PELAKSANAAN TUGAS DAN KEWENANGAN PENYIDIK POLRI DALAM MELAKUKAN PENYIDIKAN TINDAK PIDANA PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP (STUDI PENCEMARAN LIMBAH BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN DI PROVINSI LAMPUNG)

(1)

INVESTIGATORS IN CONDUCTING CRIME II\TVESTIGATI0N

oN

ENVIRONMENTAL MANAGEMENT

(POLLUTION STUDY OF HAZARDOUS AND TOXIC WASTES

IN LAMPUNG PROVINCE)

By:

Dayat Hadi Jaya

The difficulty of the police investigators in investigating environmental crime is caused by many

factors that cause environmental pollution and lack

of

professionalism

of

law enforcement officers. as well as the high financial costs. The problem in'this thesis is "how the duties and

authority" arrd what factors become obstacles for national police investigators in investigating environmental crime such as 83 waste pollution in Lampung province?"

The approach used in this study was through two approaches, namely: a juridical normative approach, the study of literature related to the problem. The next approach is empirical juridical approach to field research by looking at the reality.

The results showed that the duties and authorities of the police investigators in the investigation of criminal offenses in the form of environmental pollution 83 in Lampung Police jurisdiction

goes by according to the provisions in the Criminal Procedure Code (KUHAP), Law No. 2 in 2002 on

RI

police, and law

No.

32

in 2009

on the protection and management

of

the environment. but the implementation

of

the police investigators and PPNS-LH still have to coordinate for an expert witness with other government institutions in accordance with the fieid so it will take a long time and is not effrcient. The constraints in the investigation of 83 waste pollution is waste sampling of an industry is not easy, not simple proof material, inadequate

knowledge and skills of investigators in particular about the environment associated with the 83 waste pollution, inadequate infrastructure such as laboratories that make the workers was

difficult to classify the pollution that has occurred.

Technical guidelines should be made more clearly and firmly associated with the duties and

authority of investigation in particular against environmental crime between police investigators and PPNS-LH. Next for the police of Lampung province should send members or investigators for training and education, especially related to environmental crime.


(2)

ii

DALAM MELAKUKAN PENYIDIKAN TINDAK PIDANA PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP

(STUDI PENCEMARAN LIMBAH BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN DI PROVINSI LAMPUNG)

Oleh Dayat Hadi Jaya

Sulitnya penyidik Polri dalam melakukan penyidikan tindak pidana lingkungan hidup disebabkan oleh banyaknya faktor yang menjadi penyebab terjadinya pencemaran lingkungan dan lemahnya profesionalitas aparat penegak hukum, serta mahalnya biaya finansial. Permasalahan dalam tesis ini yaitu “Bagaimanakah pelaksanaan tugas dan kewenangan dan faktor apa saja yang menjadi kendala penyidik Polri dalam melakukan penyidikan tindak pidana lingkungan hidup berupa

pencemaran limbah B3 di Provinsi Lampung?”

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui dua pendekatan, yaitu: Pendekatan Yuridis Normatif berupa studi kepustakaan yang berkaitan dengan permasalahan. Selanjutnya Pendekatan Yuridis Empiris adalah pendekatan dengan penelitian lapangan dengan melihat kenyataan.

Hasil penelitian menunjukkan pelaksanaan tugas dan wewenang penyidik Polri dalam penyidikan tindak pidana lingkungan berupa pencemaran limbah B3 di wilayah hukum Polda Lampung berjalan berdasarkan sesuai ketentuan di dalam KUHAP, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI, dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Namun dalam pelaksanaannya Penyidik Polri dan PPNS-LH masih harus berkoordinasi untuk saksi ahli dengan instansi pemerintah lain sesuai dengan bidangnya sehingga membutuhkan waktu yang lama dan tidak efisien. Kendala dalam penyidikan tindak pencemaran limbah B3 adalah pengambilan sample limbah dari suatu industri tidak mudah, pembuktian materiil yang tidak sederhana, kurang memadainya pengetahuan dan keterampilan penyidik khususnya tentang lingkungan hidup terkait dengan pencemaran limbah B3, kurang memadainya sarana prasarana seperti laboratorium membuat petugas kesulitan dalam hal penggolongan pencemaran yang telah terjadi.

Hendaknya dibuat petunjuk teknis yang lebih jelas dan tegas terkait dengan tugas dan wewenang penyidikan khususnya terhadap tindak pidana lingkungan antara Penyidik Polri dengan PPNS-LH. Selanjutnya kepada Kepolisian Daerah Lampung hendaknya mengirimkan anggotanya atau penyidik untuk pelatihan dan pendidikan khususnya terkait dengan tindak pidana lingkungan

Kata Kunci: Tugas Kewenangan, Penyidik Polri, Tindak Pidana Lingkungan Hidup


(3)

(STUDI PENCEMARAN LIMBAH BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN DI PROVINSI LAMPUNG)

Oleh Dayat Hadi Jaya

Tesis

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar MAGISTER HUKUM

Pada

Program Studi Pascasarjana Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Lampung

PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2014


(4)

PELAKSANAAN TUGAS DAN KEWENANGAN PENYIDIK POLRI DALAM MELAKUKAN PENYIDIKAN TINDAK PIDANA PENGELOLAAN

LINGKUNGAN HIDUP

(STUDI PENCEMARAN LIMBAH BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN DI PROVINSI LAMPUNG)

(TESIS)

Oleh Dayat Hadi Jaya NPM 1222011052

PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2014


(5)

DAFTAR ISI

Halaman

LEMBAR PERNYATAAN ... i

ABSTRAK ... ii

LEMBAR PENGESAHAN ... iii

MOTTO ... v

PERSEMBAHAN ... vi

RIWAYAT HIDUP ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup... 6

C. Tujuan dan Kegunaan Penulisan ... 7

D. Kerangka Teoretis dan Konseptual ... 8

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Penyidikan, Penyidik, Tugas dan Kewenangannya secara Umum ... 16

B. Tugas dan Fungsi Kepolisian ... 26

C. Wewenang Penyidik Polri... 28

D. Tindak Pidana ... 35

E. Lingkungan Hidup ... 51

F. Tindak Pidana Lingkungan Hidup ... 56

III. METODE PENELITIAN A. Pendekatan Masalah... 62

B. Sumber dan Jenis Data ... 63

C. Penentuan Resonden ... 64

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data ... 64


(6)

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Pelaksanaan Tugas dan Kewenangan Penyidik Polri dalam Melakukan Penyidikan Tindak Pidana Lingkungan Hidup Berupa Pencemaran

Limbah B3 Di Provinsi Lampung ... 66 B. Faktor yang menjadi Kendala Penyidikan yang dilakukan Penyidik Polri

dalam melakukan Penyidikan Tindak Pidana Lingkungan Hidup berupa Pencemaran Limbah B3 di Provinsi Lampung ... 111 V. PENUTUP

A. Simpulan ... 117 B. Saran ... 118


(7)

2.

3.

Segala puji hanya untuk Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah

Ny4 sehingga penulis dapat

menyelesaikan tesis yang berjudul, "Pelaksanaan

Tugas dan Kewenangan Penyidik Polri dalam Melakukan Penyidikan Tindak

Pidana Pengelolaan Lingkungan Hidup (Studi Pencemaran Limbah Bahan

Berbahaya dan Beracun di Provinsi Lampung)". Pada kesempatan ini penulis sampaikan rasa terima kasih kepada:

1.

Bapak Prof. Dr.

Ir.

Sugeng P. Harianto, M.S. selaku Rektor Universitas Lampung.

Bapak Dr. Heryandi, S.H., M.S. selaku Dekan Fakultas Hukum Unila.

Bapak Dr. Khaidir Anwar, S.H., M.Hum. selaku Ketua Program dan Bapak

Dr.

Eddy Rifai, S.H., M.H., selaku Sekretaris Program pada Program Pascasarjana Program Magister Hukum Universitas Lampung.

Ibu Dr. Nikmah Rosidah, S.H., M.H. selaku Pembimbing Utama dan Bapak

Dr. Muhammad Akib, S.H., M.Hum. selaku Pembimbing Pendamping penulis yang sangat banyak membantu.

5.

Bapak Dr. Eddy Rifai, S.H., M.H. dan Bapak Dr. Maroni, S.H., M.H. selaku Penguji.

B*p"t, Ibu Dosen dan Staf Program Pascasadana Magister Hukum Fakultas

Hukum Universitas Lampung.

Semua teman-temanku angkatan 201212013 Program Pascasarjana Program

Studi Magister Hukum Universitas Lampung yang saya cintai dan semua pihak

4.

6.

7.


(8)

Semoga tesis inidapat memberikan manfaat bagi kita semua.

BandarLampung, Mei20l4

Penulis,

,l


(9)

1. Tim Penguji

Pembimbingl

Pembimbingll

Penguji

Penguji

Penguji

: Dr. Nikmah Rosidah, S.H., M.H.

: Dr. Muhammad Akib, S.H., M.Hum.

: Dr. Eddy Rifai, S.H., M.H. : Ilr.

Maroni, S.II.,

M.H.

: I)r. Erna l)ewi, S.H., M.H.

ff

tas Hukum

flyandi,

S.E,

M,q.

09 198703 1 003

tJ,fiAly, \

AS ,''4/,

sdq

EM

rffi

"//'cU-\"' 4//^$'n5tr

i

*'".f

d

I g-i

#J

rI iJ ML

\\ qffi

\.€]

\\

'auu

ur Program Pascasarjana

iarwo, M.S.

8 198103 1 002


(10)

Nama Mahasiswa Nomor Pokok Mahasiswa Program Kekhususan Program Studi

Fakultas

PembimbingUtarna,

Mu

Dr. Nikmah Rosidah, S.H.,lt{.E

Ntr

19s50106 198003 2 001

LINGKUNGAN HIDTIP

(Studi Pencemaran Limbah Bahan

Beracun Di Provinsi Lampung)

: Dayat

lladi Jaya

:

1222011052 : Hukum Pidana

Berbahaya Dan

Program Pascasarjana Magister Hukum

Hukum

MENYETUJUI

Dosen Pembimbing

Pembimbing Pendamping,

Dr" Muhammad Akib, S.IL,lVLHum.

NIP 19630915 198703 1 005

Hukum

MENGETAHUI

Ketua Program Pascasarjana i Magister Hqfuum Fakultas

war, S.H., M.Hum. s50314 198603 1 001

/6$rtrY5ffi


(11)

Dengan ini saya menyatakan dengan sebenarnya bahwa:

Tesis dengan judul Pelaksanaan Tugas dan Kewenangan penyidik polri dalam Melakukan Penyidikan Tindak pidana pengelolaan Lingkungan

Hidup (studi Pencemaran Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun di Provinsi Lampung) adalah karya saya sendiri dan saya tidak melakukan

penjiplakan atau pengutipan atas karya penulis lain dengan cara yang tidak

sesuai dengan tata etika ilmiah yang berlaku dalam masyarakat akademik atau yang disebut plagiarisme.

Hak intelektual aths karya ilmiah

ini

diserahkan sepenuhnya kepada Universitas Lampung.

Atas pernyataan ini, apabila di kernudian hari ternyata ditemukan adanya ketidak

benaran, saya bersedia menanggung akibat dan sanksi yang diberikan kepada say4

saya bersedia dan sanggup dituntut sesuai dengan hukum yang berlaku.

Bandar Lampung, Mei 2014 Pembuat Pernyataan,

t.

2.

Dayat Hadi Jaya


(12)

V

Kerusakan meluas di daratan dan lautan karena

perbuatan tangan manusia

Allah akan mengenakan sebagian siksa akibat dari

tindakan mereka, mestinya mereka sadar tidak

meneruskan dosanya kemudian bertobat


(13)

vi

PERSEMBAHAN

Tesis ini saya persembahkan untuk:

Ayahanda Hi. Diatma Oesman (Alm) dan Ibunda Hj. Rukmini (Alm). Isteriku tercinta Drg. Imra Mastuti dan Anak-anakku yang kubanggakan: Velia Putri Agustia, M. Fajar Ramadhan, dan Zerico Rifki Ramadhan yang selalu menjadi pelipur hati dan pendorong

se a gatku serta do’a ya u tuk keberhasila ku.


(14)

vii

Penulis dilahirkan di Metro pada tanggal 2 September 1965 yang merupakan anak ke-7 dari 8 bersaudara buah hati pasangan Hi. Diatma Oesman (Alm) dan Hj. Rukmini (Alm).

Penulis menempuh pendidikan Sekolah Dasar Negeri Nambah rejo Punggur, lulus tahun 1978. Sekolah Menengah Pertama Negeri Punggur, lulus tahun 1981. Sekolah Menengah Atas Negeri Kota Gajah, lulus tahun 1984. Pada tahun 1996 penulis mendapat gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Saburai. Pada tahun 2012 penulis diterima sebagai Mahasiswa pada Fakultas Hukum Program Studi Magister Hukum Universitas Lampung.


(15)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pengelolaan lingkungan termasuk pencegahan, penanggulangan kerusakan dan pencemaran serta pemulihan kualitas lingkungan telah menuntut dikembangkannya berbagai perangkat kebijakan dan program serta kegiatan yang didukung oleh sistem pendukung pengelolaan lingkungan lainnya. Sistem tersebut mencakup kemantapan kelembagaan, sumberdaya manusia dan kemitraan lingkungan, disamping perangkat hukum dan perundangan, informasi serta pendanaan. Keterkaitan dan keseluruhan aspek lingkungan telah memberi konsekuensi bahwa pengelolaan lingkungan, termasuk sistem pendukungnya tidak dapat berdiri sendiri, akan tetapi berintegrasi dengan seluruh pelaksanaan pembangunan.

Kegiatan pembangunan yang makin meningkat sebagai upaya peningkatan kesejahteraan hidup yang bertumpu pada pembangunan industri yang diantaranya memakai berbagai jenis bahan kimia dan zat radio aktif. Disamping menghasilkan produk yang bermanfaat bagi masyarakat, industrialisasi juga menimbulkan ekses, antara lain dihasilkannya limbah bahan berbahaya dan beracun (limbah B3), yang apabila dibuang kedalam media lingkungan hidup dapat mengancam lingkungan hidup, kesehatan, dan kelangsungan hidup manusia serta makhluk hidup lain.


(16)

Berbagai jenis limbah B3 yang dibuang langsung ke lingkungan merupakan sumber pencemaran dan perusakan lingkungan. Untuk menghindari terjadinya dampak akibat limbah B3 diperlukan suatu sistem pengelolaan yang terintegrasi dan berkesinambungan. Upaya pengelolaan limbah B3 tersebut merupakan salah satu usaha dalam pelaksanaan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup.

Sistem manajemen pengelolaan yang baik perlu diterapkan agar usaha tersebut dapat berjalan dengan baik pula, terutama pada sektor-sektor kegiatan yang sangat berpotensi menghasilkan limbah B3 seperti sektor Industri, rumah sakit dan pertambangan. Hal ini dapat dilaksanakan dengan memberlakukan peraturan perundang-undangan lingkungan hidup sebagai dasar dalam pelaksanaannya. Dengan diberlakukannya peraturan tersebut, maka hak, kewajiban dan kewenangan dalam pengelolaan limbah B3 oleh setiap orang/badan usaha maupun organisasi kemasyarakatan dijaga dan dilindungi oleh hukum.

Indonesia dengan wilayah negara yang luas tentu memiliki masalah lingkungan yang kompleks dan perlu mendapat perhatian serius. Terjadinya kerusakan dan pencemaran lingkungan di Indonesia akan membawa dampak terhadap kehidupan rakyat Indonesia bahkan juga rakyat negara tetangga kita. Lihatlah bagaimana Malaysia dan Singapura memprotes pemerintah Indonesia atas asap kebakaran hutan Indonesia yang datang ke wilayah negara tersebut. Pepohonan di hutan ditebang tanpa ada upaya menanam kembali, sumber daya mineral digali dan diserap sementara limbah pertambangan yang mengandung bahan berbahaya dan


(17)

beracun (B3) dibuang sesukanya, penangkapan ikan dengan cara meracuni atau sistem peledakan, sampah-sampah dibuang didaerah aliran air dan sebagainya.

Usaha menegakkan hukum lingkungan dewasa ini memang dihadapkan sejumlah kendala. Pertama, masih terdapat perbedaan persepsi antara aparatur penegak hukum dalam memahami dan memaknai peraturan perundang-undangan yang ada. Kedua, biaya untuk menangani penyelesaian kasus lingkungan hidup terbatas. Ketiga, membuktikan telah terjadi pencemaran atau perusakan lingkungan bukanlah pekerjaan mudah. Era reformasi dapat dipandang sebagai peluang yang kondusif untuk mencapai keberhasilan dalam penegakan hukum lingkungan.

Masalah pencemaran sungai khususnya oleh industri di Provinsi Lampung tampaknya merupakan masalah yang seakan tiada akhir. Dari waktu ke waktu, tahun ke tahun telinga kita seringkali mendengar teriakan penduduk khususnya yang bermukim disekitar daerah aliran sungai baik Way Seputih, Way Tulangbawang, Way Pangubuan, dan lain-lain. tentang matinya ikan-ikan di sungai, di kerambah, keluhan gatal-gatal pada kulit mereka setelah mandi di sungai, rusaknya daerah pertanian/sawah, dan lain-lain. Konon kabarnya dari dahulu masyarakat disana hampir tidak pernah mengalami hal seperti itu, namun semenjak kehadiran beberapa pabrik/industri, baik industri singkong/tapioka, gula, nanas, Crde Palm Oil (CPO), yang berarti minyak sawit mentah, seringkali air sungai mereka menjadi keruh dan berbusa dengan warna coklat kehitam-hitaman, belum lagi aroma bau tidak sedap yang terbawa angin yang biasanya berasal dari pabrik singkong menerpa pemukiman mereka sudah menjadi santapan sehari-hari. Dari catatan Walhi Lampung, selama kurun waktu 5 tahun terakhir


(18)

sedikitnya telah terjadi 9 kali kasus pencemaran oleh industri khususnya yang berada di Lampung Tengah, Tulang Bawang, Lampung Timur, Lampung Selatan dan Lampung Utara. Jumlah itu barangkali baru yang terungkap dan di ekspose oleh media, dibalik itu angkanya mungkin jauh lebih besar mengingat banyaknya jumlah industri yang tersebar di wilayah ini. Menurut sumber Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Lampung total jumlah industri di Provinsi Lampung adalah sebanyak 193 buah yang umumnya adalah berupa Agroindustri, di mana 160 buah merupakan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) dan 33 buah Penanaman Modal Asing (PMA), baik skala besar, menengah maupun kecil. Dari jumlah itu sebagian besar merupakan industri singkong/tapioka (33 buah), gula (6 buah), nanas, sawit/CPO, karet, dan yang kesemuanya itu bila pengelolaan lingkungannya dilakukan secara tidak hati-hati sangat berpotensi dan riskan sekali menimbulkan pencemaran lingkungan.1

Tragisnya setiap kali terjadi kasus pencemaran selama itu pula yang selalu menjadi korban adalah rakyat kecil/nelayan yang notabene hidupnya sangat tergantung dari apa apa yang bisa diberikan oleh sungai. Tragisnya lagi selama itu pula tidak ada satupun pihak yang merasa bersalah dan bertanggungjawab. Tidak perusahaan, tidak pemerintah, lantas siapa? Salah satu contoh pencemaraan lingkungan yang diduga akibat pembuangan limbah dari PT Sungai Mas Agung Abadi di Kabupaten Tulang Bawang Barat.2

Problem lingkungan hingga kini terus menjadi isu yang selalu aktual dan belum tertanggulangi, terlebih di era reformasi yang tak luput pula dari tuntutan

1

http://panisean.wordpress.com, diakses pada tanggal 26 Oktober 2013

2


(19)

demokratisasi dan transparansi. Dalam rangka mengantisipasi kian meluasnya dampak kontraproduktif terhadap lingkungan khususnya akibat perkembangan dunia industri yang pesat maka penegakan hukum di bidang lingkungan hidup menjadi mutlak diperlukan. Segenap stakeholders harus mempunyai tekad untuk memelihara lingkungan dari kemerosotan fungsi yang senantiasa mengancam kehidupan masa kini dan masa mendatang. Hukum lingkungan dengan demikian, mempunyai peran yang sangat urgen dalam membantu mewujudkan pembangunan berkelanjutan.

Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) sebagai institusi di luar Polri untuk membantu tugas-tugas kepolisian dalam melakukan penyidikan dengan tegas diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Pasal 94 ayat (1) mengatur bahwa:

Selain penyidik pejabat polisi Negara Republik Indonesia, pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan instansi pemerintah yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup diberi wewenang sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Hukum Acara Pidana untuk melakukan penyidikan tindak pidana lingkungan hidup.

Ketentuan pada Pasal 94 ayat (1) seharusnya memberi batasan secara jelas tentang pihak yang berwenang untuk melakukan penyidikan sengketa lingkungan hidup, sehingga tidak menimbulkan sengketa kewenangan diantara Polri dan PPNS. Hal ini juga bisa dalam penjelasan ketentuan tersebut, dimana dalam penjelasannya di katakan cukup jelas. Tetapi justru ketentuan yang ada dalam Pasal 94 ayat (1) menimbulkan multitafsir (tidak jelas).


(20)

Berdasarkan hal tersebut di atas maka penulis tertarik untuk membahas permasalahan Polri dalam melakukan penyidikan tindak pidana lingkungan hidup

yang diberjudul “Pelaksanaan Tugas dan Kewenangan Penyidik Polri dalam Melakukan Penyidikan Tindak Pidana Pengelolaan Lingkungan Hidup (Studi Pencemaran Limbah B3 di Provinsi Lampung)”.

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup

1. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang yang diuraikan di atas, yang menjadi masalah dalam penelitian ini adalah:

a. Bagaimanakah pelaksanaan tugas dan kewenangan penyidik Polri dalam melakukan penyidikan tindak pidana lingkungan hidup berupa pencemaran limbah B3 di Provinsi Lampung?

b. Faktor apa sajakah yang menjadi kendala penyidikan yang dilakukan penyidik polri dalam melakukan penyidikan tindak pidana lingkungan hidup berupa pencemaran limbah B3 di Provinsi Lampung?

2. Ruang Lingkup

Ruang lingkup penelitian ini meliputi kajian yang berkenaan dengan Hukum Pidana terutama mengenai kajian-kajian yang berhubungan dengan pelaksanaan tugas dan kewenangan penyidik Polri serta faktor yang menjadi kendala penyidik Polri dalam melakukan penyidikan tindak pidana lingkungan hidup berupa pencemaran limbah B3. Penelitian dilakukan di wilayah hukum Polda Lampung selama tahun 2011 sampai dengan tahun 2013.


(21)

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Penelitian bertujuan untuk:

a. Menganalisis pelaksanaan tugas dan kewenangan penyidik Polri dalam melakukan penyidikan tindak pidana lingkungan hidup berupa pencemaran limbah B3 di wilayah hukum Polda Lampung.

b. Menganalisis faktor-faktor yang menjadi kendala penyidikan yang dilakukan penyidik polri dalam melakukan penyidikan tindak pidana lingkungan hidup berupa pencemaran limbah B3 di wilayah hukum Polda Lampung.

2. Kegunaan Penelitian

a. Kegunaan teoritis

Secara teoritis hasil penelitian ini dapat digunakan untuk memperkaya teori hukum pidana mengenai penyidikan tindak pidana lingkungan hidup berupa pencemaran limbah B3.

b. Kegunaan praktis

1) Bagi masyarakat, hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan masukan mengenai arti penting lingkungan yang sehat dan memberikan pertimbangan agar tidak melakukan melakukan pencemaran lingkungan. 2) Bagi Polri, hasil penelitian ini dapat bermanfaat sebagai masukan dalam

penyidikan tindak pidana lingkungan hidup berupa pencemaran limbah B3 dan pembuktian terhadap tindak pidana lingkungan tersebut.


(22)

3) Bagi peneliti lain yang meneliti topik sejenis, hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai sumber informasi dan bahan pembanding yang dapat melengkapi hasil penelitiannya .

D. Kerangka Teoretis dan Konseptual

1. Kerangka Teoretis

Landasan berpijak untuk menjawab permasalahan menggunakan teori-teori berikut:

a. Teori Kewenangan

Literatur ilmu politik, ilmu pemerintahan, dan ilmu hukum sering ditemukan istilah kekuasaan, kewenangan, dan wewenang. Kekuasaan sering disamakan begitu saja dengan kewenangan, dan kekuasaan sering dipertukarkan dengan istilah kewenangan, demikian pula sebaliknya. Bahkan kewenangan sering disamakan juga dengan wewenang. Kekuasaan biasanya berbentuk hubungan

dalam arti bahwa “ada satu pihak yang memerintah dan pihak lain yang diperintah” (the rule and the ruled).3

Berdasarkan pengertian tersebut di atas, dapat terjadi kekuasaan yang tidak berkaitan dengan hukum. Kekuasaan yang tidak berkaitan dengan hukum oleh

Henc van Maarseven disebut sebagai “blote match”,4 sedangkan kekuasaan yang berkaitan dengan hukum oleh Max Weber disebut sebagai wewenang rasional atau legal, yakni wewenang yang berdasarkan suatu sistem hukum ini dipahami

3

Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1998, hlm. 35-36.

4

Suwoto Mulyosudarmo, Kekuasaan dan Tanggung Jawab Presiden Republik Indonesia, Suatu Penelitian Segi-Segi Teoritik dan Yuridis Pertanggungjawaban Kekuasaan, Universitas Airlangga, Surabaya, 1990, hlm. 30


(23)

sebagai suatu kaidah-kaidah yang telah diakui serta dipatuhi oleh masyarakat dan bahkan yang diperkuat oleh Negara.5 Dalam hukum publik, wewenang berkaitan dengan kekuasaan.6 Kekuasaan memiliki makna yang sama dengan wewenang karena kekuasaan yang dimiliki oleh Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif adalah kekuasaan formal.

Kekuasaan merupakan inti dari penyelenggaraan negara agar negara dalam keadaan bergerak (de staat in beweging) sehingga Negara itu dapat berkiprah, bekerja, berkapasitas, berprestasi, dan berkinerja melayani warganya. Oleh karena itu negara harus diberi kekuasaan. Kekuasaan menurut Miriam Budiardjo adalah kemampuan seseorang atau sekelompok orang manusia untuk mempengaruhi tingkah laku seseorang atau kelompok lain sedemikian rupa sehingga tingkah laku itu sesuai dengan keinginan dan tujuan dari orang atau Negara.7 Agar kekuasaan dapat dijalankan maka dibutuhkan penguasa atau organ sehingga Negara itu dikonsepkan sebagai himpunan jabatan-jabatan (een ambten complex) di mana jabatan-jabatan itu diisi oleh sejumlah pejabat yang mendukung hak dan kewajiban tertentu berdasarkan konstruksi subyek-kewajiban.8 Dengan demikian kekuasaan mempunyai dua aspek, yaitu aspek politik dan aspek hukum, sedangkan kewenangan hanya beraspek hukum semata. Artinya, kekuasaan itu dapat bersumber dari konstitusi, juga dapat bersumber dari luar konstitusi (inkonstitusional), misalnya melalui kudeta atau perang, sedangkan kewenangan jelas bersumber dari konstitusi.

5

A. Gunawan Setiardja, Dialektika Hukum dan Moral dalam Pembangunan Masyarakat Indonesia, Kanisius, Yogyakarta, 1990, hlm. 52.

6

Philipus M. Hadjon, Tentang Wewenang, Makalah, Universitas Airlangga, Surabaya, tanpa tahun, hlm. 1

7

Miriam Budiardjo, Op.Cit, hlm. 35

8


(24)

Kewenangan sering disejajarkan dengan istilah wewenang. Istilah wewenang digunakan dalam bentuk kata benda dan sering disejajarkan dengan istilah

bevoegheid” dalam istilah hukum Belanda. Menurut Phillipus M. Hadjon, jika dicermati ada sedikit perbedaan antara istilah kewenangan dengan istilah

bevoegheid”. Perbedaan tersebut terletak pada karakter hukumnya. Istilah

bevoegheid” digunakan dalam konsep hukum publik maupun dalam hukum

privat. Dalam konsep hukum kita istilah kewenangan atau wewenang seharusnya digunakan dalam konsep hukum publik.9

Ateng syafrudin berpendapat ada perbedaan antara pengertian kewenangan dan wewenang.10 Kita harus membedakan antara kewenangan (authority, gezag)

dengan wewenang (competence, bevoegheid). Kewenangan adalah apa yang disebut kekuasaan formal, kekuasaan yang berasal dari kekuasaan yang diberikan oleh undang-undang, sedangkan wewenang hanya mengenai suatu “onderdeel

(bagian) tertentu saja dari kewenangan. Di dalam kewenangan terdapat wewenang-wewenang (rechtsbe voegdheden). Wewenang merupakan lingkup tindakan hukum publik, lingkup wewenang pemerintahan, tidak hanya meliputi wewenang membuat keputusan pemerintah (bestuur), tetapi meliputi wewenang dalam rangka pelaksanaan tugas, dan memberikan wewenang serta distribusi wewenang utamanya ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan. Secara

9

Phillipus M. Hadjon, Op.Cit, hlm. 20.

10

Ateng Syafrudin, Menuju Penyelenggaraan Pemerintahan Negara yang Bersih dan Bertanggung Jawab, Jurnal Pro Justisia Edisi IV, Universitas Parahyangan, Bandung, 2000, hlm. 22.


(25)

yuridis, pengertian wewenang adalah kemampuan yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan untuk menimbulkan akibat-akibat hukum.11

b. Teori Penegakan Hukum Pidana

Teori Penegakan Hukum Pidana oleh Joseph Goldstein. Upaya penegakan hukum pidana menurut Joseph Goldstein dapat dibedakan menjadi 3 (tiga) yaitu:12

1) Total Enforcement (penegakan hukum sepenuhnya)

Yakni ruang lingkup penegakan hukum pidana substantif (substantive law of crime). Penegakan hukum pidana secara total ini tidak mungkin dilakukan, sebab para penegak hukum dibatasi secara ketat oleh hukum acara pidana yang antara lain mencakup aturan-aturan penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, dan pemeriksaan pendahuluan. Di samping itu mungkin terjadi hukum pidana substantif sendiri memberikan batasan-batasan, misalnya dibutuhkan aduan terlebih dahulu sebagai syarat penuntutan pada delik aduan. Ruang lingkup yang dibatasi ini disebut Area of no Enforcement (area di mana penegakan hukum pidana tidak dapat dilakukan sepenuhnya). Setelah ruang lingkup penegakan hukum yang bersifat total tersebut dikurangi Area of no Enforcement, muncul bentuk penegakan hukum pidana yang kedua, yakni Full Enforcement.

2) Full Enforcement (penegakan hukum secara penuh)

Penegak hukum diharapkan menegakkan hukum secara maksimal, akan tetapi oleh Goldstein harapan itu dianggap tidak mungkin dilaksanakan secara penuh, sebab adanya keterbatasan-keterbatasan dalam bentuk waktu, personil, alat-alat investigasi, dana, yang kesemuanya mengakibatkan keharusan dilakukan diskresi.

3) Actual Enforcement

Merupakan area yang dapat ditegakkan oleh hukum pidana, melihat pada kenyataannya bahwa peristiwa tersebut melibatkan banyak orang dalam hal ini para pengusaha maupun masyarakat.

Bagi indonesia, pembangunan nasional yang diselenggarakan adalah mengikuti pola pembangunan berkelanjutan yang diakomodasi dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 ayat (3). Ketentuan tersebut memberikan dasar hukum bagi

11

Indroharto, Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik, dalam Paulus Efendie Lotulung, Himpunan Makalah Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik, Citra Aditya Bakti, Bandung: 1994, hlm. 65.

12

Muladi. Menjamin Kepastian Ketertiban Penegakan dan Pelindungan Hukum dalam era Globalisasi. Jurnal Keadilan, 2001, hlm. 28.


(26)

penyelenggaraan pengelolaan linkungan hidup yang bertujuan melestarikan kemampuan lingkungan hidup agar dapat menunjang kesejahteraan dan mutu hidup generasi mendatang.13 Namun tidah hanya diamantkan dari satu pasal saja terdapat pasal lain diantaranya Pasal 28H Undang-Undang Dasar 1945 menjelaskan bahwa lingkungan hidup yang baik dana sehat merupakan hak asasi warga negara Indonesia. Berdasarkan Pasal Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup:

“Sengketa lingkungan hidup adalah perselisihan antara dua pihak atau lebih yang

timbul dari kegiatan yang berpotensi dan/atau telah berdampak pada lingkungan

hidup.”

Hukum pidana memainkan peranan dalam upaya penegakan hukum lingkungan, walaupun beban yang ditimpakan pada hukum pidana tidak melebihi kapasitas yang dimilikinya, karena dalam upaya penegakan hukum lingkungan sangat tergantung pada berbagai faktor yang hampir tidak ada dipahami dalam keseluruhanya.14 Dari keberadaan perkembangan pemikiran tentang teori-teori hukum pidana, maka terdapat beberapa asas yang disepakati oleh para penulis atau pakar hukum pidana, yaitu asas legalitas (The Principle of Legality) yang bersifat preventif umum, asas kesamaan, asas proporsionalitas, asas publisitas dan asas subsidaritas , serta asas baru dalam UUPPLH yaitu asas ultimum remedium.15

Konsep asas subsidaritas sangat tidak jelas dan kabur sekali untuk dipedomani dalam tataran aplikatif dan juga dianggap sebagai kelemahan penerapan

13

Yayasan Bantuan Hukum Indeonesia dan AusAID 2006, Panduan Bantuan Hukum di Indonesia, Jakarta, 2006, hlm 214.

14

Syahrul Machmud, Problematika Penerapan Delik Formil Dalam Perspektif Penegakan Hukum Pidana Lingkungan Di Indonesia, Indonesia,Mandar Maju, Bandung, 2012, hlm120.

15


(27)

penyelesaian sengketa pidana UUPPLH dalam melaksanakan fungsinya. Penafsiran tersebut dapat dipertegas bahwa, pertama pendayagunaan hukum pidana disandarkan pada tidak efektifnya hukum administrasi dan hukum perdata dan alternatif penyelesaian sengketa. Pemaknaan kedua, hukum pidana dapat langsung didayagunakan bila tingkat kesalahan pelaku relatif berat, dan/atau akibat perbuatanya menimbulkan keresahan masyarakat.16

c. Teori faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum

Faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan penegakan hukum pidana merupakan teori berikutnya yang digunakan sebagai salah satu saran a perlindungan masyarakat akan menjadi faktor penghambat bila tidak ada atau tidak berfungsi dengan baik, faktor tersebut adalah:17

1) Faktor hukumnya sendiri.

2) Faktor penegakan hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun yang menerapkan hukum.

3) Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum. 4) Faktor masyarakat yakni lingkungan dimana hukum tersebut

berlaku atau diterapkan.

5) Faktor kebudayaan yakni didasarkan sebagai hasil karya, cipta dan rasa sang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.

2. Konseptual

Istilah yang digunakan dalam penulisan tesis ini dirumuskan dalam pengertian-pengertian sebagai berikut:

a. Kewenangan adalah apa yang disebut kekuasaan formal, kekuasaan yang berasal dari kekuasaan yang diberikan oleh undang-undang, sedangkan

wewenang hanya mengenai suatu “onderdeel” (bagian) tertentu saja dari

16

Syahrul Machmud, Ibid, hlm. 129.

17

Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Rajawali, Jakarta, 1983, hlm. 5.


(28)

kewenangan. Di dalam kewenangan terdapat wewenang-wewenang (rechtsbe voegdheden). Wewenang merupakan lingkup tindakan hukum publik, lingkup wewenang pemerintahan, tidak hanya meliputi wewenang membuat keputusan pemerintah (bestuur), tetapi meliputi wewenang dalam rangka pelaksanaan tugas, dan memberikan wewenang serta distribusi wewenang utamanya ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.18

b. Penyidik adalah Penyidik adalah pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan. (Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002)

c. Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. (Pasal 1 angka 2 KUHAP)

d. Polisi adalah merupakan alat negara yang bertugas memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, memberikan pengayoman, dan memberikan perlindungan kepada masyarakat.19 Dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 ayat (1) dijelaskan bahwa Kepolisian adalah segala hal-ihwal yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga polisisesuai dengan peraturan perundang-undangan. Istilah kepolisian dalam undang-undang ini mengandung dua pengertian, yakni fungsi polisi danlembaga polisi. Dalam Pasal 2 Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, fungsi kepolisian sebagai salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan

18

Ateng Syafrudin, Op.Cit, hlm. 23

19

Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum suatu Tinjauan Sosiologis, Genta Publishing, Yogyakarta, 2009, hlm. 111.


(29)

keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, pelindung, pengayom dan pelayan kepada masyarakat. Sedangkan lembaga kepolisian adalah organ pemerintah yang ditetapkan sebagai suatu lembaga dan diberikan kewenangan menjalankan fungsinya berdasarkan peraturan perundang-undangan.20

e. Tindak pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana yang disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut.21

f. Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan, dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain. (Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup)

g. Bahan berbahaya dan beracun yang selanjutnya disingkat B3 adalah zat, energi, dan/atau komponen lain yang karena sifat, konsentrasi, dan/atau jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung, dapat mencemarkan dan/atau merusak lingkungan hidup, dan/atau membahayakan lingkungan hidup, kesehatan, serta kelangsungan hidup manusia dan makhluk hidup lain. (Pasal 1 angka 21 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009)

20

Sadjijono, Memahami Beberapa Bab Pokok Hukum Administrasi Negara, Laks Bang Pressindo, Jogyakarta, 2008, hlm. 52-53.

21


(30)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Penyidikan, Penyidik, Tugas dan Kewenangannya secara Umum

1. Pengertian Penyidikan

Penyidikan merupakan tahapan penyelesaian perkara pidana setelah penyelidikan yang merupakan tahapan permulaan mencari ada atau tidaknya tindak pidana dalam suatu peristiwa. Ketika diketahui ada tindak pidana terjadi, maka saat itulah penyidikan dapat dilakukan berdasarkan hasil penyelidikan. Pada tindakan

penyelidikan, penekanannya diletakkan pada tindakan “mencari dan menemukan” suatu “peristiwa” yang dianggap atau diduga sebagai tindakan pidana. Sedangkan

pada penyidikan titik berat penekanannya diletakkan pada tindakan “mencari serta

mengumpulkan bukti”. Penyidikan bertujuan membuat terang tindak pidana yang

ditemukan dan juga menentukan pelakunya. Pengertian penyidikan tercantum dalam Pasal 1 butir 2 KUHAP yakni dalam Bab I mengenai Penjelasan Umum, yaitu:

“Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara

yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang pidana yang terjadi dan guna


(31)

Berdasarkan rumusan Pasal 1 butir 2 KUHAP, unsur-unsur yang terkandung dalam pengertian penyidikan adalah:

a. Penyidikan merupakan serangkaian tindakan yang mengandung tindakan- tindakan yang antara satu dengan yang lain saling berhubungan;

b. Penyidikan dilakukan oleh pejabat publik yang disebut penyidik;

c. Penyidikan dilakukan dengan berdasarkan peraturan perundang-undangan. d. Tujuan penyidikan ialah mencari dan mengumpulkan bukti, yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana yang terjadi, dan menemukan tersangkanya.

Berdasarkan keempat unsur tersebut sebelum dilakukan penyidikan, telah diketahui adanya tindak pidana tetapi tindak pidana itu belum terang dan belum diketahui siapa yang melakukannya. Adanya tindak pidana yang belum terang itu diketahui dari penyelidikannya.22

2. Pengertian Penyidik

Penyidik menurut Pasal 1 butir ke-1 KUHAP adalah pejabat polisi Negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan. KUHAP lebih jauh lagi mengatur tentang penyidik dalam Pasal 6, yang memberikan batasan pejabat penyidik dalam proses pidana. Adapun batasan pejabat dalam tahap penyidikan tersebut adalah pejabat penyidik POLRI dan Pejabat penyidik negeri sipil.

Penyidik pembantu selain diatur dalam Pasal 1 butir ke 1 KUHAP dan Pasal 6 KUHAP, terdapat lagi Pasal 10 yang mengatur tentang adanya penyidik pembantu

22

Adami Chazawi, Hukum Pidana Materiil dan Formil Korupsi di Indonesia, Bayumedia Publishing, Malang, 2005, hlm.380-381.


(32)

disamping penyidik.23 Untuk mengetahui siapa yang dimaksud dengan orang yang berhak sebagai penyidik ditinjau dari segi instansi maupun kepangkatan, ditegaskan dalam Pasal 6 KUHAP. Dalam pasal tersebut ditentukan instansi dan kepangkatan seorang pejabat penyidik. Bertitik tolak dari ketentuan Pasal 6 KUHAP yang dimaksud, yang berhak diangkat sebagai pejabat penyidik antara lain adalah:

a. Pejabat Penyidik Polri

Agar seorang pejabat kepolisian dapat diberi jabatan sebagai penyidik, maka harus memenuhi syarat kepangkatan sebagaimana hal itu ditegaskan dalam Pasal 6 ayat (2) KUHAP. Menurut penjelasan Pasal 6 ayat (2), kedudukan dan kepangkatan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah, diselaraskan dan diseimbangkan dengan kedudukan dan kepangkatan penuntut umum dan hakim peradilan umum. Peraturan Pemerintah yang mengatur masalah kepangkatan penyidik adalah berupa PP Nomor 27 Tahun 1983. Syarat kepangkatan dan pengangkatan pejabat penyidikan antara lain adalah sebagai berikut:

1) Pejabat Penyidik Penuh

Pejabat polisi yang dapat diangkat sebagai pejabat “penyidik penuh”, harus memenuhi syarat-syarat kepangkatan dan pengangkatan,yaitu:

a. Sekurang-kurangnya berpangkat Pembantu Letnan Dua Polisi;

b. Atau yang berpangkat bintara dibawah Pembantu Letnan Dua apabila dalam suatu sektor kepolisian tidak ada pejabat penyidik yang berpangkat Pembantu Letnan Dua;

c. Ditunjuk dan diangkat oleh Kepala Kepolisian Republik Indonesia

23

M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP, Penyidikan dan Penuntutan, cet VII, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 110.


(33)

2) Penyidik Pembantu

Pasal 10 KUHAP menentukan bahwa Penyidik Pembantu adalah Pejabat Kepolisan Negara Republik Indonesia yang diangkat oleh Kepala Kepolisian Negara menurut syarat-syarat yang diatur denganperaturan pemerintah.24 Pejabat

polisi yang dapat diangkat sebagai “penyidik pembantu” diatur didalam Pasal 3

Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 jo. Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2010. Menurut ketentuan ini, syarat kepangkatan untuk dapat diangkat sebagai pejabat penyidik pembantu:25

a. Sekurang-kurangnya berpangkat Sersan Dua Polisi;

b. Atau pegawai negeri sipil dalam lingkungan Kepolisian Negara dengan syarat sekurang-kurangnya berpangkat Pengatur Muda (Golongan II/a); c. Diangkat oleh Kepala Kepolisian Republik Indonesia atas usul komandan

atau pimpinan kesatuan masing-masing.

b) Penyidik Pegawai Negeri Sipil

Penyidik Pegawai Negeri Sipil diatur dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b KUHAP, yaitu pegawai negeri sipil yang mempunyai fungsi dan wewenang sebagai penyidik. Pada dasarnya, wewenang yang mereka miliki bersumber pada undang-undang pidana khusus, yang telah menetapkan sendiri pemberian wewenang penyidikan pada salah satu pasal.26 Wewenang penyidikan yang dimiliki oleh pejabat pegawai negeri sipil hanya terbatas sepanjang yang menyangkut dengan tindak pidana yang diatur dalam undang-undang pidana khusus itu. Hal ini sesuai dengan pembatasan wewenang yang disebutkan dalam Pasal 7 ayat (2) KUHAP

24

Nico Ngani, I Nyoman Budi Jaya; Hasan Madani, Mengenal Hukum Acara Pidana, Bagian Umum Dan Penyidikan . Liberty, Yogyakarta, hlm. 19

25

M.Yahya Harahap. Op.Cit, hlm. 111-112

26


(34)

yang berbunyi: “Penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud Pasal 6

ayat (1) huruf b mempunyai wewenang sesuai dengan undang-undang yang menjadi landasan hukumnya masing-masing dan dalam pelaksanaan tugasnya

berada dibawah koordinasi dan pengawasan penyidik Polri”

3. Tugas dan Kewenangan penyidikan yang ditentukan di dalam KUHAP

Yang berwenang melakukan penyidikan dicantumkan dalam Pasal 6 KUHAP, namun pada praktiknya, sekarang ini terhadap beberapa tindak pidana tertentu ada penyidik-penyidik yang tidak disebutkan di dalam KUHAP. Untuk itu pada subbab ini akan dipaparkan siapa sajakah penyidik yang disebutkan di dalam KUHAP dan siapa saja yang juga yang merupakan peyidik namun tidak tercantum di dalam KUHAP. Adapun tugas penyidik itu sendiri antara lain adalah: Pertama, membuat berita acara tentang pelaksanaan tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 KUHAP. (Pasal 8 ayat (1) KUHAP) Kedua, menyerakan ber kas perkara kepada penuntut umum. (Pasal 8 ayat (2) KUHAP), Ketiga, penyidik yang mengetahui, menerima laporan atau pengaduan tentang terjadinya suatu peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana korupsi wajib segera melakukan penyidikan yang diperlukan (Pasal 106 KUHAP), Keempat, menyerahkan tanggung jawab atas tersangka dan barang bukti kepada penuntut umum (Pasal 8 ayat (3) KUHAP), Kelima, dalam hal penyidik telah mulai melakukan penyidikan suatu peristiwa yang merupakan tindak pidana, penyidik memberitahukan hal tersebut kepada penuntut umum. (Pasal 109 ayat (1) KUHAP), Keenam, wajib segera menyerahkan berkas perkara penyidikan kepada penuntut umum, jika penyidikan dianggap telah selesai. (Pasal 110 ayat (1) KUHAP). Ketujuh, dalam


(35)

hal penuntut umum mengembalikan hasil penyidikan untuk dilengkapi, penyidik wajib segera melakukan penyidikan tambahan sesuai dengan petunjuk dari penuntut umum (Pasal 110 ayat (3) KUHAP), Kedelapan, setelah menerima penyerahan tersangka, penyidik wajib melakukan pemeriksaan dan tindakan lain dalam rangka penyidikan (Pasal 112 ayat (2) KUHAP), Kesembilan, Sebelum dimulainya pemeriksaan, penyidik wajib memberitahukan kepada orang yang disangka melakukan suatu tindak pidana korupsi, tentang haknya untuk mendapatkan bantuan hukum atau bahwa ia dalam perkaranya itu wajib didampingi oleh penasihat hukum (Pasal 114 KUHAP), Kesepuluh, wajib memanggil dan memeriksa saksi yang menguntungkan bagi tersangka (Pasal 116 ayat (4) KUHAP), Kesebelas , wajib mencatat dalam berita acara sesuai dengan kata yang dipergunakan oleh tersangka (Pasal 117 ayat (2) KUHAP), Keduabelas, wajib menandatangani berita acara pemeriksaan tersangka dan atau

saksi, setelah mereka menyetuji isinya (Pasal 118 ayat (2) KUHAP), Ketigabelas, dalam hal tersangka ditahan dalam waktu satu hari setelah perintah penahanan dijalankan, penyidik harus mulai melakukan pemeriksaan (Pasal 122 KUHAP), Keempatbelas, dalam rangka melakukan penggeledahan rumah, wajib terlebih

dahulu menjukkan tanda pengenalnya kepada ter sangka atau keluarganya (Pasal 125 KUHAP), Kelimabelas, membuat berita acara tentang jalannya dan hasil penggeledahan rumah (Pasal 126 ayat (1) KUHAP), Keenambelas, membacakan terlebih dahulu berita acara tentang penggeledahan rumah kepada yang bersangkutan, kemudian diberi tanggal dan ditandatanganinya, tersangka atau keluarganya dan atau kepala desa atau ketua lingkungan dengan dua orang saksi (Pasal 126 ayat (2) KUHAP), Ketujuhbelas, wajib menunjukkan tanda


(36)

pengenalnya terlebih dahulu dalam hal melakukan penyitaan (Pasal 128 KUHAP), Kedelapanbelas, memperlihatkan benda yang akan disita kepada keluarganya dan

dapat minta keterangan tentang benda yang akan disita itu dengan disaksikan oleh Kepala Desa atau ketua lingkungan dengan dua orang saksi (Pasal 129 ayat (1) KUHAP), Kesembilanbelas, Penyidik membuat berita acara penyitaan (Pasal 129 ayat (2) KUHAP), Keduapuluh, menyampaikan turunan berita acara penyitaan kepada atasannya, keluarganya dan Kepala Desa (Pasal 129 ayat (4) KUHAP), Keduapuluh satu, menandatangani benda sitaan sesaat setelah dibungkus (Pasal

130 ayat (1) KUHAP), Sedangkan kewenangan dari penyidik antara lain adalah: 1. Sesuai dengan Pasal 7 ayat (1) KUHAP, penyidik berwenang untuk

a. Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana;

b. Melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian;

c. Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka;

d. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan; e. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;

f. Mengambil sidik jari dan memotret seseorang;

g. Memanggil orang untuk diperiksa sebagai tersangka atau saksi (Pasal 7 ayat (1) jo Pasal 112 ayat (1) KUHAP);

h. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara;


(37)

2. Dalam hal dianggap perlu dapat meminta pendapat seorang ahli atau orang yang memiliki keahlian khusus (Pasal 120 KUHAP jo Pasal 133 ayat (1) KUHAP).

3. Penyidik dapat mengabulkan permintaan tersangka, keluarga, atau penasihat hukum tersangka atas penahanan tersangka (Pasal 123 ayat (2) KUHAP). 4. Penyidik dapat mengadakan penjagaan atau penutupan tempat atau rumah

yang digeledah demi keamanan dan ketertiban (Pasal 127 ayat (1) KUHAP). 5. Penyidik berhak memerintahkan setiap orang yang dianggap perlu tidaknya

meninggalkan tempat terrsebut selama penggeledahan berlangsung (Pasal 127 ayat (2) KUHAP).

6. Dalam hal timbul dugaan kuat ada surat palsu atau yang dipalsukan, penyidik dengan izin ketua pengadilan negeri setempat dapat datang atau dapat minta kepada pejabat penyimpan umum yang wajib dipenuhi, supaya ia mengirimkan surat asli yang disimpannya itu kepadanya untuk dipakai sebagai bahan perbandingan (Pasal 132 ayat (2) KUHAP)

Dalam melaksanakan tugasnya tersebut Penyidik wajib menjunjung tinggi hukum yang berlaku. Untuk itu Penyidik membuat berita acara pelaksanaan tindakan (Pasal 75 KUHAP) tentang:27

1. Pemeriksaan tersangka; 2. Penangkapan;

3. Penahanan; 4. Penggeledahan; 5. Pemasukan rumah; 6. Penyitaan benda; 7. Pemeriksaan surat; 8. Pemeriksaan saksi;

9. Pemeriksaan tempat kejadian;

27


(38)

10.Pelaksanaan Penetapan dan Putusan Pengadilan; 11.Pelaksanaan tindakan lain sesuai KUHAP.

4. Proses Pemeriksaan Penyidikan yang Dilakukan Oleh Penyidik

Pemeriksaan yang dilakukan oleh penyidik difokuskan sepanjang hal yang menyangkut persoalan hukum. Titik pangkal pemeriksaan dihadapan penyidik ialah tersangka. Dari dialah diperoleh keterangan mengenai peristiwa pidana yang sedang diperiksa. Akan tetapi, sekalipun tersangka yang menjadi titik tolak pemeriksaan, terhadapnya harus diberlakukan asas akusatur. Tersangka harus ditempatkan pada kedudukan menusia yang memiliki harkat martabat. Dia harus dinilai sebagai subjek, bukan sebagai objek. Yang diperiksa bukan manusia tersangka. Perbuatan tindak pidana yang dilakukannyalah yang menjadi objek pemeriksaan. Pemeriksaan tersebut ditujukan ke arah kesalahan tindak pidana yang dilakukan oleh tersangka. Tersangka harus dianggap tak bersalah, sesuai

dengan prinsip hukum “praduga tak bersalah” (presumption of innocent ) sampai diperoleh putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.28

Pada pemeriksaan tindak pidana, tidak selamanya hanya tersangka saja yang harus diperiksa. Adakalanya diperlukan pemeriksaan saksi atau ahli. Demi untuk terang dan jelasnya peristiwa pidana yang disangkakan. Namun, kepada tersangka harus ditegakkan perlindungan harkat martabat dan hak-hak asasi, kepada saksi dan ahli, harus juga diperlakukan dengan cara yang berperikemanusiaan dan beradab.

Penyidik Polri tidak secara serta-merta dapat melakukan kegiatan penyidikan dengan semaunya, melainkan ada juga batasan-batasan yang harus diikuti oleh

28


(39)

penyidik tersebut agar tidak melanggar hak asasi manusia mengingat kekuasaan penyidik dalam melakukan rangkaian tindakan tersebut terlampau besar. Batasan-batasan kegiatan penyidik tersebut terdapat pada Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip Dan Standar Hak Asasi Manusia Dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisan Republik Indonesia. Di dalam Pasal 13 ayat (1) Peraturan tersebut disebutkan, dalam melaksanakan kegiatan penyelidikan, setiap petugas POLRI dilarang:

a. Melakukan intimidasi, ancaman, siksaan fisik, psikis ataupun seksual untuk mendapatkan informasi, keterangan atau pengakuan;

b. Menyuruh atau menghasut orang lain untuk melakukan tindakan kekerasan di luar proses hukum atau secara sewenang-wenang

c. Memberitakan rahasia seseorang yang berperkara;

d. Memanipulasi atau berbohong dalam membuat atau menyampaikan laporan hasil penyelidikan;

e. Merekayasa laporan sehingga mengaburkan investigasi atau memutarbalikkan kebenaran;

f. Melakukan tindakan yang bertujuan untuk meminta imbalan dari pihak yang berperkara;

Mengenai batasan-batasan tentang tindakan pemeriksaan yang dilakukan Penyidik dalam rangka proses penyidikan, juga terdapat batasan-batasan yang dituangkan di dalam peraturan a quo tersebut. Batasan-batasan tersebut terdapat di dalam Pasal 27 Ayat (2), yang menyebutkan: Dalam melakukan pemeriksaan terhadap saksi, tersangka atau terperiksa, petugas dilarang:

a. Memeriksa saksi, tersangka atau terperiksa sebelum didampingi penasihat hukumnya, kecuali atas persetujuan yang diperiksa;

b. Menunda-nunda waktu pemeriksaan tanpa alasan yang sah, sehingga merugikan pihak terperiksa;

c. Tidak menanyakan keadaan kesehatan dan kesiapan yang diperiksa pada awal pemeriksaan;

d. Tidak menjelaskan status keperluan terperiksa dan tujuan pemeriksaan; e. Mengajukan pertanyaan yang sulit dipahami terperiksa, atau dengan cara

membentak-bentak, menakuti atau mengancam terperiksa;

f. Mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang tidak relevan dengan tujuan pemeriksaan;


(40)

g. Melecehkan, merendahkan martabat dan/atau tidak menghargai hak terperiksa;

h. Melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan yang bersifat fisik atau psikis dengan maksud untuk mendapatkan keterangan, informasi atau pengakuan;

i. Memaksa saksi, tersangka/terperiksa untuk memberikan informasi mengenai hal-hal yang berkaitan dengan rahasia jabatannya;

j. Membujuk, mempengaruhi atau memperdaya pihak yang diperiksa untuk melakukan tindakan atau tidak melakukan tindakan yang dapat merugikan hak-hak yang diperiksa;

k. Melakukan pemeriksaan pada malam hari tanpa didampingi oleh penasehat hukum dan tanpa alasan yang sah;

l. Tidak memberikan kesempatan kepada terperiksa untuk istirahat, melaksanakan ibadah, makan, dan keperluan pribadi lainnya tanpa alasan yang sah;

m. Memanipulasi hasil pemeriksaan dengan tidak mencatat sebagian keterangan atau mengubah keterangan yang diberikan terperiksa yang menyimpang dari tujuan pemeriksaan;

n. Menolak saksi atau tersangka untuk mengajukan saksi yang meringankan untuk diperiksa;

o. Menghalang-halangi penasehat hukum untuk memberi bantuan hukum kepada saksi/tersangka yang diperiksa;

p. Melakukan pemeriksaan ditempat yang melanggar ketentuan hukum; q. Tidak membacakan kembali hasil pemeriksaan kepada yang diperiksa

dengan bahasa yang dimengerti, sebelum pemeriksaan diakhiri; dan r. Melalaikan kewajiban tanda tangan pemeriksa, terperiksa dan/atau orang

yang menyelesaikan jalannya pemeriksaan.

B. Tugas dan Fungsi Kepolisian

Pengertian Kepolisian, menurut Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002, adalah Institusi Negara yang diberikan tugas, fungsi dan kewenangan tertentu, untuk menjaga keamanan, ketertiban dan mengayomi masyarakat. Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002, maka jajaran kepolisian, semakin dituntut untuk mampu memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya kepada masyarakat dan sekaligus mewujudkan ketentraman ditengah-tengah masyarakat.

Tugas Kepolisian yang begitu mulia tersebut, maka dapat diwujudkan apabila aparaturnya mampu melaksanakan tugas-tugasnya dengan baik, benar dan


(41)

bertanggungjawab, dengan memberikan pelayanan pada masyarakat secara optimal. Sehubungan dengan itu, maka tugas yang diembang oleh institusi Kepolisian sangat berat, sehingga sangat diperlukan aparatur yang handal, agar semua tugas-tugas dimaksud dapat dilaksanakan dengan baik dan efektif.

Tugas kepolisian adalah merupakan bagian dari pada Tugas Negara dan untuk mencapai keseluruhannya tugas itu, maka diadakanlah pembagian tugas agar mudah dalam pelaksanaan dan juga koordinasi, karena itulah di bentuk organisasi polisi yang kemudian mempunyai tujuan untuk mengamankan dan memberikan perlindungan kepada masyarakat yang berkepentingan, terutama mereka yang melakukan suatu tindak pidana.

Tugas polisi dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1961 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Polisi Negara Republik Indonesia, telah ditentukan didalamnya yakni dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1961, menyatakan sebagai berikut :

(1) Kepolisian Negara Republik Indonesia, selanjutnya disebut Kepolisian Negara ialah alat negara penegak hukum yang terutama bertugas memelihara keamanan dalam negeri.

(2) Kepolisian Negara dalam menjalankan tugasnya selalu menjunjung tinggi hak-hak asasi rakyat dan hukum negara.

Dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1974 dalam butir 31 butir a menyebutkan tugas dari kepolisian adalah sebagai berikut :

“Kepolisian Negara Republik Indonesia disingkat Polri bertugas dan bertanggung jawab untuk melaksanakan : segala usaha dan kegiatan sebagai alat negara dan penegak hukum terutama dibidang pembinaan keamanan da ketertiban masyarakat, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1961 dan Keputusan Presiden Nomor 52 Tahun


(42)

Berbagai peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang tugas Polisi Republik Indonesia seperti yang disebutkan di atas, maka jelaslah bahwa tugas Polisi Republik Indonesia sangat luas yang mencakup seluruh instansi mulai dari Departemen Pertahanan Keamanan sampai pada masyarakat kecil semua membutuhkan polisi sebagai pengaman dan ketertiban masyarakat. Untuk melaksanakan tugas dan membina keamanan dan ketertiban masyarakat, Polisi Republik Indonesia berkewajiban dengan segala usaha pekerjaan dan kegiatan untuk membina keamanan dan ketertiban masyarakat. Polisi sebagai pengayom masyarakat yang memberi perlindungan dan pelayanan kepada masyarakat bagi tegaknya ketentuan peraturan perundang-undangan, tidak terlepas dari suatu aturan yang mengikat untuk melakukan suatu tindakan dalam pelaksanaan tugasnya yang telah digariskan dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1961 pada Bab III, bahwa kewajiban dan wewenang kepolisian dalam menjalankan tugasnya harus bersedia ditempatkan di mana saja dalam Wilayah Negara Republik Indonesia.

C. Wewenang Penyidik Polri

Pasal 1 butir 1 KUHAP memberikan batasan tentang penyidik.

“Penyidik adalah pejabat Polisi Negara Republik Indonesia atau

Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan”.

Penyidik dalam melakukan tugas, harus memenuhi syarat-syarat kepangkatan yang telah ditentukan. Syarat kepangkatan seorang penyidik dalam melakukan penyidikan diatur dalam Peraturan Pemerintah tentang Pelaksanaan KUHAP


(43)

Nomor 27 Tahun 1983. Adapun syarat-syarat tersebut dijelaskan dalam Pasal 2 yang menyatakan bahwa:

(1) Penyidik adalah :

a. Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia yang sekurang-kurang berpangkat pembantu Letnan Dua Polisi.

b. Pejabat pegawai negeri tertentu yang sekurang-kurangnya berpangkat pengatur muda Tk. I (golongan II/b) atau yang disamakan dengan itu.

(2) Dalam sektor kepolisian tidak ada pejabat penyidik sebagai dimaksud pada ayat (1) huruf a, maka komandan sektor kepolisian bintara dibawah pembantu letnan dua polisi karena jabatannya adalah penyidik.

(3) Penyidik Sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a, ditunjukan oleh kepala kepolisian negara republik indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(4) Wewenang penunjukkan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dapat dilimpahkan kepada pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(5) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, diangkat oleh Menteri atas usul dari Departemen yang membawahi pegawai negeri tersebut.

(6) Wewenang pengangkatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) dapat dilimpahkan kepada pejabat yang ditunjuk oleh menteri.


(44)

Berdasarkan wewenang di atas dapatlah dikatakan bahwa penyidik adalah pejabat kepolisian, baik karena ia diangkat oleh komandannya. Hal ini berarti bahwa syarat kepangkatan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 2 ayat (1) butir a PP. Nomor 27 Tahun 1983 tidak mutlak diterapkan dalam praktek. Oleh karena pelaksanaan penyidik dan penyelidikan dibutuhkan jumlah polisi (penyidik atau penyidik pembantu) yang memadai.

KUHAP memberikan ketegasan dan membedakan antara penyelidikan dan penyidikan. Pasal 4 dan Pasal 5 KUHAP mengatur tentang pejabat yang menjalankan kewajiban-kewajiban penyelidikan. Sedangkan Pasal 6, 7, dan 8 KUHAP dijelaskan mengenai pejabat yang menjalankan kewajiban sebagai penyidik. Tugas penyelidikan yang dilakukan oleh penyidik merupakan monopoli tunggal bagi Polri. Hal ini cukup beralasan untuk menyederhanakan dan memberi kepastian kepada masyarakat siapa yang berhak melakukan penyelidikan, kemudian menghilangkan kesimpangsiuran penyelidik oleh aparat penegak hukum sehingga, tidak lagi terjadi tumpang tindih, juga merupakan efisiensi tindakan penyelidikan. Mengenai tugas dan wewenang penyelidik dapat dilihat dalam Pasal 5 KUHAP, yang mengatur:

Penyelidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4. Karena kewajibannya mempunyai wewenang :

1) Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang. 2) Mencari keterangan dan barang bukti.

3) Menyuruh berhenti seorang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri.


(45)

Pasal ini membedakan antara laporan dan pengaduan padahal kedua-duanya merupakan pemberitahuan kepada yang berwajib yakni polri tentang adanya kejahatan atau pelanggaran yang sering terjadi atau telah selesai. Perbedaan dapat peneliti kemukakan sebagai berikut:

Pada laporan pemberitahuan tersebut merupakan hak atau kewajiban yang harus disampaikan oleh setiap orang kepada yang berwajib, yaitu kepolisian negara. Dalam hal yang dilaporkan merupakan tindak pidana umum. Pada pengaduan, pemberitahuan tersebut merupakan hak atau kewajiban oleh seorang tertentu yang disampaikan kepada yang berwajib dengan permintaan agar yang berwajib melakukan tindakan, hal yang diadukan merupakan tindak pidana umum. Dari perbedaan tersebut yang terpenting adalah bagaimana sikap dan kewajiban penyidik dalam menghadapi laporan atau pengaduan untuk menjawab persoalan ini, Pasal 102 sampai dengan Pasal 105 sebagai berikut:

Pasal 102 KUHAP

(1) Penyidik yang mengetahui, menerima laporan atau pengaduan tentang terjadinya peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana wajib segera melakukan tindakan penyelidikan yang diperlukan.

(2) Dalam hal tertangkap tangan tanpa menunggu perintah penyidik, penyelidik wajib segera melakukan tindakan yang diperlukan dalam rangka penyelidikan sebagaimana tersebut dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b.

(3) Terhadap tindakan yang dilakukan tersebut pada Pasal 5 ayat (1), dan ayat (2) penyelidik wajib membuat berita acara dan melaporkan kepada penyidik daerah hukum.

Pasal 103 KUHAP

(1) Laporan atau pengaduan yang diajukan secara tertulis harus ditanda tangani oleh pelapor atau pengadu.

(2) Laporan atau pengadun yang diajukan secara lisan harus dicatat oleh penyelidik dan ditanda tangani oleh prlapor atau pengadu dan penyelidik.


(46)

Pasal 104 KUHAP

Dalam hal melaksanakan tugas penyidikan, penyelidik wajib menunjukan tanda pengenalnya.

Pasal 105 KUHAP

Dalam melaksanakan tugas penyidikan, penyelidik dikoordinasi, diawasi dan diberi petunjuk oleh penyelidik tersebut dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a.

Berdasarkan jawaban tersebut di atas maka perlu diperhatikan beberapa faktor yang sangat menentukan sikap penyelidik dalam tugas menerima laporan dan pengaduan. Bahwa laporan dapat diajukan sembarang waktu, tetapi pengaduan dibatasi oleh undang-undang dalam arti bahwa pengaduan tidak dapat diajukan sembarang waktu, yaitu waktu-waktu tertentu. Bahwa laporan dapat dilakukan oleh setiap orang sedang pengaduan hanya boleh orang tertentu saja. Bahwa pengaduan berisikan bukan saja laporan akan tetapi juga diikuti, permintaan pengaduan agar orang yang diadukan dituntut menurut hukum. Dengan demikian jelaslah kiranya faktor-faktor tersebut pada gilirannya menentukan pula kegiatan penyelidik dalam hal mencari keterangan dan barang bukti. Dalam hal ini keterangan apa dan barang bukti apa yang menjadi kewajiban penyelidik untuk diselidiki, tentu tidak sembarangan.

Kewajiban penyelidik yang terdiri dari :

1) Mengenai laporan atau pengaduan, mencari keterangan dan barang bukti sebenarnya adalah masalah pembuktian apakah ada bukti-bukti yang dapat dipergunakan untuk mendukung penuntutan.


(47)

2) Menyuruh seorang yang dicurigai berhenti dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri.

Kewenangan tersebut bila ditelaah serta dihubungkan dengan maksud dan tujuan penyelidikan berdasar ketentuan undang-undang, perlulah kita menarik pelajaran dari praktik yaitu :

a) Pelaksanaan wewenang, sebagai kelanjutan hal menerima laporan dan pengaduan.

b) Memergoki atau keadaan tertangkap tangan.

Penyidik apabila menerima laporan mengenai terjadinya peristiwa pidana yang serius. Sebagai contoh peristiwa pembunuhan sedang pelakunya telah siap untuk melarikan diri bila keadaan menghendaki, maka penyelidik memiliki kewenangan untuk bertindak memeriksa dan menanyakan identitas tersangka. Seseorang yang tertangkap tangan karena melakukan kejahatan memerlukan perhatian tertentu untuk kasus-kasus tertentu. Karena tertangkap tangan atau kepergok pada satu pihak merupakan peristiwa yang memperkuat pembuktian tentang siapa yang menjadi pelaku kejahatan.

Kedua situasi di atas bila dibandingkan dengan dinamika masyarakat adalah sedemikian rupa, sehingga polri tidak saja harus berhadapan dengan peristiwa pidana tapi juga menjalankan tugas pencegahan dan penertiban keamanan masyarakat. Disamping wewenang tersebut diatas, penyelidik dapat mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggungjawab. Maksudnya adalah tindakan dari penyelidik harus memenuhi syarat-syarat seperti, tidak bertentangan dengan aturan hukum, tindakan itu harus masuk akal, atas pertimbangan yang


(48)

layak berdasarkan keadaan memaksa dan menghormati, hak asasi manusia. Selanjutnya akan dikemukakan kewajiban dan wewenang penyelidik dalam melakukan penyelidikan. Adapun kewajiban wewenang penyelidik diatur dalam Pasal 7 KUHAP yaitu :

(1) Penyelidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a karena kewajiban mempunyai wewenang :

a. Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana.

b. Melakukan tindakan pertama pada saat itu ditempat kejadian. c. Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda

pengenal diri tersangka.

d. Melakukan penagkapan, penahanan, pengeledahan dan penyitaan. e. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat.

f. Mengambil sidik jari dan memotret seorang.

g. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai saksi atau tersangka.

h. Mendatangkan seorang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara.

i. Mengadakan penghentian penyidikan.

j. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggungjawab.

(2) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf b mempunyai wewenang sesuai dengan undang-undang yang menjadi dasar hukum masing-masing dan dalam pelaksanaan tugasnya berada dibawah


(49)

koordinasi dan pengawasan penyidik tersebut dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a.

(3) Dalam melakukan tugasnya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), penyidik wajib menjunjung tinggi hukum yang berlaku.

Hubungannya antara kewajiban dan wewenang penyidik, terdapat pada Pasal 8 ayat (1), (2), (3) dan Pasal 75 ayat (1), (2), (3) KUHAP. Didalam praktek berbagai variasi dapat terjadi. Tentu pelapor atau pengadu tidak selalu dapat langsung menemui pejabat polri yang berwenang melakukan penyidikan. Ada langsung menghadap kepada Kepala Satuan Reserse atau kepada anggota pemeriksa. Pejabat-pejabat itulah yang menentukan atau memberi instruksi mengenai kelanjutan penyelidikan atau penyidikan.

D. Tindak Pidana

1. Pengertian Tindak Pidana

Istilah tindak pidana merupakan terjemahan dari strafbaarfeit, di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tidak terdapat penjelasan dengan yang dimaksud strafbaarfeit itu sendiri. Biasanya tindak pidana disinonimkan dengan delik, yang berasal dari bahasa Latin yakni kata delictum. Dalam kamus hukum pembatasan delik tercantum sebagai berikut:

“Delik adalah perbuatan yang dapat dikenakan hukuman karena merupakan

pelanggaran terhadap undang-undang (tindak pidana).”29

29


(50)

Tindak pidana yang dalam Bahasa Belanda disebut strafbaarfeit, terdiri atas tiga suku kata, yaitu straf yang diartikan sebagai pidana dan hukum, baar diartikan sebagai dapat dan boleh, dan feit yang diartikan sebagai tindak, peristiwa, pelanggaran dan perbuatan. Pengertian tindak pidana dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dikenal dengan istilah strafbaarfeit dan dalam kepustakaan tentang hukum pidana sering mempergunakan delik, sedangkan pembuat undang-undang merumuskan suatu undang-undang mempergunakan istilah peristiwa pidana atau pebuatan pidana atau tindakan pidana.30

Pengertian strafbaarfeit menurut beberapa pakar antara lain:

Strafbaarfeit dirumuskan oleh Pompe sebagaimana dikutip dari buku karya Lamintang, sebagai:

“Suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap tata tertib hukum) yang dengan sengaja ataupun tidak Sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku, dimana penjatuhan hukuman terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi terpeliharanya

tertib hukum.”31

Simons mengartikan sebagaimana dikutip dalam buku Leden Marpaung

strafbaarfeit sebagai berikut.

strafbaarfeit adalah suatu tindakan yang melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak sengaja oleh seseorang yang tindakannya tersebut

30

Amir Ilyas, Asas-Asas Hukum Pidana, Rengkang Education Yogyakarta dan Pukap Indonesia, Yogyakarta, 2012, hlm. 20.

31

P.A.F., Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Cetakan Keempat, , P.T.Citra Aditya Bakti, Bandung, 2011, hlm. 182.


(51)

dapat dipertanggungjawabkan dan oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai

suatu tindakan yang dapat dihukum.”32

Jonkers merumuskan bahwa

“Strafbaarfeit sebagai peristiwa pidana yang diartikannya sebagai suatu perbuatan

yang melawan hukum (wederrechttelijk) yang berhubungan dengan kesengajaan atau kesalahan yang dilakukan oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan.”33 Van Hamel merumuskan delik (strafbaarfeit) itu sebagai berikut:

“Kelakuan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang, melawan hukum, yang patut dipididana dan dilakukan dengan kesalahan.”34

S.R. Sianturi merumuskan tindak pidana sebagai berikut:35

“Tindak pidana adalah sebagai suatu tindakan pada, tempat, waktu, dan keadaan

tertentu yang dilarang (atau diharuskan) dan diancam dengan pidana oleh undang-undang bersifat melawan hukum, serta dengan kesalahan dilakukan oleh

seseorang (yang bertanggungjawab).”36

Moeljatno menyebut tindak pidana sebagai perbuatan pidana yang diartikan sebagai berikut:

32

Leden Marpaung, Asas Teori Praktik Hukum Pidana, Cetakan ketujuh, Sinar Grafika, Jakarta, 2012, hlm. 8.

33

Amir Ilyas, Op.Cit, hlm 20.

34

Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana,Cetakan keempat, P.T.Rienka Cipta, Jakarta, 2010, hlm 96.

35

Amir Ilyas, Op.Cit. hlm 22.

36


(52)

“Perbuatan yang melanggar yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan

mana yang disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu bagi siapa saja

yang melanggar larangan tersebut.”37

Andi Zainal Abidin mengemukakan istilah yang paling tepat ialah delik, dikarenakan alasan sebagai berikut:

a) Bersifat universal dan dikenal dimana-mana;

b) Lebih singkat, efesien, dan netral. Dapat mencakup delik-delik khusus yang subjeknya merupakan badan hukum, badan, orang mati;

c) Orang memakai istilah strafbaarfeit, tindak pidana, dan perbuatan pidana juga menggunakan delik;

d) Luas pengertiannya sehingga meliputi juga delik-delik yang diwujudkan oleh koorporasi orang tidak kenal menurut hukum pidana ekonomi indonesia; e) Tidak menimbulkan kejanggalan seperti “peristiwa Pidana” (bukan peristiwa

perbuatan yang dapat dipidana melainkan pembuatnya).38

Berdasarkan rumusan yang ada maka tindak pidana (strafbaarfeit) memuat beberapa syarat-syarat pokok sebagai berikut:

a) Suatu perbuatan manusia;

b) Perbuatan itu dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang; c) Perbuatan itu dilakukan oleh seseorang yang dapat

dipertanggungjawabkan.39

Tindak pidana dalam KUHP dibagi menjadi dua yakni pelanggaran dan kejahatan yang masing-masing termuat dalam buku III dan Buku II KUHP. Pelanggaran sanksinya lebih ringan daripada kejahatan. Banyak istilah yang digunakan untuk menunjuk pengertian strafbaarfeit, bermacam-macam istilah dan pengertian yang

37

Amir Ilyas, Op.Cit. hlm. 25.

38

Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana I, Cetakan Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 2007, hlm. 231-232.

39


(53)

digunakan oleh para pakar dilatarbelakangi oleh alasan dan pertimbangan yang rasional sesuai sudut pandang masing-masing pakar.

2. Unsur-Unsur Tindak Pidana

a) Ada Perbuatan

Menurut ilmu pengetahuan hukum pidana, perbuatan manusia (actus reus) terdiri atas:

1) (commision/act) yang dapat diartikan sebagai melakukan perbuatan tertentu yang dilarang oleh undang-undang atau sebagain pakar juga menyebutnya sebagai perbuatan (aktif/positif).

2) (ommision), yang dapat diartikan sebagai tidak melakukan perbuatan tertentu yang diwajibkan oleh undang-undang atau sebagian pakar juga menyebutnya perbuatan (pasif/negatif).

Intinya adalah bukan hanya berbuat (commisio/act) orang dapat diancam pidana melainkan (ommision) juga dapat diancam pidana, karena commision/act maupun

ommision merupakan perbuatan yang melanggar hukum. Untuk lebih jelasnya baik commision/act maupun ommision akan penulis perlihatkan perbedaannya, hal ini dapat dilihat dari pasal-pasal yang terkait yang terdapat dalam KUHP, anatara lain sebagai berikut:

Ommision/act, yang sebagian pakar menyebutnya sebagai perbuatan aktif atau perbuatan positif, contohnya terdapat pada Pasal 362 KUHP yang rumusannya antara lain:

“barangsiapa mengambil sesuatu barang, yang seluruh atau sebagian kepunyaan


(54)

dihukum, karena pencurian, dengan hukuman penjara selama-lamanya lima tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp 900.”40

Ommision, yang sebagian pakar sebut sebagai perbuatan pasif atau perbuatan negatif, yaitu perbuatan yang mendiamkan atau membiarkan yang contohnya

terdapat pada Pasal 165 KUHP yang rumusannya antara lain:“barang siapa yang

mengetahui ada orang yang bermaksud hendak melakukan suatu pembunuhan dan dengan sengaja tidak memberitahukan hal itu dengan sepatutnya dan waktunya baik kepada yang terancam, jika kejadian itu benar terjadi dihukum penjara selama-lamanya sembilan bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp 4.500” 41 b) Ada Sifat Melawan Hukum

Penyebutan “sifat melawan hukum” dalam pasal-pasal tertentu menimbulkan tiga

pandapat tentang arti dari “melawan hukum” ini yaitu diartikan:

Ke-1 : bertentangan dengan hukum (objektif);

Ke-2 : bertentangan dengan hak (subjektif) orang lain; Ke-3 : Tanpa hak.42

Lamintang menjelaskan sifat melawan hukum sebagai berikut:

“menurut ajaran Wederrechtelijk dalam arti formil, suatu perbuatan hanya dapat dipandang sebagai bersifat Wederrechtelijk apabila perbuatan tersebut memenuhi semua unsur delik yang terdapat dalam rumusan delik menurut undang-undang. Adapun menurut ajaran Wederrechtelijk dalam arti meteriil, apakah suatu perbuatan itu dapat dipandang sebagai Wederrechtelijk atau tidak, masalahnya buka harus ditinjau dari ketentuan hukum yang tertulis melainkan harus ditinjau menurut asas-asas hukum umum dari hukum tidak

tertulis.”43

40

R.Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Politea, Bogor, 1995, hlm 249

41

R.Soesilo, Ibid, hlm. 141.

42

Wirjono Prodjodikoro, Tindak-Tindak Pidana Tertentu Indonesia, Cetakan Ketiga, Refka Aditama, Bandung, 2010, hlm. 2.

43


(1)

65

terbuka dan terarah dengan sebelumnya mempersiapkan pertanyaan terlebih dahulu.

3. Studi dokumentasi, yaitu dengan mengumpulkan data dengan jalan mencatat atau merekam data-data yang ada pada lokasi penelitian yang berkaitan dengan pokok materi yang dibutuhkan.

Data yang telah diperoleh lalu dilakukan pengolahan dengan kegiatan sebagai berikut :

1. Editing, yaitu melakukan pemeriksaan ulang terhadap data yang diperoleh mengenai kelengkapan dan kejelasan dari data.

2. Meng-sistemasikan, yaitu melakukan penyusunan data yang diperoleh satu sama lain untuk memudahkan kegiatan analisis.

3. Mengevaluasi semua data yang mempunyai relevansi dengan penelitian.

E. Analisis Data

Metode analisis data yang digunakan adalah analisis data kualitatif. Pendefinisian analisis data kualitatif yaitu suatu cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif analisis yaitu apa yang dikatakan oleh responden baik secara lisan maupun secara tertulis dan juga perilakunya secara nyata juga diteliti dan dipelajari sebagai suatu yang utuh. Setelah menyelesaikan tahap pengumpulan data, maka diklasifikasikan ke dalam beberapa kategori untuk kemudian dihubungkan dengan teori guna pengambilan kesimpulan.


(2)

V. PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan uraian pada bab sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa:

1. Pelaksanaan tugas dan wewenang penyidik Polri dalam penyidikan tindak pidana lingkungan berupa pencemaran limbah B3 di wilayah hukum Polda Lampung berjalan berdasarkan sesuai ketentuan di dalam KUHAP, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI, dan Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Namun dalam pelaksanaannya Penyidik Polri dan PPNS-LH masih harus berkoordinasi dengan instansi pemerintah lain untuk saksi ahli sesuai dengan bidangnya, sehingga membutuhkan waktu yang lama dan tidak efisien.

2. Faktor atau kendala yang dihadapi penyidik Polri khususnya pada Ditreskrimsus Polda Lampung dalam melakukan penyidikan tindak pidana lingkungan berupa pencemaran limbah B3 di Provinsi Lampung berupa: sulitnya pengambilan sampel limbah, pembuktian yang tidak sederhana, tertutupnya areal pabrik yang menyebabkan tidak mudah dimasuki masyarakat ataupun petugas, ketidakpedulian masyarakat sekitar seolah tutup mata dengan apa yang terjadi di sekitarnya termasuk dalam hal pencemaran limbah B3, kurang memadainya pengetahuan dan keterampilan penyidik,


(3)

118

kurang memadainya sarana prasarana seperti laboratorium membuat petugas kesulitan dalam hal penggolongan pencemaran yang telah terjadi.

B. Saran

1. Kepada Pemerintah pusat hendaknya dibuat petunjuk teknis yang lebih jelas dan tegas terkait dengan tugas dan wewenang penyidikan khususnya terhadap tindak pidana lingkungan antara Penyidik Polri dengan PPNS-LH.

2. Hendaknya Kepolisian Daerah Lampung mengirimkan anggotanya atau penyidik untuk pelatihan dan pendidikan khususnya terkait dengan tindak pidana lingkungan guna meningkatkan kemampuan dan intelejensi penyidik Polri.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Budiardjo, Miriam. 1998. Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Chazawi, Adami, 2005. Hukum Pidana Materiil dan Formil Korupsi di Indonesia, Bayumedia Publishing, Malang.

Erwin, Muhammad, 2008. Hukum Lingkungan - Dalam Sistem Kebijaksanaan Pembangunan Lingkungan Hidup, PT. Refika Aditama, Bandung.

Farid, Zainal Abidin, 2007. Hukum Pidana I, Cetakan Kedua, Sinar Grafika, Jakarta.

Hamzah, Andi, 2010. Asas-Asas Hukum Pidana, Cetakan keempat, P.T.Rienka Cipta, Jakarta.

Harahap, M. Yahya. 2006. Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP, Penyidikan dan Penuntutan, Edisi Kedua, Cetakan Ke-8, Sinar Grafika, Jakarta.

Hardjasoemantri, Koesnadi, 2005. Hukum Tata Lingkungan. Cet. 18. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

I Nyoman, Nurjaya, 2008. Pengelolaan Sumber Daya Alam dalam Perspektif Antropologi Hukum, Prestasi Pustaka, Jakarta.

Ilyas, Amir, 2012. Asas-Asas Hukum Pidana, Rengkang Education Yogyakarta dan Pukap Indonesia, Yogyakarta.

Lamintang, P.A.F., 2011. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Cetakan Keempat, P.T.Citra Aditya Bakti, Bandung.

Machmud, Syahrul. 2012. Problematika Penerapan Delik Formil Dalam Perspektif Penegakan Hukum Pidana Lingkungan Di Indonesia, Indonesia,Mandar Maju, Bandung.

Marpaung, Leden, 2012. Asas Teori Praktik Hukum Pidana, Cetakan ketujuh, Sinar Grafika, Jakarta.


(5)

Mulyosudarmo, Suwoto. 1990. Kekuasaan dan Tanggung Jawab Presiden Republik Indonesia, Suatu Penelitian Segi-Segi Teoritik dan Yuridis Pertanggungjawaban Kekuasaan, Universitas Airlangga, Surabaya.

Ngani, Nico, I Nyoman Budi Jaya; Hasan Madani, Mengenal Hukum Acara Pidana, Bagian Umum Dan Penyidikan, Liberty, Yogyakarta.

Prasetyo, Teguh, 2011. Hukum Pidana, Cetakan Kedua, P.T. Raja Grafindo, Jakarta.

Prinst, Darwan, 1989. Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar, Djambatan, Jakarta.

Prodjodikoro, Wirjono, 2010. Tindak-Tindak Pidana Tertentu Indonesia, Cetakan Ketiga, Refka Aditama, Bandung.

Rahardjo, Satjipto, 2009. Penegakan Hukum suatu tinjauan sosiologis, Genta Publishing, Yogyakarta.

Rangkuti, Siti Sundar Rangkuti, 1996. Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan Nasional-edisi ketiga, Airlangga University Press, Surabaya.

Sadjijono, 2008. Memahami Beberapa Bab Pokok Hukum Administrasi Negara, Laks Bang Pressindo, Jogyakarta.

Salim, 2007. Hukum Pertambangan Di Indonesia- edisi revisi. PT. RajaGrafindo Persada. Jakarta.

Santoso, Mas Agus Good Governance, Hukum Lingkungan. Tanpa tahun.

Setiardja, A. Gunawan. 1990. Dialektika Hukum dan Moral dalam Pembangunan Masyarakat Indonesia, Kanisius, Yogyakarta.

Siahaan, 2004. Hukum Lingkungan dan Ekologi Pembangunan. Erlangga, Jakarta. Soekanto, Soerjono, 1982. Penegakan Hukum. Bina Cipta, Bandung.

---, 1983. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Rajawali, Jakarta.

Soesilo, R. 1995. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Politea, Bogor. Sudarsono, 2007. Kamus Hukum, Cetakan Kelima, P.T.Rineka Cipta, Jakarta.


(6)

B. Perundang-Undangan

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI.

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

C. Jurnal, Makalah, Media Massa

Lotulung, Paulus Efendie. 1994. Himpunan Makalah Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik, Citra Aditya Bakti, Bandung.

Muladi. Menjamin Kepastian Ketertiban Penegakan dan Pelindungan Hukum dalam era Globalisasi. (Jurnal Keadilan, 2001).

M. Hadjon, Philipus. Tentang Wewenang, Makalah, Universitas Airlangga, Surabaya, tanpa tahun.

Syafrudin, Ateng. 2000 Menuju Penyelenggaraan Pemerintahan Negara yang Bersih dan Bertanggung Jawab, Jurnal Pro Justisia Edisi IV, Universitas Parahyangan, Bandung.

D. Website

http://lampung.tribunnews.com http://panisean.wordpress.com