dilarang memindahkan hak atas tanah usaha perkebunan yang mengakibatkan terjadinya satuan usaha yang kurang dari luasan minimum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).


(50)

Dari persyaratan-persyaratan izin yang harus dipenuhi oleh pelaku usaha perkebunan akan menjadikan pemerintah sebagai pengendali dan yang bertanggung jawab lewat kebijakannya untuk mempertahankan suatu ekosistem yang baik dan bermanfaat bagi lingkungan yang sehat dan berkelanjutan.

2. Melanggar ketentuan yang berakibat pada kerusakan kebun dan/atau aset lainnya, menggunakan lahan perkebunan tanpa izin dan/atau tindakan lainnya yang mengakibatkan terganggunya usaha perkebunan

Sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 47 ayat (1) dan ayat (2) Undang-undang Nomor 18 tahun 2004 tentang Perkebunan,29 maka untuk dapat memenuhi unsur-unsur sebagai tindak pidananya adalah sebagai berikut :

1. Setiap orang;

2. Dengan sengaja melanggar larangan;

a. Melakukan tindakan yang berakibat pada kerusakan kebun dan/atau aset lainnya

29

Pasal 47 ayat (1) Setiap orang yang dengan sengaja melanggar larangan melakukan tindakan yang berakibat pada kerusakan kebun dan/atau asset lainnya, penggunaan lahan perkebunan tanpa izin dan/atau tindakan lainnya yang mengakibatkan terganggunya usaha perkebunan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000.- (lima miliar rupiah). Ayat (2) Setiap orang karena kelalaiannya melakukan tindakan yang berakibat pada kerusakan kebun dan/atau asset lainnya, penggunaan lahan perkebunan tanpa izin dan/atau tindakan lainnya yang mengakibatkan terganggunya usaha perkebunan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 diancam dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun 6 (enam) bulan dan denda paling banyak Rp. 2.500.000.000.- (dua miliar lima ratus juta rupiah).


(51)

b. Penggunaan lahan perkebunan tanpa izin dan/atau tindakan lainnya yang mengakibatkan terganggunya usaha perkebunan.

Tindakan lainnya yang mengakibatkan terganggunya usaha perkebunan berdasarkan penjelasan Pasal 21 Undang-undang Nomor 18 tentang Perkebunan antara lain; tindakan yang menganggu pekerja, sehingga tidak dapat melakukan panen atau pemeliharaan kebun sebagaimanan mestinya.

Menurut poin 2 huruf a ini, perbuatan tindak pidana dengan melakukan tindakan yang berakibat pada kerusakan kebun dan/atau aset lainnya masih dapat dibagi 2 (dua) yaitu; pertama; melakukan tindakan yang berakibat pada kerusakan kebun, yang mengakibatkan terganggunya usaha perkebunan.

kedua; melakukan tindakan yang berakibat pada kerusakan aset lainnya yang mengakibatkan terganggunya usaha perkebunan.

Yang dimaksud dengan aset lainnya disini adalah : yang berhubungan baik langsung ataupun tidak langsung dengan kegiatan usaha perkebunan, misalnya pagar pembatas, traktor, gedung dan lain-lain.

Di dalam unsur-unsur pidana pada poin 2 huruf b, maka penggunaan lahan perkebunan tanpa izin dan/atau tindakan lainnya masih ada 2 (dua) alternatif, yaitu, pertama; Penggunaan lahan perkebunan tanpa izin yang mengakibatkan terganggunya usaha


(52)

perkebunan dan kedua; tindakan lainnya tanpa izin yang mengakibatkan terganggunya usaha perkebunan.

Tindak pidana melangar larangan yang berakibat rusaknya kebun dan/atau assetnya, dan tindak pidana penggunaan lahan perkebunan (yang telah memperoleh izin) tanpa seizin pemilik usaha perkebunan sehingga mengakibatkan terganggunya usaha perkebunan., baik yang dilakukan secara sengaja dan/ataupun karena kelalaiannya yang berakibat rusaknya kebun dan/atau assetnya adalah suatu perbuatan tindak pidana yang dilakukan sipelaku tindak pidana yang berakibat terjadinya suatu kerusakan pada suatu rangkaian kegiatan usaha perkebunan, baik itu berakibat pada kerusakan sistem produksi, kerusakan pada hamparan lahan perkebunan, kerusakan pada sarana dan prasarana perkebunan, kerusakan pada sistem pengendali lingkungan, kerusakan pada budi daya tanaman perkebunan, kerusakan pada asset perkebunan, jadi harus terpenuhi unsur berakibat terjadinya

kerusakan kebun dan atau asset lainnya. Jika suatu tindakan itu tidak

berakibat pada kerusakan kebun dan/atau asset lainnya, maka tindakan si pelaku tidak memenuhi unsur sebagaimana maksud pasal ini. Jika perbuatan dimaksud secara sengaja dilakukan sehingga berakibat pada terjadinya kerusakan kebun dan/atau asset lainnya maka ancaman hukuman maksimal adalah 5 (lima) tahun penjara dengan denda maksimal Rp. 5.000.000.000.- (lima miliar rupiah). Namun jika perbuatan tersebut dilakukan tanpa kesengajaan, maka


(53)

sebagaimana dimaksud pada Pasal 47 ayat 2 (dua), ancaman hukuman maksimal adalah 2 (dua) tahun dengan denda maksimal Rp. 2.500.000.000.- (dua miliar lima ratus juta rupiah).

Unsur perbuatan tindak pidana; penggunaan lahan perkebunan tanpa seizin pemilik usaha perkebunan dan/atau tindakan lainnya sehingga mengakibatkan terganggunya usaha perkebunan. Di dalam perbuatan tindak pidana ini maka harus ada unsur; adanya tindakan penggunaan lahan tanpa seizin pelaku usaha perkebunan dan terganggunya usaha perkebunan. Jadi kedua unsur ini harus terpenuhi. Tindakan menggunakan lahan tanpa izin namun tidak berakibat terganggunya usaha perkebunan, maka ketentuan pasal ini tidak dapat dikenakan kepada si pelaku. Sebab harus ada dulu pembuktian bahwa benar-benar terjadi gangguan terhadap usaha perkebunannya. Perbuatan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (1) dan ayat (2) ini adalah untuk memenuhi maksud dari Pasal 21 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan.30

3. Membuka dan/atau mengolah lahan perkebunan dengan cara pembakaran yang berakibat pada terjadinya pencemaran dan perusakan fungsi lingkungan hidup

Suatu perusahaan yang telah memperoleh izin usaha perkebunan, lalu melanjutkan kegiatannya untuk membuka lahan dan

30

Pasal 21 berbunyi; Setiap orang dilarang melakukan tindakan yang berakibat pada kerusakan kebun dan/atau asset lainnya, penggunaan tanah perkebunan tanpa izin dan/atau tindakan lainnya yang mengakibatkan terganggunya usaha perkebunan.


(54)

atau mengolah lahan dimaksud dengan melakukan pembakaran yang berakibat terjadinya pencemaran dan kerusakan fungsi lingkungan hidup menurut Pasal 48 ayat (1) dan ayat (2) Undang-undang Nomor 18 tahun 2004, maka dalam hal ini harus dipenuhi dulu beberapa unsur dalam perbuatan tindak pidananya. Unsur-unsur dimaksud adalah : 1. Setiap orang

2. a. Dengan sengaja dan/atau karena kelalaiannya membuka lahan perkebunan dengan cara pembakaran

b. Dengan sengaja dan/atau karena kelalaiannya mengolah lahan perkebunan dengan cara pembakaran

3. Mengakibatkan pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup

Kriteria pencemaran lingkungan hidup menurut Pasal 1 angka 12 Undang-undang 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup adalah; masuknya atau dimasukkannya mahluk hidup, zat energi, dan/atau komponen lain kedalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehinga kualitasnya turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan hidup tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukannya; sedangkan Perusakan Lingkungan Hidup adalah : tindakan yang menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik dan/atau hayatinya yang mengakibatkan


(55)

lingkungan hidup tidak berfungsi lagi dalam menunjang pembangunan berkelanjutan.

Untuk memenuhi ketentuan tindak pidananya tadi maka,

pertama; pelakunya haruslah pelaku Usaha perkebunan, kedua;

adanya suatu aktivitas atau kegiatan pembukaan dan/atau pengolahan lahan, dan pengolahan lahan tersebut harus dilakukan dengan cara bakar dan baru terjadi pencemaran dan ketiga; adanya pencemaran dan kerusakan fungsi lingkungan hidup. Jika terjadi suatu kegiatan membuka dan/atau mengolah lahan, yang dilakukan dengan cara membakar yang berakibat pada pencemaran namun tidak berakibat pada kerusakan fungsi lingkungan hidup, atau suatu kegiatan membuka dan/atau mengolah lahan yang dilakukan dengan cara membakar yang hanya berakibat pada kerusakan fungsi lingkungan hidup maka, terhadap si pelaku tadi tidak dapat dikenakan ancaman pasal ini, sebab unsur-unsurnya tidak terpenuhi. Kalimat terjadinya

pencemaran dan kerusakan fungsi lingkungan hidup adalah satu kesatuan, tidak terpisah satu sama lainnya. Perbuatan tindak pidana

ini baru bisa dikenakan ancaman terhadap si pelaku jika memenuhi ketiga unsur tadi. Dan kepadanya dapat dikenakan ancaman hukuman maksimal 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp.10.000.000.000.- (sepuluh miliar rupiah) dan akan diperberat


(56)

dengan ancaman hukuman maksimal 15 (lima belas) tahun dan denda Rp. 15.000.000.000.- (lima belas miliar rupiah) jika berakibat pada matinya atau luka berat orang lain. Kemudian menurut Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2)31 jika kegiatan membuka dan/atau mengolah lahan perkebunan dengan cara pembakaran sehingga terjadinya pencemaran dan kerusakan fungsi lingkungan hidup disebabkan karena adanya unsur kelalaian maka hukuman dan denda maksimum diturunkan, yaitu, pidana penjara maksimal 3 (tiga) tahun dan denda maksimal Rp. 3.000.000.000,- (tiga miliar rupiah); dan apabila mengakibatkan orang mati atau luka berat maka ancaman hukuman pidana penjara maksimal 5 (lima) tahun dan denda Rp 5.000.000.000.- (lima miliar rupiah). Pasal 48 ayat (1), ayat (2) dan Pasal 49 ayat (1), ayat (2) ini adalah untuk memenuhi maksud dari Pasal 26 dari Undang-undang Nomor 18 tahun 2004 tentang Perkebunan.

4. Melakukan pengolahan, peredaran, dan/atau pemasaran hasil perkebunan yang melanggar larangan berupa :

a. Pemalsuan mutu dan/atau kemasan hasil perkebunan;

31

Setiap orang yang dengan sengaja membuka dan/atau mengolah lahan dengan cara pembakaran yang berakibat terjadinya pencemaran dan kerusakan fungsi lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26, diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda Rp. 10.000.000.000.- (sepuluh miliar rupiah). Ayat (2); Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mengakibatkan orang mati atau luka berat, pelaku diancam dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp. 15.000.000.000.- (lima belas miliar rupiah).


(57)

b. Menggunakan bahan penolong untuk usaha industri pengolahan hasil perkebunan;

c. Mencampur hasil perkebunan dengan benda atau bahan lain;

yang dapat membahayakan kesehatan dan keselamatan manusia, merusak fungsi lingkungan hidup, dan/atau menimbulkan persaingan usaha tidak sehat.

Untuk memenuhi unsur tindak pidana diatas, menurut Pasal 50 ayat (1), (2) Undang-undang Nomor 18 tahun 2004 tentang Perkebunan32 maka harus terjadi dulu kegiatan pengolahan, dan/atau pemasaran hasil perkebunan baik dengan kesengajaan atau karena kelalaiannya.

Adapun unsur-unsur dalam tindak pidananya adalah sebagai berikut :

32

Pasal 50 ayat (1); Setiap orang yang melakukan pengolahan, peredaran, dan/atau pemasaran hasil perkebunan dengan sengaja melanggar larangan :

a.memalsukan mutu dan/atau kemasan hasil perkebunan ;

b.menggunakan bahan penolong untuk usaha industri pengolahan hasil perkebunan, dan/atau c.mencampur hasil perkebunan dengan benda atau bahan lain;

yang dapat membahayakan kesehatan dan keselamatan manusia, merusak fungsi lingkungan hidup, dan/atau menimbulkan persaingan usaha tidak sehat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 diancam

dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 2.000.000.000.- (dua miliar rupiah). Ayat (2); Setiap orang yang melakukan pengolahan, peredaran, dan/atau pemasaran

hasil perkebunan karena kelalaiannya melanggar larangan; a.memalsukan mutu dan/atau kemasan hasil perkebunan ;

b.menggunakan bahan penolong untuk usaha industri pengolahan hasil perkebunan, dan/atau c.mencampur hasil perkebunan dengan benda atau bahan lain;

yang dapat membahayakan kesehatan dan keselamatan manusia, merusak fungsi lingkungan hidup, dan/atau menimbulkan persaingan usaha tidak sehat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 diancam

dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp. 1.000.000.000.- (satu miliar rupiah).


(58)

1. Setiap orang

2. Dengan sengaja dan/atau karena kelalaiannya; a. melakukan pengolahan, peredaran

b. Melakukan pemasaran hasil perkebunan Yang melanggar larangan;

a. Pemalsuan mutu dan/atau kemasan hasil perkebunan ;

b. Menggunakan bahan penolong untuk usaha industri pengolahan hasil perkebunan;

c. Mencampur hasil perkebunan dengan benda atau bahan lain

3. a. Yang dapat membahayakan kesehatan dan keselamatan manusia;

b. Yang dapat merusak fungsi lingkungan hidup

c. Yang dapat menimbulkan persaingan usaha tidak sehat.

Terhadap sipelaku tindak pidana yang karena disengaja melakukan tindak pidana menurut Pasal 50 ayat (1) Undang-undang Nomor 18 tahun 2004 tentang Perkebunan, dapat dikenakan ancaman hukuman maksimal 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 2.000.000.000.- (dua miliar rupiah), jika tindak pidana tersebut dilakukan menurut ayat (2) yaitu; karena ada unsur kelalaian maka, ancaman hukuman dimaksud maksimal menjadi 2 (dua) tahun dan


(1)

dan/atau mengolah lahan perkebunan dengan cara pembakaran yang berakibat terjadinya pencemaran dan kerusakan fungsi lingkungan hidup di lahan perkebunan sebagaimana disebut dalam Pasal 48 ayat (1) Pasal 50 Undang-undang Nomor 18 tahun 2004 tentang Perkebunan maka, para penegak hukum terutama PPNS Lingkungan Hidup dapat berinisiatif melakukan penyidikan terhadap sipelaku tindak pidana tersebut. Sebab, tindak pidana ini, masuk kategori tindak pidana lingkungan hidup sebagaimana disebut dalam Pasal 41 dan Pasal 43 ayat (1) dan ayat (2) Undang undang Nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.

2. Jika terjadi klaim dari PPNS Perkebunan atau PPNS Lingkungan

Hidup, dimana masing masing PPNS menyebutkan bahwa ke-2 (dua) tindak pidana ini adalah wewenangnya maka, peran Polri adalah sangat penting dan strategis untuk memanggil masing-masing ke-2 (dua) PPNS tersebut untuk bermusyawarah dan diberi pengertian kepada ke-2 (dua) PPNS tersebut. Apabila terjadi kebuntuan dimana masing-masing PPNS berpendapat bahwa tindak pidana dimaksud adalah wewenangnya berdasarkan undang-undang yang menjadi dasar kewenangan maka, Penyidik Polri dapat mengeluarkan suatu keputusan untuk menetapkan salah satu PPNS sebagai Penyidik


(2)

tindak pidana dimaksud. Dan ini dimungkinkan berdasarkan fungsinya sebagai koordinator dan pengawas seluruh PPNS.

Gunanya adalah : untuk menghindari terjadinya kemacetan dan tidak tertanganinya penyelidikan dan penyidikan terhadap si pelaku tindak pidana dimaksud. Disamping itu, guna tercapainya asas kepastian hukum.

3. Jika saling klaim berlanjut bahwa keputusan penetapan salah satu PPNS Perkebunan atau PPNS Lingkungan Hidup PPNS sebagai penyidik tindak pidana dimaksud tidak diterima oleh salah satu PPNS tersebut atau tanpa adanya dulu keputusan penetapan Penyidik Polri, maka, penyidik Polri dapat mengambil alih penyidikannya atau setidak-tidaknya membentuk Tim Penyidik yang diketuai Penyidik Polri dan PPNS Perkebunan, PPNS Lingkungan Hidup sebagai Anggota Tim Penyidik oleh karena Undang-undang Perkebunan dan Undang-undang Pengelolaan Lingkungan Hidup memberi kesempatan pertama kepada Penyidik Polri sebagai penyidik.

4. Jika keputuan membentuk Tim Penyidik tetap juga tidak diterima salah satu PPNS dimaksud dan tetap keberatan atas pengambilalihan sebagai penyidik oleh Polri atau keberatan atas pembentukan Tim Penyidik dimaksud maka, salah satu PPNS tersebut dapat menempuh jalur


(3)

Mahkamah Konstitusi dengan mengajukan permohonan secara tertulis, atas adanya sengketa kewenangan antar lembaga negara untuk menetapkan kewenangan siapa Penyidikan dimaksud.65 Gunanya adalah untuk memperoleh keputusan yang pasti dan final atas wewenang siapa sebenarnya diberikan penyidikannya.

65

Undang-undang Nomor; 24 tahun 2003, tentang Mahkamah Konstitusi,

Pasal 29 ayat (1); Permohonan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia oleh pemohon atau kuasanya kepada Mahkamah Konstitusi. Ayat (2); Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditandatangani oleh pemohon atau kuasanya dalam 12 (dua belas) rangkap.

Pasal 30 ayat b; Permohonan wajib dibuat dengan uraian yang jelas mengenai sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945


(4)

DAFTAR PUSTAKA

A. DAFTAR BUKU

Direktorat Jenderal Perkebunan, Rencana Strategis Direktorat Perlindungan

Perkebunan Tahun 2005-2009, Jakarta, 2005.

Hardjasoemantri Koesnadi, Hukum Tata Lingkungan, Yogyakarta, Gadjah Mada University Press, 2005.

Biro Pusat Statistik, Statistik Indonesia 2005/2006, Jakarta, Percetakan Biro Pusat Statistik, 2005

Departemen Kehutanan dan Perkebunan, Buku Pintar Penyuluh Kehutanan dan

Perkebunan, Jakarta, 2000.

Nasution Bismar, Kejahatan Korporasi dan Pertanggungjawabannya, Ceramah

Di jajaran Kepolisian Daerah Sumatera Utara, Medan, 2006.

Campbell Henhry, Black’s Law Dictionary, St.Paul, Minnesotta West Publishing Co., 1990.

Prodjodikoro Wirjono, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, Bandung, Erusco, 1998.

Ibrahim Johnny, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Surabaya, Bayu Media Publishing, 2006.

Soekanto Surjono dan Mamudji Sri, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan

Singkat, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1995.

Syahrin, Alvi, Pengaturan Hukum dan Kebijakan Pembangunan perumahan dan

pemukiman Berkelanjutan, Medan, Pustaka Bangsa Press, 2006.

Kansil, C.S.T, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta, Sinar Grafika, 2007.

Harahap M. Yahya, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP,


(5)

Saleh Chairul, ”Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan, Menuju Kepada Tiada

Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan”, Jakarta, Kencana

Prenada Media Group, 2005.

Samidjo, Ilmu Negara, Bandung, CV. Armico, 2002.

Hans Kelsen, Teori Umum Hukum dan Negara, Jakarta, 2007, Bee Media Indonesia, 2007

Hans Kelsen, Teori Hukum Murni, Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif, Bandung, Penerbit Nusa Media & Penerbit Nuansa, 2007

B. DAFTAR MAJALAH/ARTIKEL/KARYA ILMIAH

Biro Hubungan Masyarakat Sekretariat Jenderal Departemen Dalam Negeri,

Pembinaan dan Pemberdayaan Penyidik Pegawai Negeri Sipil Sesuai UU Nomor 32 tahun 2004, Jakarta, 2005

Departemen Hukum dan Hak Azasi Manusia Kantor Wilayah Sumatera Utara,

Undang-Undang Yang Menjadi Dasar Hukum Penyidik Pegawai Negeri Sipil, Medan, 2005.

Badan Pembinaan Hukum Nasional, Laporan Akhir Tim Analisis dan Evaluasi

Hukum Kewenangan PPNS Berdasarkan UU No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP, Jakarta, 2004.

C. DAFTAR PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Kitab Undang-undang Hukum Pidana.

Undang-undang Nomor 8 tahun 1981, tentang Hukum Acara Pidana.

Peraturan Pemerintah Nomor 27 tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang- undang Hukum Acara Pidana.

Petunjuk Teknis Nomor Polisi: Juknis / 16 /VII /1991 tentang Mekanisme Koordinasi dan Pengawasan Penyidik Pegawai Negeri Sipil.


(6)

Petunjuk Teknis Nomor Polisi: Juknis / 17 /VII/1991 tentang Proses Penyidikan Tindak Pidana oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil.

Petunjuk Pelaksanaan Nomor Polisi: Juklak / 27 / VII / 1991 tentang Hubungan Kerja Antara Penyidik Polri Dengan Penyidik Pegawai Negeri Sipil.

Undang-undang Nomor 23 Tahun 1977 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Undang-undang Nomor 43 tahun 1999 tentang Kepegawaian.

Peraturan Pemerintah Nomor 4 tahun 2001 tentang Pengendalian Kerusakan dan atau Pencemaran Lingkungan Hidup yang Berkaitan dengan Kebakaran Hutan dan atau Lahan.

Undang-undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia. Undang-undang Nomor 18 tahun 2004 tentang Perkebunan.

Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJM) Tahun 2004-2009.

Undang-undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Undang-undang Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.


Dokumen yang terkait

Peranan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Perpajakan dan Penyidik POLRI dalam Penanganan Tindak Pidana Perpajakan.

7 146 121

ANALISIS YURIDIS TENTANG PENYIDIKAN PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DALAM TINDAK PIDANA PENCURIAN KAYU DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI

0 4 17

PENULISAN HUKUM/SKRIPSI PERANAN PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DIREKTORAT PERANAN PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI DALAM PENYIDIKAN TINDAK PIDANA PENYELUNDUPAN DI KANTOR PELAYANAN UTAMA BEA DAN CUKAI TANJUNG PRIOK.

1 4 8

TINJAUAN YURIDIS KEWENANGAN PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI (PPNS DJBC) DALAM MELAKUKAN PENYIDIKAN TINDAK PIDANA PENYELUNDUPAN BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN.

0 3 1

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Koordinasi Kewenangan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Kehutanan dan Penyidik Polri dalam Penyidikan Tindak Pidana Kehutanan T1 312015707 BAB I

0 0 13

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Koordinasi Kewenangan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Kehutanan dan Penyidik Polri dalam Penyidikan Tindak Pidana Kehutanan T1 312015707 BAB II

1 3 32

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Koordinasi Kewenangan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Kehutanan dan Penyidik Polri dalam Penyidikan Tindak Pidana Kehutanan

0 0 17

FUNGSI KOORDINASI PENYIDIK POLISI DENGAN PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL KEHUTANAN DALAM PROSES PENYIDIKAN TINDAK PIDANA PEMBALAKAN LIAR | ERBABLEY | Legal Opinion 5663 18674 1 PB

0 0 9

Peranan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Perpajakan dan Penyidik POLRI dalam Penanganan Tindak Pidana Perpajakan.

0 0 29

PERANAN PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL (PPNS) PERPAJAKAN DAN PENYIDIK POLRI DALAM PENANGANAN TINDAK PIDANA PERPAJAKAN

0 1 12