Tingkah Laku Harian dan Pola Makan pada Domba Garut dengan Pemberian Pellet yang Mengandung Limbah Tauge dan Legum Indigofera sp.

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Domba merupakan ternak ruminansia yang memiliki potensi besar untuk
dikembangbiakkan. Menurut Wiradarya (2004), usaha pada ternak domba bagi
masyarakat petani masih cenderung bersifat usaha sampingan atau belum
sepenuhnya berorientasi komersial, sehingga sistem usaha yang dilakukan
tradisional dengan skala pemilikan usaha yang relatif sedikit. Usaha domba
tersebut secara bertahap harus dijadikan usaha pokok sehingga dapat dijadikan
sumber pendapatan utama bagi masyarakat petani atau peternak. Usaha ternak
yang komersil tersebut harus menyertakan Good Farming Practice (GFP), salah
satunya adalah faktor pakan yang berfungsi sebagai sumber nutrisi untuk
pertumbuhan dan reproduksi. Hal ini sesuai dengan pendapat Parakkasi (1999),
yang mengatakan bahwa ada beberapa faktor yang mempengaruhi tinggi
rendahnya produksi antara lain, pemberian pakan, kondisi ternak dan lingkungan
serta sistem pemeliharaan.
Salah satu kendala utama dalam peningkatan produktifitas peternakan di
negara berkembang adalah kuantitas dan kualitas pakan yang berfluktuasi
khususnya selama musim kemarau. Melihat kandungan hijauan yang belum dapat
mencukupi kebutuhan nutrisi domba dan sifat ketersediaannya yang sulit
diperoleh pada musim kemarau, salah satu alternatif baru yaitu dengan
memanfaatkan limbah pasar berupa limbah tauge dan penggunaan legume

Indigofera sp. yang kemudian diolah dalam bentuk pellet.
Limbah adalah produk sisa yang hampir tidak digunakan dari suatu
kegiatan pertanian (Judoamidjojo, 1989). Limbah tauge merupakan sisa dari
produksi pembuatan tauge yang terdiri dari kulit kacang hijau dan pecahan tauge
dan jika tidak dimanfaatkan akan dapat mencemari lingkungan serta tidak
mempunyai nilai ekonomi. Potensi limbah tauge di kota Bogor berkisar antara
951-1426 kg/hari (Rahayu et al., 2010). Menurut Winarno (1981), limbah hasil
pertanian dapat dirubah menjadi komoditi yang baru sehingga mempunyai nilai
ekonomis, seperti bahan pangan, makanan ternak, energi, dan pupuk. Legum
Indigofera sp. memiliki kandungan protein yang tinggi, toleran terhadap musim

1

kering sehingga dapat menjadi sumber pakan pada musim kemarau, genangan air
dan tahan terhadap salinitas (Hassen et al.,2007). Namun demikian, legume
Indigofera sp. memiliki sifat bulky dan mudah rusak sehingga hijauan tersebut
akan diolah dalam bentuk pellet supaya dapat meningkatkan daya simpan.
Pellet yaitu bentuk dari bahan pakan atau ransum yang dibentuk dengan
cara menekan dan memadatkan melalui lubang cetakan secara mekanis (Hartadi et
al.,1990). Pellet mempunyai kelebihan antara lain mengurangi sifat keambaan

pada pakan, meningkatkan nilai nutrisi pakan, dapat mengurangi ternak dalam
memilih pakan dan mengurangi jumlah pakan yang terbuang, energi yang
terbuang lebih rendah selama pengunyahan, dan meningkatkan palatabilitas.
Perubahan pakan dalam manajemen produksi dapat menyebabkan
terjadinya perubahan tingkah laku yang akan berdampak terhadap produktivitas
ternak. Belum banyak penelitian yang dilakukan berkenaan dengan tingkah laku
domba dengan pemberian pakan pellet, sebagai tahap awal perlu diketahui tingkah
laku domba seperti tingkah laku harian yang meliputi aktivitas makan, minum,
defekasi, urinasi, sosial, istirahat, merawat diri, menjilat dan menggigit benda lain,
agonistik, dan vokalisasi serta tingkah laku pola makan yang meliputi aktivitas
memeriksa pakan, mengamati pakan, mengambil pakan, mengunyah pakan,
ruminasi, dan remastikasi. Penelitian ini diharapkan dengan pemberian pellet
limbah tauge dan legum Indigofera sp., produksi meningkat dan kesejahteraan
hewan tidak terganggu. Menurut Moss (1992), parameter kesejahteraan hewan
harus memenuhi tiga hal, yaitu tingkah laku yang diperlihatkan oleh ternak
normal, ternak dapat berproduksi secara normal serta ternak tersebut sehat dan
bebas dari luka.
Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari tentang tingkah laku harian dan
pola makan pada domba garut jantan dengan pemberian pakan limbah tauge dan

legum Indigofera sp. dalam bentuk pellet.

2

TINJAUAN PUSTAKA
Domba Lokal
Domba termasuk ordo Actiodactyla, sub ordo Ruminantia, famili Bovidae,
genus Ovis, dan species Ovis aries (Mason, 1984). Domba hidup secara
berkelompok-kelompok. Tiap kelompok mempunyai pemimpin, biasanya yang
menjadi pemimpin adalah yang tertua dari anggota kelompoknya (Hafez, 1984).
Domba mempunyai celah pada bagian atas bibir yang memungkinkan dapat
merumput rapat dengan tanah (Klem, 1984).
Domba lokal merupakan domba asli Indonesia yang memiliki daya
adaptasi yang tinggi terhadap pakan yang buruk dan iklim tropis serta beranak
sepanjang tahun. Domba lokal memiliki bentuk tubuh kecil, warna bulu yang
seragam, ekor kecil, dan tidak terlalu panjang.
Domba Garut
Domba garut terdapat di Jawa Barat terutama di daerah Garut,
Majalengka, Kuningan, Cianjur, Sukabumi, Tasikmalaya, Bandung, Sumedang,
Indramayu, dan Purwakarta. Domba garut merupakan hasil persilangan antara

beberapa bangsa domba yang berbeda. Persilangan merupakan salah satu cara
untuk perbaikan mutu genetik ternak, yaitu dengan mengawinkan ternak dari
bangsa yang berbeda. Kawin silang antar bangsa yang berbeda adalah sistem
persilangan yang banyak dilakukan di negara-negara sedang berkembang,
dilakukan dengan tujuan untuk mengambil keuntungan dari gejala heterosis dan
kualitas-kualitas baik dari dua bangsa atau lebih yang mempunyai tipe yang jelas
berbeda yang terdapat di dalam kombinasi yang saling melengkapi.
Domba garut telah berkembang sejak tahun 1864 dari persilangan domba
merino dan domba cape (diperkirakan dari Afrika Selatan) dengan domba lokal
yaitu domba ekor pendek (Devendra dan Mc ILroy, 1992). Hasil dari persilangan
diharapkan performa generasi pertama akan melebihi rataan performa tetuanya,
sehingga untuk mengevaluasi hasil persilangan secara sederhana dapat dilakukan
dengan membandingkan performa ternak hasil persilangan dengan salah satu
tetuanya.

3

Umur pubertas domba garut dicapai lebih awal, tidak memiliki sifat kawin
musiman sehingga sangat menguntungkan untuk kondisi tropis dan dapat beranak
sepanjang tahun. Domba jantan memiliki berat sekitar 60–80 kg sedangkan domba

betina memiliki berat antara 30–50 kg. Ciri fisik pada domba garut jantan yaitu
bertanduk, berleher besar dan kuat, dengan corak warna putih, hitam, cokelat atau
campuran ketiganya. Ciri domba betina adalah dominan tidak bertanduk, kalaupun
bertanduk namun kecil dengan corak warna yang serupa domba jantan. Domba
garut adalah jenis domba tropis bersifat prolifik yaitu dapat beranak lebih dari dua
ekor dalam satu siklus kelahiran dan dalam periode satu tahun domba garut dapat
mengalami dua siklus kelahiran.
Tingkah Laku
Ethologi merupakan ilmu yang mempelajari tingkah laku hewan, yang
berasal dari kata ethos yang berarti karakter dan logos yang berarti ilmu.
Mengamati dan mempelajari tingkah laku hewan berarti menentukan karakteristik
dan respon hewan terhadap lingkungan. Menurut Gonyou (1991), selama ada
interaksi ternak akan menimbulkan respon berupa tingkah laku terhadap
lingkungan yang dihadapinya. Tingkah laku hewan dipengaruhi oleh dua faktor,
antara lain faktor dalam dan faktor luar individu yang bersangkutan, faktor dalam
antara lain hormon dan sistem syaraf sedangkan faktor luar antara lain cahaya,
suhu dan kelembaban (Grier, 1984).
Tingkah laku hewan dapat diketahui berdasarkan komunikasi, keagresifan
dan struktur sosial, irama biologis dan tidur, tingkah laku sexual, tingkah laku
maternal (keibuan), dan tingkah laku makan dan minum (Houpt, 2005).

Terjadinya tingkah laku makan, disebabkan karena adanya makanan yang
merupakan rangsangan dari luar dan adanya rasa lapar yang merupakan
rangsangan dari dalam. Menurut Hafez et al., (1969), tingkah laku domba secara
keseluruhan dapat dilihat pada Tabel 1.

4

Tabel 1. Tingkah Laku Domba
Tingkah Laku

Gambaran Karakteristik

Ingestif

Merumput, makan tunas-tunas, mengunyah, menjilat
garam, menyusui, dan mendorong dengan hidung.
Bergerak ke bawah pohon, ke dalam kandang, berkumpul
bersama untuk menjauhkan lalat, saling berdesakan pada
keadaan iklim yang sangat dingin, dan membuat lubang di
tanah serta berbaring.

Mengangkat kepala, mengarahkan mata dan telinga serta
hidung ke arah gangguan atau mencium domba lainnya.

Shelter-seeking

Investigatory
(memeriksa
lingkungan)
Allelomimetik
(berkelompok)
Agonistik
Eliminatif
(pengeluaran)

Care-giving

Berjalan, berlari, merumput, tidur sama, dan menumbuk
rintangan dengan kaki tegak secara bersamaan.
Mengkais, menanduk, mendorong dengan bahu, lari
bersama, dan menerjang (menendang dan berkelahi, melarikan diri dan menanduk).

Posisi untuk urinasi, membungkukkan punggung dan
membengkokkan kaki (anak domba jantan).
Menjilati serta menggigit membran plasenta pada anak,
membungkukkan punggung untuk memberi kesempatan
anak menyusu, mencium anak domba mulai dari ekor, dan
mengembik/berteriak pada ternak dewasa bilamana dipisahkan dari kelompoknya.

Keterangan: Hafez, et al., (1969).

Tingkah Laku Mencari Makan dan Minum
Pakan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi perubahan tingkah
laku makan pada ternak. Menurut Cambell (2003), aktivitas makan sangat penting
untuk memenuhi kebutuhan hidup, performa produksi dan reproduksi. Pakan yang
memiliki tingkat palatabilitas yang tinggi maka konsumsi pakan akan tinggi
begitu juga sebaliknya terhadap pakan yang memiliki palatabilitas rendah maka
akan terjadi penurunan konsumsi pakan.
Menurut Hafez (1984), domba pada sistem pengembalaan kontinu mempunyai sifat sangat selektif memilih hijauan, umumnya memilih hijauan yang
pendek-pendek yang disukainya. Intensitas dan metode pengembalaan yang
berbeda akan memberikan pengaruh terhadap produksi susu dan pertambahan
bobot badan. Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkah laku merumput pada


5

domba antara lain: 1) umur, keadaan fisiologis dan kebutuhan zat makan, 2) faktor
tanaman yaitu jenis hijauan, palatabilitas dan tingkat ketinggian tanaman dan 3)
faktor lingkungan yaitu hujan, temperatur dan kelembaban.
Menurut Leibholz (1985), pada temperatur yang tinggi maka waktu
merumput akan lama, waktu ruminasi singkat dan waktu istirahat akan lama.
Umumnya domba mempunyai dua periode merumput yang berhubungan dengan
waktu matahari terbit dan matahari tenggelam. Periode merumput domba adalah
4-7 kali tiap 24 jam dengan total waktu merumput 9-11 jam (Dudzinski dan
Arnold, 1979).
Tingkah laku makan pada pemberian pellet biasanya dimulai dari
mencium, mengamati, memeriksa, mengambil, mengunyah, dan menelan pakan,
sedangkan pada hijauan dengan cara memilih, merenggut dengan cara menarik
dan mendorong mulut ke depan-atas atau belakang-bawah sambil mendengus,
mengunyah, dan menelan. Aktivitas makan pada domba secara umum dilakukan
dengan cara mengambil pakan langsung dengan menggunakan bibir atas dan bibir
bawah kemudian dikunyah sebelum ditelan. Jika pakan dalam wadah tinggal
sedikit, domba mengambil pakan menggunakan lidahnya, hal ini diperkirakan

untuk mempermudah dalam pengambilan pakan.
Aktivitas minum merupakan total konsumsi air, termasuk air yang
terkandung di dalam pakan hewan. Air digunakan untuk kebutuhan hidup domba,
diantaranya untuk pencernaan, thermoregulator dan sebagai pelarut zat-zat
makanan maupun senyawa-senyawa kimia yang terdapat dalam tubuh. Aktivitas
minum pada domba dilakukan dengan cara mendekatkan mulutnya ke tempat air
minum yang telah disediakan kemudian lidahnya dijulurkan ke dalam air secara
berulang-berulang, ujung lidah digerakkan sehingga air dapat masuk ke dalam
mulutnya.
Tingkah Laku Ruminasi
Ruminasi merupakan tingkah laku yang dominan pada ternak ruminansia.
Tingkah laku ruminasi merupakan pengeluaran makanan dari rumen yang dimuntahkan ke mulut yang ditandai dengan adanya bolus yang bergerak ke arah atas
kerongkongan dari rumen. Hal ini sejalan dengan pendapat Dudzinski dan Arnold,

6

(1979), yang mengatakan bahwa ruminasi merupakan proses memakan kembali
bolus setelah makanan masuk dalam rumen. Jika ternak dengan pemberian pakan
pellet, kemungkinan ukuran bolus yang bergerak ke atas kerongkongan tidak sama
dengan ternak yang diberikan pakan berupa hijauan. Domba membutuhkan

sepertiga waktu dalam sehari untuk ruminasi. Menurut Afzalani et al.,(2006),
pada ternak domba bahwa jumlah periode ruminasi 9–18 kali dan jumlah siklus
ruminasi dalam satu periode ruminasi sebanyak 12–35 kali.
Tingkah Laku Agonistik
Tingkah laku agonistik merupakan interaksi sosial antara satwa yang
dikategorikan dalam beberapa tingkat konflik, yaitu dalam memperoleh makanan,
pasangan seksual dan perebutan wilayah istirahat dengan melakukan tindakan
yang bersifat ancaman menyerang dan perilaku patuh (Hart,1985). Pada umumnya
sebelum berkelahi domba akan mengendus-ngendus dan akan terus berkelahi
sampai salah satu dari mereka menyerah dan berhenti. Menurut Tomaszewaska et
al.,(1991), agonistik berasal dari kata latin yang berarti berjuang. Agonistik
merupakan suatu kegiatan mengkais, menanduk dan mendorong dengan bahu
(Hafez et al., 1969).
Perilaku agonistik merupakan hal yang sangat penting dalam mempertahankan hubungan dominan dan subordinat antara tingkatan sosial spesies.
Jika sistem pengembalaan di padang rumput dengan sumber makanan dan air
yang banyak tersedia, keadaan perilaku dominan tidak jelas terlihat, tetapi ini akan
terlihat nyata dalam keadaan berdesakan (Tomaszewaska et al., 1991). Menurut
Campbell (2003), diantara variasi spesies domestik mamalia, jantan lebih banyak
menyukai pertarungan daripada betina, tetapi betina melakukan hal yang sama
pada kondisi melindungi anaknya. Tingkah laku agonistik pada domba jantan
diperlihatkan pada saat berkelahi dengan mundur terlebih dahulu kemudian
menyerang dengan cara menumbukkan kepala atau tanduknya pada kepala lawan
(Ensminger, 2002).
Tingkah Laku Membuang Kotoran (Defekasi dan Urinasi)
Kotoran domba memiliki bentuk yang khas yaitu berbentuk bulat hitam
sedangkan urin berbentuk cair berwarna kuning. Domba jantan pada saat
7

membuang kotoran cukup berdiri tegak serta menggoyangkan ekornya. Domba
pada saat defekasi atau urinasi bisa disembarang tempat dan bukan pada tempat
yang sama seperti khusus di sudut kandang. Tingkah laku membuang kotoran
pada umumnya terjadi beberapa jam setelah makan maupun sedang makan.
Menurut Hart (1985), tingkah laku membuang kotoran dipengaruhi oleh pakan
yang dimakan serta karakter fisiologis dari tiap hewan tersebut.
Aktivitas defekasi pada domba dilakukan dengan cara mengangkat ekor
baik dengan melengkung atau berdiri lurus kemudian menggoyang-goyangkannya
atau menggerak-gerakkannya sampai keluarnya kotoran setelah itu ekor digerakgerakkan kembali. Aktivitas membuang kotoran ini dapat dilakukan secara
bersamaan dengan aktivitas makan, berdiri, bergerak, bermain, merawat diri,
istirahat, dan makan.
Proses urinasi yang umum pada jantan yaitu air mengucur ke bawah dari
bawah perut. Jumlah dan komposisi urin berubah-ubah, hal ini dipengaruhi oleh
bahan makanan, berat badan, usia, jenis kelamin, dan kondisi lingkungan seperti
suhu, kelembaban, aktivitas tubuh, dan kondisi kesehatan. Posisi domba pada saat
urinasi yaitu cukup dengan berdiri dan sedikit merenggangkan kedua kaki
belakang.
Tingkah Laku Istirahat dan Tidur
Aplikasi tingkah laku istirahat pada hewan antara lain tidur, berbaring atau
berdiri yang terkadang diselingi dengan merawat tubuh dan duduk. Menurut
Fraser (1975), istirahat pada hewan adalah waktu yang digunakan oleh seekor
hewan dengan tidak melakukan satu kegiatan apapun. Frekuensi istirahat yang
tinggi terjadi pada hewan yang dipelihara secara intensif dengan pakan yang
dikontrol oleh manusia.
Aktivitas istirahat penting dilakukan untuk memamah biak, mencerna
makanan, memproduksi energi, dan memberikan kesempatan pada otot untuk
mengendur-ngendurkan otot yang tegang akibat aktivitas yang telah dilakukan.
Menurut Fraser (1990), tingkah laku istirahat dan tidur berfungsi untuk
menghindari bahaya predator agar posisinya tidak mudah terlihat dan tidak mudah
ditemukan oleh pemangsa, serta untuk menghemat energi yang digunakan oleh
tubuh. Aktivitas istirahat pada domba dilakukan dengan cara mengawali dengan
8

menekuk pergelangan kedua kaki depan ke arah belakang diikuti menundukkan
kepala kemudian dilanjutkan dengan menekuk pergelangan kedua kaki belakang
dan diikuti dengan merebahkan tubuh.
Tingkah Laku Bersuara atau Vokalisasi
Tingkah laku bersuara sering terjadi pada domba sebagai salah satu bentuk
dari keinginan makan, minum atau berkomunikasi dengan domba lainnya.Tingkah
laku bersuara dapat dilakukan pada saat hewan berdiri atau sedang istirahat.
Menurut Fraser (1975), tingkah laku bersuara merupakan tingkah laku sosial yang
penting dan merupakan alat komunikasi antara anggota dalam satu flock. Domba
bersuara „mbekk..mbekk..mbekk‟ dengan nada yang berbeda. Aktivitas bersuara
sering dilakukan saat domba melakukan aktivitas berdiri dan berbaring.
Tingkah Laku Merawat Diri
Perilaku merawat diri dilakukan dengan cara seperti mencari kutu atau
parasit, menggosok-gosokkan tubuh dan kepala kebenda keras dan menjilati bulubulu dengan menggunakan lidah. Aktivitas merawat diri pada domba banyak
dilakukan pada bagian badan dan kaki. Menurut Mitchell (1987), merawat diri
merupakan salah satu tingkah laku pada hewan untuk merawat dirinya dari
ektoparasit yang melekat pada rambut di permukaan tubuhnya. Perilaku merawat
diri sering dilakukan pada saat hewan istirahat atau pada posisi berdiri.
Pellet
Pellet adalah bentuk dari bahan pakan yang dipadatkan dan berasal dari
bahan konsentrat atau hijauan. Menurut McElhiney (1994), pellet merupakan hasil
proses pengolahan bahan baku secara mekanik yang didukung oleh faktor kadar
air, panas dan tekanan, karakteristik, dan ukuran partikel bahan. Pellet dapat
meningkatkan kandungan nilai nutrisi pakan karena bentuk pellet yang kompak
memungkinkan ternak untuk tidak memilih bahan pakan serta dapat meningkatkan
level asupan pakan dan mengurangi jumlah pakan yang terbuang. Menurut Pathak
(1997), tujuan dari pembuatan pellet adalah untuk mengurangi sifat berdebu
pakan, meningkatkan palatabilitas pakan, mengurangi pakan yang terbuang,

9

mengurangi sifat voluminous pakan, dan untuk mempermudah penanganan pada
saat penyimpanan dan transportasi.
Pellet terdiri dari dua jenis yaitu pellet keras dan pellet lunak. Pellet keras
merupakan pellet yang dalam proses pembuatannya tidak menggunakan bahan
berupa molases atau menggunakan molases sebagai perekat kurang dari 10%.
Pellet lunak yaitu pellet yang dalam proses pembuatannya menggunakan molases
sebagai perekat sebanyak 30-40%. Pellet untuk anak domba memiliki garis tengah
5 mm dengan panjang pelet 8 mm, sedangkan pellet untuk domba yang sedang
tumbuh memiliki garis tengah 8 mm dengan panjang pellet 11 mm.
Limbah tauge berasal dari sisa produksi tauge kulit kacang hijau dan
pecah-pecahan tauge yang dibawa dalam cucian akhir pembuatan tauge segar atau
pada saat penganyakan yang tidak lagi mempunyai nilai ekonomi dan dapat
mencemari lingkungan karena dibuang begitu saja oleh pedagang atau penghasil
tauge. Menurut Judoamidjojo et al., (1989), limbah tauge dengan pendaurulangan
limbah pertanian menjadi komoditas baru dapat memberikan keuntungan lain
seperti penyerapan tenaga kerja dan dihasilkan produk baru yang berguna
sehingga dapat meningkatkan keuntungan petani dan produsen. Limbah tauge
dapat dilihat pada Gambar 1.a. limbah tauge segar dan 1.b. limbah tauge kering
udara.
Menurut Hassen et al., (2006), tanaman Indigofera sp. dapat beradaptasi
tinggi pada kisaran lingkungan yang luas, dan memiliki berbagai macam
morfologi dan sifat agronomi yang sangat penting terhadap penggunaannya
sebagai hijauan. Sekitar 50% jenis Indigofera sp. yang ada beracun dan hanya
30% yang palatabel (Strickland et al.,1987), akan tetapi jenis yang palatabel
memiliki potensi yang besar sebagai hijauan pakan, sedangkan jenis yang tidak
palatabel (beracun) sangat cocok sebagai cover crop terutama pada daerah kering,
semi kering dan gurun (Hassen et al., 2006).

10

(a)

(b)

Gambar 1. (a) Limbah Tauge Segar, (b) Limbah tauge Kering Udara
Jenis Indigofera spicata memiliki zat anti nutrisi berupa hepatotoxic
amino acid yaitu indospicine, yang mengganggu sistem metabolisme. Indospicine
merupakan asam amino yang umumnya terakumulasi di daun. Dampak yang
ditimbulkan pada ternak akibat keracunan indospicine dapat menurunkan fungsi
hati pada sapi dan domba terutama pada kuda dapat mengakibatkan keguguran.
Zat anti nutrisi yang terkandung dalam Indigofera sp. segar, jika diolah menjadi
pellet kemungkinan zat anti nutrisi tersebut akan hilang karena suhu dalam proses
pembuatan pellet tersebut tinggi sekitar 800C. Legum Indigofera sp. dapat dilihat
pada Gambar 2.a. Indigofera sp. segar dan Gambar 2.b. Indigofera sp. kering
udara.

(a)
(b)
Gambar 2. (a) Indigofera sp. Segar, (b) Indigofera sp. Kering Udara
Limbah tauge dan legum Indigofera sp. segar tersebut kemudian
dikeringkan dengan sinar matahari hingga kadar air mencapai 15% agar dapat

11

disimpan lebih lama, kemudian digiling halus dan dicampur dengan bahan
konsentrat dengan menggunakan mixer sampai homogen, kemudian dibentuk
pellet. Pellet yang dihasilkan oleh kedua bahan tersebut memiliki perbedaan dari
segi fisik yang meliputi aroma, warna dan tekstur. Aroma pellet yang ditimbulkan
oleh limbah tauge lebih harum bila dibandingkan dengan pellet Indigofera sp.
yang cenderung berbau langu. Warna pellet dari bahan limbah tauge lebih gelap
bila dibanding dengan pellet Indigofera sp. Tekstur dari pellet limbah tauge
tersebut lebih padat dan kuat sehingga tidak mudah rapuh, sedangkan pellet
berbahan dasar Indigofera sp. mudah hancur. Pellet limbah tauge dan Indigofera
sp. Dapat dilihat pada Gambar 3.a dan 3.b.

(a)
(b)
Gambar 3. (a) Pellet Limbah
Tauge,
(b) Pellet Indigofera sp.
Konsumsi
Pakan
Ternak ruminansia mempunyai keistimewaan, salah satunya adalah dapat
dengan cepat menampung makanan dalam jumlah yang banyak. Kemampuan
mengkonsumsi pakan dapat dipengaruhi oleh beberapa hal yaitu kapasitas
tampung alat pencernaan, bobot badan, bentuk dan kandungan zat-zat makanan
ransum, kebutuhan ternak akan zat-zat makanan, dan status fisiologis ternak.
Konsumsi merupakan faktor esensial yang mendasar untuk hidup dan
menentukan produksi. Menurut Tillman et al., (1998), konsumsi pada umumnya
diperhitungkan sebagai jumlah makanan yang dimakan oleh ternak, yang
kandungan zat makanan didalamnya digunakan untuk mencukupi kebutuhan
hidup pokok dan untuk keperluan produksi ternak tersebut. Menurut Church and
Pond (1988), konsumsi juga sangat dipengaruhi oleh palatabilitas yang tergantung
pada penampilan dan bentuk makanan, bau, rasa, tekstur, dan suhu lingkungan.

12

Faktor-faktor yang mempengaruhi konsumsi antara lain bobot badan, jenis
kelamin, genetik, umur, lingkungan, dan makanan yang diberikan (Parakkasi,
1999). Pengaruh jenis kelamin terhadap konsumsi kambing betina dan jantan
dengan bobot badan yang sama, mengakibatkan konsumsi energi pada kambing
jantan lebih banyak daripada kambing betina (Arsadi, 2006). Kebutuhan energi
sangat dipengaruhi oleh lingkungan seperti temperatur, kelembaban dan gerak
angin (Haryanto dan Djajanegara, 1993). Menurut Mustofa (2004), di daerah
dingin dibutuhkan makan yang mengandung nilai energi lebih tinggi, apabila
dibandingkan dengan kebutuhan ternak di daerah panas.
Kesejahteraan Hewan
Kesejahteraan ternak merupakan usaha untuk memberikan kondisi lingkungan yang sesuai bagi ternak sehingga berdampak terhadap peningkatan sistem
psikologi dan fisiologi ternak sepertimemberikan perlindungan terhadap hewan dari kekejaman manusia dan pendekatan moral manusia untuk kesejahteraan
hewan. Ketentuan ini mewajibkan semua hewan yang dipelihara atau hidup bebas
di alam memiliki hak-hak/kebebasan berikut :
1.

Bebas dari rasa lapar dan haus. Salah satu kebutuhan dasar mahluk hidup
adalah makan dan minum. Oleh sebab itu, setiap hewan mempunyai hak
untuk terpenuhi dalam hal makanan dan minumnya. Makanan dan minum
hewan harus tepat, proporsional, layak, higienis, memenuhi gizi serta sesuai
dengan musim.

2.

Bebas dari rasa panas dan tidak nyaman. Setiap hewan, walaupun dipelihara,
tetap memiliki hak untuk bebas dari rasa tidak nyaman. Rasa tidak nyaman
ini bisa diakibatkan berbagai macam hal seperti kandang yang terlalu kecil,
kotor, panas atau tidak nyaman.

3.

Bebas dari luka, penyakit dan sakit. Hewan punya hak bebas dari rasa sakit,
penyakit dan luka. Artinya mereka berhak mendapat pengobatan atau
pertolongan bila mengalami luka atau sakit. Vaksinasi adalah salah satu usaha
untuk mencegah dari penyakit yang fatal dan penyakit menular.

13

4.

Bebas dari rasa takut dan penderitaan. Hewan juga punya hak bebas dari rasa
takut dan stres, tidak ada konflik (pertengkaran) antar atau lain spesies, tidak
adanya gangguan dari hewan pemangsa (predator).

5.

Bebas mengekspresikan perilaku normal dan alami. Seperti halnya manusia,
hewan juga memiliki sifat dan kebiasaan alamiah. Sifat dan kebiasaan ini
bisa merupakan ciri dari spesies hewan tersebut atau bersifat individual. Oleh
sebab itu, hewan memiliki hak untuk mendapatkan tempat tinggal yang
memadai, fasilitas kandang yang sesuai dengan tingkah laku satwa dan
adanya teman untuk berinteraksi sosial.
Kesejahteraan hewan berkaitan erat dengan tingkat kesetresan pada ternak.

Stres merupakan suatu respon fisiologis, psikologis dan perilaku dari ternak yang
mencoba untuk mengadaptasi dan mengatur baik tekanan internal dan eksternal.
Stressor adalah kejadian, situasi, ternak atau suatu obyek yang dilihat sebagai
unsur yang menimbulkan stres dan menyebabkan reaksi stres sebagai hasilnya.
Menurut Tomaszewaskaet al., (1991), stres disebabkan oleh kejadian yang
menghasilkan cekaman dan ketegangan atau siksaan sebagai efek akhirnya.
Tingkah laku merupakan cara yang mudah untuk mengukur kesejahteraan hewan
dan dapat menggambarkan keaadaan internal hewan tersebut.
Rasa sakit dan senang merupakan elemen penting yang secara alami dapat
digunakan sebagai kriteria penilaian terhadap kesejahteraan pada hewan (Appleby
dan Hughes, 1997). Menurut Wiryosuhanto (2001), kode kesejahteraan hewan
harus didasarkan atas kebutuhan dasar hewan, yaitu:
1.

Bebas dari kelaparan, kehausan dan mal nutrisi

2.

Mendapatkan tempat dan kandang yang nyaman

3.

Mendapatkan pencegahan atau diagnosa cepat, pengobatan luka serta
penyakit atau parasit

4.

Bebas dari perlakuan yang menyebabkan stres, penderitaan dan kesakitan

5.

Memperoleh kebebasan untuk bergerak sesuai dengan pola perilaku hewan
normal.

14

MATERI DAN METODE
Lokasi dan Waktu
Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Lapang Ilmu Produksi Ternak
Ruminansia Kecil Blok B Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor.
Pembuatan pellet dilakukan di PT Indofeed, Jl. Soleh Iskandar, Bogor. Penelitian
ini dilakukan selama 3 bulan yangdimulai pada bulan Juli sampai September
2011.
Materi
Ternak
Ternak yang digunakan dalam penelitian ini berjumlah 6 ekor anak domba
garut jantan lepas sapih dengan umur 3 bulan. Ternak tersebut diperoleh dari
Peternakan Mitra Tani (MT Farm), Kabupaten Bogor, Jawa Barat.
Bahan dan Peralatan
Kandang yang digunakan dalam penelitian ini adalah kandang individu
dengan ukuran 1.5 x 0.75 m. Kandang domba terbuat dari besi. Atap kandang
terbuat dari asbes yang menutupi semua bagian kandang, sehingga tipe kandang
ini dinamakan tipe kandang tertutup. Perlengkapan yang tersedia di dalam
kandang berupa tempat makan dan minum, perlengkapan untuk membersihkan
kandang serta alat timbang pakan dan ternak. Lantai kandang dibuat lebih tinggi
dari permukaan tanah guna untuk memudahkan dalam membersihkan pakan, feses
dan urin yang jatuh ke lantai. Lantai kandang terbuat dari bilahan bambu dengan
ukuran 150 x 4 cm. Kandang dibersihkan sebanyak dua kali yaitu pagi hari pukul
06.00 WIB dan sore hari pukul 16.00 WIB. Alat-alat yang digunakan berupa sapu
lidi dan sekop.
Peralatan yang dipakai antara lain kamera, pengukuran waktu (stopwatch),
thermohygrometer, mistar ukur, timbangan ternak dan pakan, tempat makan dan
minum, sapu lidi, karung, sekop, alat pencukur bulu, dan kertas label. Alat-alat
yang akan digunakan untuk mengolah data adalah alat tulis, kalkulator dan
komputer. Kandang individu dan timbangan pakan dapat dilihat pada Gambar 4.a
dan 4.b.
15

(a)
(b)
Gambar 4. (a) Kandang, (b) Timbangan Pakan
Pakan dan Minum
Pakan dibuat dalam bentuk pellet dengan rasio: (1) 30% limbah
tauge+70% konsentrat dan (2) 30% legum Indigofera sp.+70% konsentrat. Pakan
dan air minum diberikan secara ad libitum. Hasil uji proksimat pakan penelitian
ternak dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Komposisi Pakan Ternak Penelitian Berdasarkan Uji Proksimat (%)
Pellet

BK

Abu

PK

SK

LK

Beta-N

Ca

P

R1

87,32

8,23

18,13

15,39

3,14

42,43

1,75

0,26

R2

87,65

6,51

16,66

24,51

3,71

36,26

1,39

0,23

Keterangan: Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi
Pakan, Institut Pertanian Bogor, (2011).
R1= PelletIndigofera sp., R2= Pellet limbah tauge.

Prosedur
Persiapan
Bahan, kandang dan peralatan dipersiapkan seminggu sebelum penelitian,
sedangkan adaptasi pakan dilakukan sebelum penelitian selama 14 hari dan diberi
perawatan secara intensif antara lain pemandian domba, pencukuran bulu,
pemberian obat kutu, pemberian obat cacing, dan disinfektan kandang. Domba
jantan sebanyak 6 ekor dipilih berdasarkan keseragaman bobot badan. Domba
tersebut dimasukkan ke dalam kandang individu secara acak. Limbah tauge dan
Indigofera sp. diperoleh dengan cara dijemur terlebih dahulu untuk mengurangi

16

kadar air, setelah kering udara dengan kadar air ± 15% bahan-bahan tersebut
digiling untuk dijadikan pellet.
Pembuatan Pellet
Limbah tauge dan Indigofera sp. segar kemudian dikeringkan dengan sinar
matahari hingga kadar air mencapai ± 15% agar dapat disimpan lebih lama,
kemudian digiling halus dan dicampur dengan bahan konsentrat dengan
menggunakan mixer sampai homogen, kemudian dibentuk pellet.
Pemeliharaan dan Pelaksanaan
Ternak diberi pakan 3 kali dalam sehari, yaitu pada pagi hari pukul 05.00
WIB, siang hari pukul 10.00 WIB dan sore hari pukul 15.00 WIB. Pemberian
pakan diberikan dalam wadah plastik sedangkan air minum dalam wadah berupa
ember. Penimbangan sisa pakan dilakukan keesokan harinya dan penimbangan
ternak dilakukan setiap dua minggu sekali pada hari Minggu pagi antara pukul
07.00-08.00 WIB.
Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan metode one zero sampling. Nilai satu
diberikan bila ternak melakukan aktivitas dan nilai nol diberikan jika ternak tidak
melakukan aktivitas (Martin, 1988). Pengamatan tingkah laku harian dilakukan
pada pagi hari pukul 08.00-08.30 WIB, siang hari pukul 13.00-13.30 WIB dan
sore hari pukul 18.00-18.30 WIB dengan lama waktu pengamatan untuk 6 ekor
domba selama 30 menit. Satu ekor domba dilakukan pengamatan dengan lama
pengamatan 5 menit. Pengamatan tingkah laku pola makan dilakukan pada pagi
hari pukul 05.00-07.00 WIB, siang hari pukul 10.00-12.00 WIB dan sore hari
pukul 15.00-17.00 WIB dengan lama waktu pengamatan untuk 6 ekor domba
selama 120 menit. Satu ekor domba dilakukan pengamatan dengan lama
pengamatan 20 menit dan dalam satu minggu pengamatan tingkah laku harian dan
pola makan dilakukan sebanyak 6 hari. Pengambilan data dilakukan selama 4
minggu.

17

Rancangan dan Analisis Data
Peubah
Pengamatanyang dilakukan terdiri dari dua yaitu tingkah laku harian dan
tingkah laku pola makan.
Tingkah Laku Harian: Tingkah laku harian diamati dengan metode ad libitum
sampling yaitu metode pencatatan semua tingkah laku yang dilihat dan
diperagakan pada waktu pengamatan (Altman, 1973). Jumlah domba dalam
pengamatan sebanyak 6 ekor.Peubah yang diamati berdasarkan perilaku harian
antara lain:
1.

Tingkah laku makan, yaitu ketika domba memasukkan makanan ke mulut
dengan menggunakan bibir atas dan bibir bawah hingga diangkat untuk
dikunyah.

2.

Tingkah laku minum, yaitu ketika domba memasukkan air melalui mulut
kemudian melakukan aktivitas menelan.

3.

Tingkah laku menjilat dan menggigit benda lain, yaitu ketika domba
melakukan aktivitas menjilat dan menggigit pada besi, kayu, bambu, atau
tempat makan dan minum.

4.

Tingkah laku sosial, yaitu ketika domba melakukan aktivitas berinteraksi
antar domba lain.

5.

Tingkah laku istirahat dan tidur, yaitu ketika domba tidak ada aktivitas yang
terjadi, seperti dalam keadaan diam, duduk dan berdiri tanpa bergerak.

6.

Tingkah laku defekasi, yaitu ketika domba mengeluarkan kotoran dalam
bentuk padat.

7.

Tingkah laku urinasi, yaitu ketika domba mengeluarkan kotoran dalam
bentuk cair danbiasanya berwarna kuning.

8.

Aktivitas vokalisasi, yaitu terjadi ketika domba bersuara.

9.

Tingkah laku merawat diri (grooming), yaitu ketika domba menggaruk,
menjilat, menggigit, dan mengusir jika ada binatang seperti lalat yang
menghinggap pada tubuhnya.

10. Tingkah laku agonistik, yaitu ketika domba menanduk dan mengkais lantai.

18

Tingkah Laku Pola Makan: Tingkah laku pola makan diamati dengan metode
ad libitum sampling yaitu metode pencatatan semua tingkah laku yang dilihat dan
diperagakan pada waktu pengamatan (Altman, 1973). Jumlah domba dalam
pengamatan sebanyak 6 ekor. Peubah yang diamati berdasarkan perilaku pola
makan antara lain:
1.

Tingkah laku memeriksa pakan, yaitu ketika domba mencium atau
mengendus-ngendus dengan menggunakan indera penciuman dan mengacakngacak pakan dengan mulutnya.

2.

Tingkah laku mengamati pakan, yaitu ketika domba melakukan aktivitas
melihat pakan sampai melakukan aktivitas lainnya.

3.

Tingkah laku mengambil pakan, yaitu ketika domba memasukkan makan ke
mulut dengan menggunakan bibir atas dan bibir bawah hingga diangkat untuk
dikunyah.

4.

Tingkah laku mengunyah makanan, yaitu dimulai dari mengambil makanan
yang langsung dikunyah sampai melakukan aktivitas menelan.

5.

Tingkah laku ruminasi berdasarkan pergerakan bolus di leher yang dilihat
dari depan tubuh domba.

6.

Tingkah laku remastikasi, yaitu mengunyah bolus yang dikeluarkan dari
rumen ke mulut sampai aktivitas menelan.

Pencatatan Suhu Dan Kelembaban: alat yang digunakan dalam pencatatan suhu
dan kelembaban yaitu thermohygrometer.Pengukuran dilakukan sebanyak tiga
kali, yaitu pagi hari pukul 07.00 WIB, siang hari pukul 13.00 WIB dan sore hari
pukul 16.00 WIB.Data yang diperoleh selama penelitian dianalisis dengan
ANOVA. Thermohygrometerdapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5. Thermohygrometer

19

Analisis Data
Data tingkah laku harian dan pola makan yang diperoleh selama penelitian
berupa data non parametrik sehingga data tersebut akan dianalisis dengan uji Chisquare. Rumus Chi-square yang digunakan menurut Kwanchai, (1983) sebagai
berikut:

Keterangan:
0i = frekuensi pengamatan ke-i
Ei = frekuensi yang diharapkan mengikuti hipotesis yang dirumuskan (frekuensi
harapan ke-i)
P = notasi untuk banyaknya sifat yang diamati, banyaknya perlakuan yang
dicobakan dan sebagainya.

20

HASIL DAN PEMBAHASAN
Suhu dan Kelembaban Lingkungan
Kondisi Lingkungan
Kondisi lingkungan yang berada disekitar kandang terdiri dari tingkat
kebisingan, kehadiran orang asing, suhu, serta kelembaban. Hal ini merupakan
faktor yang sangat perlu diperhatikan dan sangat penting karena dapat mempengaruhi aktivitas tingkah laku yang akan diamati.
Suhu serta kelembaban udara sekitar lingkungan merupakan faktor yang
dapat mempengaruhi tingkah laku domba. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
rataan suhu dan kelembaban di dalam kandang berbeda sangat nyata (P0.05; Tabel 4). Pellet limbah tauge dan pellet Indigofera sp. mesti dari segi
fisik memiliki perbedaan aroma, pellet limbah tauge aromanya lebih harum bila
dibandingkan dengan pellet Indigofera sp. yang lebih cenderung berbau langu.
Namun, tingkat bau dari pakan penelitian pellet Indigofera sp. belum
menyebabkan penurunan palatabilitas pada pakan atau tingkat bau dari pakan
23

tersebut belum melewati batas ekstrim. Menurut Anggorodi (1994), palatabilitas
dapat dipengaruhi oleh bentuk, bau, rasa, dan tekstur.

Gambar 6. Tingkah Laku Makan
Tingkah laku harian yang berhubungan dengan tingkah laku makan selain
aktivitas makan yaitu aktivitas minum. Air merupakan salah satu komponen
penting dalam kehidupan untuk bertahan hidup dengan temperatur lingkungan
yang tinggi. Aktivitas minum merupakan suatu aktivitas memasukkan air ke
dalam tubuh melalui mulut. Aktivitas minum pada domba selama pengamatan
dilakukan dengan cara mendekati mulutnya ke tempat air minum yang telah
disediakan kemudian lidahnya dijulurkan ke dalam air secara berulang-berulang,
ujung lidah digerakkan sehingga air dapat masuk ke dalam mulutnya. Hal ini
sesuai dengan pendapat Frazer (1974), aktivitas minum ternak dimulai pada saat
mulut dimasukkan ke dalam air dan sambil memainkan lidahnya sehingga air
dapat masuk ke dalam mulut.
Berdasarkan hasil pengamatan tingkat konsumsi air minum pada domba
tidak sama setiap harinya sesuai dengan kebutuhan tubuh dan suhu lingkungan.
Menurut Church (1971), bahwa konsumsi air minum dipengaruhi oleh beberapa
faktor antara lain tingkat konsumsi ransum, tingkat produksi hewan, tingkat
pertumbuhan dan bobot badan hewan. Konsumsi air minum akan banyak terjadi
pada domba bila suhu tinggi yang berfungsi untuk menurunkan suhu tubuh.
Menurut Almatsier (2005), konsumsi air minum berkaitan dengan rasa haus dan
rasa kenyang. Tingkah laku minum dapat dilihat pada Gambar 7.

24

Gambar 7. Tingkah Laku Minum
Hasil perhitungan pada domba penelitian bahwa tingkah laku minum
dengan pemberian pellet limbah tauge (1,93±0,22 kali/menit) dan pemberian
pellet Indigofera sp. (1,66±0,14 kali/menit) tidak berbeda nyata (P>0.05; Tabel 4).
Selama pengamatan, domba terlihat jarang melakukan aktivitas minum. Aktivitas
minum dapat dipengaruhi oleh ketersediaan air minum yang ad libitum, sehingga
kapanpun ternak diberi makan tidak berpengaruh terhadap keinginannya untuk
minum serta kandungan air dalam pakan sudah cukup tinggi. Kandungan air yang
tinggi dalam pakan diperkirakan sudah mencukupi kebutuhan air dalam tubuh
domba, sehingga domba tidak banyak melakukan aktivitas minum. Menurut
McDonald et al., (1995), air yang terdapat dalam tubuh hewan berasal dari tiga
sumber yaitu yang berasal dari air minum, air yang terkandung dari bahan pakan
dan air metabolik yang didapat sebagai hasil dari oksidasi makanan.
Tingkah laku harian yang berhubungan dengan tingkah laku makan selain
aktivitas makan dan minum yaitu aktivitas defekasi. Tingkah laku defekasi dapat
diartikan sebagai aktivitas membuang kotoran dalam bentuk padat. Menurut
Frandson (1992), defekasi adalah proses pengeluaran sisa-sisa pakan yang tidak
tercerna dalam saluran pencernaan yang terjadi secara alamiah. Tingkah laku
defekasi dapat dilihat pada Gambar 8.
Berdasarkan hasil pengamatan aktivitas defekasi pada domba dilakukan
dengan cara mengangkat ekor baik dengan melengkung atau berdiri lurus
kemudian menggoyang-goyangkannya atau menggerak-gerakkannya sampai
keluarnya kotoran setelah itu ekor digerak-gerakkan kembali. Aktivitas
membuang kotoran ini dapat dilakukan secara bersamaan dengan aktivitas makan,
berdiri, bergerak, bermain, merawat diri, dan istirahat.
25

Gambar 8. Tingkah Laku Defekasi
Hasil perhitungan pada domba penelitian bahwa tingkah laku defekasi
dengan pemberian pellet limbah tauge (1,12±0,11 kali/menit) dan pemberian
pellet Indigofera sp. (1,04±0,04 kali/menit) tidak berbeda nyata (P>0.05; Tabel 4).
Menurut Hart (1985), tingkah laku membuang kotoran dipengaruhi oleh pakan
yang dimakan serta karakter fisiologis dari tiap hewan tersebut.
Tingkah laku harian yang berhubungan dengan tingkah laku makan selain
aktivitas makan, minum dan defekasi yaitu aktivitas urinasi. Tingkah laku
urinasiyaitu aktivitas membuang kotoran dalam bentuk cair. Menurut Koolman
(2000), jumlah dan komposisi urin sangat berubah-ubah dan tergantung
pemasukan bahan makanan, berat badan, usia, jenis kelamin, dan lingkungan
hidup seperti temperatur, kelembaban, aktivitas tubuh, dan keadaan kesehatan.
Berdasarkan pengamatan posisi domba pada saat urinasi yaitu cukup dengan
berdiri dan sedikit merenggangkan kedua kaki belakang.
Hasil perhitungan pada domba penelitian bahwa tingkah laku urinasi
dengan pemberian pellet limbah tauge (1,00±0,00 kali/menit) tidak berbeda nyata
(P>0.05; Tabel 4) dengan pemberian pellet Indigofera sp. (1,01±0,03 kali/menit).
Aktivitas urinasi dapat dipengaruhi oleh keadaan udara. Udara yang dingin
menyebabkan domba perlu penyesuaian diri terhadap kondisi tersebut melalui
urinasi supaya panas tubuhnya tetap stabil. Aktivitas urinasi dapat juga
dipengaruhi oleh konsumsi pakan dan minum yang dicerna dan tidak
termetabolisme dalam tubuh sehingga dikeluarkan melalui urin. Menurut Fraser
(1974), urinasi sering terjadi pada saat hewan diganggu.

26

Tingkah Laku Harian yang Berhubungan dengan Tingkah Laku Sosial
Domba merupakan hewan sosial yang hidupnya secara berkelompok.
Ternak domba dalam lingkungan hidupnya akan saling berhubungan dan saling
membutuhkan satu sama lainnya, sama halnya dengan manusia. Kebutuhan itulah
yang dapat menimbulkan suatu proses aktivitas sosial. Aktivitas sosial terbentuk
berupa hubungan timbal balik dan respon antar individu atau antar kelompok
ternak.
Ternak yang dipelihara secara pastura dan dikandangkan dengan menggunakan kandang individu, tingkat aktivitas sosialnya akan berbeda. Ternak yang
dikandangkan dengan menggunakan kandang individu aktivitas sosial dan
interaksinya rendah, hal ini dapat disebabkan karena ada dinding pembatas antar
ternak satu dan ternak lainnya. Sedangkan ternak yang di pastura akan lebih
mudah untuk melakukan aktivitas sosial karena ternak-ternak tersebut hidup
dalam satu kelompok, seperti pada saat makan dan ketika ada gangguan. Tingkah
laku sosial dapat dilihat pada Gambar 9.

Gambar 9. Tingkah Laku Sosial Domba
Hasil perhitungan pada domba penelitian bahwa tingkah laku sosial
dengan pemberian pellet limbah tauge (2,17±0,26 kali/menit) dan pemberian
pellet Indigofera sp. (2,00±0,62 kali/menit) tidak berbeda nyata (P>0.05; Tabel 4).
Hubungan sosial yang terjalin pada domba selama pengamatan dapat disebabkan
oleh model kandang yang digunakan yaitu berupa kandang individu. Hubungan
sosial yang terlihat selama pengamatan berupa aktivitas merawat diri antar
individu yang bersebelahan yaitu saling menjilati dan aktivitas bermain seperti
melompat yang dilakukan antar individu yang bersebelahan. Menurut Hart (1985),

27

selain tingkah laku agonistik domba juga sering memperlihatkan tingkah laku
sosial yaitu saling menjilati. Bagian yang dijilati adalah bagian leher dan tanduk.
Aktivitas saling menjilati ini menggambarkan bahwa domba mempunyai karakter
sosial yang tinggi.
Aktivitas sosial akan lebih mudah terlihat antara betina dan anak pada saat
setelah melahirkan, seperti induk mencium dan menjilati anaknya segera setelah
lahir. Tingkah laku mencium dan menjilati anak domba yang baru lahir untuk
merangsang pernafasan dan untuk membantu domba induk mengenali anaknya
sekaligus membentuk ikatan antara anak dan induk.
Tingkah laku harian yang berhubungan dengan tingkah laku sosial selain
aktivitas sosial yaitu aktivitas istirahat. Aktivitas istirahat sangat penting bagi
ternak agar penggunaan energi dapat berkurang. Aktivitas istirahat merupakan
fase dimana ternak mulai memperhatikan dan mempersiapkan tempat yang
nyaman untuk beristirahat. Aktivitas istirahat dapat dibagi menjadi dua periode,
yang pertama istirahat total yang dimulai pada saat domba tidur, sedangkan
periode kedua istirahat sementara yang terjadi disela-sela aktivitas harian.
Menurut Alikodra (1990), waktu istirahat penting dilakukan oleh primata untuk
mencerna pakan yang telah dikomsumsinya. Tingkah laku istirahat dapat dilihat
pada Gambar 10.a dan tingkah laku tidur dapat dilihat pada Gambar 10. b.

(a)

(b)
Gambar 10. (a) Tingkah Laku Istirahat, (b) Tingkah Laku Tidur
Hasil perhitungan pada domba penelitian bahwa tingkah laku istirahat

dengan pemberian pellet limbah tauge (2,28±0,21 kali/menit) dan pemberian

28

pellet Indigofera sp. (1,88±0,15 kali/menit) tidak berbeda nyata (P>0.05; Tabel 4).
Aktivitas istirahat pada domba berfungsi untuk mengurangi energi yang bertujuan
untuk mengolah makanan yang telah dikonsumsi. Berdasarkan pengamatan
aktivitas istirahat sering dilakukan pada saat setelah makan dan suhu tinggi.
Aktivitas istirahat pada domba dilakukan dengan cara mengawali dengan
menekuk pergelangan kedua kaki depan ke arah belakang diikuti menundukkan
kepala kemudian dilanjutkan dengan menekuk pergelangan kedua kaki belakang
dan diikuti dengan merebahkan tubuh.
Posisi domba ketika melakukan aktivitas istirahat sangat beragam antara
lain dalam keadaan berbaring dengan kedua kaki mengarah ke depan sedangkan
posisi kepala tegak dengan sikap waspada terhadap lingkungan seperti terlihat
pada Gambar 10. a. atau kepala diletakkan di bawah, tengkurap dengan keempat
kaki ditekuk dengan posisi kepala terkadang mengarah ke arah perut, diam sambil
berdiri selama beberapa saat, berdiri dengan keadaan diam, dan tidur.
Aktivitas istirahat pada domba selama pengamatan meliputi diam, istirahat
untuk mem