Pengaruh Pemberian Ekstrak Bawang Putih (Allium Sativum L.), Metformin dan Glibenklamid terhadap Kadar Gula Darah pada Mencit Diabetes yang Diinduksi Aloksan Tahun 2011

(1)

PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK BAWANG PUTIH

(

Allium Sativum L

), METFORMIN DAN GLIBENKLAMID

TERHADAP KADAR GULA DARAH PADA MENCIT

DIABETES YANG DIINDUKSI ALOKSAN

Oleh:

NURUL SYAZWANI BINTI RAMLI

080100315

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2011


(2)

PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK BAWANG PUTIH

(

Allium Sativum L

), METFORMIN DAN GLIBENKLAMID

TERHADAP KADAR GULA DARAH PADA MENCIT

DIABETES YANG DIINDUKSI ALOKSAN

KARYA TULIS ILMIAH

Karya Tulis Ilmiah ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk

memperoleh kelulusan Sarjana Kedokteran

Oleh:

NURUL SYAZWANI BINTI RAMLI

080100315

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2011


(3)

LEMBAR PENGESAHAN

Pengaruh Pemberian Ekstrak Bawang Putih (Allium Sativum L.), Metformin dan Glibenklamid terhadap Kadar Gula Darah pada Mencit Diabetes yang Diinduksi Aloksan Tahun 2011

NAMA : NURUL SYAZWANI BINTI RAMLI NIM : 080100315

Pembimbing

(dr Tri Widyawati, MSi)

Penguji I

(dr Isti Ilmiati Fujiati, MSc) Penguji II

(dr T. Ibnu Alferalli, Sp PA)

Mengetahui:

Universitas Sumatera Utara Fakultas Kedokteran

Dekan

Prof. Dr. Gontar Alamsyah Siregar, Sp. PD, KGEH NIP: 19540220 198011 1 001


(4)

ABSTRAK

Latar belakang: Diabetes Mellitus (DM) merupakan penyakit fisiologis

berupa perubahan homeostasis glukosa yang menyebabkan kadar glukosa darah (KGD) di atas normal. Kondisi ini sering disebut hiperglikemik. Salah satu obat herba alternatif yang diyakini memiliki khasiat hipoglikemik adalah bawang putih

(Allium sativum l.). Senyawa alliin dan allisin berfungsi sebagai agen anti-diabetes melalui mekanisme perangsangan pancreas untuk mengeluarkan insulin lebih banyak.

Tujuan: Mengkaji pengaruh pemberian ekstrak bawang putih dibanding

metformin dan glibenklmid terhadap KGD mencit diabetes yang diinduksi aloksan.

Metoda. Penelitian ini adalah penelitian eksperimental Randomized Pre and Post Test Control Group Design. Sampel terdiri dari dua puluh ekor mencit

Mus Musculus L. Strain DDW jantan berusia 3-4 bulan yang dibagi dalam lima kelompok, yaitu satu kelompok kontrol negatif (K1), satu kelompok kontrol positif (K2), dan tiga kelompok perlakuan (P1,P2dan P3). Pada kelompok kontrol (K1 dan K2) diberikan plasebo sedangkan untuk kelompok perlakuan masing-masing diberikan ekstrak bawang putih dosis 350 mg/kg BB (P1), metformin dosis 65mg/kg BB (P2) dan glibenklamid dosis 0.65 mg/kg BB (P3) selama 10 hari. Pengukuran KGD dilakukan sebanyak 3 kali yaitu sebelum induksi, setelah induksi dan setelah perlakuan (pemberian placebo, ekstrak bawang putih, metformin dan glibenklamid). Data yang diperoleh dianalisa dengan Uji T Dependen.

Hasil: Pada kelompok perlakuan dengan ekstrak bawang putih, dan

metformin, menunjukkan terdapat perbedaan rerata KGD mencit sebelum dan sesudah diberi perlakuan yaitu dari 284.00 ± 15.12 menjadi 109.75 ± 9.91 pada mencit diabetik diberi bawang putih dan dari 281.50 ± 92.42 menjadi 105.75 ± 17.91 pada mencit diabetik yang diberi metformin. Terdapat perbedaan bermakna sebelum dan sesudah pemberian ekstrak bawang putih, p=0.000 dan metformin, P=0.028. Uji one wa y anova antar kelompok dengan lanjutan uji Post-Hoc

didapati perbandingan antara kelompok bawang putih (P1) dengan kelompok metformin (P2) menunjukkan nilai signifikansi p=1 (P>0,05) yang menunjukkan bahawa tidak ada perbedaan yang bermakna dari peningkatan KGD mencit pada pemberian ekstrak bawang putih dan metformin selama 10 hari.

Kesimpulan: Ekstrak bawang putih (Allium sativum l.) dosis 350 mg/kgBB dapat menurunkan kadar glukosa darah pada mencit diabetes yang diinduksi Aloksan. Tidak dijumpai perbedaan rerata penurunan yang signifikan antara kelompok bawang putih dan metformin.


(5)

ABSTRACT

Background: Diabetes Mellitus (DM) is a physiological disease of glucose homeostasis changes that cause blood glucose levels (KGD) above normal. This condition is often called hyperglycemic. One alternative by herbal remedy that is believed to ha ve hypoglycemic properties is ga rlic (Allium sativum l.). It contains Allisin and alliin serves a s an anti-diabetic agents through a mechanism of insulin stimulation of the pancreas to release more.

Objective: Assessing the impa ct of garlic extra ct compared to metformin and glibenklmid against KGD aloksan-induced diabetic mice.

Methods:This study is a Randomized experimental study of the Pre and Post Test Control Group Design. The sample consisted of twenty mice Mus musculus L. Strain DDW 3-4 months old males who were divided into five groups, namely a negative control groups (K1), a positive control group (K2), and three treatment groups (P1, P2 and P3). In the control groups (K1 and K2) they were given a placebo while for each treatment group were given a dose of garlic extract 350 mg/kg BW (P1), metformin dose of 65mg/kg BW (P2) and glibenclamide dose of 0.65 mg/kg BW (P3) for 10 days. KGD mea surements performed 3 times ie before induction, after induction and after treatment (placebo, garlic extract, metformin and glibenclamide). Data obtained were analyzed with Dependent T Test.

Results: In the group treated with garlic extract, and metformin, suggesting there are differences in the average KGD mice before and after treatment is given from 284.00 ± 15.12 to 109.75 ± 9.91 in diabetic mice were given garlic and from 281.50 ± 92.42 to 105.75 ± 17.91 in the diabetic mice given metformin. There are significant differences before and after administration of garlic extract, p = 0.000 and metformin, P = 0028. One-way ANOVA test between groups with advanced post-hoc test comparisons between groups were found garlic (P1) with the metformin group (P2) indicates a significance value of p = 1 (P> 0.05) which shows that there was no significant difference of improvement KGD mice on administration of garlic extract and metformin for 10 days.

Conclusion: Extracts of garlic (Allium sativum l.) dose of 350 mg / kg body weight can lower blood glucose levels in Aloksan–induced diabetic mice. There were no significant difference in mean reduction between garlic and metformin groups.


(6)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur terhadap Allah SWT, yang tidak henti-hentinya memberikan kurnia-Nya sehingga penelitian ini telah selesai disusun tepat pada waktunya. Adapaun judul Karya Tulis Ilmiah ini adalah “Pengaruh Pemberian Ekstrak Bawang Putih (Allium Sativum L.), Metformin dan Glibenklamid terhadap Kadar Gula Dara pada Mencit Diabetes yang Diinduksi Aloksan Tahun 2011”. Tujuan penulisan Karya Tulis Ilmiah ini adalah salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Kedokteran di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Saya menyadari bahwa keberhasilan dalam penulisan Karya Tulis Ilmiah ini tidak lepas dari bantuan banyak pihak, khususnya dr. Tri Widyawati, M Si selalu dosen pembimbing. Selain itu, saya juga mengucapkan terima kasih kepada keluarga terutamanya kedua orang tua saya, Tuan Ramli bin Hassan dan Puan Noria binti Abdul Ghani, serta rakan-rakan mahasiswa yang telah banyak memberikan masukan dan bantuan untuk penelitian ini.

Akhir kata, saya sadar bahwa penulisan ini masih jauh dari sempurna, disebabkan berbagai keterbatasan yang saya miliki. Untuk itu saya mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun untuk dijadikan perbaikan di masa yang akan datang dan penulis juga mengharapkan semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi semua yang membacanya.

Kepala Batas, 12 Disember 2011,


(7)

DAFTAR ISI

Halaman

LEMBAR PENGESAHAN... ii

ABSTRAK... iii

ABSTRACT... iv

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI... vi

DAFTAR TABEL... viii

DAFTAR GAMBAR... ix BAB 1 PENDAHULUAN...

1.1Latar Belakang... 1.2Rumusan Masalah... 1.3Tujuan Penelitian... 1.4Manfaat Penelitian...

1 1 3 3 4 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA...

2.1 Diabetes Mellitus... 2.2 Epidemiologi... 2.3 Faktor Resiko... 2.4 Klasifikasi... 2.5 Patofisiologi... 2.5.1 Diabetes Tipe 1... 2.5.2 Diabetes Tipe 2... 2.6 Gejala Klinis... 2.7 Diagnosis... 2.7.1 FPG Test... 2.7.2 OGTT... 2.8 Penatalaksanaan...

2.8.1 Edukasi... 2.8.2 Terapi Medis Gizi... 2.8.3 Latihan Jasmani... 2.8.4 Pengelolaan Farmakologis... 2.9 Komplikasi... 2.9.1 Komplikasi Akut... 2.9.2 Komplikasi Kronik... 2.10 Tanaman Bawang Putih (Allium Sativum L.) ... 2.10.1 Pengenalan Bawang Putih... 2.10.2 Metabolit Sekunder : Organo Sulfur... 2.10.3 Aktivitas Biologi dan Manfaat Bawang Putih... 2.10.4 Toksisitas dan Efek Samping...

5 5 5 6 6 8 8 9 10 12 12 13 15 16 16 17 18 23 23 24 25 25 28 33 35 BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL...

3.1 Kerangka Konsep Penelitian... 3.2 Variabel Penelitian...

37 37 37


(8)

3.3 Definisi Operasional... 3.4 Hipotesis...

38 40 BAB 4 METODE PENELITIAN...

4.1 Jenis dan Rancangan Penelitian... 4.2 Waktu dan Tempat Penelitian... 4.3 Populasi dan Sampel Penelitian... 4.4 Metode Pengumpulan Data... 4.5 Metode Pengolahan dan Analisa Data...

41 41 41 41 43 53 BAB 5 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN...

5.1 Hasil Penelitian... 5.1.1 Deskripsi Lokasi Penelitian... 5.1.2 Deskripsi Karakteristik Sampel... 5.1.3 Analisa Hasil Penelitian...

5.1.3.1 Penilaian KGD Sebelum dan Setelah Induksi Aloksan... 5.1.3.2 Penilaian KGD Sebelum dan Setelah Perlakuan... 5.1.3.3 Persentasi Penurunan dan Deskriptif Rerata KGD... 5.1.3.4 Hasil Uji Beda Dua Mean Dependen Pada Tiap Dua Kelompok Berpasangan... 5.1.3.5 Hasil Uji Beda > Dua Mean Pada Kelompok Independen... 5.2 Pembahasan...

5.2.1 Diabetes Mellitus... 5.2.2 Induksi Aloksan... 5.2.3 Ekstrak Bawang Putih... 5.2.4 Obat Anti Diabetik Oral (Metformin dan

Glibenklamid)... 5.2.5 Perbedaan Rerata Kadar Gula Darah Mencit...

54 54 54 54 55 55 56 57 58 59 62 62 62 63 64 64 BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN...

6.1 Kesimpulan... 6.2 Saran...

68 68 68 DAFTAR PUSTAKA... 69 LAMPIRAN... 73


(9)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

2.1 Tabel Hasil Tes FPG dan Interprestasi... 13 2.2 Tabel Hasil OGTT dan Interprestasi... 14 2.3

2.4 2.5 5.1

5.2

5.3

Tabel Hasil OGTT Diabetes Kehamilan dan Interpretasi... Obat Hipoglikemik Oral... Farmakokinetik Insulin Eksogen Berdasar Waktu Kerja... Persentasi Perubahan dan Deskriptif Rerata KGD Pada Tiap Kelompok Mencit Selama 10 Hari Perlakuan ………... Hasil Uji Beda Dua Mean Dependen Pada Tiap Dua

Kelompok Berpasangan... Hasil Uji Beda > Dua Mean Pada Kelompok

Independen...

14 20 21

57

58


(10)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

2.1 Bawang Putih ... 26

2.2 -glutamil-S-alk(en)il-L-sistein... 28

2.3 Sturktur Kimia Alliin... 28

2.4 Jalur Pemecahan -glutamil-S-alk(en)il-L-sistein... 29

2.5 Reaksi pembentukan allicin... 30

2.6 Derivat allil sulfida... 31

3.1 Kerangka Konsep Penelitian... 37

5.1 KGD Mencit Sebelum dan Setelah Induksi Aloksan... 55


(11)

ABSTRAK

Latar belakang: Diabetes Mellitus (DM) merupakan penyakit fisiologis

berupa perubahan homeostasis glukosa yang menyebabkan kadar glukosa darah (KGD) di atas normal. Kondisi ini sering disebut hiperglikemik. Salah satu obat herba alternatif yang diyakini memiliki khasiat hipoglikemik adalah bawang putih

(Allium sativum l.). Senyawa alliin dan allisin berfungsi sebagai agen anti-diabetes melalui mekanisme perangsangan pancreas untuk mengeluarkan insulin lebih banyak.

Tujuan: Mengkaji pengaruh pemberian ekstrak bawang putih dibanding

metformin dan glibenklmid terhadap KGD mencit diabetes yang diinduksi aloksan.

Metoda. Penelitian ini adalah penelitian eksperimental Randomized Pre and Post Test Control Group Design. Sampel terdiri dari dua puluh ekor mencit

Mus Musculus L. Strain DDW jantan berusia 3-4 bulan yang dibagi dalam lima kelompok, yaitu satu kelompok kontrol negatif (K1), satu kelompok kontrol positif (K2), dan tiga kelompok perlakuan (P1,P2dan P3). Pada kelompok kontrol (K1 dan K2) diberikan plasebo sedangkan untuk kelompok perlakuan masing-masing diberikan ekstrak bawang putih dosis 350 mg/kg BB (P1), metformin dosis 65mg/kg BB (P2) dan glibenklamid dosis 0.65 mg/kg BB (P3) selama 10 hari. Pengukuran KGD dilakukan sebanyak 3 kali yaitu sebelum induksi, setelah induksi dan setelah perlakuan (pemberian placebo, ekstrak bawang putih, metformin dan glibenklamid). Data yang diperoleh dianalisa dengan Uji T Dependen.

Hasil: Pada kelompok perlakuan dengan ekstrak bawang putih, dan

metformin, menunjukkan terdapat perbedaan rerata KGD mencit sebelum dan sesudah diberi perlakuan yaitu dari 284.00 ± 15.12 menjadi 109.75 ± 9.91 pada mencit diabetik diberi bawang putih dan dari 281.50 ± 92.42 menjadi 105.75 ± 17.91 pada mencit diabetik yang diberi metformin. Terdapat perbedaan bermakna sebelum dan sesudah pemberian ekstrak bawang putih, p=0.000 dan metformin, P=0.028. Uji one wa y anova antar kelompok dengan lanjutan uji Post-Hoc

didapati perbandingan antara kelompok bawang putih (P1) dengan kelompok metformin (P2) menunjukkan nilai signifikansi p=1 (P>0,05) yang menunjukkan bahawa tidak ada perbedaan yang bermakna dari peningkatan KGD mencit pada pemberian ekstrak bawang putih dan metformin selama 10 hari.

Kesimpulan: Ekstrak bawang putih (Allium sativum l.) dosis 350 mg/kgBB dapat menurunkan kadar glukosa darah pada mencit diabetes yang diinduksi Aloksan. Tidak dijumpai perbedaan rerata penurunan yang signifikan antara kelompok bawang putih dan metformin.


(12)

ABSTRACT

Background: Diabetes Mellitus (DM) is a physiological disease of glucose homeostasis changes that cause blood glucose levels (KGD) above normal. This condition is often called hyperglycemic. One alternative by herbal remedy that is believed to ha ve hypoglycemic properties is ga rlic (Allium sativum l.). It contains Allisin and alliin serves a s an anti-diabetic agents through a mechanism of insulin stimulation of the pancreas to release more.

Objective: Assessing the impa ct of garlic extra ct compared to metformin and glibenklmid against KGD aloksan-induced diabetic mice.

Methods:This study is a Randomized experimental study of the Pre and Post Test Control Group Design. The sample consisted of twenty mice Mus musculus L. Strain DDW 3-4 months old males who were divided into five groups, namely a negative control groups (K1), a positive control group (K2), and three treatment groups (P1, P2 and P3). In the control groups (K1 and K2) they were given a placebo while for each treatment group were given a dose of garlic extract 350 mg/kg BW (P1), metformin dose of 65mg/kg BW (P2) and glibenclamide dose of 0.65 mg/kg BW (P3) for 10 days. KGD mea surements performed 3 times ie before induction, after induction and after treatment (placebo, garlic extract, metformin and glibenclamide). Data obtained were analyzed with Dependent T Test.

Results: In the group treated with garlic extract, and metformin, suggesting there are differences in the average KGD mice before and after treatment is given from 284.00 ± 15.12 to 109.75 ± 9.91 in diabetic mice were given garlic and from 281.50 ± 92.42 to 105.75 ± 17.91 in the diabetic mice given metformin. There are significant differences before and after administration of garlic extract, p = 0.000 and metformin, P = 0028. One-way ANOVA test between groups with advanced post-hoc test comparisons between groups were found garlic (P1) with the metformin group (P2) indicates a significance value of p = 1 (P> 0.05) which shows that there was no significant difference of improvement KGD mice on administration of garlic extract and metformin for 10 days.

Conclusion: Extracts of garlic (Allium sativum l.) dose of 350 mg / kg body weight can lower blood glucose levels in Aloksan–induced diabetic mice. There were no significant difference in mean reduction between garlic and metformin groups.


(13)

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Sejak zaman dahulu, manusia sangat mengandalkan lingkungan sekitarnya untuk memenuhi kebutuhannya. Misalnya untuk makan, tempat berteduh, pakaian, obat, pupuk, parfum, dan bahkan untuk kecantikan dapat diperoleh dari lingkungan. Sehingga kekayaan alam di sekitar manusia sebenarnya sedemikian rupa sangat bermanfaat dan belum sepenuhnya digali, dimanfaatkan, atau bahkan dikembangkan (Sari, 2006).

Salah satu kekayaan alam adalah obat herbal yang kini telah diterima secara luas di hampir seluruh negara di dunia. Menurut Badan Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO), 65 % dari penduduk negara maju dan 80 % penduduk dari negara berkembang telah menggunakan obat herbal sebagai pengobatan primer (WHO, 2003) dalam (Sari, 2006). Bangsa Indonesia telah lama mengenal dan menggunakan tanaman berkhasiat obat sebagai salah satu upaya dalam menanggulangi masalah kesehatan. Salah satu penyakit yang banyak menggunakan obat alami di masyarakat adalah Diabetes Mellitus (DM).

DM merupakan suatu penyakit kronis yang terjadi apabila pankreas tidak dapat memproduksikan insulin yang mencukupi atau tubuh tidak dapat memanfaatkan insulin yang dihasilkan oleh pancreas secara efektif. Hal ini mengakibatkan berlakunya peningkatan konsentrasi glukosa di dalam darah atau sering dikenal hiperglikemia. DM dapat diklasifikasikan kepada 3 tipe utama yaitu Diabetes Tipe 1, Diabetes Tipe 2 dan Diabetes Gestational (WHO, 2009).

Berdasar studi populasi penderita DM di berbagai negara yang dilakukan WHO pada tahun 2000, Indonesia menempati urutan ke-4 terbesar dengan prevalensi 8,6 % dari total penduduk yaitu sekitar 8,4 juta. Begitu juga penelitian yang dilakukan Departemen Kesehatan bersama perhimpunan profesi, didapatkan


(14)

bahwa prevalensi DM sebesar 12,7 % dari seluruh penduduk. Sementara data Diabetes Atlas 2000 (IDF) tercantum perkiraan pasien DM di Indonesia adalah 5,6 juta dan pada tahun 2020 diperkirakan akan meningkat menjadi 8,2 juta. Hal ini semakin membuktikan bahwa penyakit DM merupakan masalah kesehatan yang sangat serius ( DepKes RI, 2006).

Penatalaksanaan DM dilakukan secara farmakologi dan non-farmakologi. Secara farmakologi, obat-obat yng sering digunakan diantaranya adalah glibenklamid dan metformin. Glibenklamid merupakan obat antidiabetika golongan sulfonylurea yang bekerja dengan cara menstimulasi sel beta pankreas untuk melepaskan insulin yang tersimpan, dan karena itu obat golongan ini hanya bermanfaat pada pasien yang masih mempunyai kemampuan untuk mensekresi insulin. Metformin pula adalah obat antidiabetika golongan bigunid. Metformin merupakan obat yang cara kerjanya terutama menurunkan kadar glukosa darah dengan menekan produksi glukosa yang diproduksi hati dan mengurangi resistensi insulin (BADAN POM RI , 2010).

Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya, bahwa selain obat konvensional, di masyarakat juga banyak menggunakan obat tradisional. Hal ini didukung dengan adanya penelitian sampai pada isolasi senyawa aktif tumbuhan yang mampu memberikan efek hipoglikemik atau anti-diabetes, termasuk diantaranya bawang putih. Efek hipoglikemik bawang putih telah dibuktikan secara in vivo, sedangkan secara in vitro belum dilakukan. Penelitian awal mengenai efek hipoglikemik bawang putih dilakukan oleh Mathew dan Augusti (1973), dengan melakukan isolasi allisin dan memberikannya pada tikus diabetes. Pada perlakuan dengan dosis 250 mg/kb BB, diketahui allisin mampu menurunkan kadar glukosa darah 60% lebih efektif daripada tolbutamid. Selanjutnya, Augusti (1975) memberi perlakuan ekstrak bawang putih pada kelinci yang diinduksi diabetes menggunakan alloksan. Allisin dari ekstrak bawang putih dapat menurunkan kadar glukosa darah kelinci seperti halnya tolbutamid (obat sintetis untuk penderita diabetes). Pada perkembangan


(15)

berikutnya, semua penelitian yang mengkaji efek hipoglikemik bawang putih menunjukkan hasil positif (Banerjee dan Maulik, 2002).

Berdasarkan uraian di atas, diketahui bahwa sampai saat ini belum ada penelitian mengenai pengaruh ekstrak bawang putih yang dibandingkan dengan obat moderen yaitu Glibenklamide dan Metformin terhadap kadar gula darah pada mencit diabetes yang diinduksi Aloksan. Oleh sebab itu, peneliti tertarik untuk mengkaji perbandingan efek ekstrak bawang putih, Glibenklamid dan Metformin terhadap kadar gula darah mencit diabetes.

1.2 Rumusan Masalah

Bagaimana perbandingan efek pemberian ekstrak bawang putih (Allium sativum) terhadap kadar gula darah pada mencit diabetes yang diinduksi Aloksan dengan Glibenklamid dan Metformin?

1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan umum

Untuk mengetahui pengaruh pemberian ekstrak bawang putih (Allium sativum) terhadap kadar gula darah pada mencit diabetes yang diinduksi Aloksan dibandingkan dengan obat moderen Glibenklamid dan Metformin.

1.3.2. Tujuan Khusus

Yang menjadi tujuan khusus dalam penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui perbandingan efek pemberian ekstrak bawang putih (Allium sativum) dengan Metformin terhadap kadar gula darah pada mencit diabetes yang diinduksi Aloksan.

2. Untuk mengetahui perbandingan efek pemberian ekstrak bawang putih (Allium sativum) dengan Glibenklamid terhadap kadar gula darah pada mencit diabetes yang diinduksi Aloksan.


(16)

1.4. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk:

1. Memberikan informasi tentang manfaat obat tradisional bawang putih (Allium sativum) sebagai penurun kadar gula darah pada mencit disamping obat-obatan moderen.

2. Memberikan landasan teori dalam pembuatan produk dari bawang putih (Allium sativum) sehingga nantinya dapat digunakan sebagai obat alternatif Diabetes Mellitus yang murah serta relatif aman penggunaannya. 3. Memberikan dasar atau landasan bagi penelitian selanjutnya pada manusia.


(17)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. DIABETES MELLITUS (DM)

Diabetes Mellitus (DM) merupakan suatu penyakit kronis yang terjadi apabila pankreas tidak dapat memproduksikan insulin yang mencukupi atau tubuh tidak dapat memanfaatkan insulin yang dihasilkan oleh pankreas secara efektif . Hal ini mengakibatkan berlakunya peningkatan konsentrasi glukosa dia dalam darah atau sering dikenal hiperglikemia (WHO, 2009).

2.2. EPIDEMIOLOGI

Berdasar studi populasi penderita DM di berbagai negara yang dilakukan WHO pada tahun 2000, Indonesia menempati urutan ke-4 terbesar dengan prevalensi 8,6 % dari total penduduk yaitu sekitar 8,4 juta. Begitu juga penelitian yang dilakukan Departemen Kesehatan bersama perhimpunan profesi, didapatkan bahwa prevalensi Diabetes sebesar 12,7 % dari seluruh penduduk. Sementara data Diabetes Atlas 2000 (IDF) tercantum perkiraan pasien DM di Indonesia adalah 5,6 juta dan pada tahun 2020 diperkirakan akan meningkat menjadi 8,2 juta. Hal ini semakin membuktikan bahwa penyakit DM merupakan masalah kesehatan yang sangat serius ( DepKes RI, 2006).

DM menyebabkan kurang lebih 5% dari seluruh kematian global setiap tahun. Kira-kira 80% daripada populasi yang menderita DM adalah dari golongan umur pertenghan (45-64 tahun) dan bukan golongan usia lanjut (65 tahun keatas) dan berasal dari negara-negara yang berpendapatan rendah dan sederhana. DM dianggarkan akan meningkat melebihi 50% pada 10 tahun akan dating tanpa tindakan segera (WHO, 2009).


(18)

2.3. FAKTOR RESIKO

Menurut Wijayakusuma (2004), penyakit DM dapat disebabkan oleh beberapa hal :

a. Pola makan secara berlebihan dan melebihi jumlah kadar kalori yang dibutuhkan oleh tubuh dapat memacu timbulnya DM. Hal ini disebabkan jumlah atau kadar insulin oleh sel pankreas mempunyai kapasitas maksimum untuk disekresikan.

b. Orang yang gemuk (Obesitas) dengan berat badan melebihi 90 kg mempunyai kecenderungan yang lebih besar untuk terserang DM dibandingkan dengan orang yang tidak gemuk.

c. Faktor genetik yaitu seorang anak dapat diwarisi gen penyebab DM orang tua. Biasanya, seseorang yang menderita DM mempunyai anggota keluarga yang juga terkena.

d. Bahan-bahan kimia dan obat-obatan tertentu dapat mengiritasi pankreas yang menyebabkan radang pankreas. Peradangan pada pankreas dapat menyebabkan pankreas tidak berfungsi secara optimal dalam mensekresikan hormon yang diperlukan untuk metabolism dalam tubuh, termasuk hormon insulin.

e. Penyakit dan infeksi pada pankreas sebagai contoh mikroorganisme seperti bakteri dan virus dapat menginfeksi pankreas sehingga menimbulkan radang pankreas. Hal itu menyebabkan sel pada pankreas tidak bekerja secara optimal dalam mensekresi insulin.

2.4. KLASIFIKASI

Klasifikasi DM yang dianjurkan oleh Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (PERKENI) 2006 adalah yang sesuai dengan anjuran klasifikasi DM menurut American Diabetes Association (ADA) 1997, sebagai berikut :


(19)

Diabetes Melitus Tipe I adalah diabetes yang terjadi karena berkurangnya rasio insulin dalam sirkulasi darah akibat hilangnya sel beta penghasil insulin pada pulau-pulau Langerhans pankreas (destruksi sel beta, umumnya menjurus ke defisiensi insulin absolute). IDDM dapat diderita oleh anak -anak maupun orang dewasa. Pada DM tipe I, penderita menghasilkan sedikit insulin atau sama sekali tidak menghasilkan insulin. DM tipe I biasanya dikarenakan oleh autoimun atau idiopatik (tidak diketahui penyebabnya).

2.Tipe II : Diabetes Mellitus tidak tergantung insulin (NIDDM).

Penyebab Diabetes Melllitus tipe II bervariasi mulai dari yang terutama dominan resistensi insulin disertai defisiensi insulin relatif sampai yang terutama defek sekresi insulin disertai resistensi insulin. Terjadi setelah usia 30 -60 tahun, meningkat secara garadual. Dan DM tipe II jauh lebih besar dibanding tipe I 90% kasus DM. Pankreas tetap menghasilkan insulin, kadang kadarnya lebih tinggi dari normal. Tetapi tubuh membentuk kekebalan terhadap efeknya, sehingga terjadi kekurangan insulin relatif.

3.Diabetes Mellitus yang berhubungan dengan keadaan atau sindrom lainnya. Diabetes mellitus yang biasanya di curigai atau manifestasi yang menyebabkan penyakit, seperti :

A. Defek genetik fungsi sel beta :

 Maturity Onset Diabetes of the Young (MODY)  DNA mitokondria

B. Defek genetik kerja insulin C. Penyakit endokrin pankreas :

 pankreatitis

 tumor pankreas /pankreatektomi  pankreatopati fibrokalkulus D. Endokrinopati :


(20)

 akromegali  sindrom Cushing  feokromositoma E. Karena obat/zat kimia :

 vacor, pentamidin, asam nikotinat  glukokortikoid, hormon tiroid

 tiazid, dilantin, interferon alfa dan lain-lain F. Infeksi :

 Rubella congenital

 Cytomegalovirus (CMV)

G. Sebab imunologi yang jarang : Antibodi Anti Insulin H. Sindrom genetik lain yang berkaitan dengan DM :

 sindrom Down  sindrom Kleinfelter,

 sindrom Turner, dan lain-lain. 4.Gestational Diabetes Mellitus (GDM)

DM yang terjadi pada saat kehamilan trimester ke-2 dan ke-3. Terjadi Intoleransi glukosa pada saat kehamilan.

2.5. PATOFISIOLOGI 2.5.1 Diabetes tipe 1

DM tipe 1 adalah penyakit autoimun kronis yang berhubungan dengan kerusakan sel-sel Beta pada pankreas secara selektif. Onset penyakit secara klinis menandakan bahwa kerusakan sel-sel beta telah mencapai status terakhir. Beberapa fitur mencirikan bahwa diabetes tipe merupakan penyakit autoimun. Ini termasuk:

(a) Kehadiran sel-immuno kompeten dan sel aksesori di pulau pankreas yang diinfiltrasi.


(21)

(b) Asosiasi dari kerentanan terhadap penyakit dengan kelas II (respon imun) gen mayor histokompatibilitas kompleks (MHC; leukosit manusia antigen HLA).

(c) Kehadiran autoantibodies yang spesifik terhadap sel Islet of Lengerhans. (d) Perubahan pada immunoregulasi sel-mediated T, khususnya di CD4 +

Kompartemen.

(e) Keterlibatan monokines dan sel Th1 yang memproduksi interleukin dalam proses penyakit.

(f) Respons terhadap immunotherapy.

(g) Sering terjadi reaksi autoimun pada organ lain yang pada penderita Diabetes tipe 1 atau anggota keluarga mereka.

Mekanisme yang menyebabkan sistem kekebalan tubuh untuk berespon terhadap sel-sel beta sedang dikaji secara intensif ( Al Homsi and Lukic, 1993).

2.5.2 Diabetes tipe 2

DM tipe 2 memiliki hubungan genetik lebih besar dari tipe 1 DM. Satu studi populasi kembar yang berbasis di Finlandia telah menunjukkan rate konkordansi pada kembar yang setinggi 40%. Efek lingkungan dapat menjadi faktor yang menyebabkan tingkat konkordansi diabetes tibe 2 lebih tinggi daripada tipe 1 DM. Studi genetika molekular pada DM tipe 2, menunjukkan bahwa mutasi pada gen insulin mengakibatkan sintesis dan sekresi insulin yang abnormal, keadaan ini disebut sebagai insulinopati. Sebagian besar pasien dengan insulinopati menderita hiperinsulinemia, dan bereaksi normal terhadap administrasi insulin eksogen. Gen reseptor insulin terletak pada kromosom yang mengkodekan protein yang memiliki alfa dan subunit beta, termasuk domain transmembran dan domain tirosin kinase. Mutasi mempengaruhi gen reseptor insulin telah diidentifikasi dan asosiasi mutasi dengan DM tipe 2 dan resistensi insulin tipe A telah dipastikan. Insulin resistensi tidak cukup untuk menyebabkan

overt glucose intolerance, tetapi dapat memainkan peranan yang signifikan dalam kasus obesitas di mana terdapat penurunan fungsi insulin. Insulin resistensi


(22)

mungkin merupakan event sekunder pada diabetes tipe 2, karena juga ditemukan pada individual obese non-diabetic. Namun, gangguan dalam sekresi insulin barulah faktor primer dalam diabetes tipe 2. Banyak faktor berkontribusi kepada ketidakpekaan insulin, termasuk obesitas dan durasi obesitas, umur, kurangnya latihan, peningkatan pengambilan lemak dan kurangnya serat dan faktor genetik. Obesitas dapat disebabkan oleh faktor genetika bahkan faktor lingkungan, namun, ini memiliki efek yang kuat pada pengembangan diabetes tipe 2 DM seperti yang ditemukan di negara-negara barat dan beberapa etnis seperti Pima Indian. Evolusi obesitas sehingga menjadi diabetes tipe 2 adalah seperti berikut:

(a) Augmentasi dari massa jaringan adiposa, yang menyebabkan peningkatan oksidasi lipid.

(b) Insulin resistensi pada awal obesitas, dinampakkan dari klem euglycemic, sebagai resistent terhadap penyimpanan glukosa insulinmediated dan oksidasi. Seterusnya memblokir fungsi siklus glikogen.

(c) Meskipun sekresi insulin dipertahankan, namun, glikogen yang tidak terpakai mencegah penyimpanan glukosa lebih lanjut dan mengarah ke DM tipe 2.

(d) Kelehan sel beta yang menghasilkan insulin secara komplet.

Dari proses-proses ini, dapat dinyatakan bahwa obesitas lebih dari sekedar faktor risiko sahaja, namun dapat memiliki efek kausal dalam pengembangan diabetes tipe 2 (Al Homsi and Lukic, 1993).

2.6. GEJALA KLINIS

Penyakit Diabetes ini pada awalnya seringkali tidak dirasakan dan tidak disadari oleh penderita. Beberapa keluhan dan gejala yang perlu mendapat perhatian ialah: Keluhan Klasik

a. Penurunan berat badan: Penurunan berat badan yang berlangsung dalam waktu relatif singkat harus menimbulkan kecurigaan. Hal ini disebabkan


(23)

glukosa dalam darah tidak dapat masuk ke dalam sel, sehingga sel kekurangan bahan bakar untuk menghasilkan tenaga. Untuk kelangsungan hidup, sumber tenaga terpaksa diambil dari cadangan lain iaitu sel lemak dan otot. Akibatnya penderita kehilangan jaringan lemak dan otot sehingga menjadi kurus.

b. Banyak kencing: Oleh karena sifatnya, kadar glukosa darah yang tinggi akan menyebabkan banyak kencing. Kencing yang sering dan dalam jumlah banyak akan sangat mengganggu penderita, terutama pada waktu malam hari.

c. Banyak minum: Rasa haus sering dialami oleh penderita karena banyaknya cairan yang keluar melalui kencing. Keadaan ini justru sering disalah tafsirkan. Dikira sebab rasa haus ialah udara yang panas atau beban kerja yang berat. Untuk menghilangkan rasa haus itu penderita minum banyak.

d. Banyak makan: Kalori dari makanan yang dimakan, setelah dimetabolisme menjadi glukosa dalam darah tidak seluruhnya dapat dimanfaatkan, penderita selalu merasa lapar.

Keluhan lain :

a. Gangguan saraf tepi/kesemutan: Penderita mengeluh rasa sakit atau kesemutan terutama pada kaki di waktu malam, sehingga mengganggu tidur.

b. Gangguan penglihatan: Pada fase awal penyakit Diabetes sering dijumpai gangguan penglihatan yang mendorong penderita untuk mengganti kacamatanya berulang kali agar ia tetap dapat melihat dengan baik.

c. Gatal / Bisul: Kelainan kulit berupa gatal, biasanya terjadi di daerah kemaluan atau daerah lipatan kulit seperti ketiak dan di bawah payudara. Sering pula dikeluhkan timbulnya bisul dan luka yang lama sembuhnya. Luka ini dapat timbul akibat hal yang sepele seperti luka lecet karena sepatu atau tertusuk peniti.


(24)

d. Gangguan Ereksi: Ini menjadi masalah tersembunyi karena sering tidak secara terus terang dikemukakan penderitanya. Hal ini terkait dengan budaya masyarakat yang masih merasa tabu membicarakan masalah seks, apalagi menyangkut kemampuan atau kejantanan seseorang.

e. Keputihan: Pada wanita, keputihan dan gatal merupakan keluhan yang sering ditemukan dan kadang-kadang merupakan satu-satunya gejala yang dirasakan.

2.7. DIAGNOSIS

Diagnosa awal penyakit Diabetes bole dilakukan dengan tes darah yang relatif memerlukan biaya yang murah. Menurut National Diabetes Information Clearinghouse (NDIC) yang merupakan pusat servis kepada National Institute of Diabetes and Digestive and Kidney Disea ses (NIDDK), antara tes yang digunakan untuk diagnosis diabetes adalah seperti berikut ( Harlan, 2008):

1) F asting plasma glucose (F PG) test digunakan untuk mengukur glukosa darah pada orang yang tidak makan apa-apa untuk minimal 8 jam. Tes ini digunakan untuk mendeteksi diabetes dan pre-diabetes

2) Oral glucose tolerance test (OGTT) digunakan untuk mengukur glukosa darah setelah seseorang puasa minimal 8 jam dan 2 jam setelah seseorang diberi minuman yang mengandungi glukosa. Tes ini dapat digunakan untuk mendiagnosa diabetes dan pre-diabetes.

3) Random plasma glucose test, disebut juga tes glukosa plasma kasual, mengukur glukosa darah tanpa memperhatikan apa yang dikonsumsi oleh orang yang sedang diuji. Tes ini, bersama dengan penilaian gejala, digunakan untuk mendiagnosa diabetes tetapi bukan pre-diabetes.

Hasil pengujian yang menunjukkan bahwa seseorang menderita diabetes harus dikonfirmasi dengan tes yang kedua pada hari yang berbeda.


(25)

2.7.1. FPG Test

Tes FPG adalah ujian yang lebih disukai untuk mendiagnosis diabetes karena nyaman dan biayaan yang rendah. Namun, tes ini akan melalaikan beberapa diabetes atau pre-diabetes yang dapat ditemukan dengan OGTT. Tes FPG adalah yang paling dapat dipercayai bila dilakukan di pagi hari. Hasil dan interpretasi ditunjukkan pada Tabel. Orang dengan tingkat glukosa puasa setinggi 100 sampai 125 miligram per desiliter (mg/dL) menderita sejenis pre-diabetes yang disebut sebagai gangguan glukosa puasa (IFG). Memiliki IFG berarti seseorang memiliki peningkatan risiko diabetes tipe 2. Tingkat sekitar 126 ml/dL atau lebih, dikonfirmasi dengan mengulang uji pada hari lain, berarti seseorang menderita diabetes ( Harlan, 2008).

Tabel 2.1: Tabel Hasil Tes FPG dan Interprestasi Hasil Glukosa Plasma (mg/dL) Diagnosis

99 dan ke bawah Normal

100 sampai 125 Pre-diabetes

126 dan ke atas Diabetes*

Keterenagan:

* harus dikonfirmasikan lagi dengan mengulangi tes pada hari yang berbeda.

2.7.2. OGTT

Penelitian telah menunjukkan bahwa OGTT lebih sensitif dibandingkan dengan pengujian FPG untuk mendiagnosa pre-diabetes, tapi kurang nyaman untuk administer. OGTT memerlukan puasa minimal 8 jam sebelum ujian. Tingkat glukosa plasma diukur segera sebelum dan 2 jam setelah seseorang minum cairan yang mengandung 75 gram glukosa yang dilarutkan dalam air. Hasil dan interpretasi diperlihatkan pada Tabel 2.2.


(26)

Jika kadar glukosa darah adalah antara 140 dan 199 mg/dL 2 jam setelah minum glukosa (TGT). Setelah TGT, seperti memiliki IFG, berarti seseorang memiliki peningkatan risiko diabetes tipe 2. Tingkat glukosa 2 jam 200 mg/dL atau lebih, dikonfirmasi dengan mengulang uji pada hari lain, berarti seseorang telah menderita diabetes ( Harlan, 2008).

Tabel 2.2: Tabel Hasil OGTT dan Interprestasi

Hasil Glukosa Plasma 2 Jam. (mg/dL) Diagnosa

139 dan ke bawah Normal

140-199 Pre-diabetes

200 dan ke atas Diabetes*

Keterangan:

* harus dikonfirmasikan lagi dengan mengulangi tes pada hari yang berbeda.

Diabetes kehamilan juga dapat didiagnosis berdasarkan nilai glukosa plasma yang diukur selama OGTT, caranya adalah menggunakan 100 gram glukosa dalam cairan untuk ujian. Kadar glukosa darah diperiksa empat kali selama tes. Jika kadar glukosa darah di atas normal setidaknya dua kali pada saat tes, wanita itu dikatakan menderita diabetes kehamilan. Tabel menunjukkan hasil di atas normal untuk OGTT untuk diabetes kehamilan (Harlan, 2008).

Tabel 2.3: Tabel Hasil OGTT Diabetes Kehamilan dan Interpretasi

Hasil Glukosa Plasma (mg/dL) Diagnosis

Pada puasa 95 atau ke atas.

Pada 1 jam 180 atau ke atas.

Pada 2 jam 155 atau ke atas.

Pada 3 jam 140 atau ke atas.

Keterangan:

* Angka-angka ini untuk tes menggunakan minuman dengan 100 gram glukosa Catatan: Beberapa laboratorium menggunakan nomor lain untuk tes ini.


(27)

Menurut kriteria diagnostik Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (PERKENI) 2006, seseorang dikatakan menderita diabetes jika memiliki kadar gula darah puasa ≥1β6 mg/dL pada plasma vena dan ≥100 mg/dL pada darah kapiler sedangkan gula darah sewaktu ≥β00 mg/dL pada plasma vena dan ≥β00 mg/dL pada darah kapiler (PERKENI, 2006).

2.8. PENATALAKSANAAN

Tujuan :

1. Jangka pendek:menghilangkan keluhan/gejala diabetes dan mempertahankan rasa nyaman dan sehat.

2. Jangka panjang: cegah penyulit, baik makroangiopati, mikroangiopati maupun neuropati, dengan tujuan akhir menurunkan morbiditas dan mortilitas diabetes. 3. Cara:menormalkan kadar glukosa, lipid, insulin. Mengingat mekanisme dasar

kelainan Diabetes tipe-2 adalah terdapatnya faktor genetik, tekanan darah, resistensi insulin dan insufisiensi sel beta pankreas, maka cara-cara untuk memperbaiki kelainan dasar yang dapat dikoreksi harus tercermin pada langkah pengelolaan.

4. Kegiatan: mengelola pasien secara holistik, mengajarkan perawatan mandiri dan melakukan promosi perubahan perilaku.

Empat pilar utama dalam penatalaksanaan Diabetes Mellitus menurut Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (Konsensus PERKENI, 2006) yang meliputi :

a) Edukasi

b) Terapi gizi medis c) Latihan jasmani

d) Intervensi farmakologis.

Pada dasarnya, pengelolaan diabetes dimulai dengan pengaturan makan disertai dengan latihan jasmani yang cukup selama beberapa waktu (2-4 minggu). Bila


(28)

setelah itu kadar glukosa darah masih belum dapat memenuhi kadar sasaran metabolik yang diinginkan, baru dilakukan intervensi farmakologik dengan obat-obat anti diabetes oral atau suntikan insulin sesuai dengan indikasi. Dalam keadaan dekompensasi metabolik berat, misalnya ketoasidosis, diabetes dengan stres berat, berat badan yang menurun dengan cepat, insulin dapat segera diberikan. Pada keadaan tertentu obat-obat anti diabetes juga dapat digunakan sesuai dengan indikasi dan dosis menurut petunjuk dokter. Pemantauan kadar glukosa darah bila dimungkinkan dapat dilakukan sendiri di rumah, setelah mendapat pelatihan khusus untuk itu (PERKENI, 2006).

2.8.1. Edukasi

DM Tipe 2 biasa terjadi pada usia dewasa, suatu periode dimana telah terbentuk kokoh pola gaya hidup dan perilaku. Pengelolaan mandiri diabetes secara optimal membutuhkan partisipasi aktif pasien dalam merubah perilaku yang tidak sehat. Keberhasilan dalam mencapai perubahan perilaku, membutuhkan edukasi, pengembangan keterampilan (skill), dan motivasi yang berkenaan dengan:

 Makan makann sehat

 Kegiatan jsmani secara teratur

 Menggunakan obat diabetes secara aman, teratur, dan pada waktu-waktu yang spesifik

 Melakukan pemantauan glukosa darah mandiri dan memanfaatkan berbagai informasi yang ada

 Melakukan perawatan kaki secara berkala  Mengelola diabetes dengan tepat

 Mengembangkan sistem pendukung dan mengajarkan keterampilan  Dapar mempergunakan fasilitas perawatan kesehatan

Edukasi (penyuluhan) secara individual dan pendekatan berdasarkan penyelesaian masalah merupakan inti perubahan perilaku yang berhasil. Perubahan perilaku


(29)

hampir sama dengan proses edukasi dan memerlukan penilaian, perencanaan, implementasi, dokumentasi, dan evaluasi (PERKENI, 2006).

2.8.2. Terapi medis gizi

Diabetes tipe 2 merupakan suatu penyakit dengan penyebab heterogen, sehingga tidak ada satu cara makan khusus yang dapat mengatasi kelainan ini secara umum. Perencanaan makan harus disesuaikan menurut masing-masing individu. Standar yang dianjurkan adalah makanan dengan komposisi yang seimbang dalam hal kabohidrat, protein, lemak, sesuai dengan kecukupan gizi baik sebagai berikut:

 Kabohidrat : 60 – 70%  Protein : 10 – 15%  Lemak : 20 – 25 %

Jumlah kalori disesuaikan dengan pertumbuhan, status gizi, umur, stres akut, dan kegiatan jasmani untuk mencapai dan mempertahankan berat badan idaman. Jumlah kalori yang diperlukan dihitung dari berat badan ideal dikali kebutuhan kalori basal (30 Kkal/kg BB untuk laki-laki dan 25 Kkal/kg BB untuk wanita). Kemudian ditambah dengan kebutuhan kalori untuk aktifitas, koreksi status gizi, dan kalori yang diperlukan untuk menghadapi stres akut sesuai dengan kebutuhan.

Pada dasarnya kebutuhan kalori pada diabetes tidak berbeda dengan non diabetes yaitu harus dapat memenuhi kebutuhan untuk aktifitas baik fisik maupun psikis dan untuk mempertahankan berat badan supaya mendekati ideal (PERKENI, 2006).

2.8.3. Latihan jasmani

Kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan jasmani secara teratur. (3-4 kali seminggu selama kurang lebih 30 menit), merupakan salah satu pilar dalam pengelolaan DM tipe 2. Kegiatan harian seperti berjalan kaki ke pasar, menggunakan tangga, berkebun harus tetap dilakukan Konsensus Pengelolaan dan


(30)

Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia 2006. Latihan jasmani sebaiknya disesuaikan dengan umur dan status kesegaran jasmani. Untuk mereka yang relatif sehat, intensitas latihan jasmani bisa ditingkatkan, sementara yang sudah mendapat komplikasi diabetes dapat dikurangi. Hindarkan kebiasaan hidup yang kurang gerak atau bermalas-malasan (PERKENI, 2006).

2.8.4. Pengelolaan farmakologis

Intervensi farmakologis ditambahkan jika sasaran glukosa darah belum tercapai dengan pengaturan makan dan latihan jasmani.Sarana pengelolaan farmakologis diabetes dapat berupa:

1.Obat hipoglikemik oral (OHO) yang dibagi menjadi 4 golongan mengikut cara kerjanya (PERKENI, 2006):

A. pemicu sekresi insulin (insulin secretagogue): sulfonilurea dan glinid B. penambah sensitivitas terhadap insulin: metformin, tiazolidindion C. penghambat glukoneogenesis (metformin)

D. penghambat absorpsi glukosa: penghambat glukosidase alfa (acarbose) A. Pemicu Sekresi Insulin

1. Sulfonilurea: Obat golongan ini mempunyai efek utama meningkatkan sekresi insulin oleh sel beta pankreas, dan merupakan pilihan utama untuk pasien dengan berat badan normal dan kurang, namun masih boleh diberikan kepada pasien dengan berat badan lebih. Untuk menghindari hipoglikemia berkepanjangan pada berbagai keadaaan seperti orang tua, gangguan faal ginjal dan hati, kurang nutrisi serta penyakit kardiovaskular, tidak dianjurkan penggunaan sulfonilurea kerja panjang (PERKENI, 2006).

2. Glinid: Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan sulfonilurea, dengan penekanan pada meningkatkan sekresi insulin fase pertama. Golongan ini terdiri dari 2 macam obat yaitu: Repaglinid (derivat asam benzoat)


(31)

dan Nateglinid (derivat fenilalanin). Obat ini diabsorpsi dengan cepat setelah pemberian secara oral dan diekskresi secara cepat melalui hati (PERKENI, 2006). B. Penambah sensitivitas terhadap insulin

Tiazolidindion: Tiazolidindion (rosiglitazon dan pioglitazon) berikatan pada Peroxisome Proliferator Activated Receptor Gamma (PPAR- ), suatu reseptor inti di sel otot dan sel lemak. Golongan ini mempunyai efek menurunkan resistensi insulin dengan meningkatkan jumlah protein pengangkut glukosa, sehingga meningkatkan ambilan glukosa di perifer. Tiazolidindion dikontraindikasikan pada pasien dengan gagal jantung kelas I-IV karena dapat memperberat edema/retensi cairan dan juga pada gangguan faal hati. Pada pasien yang menggunakan tiazolidindion perlu dilakukan pemantauan faal hati secara berkala (PERKENI, 2006).

C. Penghambat glukoneogenesis

Metformin: Obat ini mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa hati (glukoneogenesis), di samping juga memperbaiki ambilan glukosa perifer. Terutama dipakai pada penyandang diabetes gemuk. Metformin dikontraindikasikan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal (serum kreatinin > 1,5 mg/dL) dan hati, serta pasien-pasien dengan kecenderungan hipoksemia (misalnya penyakit serebro- vaskular, sepsis, renjatan, gagal jantung). Metformin dapat memberikan efek samping mual. Untuk mengurangi keluhan tersebut dapat diberikan pada saat atau sesudah makan (PERKENI, 2006).

D. Penghambat Glukosidase Alfa (Acarbose)

Obat ini bekerja dengan mengurangi absorpsi glukosa di usus halus, sehingga mempunyai efek menurunkan kadar glukosa darah sesudah makan. Acarbose tidak menimbulkan efek samping hipoglikemia. Efek samping yang paling sering ditemukan ialah kembung dan flatulens. Mekanisme kerja OHO,


(32)

efek samping utama, serta pengaruh obat terhadap penurunan A1C dapat dilihat pada tabel (PERKENI, 2006).


(33)

Tabel 2.4 : Obat Hipoglikemik Oral

(Sumber: Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia, 2006)


(34)

2.Insulin

Insulin diperlukan pada keadaan:

 Penurunan berat badan yang cepat  Hiperglikemia berat yang disertai ketosis  Ketoasidosis diabetik

 Hiperglikemia hiperosmolar non ketotik  Hiperglikemia dengan asidosis laktat

 Gagal dengan kombinasi OHO dosis hampir maksimal  Stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, IMA,stroke)  Kehamilan dengan DM gestasional yang tidak terkendali  Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat

 Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO

Tabel 2.5 : Farmakokinetik insulin eksogen berdasar waktu kerja

(Sumber: Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia, 2006)


(35)

Berdasar lama kerja, insulin terbagi menjadi empat jenis (PERKENI, 2006) yakni:  Insulin kerja cepat (rapid acting insulin)

 Insulin kerja pendek (short acting insulin)

 Insulin kerja menengah (intermediate acting insulin)  Insulin kerja panjang (long acting insulin)

 Insulin campuran tetap, kerja pendek dan menengah(premixed insulin). 3.Terapi Kombinasi

Pemberian OHO maupun insulin selalu dimulai dengan dosis rendah, untuk kemudian dinaikkan secara bertahap sesuai dengan respons kadar glukosa darah. Bersamaan dengan pengaturan diet dan kegiatan jasmani, bila diperlukan dapat dilakukan pemberian OHO tunggal atau kombinasi OHO sejak dini. Terapi dengan OHO kombinasi, harus dipilih dua macam obat dari kelompok yang mempunyai mekanisme kerja berbeda. Bila sasaran kadar glukosa darah belum tercapai, dapat pula diberikan kombinasi tiga OHO dari kelompok yang berbeda atau kombinasi OHO dengan insulin.

Pada pasien yang disertai dengan alasan klinik di mana insulin tidak memungkinkan untuk dipakai dipilih terapi dengan kombinasi tiga OHO.Untuk kombinasi OHO dan insulin, yang banyak dipergunakan adalah kombinasi OHO dan insulin basal (insulin kerja menengah atau insulin kerja panjang) yang diberikan pada malam hari menjelang tidur.

Dengan pendekatan terapi tersebut pada umumnya dapat diperoleh kendali glukosa darah yang baik dengan dosis insulin yang cukup kecil. Dosis awal insulin kerja menengah adalah 6-10 unit yang diberikan sekitar jam 22.00, kemudian dilakukan evaluasi dosis tersebut dengan menilai kadar glukosa darah puasa keesokan harinya. Bila dengan cara seperti di atas kadar glukosa darah sepanjang hari masih tidak terkendali, maka obat hipoglikemik oral dihentikan dan diberikan insulin saja ( PERKENI, 2006).


(36)

2.9. KOMPLIKASI

Jika gula darah tidak terkontrol dengan baik beberapa tahun kemudian akan timbul komplikasi. Komplikasi akibat diabetes yang timbul dapat berupa komplikasi akut dan kronis.

2.9.1. Komplikasi akut

Komplikasi yang muncul secara mendadak. Keadaan bisa fatal jika tidak segera ditangani. Yang termasuk dalam kelompok ini adalah (Harrison, et al, 2005) :

a) Hipoglikemi

Menurut Fishbein dan Palumbo, hipoglikemia adalah suatu keadaan di mana konsentrasi atau kadar gula di dalam darah terlalu rendah (<60mg/dl), yang dapat terjadi pada pasien yang menerima suntikan insulin dan obat anti diabetes. Hipoglikemia ini terjadi jika pemberian dosis insulin atau obat anti diabetes tidak tepat, latihan fisik atau olah raga berlebihan, menunda jadwal makan setelah minum obat, serta kebiasaan konsumsi alkohol.

b) Ketoasidosis

Pada diabetes melitus yang tidak terkendali dengan kadar gula darah yang tinggi dan kadar hormon yang rendah, tubuh tidak dapat menggunakan glukosa sebagai sumber energi. Sebagai gantinya tubuh akan memecah lemak untuk sumber energi pemecahan lemak tersebut kemudian menghasilkan badan-badan keton di dalam darah (ketosis). Ketosis ini menyebabkan derajat keasaman (PH) dalam darah menurun (asidosis). Pada pasien dengan ketoasidosis diabetik umumnya memilki riwayat asupan kalori (makanan) yang berlebihan atau penghentian obat diabetes atau insulin. Gejala yang timbul dapat berupa kadar gula darah tinggi (>240 mg/dl). Terdapat keton dalam urin, buang air kecil banyak hingga dehidrasi, napas berbau aseton, lemas hingga koma.


(37)

c) Hiperosmolar Non-Ketotik (HONK)

Pada keadaan tertentu gula darah dapat sedemikian tingginya sehingga darah menjadi kental. Dalam keadaan seperti ini dinamakan Hiperosmolar Non-Ketotik (HNOK), atau Diabetic Hiperosmolar Syndrome (DHS). Kadar glukosa darah dapat mencapai nilai 600mg/dl. Glukosa dapat menarik air keluar sel dan selanjutnya keluar bersama urin, dan tubuh mengalami dehidrasi. Penderita diabetes dalam keadaan ini menunjukkan gejala nafas cepat dan dalam, banyak kencing, sangat haus, lemah, kaki dan tulang kram, bingung, nadi cepat, kejang dan koma. Hiperglikemia dapat terjadi jika masukan kalori yang berlebihan, penghentian obat oral maupun insulin yang didahului stress akut.

2.9.2. Komplikasi kronik

Komplikasi ini terjadi karena glukosa darah berada di atas normal berlangsung secara selama bertahun-tahun. Komplikasi timbul secara perlahan, kadang tidak diketahui, tetapi berangsur semakin berat dan membahayakan. Yang termasuk dalam komplikasi kronik adalah (Harrison, et al, 2005):

1)Mikrovaskular a. Penyakit Mata

i. Retinopati (nonproliferatif/proliferatif) ii. Macular edema

b.Neuropati

i. Sensorik dan motorik (mononeuropati dan polineuropati) ii. Autonomik

c. Nefropati 2)Makrovaskular

a. Penyakit arteri koronari b.Penyakit vaskular perifer c. Penyakit cerebrovaskular


(38)

3)Lain-lain

a. Gastrointestinal i. Gastroparesis ii. Diare

b.Genitourinary

i. Uropati/disfungsi ereksi ii. Ejakulasi retrograde c. Dermatologi

d.Infeksi e. Katarak f. Glaukoma

2.10. TANAMAN BAWANG PUTIH 2.10.1 Pengenalan Bawang Putih

Menurut Santoso (2000) dalam Hernawan dan Setyawan (2003), bawang putih merupakan tanaman herba parenial yang membentuk umbi lapis. Tanaman ini tumbuh secara berumpun dan berdiri tegak sampai setinggi 30-75 cm. Batang yang nampak di atas permukaan tanah adalah batang semu yang terdiri dari pelepah-pelepah daun. Sedangkan batang yang sebenarnya berada di dalam tanah. Dari pangkal batang tumbuh akar berbentuk serabut kecil yang banyak dengan panjang kurang dari 10 cm. Akar yang tumbuh pada batang pokok bersifat rudimenter, berfungsi sebagai alat penghisap makanan.


(39)

Gambar 2.1 : Bawang Putih

(Sumber: http://wordpress.com)

Bawang putih membentuk umbi lapis berwarna putih. Sebuah umbi terdiri dari 8–20 siung (anak bawang). Antara siung satu dengan yang lainnya dipisahkan oleh kulit tipis dan liat, serta membentuk satu kesatuan yang kuat dan rapat. Di dalam siung terdapat lembaga yang dapat tumbuh menerobos pucuk siung menjadi tunas baru, serta daging pembungkus lembaga yang berfungsi sebagai pelindung sekaligus gudang persediaan makanan. Bagian dasar umbi pada hakikatnya adalah batang pokok yang mengalami rudimentasi (Santoso, 2000; Zhang, 1999) dalam (Hernawan dan Setyawan, 2003).

Helaian daun bawang putih berbentuk pita, panjang dapat mencapai 30–60 cm dan lebar 1–2,5 cm. Jumlah daun 7–10 helai setiap tanaman. Pelepah daun panjang, merupakan satu kesatuan yang membentuk batang semu. Bunga merupakan bunga majemuk yang tersusun membulat; membentuk infloresensi payung dengan diameter 4–9 cm. Perhiasan bunga berupa tenda bunga dengan 6 tepala berbentuk bulat telur. Stamen berjumlah 6, dengan panjang filamen 4–5 mm, bertumpu pada dasar perhiasan bunga. Ovarium superior, tersusun atas 3 ruangan. Buah kecil berbentuk kapsul loculicidal (Becker dan Bakhuizen van den Brink, 1963; Zhang, 1999) dalam (Hernawan dan Setyawan, 2003).

Menurut Santoso (2000) dalam Hernawan dan Setyawan (2003), bawang putih umumnya tumbuh di dataran tinggi, tetapi varietas tertentu mampu tumbuh


(40)

di dataran rendah. Tanah yang bertekstur lempung berpasir atau lempung berdebu dengan pH netral menjadi media tumbuh yang baik. Lahan tanaman ini tidak boleh tergenang air. Suhu yang cocok untuk budidaya di dataran tinggi berkisar antara 20–250C dengan curah hujan sekitar 1.200–2.400 mm pertahun, sedangkan suhu untuk dataran rendah berkisar antara 27–300C.

a)Klasifikasi Ilmiah

 Divisio : Spermatophyta

 Sub divisio : Angiospermae

 Kelas : Monocotyledonae

 Bangsa : Liliales

 Suku : Liliaceae

 Marga : Allium

 Jenis : Allium sativum

 Nama umum : bawang putih b)Nama binomial : Allium sativum L.

c)Nama daerah :

1. Sumatera : Bawang putih (Melayu), Lasun (Aceh), Dasun (Minangkabau), Lasuna (Batak), Bacong landak (Lampung).

2. Jawa : Bawang bodas (Sunda), Bawang (Jawa), Babang pole (Madura). 3. Kalimantan : Bawang kasihong (Dayak).

4. Sulawesi : Lasuna kebo (Makasar), Lasuna pote (Bugis), Pia moputi (Gorontalo).

5. Nusa Tenggara : Incuna.

Mengikut Mrs. M. Grieve dalam bukunya yang bertajuk " A Modern Herbal " bawang putih boleh didapati di utara dan selatan Siberia dan kemudiannya berkembang ke selatan Eropah dan ia juga dikatakan tumbuh secara liar di Sicily. Menurut Mrs. M. Grieve, bawang putih juga ditanam secara meluas di negara-negara Latin yang bersempadan dengan negara-negara Mediteranean (Yacob, 1999).


(41)

2.10.2 Metabolit Sekunder : Organo Sulfur

Amagase, et al, (2001) dalam Hernawan dan Setyawan (2003) menyatakan metabolit sekunder yang terkandung di dalam umbi bawang putih membentuk suatu sistem kimiawi yang kompleks serta merupakan mekanisme pertahanan diri dari kerusakan akibat mikroorganisme dan faktor eksternal lainnya. Sistem tersebut juga ikut berperan dalam proses perkembangbiakan tanaman melalui pembentukan tunas. Selain itu, Challem (1995) dalam Hernawan dan Setyawan (2003) pula menyatakan sebagaimana kebanyakan tumbuhan lain, bawang putih mengandung lebih dari 100 metabolit sekunder yang secara biologi sangat berguna. Menurut Ellmore dan Fekldberg (1994) dalam Hernawan dan Setyawan (2003), senyawa ini kebanyakan mengandung belerang yang bertanggungjawab atas rasa, aroma, dan sifat-sifat farmakologi bawang. Dua senyawa organosulfur paling penting dalam umbi bawang putih, yaitu asam amino nonvolatil -glutamil-S- alk(en)il-L-sistein dan minyak atsiri S-alk(en)il- sistein sulfoksida atau alliin.

Gambar 2.2 : γ-glutamil-S-alk(en)il-L-sistein

(Sumber:Hernawan dan Setyawan, 2003)

Gambar 2.3 : Struktur kimia Alliin

(Sumber: Hernawan dan Setyawan, 2003)

Dua senyawa di atas menjadi prekursor sebagian besar senyawa organosulfur lainnya. Kadarnya dapat mencapai 82% dari keseluruhan senyawa organosulfur di dalam umbi (Zhang, 1999) dalam (Hernawan dan Setyawan, 2003) . Senyawa -glutamil-S-alk(en)il-L-sistein merupakan senyawa intermediet


(42)

biosintesis pembentukan senyawa organosulfur lainnya, termasuk alliin. Senyawa ini dibentuk dari jalur biosintesis asam amino. Dari -glutamil-S-alk(en)il-L-sistein, reaksi enzimatis yang terjadi akan menghasilkan banyak senyawa turunan, melalui dua cabang reaksi, yaitu jalur pembentukan thiosulfinat dan S- allil sistein (SAC). Dari jalur pembentukan thiosulfinat akan dihasilkan senyawa allisin (allisin). Selanjutnya dari jalur ini akan dibentuk kelompok allil sulfida, dithiin, ajoene, dan senyawa sulfur lain. Proses reaksi pemecahan -glutamil-S-alk(en)il- Lsistein berlangsung dengan bantuan enzim glutamil transpeptidase dan -glutamil-peptidase oksidase, serta akan menghasilkan alliin (Song dan Milner, 2001) dalam (Hernawan dan Setyawan, 2003).

Gambar 2.4 : Jalur Pemecahan γ-glutamil-S-alk(en)il-L-sistein.

(Sumber: Hernawan dan Setyawan, 2003)

Pada saat umbi bawang putih diiris-iris dan dihaluskan dalam proses pembuatan ekstrak atau bumbu masakan, enzim allinase menjadi aktif dan menghidrolisis alliin menghasilkan senyawa intermediet asam allil sulfenat . Kondensasi asam tersebut menghasilkan allisin, asam piruvat, dan ion NH4+. Satu miligram alliin ekuivalen dengan 0,45 mg allisin (Zhang, 1999). Pemanasan dapat menghambat aktivitas enzim allinase. Pada suhu di atas 60oC, enzim ini inaktif (Song dan Milner, 2001) dalam (Hernawan dan Setyawan, 2003).


(43)

Gambar 2.5 : Reaksi pembentukan allicin.

(Sumber: Hernawan dan Setyawan, 2003)

Asam amino alliin akan segera berubah menjadi allisin begitu umbi diremas (Dreidger, 1996) dalam (Hernawan dan Setyawan, 2003). Allisin bersifat tidak stabil (Amagase et al., 2001), sehingga mudah mengalami reaksi lanjut, tergantung kondisi pengolahan atau faktor eksternal lain seperti penyimpanan, suhu, dan lain-lain (Hernawan dan Setyawan, 2003)

Ekstraksi umbi bawang putih dengan etanol pada suhu di bawah 0oC, akan menghasilkan alliin. Ekstraksi dengan etanol dan air pada suhu 25oC akan menghasilkan allisin dan tidak menghasilkan alliin. Sedang ekstraksi dengan metode distilasi uap (100oC) menyebabkan seluruh kandungan alliin berubah menjadi senyawa allil sulfida (Zhang, 1999) dalam (Hernawan dan Setyawan, 2003). Oleh karena itu proses ekstraksi perlu dilakukan pada suhu kamar. Pemanasan dapat menurunkan aktivitas anti-kanker ekstrak umbi bawang putih. Pengolahan ekstrak dengan microwave selama 1 menit menyebabkan hilangnya 90% kinerja enzim allinase. Pemanasan dapat menyebabkan reaksi pembentukan senyawa allil-sulfur terhenti (Song dan Milner, 2001) dalam (Hernawan dan Setyawan, 2003).


(44)

Gambar 2.6 : Derivat allil sulfida


(45)

Allisin (3) merupakan prekursor pembentukan allil sulfida, misalnya diallil disulfida (DADS) (6), diallil trisulfida (DATS) (7), diallil sulfida (DAS) (8), metallil sulfida (9), dipropil sulfida (10), dipropil disulfida (11), allil merkaptan (12), dan allil metil sulfida (13). Kelompok alllil sulfida memiliki sifat dapat larut dalam minyak. Oleh karena itu, untuk mengekstraknya digunakan pelarut non-polar (Gupta dan Porter, 2001). Pembentukan kelompok ajoene, misalnya E-ajoene (14) dan Z-E-ajoene (15), serta kelompok dithiin, misalnya 2-vinil-(4H)-1,3- dithiin (16) dan 3-vinil-(4H)-1,2 dithiin (17), juga berawal dari pemecahan allisin (3) (Zhang, 1999) dalam (Hernawan dan Setyawan, 2003).

Senyawa organosulfur lain yang terkandung dalam umbi bawang putih antara lain, S propilsistein (SPC) (18), S-etil-sistein (SEC) (19), dan Smetil- sistein (SMC) (20). Umbi bawang putih juga mengandung senyawa organo-selenium dan tellurium, antara lain Se-(metil)selenosistein (21), selenometionin (22), dan selenosistein (23). Senyawa-senyawa di atas (18–23) mudah larut dalam air (Gupta dan Porter, 2001) dalam (Hernawan dan Setyawan, 2003). Beberapa senyawa bioaktif flavonoid penting yang telah ditemukan antara lain: kaempferol-3-O- -Dglukopiranosa (24) dan iso-rhamnetin-kaempferol-3-O- -Dglukopiranosa (25) (Kim et al., 2000) dalam (Hernawan dan Setyawan, 2003).

Senyawa frukto-peptida yang penting, yaitu Nα-(deoxy-Dfructose- 1-yl)-L-arginin (26) (Ryu et al., 2001) dalam (Hernawan dan Setyawan, 2003). Ekstrak segar umbi bawang putih dapat disimpan lama dalam ethanol 15–20%. Penyimpanan selama sekitar 20 bulan pada suhu kamar akan menghasilkan AGE (aged garlic extract). Selama penyimpanan, kandungan allisin (3) akan menurun dan sebaliknya diikuti naiknya konsentrasi senyawasenyawa baru. Senyawa yang dominan terkandung adalah S-alil sistein (4) dan S-allilmerkaptosistein (SAMC) (27) (Banerjee dan Maulik, 2002; Amagase et al., 2001) dalam (Hernawan dan Setyawan, 2003).

Selain dalam bentuk ekstrak padatan, umbi bawang putih dapat pula diolah melalui distilasi uap menjadi minyak atsiri bawang putih yang banyak digunakan


(46)

dalam pengobatan. Kandungan kimia minyak atsiri bawang ini secara umum terdiri dari 57% diallil sufida (8), 37% allil metil sulfida (13), dan 6% dimetil sulfida. Minyak bawang komersial umumnya mengandung 26% diallil disulfida (6), 19% diallil trisulfida (7), 15% allil metil trisulfida, 13% allil metil disulfida, 8% diallil tetrasulfida, 6% allil metil tetrasulfida, 3% dimetil trisulfida, 4% pentasulfida, dan 1% heksasulfida. Minyak bawang hasil maserasi mengandung kelompok vinyl-dithiin 0,8 mg/g dan ajoena 0,1 mg/g, sedangkan ekstrak eter mengandung vinyl-dithiin 5,7 mg/g, allil sulfida 1,4 mg/g, dan ajoena 0,4 mg/g (Banerjee dan Maulik, 2002) dalam (Hernawan dan Setyawan, 2003).

2.10.3. Aktivitas Biologi dan Manfaat Bawang Putih

Para pakar kesehatan secara konsisten melakukan penggalian informasi khasiat bawang putih melalui penelitian farmakologi laboratoris yang sistematis (Rukmana, 1995). Tahapan pengujian, penelitian, dan pengembangan secara sistematis perlu dilakukan agar pemanfaatan dan khasiat bawang putih dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah (Budhi, 1994), bukan sekedar pengetahuan yang diperoleh secara turun temurun. Pembuatan catatan atau dokumentasi ilmiah atas hasil penelitian tersebut dilakukan agar dapat terus dimanfaatkan dan dikembangkan oleh generasi di masa depan (Hernawan dan Setyawan, 2003).

Penelitian farmakologi tentang bawang putih telah banyak dilakukan, tidak hanya secara in vivo (dengan hewan percobaan) tetapi juga in vitro (dalam tabung kultur). Hal ini ditempuh untuk membuktikan khasiat dan aktivitas biologi dari senyawa aktif bawang putih, sekaligus dosis dan kemungkinan efek sampingnya. Berbagai penelitian yang telah dikembangkan untuk mengeksplorasi aktivitas biologi umbi bawang putih yang terkait dengan farmakologi, antara lain sebagai antidiabetes, anti-hipertensi, anti-kolesterol, antiatherosklerosis, anti-oksidan, agregasi sel platelet, pemacu fibrinolisis, virus, antimikrobia, dan anti-kanker (Hernawan dan Setyawan, 2003).


(47)

Bawang Putih (Allium sativum) sebagai Anti-diabetes

Diabetes mellitus (DM) merupakan penyakit fisiologis berupa perubahan homeostasis glukosa yang menyebabkan kadar glukosa plasma darah di atas normal. Kondisi ini sering disebut hiperglikemik (Maher, 2000). Berbagai jenis tumbuhan obat telah dimanfaatkan untuk terapi penyakit tersebut. Banyak penelitian telah sampai pada isolasi senyawa aktif tumbuhan yang mampu memberikan efek hipoglikemik atau anti-diabetes, termasuk diantaranya umbi bawang putih (Hernawan dan Setyawan, 2003).

Efek hipoglikemik umbi bawang putih telah dibuktikan secara in vivo, sedangkan secara in vitro belum dilakukan. Penelitian awal mengenai efek hipoglikemik bawang putih dilakukan oleh Mathew dan Augusti (1973), dengan melakukan isolasi allisin dan memberikannya pada tikus diabetes. Pada perlakuan dengan dosis 250 mg/kb BB, diketahui allisin mampu menurunkan kadar glukosa darah 60% lebih efektif daripada tolbutamid. Selanjutnya, Augusti (1975) memberi perlakuan ekstrak umbi bawang putih pada kelinci yang diinduksi diabetes menggunakan alloksan. Allisin dari ekstrak umbi bawang putih dapat menurunkan kadar glukosa darah kelinci seperti halnya tolbutamid (obat sintetis untuk penderita diabetes). Pada perkembangan berikutnya, semua penelitian yang mengkaji efek hipoglikemik umbi bawang putih menunjukkan hasil positif (Banerjee dan Maulik, 2002).

Sheela, et al. (1995) mengisolasi senyawa asam amino sulfoksida dari bawang putih untuk kemudian diperlakukan pada tikus diabetes. Senyawa yang berhasil diisolasi adalah metilsistein sulfoksida (SMCS) dan alliin atau S-allilsistein sulfoksida. Perlakuan ekstrak selama sebulan menunjukkan penurunan kadar glukosa darah yang signifikan. Alliin pada dosis 200 mg/kg BB mempunyai unjuk kerja yang sama dengan glibenklamid (obat diabetes) dan hormon insulin.


(48)

Perlakuan ekstrak minyak atsiri bawang putih pada tikus diabetes dapat menurunkan kadar enzim fosfatase dalam sel darah merah, fosfatase asam dan alkali, transferase alanin, transferase aspartat, dan amilase dalam serum darah. Enzim-enzim tersebut berperan dalam metabolisme glukosa (Ohaeri, 2001) dalam (Hernawan dan Setyawan, 2003). Perlakuan dengan ekstrak yang sama pada manusia normal juga menunjukkan adanya aktivitas hipoglikemik pada serum darah. Kadar glukosa darah para sukarelawan mengalami penurunan setelah diberi perlakuan selama 11 minggu (Zhang, et al., 2001) dalam (Hernawan dan Setyawan, 2003).

Mekanisme penurunan kadar glukosa darah oleh ekstrak bawang putih masih belum diketahui secara jelas. Senyawa yang berperan telah diketahui yakni allisin dan alliin (Augusti, 1975; Sheela et al., 1995). Kemungkinan masih terdapat senyawa lain yang juga mampu menurunkan kadar glukosa darah pada diabetes mellitus. Allisin dan alliin mampu menjadi agen anti-diabetes dengan mekanisme perangsangan pankreas untuk mengeluarkan sekret insulinnya lebih banyak (Banerjee dan Maulik, 2002).

2.10.4 Toksisitas dan efek samping

Beberapa literatur menyatakan adanya efek negatif konsumsi bawang putih, namun sebagian besar tidak memiliki bukti yang cukup, hanya berupa studi awal, studi kasus atau studi epidemiologi (Jesse, et al., 1997) dalam (Hernawan dan Setyawan, 2003). Dugaan diet bawang putih terkait dengan kangker mulut tidak benar, mengingat bawang putih bersifat anti kangker. Kangker tersebut merupakan akibat cara menyikat gigi untuk menghilangkan bau menyengat yang salah (Kabat, et al., 1989) dalam (Hernawan dan Setyawan, 2003).

Salah satu kajian ilmiah dengan bukti cukup mengenai efek negatif bawang putih adalah kajian hepatosit pada tikus. Penelitian menunjukkan bahwa ekstrak bawang putih sangat bernilai untuk detoksifikasi dan antioksidasi pada kadar 1 mM, namun pada kadar 5 mM secara nyata dapat menurunkan viabilitas


(49)

sel, mengubah morfologi sel, dan menurunkan aktivitasnya (Sheen, et al., 1996) dalam (Hernawan dan Setyawan, 2003).

Umbi bawang putih aman untuk dikonsumsi manusia pada takaran normal, yakni kurang dari tiga umbi per hari. Pada takaran tersebut, toksisitas dan efek samping konsumsi umbi bawang putih belum ada. Bahkan untuk wanita hamil dan menyusui, umbi bawang putih tidak menunjukkan efek negatif. Pada kasus yang jarang terjadi, bawang putih dapat menyebabkan alergi (Pizorno dan Murray, 2000; Yarnell, 1999; Lemiere, et al., 1996; Delaney dan Donnely, 1996; Burden,

et al., 1994) dalam (Hernawan dan Setyawan, 2003).

Bawang putih juga tidak berefek negatif terhadap sekresi enzim pencernaan (Sharatchandra, et al., 1995) dalam (Hernawan dan Setyawan, 2003). Efek positif konsumsi bawang putih jauh lebih tinggi dibandingkan efek negatifnya. Penelitian-penelitian terbaru menunjukkan bawang putih merupakan obat mujarap untuk meningkatkan vitalitas tubuh bagaikan ginseng (Jesse, et al., 1997) dalam (Hernawan dan Setyawan, 2003).


(50)

BAB 3

KERANGKA KONSEP DAN DEFENISI OPERASIONAL

3.1. Kerangka Konsep Penelitian

Berdasarkan tujuan penelitian dan tinjauan teori, maka dapat dirumuskan kerangka konsep penelitian sebagai berikut:

Variabel Bebas Variabel Tergantung

Gambar 3.1 : Kerangka Konsep Penelitian

3.2. Variabel Penelitian 3.2.1 Variabel Bebas

Pada penelitian ini yang ditetapkan sebagai variabel bebas adalah pemberian ekstrak dari bawang putih (Allium sativum L.) serta pemberian glibenklamid dan metformin.

Ekstrak bawang putih (Allium sativum)

Metformin (antidiabetik golongan

Biguanid)

Glibenclamide (antidiabetik golongan

Sulfonilurea)

Kadar Gula Darah Mencit Diabetes


(51)

3.2.2 Variabel Tergantung

Variabel tergantung dalam penelitian ini adalah efek kadar gula darah pada mencit diabetes yang diinduksi Alloksan dan parameter yang diukur adalah kadar gula darah mencit.

3.3. Definisi Operasional

No. Variabel Def. Operasional Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala Ukur 1. Mencit

diinduksi dengan

Alloxan

Mencit tertentu yang dipilih berdasarkan kriteria tertentu

kemudian diinduksi Alloxan

dengan dosis 200 mg/kgBB (Jing dan Yin, 2009)

secara intraperitoneal untuk menjadikan

tikus itu diabetik.

Ambil darah mencit tersebut sebanyak

5µ l- 0.2ml pada vena lateral ekor

mencit setelah seminggu diinduksi

dengan Alloxan untuk melihat KGD

bagi menentukan diabetik atau tidak yaitu > 200 mg/dL (Tanquilut, et al.,

2009) Kadar glukosa darah mencit diukur dengan mengguna-kan strip test Range Normal: (62-175 mg/dL), (Research Animal Resource, 2011) Hiperglikemia: (>200mg/dL) Num-erik

2. Ekstrak bawang putih (Allium Sativum)

Ekstrak bawang putih (Allium sativum) dibuat

dengan menggunakan kaedah maserasi

Ekstrak bawang putih diberi pada

mencit dengan dosis 350 mg/kgBB

secara oral. Kadar glukosa darah mencit diukur dengan mengguna-kan strip test KGD: -Tidak Berubah -Meningkat -Menurun Nom-inal


(52)

3. Metformin Metformin adalah antidiabetik golongan biguanid

yang berkerja untuk menurunkan

kadar gula darah dengan cara mengurangi produksi glukosa

hati

(glukoneogenesis), di samping juga

memperbaiki ambilan glukosa

perifer.

Metformin diberi pada mencit dengan

dosis 65 mg/kgBB secara oral. Kadar glukosa darah mencit diukur dengan mengguna-kan strip test KGD: -Tidak Berubah -Meningkat -Menurun Nom-inal

4. Gliben-klamid Glibenklamid merupakan antidiabetik golongan sulfonylurea yang mampu menurunkan kadar

gula darah kerana mempunyai efek

utama meningkatkan sekresi insulin oleh sel beta

pankreas.

glibenklmid diberi pada mencit dengan

dosis 0,65 mg/kgBB secara oral. Kadar glukosa darah mencit diukur dengan mengguna kan strip test KGD: -Tidak Berubah -Meningkat -Menurun Nom-inal


(53)

5. Kadar gula darah mencit

Kadar gula dalam darah mencit diabetik yang diinduksi alloxan

setelah diberikan ekstrak bawang

putih (Allium sativum)

Ambil darah sebanyak 5 µ l- 0.2

ml pada vena lateral ekor mencit yaitu pada pre test dan post test untuk melihat efek dari

bawang putih (Allium sativum) Kadar gula darah diukur dengan mengguna-kan kaedah strip test. KGD: -Tidak Berubah -Meningkat -Menurun Num-erik 3.4. Hipotesis

3.4.1. Hipotesis Nol (Ho)

Pemberian ekstrak bawang putih (Allium sativum) tidak berpengaruh terhadap kadar gula darah pada tikus diabetes yang diinduksi dengan Aloksan.

3.4.2. Hipotesis Alternatif (Ha)

Pemberian ekstrak bawang putih (Allium sativum) berpengaruh terhadap kadar gula darah pada tikus diabetes yang diinduksi dengan Aloksan.


(54)

BAB 4

METODE PENELITIAN 4.1. Jenis Penelitian

Penelitian yang digunakan merupakan penelitian jenis analitik eksperimental laboratorik yang menggunakan Randomized Pre and Post Test Control Group Design sebagai rancangan penelitian.

4.2. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan pada bulan Februari hingga November 2011. Penelitian telah dilakukan setelah mendapat ethical clearance dari Komite Etik Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Tempat penelitian dilakukan di Laboratorium Farmakologi, Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara.

4.3. Populasi dan Sampel 4.3.1. Populasi

Populasi penelitian ini adalah semua mencit Mus Musculus L. Strain DDW (Double Disch Webster) jantan di Unit Laboratorium Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA), Universitas Sumatera Utara, Medan Indonesia.

4.3.2. Sampel

Sampel penelitian ini adalah 20 ekor mencit (Mus Musculus L. Strain DDW) jantan yang diperoleh dari Unit Laboratorium Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sumatera Utara, Medan Indonesia yang dibagi menjadi lima kelompok yakni kelompok kontrol negatif, kontrol positif dan 3 kelompok perlakuan. Masing-masing kelompok terdiri dari empat ekor mencit (Mus Musculus L. Strain DDW) jantan yang semuanya


(55)

dikandangkan secara terpisah di Laboratorium Farmakologi, Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara, Medan Indonesia. Semua sampel penelitian dipelihara pada suhu bilik 25 ± 5°C dengan siklus 12 jam terang dan 12 jam gelap.

4.3.2.1 Kriteria inklusi

1. Mencit (Mus Musculus L. Strain DDW) jantan berusia 3- 4 bulan. 2. Berat badan mencit 20- 35 g.

3. Kondisi sehat yaitu mencit aktif dan tidak cacat.

4. Kadar glukosa darah pada mencit setelah diinduksi Alloksan adalah sebanyak > 200 mg/dL (Jing dan Yin, 2009).

4.3.2.2. Kriteria eksklusi

1. Bobot mencit menurun hingga berat badannya kurang dari 20g. 2. Mencit mati dalam masa penelitian.

3. Mencit mengalami diare selama penelitian berlangsung. 4. Mencit cacat selama penelitian berlangsung.

4.3.3. Besar Sampel

Jumlah unit percobaan lima dengan ulangan masing-masing enam untuk setiap unit, dengan ulangan yang ditentukan menurut rumus Federer (Wahyuni, 2011) yaitu :

(t-1) (r-1) > 15.

t = jumlah perlakuan/percoabaan r = jumlah replikasi/ulangan

Besar sampel penelitian: Dengan mengambil t = 5 , maka perlu dicari nilai r = ? (t-1) (r-1) >15

(5-1) (r-1) >15 r > 19/4 r > 4.75 ≈ 5


(56)

Besar sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah empat ekor mencit tiap kelompok. Terdapat lima kelompok yakni dua kelompok kontrol dan tiga kelompok perlakuan. Jumlah sampel seluruhnya adalah 20 ekor mencit (Mus Musculus L. Strain DDW) jantan.

4.3.4. Cara pengambilan sampel

Pengambilan sampel telah dilakukan secara randomisasi sederhana untuk menghindari bias karena variasi umur dan berat badan. Randomisasi dapat langsung diaplikasikan karena sampel diambil dari mencit (Mus Musculus L. Strain DDW) jantan yang telah memenuhi kriteria inklusi sehingga dianggap cukup homogen. 20 ekor mencit (Mus Musculus L. Strain DDW) jantan dibagi menjadi lima kelompok yaitu tiga kelompok perlakuan dan dua kelompok kontrol. Masing-masing kelompok terdiri dari empat ekor mencit yang dikandangkan secara terpisah di Laboratorium Farmakologi, Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara, Medan Indonesia.

4.4. Metode Pengumpulan Data 4.4.1. Alat dan Bahan

4.4.1.1. Alat

1. Kandang mencit.

2. Tempat pakan dan tempat minum mencit untuk tiap kandang. 3. Sonde oral.

4. Timbangan elektronik.

5. Alat- alat untuk menginduksi mencit menjadi mencit diabetik.

6. Alat-alat untuk membuat ekstrak bawang putih (Allium sativum) seperti

Rotary evaporator, Freeze dryer dan lain- lain.


(57)

4.4.1.2. Bahan

1. Makanan mencit (Mus Musculus L. Strain DDW) jantan yaitu pakan standar dan minuman untuk mencit.

2. Bahan-bahan untuk membuat ekstrak bawang putih (Allium sativum)

seperti etanol.

3. Ekstrak bawang putih (Allium sativum) yang didapat secara maserasi. 4. Bahan-bahan yang digunakan untuk menginduksi mencit menjadi mencit

diabetik yaitu Aloksan. 5. Metformin

6. Glibenklamid

4.4.2. Cara Pegambilan data 4.4.2.1. Persiapan Hewan Coba

Sebelum penelitian dimulai, terlebih dahulu dipersiapkan tempat pemeliharaan hewan coba, yaitu kandang (bak plastik), sekam, tempat makan, minum dan pakan mencit. Setelah itu dilakukan aklimatisasi di laboratorium selama 1 minggu. Mencit dibagi menjadi 5 kelompok yaitu 1 kelompok kontrol mencit normal (tidak diabetes) dan 4 kelompok mencit diabetes.

Untuk menjadi diabetes, mencit diinduksi dengan Alloksan dengan dosis tunggal yaitu 200 mg/kg BB (Jing dan Yin, 2009) diinjeksikan 1 kali dan dipantau selama 3 hari. Jika dalam waktu 3 hari belum mengalami diabetes maka disuntik kembali dengan dosis tunggal 200 mg/kg BB dengan cara intraperitonial. Hanya mencit yang kadar gula darahnya melebihi 200mg/dL (Tanquilut, et al., 2009) sahaja yang dianggap diabetes dan diambil menjadi kelompok perlakuan.


(58)

4.4.2.2. Pembuatan Ekstrak Bawang Putih

Pembuatan ekstrak bawang putih dilakukan dengan cara maserasi menggunakan cairan penyari ethanol 96% atau bisa juga menggunakan pelarut n-heksan dan etil asetat (Dirjen POM, 1986). Caranya:

1. Menyiapkan bawang putih.

2. Bawang putih terlebih dahulu di kupas dan dibersihkan dengan menggunakan air mengalir.

3. Bawang putih yang sudah dibersihkan dirajang halus.

4. Sebanyak 10 bagian serbuk simplisia dengan derajat halus yang cocok dimasukkan kedalam sebuah bejana.

5. Kemudian dituangi dengan 75 bagian penyari, ditutup, dibiarkan selama 5 hari terlindung dari cahaya sambil berulang-ulang diaduk.

6. Setelah 5 hari, sari diserkai, ampas diperas.

7. Ampas dicuci dengan cairan penyari secukupnya, diaduk dan diserkai hingga diperoleh seluruh sari sebanyak 100 bagian.

8. Pindahkan ke dalam bejana tertutup, dibiarkan di tempat sejuk terlindung dari cahaya selama 2 hari.

9. Enap tuangkan atau saring.

10.Pemekatan ekstrak dilakukan dengan alat rota ry evaporator pada 40oC, kemudian ekstrak dikeringkan dengan freeze dryer.

Pembuatan Suspensi Ekstrak Bawang Putih 6% b/v

Sebanyak 0,5 g CMC ditaburkan sedikit demi sedikit dalam lumpang yang berisi aquadest panas ( suhu 700C) sebanyak 10 ml. Diamkan selama 15 menit hingga diperoleh massa yang transparan, dan digerus hingga terbentuk gel. Sebanyak 6 g ekstrak digerus dan ditambahkan gel CMC sedikit demi sedikit dan terus digerus sehingga terbentuk suspensi. Kemudian dimasukkan ke dalam labu takar 100 ml sambil diaduk dan dicukupkan volumenya dengan aquadest hingga 100 ml.


(59)

Rumus pengiraan dosis ekstrak bawang putih

Mengikut penelitian sebelumnya ekstrak bawang putih yang diberikan pada tikus adalah dengan menggunakan dosis 250 mg/kg BB (Mathew dan Agusti, 1973) dalam (Banerjee dan Maulik, 2002). Bila diinginkan dosis absolute pada mencit dengan BB 20g dari data dosis pada tikus 250 mg/kg (untuk tikus dengan bobot 200g), maka lebih dahulu dihitung dosis absolute pada tikus, yaitu (250 × 0.2) mg = 50mg. Dengan mengambil faktor konversi 0.14 dari tabel perbandingan luas permukaan tubuh hewan percobaan (Laurence, 1981) dalam (Anonim, 2010) diperoleh dosis untuk mencit = (50 × 0.14) mg = 7 mg. Dengan demikian dapat diramalkan efek farmakologis suatu obat yang timbul pada mencit dengan dosis 7 mg / 20g BB atau 350 mg/kg BB adalah sama dengan yang timbul pada tikus dengan dosis 250 mg/ kg BB, dari obat yang sama.

Bila setiap mencit diasumsi mempunya rata-rata BB 35 gram, maka: Dosis 1 ekor mencit = 350 mg x 35 g BB = 12.25 mg ≈ 12 mg

1000 g BB

Menurut Ngatidjan, (1991) dalam Ocktarini, (2010), karena volume cairan maksimal yang dapat diberikan per oral pada mencit adalah 1 ml/ 20g BB, disarankan takaran pemberian tidak melebihi setengah kali volume maksimalnya. Oleh itu, dilakukan pengenceran ekstrak, dengan rincian 6 g ekstrak dilarutkan dalam 100 ml larutan suspensi CMC 0,5 %.

Pengenceran ekstrak = 6 g ekstrak = 6000 mg ekstrak 100ml CMC 0,5% 100ml CMC 0,5% = 60 mg ekstrak dalam 1 ml larutan.

Atau dengan kata lain 1 ml larutan mengandung 60 mg ekstrak. Bila dosis tiap mencit adalah 12 mg maka volume ekstrak yang diberikan adalah 0,2 ml tiap mencit setiap hari.


(60)

4.4.2.3. Pembuatan Suspensi Carboxylmethylcellulose (CMC) 0.5 % b/v

Sebanyak 0,5 g CMC ditaburkan sedikit demi sedikit dalam lumpang yang berisi 10 ml aquadest panas ( suhu 700C). Diamkan selama 15 menit hingga diperoleh massa yang transparan, setelah dikembangkan digerus lalu diencerkan dengan sedikit aquadest kemudian dimasukkan ke dalam labu takar 100 ml sambil diaduk dan dicukupkan volumenya dengan aquadest hingga 100 ml. Suspensi CMC 0.5 % b/v digunakan sebagai placebo untuk mencit kelompok kontrol negatif (sehat) dan kelompok kontrol positif (diabetes) sebanyak 0,2 ml tiap mencit setiap hari.

4.4.2.4. Pembuatan Suspensi Metformin 1% b/v

Sebanyak 0,5 g CMC ditaburkan sedikit demi sedikit dalam lumpang yang berisi aquadest panas ( suhu 700C) sebanyak 10 ml. Diamkan selama 15 menit hingga diperoleh massa yang transparan, dan digerus hingga terbentuk gel. Sebanyak 1 g metformin digerus dan ditambahkan larutan CMC sedikit demi sedikit sambil digerus dan diencerkan dengan sedikit aquadest kemudian dimasukkan ke dalam labu takar 100 ml sambil diaduk dan dicukupkan volumenya dengan aquadest hingga 100 ml.

Rumus pengiraan dosis Suspensi Metformin

Berdasarkan tabel konversi perhitungan dosis untuk berbagai hewan uji dari berbagai spesies dan manusia, maka konversi dosis manusia dengan berat badan (BB) 70 kg pada mencit dengan berat badan 20 g adalah 0,0026 (Laurence, 1981) dalam (Anonim, 2010). Dosis metformin yang digunakan untuk orang dewasa adalah 500 mg, dengan demikian dosis untuk mencit 20 gram = (500mg x 0,0026) = 1,3 mg/ 20 mg BB mencit/ hari atau 65 mg/ kgBB/ hari.

Bila setiap mencit diasumsi mempunya rata-rata BB 35 gram, maka: Dosis 1 ekor mencit = 65 mg x 35 g BB = 2.28 mg ≈ 2.3 mg


(1)

Pembuatan Ekstrak Bawang Putih Selesai Proses Evaporator

Ekstrak Bawang Putih Ditimbang Lumpang Dengan Timbangan Elektronik


(2)

Lumpang Ekstrak gingga Sebati Pembuatan Suspensi Ekstrak

Suspensi Carboxylmethylcellulose Ekstrak Bawang Putih dan Obat ( CMC 0.5% b/v ) Hipoglikemik Oral (Metformin dan Glibenklamid)


(3)

Persiapan Membuat Larutan Aloksan Larutan Aloksan siap dihasilkan

Proses Rendaman Bawang Putih Rotary Evaporator Dalam Alkohol 96%


(4)

Kangdang Mencit dan minuman Proses aklimatisasi seminggu


(5)

Menginduksi Mencit Dengan Aloksan Memberi Oral Sonde (Perlakuan) Secara Intraperitoneal


(6)

Aklimatisasi Mencit selama seminggu Glucometer dan strip test glukosa

Mencit Minum Air Pemberian Ekstrak/Obat secara Oral Menggunakan Oral Sonde


Dokumen yang terkait

Uji Antibakteri Ekstrak Air Bawang Putih (Allium Sativum) dan Hasil Hidrolisis Enzimatis Minyak Kelapa Murni serta Kombinasinya terhadap Beberapa Bakteri Penyebab Diare

8 122 176

Pengaruh Ekstrak Bawang Putih (Allium sativum) Terhadap Kadar Kolesterol Mencit (Mus Musculus L. Strain DDW) yang Diinduksi Alloxan

6 122 85

Pengaruh Pemberian Ekstrak Bawang Putih dan Glibenklamid Terhadap Kadar Gula Darah Mencit ormal dan Mencit Diabetes yang Diinduksi Alloksan

3 65 87

Pengaruh pemberian ekstrak kelopak bunga rosela (hibiscus sabdariffa l) terhadap penurunan kadar gula darah tikus putih (rattus norvegicus) yang diinduksi aloksan

1 6 80

PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK BAWANG PUTIH ( Allium sativum L) TERHADAP KUALITAS PROSES SPERMATOGENESIS TESTIS MENCIT JANTAN (Mus musculus ) STRAIN JEPANG.

0 2 1

Pengaruh Ekstrak Meniran (Phyllantus Niruri L.) Terhadap Penurunan Kadar Glukosa Darah Mencit Yang Diinduksi Aloksan.

0 1 25

Pengaruh kombinasi ekstrak bawang putih (Allium sativum) dan minyak zaitun (Olea europaea) terhadap kadar kolesterol darah pada tikus putih (Rattus norvegicus) yang Diinduksi Pakan Hiperkolesterol.

0 0 11

Pengaruh Pemberian Ekstrak Bawang Putih (Allium sativum) Terhadap Struktur Histologis Hepar Mencit (Mus musculus) yang Diinduksi Parasetamol.

0 0 5

PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK BAWANG MERAH (Allium ascalonicum L) TERHADAP GAMBARAN HISTOPATOLOGI HEPAR TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) YANG DIINDUKSI ALOKSAN

0 0 90

PENGARUH EKSTRAK KULIT UMBI BAWANG PUTIH (Allium sativum L.) TERHADAP KADAR UREUM KREATININ PADA TIKUS WISTAR HIPERGLIKEMIA YANG DIINDUKSI ALOKSAN - Unissula Repository

0 1 5