Konsep Untuk kepentingan analisis, ada dua konsep perlu

❏ Mulyadi Kalimat Koordinasi Bahasa Indonesia Sebuah Ancangan Tipologi Sintaktis Halaman 90 KALIMAT KOORDINASI BAHASA INDONESIA Sebuah Ancangan Tipologi Sintaktis Mulyadi Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara Abstract This article discusses behaviour of syntactic argument in the sentence structure of coordination in bahasa Indonesia. By using syntactic typological approach, the research purpose is to describe the sentence types in bahasa Indonesia. The results of the research show that bahasa Indonesia has syntactic ergativity properties because they allow the deletion of coreferencial argument if their functions are as patient and subject. But bahasa Indonesia also has the syntactic accusative properties because argument of deleted intransitive clauses coreference with agent. Key words: coordination sentences, syntactic typologies, syntactic argument, coreferencial relations

1. PENGANTAR Konstruksi sintaktis sebuah bahasa pada dasarnya

dibentuk oleh tiga primitif gramatikal-semantis Song, 2001:40-41 atau tiga relasi inti dasar Dixon, 1989. Ketiga primitif itu terdiri atas subjek S klausa intransitif, agen A atau subjek logis klausa transitif, dan pasien P atau objek logis klausa transitif. Dalam kajian tipologi bahasa, menurut Song 2001:40-41, ketiga primitif itu berguna dalam pembahasan pemarkah kasus, terutama untuk penentuan profil sebuah bahasa, 1 misalnya apakah sebuah bahasa tergolong bertipe akusatif atau bertipe ergatif. Di kalangan ahli bahasa antara lain, misalnya, Fokker, 1980; Keraf, 1984, 1989; Parera, 1991; Alwi, dkk, 2000, terdapat kesamaan pandangan dalam penggolongan tipe bahasa Indonesia, yaitu sebagai bahasa akusatif. Beberapa ahli lain, seperti Verhaar 1989 dan Artawa 1997, justru memiliki pendapat yang berbeda. Verhaar, misalnya, mengatakan bahwa bahasa Indonesia secara tipologis ‘terpisah’ atas dua tipe, yaitu tipe akusatif untuk bahasa Indonesia ragam resmi dan tipe ergatif untuk bahasa Indonesia ragam tak resmi. Artawa, dalam telaah komparatifnya atas bahasa Sasak, Bali, dan Indonesia, juga mengklaim bahwa bahasa Indonesia memiliki properti ergatif secara sintaktis. Dalam artikel ini akan dianalisis perilaku argumen S, A, dan P pada kalimat koordinasi bahasa Indonesia. Tujuan pokok penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan tipe bahasa Indonesia pada tataran klausa. Pemilihan kalimat koordinasi didasarkan atas pertimbangan bahwa tipe kalimat ini sangat cocok dengan tipologi verba-objek VO sebagai tipe bahasa Indonesia lihat Purwo, 1989:351; Verhaar, 1996:288. Korpus penelitian ini sebagian besar menggunakan data tulis. 2 Perilaku S, A, dan P pada kalimat koordinasi dikumpulkan dari berbagai sumber seperti novel, cerita pendek, surat kabar. Metode reflektif-instrospektif juga diterapkan untuk membangkitkan data intuitif. Semua data selanjutnya dikelompokkan sesuai dengan kesamaan perilaku argumennya. Untuk menguji perilaku argumen sintaktis itu diterapkan teknik pengujian kepivotan, 3 yang dianggap sangat tepat untuk dipraktikkan pada bahasa-bahasa yang memiliki pemarkahan sintaktis pada argumennya, seperti halnya bahasa Indonesia.

2. KONSEP DAN LANDASAN TEORI

2.1 Konsep Untuk kepentingan analisis, ada dua konsep perlu

dibatasi, yakni kalimat koordinasi dan susunan beruntun. Kalimat koordinasi merujuk pada aliansi dua klausa atau lebih dalam hubungan yang setara lihat Verhaar, 1996:282; Alwi, dkk, 2000:386. Aliansi itu dapat terjadi melalui penggunaan konjungsi, seperti pada 1 atau penggunaan tanda koma, seperti pada 2. Dalam bahasa Indonesia dua klausa itu biasanya dihubungkan oleh konjungsi yang bermakna aditif mis., dan, lalu, kemudian, kontrastif mis., [te]tapi, sedang[kan], namun, dan alternatif mis., atau. Jika aliansinya ❏ Mulyadi Kalimat Koordinasi Bahasa Indonesia Sebuah Ancangan Tipologi Sintaktis Halaman 91 menggunakan tanda koma, hubungan antarklausa ditafsirkan secara semantis. 1 Ia bisa datang dan pergi kapan saja dengan bebas. [Nayla, 2005] 2 Ia telentang di ranjangnya, enggan bergerak. [RSK, 1996:23] Dalam ‘pohon biologis’, dua konstituen kalimat K atau lebih pada kalimat koordinasi disebut sebagai ‘anak’ dan ko-inti dari K yang lebih tinggi Kroeger, 2004:40. Klausa ‘anak’ itu masing-masing mempunyai struktur internal yang mandiri pada sebuah kalimat kompleks. Dalam kalimat koordinasi yang terdiri atas aliansi dua klausa, FN subjek dapat dilesapkan dari klausa kedua apabila berkoreferensi dengan subjek dari klausa pertama. Misalnya, kedua klausa pada kalimat koordinasi pada 1 dan 2 di atas mempunyai subjek yang sama sehingga subjek dari klausa kedua dapat dilesapkan, yang ditandai dengan [ ]. Struktur kalimat koordinasi pada 1 dan 2 digambarkan pada 3. 3 K K Konj K ia bisa datang dan [ ] pergi kapan saja dengan bebas ia telentang di ranjangnya [ ] enggan bergerak Susunan beruntun mengacu pada penggolongan bahasa-bahasa yang didasarkan pada tiga konstituen utama, yaitu S, V, dan O. Dalam hal ini, S mengacu pada entitas yang mengawali tindakan, O merujuk pada entitas yang menjadi sasaran tindakan, dan V adalah tindakan itu sendiri. Menurut Song 2001:49, ada enam permutasi yang logis—yang disebut susunan beruntun dasar, yang direalisasikan pada bahasa- bahasa di dunia, yakni SOV, SVO, VSO, VOS, OVS, dan OSV. Song 2001:138 menambahkan bahwa fungsi utama dari susunan beruntun dasar pada tingkat klausa ialah untuk menunjukkan ‘siapa melakukan sesuatu X pada siapa’. Bahasa Indonesia dalam beberapa literatur digolongkan bersusunan SVO periksa Sudaryanto, 1983; Purwo, 1989:351. Pola susunan ini dengan mudah dapat diterangkan dengan membandingkan contoh 4 dan 5 di bawah. Peran semantis FN perampok itu dan polisi pada 4 berbeda dengan peran semantis FN yang sama pada 5 kendatipun kedua kalimat ini memuat kata dan konstituen yang sama. Dengan peran yang dimaksud, hubungannya berlaku antara FN dan verba, dan juga antara FN itu sendiri. Lebih jelasnya, pada 4 perampok itu adalah agen dan polisi adalah pasien, sementara pada 5, polisi adalah agen dan perampok itu adalah pasien. 4 Perampok itu menembak polisi. 5 Polisi menembak perampok itu. Perbedaan dalam peran FN dalam kalimat 4 dan 5 ditandai secara langsung oleh perbedaan dalam penempatan FN. FN praverbal ditafsirkan sebagai ‘orang yang membawa tindakan penembakan’, sedangkan FN posverbal dipahami sebagai ‘orang yang menjadi korban tindakan penembakan’. Peran FN ditafsirkan begitu karena bahasa Indonesia memiliki mekanisme gramatika yang melibatkan bentuk- bentuk morfologis untuk mengekspresikan peran semantis atau relasi gramatikal FN pada sebuah klausa. Bentuk-bentuk morfologis itu biasanya direalisasikan dalam bentuk afiks dan sebagai pemarkah pada verba yang merupakan unsur sentral pada sebuah klausa.

2.2 Landasan Teori Penelitian ini menggunakan ancangan tipologi