Uji Aktivitas Antidiare Ekstrak Etanol Sabut Pinang (Areca catechu L.) Terhadap Tikus

(1)

UJI AKTIVITAS ANTIDIARE EKSTRAK ETANOL

SABUT PINANG (Areca catechu L.) TERHADAP TIKUS

SKRIPSI

OLEH:

TARRY HAYATI TAMIMI

NIM 121524040

PROGRAM EKSTENSI SARJANA FARMASI

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

UJI AKTIVITAS ANTIDIARE EKSTRAK ETANOL

SABUT PINANG (Areca catechu L.) TERHADAP TIKUS

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Farmasi

Universitas Sumatera Utara

OLEH:

TARRY HAYATI TAMIMI

NIM 121524040

PROGRAM EKSTENSI SARJANA FARMASI

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

(4)

iv

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT atas segala limpahan rahmat dan karuniaNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan skripsi yang berjudul “Uji Aktivitas Antidiare Ekstrak Etanol Sabut Pinang (Areca catechu L.) Terhadap Tikus”, serta shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad SAW sebagai suri tauladan dalam kehidupan. Skripsi ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi dari Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara,

Penulis menyampaikan terima kasih kepada Bapak Dr. Kasmirul Ramlan Sinaga, M.S., Apt. dan Ibu Dr. Marline Nainggolan, M.S., Apt., selaku pembimbing yang telah membimbing dan memberikan petunjuk serta saran-saran selama penelitian hingga selesainya skripsi ini. Bapak Dekan Fakultas Farmasi Prof. Dr. Sumadio Hadisahputra, Apt. dan Ibu Wakil Dekan 1 Prof. Dr. Julia Reveny, M.Si., Apt. yang telah memberikan fasilitas, sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan. Bapak Prof. Dr. Muchlisyam, M.Si., Apt. selaku Ketua Program Ekstensi Sarjana Farmasi USU. Bapak Prof. Dr. Karsono, Apt., Bapak Dr. Edy Suwarso, S.U., Apt., dan Ibu Dra. Suwarti Aris, M.Si., Apt., selaku dosen penguji yang memberikan kritik, saran dan arahan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Bapak Prof. Dr. Jansen Silalahi, M.App.Sc., Apt. selaku pembimbing akademik yang telah membimbing selama masa perkuliahan hingga selesai. Bapak dan Ibu staff pengajar Fakultas Farmasi USU atas ilmu dan pendidikan yang telah diberikan. Ibu Dra. Aswita Hafni, M.Si., Apt. selaku kepala Laboratorium Fitokimia Fakultas Farmasi USU, serta Ibu Marianne, M.Si., Apt.


(5)

v

selaku kepala Laboratorium Farmakologi Fakultas Farmasi USU yang telah memberikan izin dan fasilitas selama melakukan penelitian.

Penulis mengucapkan terima kasih serta penghargaan yang tulus dan tak terhingga kepada orang tua tercinta, Ayahanda Hamdan Mansur dan Ibunda Rosnawati, kedua kakakku Putri Puspita Tamimi dan Auliana Fauza Tamimi, kedua adikku Dinda Hamdana dan Sulthan Sharim, Yanis Suhada atas doa, motivasi, nasihat dan dukungan baik moril maupun materil. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada teman-teman Farmasi Ekstensi 2012 dan rekan-rekan penelitian, serta semua pihak yang telah membantu penyelesaian skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan skripsi ini. Akhir kata penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi ilmu pengetahuan khususnya di bidang Farmasi.

Medan, 16 Juni 2015 Penulis,

Tarry Hayati Tamimi NIM 121524040


(6)

vi

UJI AKTIVITAS ANTIDIARE EKSTRAK ETANOL SABUT PINANG (Areca catechu L.) TERHADAP TIKUS

ABSTRAK

Latar belakang: Pinang termasuk tanaman Palmae yang terdapat hampir di seluruh wilayah Indonesia. Sabut pinang belum banyak dilakukan pengujian secara ilmiah sebagai obat, tidak seperti daun dan biji pinang. Pektin dan flavonoid yang terdapat pada sabut pinang dapat dijadikan sebagai obat antidiare. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik dan senyawa kimia serbuk simplisia dan ekstrak etanol sabut pinang, serta aktivitas antidiare ekstrak etanol sabut pinang dibandingkan dengan loperamid HCl.

Metode: Ekstrak etanol sabut pinang diekstraksi secara maserasi dengan pelarut etanol 80%. Filtrat dipekatkan dengan rotary evaporator dan dikeringkan dengan

freeze dryer. Serbuk simplisia dan ekstrak dikarakterisasi dan diskrining

fitokimia, selanjutnya ekstrak diuji aktivitas antidiare menggunakan tikus yang telah diinduksi oleum ricini. Tikus dibagi menjadi 6 kelompok yang masing-masing terdiri dari 5 ekor, tiap tikus diberikan dosis 25, 50, 75 dan 100 mg/kg bb dengan pembanding loperamid HCl dosis 1 mg/kg bb.

Hasil: Hasil karakteristik serbuk simplisia diperoleh kadar air 5,31%, kadar sari larut dalam air 9,95%, kadar sari larut dalam etanol 7,65%, kadar abu total 5,76% dan kadar abu tidak larut asam 2,20%, sedangkan ekstrak etanol sabut pinang diperoleh kadar air 9,31%, kadar abu total 5,15% dan kadar abu tidak larut asam 2,07%. Hasil skrining fitokimia serbuk simplisia dan ekstrak etanol sabut pinang diperoleh senyawa flavonoid, glikosida, dan pektin. Hasil uji aktivitas antidiare ekstrak etanol sabut pinang diperoleh dosis 75 mg/kg bb memiliki aktivitas antidiare yang sebanding dengan loperamid HCl 1 mg/kg bb, sedangkan dosis 25 dan 50 mg/kg bb memiliki aktivitas antidiare yang lemah dan dosis 100 mg/kg bb memiliki aktivitas antidiare yang kuat dalam menekan diare.

Kesimpulan: Karakteristik serbuk simplisia dan ekstrak etanol sabut pinang memenuhi persyaratan, mengandung senyawa flavonoid, glikosida dan pektin, serta ekstrak etanol sabut pinang memiliki aktivitas antidiare bila dibandingkan dengan loperamid HCl.

Kata kunci: antidiare, ekstrak etanol sabut pinang, karakterisasi, skrining


(7)

vii

ANTIDIARRHEAL ACTIVITY TEST OF ETHANOL EXTRACT OF ARECA HUSK (Areca catechu L.) ON RATS

ABSTRACT

Background: Areca nut included Palmae plants that are almost in all parts of Indonesia. Areca husks have not been scientifically tested as a drug, not like a leaf and areca seeds. Pectin and flavonoids contained in the areca husks can be used as antidiarrheal medication.

Objective: The objective of this research was to know the characteristics and chemical compounds of simplex powder and ethanol extract of areca husk, and antidiarrheal activity of ethanol extract of areca husk compared with loperamide HCl.

Methods: The ethanol extract of areca husk was extracted by maceration with 80% ethanol. Filtrate was concentrated by rotary evaporator and dried by freeze dryer. Simplex powder and extracts were characterized and phytochemical screened, then antidiarrheal activity of extracts was tested using rats that had been induced with oleum ricini. Rats were divided into six group, each consisting of five rats, each rat was given doses of 25, 50, 75 and 100 mg/kg bw compared with loperamide HCl dose of 1 mg/kg bw.

Results: The results of the characteristics of simplex powder were showed that 5.31% water content, 9.95% water-soluble extract content, 7.65% ethanol-soluble extract content, 5.76% total ash and 2.20% acid insoluble ash content, while ethanol extract of areca husk were showed that 9.31% water content, 5.15% total ash and 2.07% acid insoluble ash content. The result of phytochemical screening obtained flavonoids, glycosides and pectin. The results of antidiarrheal activity test of ethanol extract of areca husk obtained dose of 75 mg/kg bw has antidiarrheal activity comparable with loperamide HCl dose of 1 mg/kg bw, while doses of 25 and 50 mg/kg bw have antidiarrheal activity of weak and a dose of 100 mg/kg bw has strong antidiarrheal activity in reducing diarrhea.

Conclusion: The characteristics of simplex powder and extract ethanol of areca husk satisfied the requirements, contains flavonoids, glycosides and pectin, and extract ethanol of areca husk has antidiarrheal activity when compared with loperamid HCl.

Keywords: antidiarrheal, ethanol extract of areca husk, characterization,


(8)

viii DAFTAR ISI

Halaman

JUDUL ... i

PENGESAHAN SKRIPSI ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

ABSTRAK ... vi

ABSTRACT ... vii

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 2

1.3 Hipotesis ... 3

1.4 Tujuan Penelitian ... 3

1.5 Manfaat Penelitian ... 3

1.6 Kerangka Pikir Penelitian ... 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 5

2.1 Uraian Tumbuhan ... 5

2.1.1 Sistematika tumbuhan ... 5

2.1.2 Morfologi tumbuhan ... 6


(9)

ix

2.1.4 Manfaat tumbuhan ... 9

2.2 Simplisia dan Ekstrak ... 9

2.2.1 Simplisia ... 9

2.2.2 Ekstrak ... 9

2.3 Diare ... 11

2.3.1 Klasifikasi diare ... 12

2.3.2 Obat-obat diare ... 13

2.4 Loperamid Hidroklorida ... 14

2.5 Oleum Ricini ... 15

BAB III METODE PENELITIAN ... 16

3.1 Alat dan Bahan ... 16

3.1.1 Alat ... 16

3.1.2 Bahan ... 16

3.2 Pembuatan Larutan Pereaksi ... 17

3.2.1 Larutan pereaksi asam klorida (HCl) 2 N ... 17

3.2.2 Larutan pereaksi asam sulfat 2 N ... 17

3.2.3 Larutan pereaksi besi (III) klorida 1 % b/v ... 17

3.2.4 Larutan pereaksi timbal (II) asetat 0,4 M ... 17

3.2.5 Pereaksi Bouchardat ... 17

3.2.6 Pereaksi Dragendorff ... 18

3.2.7 Pereaksi Mayer ... 18

3.2.8 Pereaksi Molish ... 18

3.3 Pengumpulan dan Pengolahan Bahan Tumbuhan ... 18


(10)

x

3.3.2 Identifikasi bahan tumbuhan ... 19

3.3.3 Pengolahan bahan tumbuhan ... 19

3.4 Pemeriksaan Karakteristik Simplisia ... 19

3.4.1 Pemeriksaan makroskopik ... 19

3.4.2 Penetapan kadar air ... 19

3.4.3 Penetapan kadar sari larut air ... 20

3.4.4 Penetapan kadar sari larut etanol ... 21

3.4.5 Penetapan kadar abu total ... 21

3.4.6 Penetapan kadar abu tidak larut asam ... 22

3.5 Skrining Fitokimia ... 22

3.5.1 Pemeriksaan alkaloid ... 22

3.5.2 Pemeriksaan flavonoid ... 23

3.5.3 Pemeriksaan glikosida ... 23

3.5.4 Pemeriksaan saponin ... 24

3.5.5 Pemeriksaan tanin ... 24

3.5.6 Pemeriksaan steroid/triterpenoid ... 24

3.5.7 Pemeriksaan Pektin ... 24

3.6 Pembuatan Ekstrak Etanol Sabut Pinang (EESP) ... 25

3.7 Percobaan Efek Antidiare ... 25

3.7.1 Penyiapan hewan percobaan ... 25

3.7.2 Penyiapan bahan ... 26

3.7.2.1 Pembuatan suspensi CMC Na 1% b/v ... 26

3.7.2.2 Pembuatan suspensi loperamid HCl dosis 1 mg/kg bb ... 26


(11)

xi

3.7.2.3 Pembuatan suspensi ESSP konsentrasi 0,75%;

1,5%; 2,25%; 3% b/v ... 27

3.7.3 Pengujian efek antidiare ... 27

3.8 Analisis Data ... 28

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 29

4.1 Hasil Identifikasi Sampel ... 29

4.2 Hasil Karakterisasi ... 29

4.2.1 Pemeriksaan makroskopik ... 29

4.2.2 Pemeriksaan karakteristik serbuk simplisia dan ekstrak etanol sabut pinang ... 29

4.3 Hasil Skrining Fitokimia ... 30

4.4 Pengujian Efek Antidiare ... 31

4.4.1 Penentuan saat mulai terjadinya diare ... 32

4.4.2 Penentuan konsistensi feses ... 34

4.4.3 Penentuan frekuensi diare ... 37

4.4.4 Penentuan lama terjadinya diare ... 39

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 42

5.1 Kesimpulan ... 42

5.2 Saran ... 42

DAFTAR PUSTAKA ... 43


(12)

xii

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

4.1 Hasil pemeriksaan karakteristik serbuk simplisia dan ekstrak

etanol sabut pinang ... 30

4.2 Hasil skrining fitokimia serbuk simplisia dan ekstrak etanol sabut pinang ... 31

4.3 Hasil analisis data saat mulai terjadinya diare ... 32

4.4 Hasil analisis data konsistensi feses (diameter serapan air) ... 34

4.5 Hasil analisis data konsistensi feses (berat feses) ... 35

4.6 Hasil analisis data waktu defekasi ... 36

4.7 Hasil analisis data frekuensi diare ... 37


(13)

xiii

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1.1 Kerangka pikir penelitian ... 4

4.1 Grafik saat mulai terjadinya diare ... 33

4.2 Grafik diameter serapan air ... 35

4.3 Grafik berat feses ... 35

4.4 Grafik frekuensi diare ... 38


(14)

xiv

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

1 Hasil identifikasi sampel ... 47

2 Surat ethical clearance ... 48

3 Gambar tumbuhan dan buah pinang (Areca catechu L.) ... 49

4 Gambar sabut pinang (Areca catechu L.) ... 50

5 Gambar serbuk simplisia sabut pinang (Areca catechu L.) ... 51

6 Gambar makroskopik sabut pinang (Areca catechu L.) ... 52

7 Bagan kerja penelitian ... 53

8 Bagan kerja pembuatan ekstrak etanol sabut pinang (EESP) ... 54

9 Perhitungan hasil pemeriksaan karakteristik serbuk simplisia dan esktrak etanol sabut pinang (Areca catechu L.) ... 55

10 Volume maksimum larutan sediaan uji yang dapat diberikan pada hewan uji ... 59

11 Tabel konversi dosis antara jenis hewan dengan manusia ... 60

12 Perhitungan konversi dosis loperamid HCl dan ekstrak etanol sabut pinang (EESP) ... 61

13 Perhitungan dosis dan volume pemberian suspensi CMC Na 1% b/v ... 62

14 Perhitungan dosis dan volume pemberian suspensi loperamid HCl (Imodium®) ... 63

15 Perhitungan dosis dan volume pemberian suspensi ekstrak etanol sabut pinang (EESP) ... 65

16 Gambar tikus dan konsistensi feses ... 68

17 Hasil orientasi dosis bahan uji mengenai saat mulai terjadinya diare pada tikus yang telah diinduksi oleum ricini setelah pemberian suspensi CMC Na 1% b/v, suspensi loperamid HCl dan suspensi ekstrak etanol sabut pinang (EESP) ... 69


(15)

xv

18 Hasil pengamatan mengenai saat mulai terjadinya diare pada tikus yang telah diinduksi oleum ricini setelah pemberian suspensi CMC Na 1% b/v, suspensi loperamid HCl dan

suspensi ekstrak etanol sabut pinang (EESP) ... 70

19 Hasil pengamatan mengenai hubungan antara dosis, waktu defekasi dan konsistensi feses pada tikus yang telah diinduksi oleum ricini setelah pemberian suspensi CMC Na 1% b/v, suspensi loperamid HCl dan suspensi ekstrak etanol sabut pinang (EESP) ... 71

20 Hasil pengamatan mengenai frekuensi diare dan lama terjadinya diare pada tikus yang telah diinduksi oleum ricini setelah pemberian suspensi CMC Na 1% b/v, suspensi loperamid HCl dan suspensi ekstrak etanol sabut pinang (EESP) ... 72

21 Hasil deskriptif data ... 73

22 Hasil analisis statistik anova ... 77


(16)

vi

UJI AKTIVITAS ANTIDIARE EKSTRAK ETANOL SABUT PINANG (Areca catechu L.) TERHADAP TIKUS

ABSTRAK

Latar belakang: Pinang termasuk tanaman Palmae yang terdapat hampir di seluruh wilayah Indonesia. Sabut pinang belum banyak dilakukan pengujian secara ilmiah sebagai obat, tidak seperti daun dan biji pinang. Pektin dan flavonoid yang terdapat pada sabut pinang dapat dijadikan sebagai obat antidiare. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik dan senyawa kimia serbuk simplisia dan ekstrak etanol sabut pinang, serta aktivitas antidiare ekstrak etanol sabut pinang dibandingkan dengan loperamid HCl.

Metode: Ekstrak etanol sabut pinang diekstraksi secara maserasi dengan pelarut etanol 80%. Filtrat dipekatkan dengan rotary evaporator dan dikeringkan dengan

freeze dryer. Serbuk simplisia dan ekstrak dikarakterisasi dan diskrining

fitokimia, selanjutnya ekstrak diuji aktivitas antidiare menggunakan tikus yang telah diinduksi oleum ricini. Tikus dibagi menjadi 6 kelompok yang masing-masing terdiri dari 5 ekor, tiap tikus diberikan dosis 25, 50, 75 dan 100 mg/kg bb dengan pembanding loperamid HCl dosis 1 mg/kg bb.

Hasil: Hasil karakteristik serbuk simplisia diperoleh kadar air 5,31%, kadar sari larut dalam air 9,95%, kadar sari larut dalam etanol 7,65%, kadar abu total 5,76% dan kadar abu tidak larut asam 2,20%, sedangkan ekstrak etanol sabut pinang diperoleh kadar air 9,31%, kadar abu total 5,15% dan kadar abu tidak larut asam 2,07%. Hasil skrining fitokimia serbuk simplisia dan ekstrak etanol sabut pinang diperoleh senyawa flavonoid, glikosida, dan pektin. Hasil uji aktivitas antidiare ekstrak etanol sabut pinang diperoleh dosis 75 mg/kg bb memiliki aktivitas antidiare yang sebanding dengan loperamid HCl 1 mg/kg bb, sedangkan dosis 25 dan 50 mg/kg bb memiliki aktivitas antidiare yang lemah dan dosis 100 mg/kg bb memiliki aktivitas antidiare yang kuat dalam menekan diare.

Kesimpulan: Karakteristik serbuk simplisia dan ekstrak etanol sabut pinang memenuhi persyaratan, mengandung senyawa flavonoid, glikosida dan pektin, serta ekstrak etanol sabut pinang memiliki aktivitas antidiare bila dibandingkan dengan loperamid HCl.

Kata kunci: antidiare, ekstrak etanol sabut pinang, karakterisasi, skrining


(17)

vii

ANTIDIARRHEAL ACTIVITY TEST OF ETHANOL EXTRACT OF ARECA HUSK (Areca catechu L.) ON RATS

ABSTRACT

Background: Areca nut included Palmae plants that are almost in all parts of Indonesia. Areca husks have not been scientifically tested as a drug, not like a leaf and areca seeds. Pectin and flavonoids contained in the areca husks can be used as antidiarrheal medication.

Objective: The objective of this research was to know the characteristics and chemical compounds of simplex powder and ethanol extract of areca husk, and antidiarrheal activity of ethanol extract of areca husk compared with loperamide HCl.

Methods: The ethanol extract of areca husk was extracted by maceration with 80% ethanol. Filtrate was concentrated by rotary evaporator and dried by freeze dryer. Simplex powder and extracts were characterized and phytochemical screened, then antidiarrheal activity of extracts was tested using rats that had been induced with oleum ricini. Rats were divided into six group, each consisting of five rats, each rat was given doses of 25, 50, 75 and 100 mg/kg bw compared with loperamide HCl dose of 1 mg/kg bw.

Results: The results of the characteristics of simplex powder were showed that 5.31% water content, 9.95% water-soluble extract content, 7.65% ethanol-soluble extract content, 5.76% total ash and 2.20% acid insoluble ash content, while ethanol extract of areca husk were showed that 9.31% water content, 5.15% total ash and 2.07% acid insoluble ash content. The result of phytochemical screening obtained flavonoids, glycosides and pectin. The results of antidiarrheal activity test of ethanol extract of areca husk obtained dose of 75 mg/kg bw has antidiarrheal activity comparable with loperamide HCl dose of 1 mg/kg bw, while doses of 25 and 50 mg/kg bw have antidiarrheal activity of weak and a dose of 100 mg/kg bw has strong antidiarrheal activity in reducing diarrhea.

Conclusion: The characteristics of simplex powder and extract ethanol of areca husk satisfied the requirements, contains flavonoids, glycosides and pectin, and extract ethanol of areca husk has antidiarrheal activity when compared with loperamid HCl.

Keywords: antidiarrheal, ethanol extract of areca husk, characterization,


(18)

1 BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Sejak zaman dahulu masyarakat Indonesia mengenal dan memanfaatkan tanaman berkhasiat obat sebagai salah satu upaya dalam penanggulangan masalah kesehatan yang dihadapinya. Pengetahuan tentang pemanfaatan tanaman ini merupakan warisan budaya bangsa berdasarkan pengalaman, pengetahuan dan keterampilan yang secara turun temurun diwariskan kepada generasi berikutnya, termasuk generasi saat ini (Wijayakusuma, 2000). Penggunaan obat tradisional secara umum dinilai lebih aman daripada penggunaan obat modern. Hal ini disebabkan karena obat tradisional memiliki efek samping yang relatif lebih sedikit daripada obat modern (Sari, 2006).

Pinang (Areca catechu L.) merupakan salah satu tanaman Palmae yang terdapat hampir di seluruh wilayah Indonesia, terutama Pulau Sumatera (Sulastri, 2009). Daun dan biji pinang telah banyak dilakukan pengujian secara ilmiah sebagai obat. Daun pinang sebagai obat antidiabetes (Mondal, dkk., 2012), sedangkan bijinya sebagai obat antifertilitas (Aulanni’am, dkk., 2007), antelmintik (Tiwow, dkk., 2013), antibakteri, antivirus (Joshi, dkk., 2012), antioksidan (Zhang, dkk., 2009) dan lain-lain. Sabut pinang belum banyak dilakukan pengujian secara ilmiah sebagai obat, padahal sabut pinang mengandung pektin 25%, pektin oksalat 2%, hemiselulosa 2%, selulosa 40%, lignin 18% (Chanakya dan Malayil, 2011) dan flavonoid 52,57 mg/g (Zhang, dkk., 2009). Pektin dan flavonoid yang terkandung dalam sabut pinang dapat digunakan sebagai antidiare.


(19)

2

Diare sampai saat ini masih menjadi masalah kesehatan, tidak saja di negara berkembang, tetapi juga di negara maju (Tanjung, dkk., 2011). Riset Kesehatan Dasar (Rikesdas) tahun 2007 menyatakan diare merupakan penyebab kematian ke-13 dari 22 penyebab kematian berdasarkan pola penyebab kematian di semua usia di Indonesia. Persentase kematian yang disebabkan oleh diare sekitar 3,5% (Defrin, dkk., 2010). Diare secara umum didefinisikan sebagai bagian dari abnormal feses terkait dengan peningkatan frekuensi buang air besar dan berat feses. Peningkatan frekuensi didefinisikan oleh tiga atau lebih buang air besar per hari. Berat feses normal pada orang yang mengkonsumsi makanan tinggi lemak dan gula, bervariasi dari 100 sampai 200 g/hari, sehingga berat feses >200 g/hari dianggap diare, namun beberapa orang yang mengkonsumsi serat memiliki berat feses 300 g/hari atau lebih dengan konsistensi feses normal, tidak berarti diare. Kombinasi frekuensi, konsistensi feses dan berat feses harus diperhitungkan untuk menentukan diare (Navaneethan dan Giannella, 2011), sehingga tanaman berkhasiat obat yang terdapat di alam dapat diidentifikasi dan dievaluasi sebagai alternatif untuk obat antidiare (Gutiérrez, dkk., 2013).

Berdasarkan uraian di atas, maka penulis melakukan penelitian mengenai uji aktivitas antidiare ekstrak etanol sabut pinang (Areca catechu L.) terhadap tikus yang telah diinduksi oleum ricini dengan menggunakan metode defekasi.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka perumusan masalah pada penelitian ini adalah:


(20)

3

a. Apakah karakterisasi serbuk simplisia dan ekstrak etanol sabut pinang dapat dilakukan?

b. Apakah serbuk simplisia dan ekstrak etanol sabut pinang dapat ditentukan golongan senyawa kimianya?

c. Bagaimana aktivitas antidiare ekstrak etanol sabut pinang bila dibandingkan dengan loperamid HCl?

1.3 Hipotesis

Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka hipotesis pada penelitian ini adalah:

a. Karakterisasi simplisia dan ekstrak etanol sabut pinang dapat dilakukan. b. Serbuk simplisia dan ekstrak etanol sabut pinang dapat ditentukan golongan

senyawa kimianya dengan melakukan skrining fitokimia.

c. Ekstrak etanol sabut pinang memiliki aktivitas antidiare bila dibandingkan dengan loperamid HCl.

1.4 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui:

a. Karakteristik serbuk simplisia dan ekstrak etanol sabut pinang. b. Senyawa kimia serbuk simplisia dan ekstrak etanol sabut pinang.

c. Aktivitas antidiare ekstrak etanol sabut pinang yang dibandingkan dengan loperamid HCl.

1.5 Manfaat Penelitian


(21)

4

informasi tentang khasiat tanaman obat, khususnya mengenai kegunaan sabut pinang terhadap antidiare, sehingga menambah khasanah obat-obat herbal sebagai antidiare yang efektif.

1.6 Kerangka Penelitian

Variabel Bebas Variabel Terikat Parameter

Gambar 1.1 Kerangka pikir penelitian Suspensi ekstrak etanol

sabut pinang:

- dosis 25 mg/kg bb konsentrasi 0,75% - dosis 50 mg/kg bb konsentrasi 1,5% - dosis 75 mg/kg bb

konsentrasi 2,25% - dosis 100 mg/kg bb

konsentrasi 3%

Tikus diare (diinduksi

oleum ricini)

1. Saat mulai terjadinya diare 2. Konsistensi feses

(diameter serapan air dan berat feses) 3. Frekuensi diare 4. Lama terjadinya


(22)

5 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Uraian Tumbuhan

Pinang (Areca catechu L.) merupakan salah satu tanaman Palmae yang terdapat hampir di seluruh wilayah Indonesia, terutama Pulau Sumatera. Tanaman ini dikenal dengan nama lain, seperti pineng (Sumatera), jambe (Jawa), gahat (Kalimantan), buah jambe (Nusa Tenggara), mamaan (Sulawesi), bua (Maluku) dan kamcu (Irian) (Dalimartha, 2009), dalam bahasa Inggris dikenal dengan nama

betel nut, areca atau areca-nut palm, sedangkan nama ilmiahnya adalah Areca

catechu Linnaeus (Staples dan Bevacqua, 2006).

2.1.1 Sistematika tumbuhan

Sistematika tata nama pinang adalah sebagai berikut: Kingdom : Plantae

Divisi : Spermatophyta Sub Divisi : Angiospermae Kelas : Monocotyledoneae Ordo : Arecales

Famili : Arecaceae/Palmae

Genus : Areca

Spesies : Areca catechu L.


(23)

6 2.1.2 Morfologi tumbuhan

Pohon pinang berbatang langsing, tumbuh tegak, tinggi 10-30 m, diameter 15-20 cm, tidak bercabang, dengan bekas daun yang lepas. Daun majemuk menyirip, tumbuh berkumpul di ujung batang membentuk roset batang dan panjang helaian daun 1-1,8 m. Pelepah daun berbentuk tabung, panjang sekitar 80 cm dan tangkai daun pendek. Tongkol bunga dengan seludang panjang yang mudah rontok, keluar dari bawah roset daun, panjang sekitar 75 cm, dengan tangkai pendek bercabang rangkap. Bakal buah beruang satu. Buah bentuk bulat telur sungsang memanjang, panjang 3,5-7 cm, dinding buah berserabut, warna merah jingga jika masak. Biji satu, berbentuk seperti kerucut pendek dengan ujung membulat, pangkal agak datar dengan suatu lekukan dangkal, panjang 15-30 mm, permukaan luar berwarna kecoklatan sampai coklat kemerahan (Dalimartha, 2009).

2.1.3 Kandungan sabut pinang

Sabut pinang mengandung pektin 25%, pektin oksalat 2%, hemiselulosa 2%, selulosa 40% dan lignin 18% (Chanakya dan Malayil, 2011), serta mengandung flavonoid 52,57 mg/g (Zhang, dkk., 2009).

a. Pektin

Pektin berasal dari bahasa Latin, yaitu pectos yang berarti pengental atau membuat sesuatu menjadi keras atau padat. Pektin merupakan senyawa polisakarida yang larut dalam air dan secara umum terdapat di dalam dinding sel primer tanaman, khususnya di sela-sela antara selulosa dan hemiselulosa, berfungsi sebagai perekat antara dinding sel yang satu dengan yang lain. Bagian antara dua dinding sel yang berdekatan tersebut dinamakan lamella tengah. Pektin


(24)

7

memiliki potensi yang baik dalam bidang farmasi. Towel dan Christensen (1973) menyatakan bahwa sejak dahulu pektin digunakan dalam penyembuhan diare dan menurunkan kadar kolesterol darah (Hariyati, 2006). Pektin sebagai antidiare bekerja dengan cara membentuk gumpalan seperti gel, sehingga feses yang terbentuk menjadi lebih padat. Pektin juga bekerja melawan bakteri tertentu yang dapat menyebabkan diare dan oleh flora normal di usus dapat membentuk suatu lapisan yang menutupi bagian usus yang mengalami iritasi, selain itu pektin dapat menghambat motilitas usus (Yajima, 1985).

b. Pektin oksalat

Pektin oksalat merupakan pektin yang tidak larut dalam air yang disebut dengan protopektin (Chanakya dan Malayil, 2011). Protopektin dengan adanya larutan asam akan terhidrolisis menjadi pektin yang mudah larut (Hariyati, 2006). c. Selulosa

Selulosa adalah polimer glukosa yang berbentuk rantai linier dan dihubungkan oleh ikatan β-1,4 glikosidik. Struktur yang linier menyebabkan selulosa bersifat kristalin dan tidak mudah larut. Selulosa tidak pernah ditemukan dalam keadaan murni di alam, tetapi selalu berikatan dengan hemiselulosa dan lignin membentuk kerangka utama dinding sel tumbuhan (Mosier, dkk., 2005). Molekul selulosa pada tumbuhan tersusun dalam bentuk fibril yang terdiri atas beberapa molekul paralel yang dihubungkan oleh ikatan glikosidik, sehingga sulit diuraikan. Komponen-komponen tersebut dapat diuraikan oleh aktivitas mikroorganisme. Beberapa mikroorganisme mampu menghidrolisis selulosa untuk digunakan sebagai sumber energi, seperti bakteri dan fungi (Sukumaran, dkk., 2005).


(25)

8 d. Hemiselulosa

Hemiselulosa adalah polimer glukosa dengan lima monomer yang berbeda, yaitu glukosa, mannosa, galaktosa, xylosa dan arabinosa. Hemiselulosa sangat dekat hubungannya dengan selulosa dalam dinding sel tanaman. Rantai molekul hemiselulosa jauh lebih pendek bila dibandingkan dengan selulosa (Hermiati, dkk., 2010).

e. Lignin

Lignin atau zat kayu adalah polimer terbanyak kedua setelah selulosa yang terdapat di antara sel-sel dan di dalam dinding sel. Lignin berfungsi sebagai pengikat antar sel dan menguatkan dinding sel, sehingga tumbuhan yang besar seperti pohon yang tingginya lebih dari 15 m tetap dapat kokoh berdiri. Struktur molekul lignin sangat berbeda dengan polisakarida karena terdiri atas sistem aromatik yang tersusun atas unit-unit fenilpropana. Lignin sangat stabil dan sukar dipisahkan dan mempunyai bentuk yang bermacam-macam, sehingga susunan lignin yang pasti di dalam suatu tanaman tidak menentu. (Nofriadi, 2009).

f. Flavonoid

Flavonoid merupakan salah satu kelompok senyawa metabolit sekunder yang paling banyak ditemukan di dalam jaringan tanaman. Flavonoid termasuk dalam golongan senyawa fenolik dengan struktur kimia C6-C3-C6 (Redha, 2010). Flavonoid dapat mengobati diare dengan cara menghambat produksi prostaglandin E2 (Meite, dkk., 2009) karena pada kondisi diare prostaglandin E2 menyebabkan hipersekresi dan bertumpuknya cairan di usus akibat resorpsi air dan elektrolit yang terganggu, sehingga meningkatkan motilitas usus dan cairan


(26)

9

yang dikeluarkan terlalu banyak, serta menambah frekuensi defekasi (Sanchez de Medina, dkk., 1997).

2.1.4 Manfaat tumbuhan

Tanaman pinang memiliki banyak manfaat, misalnya daun pinang sebagai obat antidiabetes (Mondal, dkk., 2012), bijinya sebagai obat antifertilitas (Aulanni’am, dkk., 2007), antelmintik (Tiwow, dkk., 2013), antibakteri, antivirus (Joshi, dkk., 2012), antioksidan (Zhang, dkk., 2009) dan lain-lain. Batang pinang dapat digunakan sebagai bahan bangunan, jembatan dan saluran air, sedangkan serabut buah secara tradisional digunakan sebagai obat gangguan pencernaan, edema dan beri- beri, serta dapat dijadikan sebagai bahan baku pembuatan kuas gambar atau kuas alis mata (Dalimartha, 2009).

2.2 Simplisia dan Ekstrak 2.2.1 Simplisia

Simplisia adalah bahan alamiah yang dipergunakan sebagai obat yang belum mengalami pengolahan apapun juga dan kecuali dinyatakan lain, berupa bahan yang telah dikeringkan. Simplisia dibedakan simplisia nabati, simplisia hewani dan simplisia pelikan (mineral). Simplisia nabati adalah simplisia berupa tumbuhan utuh, bagian tumbuhan atau eksudat tumbuhan yang dipergunakan sebagai obat yang belum mengalami pengolahan apapun juga dan kecuali dinyatakan lain berupa bahan yang telah dikeringkan (Ditjen POM, 2000).

2.2.2 Ekstrak

Ekstrak adalah sediaan pekat yang diperoleh dengan mengesktraksi zat aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut yang


(27)

10

sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian, sehingga memenuhi baku yang telah ditetapkan (Ditjen POM, 1995).

Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut, sehingga terpisah dari bahan yang tidak larut dengan pelarut cair. Senyawa aktif yang terdapat dalam berbagai simplisia dapat digolongkan ke dalam golongan minyak atsiri, alkaloid, flavonoid dan lain-lain. Senyawa aktif yang dikandung simplisia akan mempermudah pemilihan pelarut dan cara ekstraksi yang tepat (Ditjen POM, 2000).

Metode ekstraksi dengan menggunakan pelarut dapat dibagi ke dalam dua cara, yaitu:

1. Cara dingin, yaitu:

a. Maserasi adalah proses penyarian simplisia dengan menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur ruangan (kamar).

Maserasi kinetik berarti dilakukan pengadukan yang kontinu (terus menerus). Remaserasi berarti dilakukan pengulangan penambahan pelarut setelah dilakukan penyarian maserat pertama dan seterusnya.

b. Perkolasi adalah proses penyarian simplisia dengan pelarut yang selalu baru sampai sempurna (exhaustive extraction), yang umumnya dilakukan pada temperatur ruangan (kamar). Proses terdiri dari tahapan pengembangan bahan, tahap maserasi antara, tahap perkolasi sebenarnya (penetesan atau penampungan esktrak), terus menerus sampai diperoleh ekstrak (perkolat) yang jumlahnya 1-5 kali bahan.


(28)

11 2. Cara panas, yaitu:

a. Refluks adalah proses penyarian simplisia dengan pelarut pada temperatur titik didihnya, selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan dengan adanya pendingin balik. Proses pengulangan umumnya dilakukan pada residu pertama sampai 3-5 kali, sehingga termasuk proses ekstraksi sempurna.

b. Sokletasi adalah proses penyarian simplisia menggunakan pelarut yang selalu baru yang umumnya dilakukan dengan alat soklet, sehingga terjadi ekstraksi kontinu dengan jumlah pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin balik.

c. Digesti adalah proses penyarian simplisia dengan pengadukan kontinu pada temperatur yang lebih tinggi dari temperatur ruangan (kamar), yaitu secara umum dilakukan pada temperatur 40-50°C.

d. Infundasi adalah proses penyarian simplisia dengan pelarut air pada temperatur penangas air (bejana infus tercelup dalam penangas air mendidih, temperatur terukur 96-98°C) selama waktu tertentu (15-20 menit).

e. Dekoktasi adalah proses penyarian simplisia dengan pelarut air pada waktu yang lebih lama (≥30 menit) dan temperatur sampai titik didih air (Ditjen POM, 2000).

2.3 Diare

Diare merupakan suatu gejala klinis dari gangguan pencernaan yang ditandai dengan bertambahnya frekuensi defekasi lebih dari biasanya dan


(29)

12

berulang-ulang yang disertai adanya perubahan bentuk dan konsistensi feses menjadi lembek atau cair tergantung dari individu (Sugiarto, 2008). Peningkatan frekuensi didefinisikan oleh tiga atau lebih buang air besar per hari. Berat feses normal pada orang yang mengkonsumsi makanan tinggi lemak dan gula, bervariasi dari 100 sampai 200 g/hari, sehingga berat feses >200 g/hari dianggap diare, namun beberapa orang yang mengkonsumsi serat memiliki berat feses 300 g/hari atau lebih dengan konsistensi feses normal, tidak berarti diare. Kombinasi frekuensi, konsistensi feses, dan berat feses harus diperhitungkan untuk menentukan diare (Navaneethan dan Giannella, 2011).

Makanan yang terdapat di dalam lambung, secara normal dicerna menjadi bubur (kimus), kemudian diteruskan ke usus halus untuk diuraikan lebih lanjut oleh enzim-enzim pencernaan. Sisa kimus yang terdiri dari 90% air dan sisa-sisa makanan yang sukar dicerna, diteruskan ke usus besar (colon). Bakteri-bakteri yang biasanya selalu berada di usus besar mencerna lagi sisa-sisa (serat-serat) tersebut, sehingga sebagian besar dari sisa-sisa tersebut dapat diserap pula selama perjalanan melalui usus besar. Air juga diresorpsi kembali sehingga lambat laun isi usus menjadi lebih padat dan dikeluarkan dari tubuh menjadi tinja (feses), namun pada diare terjadi peningkatan peristaltik usus, sehingga pelintasan kimus sangat dipercepat dan masih mengandung banyak air pada saat meninggalkan tubuh sebagai tinja. Penyebab utamanya adalah bertumpuknya cairan di usus akibat terganggunya resorpsi air dan atau terjadinya hipersekresi (Tan dan Rahardja, 2008).

2.3.1 Klasifikasi diare


(30)

13 1. Berdasarkan adanya infeksi, dibagi atas:

a. Diare infeksi enteral, yaitu diare karena infeksi di usus, misalnya infeksi bakteri (Vibrio cholera, Eschericia coli, Salmonella dan Shigella), infeksi virus (Rotavirus dan Enterovirus) dan infeksi parasit (cacing, protozoa dan jamur)

b. Diare infeksi parenteral, yaitu diare karena infeksi di luar usus, misalnya infeksi saluran pernapasan.

2. Berdasarkan lamanya diare, dibagi atas:

a. Diare akut, yaitu diare yang terjadi secara mendadak yang segera berangsur sembuh pada seseorang yang sebelumnya sehat. Diare akut biasanya berlangsung dalam waktu kurang dari 2 minggu.

b. Diare kronis, yaitu diare yang timbul perlahan-lahan berlangsung 2 minggu atau lebih, baik menetap atau menahun atau bertambah hebat 3. Berdasarkan penyebab terjadinya diare, dibagi atas:

a. Diare spesifik, yaitu diare yang disebabkan oleh adanya infeksi, misalnya infeksi yang disebabkan oleh virus, bakteri, parasit dan enterotoksin. b. Diare non spesifik, yaitu diare yang tidak disebabkan oleh adanya infeksi

misalnya alergi makanan atau minuman, gangguan gizi, kekurangan enzim dan efek samping obat (Enda, 2010).

2.3.2 Obat-obat diare

Kelompok obat yang sering sekali digunakan pada diare adalah:

1. Kemoterapeutika untuk terapi kausal, yakni memberantas bakteri penyebab diare, seperti antibiotika, sulfonamid dan senyawa kinolon.


(31)

14

2. Obstipansia untuk terapi simtomatis, yang dapat menghentikan diare dengan beberapa cara, yakni:

a. Zat-zat penekan peristaltik sehingga lebih banyak waktu untuk resorpsi air dan elektrolit oleh mukosa usus, yakni derivat petidin (loperamid) dan antikolinergik (atropin dan ekstrak beladon).

b. Adstringensia, yang menciutkan selaput lendir usus, misalnya asam samak (tanin), tanalbumin, garam-garam bismut dan aluminium.

c. Adsorbensia, misalnya karbo adsorbens (pada permukaannya dapat menyerap zat-zat beracun yang dihasilkan oleh bakteri atau adakalanya berasal dari makanan, seperti udang atau ikan), mucilagines (zat-zat lendir yang menutupi selaput lendir usus dan luka-lukanya dengan suatu lapisan pelindung, seperti kaolin, pektin, garam-garam bismuth dan aluminium). 3. Spasmolitik, yakni zat-zat yang dapat melepaskan kejang-kejang otot yang

sering kali menyebabkan nyeri perut pada diare, misalnya papaverin (Tan dan Rahardja, 2008).

2.4 Loperamid Hidroklorida

Loperamid hidroklorida (4-(p-Klorofenil)-4-hidroksi-N,N-dimetil-α,α -difenil-1-piperidina butiramida monohidroklorida) mempunyai rumus kimia C29H33ClN2O2.HCl dengan berat molekul 513,51. Pemerian berupa serbuk putih sampai agak kekuningan, melebur pada suhu lebih kurang 225° disertai peruraian. Mudah larut dalam metanol, dalam isopropil alkohol dan dalam kloroform, sukar larut dalam air dan dalam asam encer (Ditjen POM, 1995).


(32)

15

Loperamid (dosis awal 4 mg dan tidak melebihi 16 mg/hari) merupakan turunan sintesis pethidine yang dapat menghambat motilitas usus dan juga mengurangi sekresi gastrointestinal. Loperamid diyakini bekerja dengan cara mengganggu mekanisme kolinergik dan non-kolinergik yang terlibat dalam reflek peristaltik, menurunkan aktivitas otot sirkular dan longitudinal pada usus (Ebadi, 2008). Loperamid tidak bekerja pada susunan saraf pusat, sehingga tidak mengakibatkan ketergantungan. Zat ini mampu menormalkan keseimbangan resorpsi-sekresi dari sel mukosa, yaitu memulihkan sel-sel yang berada dalam keadaan hipersekresi ke keadaan resorpsi normal kembali (Tan dan Rahardja, 2008).

2.5 Oleum Ricini

Oleum ricini atau castor oil atau minyak jarak berasal dari biji Ricinus

communis suatu trigliserida risinoleat dan asam lemak tak jenuh. Oleum ricini di

dalam usus halus, dihidrolisis oleh enzim lipase menjadi gliserol dan asam risinoleat. Asam risinoleat inilah yang merupakan bahan aktif sebagai pencahar, yang dapat menyebabkan kolik dan dehidrasi yang disertai gangguan elektrolit. Obat ini merupakan bahan induksi diare pada penelitian diare secara eksperimental pada hewan percobaan (Enda, 2010).


(33)

16 BAB III

METODE PENELITIAN

Metode penelitian ini dilakukan secara eksperimental, meliputi pengumpulan dan pengolahan tumbuhan, karakterisasi simplisia, skrining fitokimia, pembuatan ekstrak etanol sabut pinang dan percobaan efek antidiare. Data hasil penelitian dianalisis secara analisis variansi (ANOVA) dan dilanjutkan dengan uji beda rata-rata Duncan menggunakan program SPSS (Statistical

Product and Service Solution) versi 16. Bagan kerja penelitian dapat dilihat pada

lampiran 7, halaman 53.

3.1 Alat dan Bahan 3.1.1 Alat-alat

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi alat-alat gelas laboratorium, aluminium foil, blender (Philips), cawan porselen, cawan porselen berdasar rata, eksikator, hot plate (Fisons), kertas saring, kandang tikus, krus porselin, lemari pengering, lumpang dan alu, neraca listrik (Vibra AJ), neraca hewan (Presica Geniweigher GW-1500), oral sonde, oven listrik (Fischer

Scientific), pot plastik, rampago, seperangkat alat destilasi, spatula, spuit 1ml dan

3 ml (OneMed), timbangan (Tanita) dan tanur (Nabertherm). 3.1.2 Bahan-bahan

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi bahan tumbuhan dan bahan kimia. Bahan tumbuhan yang digunakan adalah sabut buah pinang dan oleum ricini. Bahan kimia yang digunakan adalah air suling, alfa


(34)

17

naftol, amil alkohol, asam asetat anhidrida, asam klorida pekat, asam nitrat pekat, asam sulfat pekat, benzen, besi (III) klorida, bismuth (III) klorida, carboxymethyl

cellulose natrium (CMC Na), etanol 96%, isopropanol, kalium iodida, kloroform,

loperamid HCl (tablet Imodium®), metanol, n-heksana, natrium hidroksida, natrium sulfat anhidrat, serbuk magnesium, timbal (II) asetat dan toluen.

3.2 Pembuatan Larutan Pereaksi

3.2.1 Larutan pereaksi asam klorida (HCl) 2 N

Sebanyak 17 ml asam klorida P dilarutkan dalam air suling hingga diperoleh larutan 100 ml (Depkes, 1979).

3.2.2 Larutan pereaksi asam sulfat 2 N

Sebanyak 5,556 ml asam sulfat pekat diencerkan dengan air suling secukupnya hingga volume 100 ml (Depkes, 1995).

3.2.3 Larutan pereaksi besi (III) klorida 1% b/v

Sebanyak 1 g besi (III) klorida dilarutkan dalam air suling secukupnya hingga 100 ml (Depkes, 1995).

3.2.4 Larutan pereaksi timbal (II) asetat 0,4 M

Sebanyak 15,17 g timbal (II) asetat ditimbang, kemudian dilarutkan dalam air suling bebas karbon dioksida secukupnya hingga 100 ml (Depkes, 1995). 3.2.5 Pereaksi Bouchardat

Sebanyak 4 g kalium iodida dilarutkan dalam air suling, kemudian sebanyak 2 g iodium dilarutkan dalam larutan kalium iodida dan dicukupkan dengan air suling hingga 100 ml (Depkes, 1995).


(35)

18 3.2.6 Pereaksi Dragendorff

Sebanyak 8 g bismut nitrat dilarutkan dalam 20 ml asam nitrat pekat, lalu pada wadah lain dilarutkan 27,2 g kalium iodida dalam 50 ml air suling. Kedua larutan dicampur dan didiamkan sampai memisah sempurna. Larutan jernih diambil dan diencerkan dengan air secukupnya hingga 100 ml (Depkes, 1995). 3.2.7 Pereaksi Mayer

Sebanyak 1,359 g raksa (II) klorida dilarutkan dalam air suling hingga 60 ml, pada wadah lain sebanyak 5 g kalium iodida dilarutkan dalam 10 ml air suling. Kedua larutan dicampur kemudian ditambahkan air suling secukupnya hingga 100 ml (Depkes, 1995).

3.2.8 Pereaksi Molish

Sebanyak 3 g α-naftol ditimbang, kemudian dilarutkan dalam asam nitrat 0,5 N hingga diperoleh larutan 100 ml (Depkes, 1995).

3.3 Pengumpulan dan Pengolahan Bahan Tumbuhan 3.3.1 Pengumpulan bahan tumbuhan

Pengumpulan tumbuhan dilakukan secara purposif, yaitu tanpa membandingkan dengan bahan tumbuhan yang sama dari daerah lain. Pengambilan tumbuhan dilakukan dengan memilih buah pinang yang telah matang dan berwarna kuning kemerahan, yang diambil dari daerah Simalingkar B, Kecamatan Medan Johor, Medan, Provinsi Sumatera Utara. Gambar tumbuhan dan buah pinang dapat dilihat pada Lampiran 3, halaman 49.


(36)

19 3.3.2 Identifikasi bahan tumbuhan

Identifikasi tumbuhan dilakukan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Bidang Botani Pusat Penelitian Biologi, Bogor.

3.3.3 Pengolahan bahan tumbuhan

Bahan tumbuhan yang digunakan adalah sabut pinang (Areca catechu L.). Sabut dilepas dari buah pinang menggunakan rampago kemudian dipilah, sehingga didapat serabut atau sabut pinang. Beratnya ditimbang sebagai berat basah. Gambar sabut pinang dapat dilihat pada Lampiran 4, halaman 50. Sabut kemudian dikeringkan di lemari pengering pada suhu ± 40°C. Sampel yang telah kering biasanya ditentukan dari kerapuhan dan mudah patahnya bahan tumbuhan yang dikeringkan. Beratnya kemudian ditimbang, lalu dihaluskan dengan menggunakan blender, diayak dengan ayakan, sehingga didapat serbuk simplisia. Gambar serbuk simplisia sabut pinang dapat dilihat pada Lampiran 5, halaman 51. Serbuk simplisia dimasukkan ke dalam wadah plastik yang tertutup rapat dan disimpan pada suhu kamar.

3.4 Pemeriksaan Karakteritik Simplisia 3.4.1 Pemeriksaan makroskopik

Pemeriksaan makroskopik dilakukan terhadap bahan tumbuhan segar, yaitu sabut pinang (Areca catechu L.) dengan mengamati bentuk, tekstur dan ukuran, serta pemeriksaan organoleptik dengan mengamati warna, rasa dan bau. Pemeriksaan organoleptik terhadap ekstrak etanol sabut pinang juga dilakukan. 3.4.2 Penetapan kadar air


(37)

20 a. Penjenuhan toluen

Sebanyak 200 ml toluen dan 2 ml air suling dimasukkan ke dalam labu alas bulat, dipasang alat penampung dan pendingin, kemudian didestilasi selama 2 jam. Destilasi dihentikan dan dibiarkan dingin selama 30 menit, kemudian volume air dalam tabung penerima dibaca dengan ketelitian 0,05 ml.

b. Penetapan kadar air simplisia

Sebanyak 5 g serbuk simplisia yang telah ditimbang seksama dimasukkan ke dalam labu berisi toluen yang telah dijenuhkan, kemudian labu dipanaskan hati-hati selama 15 menit, setelah toluen mendidih, kecepatan tetesan diatur 2 tetes per detik sampai sebagian besar air terdestilasi. Kecepatan destilasi dinaikkan sampai 4 tetes tiap detik, setelah semua air terdestilasi, bagian dalam pendingin dibilas dengan toluen. Destilasi dilanjutkan selama 5 menit, kemudian tabung penerima dibiarkan mendingin pada suhu kamar, setelah air dan toluen memisah sempurna, lalu volume air dibaca dengan ketelitian 0,05 ml. Selisih kedua volume air yang dibaca sesuai dengan kandungan air yang terdapat dalam bahan yang diperiksa. Kadar air dihitung dalam persen (WHO, 1998). Penetapan kadar air juga dilakukan terhadap ekstrak etanol sabut pinang. Perhitungan kadar air serbuk simplisia dan ekstrak etanol sabut pinang dapat dilihat pada Lampiran 9, halaman 55.

3.4.3 Penetapan kadar sari yang larut dalam air

Sebanyak 5 g serbuk simplisia dimaserasi selama 24 jam dengan 100 ml air-kloroform (2,5 ml kloroform dalam air suling sampai 1 liter) dalam labu bersumbat, dikocok sesekali selama 6 jam pertama, kemudian dibiarkan selama 18 jam, kemudian disaring. Sejumlah 20 ml filtrat diuapkan sampai kering dalam


(38)

21

cawan penguap yang berdasar rata yang telah dipanaskan dan ditara. Sisa dipanaskan pada suhu 105ºC sampai bobot tetap. Kadar dalam persen sari yang larut dalam air dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan (Depkes, 1995). Perhitungan kadar sari yang larut dalam air terhadap serbuk simplisia dapat dilihat pada Lampiran 9, halaman 56.

3.4.4 Penetapan kadar sari yang larut dalam etanol

Sebanyak 5 g serbuk simplisia dimaserasi selama 24 jam dalam 100 ml etanol 96% di dalam labu bersumbat sambil dikocok sesekali selama 6 jam pertama, kemudian dibiarkan selama 18 jam, setelah itu disaring cepat untuk menghindari penguapan etanol. Sejumlah 20 ml filtrat diuapkan dalam cawan penguap yang berdasar rata yang telah dipanaskan dan ditara sampai kering. Sisa yang diperoleh dipanaskan pada suhu 105ºC sampai bobot tetap. Kadar dalam persen sari yang larut dalam etanol 96% dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan (Depkes, 1995). Perhitungan kadar sari yang larut dalam etanol terhadap serbuk simplisia dapat dilihat pada Lampiran 9, halaman 56.

3.4.5 Penetapan kadar abu total

Sebanyak 2 g serbuk simplisia yang telah digerus dan ditimbang seksama dimasukkan ke dalam krus porselin yang telah dipijar dan ditara, kemudian diratakan. Krus dipijar perlahan-lahan sampai arang habis, pijaran dilakukan pada suhu 600ºC selama 3 jam kemudian didinginkan dan ditimbang sampai diperoleh bobot tetap. Kadar abu dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan (Depkes, 1995). Penetapan kadar abu total juga dilakukan terhadap ekstrak etanol sabut pinang. Perhitungan penetapan kadar abu total serbuk simplisia dan ekstrak etanol sabut pinang dapat dilihat pada Lampiran 9, halaman 57.


(39)

22

3.4.6 Penetapan kadar abu yang tidak larut dalam asam

Abu yang diperoleh pada penetapan kadar abu total dididihkan dalam asam klorida encer sebanyak 25 ml selama 5 menit, bagian yang tidak larut dalam asam dikumpulkan, disaring melalui kertas saring bebas abu, dicuci dengan air panas, lalu dipijar sampai bobot tetap, kemudian didinginkan dan ditimbang. Kadar abu yang tidak larut dalam asam dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan (Depkes, 1995). Penetapan kadar abu yang tidak larut dalam asam juga dilakukan terhadap ekstrak etanol sabut pinang. Perhitungan penetapan kadar abu yang tidak larut dalam asam pada serbuk simplisia dan ekstrak etanol sabut pinang dapat dilihat pada Lampiran 9, halaman 58.

3.5 Skrining Fitokimia

Skrining fitokimia terhadap serbuk simplisia dan ekstrak etanol sabut pinang, meliputi pemeriksaan alkaloid, flavonoid, glikosida, saponin, tanin dan steroid/triterpenoid.

3.5.1 Pemeriksaan alkaloid

Sebanyak 0,5 g sampel ditimbang, kemudian ditambahkan 1 ml asam klorida 2 N dan 9 ml air suling, dipanaskan di atas penangas air selama 2 menit, didinginkan lalu disaring. Filtrat dipakai untuk tes alkaloid. Diambil 3 tabung reaksi, lalu ke dalam masing-masing tabung reaksi dimasukkan 0,5 ml filtrat. Pada tabung I : ditambahkan 2 tetes pereaksi Mayer, terbentuk endapan

menggumpal berwarna putih atau kuning.

Pada tabung II : ditambahkan 2 tetes pereaksi Dragendorff, terbentuk endapan berwarna coklat atau jingga kecoklatan.


(40)

23

Pada tabung III : ditambahkan 2 tetes pereaksi Bourchardat, terbentuk endapan berwarna coklat sampai kehitaman.

Alkaloid disebut positif jika terjadi endapan atau kekeruhan pada dua atau tiga dari percobaan di atas (Depkes, 1995).

3.5.2 Pemeriksaan flavonoid

Sebanyak 10 g sampel ditimbang, ditambahkan 10 ml air panas, dididihkan selama 5 menit dan disaring dalam keadaan panas, ke dalam 5 ml filtrat ditambahkan 0,1 g serbuk magnesium dan 1 ml asam klorida pekat dan 2 ml amil alkohol, dikocok dan dibiarkan memisah. Flavonoid positif jika terjadi warna merah atau kuning atau jingga pada lapisan amil alkohol (Depkes, 1995).

3.5.3 Pemeriksaan glikosida

Sebanyak 3 g sampel ditimbang, lalu disari dengan 30 ml campuran dari 7 bagian etanol 96% dengan 3 bagian air suling (7:3) dan 10 ml asam klorida 2 N, kemudian direfluks selama 10 menit, didinginkan, lalu disaring. Diambil 20 ml filtrat ditambahkan 25 ml air suling dan 25 ml timbal (II) asetat 0,4 M dikocok, didiamkan 5 menit lalu disaring. Filtrat disari dengan 20 ml campuran isopropanol dan kloroform (2:3), perlakuan ini diulangi sebanyak 3 kali. Sari organik dikumpulkan dan ditambahkan Na2SO4 anhidrat, disaring, kemudian diuapkan pada temperatur tidak lebih dari 50ºC, sisanya dilarutkan dalam 2 ml metanol. Sari air digunakan untuk percobaan berikut, 0,1 larutan percobaan dimasukkan dalam tabung reaksi, kemudian diuapkan di atas penangas air. Sisa penguapan ditambahkan 2 ml air dan 5 tetes larutan pereaksi Molish, lalu ditambahkan dengan perlahan-lahan 2 ml asam sulfat pekat melalui dinding tabung, terbentuk


(41)

24

cincin ungu pada batas kedua cairan, menunjukkan adanya ikatan gula (glikon) atau glikosida (Depkes, 1995).

3.5.4 Pemeriksaan saponin

Sebanyak 0,5 g sampel ditimbang, kemudian dimasukkan ke dalam tabung reaksi, lalu ditambahkan 10 ml air panas, didinginkan kemudian dikocok kuat-kuat selama 10 detik. Terbentuk busa setinggi 1 sampai 10 cm yang stabil tidak kurang dari 10 menit dan tidak hilang dengan penambahan 1 tetes asam klorida 2 N menunjukkan adanya saponin (Depkes, 1995).

3.5.5 Pemeriksaan tanin

Sebanyak 0,5 g sampel ditimbang, kemudian dididihkan selama 3 menit dalam 100 ml air suling lalu didinginkan dan disaring. Filtrat ditambahkan 1-2 tetes pereaksi besi (III) klorida 1%, jika terjadi warna biru kehitaman atau hijau kehitaman menunjukkan adanya tanin (Farnsworth, 1966).

3.5.6 Pemeriksaan steroid/triterpenoid

Sebanyak 1 g sampel dimaserasi dengan 20 ml n-heksan selama 2 jam, lalu disaring. Filtrat diuapkan dalam cawan penguap. Sisa penguapan ditambahkan beberapa tetes pereaksi Liebermann-Burchard. Timbulnya warna biru atau biru hijau menunjukkan adanya steroid, sedangkan warna merah, merah muda atau ungu menunjukkan adanya triterpenoid (Harborne, 1984).

3.5.7 Pemeriksaan pektin

Sebanyak 5 g sampel ditimbang, ditambahkan 15 ml air suling yang telah diasamkan dengan asam klorida 0,1 N sampai mencapai pH 1,5, kemudian dipanaskan di atas penangas air pada temperatur 95°C selama 40 menit, diserkai, diuapkan sampai menjadi setengah volume awal. Filtrat didinginkan kemudian


(42)

25

dilakukan pengendapan dengan menambahkan etanol 95% yang telah diasamkan dengan 2 ml asam klorida pekat per satu liter etanol. Perbandingan filtrat dengan etanol yang ditambahkan adalah 1:1,5. Proses pengendapan dilakukan selama 12 jam, kemudian disaring. Pektin dikatakan positif jika terbentuk endapan seperti gel (Hariyati, 2006).

3.6 Pembuatan Ekstrak Etanol Sabut Pinang (EESP)

Pembuatan EESP dilakukan secara maserasi menggunakan etanol 80%. Prosedur pembuatan ekstrak secara maserasi, yaitu sebanyak 10 bagian serbuk simplisia dimasukkan ke dalam sebuah bejana, tuangi dengan 75 bagian etanol 80%, tutup, biarkan selama 5 hari terlindung dari cahaya sambil sering diaduk, serkai, lalu cuci ampas dengan etanol 80% secukupnya hingga diperoleh 100 bagian. Dipindahkan ke dalam bejana tertutup, biarkan di tempat sejuk, terlindung dari cahaya selama 2 hari. Dienap tuangkan atau disaring (Depkes, 1979). Maserat yang diperoleh diuapkan menggunakan rotary evaporator pada temperatur ± 40oC sampai diperoleh ekstrak kental kemudian dikeringkan menggunakan freeze dryer pada suhu -40°C. Bagan kerja pembuatan ekstrak etanol sabut pinang dapat dilihat pada Lampiran 8, halaman 54.

3.7 Percobaan Efek Antidiare

Pengujian efek antidiare meliputi penyiapan hewan percobaan, penyiapan bahan kontrol negatif, bahan kontrol positif, bahan uji, induktor diare dan pengujian efek antidiare.

3.7.1 Penyiapan hewan percobaan


(43)

26

berjenis kelamin jantan dengan berat rata-rata 200 gram sebanyak 30 ekor. Dibagi dalam 6 kelompok dimana setiap kelompok terdiri dari 5 ekor tikus. Tikus diaklimatisasi terlebih dahulu selama 2 minggu sebelum penelitian, kemudian diberi makanan dan minuman secara teratur, serta dijaga kebersihan kandangnya.

Penelitian menggunakan hewan telah mendapat persetujuan etik dari Komite Etik Penelitian Kesehatan FK USU dan Komite Etik Penelitian Hewan FMIPA USU (Animal Research Ethics Committees/AREC), dikenal dengan

ethical clearance atau kelayakan etik yang merupakan keterangan tertulis untuk

penelitian yang melibatkan mahluk hidup (manusia, hewan dan tumbuhan). Surat ethical clearance dapat dilihat pada Lampiran 2, halaman 48.

3.7.2 Penyiapan bahan

Bahan yang digunakan meliputi suspensi CMC Na sebagai kontrol negatif, suspensi loperamid HCl (Imodium®) sebagai kontrol positif atau pembanding, suspensi ekstrak etanol sabut pinang (EESP) sebagai bahan uji dan oleum ricini sebagai induktor diare.

3.7.2.1 Pembuatan suspensi CMC Na 1% b/v

Sebanyak 1 g CMC Na ditaburkan ke dalam lumpang yang berisi air suling panas sebanyak 20 ml, ditutup dan dibiarkan selama 30 menit hingga diperoleh massa yang transparan, digerus lalu diencerkan dengan air suling hingga 100 ml (Anief, 2004). Perhitungan dosis dan volume pemberian suspensi CMC Na 1% b/v dapat dilihat pada Lampiran 13, halaman 62.

3.7.2.2 Pembuatan suspensi loperamid HCl dosis 1 mg/kg bb

Tablet Imodium yang mengandung 2 mg loperamid HCl, ditimbang sebanyak 20 tablet. Tablet digerus dan diambil serbuk sebanyak 900 mg. Serbuk


(44)

27

dimasukkan ke dalam lumpang, lalu ditambahkan suspensi CMC Na 1% b/v sedikit demi sedikit sambil digerus sampai homogen. Dicukupkan dengan suspensi CMC Na 1% b/v hingga 50 ml. Perhitungan dosis dan volume pemberian suspensi loperamid HCl dapat dilihat pada Lampiran 14, halaman 63.

3.7.2.3 Pembuatan suspensi ekstrak etanol sabut pinang (EESP) dengan konsentrasi 0,75%; 1,5%; 2,25%; dan 3% b/v

Ekstrak ditimbang dengan seksama sesuai dengan konsentrasi masing-masing (0,0375 g; 0,075 g; 0,1125 g; dan 0,15 g) kemudian dimasukkan ke dalam lumpang lalu ditambahkan sedikit suspensi CMC Na 1% b/v diaduk hingga homogen. Dicukupkan dengan suspensi CMC Na 1% b/v hingga 5 ml. Perhitungan dosis dan volume pemberian suspensi ekstrak etanol sabut pinang dapat dilihat pada Lampiran 15, halaman 65.

3.7.3 Pengujian efek antidiare

Dosis EESP ditentukan berdasarkan orientasi pada hewan percobaan terhadap parameternya. Dosis yang digunakan yaitu 25, 50, 75, 100, 125 dan 150 mg/kg bb. Hasil orientasi dipilih variasi dosis sebanyak empat dosis, yaitu 25, 50, 75 dan 100 mg/kg bb. Larutan suspensi dibuat bervariasi agar pemberian dosis EESP terhadap setiap tikus pada masing-masing kelompok seragam yaitu sebesar 0,667 ml/200 g bb tikus.

Tikus dipuasakan selama 18 jam sebelum perlakuan, kemudian ditimbang dan ditandai. Tikus diberikan oleum ricini sebanyak 2 ml/200 g bb tikus. Satu jam setelah pemberian oleum ricini masing-masing kelompok diberi perlakuan yaitu kelompok kontrol negatif diberikan suspensi CMC Na 1% b/v, kelompok kontrol positif diberikan suspensi loperamid HCl dosis 1 mg/kg bb dan kelompok bahan


(45)

28

uji diberikan suspensi EESP yang terdiri dari empat dosis yaitu 25, 50, 75 dan 100 mg/kg bb, lalu tikus ditempatkan dalam wadah pengamatan.

Pengamatan dimulai 30 menit setelah perlakuan selama 6 jam. Parameter yang diamati meliputi saat mulai terjadinya diare, konsistensi feses, frekuensi diare dan lama terjadinya diare (Enda, 2010; Sugiarto, 2008).

3.8 Analisis data

Data hasil pengamatan saat mulai terjadinya diare, konsistensi feses, (diameter serapan air, berat feses dan waktu defekasi), frekuensi diare dan lama terjadinya diare, dianalisis secara statistik dengan metode analisis variansi (ANOVA) pada tingkat kepercayaan 95%, dilanjutkan dengan uji beda rata-rata Duncan untuk melihat perbedaan nyata antar kelompok perlakuan. Analisis statistik ini menggunakan program SPSS (Statistical Product and Service


(46)

29 BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Identifikasi Sampel

Identifikasi sampel dilakukan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Bidang Botani Pusat Penelitian Biologi, Bogor. Hasilnya menunjukkan sampel yang digunakan adalah pinang (Areca catechu L.). Hasil dapat dilihat pada Lampiran 1, halaman 47.

4.2 Hasil Karakterisasi

4.2.1 Pemeriksaan makroskopik

Hasil pemeriksaan makroskopik simplisia sabut pinang segar menunjukkan bentuk serabut-serabut panjang yang menempel pada kulit buah dengan panjang serabut 6 cm, dengan organoleptik warna kuning kemerahan, bau khas, serta rasa pahit. Pemeriksaan organoleptik ekstrak etanol sabut pinang diperoleh warna coklat kehitaman, bau khas dan rasa pahit. Hasil pemeriksaan makroskopik dapat dilihat pada Lampiran 6, halaman 52.

4.2.2 Pemeriksaan karakteristik serbuk simplisia dan ekstrak etanol sabut pinang

Karakteristik serbuk simplisia dan ekstrak etanol sabut pinang tidak tercantum di buku Materia Medika Indonesia Jilid VI (1995). Hasil pemeriksaan kadar air keduanya memenuhi persyaratan umum, yaitu di bawah 10%. Hasil dapat dilihat pada Tabel 4.1.


(47)

30

Tabel 4.1 Hasil pemeriksaan karakteristik serbuk simplisia dan ekstrak etanol sabut pinang

Penetapan kadar air dilakukan untuk mengetahui besarnya kandungan air yang terdapat di dalam simplisia. Penetapan kadar sari yang larut dalam air menyatakan jumlah zat yang tersari dalam pelarut air, seperti glikosida, gula, protein, enzim dan zat warna, sedangkan penetapan kadar sari yang larut dalam etanol menyatakan jumlah zat yang tersari dalam pelarut etanol, seperti glikosida, steroid, flavonoid, saponin, tanin (Depkes, 1995). Penetapan kadar abu total menyatakan jumlah kandungan senyawa anorganik dalam simplisia, misalnya Mg, Ca, Na, Zn dan K. Kadar abu tidak larut dalam asam untuk mengetahui kadar senyawa anorganik yang tidak larut dalam asam, misalnya silikat. Perhitungan hasil pemeriksaan karakteristik serbuk simplisia dan ekstrak etanol sabut pinang dapat dilihat pada Lampiran 9, halaman 55.

4.3 Hasil Skrining Fitokimia

Hasil skrining fitokimia terhadap serbuk simplisia dan ekstrak etanol sabut pinang diperoleh keduanya mengandung flavonoid, glikosida dan pektin. Hasil dapat dilihat pada Tabel 4.2.

No Karakteristik

Hasil Uji (%) Serbuk Ekstrak

Persyaratan menurut MMI

(1995)

1 Kadar air 5,31 9,31 ≤ 10

2 Kadar sari yang larut air 9,95 - -

3 Kadar sari yang larut dalam etanol 7,65 - -

4 Kadar abu total 5,76 5,15 -


(48)

31

Tabel 4.2 Hasil skrining fitokimia serbuk simplisia dan ekstrak etanol sabut pinang

Keterangan: (+) Positif : mengandung golongan senyawa (−) Negatif : tidak mengandung golongan senyawa

Flavonoid dengan penambahan serbuk magnesium (Mg) dan asam klorida pekat menghasilkan larutan berwarna kuning pada lapisan amil alkohol (Farnsworth, 1966), sedangkan glikosida dengan penambahan pereaksi Molish dan asam sulfat pekat membentuk cincin ungu (Depkes, 1995). Pemeriksaan pektin dilakukan dengan cara ekstraksi pada suhu 95°C selama 40 menit, menggunakan air suling yang telah diasamkan dengan asam klorida 1 N. suhu yang tinggi akan membantu difusi pelarut ke dalam jaringan tanaman dan dapat meningkatkan aktivitas pelarut dalam menghidrolisis pectin yang terdapat di dalam dinding sel tanaman. Fungsi asam klorida untuk memutuskan ikatan antara asam pektinat dengan selulosa, menghidrolisa protopektin menjadi molekul yang lebih kecil dan menghidrolisa gugus metil ester pektin. Proses pengendapan dengan etanol mengakibatkan stabilitas koloidal pektin terganggu, sehingga pektin menjadi terkoagulasi (Hariyati, 2006).

4.4 Pengujian Efek Antidiare

Pengujian efek antidiare dari suspensi ekstrak etanol sabut pinang (EESP)

No. Golongan senyawa Hasil

Simplisia Ekstrak 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Alkaloid Flavonoid Tanin Steroid/Triterpenoid Saponin Glikosida Pektin - + - - - + + - + - - - + +


(49)

32

diawali dengan melakukan orientasi dosis. Dosis yang digunakan, yaitu 25, 50, 75, 100, 125 dan 150 mg/kg bb. Dosis 25, 50, 75 dan 100 mg/kg bb digunakan dalam penelitian karena menunjukkan efek antidiare, sedangkan dosis 125 dan 150 mg/kg juga menunjukkan efek antidiare, namun efek yang dihasilkan lebih kuat dibandingkan dengan loperamid HCl 1 mg/kg bb, sehingga tidak digunakan dalam penelitian. Hasil orientasi dapat dilihat pada Lampiran 17, halaman 69.

Tikus dipuasakan 18 jam sebelum penelitian, kemudian ditimbang dan ditandai. Tikus diberikan oleum ricini sebanyak 2 ml/200 g bb tikus. Satu jam setelah pemberian oleum ricini, masing-masing kelompok diberi perlakuan, yaitu kelompok kontrol negatif diberikan suspensi CMC dosis 1% b/v, kelompok kontrol positif diberikan suspensi loperamid HCl dosis 1 mg/kg bb dan kelompok bahan uji diberikan suspensi EESP yang masing-masing terdiri dari empat dosis, yaitu 25, 50, 75, 100 mg/kg bb. Penentuan efek antidiare dari ekstrak etanol sabut pinang dilakukan dengan cara mengamati saat mulai terjadinya diare, konsistensi feses, frekuensi diare dan lama terjadinya diare.

4.4.1 Penentuan saat mulai terjadinya diare

Hasil analisis data saat mulai terjadinya diare dapat dilihat pada Tabel 4.3. Tabel 4.3 Hasil analisis data saat mulai terjadinya diare

Keterangan: OR : oleum ricini

EESP : ekstrak etanol sabut pinang

Kel Perlakuan Saat mulai terjadinya diare

(menit ke-)±SD

1 OR + CMC 1% b/v 56,8±2,28

2 OR + Loperamid HCl 1 mg/kg bb 107,8±11,17

3 OR + EESP 25 mg/kg bb 82,4±2,51

4 OR + EESP 50 mg/kg bb 91,8±2,95

5 OR + EESP 75 mg/kg bb 114,0±9,11


(50)

33

Gambar 4.1 Grafik saat mulai terjadinya diare

Tabel 4.3 dan Gambar 4.1 memperlihatkan bahwa pemberian suspensi loperamid HCl dosis 1 mg/kg bb menyebabkan perubahan waktu yang sangat berarti, yaitu pada menit ke-107,8, dimana waktu mulai terjadinya diare lebih lama dibandingkan dengan EESP dosis 25 mg/kg bb (82,4 menit) dan 50 mg/kgbb (91,8 menit), lebih cepat daripada dosis 75 mg/kg bb (114 menit) dan 100 mg/kg bb (127,2 menit). Hasil pengamatan saat mulai terjadinya diare dapat dilihat pada Lampiran 18, halaman 70. Berdasarkan uji statistik anova kemudian dilanjutkan dengan uji beda rata-rata Duncan, suspensi EESP dosis 100 mg/kg bb berbeda secara signifikan dari semua dosis yang diuji. Dosis yang tidak berbeda secara signifikan adalah dosis 25 mg/kg bb dengan dosis 50 mg/kg bb, serta dosis 75 mg/kg bb tidak berbeda secara signifikan dengan dosis loperamid 1 mg/kg bb. Hasil analisis uji beda rata-rata Duncan dapat dilihat pada Lampiran 23, halaman 78. 56,8 107,8 82,4 91,8 114 127,2 0 20 40 60 80 100 120 140

OR + CMC 1% bb

OR + Loperamid HCl 1 mg/kg

bb

OR + EESP 25 mg/kg bb

OR + EESP 50 mg/kg bb

OR + EESP 75 mg/kg bb

OR + EESP 100 mg/kg bb Wak tu mu lai te rjad in ya d iar e (me n it) Perlakuan


(51)

34

Pengujian efek antidiare dilakukan dengan metode defekasi. Metode ini telah dilakukan oleh Enda (2010) dan Sugiarto (2008), namun perlakuannya berbeda pada penelitian ini. Oleum ricini diberikan terlebih dahulu kemudian satu jam setelah pemberian oleum ricini, diberikan suspensi yang akan diuji. Sampel uji dinyatakan memiliki aktivitas antidiare, jika waktu mulai terjadi diare yang diperoleh lebih lama daripada kontrol negatif dan semakin cepat terjadinya diare, maka aktivitas antidiare akan semakin lemah.

4.4.2 Penentuan konsistensi feses (diameter serapan air dan berat feses) Penentuan konsistensi feses dilakukan dengan cara melihat bentuk feses yang terjadi, dapat dikategorikan ke dalam kelompok, yaitu konsistensi feses berlendir (BL) dengan diameter serapan air lebih besar dari 2 cm, konsistensi feses lembek (L) dengan diameter serapan air antara 1-2 cm dan konsistensi feses normal (N) dengan diameter serapan air lebih kecil dari 1 cm. Pengamatan terhadap waktu terjadinya dan berat feses (BF) yang terbentuk juga diamati.

Hasil data konsistensi feses dan waktu defekasi yang diperoleh dapat dilihat pada Tabel 4.4, Tabel 4.5 dan Tabel 4.6.

Tabel 4.4 Hasil analisis data konsistensi feses (diameter serapan air)

Keterangan: OR : oleum ricini

EESP : ekstrak etanol sabut pinang

No Kelompok

(mg/kg bb)

Diameter serapan air berlendir

(cm) ± SD

lembek (cm) ± SD

Normal (cm) ± SD 1 OR + CMC 1% b/v 3,88±0,19 1,66±0,21 0,36±0,05 2 OR + Loperamid HCL 1 2,38±0,11 1,26±0,05 0,20±0,00 3 OR + EESP 25 3,42±0,13 1,48±0,16 0,26±0,05 4 OR + EESP 50 3,28±0,13 1,46±0,11 0,24±0,05 5 OR + EESP 75 2,36±0,11 1,28±0,08 0,20±0,10 6 OR + EESP 100 2,12±0,04 1,24±0,05 0,18±0,04


(52)

35

Gambar 4.2 Grafik diameter serapan air

Tabel 4.5 Hasil analisis data konsistensi feses (berat feses)

Keterangan: OR : oleum ricini EESP : ekstrak etanol sabut pinang

Gambar 4.3 Grafik berat feses 0 0,5 1 1,5 2 2,5 3 3,5 4 OR + CMC 1% bb OR + Loperamid HCL 1 mg/kg bb OR + EESP 25 mg/kg bb OR + EESP 50 mg/kg bb OR + EESP 75 mg/kg bb OR + EESP 100 mg/kg bb 3,88 2,38 3,42 3,28 2,36 2,12 1,66

1,26 1,48 1,46 1,28 1,24

0,36 0,2 0,26 0,24 0,2 0,18

D iamt er serap an air (cm ) Berlendir Lembek Normal 0 0,51 1,52 2,53 3,54 OR + CMC 1% bb OR + Loperamid HCL 1 mg/kg bb OR + EESP 25 mg/kg bb OR + EESP 50 mg/kg bb OR + EESP 75 mg/kg bb OR + EESP 100 mg/kg bb 3,83 2,29 3,41 3,27 2,36 2,12 1,6

1,19 1,47 1,36 1,2 1,18

0,3 0,16 0,23 0,22 0,17 0,15

B erat f eses (g) Berlendir Lembek Normal

No Kelompok

(mg/kg bb)

Berat feses berlendir

(g) ± SD

lembek (g) ± SD

Normal (g) ± SD 1 OR + CMC 1% b/v 3,83±0,18 1,60±0,18 0,30±0,06 2 OR + Loperamid HCL 1 2,29±0,10 1,19±0,06 0,16±0,03 3 OR + EESP 25 3,41±0,13 1,47±0,15 0,23±0,05 4 OR + EESP 50 3,27±0,11 1,36±0,09 0,22±0,03 5 OR + EESP 75 2,36±0,11 1,20±0,05 0,17±0,03 6 OR + EESP 100 2,12±0,04 1,18±0,03 0,15±0,01

Perlakuan


(53)

36 Tabel 4.6 Hasil analisis data waktu defekasi

Keterangan: OR : oleum ricini

EESP : ekstrak etanol sabut pinang

Tabel 4.4 dan Gambar 4.2, Tabel 4.5 dan Gambar 4.3, serta Tabel 4.6 memperlihatkan hubungan antara dosis dengan konsistensi feses. Kelompok kontrol negatif, yaitu suspensi CMC Na 1% b/v terjadinya BL pada menit ke-56,8 dengan BF 3,83 g, L pada menit 217,6 dengan BF 1,60 g dan N pada menit ke-339,4 dengan BF 0,30 g.

Kelompok kontrol positif, yaitu suspensi loperamid HCl 1 mg/kg bb terjadinya BL pada menit ke-107,8 dengan BF 2,29 g, L pada menit ke-126,8 dengan BF 1,19 g dan N pada menit ke-232,2 dengan BF 0,16 g.

Kelompok bahan uji, yaitu suspensi EESP dosis 25 mg/kg bb terjadinya BL pada menit ke-82,4 dengan BF 3,41 g, L pada menit ke-213,4 dengan BF 1,47 dan N pada menit ke-273,4 dengan BF 0,23 g; dosis 50 mg/kg bb terjadinya BL pada menit ke-91,8 dengan BF 3,27 g, L pada menit ke-197,8 dengan BF 1,36 dan N pada menit ke-267,8 dengan BF 0,22 g; dosis 75 mg/kg bb terjadinya BL pada menit ke-114 dengan BF 2,36 g, L pada menit ke-128,6 dengan BF 1,20 dan N pada menit ke-229,4 dengan BF 0,17 g; dan dosis 100 mg/kg bb terjadinya BL pada menit ke-127,2 dengan BF 2,12 g, L pada menit ke-158,6 dengan BF 1,18

No Kelompok

(mg/kg bb)

Waktu defekasi berlendir

(g) ± SD

lembek (g) ± SD

Normal (g) ± SD 1 OR + CMC 1% b/v 56,8±2,28 217,6±17,42 339,4±14,42 2 OR + Loperamid HCL 1 107,8±11,7 128,6±3,27 232,2±11,61 3 OR + EESP 25 82,4±2,51 213,4±2,51 273,4±2,51 4 OR + EESP 50 91,8±2,95 197,8±2,95 267,8±2,95 5 OR + EESP 75 114,0±9,11 128,6±2,19 229,4±22,06 6 OR + EESP 100 127,2±10,11 158,6±8,76 202,8±8,49


(54)

37

dan N pada menit ke-202,8 dengan BF 0,15. Hubungan antara dosis, waktu defekasi dan konsistensi feses dapat dilihat pada Lampiran 19, halaman 71.

Berdasarkan uji anova kemudian dilanjutkan dengan uji beda rata-rata Duncan diperoleh konsistensi feses dengan pemberian suspensi CMC Na 1% b/v menunjukkan perbedaan secara signifikan terhadap masing-masing kelompok. Pemberian suspensi loperamid HCl 1 mg/kg bb dengan suspensi EESP dosis 75 mg/kg bb, tidak memberikan perbedaan secara signifikan, begitu juga dengan kelompok suspensi EESP dosis 25 dengan 50 mg/kg bb tidak berbeda secara signifikan. Kelompok suspensi EESP dosis 100 mg/kg bb memberikan perbedaan secara signifikan terhadap masing-masing kelompok. Hasil analisis uji beda rata-rata Duncan dapat dilihat pada Lampiran 23, halaman 78.

Penentuan konsistensi feses yang dilakukan menunjukkan bahwa semakin cepat terbentuknya konsistensi feses yang berlendir/berair, maka aktivitas antidiare akan semakin lemah dan semakin cepat terjadinya perubahan konsistensi kearah normal, maka aktivitas antidiare semakin kuat.

4.4.3 Penentuan frekuensi diare

Hasil analisis data frekuensi diare dapat dilihat pada Tabel 4.7. Tabel 4.7 Hasil analisis data frekuensi diare

Keterangan: OR : oleum ricini

EESP : ekstrak etanol sabut pinang

No Kelompok frekuensi ± SD

1 OR + CMC 1% b/v 7,00±0,00

2 OR + Loperamid HCL 1 mg/kg bb 2,80±0,45

3 OR + EESP 25 mg/kg bb 5,00±0,70

4 OR + EESP 50 mg/kg bb 4,40±0,55

5 OR + EESP 75 mg/kg bb 3,20±0,84


(55)

38

Gambar 4.4 Grafik frekuensi diare

Tabel 4.7 dan Gambar 4.4 memperlihatkan bahwa kelompok pemberian suspensi CMC Na 1% b/v menunjukkan lebih banyak terjadinya diare, yaitu

sebanyak 7 kali, daripada kelompok pemberian suspensi loperamid HCl 1 mg/kg bb (2,8 kali diare), kelompok suspensi EESP dosis 25 mg/kg bb (5 kali diare), dosis 50 mg/kg bb (4,4 kali diare), dosis 75 mg/kg bb (3,2 kali diare) dan dosis 100 mg/kg bb (2,4 kali diare). Hasil pengamatan frekuensi diare dapat dilihat pada Lampiran 20, halaman 72.

Berdasarkan hasil analisis statistik anova dilanjutkan uji beda rata-rata Duncan, menunjukkan hasil kelompok pemberian suspensi CMC Na 1% b/v berbeda secara signifikan terhadap masing-masing kelompok. Efek yang tidak berbeda secara signifikan dihasilkan kelompok pemberian suspensi loperamid HCl 1 mg/kg bb dengan suspensi EESP dosis 75 dan 100 mg/kg bb, juga kelompok pemberian suspensi EESP dosis 25 dengan 50 mg/kg bb. Hasil analisis uji beda rata-rata Duncan dapat dilihat pada Lampiran 23, halaman 81.

7 2,8 5 4,4 3,2 2,4 0 1 2 3 4 5 6 7 8

OR + CMC 1% bb

OR + Loperamid HCL 1 mg/kg

bb

OR + EESP 25 mg/kg bb

OR + EESP 50 mg/kg bb

OR + EESP 75 mg/kg bb

OR + EESP 100 mg/kg bb

Ju m lah di ar e Perlakuan


(56)

39

Penentuan frekuensi diare yang dilakukan menunjukkan bahwa semakin banyak terjadinya diare, maka aktivitas antidiare akan semakin lemah, begitu juga sebaliknya semakin sedikit terjadinya diare, maka aktivitas antidiare akan semakin kuat.

4.4.4 Penentuan lama terjadinya diare

Hasil analisis data lama terjadinya diare dapat dilihat pada Tabel 4.8. Tabel 4.8 Hasil analisis data lama terjadinya diare

Keterangan: OR : oleum ricini

EESP : ekstrak etanol sabut pinang

Gambar 4.5 Grafik lama terjadinya diare 282,6 124,4 191 176 125,4 75,6 0 50 100 150 200 250 300

OR + CMC 1% bb

OR + Loperamid

HCL 1 mg/kg bb

OR + EESP 25 mg/kg bb

OR + EESP 50 mg/kg bb

OR + EESP 75 mg/kg bb

OR + EESP 100 mg/kg bb Wa kt u la m a t er ja diny a dia re (m en it)

No Kelompok Lama terjadi diare (menit) ± SD

1 OR + CMC 1% b/v 282,60±14,48

2 OR + Loperamid HCL 1 mg/kg bb 124,40±2,88

3 OR + EESP 25 mg/kg bb 191,00±0,00

4 OR + EESP 50 mg/kg bb 176,00±0,00

5 OR + EESP 75 mg/kg bb 125,40±9,29


(57)

40

Tabel 4.8 dan Gambar 4.5 memperlihatkan bahwa pemberian suspensi CMC Na 1% b/v menghasilkan waktu lama terjadinya diare paling lama, yaitu pada menit 282,6 . Pemberian suspensi loperamid HCl, yaitu pada menit ke-124,4. Pemberian suspensi EESP dosis 100 mg/kg bb memiliki waktu lama terjadinya diare tersingkat, yaitu pada menit ke-121,8 daripada pemberian suspensi EESP dosis 25 mg/kg bb (191 menit), dosis 50 mg/kg bb (176 menit) dan dosis 75 mg/kg bb (125,4 menit). Hasil pengamatan dapat dilihat pada Lampiran 20, halaman 72.

Berdasarkan uji statistik anova kemudian dilanjutkan uji beda rata-rata Duncan menunjukkan bahwa lama terjadinya diare pada kelompok pemberian suspensi CMC Na 1% b/v berbeda secara signifikan dari masing-masing kelompok yang diuji, begitu juga dengan EESP dosis 25, 50 dan 100 mg/kg bb yang berbeda secara signifikan. Dosis yang tidak menunjukkan perbedaan secara signifikan adalah kelompok pemberian suspensi EESP dosis 75 mg/kg bb dengan kelompok pemberian suspensi loperamid HCl 1 mg/kg bb. Hasil analisis uji beda rata-rata Duncan dapat dilihat pada Lampiran 23, halaman 81. Penentuan lama terjadinya diare yang dilakukan menunjukkan bahwa semakin lamanya terjadinya diare, maka semakin lemah aktivitas antidiare yang dihasilkan.

Parameter yang telah diamati, dapat dikategorikan berdasarkan tingkat aktivitasnya dalam menekan diare sebagai berikut:

1. Lemah, bila aktivitas antidiare diatas aktivitas kelompok kontrol dan dibawah aktivitas kelompok pembanding.

2. Sebanding, bila aktivitas antidiare sama dengan aktivitas kelompok pembanding.


(58)

41

3. Kuat, bila aktivitas antidiare diatas aktivitas kelompok pembanding.

Kategori aktivitas antidiare dari masing-masing kelompok bahan uji dapat dikategorikan sebagai berikut: kelompok pemberian suspensi EESP dosis 25 dan 50 mg/kg bb mempunyai aktivitas antidiare yang lemah bila dibandingkan dengan kelompok pemberian suspensi loperamid HCl 1 mg/kg bb. Kelompok pemberian suspensi EESP dosis 75 mg/kg bb mempunyai aktivitas yang sebanding atau sama dengan kelompok pemberian suspensi loperamid HCl dosis 1 mg/kg bb dan kelompok pemberian suspensi EESP dosis 100 mg/kg bb mempunyai aktivitas yang kuat dalam menekan diare dibandingkan dengan kelompok pemberian suspensi loperamid HCl dosis 1 mg/kg bb.

Ekstrak etanol sabut pinang mengandung senyawa pektin dan flavonoid. Pektin seperti diketahui dapat membentuk gumpalan seperti gel saat berikatan dengan cairan, sehingga mengakibatkan feses yang terbentuk menjadi lebih padat. Pektin juga oleh flora normal di usus membentuk suatu lapisan pelindung yang melindungi usus dari iritasi. Pektin seperti flavonoid dapat menghambat motilitas usus. Percobaan secara in vitro dan in vivo telah menunjukkan bahwa flavonoid dapat menghambat respon sekresi usus yang disebabkan oleh prostaglandin E2 (Meite, dkk., 2009), pada kondisi diare prostaglandin E2 menyebabkan hipersekresi dan bertumpuknya cairan di usus akibat resorpsi air dan elektrolit yang terganggu, sehingga meningkatkan motilitas usus dan cairan yang dikeluarkan terlalu banyak, serta menambah frekuensi defekasi (Farokh, 2011). Flavonoid biasanya menghambat diare yang disebabkan oleh oleum ricini (Ahmadu, dkk., 2007). Adanya kedua senyawa ini menyebabkan efek yang sinergisme dalam menangani diare.


(1)

76

Lampiran 21. (Lanjutan)

- Waktu defekasi normal

Kelompok (mg/kg bb)

N Mean

Std.

Deviation Std. Error

95% Confidence Interval for Mean

Min. Max. Lower

Bound

Upper Bound

CMC Na 1%b/v 5 3.3940E2 14.41527 6.44670 321.5011 357.2989 321.00 354.00 Loperamid HCl 1 5 2.3220E2 11.60603 5.19038 217.7892 246.6108 212.00 240.00

EESP 25 5 2.7340E2 2.50998 1.12250 270.2834 276.5166 271.00 276.00

EESP 50 5 2.6780E2 2.94958 1.31909 264.1376 271.4624 266.00 273.00

EESP 75 5 2.2940E2 22.06354 9.86712 202.0045 256.7955 190.00 240.00 EESP 100 5 2.0280E2 8.49706 3.80000 192.2495 213.3505 195.00 213.00

Total 30 2.5750E2 45.90376 8.38084 240.3593 274.6407 190.00 354.00

3.

Frekuensi diare

Kelompok (mg/kg bb)

N Mean

Std.

Deviation Std. Error

95% Confidence Interval for Mean

Min. Max. Lower

Bound

Upper Bound

CMC Na 1%b/v 5 7.0000 .00000 .00000 7.0000 7.0000 7.00 7.00

Loperamid HCl 1 5 3.0000 .70711 .31623 2.1220 3.8780 2.00 4.00

EESP 25 5 5.0000 .70711 .31623 4.1220 5.8780 4.00 6.00

EESP 50 5 4.4000 .54772 .24495 3.7199 5.0801 4.00 5.00

EESP 75 5 3.2000 .83666 .37417 2.1611 4.2389 2.00 4.00

EESP 100 5 2.4000 .54772 .24495 1.7199 3.0801 2.00 3.00

Total 30 4.1667 1.66264 .30355 3.5458 4.7875 2.00 7.00

4.

Lama terjadinya diare

Kelompok (mg/kg bb)

N Mean

Std.

Deviation Std. Error

95% Confidence Interval for Mean

Min. Max. Lower

Bound

Upper Bound

CMC Na 1%b/v 5 2.8260E2 14.48447 6.47765 264.6151 300.5849 265.00 298.00 Loperamid HCl 1 5 1.2440E2 2.88097 1.28841 120.8228 127.9772 122.00 128.00

EESP 25 5 1.9100E2 .00000 .00000 191.0000 191.0000 191.00 191.00

EESP 50 5 1.7600E2 .00000 .00000 176.0000 176.0000 176.00 176.00

EESP 75 5 1.2540E2 9.28978 4.15452 113.8652 136.9348 121.00 142.00

EESP 100 5 75.6000 2.50998 1.12250 72.4834 78.7166 74.00 80.00


(2)

77

Lampiran 22. Hasil analisis statistik anova

ANOVA

Sum of Squares df

Mean

Square F Sig.

Saatmulaiterjadinyadiare Between Groups 15866.267 5 3173.253 57.678 .000

Within Groups 1320.400 24 55.017

Total 17186.667 29

Waktudefekasiberlendir Between Groups 15866.267 5 3173.253 57.678 .000

Within Groups 1320.400 24 55.017

Total 17186.667 29

Waktudefekasilembek Between Groups 42728.400 5 8545.680 124.876 .000

Within Groups 1642.400 24 68.433

Total 44370.800 29

Waktudefekasinormal Between Groups 57441.500 5 11488.300 75.210 .000

Within Groups 3666.000 24 152.750

Total 61107.500 29

Bfberlendir Between Groups 12.617 5 2.523 173.097 .000

Within Groups .350 24 .015

Total 12.967 29

Bflembek Between Groups .766 5 .153 12.493 .000

Within Groups .294 24 .012

Total 1.060 29

Bfnormal Between Groups .078 5 .016 10.570 .000

Within Groups .036 24 .001

Total .114 29

Dmserapberlendir Between Groups 12.727 5 2.545 155.837 .000

Within Groups .392 24 .016

Total 13.119 29

Dmseraplembek Between Groups .686 5 .137 8.571 .000

Within Groups .384 24 .016

Total 1.070 29

Dmserapnormal Between Groups .086 5 .017 4.895 .003

Within Groups .084 24 .003

Total .170 29

Frekuensidiare Between Groups 70.967 5 14.193 37.026 .000

Within Groups 9.200 24 .383

Total 80.167 29

Lamaterjadinyadiare Between Groups 128990.700 5 25798.140 498.194 .000

Within Groups 1242.800 24 51.783


(3)

78

Lampiran 23. Hasil analisis statistik uji beda rata-rata Duncan

1.

Saat mulai terjadinya diare

Kelompok N

Subset for alpha = 0.05

1 2 3 4

CMC Na 1%b/v 5 56.8000

EESP 25 mg/kg bb 5 82.4000

EESP 50 mg/kg bb 5 91.8000

Loperamid HCl 1 mg/kg bb 5 1.0780E2

EESP 75 mg/kg bb 5 1.1400E2

EESP 100 mg/kg bb 5 1.2720E2

Sig. 1.000 .057 .199 1.000

2.

Konsistensi feses (diameter serapan air, berat feses dan waktu defekasi)

a.

Diameter serapan air

-

Diameter serapan air berlendir

Kelompok N

Subset for alpha = 0.05

1 2 3 4

EESP 100 mg/kg bb 5 2.1200

EESP 75 mg/kg bb 5 2.3600

Loperamid HCl 1 mg/kg bb 5 2.3800

EESP 50 mg/kg bb 5 3.2800

EESP 25 mg/kg bb 5 3.4200

CMC Na 1%b/v 5 3.8800

Sig. 1.000 .807 .096 1.000

-

Diameter serapan air lembek

Kelompok N

Subset for alpha = 0.05

1 2 3

EESP 100 mg/kg bb 5 1.2400

Loperamid HCl 1 mg/kg bb 5 1.2600

EESP 75 mg/kg bb 5 1.2800

EESP 50 mg/kg bb 5 1.4600

EESP 25 mg/kg bb 5 1.4800

CMC Na 1%b/v 5 1.6600


(4)

79

Lampiran 23. (Lanjutan)

-

Diameter serapan air normal

Kelompok N

Subset for alpha = 0.05

1 2

EESP 100 mg/kg bb 5 .1800

Loperamid HCl 1 mg/kg bb 5 .2000

EESP 75 mg/kg bb 5 .2000

EESP 50 mg/kg bb 5 .2400

EESP 25 mg/kg bb 5 .2600

CMC Na 1%b/v 5 .3400

Sig. .065 1.000

b.

Berat feses

-

Berat feses berlendir

Kelompok N

Subset for alpha = 0.05

1 2 3 4

EESP 100 mg/kg bb 5 2.1200

Loperamid HCl 1 mg/kg bb 5 2.2900

EESP 75 mg/kg bb 5 2.3600

EESP 50 mg/kg bb 5 3.2720

EESP 25 mg/kg bb 5 3.4080

CMC Na 1%b/v 5 3.8260

Sig. 1.000 .368 .088 1.000

-

Berat feses lembek

Kelompok N

Subset for alpha = 0.05

1 2 3

EESP 100 mg/kg bb 5 1.1760

Loperamid HCl 1 mg/kg bb 5 1.1940

EESP 75 mg/kg bb 5 1.2000

EESP 50 mg/kg bb 5 1.3640

EESP 25 mg/kg bb 5 1.4680 1.4680

CMC Na 1%b/v 5 1.6020


(5)

80

Lampiran 23. (Lanjutan)

-

Berat feses normal

Kelompok N

Subset for alpha = 0.05

1 2 3

EESP 100 mg/kg bb 5 .1480

Loperamid HCl 1 mg/kg bb 5 .1600

EESP 75 mg/kg bb 5 .1680

EESP 50 mg/kg bb 5 .2200

EESP 25 mg/kg bb 5 .2280

CMC Na 1%b/v 5 .2960

Sig. .446 .745 1.000

c.

Waktu defekasi

-

Waktu defekasi berlendir

Kelompok N

Subset for alpha = 0.05

1 2 3 4

CMC Na 1%b/v 5 56.8000

EESP 25 mg/kg bb 5 82.4000

EESP 50 mg/kg bb 5 91.8000

Loperamid HCl 1 mg/kg bb 5 1.0780E2

EESP 75 mg/kg bb 5 1.1400E2

EESP 100 mg/kg bb 5 1.2720E2

Sig. 1.000 .057 .199 1.000

-

Waktu defekasi lembek

Kelompok N

Subset for alpha = 0.05

1 2 3 4

Loperamid HCl 1 mg/kg bb 5 1.2680E2

EESP 75 mg/kg bb 5 1.2860E2

EESP 100 mg/kg bb 5 1.5860E2

EESP 50 mg/kg bb 5 1.9780E2

EESP 25 mg/kg bb 5 2.1340E2

CMC Na 1%b/v 5 2.1760E2


(6)

81

Lampiran 23. (Lanjutan)

-

Waktu defekasi normal

Kelompok N

Subset for alpha = 0.05

1 2 3 4

EESP 100 mg/kg bb 5 2.0280E2

EESP 75 mg/kg bb 5 2.2940E2

Loperamid HCl 1 mg/kg bb 5 2.3220E2

EESP 50 mg/kg bb 5 2.6780E2

EESP 25 mg/kg bb 5 2.7340E2

CMC Na 1%b/v 5 3.3940E2

Sig. 1.000 .723 .481 1.000

3.

Frekuensi diare

Kelompok N

Subset for alpha = 0.05

1 2 3

EESP 100 mg/kg bb 5 2.4000

Loperamid HCl 1 mg/kg bb 5 3.0000

EESP 75 mg/kg bb 5 3.2000

EESP 50 mg/kg bb 5 4.4000

EESP 25 mg/kg bb 5 5.0000

CMC Na 1%b/v 5 7.0000

Sig. .064 .139 1.000

4.

Lama terjadinya diare

Kelompok N

Subset for alpha = 0.05

1 2 3 4 5

EESP 100 mg/kg bb 5 75.6000

Loperamid HCl 1 mg/kg bb 5 1.2440E2

EESP 75 mg/kg bb 5 1.2540E2

EESP 50 mg/kg bb 5 1.7600E2

EESP 25 mg/kg bb 5 1.9100E2

CMC Na 1%b/v 5 2.8260E2