Kematian sel-sel dalam hipoccampus merupakan efek langsung pada otak akibat level kortisol yang tinggi, sedangkan pada jangka panjang dapat
mengakibatkan seseorang menjadi mudah terkena efek stres. Individu memiliki cara yang berbeda-beda dalam menunjukkan beban alostatik McEwen
Seeman, 1998 dalam Nevid et al., 2005:285.
2.4.2 Teori Psikologis Teori psikologis yang mengkaitkan stres dengan penyakit antara lain
sebagai berikut: a. Teori Psikoanalisis
Konflik-konflik tertentu dan kondisi emosional negatif merupakan pemicu terjadinya gangguan psikofisiologis. Menurut Alexander 1950 dalam Nevid
et al. 2005:288 kondisi emosinal yan tidak disadari dan spesifik terhadap
suatu gangguan mengakibatkan gangguan psikofisiologis. b. Faktor-Faktor Kognitif dan Behavioral
Menurt Nevid et al. 2005:288 emosi-emosi negatif seperti kekecewaan, penyesalan, dan kekhawatiran mengakibtakan sistem biologis tubuh menjadi
tegang dan tubuh selalu dalam kondisi darurat. Level kognisi pada seseorang yang muncul melalui proses evolusi berpotensi menciptakan pikiran negatif
dan menimbulkan perubahan fisik yang tidak diinginkan menjadi lebih lama.
2.5 Hubungan Stres dengan Demensia
Menurut Mann et al. 1989 dalam Johansson et al. 2010:6 perubahan pada otak yang diakibatkan penyakit Alzheimer telah muncul 20 hingga 30 tahun
sebelum nampak manifestasi klinis dari penyakit tersebut. Perubahan tersebut memungkinkan seseorang untuk rentan mengalami stres, sehingga meningkatnya
respon stres dimungkinkan menjadi prediktor atau penanda awal demensia Johansson et al., 2010:6. Peningkatan toleransi terhadap stres mencerminkan
gejala awal dari demensia.
Pada tingkat stres ringan, sistem neurochemical tertentu kemungkinan mempengaruhi proses belajar, seiring dengan meningkatnya tingkat stres, baik
dalam durasi dan atau intensitas, beberapa perubahan sementara dan permanen dapat diamati dalam hippocampus, termasuk modifikasi pada synaptic plasticity,
perubahan morfologi, penekanan pembentukan sel-sel saraf dewasa baru, dan membahayakan sistem saraf Kim dan Diamond, 2002:455.
Menurut Domes et al. 2004:178, Wolf dan Kudeikal 2008:131, serta Donatella 2014:51 stres yang berlangsung dalam jangka waktu yang singkat
menganggu memori jangka pendek terutama yang berkaitan dengan memori verbal, sedangkan ketika stres terjadi dalam jangka waktu yang lama dan terjadi
berulang-ulang mengakibatkan paparan hormon kortisol menjadi lebih sering sehingga menyebabkan penyusutan hipoccampus dan memicu terjadinya
penurunan fungsi kognitif lebih lanjut yang mengarah pada demensia.Penelitian epidemiologi yang melihat peran stres pada penyakit neurodegeneratif juga masih
relatif sedikit. Menurut Wilson et al. 1996 dalam Stein et al. 2008:119 orang dewasa
yang lebih rentan terhadap distres 2,7 kali lebih cenderung untuk mengembangkan penyakit Alzheimer dibandingkan dengan yang tidak rentan terhadap distres.
Penelitian kohort prospektif menemukan bahwa kecenderungan untuk mengalami distres psikologis berhubungan dengan peningkatan risiko hingga sepuluh kali
lipat untuk terkena episodic memory decline Wilson et al. dalam Stein et al., 2008:119. Hasil penelitian tersebut mendukung penelitian sebelumnya yang
menyatakan bahwa suatu kondisi yang menyebabkan stres dapat menurunkan kinerja memori secara signifikan Lupien et al., 1997:2073.
2.6 Kerangka teori