Degradasi Asam Fitat pada Kambing Peranakan Etawah Laktasi yang Mendapat Ransum Bersuplemen Kedelai Sangrai, Vitamin dan Mineral

RINGKASAN
Emmy Ratna Susanti. D24080241. 2012. Degradasi Asam Fitat pada Kambing
Peranakan Etawah Laktasi yang Mendapat Ransum Bersuplemen Kedelai
Sangrai, Vitamin dan Mineral. Skripsi. Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi
Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.
Pembimbing Utama : Prof. Dr. Ir. Toto Toharmat, MAgrSc.
Pembimbing Anggota : Prof. Dr. Ir. Erika B. Laconi, MS.
Asam fitat adalah senyawa anti nutrisi yang memiliki sifat chelating agent yang
mampu mengikat mineral, akibatnya pelepasan dan absorbsi mineral pakan menurun.
Suplementasi vitamin dan mineral dalam ransum diharapkan dapat meningkatkan
aktifitas mikroba dan degradasi asam fitat. Degradasi asam fitat merupakan proses
pemutusan ikatan gugus myoinositol dengan gugus fosfat. Mineral yang terikat fitat
akan terlepas dan dapat dimanfaatkan oleh tubuh. Penelitian ini bertujuan untuk
mengukur degradasi asam fitat dan hubungannya dengan kecernaan bahan kering
pakan dan absorbsi mineral. Mengkaji hubungan kecernaan bahan kering metode
acid insoluble ash (AIA) dengan kecernaan bahan kering metode koleksi total.
Percobaan dilakukan pada delapan ekor kambing peranakan Etawah (PE) laktasi
yang dibagi dua kelompok yaitu perlakuan 1 dan perlakuan 2. Kambing perlakuan 1
diberi pakan tanpa suplemen, sedangkan perlakuan 2 diberi pakan dengan suplemen
kedelai sangrai, vitamin A, D, E dan mineral khromium (Cr) organik dan selenium
(Se). Peubah yang diamati adalah kadar asam fitat, laju degradasi asam fitat,

kecernaan bahan kering, kecernaan nutrien (kecernaan protein kasar, kecernaan
lemak kasar, kecernaan serat kasar) dan absorbsi mineral (data sekunder). Kadar
asam fitat dianalisa menggunakan metode Davies & Reid (1979). Kecernaan bahan
kering dianalisa menggunakan metode AIA dan metode koleksi total. Analisis data
menggunakan uji t dan analisis hubungan menggunakan regresi.
Rataan degradasi asam fitat adalah 86,32±3,49%. Nilai degradasi asam fitat pada
kambing perlakuan 1 tidak berbeda dengan pada kambing perlakuan 2. Kecernaan
bahan kering menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan antara kambing
perlakuan 1 dan kambing perlakuan 2 dengan rataan 84,98±2,82%. Hubungan
kecernaan bahan kering metode AIA tidak berbeda dengan kecernaan metode koleksi
total (P>0,05) dengan nilai koefisien korelasi (r2) = 0,39. Adanya korelasi positif
antara degradasi asam fitat dengan kecernaan bahan kering ditunjukkan dengan nilai
koefisien korelasi (r2) = 0,70 dan kecernaan serat kasar dengan koefisien korelasi (r2)
= 0,84. Namun, degradasi asam fitat tidak berkorelasi dengan kecernaan protein
kasar, dan kecernaan lemak kasar.
Suplementasi kedelai sangrai, vitamin dan mineral tidak mempengaruhi
degradasi asam fitat, dan kecernaan bahan kering. Degradasi asam fitat hanya
mempengaruhi tingkat kecernaan bahan kering dan kecernaan serat kasar. Akan
tetapi degradasi asam fitat tidak mempengaruhi kecernaan protein kasar, kecernaan
lemak kasar, serta absorbsi mineral (fosfor, magnesium, natrium, kalsium, seng, dan

kalium). Kecernaan bahan kering metode koleksi total tidak mempunyai hubungan
dengan kecernaan bahan kering metode AIA.
Kata kunci : asam fitat, absorbsi mineral, kecernaan nutrien
ii

ABSTRACT
Phytic Acid Degradation in Etawah Grade Lactating Goat Offered a Ration
Suplemented with Roasted Soybean, Vitamin and Mineral
E. R. Susanti, T. Toharmat, E. B. Laconi
Phytic acid is a chelating agent which has been known as an anti nutrition
that binds minerals and reduces their biological availability. The purpose of the
research was to observe phytic acid degradation and its relation with mineral
absorption and dry matter digestibility, and to evaluate the relation of dry matter
digestibility determining by total collection method with that of AIA (acid insoluble
ash) method. Eight Etawah Grade lactating goats were allocated to two groups and to
dietary treatments of suplemented ration. Lactating goats in treatment 1 and
treatment 2 groups were offered a complete feed without or with additional roasted
soybean, vitamin A, D, E, and mineral cromium (Cr) organic, and selenium (Se).
Phytic acid degradation in treatment 1 goats did not differ from that of treatment 2
goats. Roasted soybean, vitamin and mineral supplementation had no effect on phytic

acid degradation. Relationship between phytic acid degradation and nutrient
digestibility indicated that degradation of phytic acid had positive corelation with dry
matter and crude fiber digestibility, but had not significant corelation with neither
crude protein nor crude fat digestibility.
Phytic acid was highly degraded in
ruminant digestive tract (86,32±3,49%). The degradation phytic acid and mineral
absorption indicated that phytic acid degradation had no effect on mineral
absorption. Total collection methode had no effect corelation with AIA methode.
Keywords : phytic acid, mineral absorption, nutrient digestibility

iii

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kambing laktasi membutuhkan nutrien yang lebih banyak dibandingkan
kambing dengan status fisiologis lain. Kambing laktasi mampu menghasilkan susu
dengan kualitas yang lebih baik jika diberi jumlah dan jenis nutrien dari hijauan dan
konsentrat dalam jumlah yang mencukupi. Namun, kecernaan dan penyerapan
nutrien dapat dipengaruhi oleh adanya antinutrisi dalam ransum. Ransum yang
dikonsumsi oleh ternak, tidak hanya mengandung nutrien yang dibutuhkan, tetapi

sebagian dari ransum juga mengandung senyawa antinutrisi atau senyawa toksik.
Adanya senyawa antinutrisi dalam bahan pakan dapat menjadi pembatas penggunaan
nutrien dalam ransum. Senyawa antinutrisi dapat menimbulkan pengaruh negatif
terhadap pertumbuhan dan produksi tergantung dosis yang masuk ke dalam tubuh.
Salah satu senyawa antinutrisi yang terdapat dalam pakan adalah asam fitat.
Asam fitat atau yang disebut (myo-inositol hexakisphosphate) merupakan bentuk
utama unsur P yang terdapat dalam biji legum dan sereal (Miswar, 2006). Adanya
asam fitat dalam ransum mengakibatkan mineral yang diserap tubuh menurun,
karena asam fitat termasuk chelat (senyawa pengikat mineral) kuat yang mampu
mengikat ion metal divalent membentuk fitat kompleks. Asam fitat pada pH netral
membentuk kompleks dengan mineral bervalensi dua, dan membentuk ikatan yang
stabil dan tidak dapat larut sehingga absorbsinya akan menurun di dalam saluran
pencernaan (Piliang, 2000). Peningkatan mineral bivalensi berpotensi menghambat
aktivitas enzim pencerna komponen pakan. Suplementasi vitamin dan mineral dalam
ransum diharapkan dapat meningkatkan degradasi asam fitat, sehingga mineral yang
terikat pada asam fitat akan terlepas dan dapat diserap oleh tubuh. Disamping itu,
peningkatan degradasi asam fitat dapat mengurangi efek negatif senyawa tersebut
terhadap aktifitas enzim pencerna komponen pakan.
Phosphor yang terdapat dalam asam fitat merupakan P yang sulit dicerna.
Oleh karena itu, unsur P yang tidak dapat larut tidak dapat dimanfaatkan mikroba

rumen dan tubuh ternak, sehingga P tersebut terbuang bersama dengan feses dan
dapat mencemari lingkungan. Unsur P dapat dimanfaatkan oleh tubuh apabila terjadi
degradasi asam fitat tersebut. Degradasi adalah proses pemutusan ikatan gugus myo-

1

inositol dengan gugus fosfat. Fosfat yang terlepas merupakan sumber phosphor bagi
tubuh (Bedford dan Partridge, 2001) dan mikroba rumen.
Tingkat degradasi asam fitat diperkirakan dapat mempengaruhi kecernaan
bahan kering dan utilisasi mineral khususnya P. Asam fitat mampu menurunkan
kelarutan protein, karena asam fitat mudah bereaksi dengan protein membentuk
kompleks fitat-protein. Protein yang terikat fitat menyebabkan laju hidrolisis protein
oleh enzim-enzim proteolisis menurun dan bahkan aktifitas enzimnya sendiri
terhambat. Asam fitat juga mampu mengikat karbohidrat (Oatway et al., 2001).
Degradasi asam fitat dalam pakan diperkirakan akan meningkatkan kecernaan dan
utilisasi nutrien pakan.
Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengukur tingkat degradasi asam fitat,
kecerrnaan bahan kering dan hubungan keduanya, serta hubungan degradasi asam
fitat dengan absorbsi mineral. Mengkaji hubungan kecernaan bahan kering metode

AIA (Acid Insoluble Ash) dengan kecernaan bahan kering metode koleksi total.

2

TINJAUAN PUSTAKA
Kambing Perah dan Produksinya
Kambing perah merupakan salah satu jenis ruminansia penghasil susu.
Berbagai jenis kambing perah tersebar di dunia. Salah satu jenis kambing perah yang
mampu beradaptasi dengan lingkungan tropis seperti di Indonesia adalah kambing
peranakan Etawah (PE). Kambing PE diperoleh dari hasil kawin tatar (grading up)
antara kambing Kacang (Jawa) dengan kambing Etawah (India) (Atabany, 2001).
Kemampuan produksi kambing secara individu dalam memproduksi susu
sangat bervariasi. Produksi susu pada kambing PE dapat berkisar antara 567,1
g/ekor/hari (Novita et al., 2006) hingga 863 g/ekor/hari (Subhagiana, 1998) dan
menurut Atabany (2001) 990 g/ekor/hari. Perbedaan produksi tersebut disebabkan
oleh bobot badan induk, umur induk, ukuran ambing, jumlah anak, nutrisi pakan,
suhu lingkungan, penyakit (Apdini, 2011). Produksi susu pada ternak muda lebih
rendah dibanding dengan ternak tua, karena ternak muda masih mengalami
pertumbuhan. Sebagian dari nutrien yang diperoleh digunakan untuk produksi susu
dan sebagian lagi untuk pertumbuhan dan perkembangan (Phalepi, 2004).

Susu kambing diyakini masyarakat mempunyai perbedaan nilai nutrisi
dengan susu sapi. Butiran lemak susu yang kecil, menyebabkan susu kambing akan
lebih mudah dicerna dalam tubuh. Dibandingkan dengan susu sapi, susu kambing
mempunyai beberapa keistimewaan yaitu (Budiana dan Susanto,2005): (1) Kaya
protein, enzim, mineral, vitamin A dan vitamin B. (2) Mengandung antiantritis
(inflamasi sendi). (3) Mampu mengobati beberapa penyakit seperti demam kuning,
gastritis, asma, insomnia. (4) Molekul lemaknya kecil dan mudah dicerna. (5)
Disimpan dalam tempat dingin tanpa mengubah kualitas dan khasiat. Keunggulan
tersebut dan ketersediaan yang masih terbatas menyebabkan harga susu kambing
lebih mahal dibanding dengan susu sapi.
Kebutuhan Nutrien dan Pakan pada Kambing
Kebutuhan nutrisi kambing perah harus tercukupi. Nutrien tersebut akan
digunakan untuk pertumbuhan, reproduksi, laktasi, gerak dan kerja. Oleh karena itu,
pemberian pakan haruslah memperhitungkan semua kebutuhan tersebut. Kebutuhan
nutrisi kambing laktasi lebih besar dibandingkan dengan kebutuhan kambing dengan
3

status fisiologis lain. Pemenuhan kebutuhan nutrien dapat dilakukan dengan
peningkatan pemberian hijauan. Namun, tambahan konsentrat diperlukan untuk
produksi yang lebih optimal.

Kambing dengan status fisiologis laktasi membutuhkan pakan yang bermutu
baik untuk memproduksi susu yang baik pula. Peningkatan mutu susu yang
diproduksi dapat dilakukan dengan cara suplementasi nutrien pakan, contohnya
suplementasi protein. Kedelai merupakan pakan yang memiliki protein tinggi, namun
protein dan lemak yang tinggi dapat menjadi tidak efisien bagi ternak ruminansia.
Protein tersebut akan didegradasi dalam rumen, sedangkan lemak tidak akan tersedia
bagi mikroba rumen karena terikat oleh struktur lainnya. Efisiensi pakan dapat
ditingkakan dengan cara pemanasan (sangrai) pada kedelai tersebut. Kedelai yang
sudah disangrai, proteinnya akan diproteksi dari degradasi rumen dan lemaknya juga
akan tersedia bagi mikroba rumen. Selain itu, kedelai sangrai juga merupakan
sumber asam linoleat yang merupakan asam lemak esensial (Adawiah et al., 2006).
Menurut Sudono et al. (2003), hijauan dalam pakan menyebabkan tingginya
kadar lemak susu, karena lemak susu dipengaruhi kandungan serat kasar ransum,
sehingga kadar serat kasar minimal 17% dari bahan kering. Jadi, kadar lemak dalam
susu tergantung pada rasio hijauan dan konsentrat dalam bahan pakan. Turunnya
ratio hijauan akan menyebabkan kadar lemak turun, tetapi kadar protein meningkat.
Ransum yang dikonsumsi oleh ternak, tidak hanya mengandung nutrien yang
dibutuhkan, tetapi sebagian dari ransum juga mengandung senyawa antinutrisi atau
senyawa toksik. Adanya senyawa antinutrisi dalam bahan pakan dapat menjadi
pembatas


penggunaan

nutrien

dalam

ransum.

Senyawa

antinutrisi

dapat

menimbulkan pengaruh negatif terhadap pertumbuhan dan produksi tergantung dosis
yang masuk ke dalam tubuh. Salah satu senyawa antinutrisi yang terdapat dalam
bahan pakan ternak adalah asam fitat.
Asam fitat atau (myo-inositol hexakisphosphate) merupakan salah satu jenis
senyawa antinutrisi yang kaya akan unsur P dan terdapat dalam biji legum dan sereal

(Miswar, 2006). Asam fitat memiliki sifat chelating agent yang mampu mengikat
mineral, yang mengakibatkan ketersediaan biologik mineral tersebut menurun.
Akibatnya absorbsi mineral dalam bahan makanan juga akan menurun. Beberapa
bahan pakan untuk ternak banyak yang mengandung fitat seperti dedak padi
4

mengandung asam fitat 6,9%, pollard mencapai 4,46% - 5,56%; barley 1,08% 1,16%; jagung 0,76%; oats 0,8% - 1,02%. Kedelai dan hasil olahannya yang
mengandung protein tinggi juga mengandung asam fitat (Sumiati, 2006).
Mineral dalam bahan pakan yang terikat oleh asam fitat akan dapat
dimanfaatkan oleh tubuh, apabila asam fitatnya terdegradasi. Degradasi asam fitat
merupakan proses pemutusan antara ikatan gugus myo-inositol dan gugus asam
fosfat oleh enzim fitase (Bedford dan Partridge, 2001). Fosfat yang terlepas dapat
dimanfaatkan sebagai sumber mineral fosfor (P) untuk ternak. Apabila terdapat asam
fitat yang tidak tercerna, mineral P juga tidak dapat tercerna oleh tubuh dan mineral
P akan terbuang bersama kotoran. Suplementasi vitamin dan mineral dalam ransum
diharapkan dapat meningkatkan degradasi asam fitat, sehingga mineral yang terikat
pada asam fitat akan terlepas dan dapat diserap oleh tubuh.
Peningkatan degradasi asam fitat diperkirakan selain dapat mempengaruhi
utilisasi mineral khususnya P, juga dapat mempengaruhi kecernaan bahan kering.
Degradasi komponen oleh mikroba rumen dipengaruhi oleh karakteristik pakan dan

faktor lingkungan dari rumen itu sendiri (Ismartoyo, 2011). Suplementasi vitamin
dan mineral diharapkan mampu memperbaiki lingkungan rumen dan merangsang
pertumbuhan mikroba dalam memfermentasi komponen-komponen pakan termasuk
didalamnya adalah proses degradasi asam fitat. Selain itu, suplementasi vitamin dan
mineral diharapkan dapat memperbaiki metabolisme nutrien di dalam tubuh ternak.
Peningkatan degradasi asam fitat diharapkan dapat mengurangi efek negatif
senyawa tersebut terhadap aktifitas enzim pencerna nutrien komponen pakan. Faktorfaktor yang dapat mempengaruhi tingkat kecernaan bahan pakan adalah komposisi
bahan pakan, perbandingan komposisi antara bahan pakan satu dengan bahan pakan
lainnya, perlakuan pakan, suplementasi enzim dalam pakan, ternak dan taraf
pemberian pakan (McDonald et al., 2002). Kecernaan nutrien pada ternak dapat
diukur dengan metode koleksi total dengan mengoleksi feses untuk satu periode
tertentu. Koleksi total dilakukan setelah ternak melewati masa adaptasi pakan
terlebih dahulu selama 10-14 hari. Adaptasi pakan dilakukan untuk menstabilkan
mikroflora saluran pencernaan dengan perlakuan pakan dan menghilangkan residu
pakan sebelumnya (Apdini, 2011).

5

Metode lain yang dapat digunakan untuk menghitung kecernaan adalah
metode AIA (Acid Insoluble Ash). Sampel feses dan pakan diabukan pada tanur
600⁰C, kemudian dilakukan perendaman pada asam kuat atau basa kuat, dan
diabukan kembali. Kadar abu yang larut dalam asam, atau selisih dari kadar abu
sebelum dan setelah pencucian merupakan bagian yang tidak dicerna (Apdini, 2011).
Suplementasi Vitamin dan Mineral
Produksi susu yang rendah, dapat disebabkan oleh mutu pakan yang rendah
pula dan kurang optimalnya penyerapan dan metabolisme nutrien. Perbaikan mutu
pakan dapat dilakukan dengan cara suplementasi vitamin dan mineral. Suplementasi
vitamin dan mineral dimaksudkan untuk memperbaiki metabolisme nutrien (Rumetor
et al., 2008).
Pada kondisi lingkungan panas dan laktasi, suplementasi mineral pakan
dibutuhkan, karena kurang tersedianya mineral dalam saluran pencernaan dan
kelarutannya tergantung dari kecernaan komponen pakan termasuk serat (Toharmat
et al., 2007). Suplementasi vitamin dan mineral dianjurkan untuk kambing yang
sedang laktasi. Tujuan suplementasi vitamin dan mineral untuk menghindarkan
kekurangan vitamin dan mineral pada induk laktasi dan untuk meningkatkan kadar
vitamin dan mineral susu. Selain itu, tujuan suplementasi vitamin dan mineral
diharapkan dapat memperbaiki metabolisme nutrien dan daya tahan tubuh (Rumetor et

al., 2008).
Asam fitat merupakan salah satu antinutrisi yang dapat mempengaruhi utilisasi
nutrien khususnya mineral bervalensi dua. Menurut Piliang (2000), asam fitat mampu
mengikat dengan mineral bervalensi dua seperti

Cu, Zn, Co, Mn, Fe, dan Ca.

Suplementasi mineral yang dapat terikat oleh asam fitat dapat mengoreksi pengaruh
negatif asam fitat.
Vitamin A
Vitamin A larut lemak dan merupakan nama generik untuk retinol dan
provitamin. Retinol tidak ditemukan pada tanaman, akan tetapi banyak tanaman yang
mengandung beta-carotene (provitamin A). Tanaman tidak mampu mensintesis
vitamin A, dan hanya mampu mensintesis provitamin A. Oleh karena itu, untuk
memperoleh vitamin A, hewan ternak akan mensitesis sendiri vitamin A dari
6

provitamin A di dalam tubuhnya. Setiap spesies mempunyai kemempuan mengubah
karoten (provitamin A) menjadi vitamin A yang berbeda-beda (Perry et al., 2003).
Vitamin

A

juga

berfungsi

untuk

penglihatan,

pertumbuhan

dan

perkembangan, diferensiasi sel, reproduksi dan kekebalan (McDowell, 2000). Oleh
karena itu, vitamin A penting untuk mendukung kehidupan, pertumbuhan dan
kesehatan hewan-hewan. McDowell (2000) menyatakan bahwa defisiensi vitamin A
dapat menyebabkan hilangnya nafsu makan, dan penurunan bobot badan, timbulnya
rabun senja, dan penurunan fertilitas pada kambing yang sedang tumbuh. Hilangnya
nafsu makan akibat defisiensi vitamin A akan menurunkan konsumsi, sehingga
asupan nutrien juga akan berkurang dan akan menurunkan produksi dan kualitas
susu. Kambing dengan berbagai jenis status fisiologis membutuhkan viamin A
sebanyak 5000 IU/kg. (McDowell, 2000).
Vitamin D
Vitamin D merupakan pro-hormon yang merupakan perkursor untuk
produksi hormon calcium regulating hormone 1,25-dihydroxyvitamin D. Vitamin D
dapat diproduksi di kulit hewan sebagai hasil dari konversi 7-dehydrocholesterol
menjadi vitamin D3 (cholecalciferol). Pada tanaman, radiasi ultraviolet menyebabkan
terjadinya proses fotokimia yang mengkonversi ergosterol menjadi vitamin D2
(ergocalciferol). Didalam hati, vitamin D dapat dikonversi menjadi 25hydroxyvitamin D oleh vitamin D 25-hydroxylase yang dikeluarkan dalam darah.
Produksi dari 25-hydroxyvitamin D dalam hati tergantung pada vitamin D dalam
pakan atau dari kulit (Perry et al., 2003).
Vitamin D berfungsi meningkatkan level plasma Ca dan P yang mendukung
terpeliharanya kadar mineral normal tulang. Bentuk aktif dari vitamin D adalah
1,25-(OH)2D, yang berfungsi sebagai hormon steroid, yaitu hormon yang diproduksi
oleh kelenjar endokrin. Kambing dengan berbagai jenis status fisiologis
membutuhkan viamin D sebanyak 1400 IU/kg (McDowell, 2000).
Kekurangan vitamin D pada ruminansia ditandai dengan menurunnya selera
makan, pertumbuhan menurun, gangguan pencernaan, ricketsia, kaku dalam berjalan,
susah bernapas, iritasi, dan kelemahan (McDowell, 2000). Suplementasi vitamin D
diharapkan dapat meningkatkan level plasma P. Namun ketersediaan P pakan dapat
dipengaruhi oleh keberadaan asam fitat dan degradasinya dalam rumen. Unsur P
7

dalam asam fitat utuh tidak dapat diserap tubuh, dan asam fitat dalam pakan dapat
mengikat mineral lainnya khususnya yang bervalensi dua sehingga tidak dapat
diserap tubuh (Piliang, 2000).
Vitamin E
Vitamin E merupakan jenis vitamin yang larut lemak dan disebut juga
tokoferol yang terdiri dari beberapa jenis seperti alfa, beta, gama dan delta tokoferol,
serta tokotrienol. Vitmin E dapat berfungsi sebagai antioksidan alami untuk
mempertahankan performa dan produksi optimal. Vitamin E juga mampu menangkal
radikal bebas (Rumetor et al., 2008).
Suplementasi mineral Se dan vitamin E dapat melindungi tubuh dari infeksi
organisme patogen sebagai antibodi dan fagositosis dari patogen. White Muscle
Disease (WMD) merupakan penyakit yang disebabkan oleh defisiensinya mineral Se
yang dipengaruhi oleh status vitamin E. Kambing dengan berbagai jenis status
fisiologis membutuhkan viamin E sebanyak 100 IU/kg (McDowell, 2000).
Suplementasi vitamin E juga dapat mempengaruhi tingkat kecernaan bahan
kering (KCBK) dan

kecernaan bahan orgaik (KCBO). Vitamin E berfungsi

melindungi lemak dari peroksidasi, melindungi oksidasi lemak dan kerusakan sel.
Akibatnya, akan memberikan pengaruh positif terhadap kecernaan lemak dan secara
keseluruhan dapat mempengaruhi KCBK KCBO (Rumetor et al., 2008).
Khromium Organik
Suplementasi mineral, dapat dilakukan dengan

suplementasi Cr organik.

Khromium adalah mineral mikro yang berfungsi dalam meningkatkan afinitas insulin
dalam metabolisme glukosa, serta dalam mempertahankan kecepatan transpor
glukosa dari darah ke dalam sel-sel. Selain itu, Cr juga berperan dalam mengaktifkan
kerja beberapa enzim dan memegang peranan dalam metabolisme lemak dan protein.
Defisiensi Cr dapat menyebabkan terganggunya glucose tolerance, pertumbuhan,
timbulnya hyperglycemia, glukosaria, dan meningkatnya kadar kolesterol dalam
serum (Piliang dan Soewondo, 2006).
Menurut Piliang dan Soewondo (2006), Cr diberikan secara organik karena,
mineral Cr akan lebih mudah diabsorbsi dalam bentuk organik. Khromium inorganik
atau yang berasal dari makanan atau minuman lebih sukar diabsorbsi dibandingkan
8

khromium yang berasal dari ekstrak ragi. Khromium dari ekstrak ragi mampu
diabsorbsi sebanyak 10% - 25%, sedangkan Cr dari makanan dan minuman yang
masuk ke dalam tubuh rata-rata 50 µg - 100 µg setiap hari, hanya sekitar 0,25 µg 0,5 µg untuk setiap 7 µg - 10 µg Cr yang diekskresi melalui urine. Menurut Muktiani
(2002), Cr-proteinat dan Cr-pikolinat (organik) dapat diserap 5-10 kali lebih besar
dibanding bentuk anorganik.
Mineral Cr merupakan mineral yang penting bagi mikroba rumen. Adanya
suplementasi Cr organik dalam pakan akan meningkatkan efisiensi pengambilan
energi oleh mikroba rumen, sehingga kinerja mikroba rumen semakin aktif dan
mampu meningkatkan nilai kecernaan. Kecernaan yang semakin meningkat akan
meningkatkan ketersediaan nutrien untuk mikroba rumen, sehingga dapat membantu
mikroba rumen dalam mencerna serat (Astuti et al., 2006).
Selenium
Suplementasi mineral lain yang dapat diberikan untuk kambing laktasi adalah
suplementasi mineral selenium. Selenium merupakan salah satu mineral mikro yang
dibutuhkan oleh tubuh. Bentuk fisiologis dari Se adalah sebagai Gluthation
peroksidase (GSH-Px) yang berfungsi dalam memproteksi sel dan subseluler dari
kerusakan oksidatif dengan cara senyawa oksidatif direduksi menjadi senyawa yang
aman bagi sel, termasuk ambing, sehingga produksi susu akan optimal. Mineral Se
juga berperan dalam reproduksi ternak, apabila defisiensi akan menyebabkan
kemandulan (Muktiani et al., 2004)
Selenium merupakan mineral yang mempunyai hubungan yang erat dengan
vitamin E (Tocopherol). Selenium bersama-sama vitamin E dapat berfungsi sebagai
antioksidan, melindungi sel dan membran organ terhadap kerusakan yang disebabkan
oleh oksidasi. Selain itu, Se dan vitamin E juga berperan dalam membantu proses
penggabungan oksigen dan hidrogen dalam rantai akhir metabolik, membantu
transfer ion melalui membran sel, membantu proses sintesis immunoglobulin dan
sintesis ubiquinone (Piliang dan Soewondo, 2006).

9

MATERI DAN METODE
Lokasi dan Waktu
Penelitian ini dilaksanakan di Peternakan Kambing Perah milik Yayasan
Pesantren Darul Falah Ciampea dan Laboratorium Ilmu Nutrisi Ternak Perah dan
Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi
Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian dilakukan selama
empat bulan dari bulan Juni sampai September 2011.
Materi
Penelitian ini menggunakan kambing peranakan Etawah (PE) laktasi
sebanyak delapan ekor dengan umur rata-rata 3-4 tahun. Pakan yang diberikan terdiri
dari ampas tempe, rumput lapang, rumput gajah, dedak, onggok, jagung, bungkil
kelapa, bungkil kedelai, CPO, kedelai sangrai, serta suplemen vitamin dan mineral
yaitu, vitamin A, vitamin E, Cr organik, dan Se.
Kambing percobaan ditempatkan pada kandang individu berukuran 1 x 2 m2.
Peralatan yang digunakan dalam penelitian adalah kandang kambing perah individu,
gelas ukur, tempat pakan dan minum, timbangan, ember, jaring paranet dan kain
penampung feses.
Prosedur
Penyediaan Pakan
Pakan yang diberikan terdiri dari rumput lapang, ampas tempe, rumput gajah
kering yang telah digiling, dedak, onggok, jagung, bungkil kelapa, bungkil kedelai,
dan CPO. Perlakuan 1 pakan yang diberikan tanpa suplementasi dan perlakuan 2
dengan suplementasi (kedelai sangrai, vitamin A, D, E dan mineral Cr organik, dan
Se).
Pemeliharaan Hewan Uji
Delapan ekor kambing peranakan Etawah (PE) laktasi, yang terdiri dari empat
ekor diberi pakan perlakuan 1 dan empat ekor diberi pakan perlakuan 2. Pakan
campuran diberikan sebanyak 300 g per hari. Rumput lapang diberikan ± 2,5 kg dan
ampas tempe diberikan ± 4,5 kg.. Sebelum diberikan perlakuan, kambing percobaan
diberikan pakan tanpa suplementasi (kedelai sangrai, vitamin A, D, E dan mineral Cr
10

organik, dan Se) selama satu minggu untuk tujuan penyesuaian pakan perlakuan
(preliminary). Selama percobaan konsumsi pakan setiap individu kambing diukur.
Pengambilan Sampel
Sampel pakan dan sampel feses diambil untuk analisis asam fitat. Sampel
rumput lapang dan ampas tempe yang digunakan adalah sebanyak 1 kg, kemudian
dikeringkan di bawah matahari dan oven 60⁰C. Semua sampel digiling dengan
saringan 2 mm.
Sampel feses diambil dengan teknik koleksi total selama satu minggu terakhir
periode penelitian, setelah melewati masa adaptasi selama tiga minggu.
Pengumpulan feses dilakukan dengan cara memasang paranet di bawah kandang
panggung setiap individu kambing. Selama periode koleksi feses total, paranet
dipasang dan diambil pada pukul 09.00. Feses yang dikumpulkan, ditimbang dan
dikeringmataharikan, kemudian disimpan pada karung yang terbuat dari kain dan
diangin-anginkan dengan digantung agar tidak berjamur. Setelah semua feses selama
satu minggu terakhir terkumpul, selanjutnya ditimbang dan diambil 10% untuk
dikeringkan lebih lanjut di dalam oven 60⁰C. Sampel feses tersebut kemudian
ditimbang dan digiling menggunakan saringan 2 mm.
Kadar nutrien ransum dan feses dianalisis dengan menggunakan metoda
analisis proksimat di Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan, Departemen Ilmu
Nutrisi dan Teknologi Pakan,

Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Analisis asam fitat dilakukan menggunakan metode Davies dan Reid (1979), di
Laboratorium Ilmu Nutrisi Ternak Perah, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi
Pakan, Fakultas Peternakan IPB.
Rancangan Percobaan dan Analisis Data
Percobaan dilakukan terhadap delapan ekor kambing peranakan Etawah
laktasi yang dibagi menjadi dua kelompok perlakuan. Setiap kelompok perlakuan
terdiri dari empat ulangan. Data hasil penelitian pada dua perlakuan dianalisis
menggunakan Uji t untuk dua perlakuan masing-masing empat ulangan kambing
perah dengan perhitungan mengikuti prosedur Mattjik dan Sumertajaya (2002).
Hubungan antara dua peubah dianalisis menggunakan model analisis regresi linear
(Steel & Torrie, 1995) sebagai berikut: Y = a + b1x1 + e; dimana: Y = Variabel
11

dependen, a = Intersep/perpotongan, b = Gradien/kemiringan, x = Variabel
independen, e = Standar error.
Perlakuan
Perlakuan yang diberikan pada kambing peranakan Etawah (PE) laktasi
terdiri dari dua perlakuan. Perlakuan 1 pemberian pakan tanpa suplementasi, dan
perlakuan 2 pemberian pakan dengan suplementasi kedelai sangrai, vitamin A, D, E
dan mineral Cr organik dan Se.
Tabel 1. Komposisi Pakan yang Diberikan Tanpa Suplemen (Perlakuan 1) atau
dengan Suplemen (Perlakuan 2)
Bahan Pakan

Komposisi dalam Ransum (%)
Perlakuan 1

Perlakuan 2

Rumput Lapang

32,12

32,12

Ampas Tempe

53,15

53,15

Rumput Gajah Kering

5,89

5,89

Dedak

0,85

0,85

Jagung

2,48

2,48

Onggok

1,29

1,29

Bungkil Kedelai

2,98

2,98

Bungkil Kelapa

0,94

0,94

CPO

0,30

0,30

Pakan Campuran

Suplementasi
Kedelai Sangrai

-

280 g/kg

Vitamin A
Vitamin E

-

8000 IU/kg
400 IU/kg

Vitamin D3

-

1500 IU/kg

Se

-

0,30 ppm

Cr Organik

-

3,00 ppm

Pakan yang diberikan adalah rumput lapang, ampas tempe, rumput gajah,
dedak, onggok, jagung, bungkil kelapa, bungkil kedelai, dan crude palm oil (CPO),
tanpa suplementasi (perlakuan 1) atau dengan suplementasi (perlakuan 2). Ransum
disusun dengan isoprotein dan isoenergi, dengan kadar protein 16,24% (Perlakuan 1)
12

dan 16,74% (Perlakuan 2). TDN sebesar 63,96% (Perlakuan 1) dan 64,04%
(Perlakuan 2). Komposisi ransum komplit tambahan yang digunakan ditunjukkan
pada Tabel 1.
Peubah yang Diamati
Kadar Asam Fitat (Metode Davies dan Reid, 1979)
Kadar asam fitat (%) dan degradasi asam fitat (%) dianalisis menggunakan
metode (Davies & Reid, 1979) yang telah dimodifikasi. Sebanyak lima gram bahan
disuspensikan dalam 50 ml larutan HNO3 0,5 M dan diaduk selama tiga jam di atas
shaker water bath pada suhu ruang, kemudian disaring. Filtrat dari campuran diambil
sebanyak 0,05 ml dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi, ditambahkan 1,35 ml
larutan HNO3 0,5 M serta 1 ml larutan FeCl3. Tabung reaksi ditutup dengan
aluminium foil dan direndam dalam air mendidih selama 20 menit. Setelah
didinginkan sampai mencapai suhu ruang, ditambah 5 ml amyl alkohol dan 0,1 ml
larutan amonium thiosianat 10%. Isi tabung diaduk dengan cara menggoyangkan
tabung tersebut selama 15 menit. Kadar fitat diukur menggunakan spectrofotometer
dengan panjang gelombang 465 nm. Pada saat yang bersamaan dilakukan juga
pengukuran kadar fitat standar. Nilai absorbansi standar yang diukur kemudian
dibuat kurva hubungan antara jumlah asam fitat dengan absorbansinya dengan
persamaan umum regresi linier: Y = a + bx, Y = absorbansi larutan natrium asam
fitat, x = kadar asam fitat . Persamaan yang diperoleh tersebut digunakan untuk
menghitung jumlah asam fitat dalam sampel.
Kecernaan Bahan Kering (Van Keulen dan Young, 1977)
Kecernaan nutrien ransum ditentukan dengan metoda koleksi total dan
metode AIA (acid insoluble ash). Perhitungan kecernaan nutrien mengunakan
metode koleksi total dilakukan dengan menganalisis kadar nutrien pakan dan feces.
Pengukuran kecernaan nutrien dengan metode AIA dilakukan dengan menganalisis
kandungan nutrien atau data yang digunakan untuk mengukur kecernaan koleksi total
ditambah dengan data kadar AIA pakan dan feses.
Pengukuran kadar AIA dilakukan dengan cara 2 g sampel diabukan pada
tanur dengan suhu 600⁰C. Abu dimasukkan ke dalam gelas piala, ditambah 25 ml
HCl 2N dan dididihkan hingga volumenya menjadi kurang lebih setengahnya dari
13

volume awal. Abu disaring dengan kertas saring yang sudah diketahui bobotnya.
Endapan dicuci dengan aquades panas (85⁰C - 100⁰C) sampai bebas asam. Hasil
saringan diabukan lagi. Berat abu yang tidak larut dalam asam diukur dengan
penimbangan. Analisis ini dikerjakan untuk sampel feses dan pakan.

%AIA =

X 100%

Kadar nutrien AIA sampel dan feces digunakan untuk menghitung kecernaan
bahan kering dengan rumus sebagai berikut:

%KCBK =

X 100%

14

HASIL DAN PEMBAHASAN
Komposisi Nutrien dan Asam Fitat Pakan
Pakan yang diberikan kepada ternak tidak hanya mengandung komponen
nutrien yang dibutuhkan ternak, tetapi juga mengandung senyawa antinutrisi.
Komponen antinutrisi dalam bahan pakan dapat menyebabkan gangguan
pertumbuhan dan kesehatan. Salah satu senyawa antinutrisi yang terdapat dalam
pakan ternak adalah asam fitat.
Asam fitat adalah salah satu senyawa antinutrisi yang mampu mengikat
mineral, sehingga penyerapan mineral oleh tubuh akan menurun. Beberapa bahan
pakan seperti dedak padi mengandung asam fitat 6,9%, pollard 4,46%-5,56%; barley
1,08%-1,16%; jagung 0,76%; oats 0,8%-1,02% (Sumiati, 2006). Kadar nutrien dan
asam fitat komponen ransum ditunjukkan dalam Tabel 2.

Kadar asam fitat bahan

pakan yang digunakan dalam penelitian dapat dinyatakan tinggi yaitu 3,57%. Kadar
tersebut dapat menyebabkan ketersediaan fosfor dan mineral lain terbatas kecuali
jika asam fitatnya mengalami degradasi.
Tabel 2. Kadar Nutrien dan Asam Fitat Ransum yang Diberikan pada Kambing
Laktasi
Pakan
Campuran 1
85,69

Pakan
Campuran 2
84,18

Ampas
Tempe
20,59

Rumput
Lapang
22,42

Abu

10,85

10,85

4,42

11,69

Protein Kasar

21,96

16,27

18,02

13,29

Serat Kasar

17,62

19,29

51,68

39,16

2,26

2,77

2,23

1,29

47,31

50,82

23,65

34,57

3,75

3,77

3,77

3,18

Kode
Bahan Kering(%)
Komponen (% BK)

Lemak Kasar
Beta-N
Asam Fitat

Keterangan : Data diperoleh dari analisis proksimat di Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan
Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor, dan analisis kadar fitat dilakukan di
Laboratorium Nutrisi Ternak Perah Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor
(2012).

Pakan perlakuan yang diberikan pada kambing percobaan tidak berbeda,
walaupun terdapat perbedaan komponen pakan khususnya kedelai sangrai. Menurut
15

Sumiati (2006), kedelai dan hasil olahannya yang mengandung protein tinggi juga
mengandung asam fitat tinggi. Muchtadi (1998) menyebutkan bahwa asam fitat
sangat tahan terhadap pemanasan selama pengolahan. Produk olahan kedelai tanpa
fermentasi tetap mengandung asam fitat. Fermentasi dapat mengurangi bukan
menghilangkan asam fitat, namun tempe dan kecap sudah tidak mengandung
senyawa tersebut.
Konsumsi Nutrien
Kebutuhan nutrisi kambing laktasi lebih besar dibandingkan dengan
kebutuhan kambing dengan status fisiologis lain. Menurut Orskov (2001), kondisi
fisiologis ternak juga dapat mempengaruhi tingkat konsumsi ternak. Sehingga
kambing dengan status fisiologis laktasi mampu mengkonsumsi pakan lebih banyak
untuk menunjang kebutuhan nutrisi saat laktasi. Konsumsi nutrien pada kambing
laktasi yang digunakan dalam penelitian ditunjukkan dalam Tabel 3.
Tabel 3. Rataan Konsumsi Nutrien pada Kambing Laktasi yang Digunakan dalam
Penelitian
Konsumsi

Perlakuan 1

Perlakuan 2

(g/ekor/hari)

Bahan Kering

1796±30,0

1719±61,0

Bahan Organik

1659±27,0

1588±57,0

291±5,0

283±10,0

786±12,0

762±36,0

35±0,7

33±1,1

Protein Kasar
Serat Kasar
Lemak Kasar

Keterangan: Perlakuan 1 = tidak mendapat suplemen vitamin dan mineral, Perlakuan 2 = mendapat
suplemen vitamin dan mineral serta kedai sangrai.

Tingkat konsumsi nutrien kambing yang tidak mendapat suplemen (perlakuan
1) dan yang mendapat suplemen (perlakuan 2) tidak berbeda nyata (P>0,05).
Konsumsi bahan kering cenderung menurun jika ransum disuplementasi dengan
vitamin dan mineral serta ditambah kedelai sangrai. Penurunan konsumsi bahan
kering tidak mengurangi konsumsi nutrien lain (protein kasar, lemak kasar, serat
kasar). Tambahan vitamin dan mineral dan kedelai sangrai ke dalam ransum
cenderung mempengaruhi palatabilitas dan selera makan kambing laktasi.

16

Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi tingkat konsumsi adalah faktor
eksternal (lingkungan) dan faktor internal (kondisi ternak itu sendiri), yang meliputi
suhu lingkungan, palatabilitas, selera, status fisiologis (umur, jenis kelamin, kondisi
tubuh), konsentrasi nutrisi, bentuk pakan, bobot badan dan produksi (Mulyono,
2005). Konsumsi bahan kering ternak juga dapat dipengaruhi oleh sistem pencernaan
ternak. Pengurangan konsumsi pakan pada ternak ruminansia terjadi apabila waktu
retensi pakan meningkat, sehingga kapasitas rumen dalam menampung pakan
berkurang (Orskov, 2001). Namun dalam hal ini jenis pakan yang diberikan sama
kecuali terdapat penambahan kedelai sangrai. Penambahan kedelai sangrai sebanyak
13,16% dalam ransum yang diberikan pada kelompok kambing perlakuan 2,
meningkatkan kadar protein dan lemak ransum, sehingga ransum semakin padat
nutrien dibandingkan dengan ransum tambahan pada perlakuan 1.
Kecernaan Nutrien
Nutrien tercerna adalah nutrien yang tidak terdapat dalam feses karena
diabsorbsi oleh dinding saluran pencernaan. Tingkat konsumsi bahan kering yang
berbeda-beda akan mempengaruhi tingkat kecernaan nutrien tiap individu. Selain itu,
kecernaan nutrien juga dipengaruhi oleh komposisi pakan, formulasi ransum, teknik
pengolahan pakan, suplementasi enzim, jenis ternak, dan tingkat konsumsi ternak
(Apdini, 2011). Oleh karena itu, setiap individu kambing memiliki tingkat kecernaan
bahan kering yang berbeda-beda. Nilai kecernaan nutrien pada kambing percobaan
ditunjukkan dalam Tabel 4.
Tabel 4. Rataan Kecernaan Nutrien Ransum yang Diberikan pada Kambing Laktasi
yang Digunakan dalam Penelitian
Kecernaan

Perlakuan 1 (%)

Perlakuan 2 (%)

BK

85,20±2,94

84,75±3,12

PK

81,50±1,90

81,19±3,48

LK

73,30±5,33

72,25±4,62

SK

85,31±4,80

86,15±3,38

Keterangan: BK = bahan kering, PK = protein kasar, LK = lemak kasar, SK = serat kasar, Perlakuan 1
= tidak mendapat suplemen kedelai sangrai, vitamin dan mineral, Perlakuan 2 =
mendapat suplemen kedelai sangrai, vitamin dan mineral.

17

Kecernaan nutrien antara kambing yang mendapat suplemen kedelai sangrai,
vitamin mineral dan yang tidak, memiliki nilai kecernaan yang tidak berbeda nyata
(Tabel 4). Hal tersebut dapat diartikan bahwa suplementasi kedelai sangrai, vitamin
dan mineral ke dalam ransum tidak berpengaruh terhadap kecernaan nutrien ransum.
Rataan kecernaan bahan kering pada kambing percobaaan dapat dinyatakan tinggi
karena mencapai nilai 84,98±2,82%. Nilai kecernaan yang tinggi dapat diartikan
bahwa nutrien yang dikonsumsi dapat dicerna dengan baik oleh ternak.
Rataan kecernaan protein kasar pada penelitian ini juga tergolong tinggi.
Kecernaan protein kasar dapat dipengaruhi oleh kandungan protein pakan dan
komposisi kimia protein pakan. Kandungan protein pakan yang digunakan dalam
penelitian ini berkisar antara 16,46%, hasil ini dapat dinyatakan bahwa kadar protein
pakan tergolong tinggi. Rataan kecernaan lemak kasar pada penelitian ini adalah
72,78±4,65%. Hal tersebut menunjukan bahwa kecernaan lemak dapat dinyatakan
normal dan tinggi.
Rataan kecernaan serat kasar dalam penelitian ini tergolong tinggi. Menurut
Nurhajah (2007) kecernaan serat kasar dipengaruhi oleh komposisi kimia bahan
pakan seperti kandungan selulosa, hemiselulosa dan lignin.

Tingginya nilai

kecernaan serat kasar diduga disebabkan karena komponen serat pakan dalam
penelitian ini mudah dicerna, karena rumput yang diberikan diperkirakan cukup
muda. Demikian juga serat ampas tempe walaupun berkadar serat tingi namun
mudah dicerna, sehingga kecernaan secara kesuluruhan menjadi tinggi.
Hubungan Kecernaan Bahan Kering
Metode Koleksi Total dengan Metode AIA
Kandungan serat kasar dalam pakan yang tinggi, akan menyebabkan
berkurangnya nilai kecernaan. Komponen serat kasar yang sulit dicerna dibentuk dari
selulosa, hemiselolsa, lignin dan silika (Putra, 2011). Tinginya silika berkorelasi
dengan tingginya komponen serat yang tahan terhadap fermentasi oleh mikroba
rumen. Kadar abu yang larut dalam asam, atau selisih dari kadar abu sebelum dan
setelah pencucian dengan asam dapat memberikan gambaran kecernaan komponen
bahan pakan (Apdini, 2011).
Hasil pengukuran rataan kecernaan bahan kering metode koleksi total
mencapai 84,98±2,82%, sedangkan rataan pengukuran metode AIA mencapai
18

75,20±3,75%. Regresi antara koefisien cerna bahan kering dengan metoda koleksi
total dengan metode AIA mempunyai nilai korelasi r2 = 0,39 (P>0,05). Hasil
tersebut menunjukkan bahwa koefisien cerna yang diukur dengan metode koleksi
total dan AIA tidak sama. Koefisien cerna bahan kering yang diukur dengan metode
koleksi total menunjukkan nilai simpangan baku yang rendah. Koefisien regresi
yang kecil menggambarkan variasi yang besar pada pengukuran kecernaan dengan
metoda AIA. Variasi yang cukup besar pada koefisen cerna metode AIA diduga
terkait diantaranya dengan pemberian tambahan pakan lengkap yang diberikan
kepada kambing.

Pemberian tambahan pakan lengkap diduga menurunkan

kecernaan komponen serat. Penambahan vitamin, mineral serta kedelai sangrai ke
dalam ransum diduga juga berkontribusi terhadap variasi kecernaan komponen serat
yang diekpresikan oleh nilai AIA yang bervariasi dibandingkan dengan koefisen
cerna dengan metode koleksi total.
Degradasi Asam Fitat
Degradasi asam fitat merupakan proses pemutusan antara ikatan gugus myoinositol dan gugus asam fosfat oleh enzim fitase yang dihasilkan oleh mikroba rumen
(Bedford dan Partridge, 2001). Fosfat yang terlepas dari asam fitat, akan dapat
dimanfaatkan oleh ternak. Pencernaan ruminansia mampu menyediakan unsur P
antara 0,33% sampai 0,99 % BK (Mc Donald et al., 2002). Tabel 5 menunjukkan
rataan konsumsi dan degradasi asam fitat pada kambing laktasi yang mendapat
suplemen kedelai sangrai, vitamin, dan mineral. Total konsumsi bahan kering dapat
mempengaruhi total asam fitat yang dikonsumsi.

Konsumsi asam fitat pada

kelompok kambing perlakuan 2 cenderung menurun mengikuti konsumsi bahan
kering ransum. Tidak terdapat perbedaan konsumsi, ekskresi dan degradasi asam
fitat pada kedua kelompok kambing dengan tambahan pakan yang berbeda.
Suplementasi kedelai sangrai, vitamin, dan mineral ke dalam ransum tidak
mempengaruhi tingkat degradasi asam fitat.
Asam fitat merupakan suatu senyawa yang tidak larut, sehingga sukar dicerna
dan tidak dimanfaatkan oleh tubuh, hal ini mengakibatkan diekskresikannya fosfor
dalam jumlah besar yang akan mencemari lingkungan (Oatway et al., 2001). Namun
pada kambing, seperti halnya kecernaan nutrien komponen pakan, mikroba rumen
mampu mendegradasi fitat dalam pakan yang dikonsumsinya.

Rataan tingkat
19

degradasi asam fitat dalam rumen mencapai 86,32±3,49%.

Nilai tersebut

menggambarkan bahwa asam fitat dapat didegradasi dengan baik dalam rumen
kambing.

Mikroflora dalam rumen ternak ruminansia menghasilkan fitase yang

dapat menghidrolisis senyawa tersebut dalam jumlah besar. Sebagian kecil asam
fitat yang tidak mampu di degradasi oleh mikroba rumen, dikeluarkan kembali
melalui feses, sehingga di dalam feses juga masih terdapat kandungan asam fitat.
Tabel 5. Rataan Konsumsi dan Degradasi Asam Fitat pada Kambing Laktasi yang
Mendapat Suplementasi Kedelai Sangrai, Vitamin dan Mineral
Fitat
Konsumsi (g/ekor/hari)
Feses (g/ekor/hari)
Degradasi (%)
Keterangan:

Perlakuan 1

Perlakuan 2

64,02±1,09

61,14±2,15

9,41±2,83

7,74±1,57

85,33±4,27

87,31±2,75

Perlakuan 1 = ransum tambahan tidak mendapat suplemen vitamin dan mineral,
Perlakuan 2 = ransum tambahan yang mendapat suplemen vitamin dan mineral serta
kedelai sangrai.

Nilai degradasi asam fitat dalam penelitian ini menunjukan bahwa tidak
semua unsur P dalam pakan tidak seluruhnya dapat digunakan kambing, karena
sebagian masih terikat dalam bentuk asam fitat. Adanya bagian asam fitat yang tidak
terdegradasi menunjukkan bahwa sejumlah mineral lainnya pun dapat ikut
terekresikan dalam feces, karena asam fitat yang tidak terdegradasi mampu mengikat
usur esensial lain khususnya yang bervalensi dua. Kondisi ini menunjukkan bahwa
dalam suplementasi mineral perlu mempertimbangkan keberadaan asam fitat yang
tidak terdegradasi.
Hubungan Degradasi Asam Fitat dengan
Kecernaan Nutrien
Asam fitat merupakan suatu senyawa anti nutrisi yang mampu mengikat
mineral dan komponen nutrien lainnya. Adanya degradasi asam fitat diharapkan
mampu melepaskan ikatan fitat dengan komponen nutrien, sehingga kecernaan
nutrien dapat meningkat. Tabel 6 menunjukkan hubungan antara tingkat degradasi
asam fitat dengan kecernaan bahan kering (KcBK), protein kasar (KcPK), lemak
kasar (KcLK) dan serat kasar (KcSK) serta absorbsi mineral. Degradasi asam fitat
mempunyai hubungan regresi positif dengan kecernaan bahan kering dan serat kasar,
20

namun mempunyai hubungan yang tidak nyata dengan kecernaan protein dan lemak
kasar serta absorbsi mineral. Hubungan regresi antara kecernaan bahan kering dan
serat kasar menunjukkan bahwa kecernaan bahan kering dan serat kasar yang tinggi
seiring dengan tingginya degradasi asam fitat. Data tersebut menunjukkan bahwa
degradasi asam fitat diperkirakan bersamaan dengan fermentasi komponen pakan
lainnya khususnya karbohidrat mudah dicerna dan keduanya mempunyai laju
degradasi yang sama cepatnya.
Tabel 6. Hubungan Regresi antara Degradasi Asam Fitat dengan Kecernaan Nutrien
serta Hubungan Regresi Degradasi Asam Fitat dengan Absorbsi Mineral
Degradasi Fitat
vs.
KcBK

A

B

P

r2

-1,8

1,04

0,009

0,70

KcPK

-

-

>0,05

-

KcLK

-

-

>0,05

-

KcSK

15,4

0,827

0,001

0,84

*Absorbsi P

-

-

>0,05

-

*Absorbsi Mg

-

-

>0,05

-

*Absorbsi Na

-

-

>0,05

-

*Absorbsi Ca

-

-

>0,05

-

*Absorbsi Zn

-

-

>0,05

-

*Absorbsi K

-

-

>0,05

-

Keterangan: a = intersep/perpotongan, b = gradien/kemiringan, P = nilai probability regresi,
r2 = koefisien regresi.
*Data absorbsi mineral diperoleh dari penelitian Altami Nurmila Daniari yang belum
dipublikasikan.

Asam fitat mudah bereaksi dengan protein membentuk

kompleks fitat-

protein yang dapat menurunkan kelarutan protein. Laju hidrolisis protein oleh enzimenzim proteolisis menurun akibat protein terikat oleh fitat. Asam fitat juga mengikat
karbohidrat sehingga memberikan efek merugikan bagi ternak (Oatway et al., 2001).
Tidak adanya hubungan regresi antara degradasi asam fitat dengan kecernaan protein
dan asam lemak menunjukkan bahwa asam fitat tidak berpengaruh terhadap
kecernaan protein kasar, karena degradasi asam fitat sangat tinggi dan laju
degradasinya lebih tinggi dari laju degradasi protein dan asam lemak. Asam fitat
tidak mengikat baik protein maupun lemak komponen pakan. Degradasi asam fitat
21

yang mencapai 86,32% menunjukkan bahwa asam fitat dalam ransum tersebut
diduga tidak mengganggu aktifitas enzim mikroba rumen dan tidak menggangu
pencernaan protein dan lemak.
Degradasi asam fitat yang mencapai 86,32% pada kambing laktasi,
merupakan salah satu faktor yang menyebabkan tidak berpengaruhnya kadar asam
fitat terhadap absorbsi mineral P, Mg, Na, K, Ca dan Zn.

Adanya asam fitat

sebanyak 13,68% yang tidak mampu terdegradasi, tidak mengganggu penyerapan
mineral dalam tubuh. Kambing mampu menggunakan unsur P yang dilepaskan dari
degradasi asam fitat yang terdapat pada pakan.

Tidak adanya korelasi tingkat

degradasi asam fitat dengan absorpsi P menunjukkan bahwa P dalam ransum
diperkirakan tidak saja berasal dari asam fitat. Fitat diperkirakan hanya mempunyai
nilai guna P sekitar 46% atau kurang (Widodo, 2005). Degradasi asam fitat yang
tinggi menunjukkan bahwa asam fitat menyumbangkan unsur P dalam jumlah yang
banyak. Namun unsur P yang tersedia untuk tubuh ternak dipengaruhi oleh beberapa
faktor, antara lain bentuk ransum yang diberikan, struktur kimia P dan
perbandingannya dengan Ca dalam pakan, umur dan jenis kelamin ternak (Widodo,
2005).

22

KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Asam fitat dapat didegradasi dalam rumen kambing namun suplementasi
vitamin dan mineral serta penambahan kedelai sangrai tidak mempengaruhi tingkat
degradasinya. Degradasi asam fitat sejalan dengan kecernaan bahan kering dan serat
kasar pakan dan tidak mempengaruhi kecernaan protein kasar, lemak kasar, absorbsi
unsur P, Ca, Mg, Na, dan K. Suplementasi vitamin dan mineral tersebut
mempengaruhi variasi nilai kecernaan bahan kering metode AIA.
Saran
Penggunaan metoda AIA untuk menduga kecernaan nutrien perlu dikaji lebih
dalam karena tidak menunjukkan regresi yang kuat dengan metoda koleksi total.
Suplementasi vitamin dan mineral pada kambing laktasi tidak diperlukan namun
untuk meningkatkan efisiensi suplementasi mineral, keberadaan asam fitat perlu
dipertimbangkan.

23

DEGRADASI ASAM FITAT PADA KAMBING PERANAKAN
ETAWAH LAKTASI YANG MENDAPAT RANSUM
BERSUPLEMEN KEDELAI SANGRAI,
VITAMIN DAN MINERAL

SKRIPSI
Emmy Ratna Susanti

DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PAKAN
FAKULTAS PETERNAKAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2012

DEGRADASI ASAM FITAT PADA KAMBING PERANAKAN
ETAWAH LAKTASI YANG MENDAPAT RANSUM
BERSUPLEMEN KEDELAI SANGRAI,
VITAMIN DAN MINERAL

SKRIPSI
Emmy Ratna Susanti

DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PAKAN
FAKULTAS PETERNAKAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2012

RINGKASAN
Emmy Ratna Susanti. D24080241. 2012. Degradasi Asam Fitat pada Kambing
Peranakan Etawah Laktasi yang Mendapat Ransum Bersuplemen Kedelai
Sangrai, Vitamin dan Mineral. Skripsi. Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi
Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.
Pembimbing Utama : Prof. Dr. Ir. Toto Toharmat, MAgrSc.
Pembimbing Anggota : Prof. Dr. Ir. Erika B. Laconi, MS.
Asam fitat adalah senyawa anti nutrisi yang memiliki sifat chelating agent yang
mampu mengikat mineral, akibatnya pelepasan dan absorbsi mineral pakan menurun.
Suplementasi vitamin dan mineral dalam ransum diharapkan dapat meningkatkan
aktifitas mikroba dan degradasi asam fitat. Degradasi asam fitat merupakan proses
pemutusan ikatan gugus myoinositol dengan gugus fosfat. Mineral yang terikat fitat
akan terlepas dan dapat dimanfaatkan oleh tubuh. Penelitian ini bertujuan untuk
mengukur degradasi asam fitat dan hubungannya dengan kecernaan bahan kering
pakan dan absorbsi mineral. Mengkaji hubungan kecernaan bahan kering metode
acid insoluble ash (AIA) dengan kecernaan bahan kering metode koleksi total.
Percobaan dilakukan pada delapan ekor kambing peranakan Etawah (PE) laktasi
yang dibagi dua kelompok yaitu perlakuan 1 dan perlakuan 2. Kambing perlakuan 1
diberi pakan tanpa suplemen, sedangkan perlakuan 2 diberi pakan dengan suplemen
kedelai sangrai, vitamin A, D, E dan mineral khromium (Cr) organik dan selenium
(Se). Peubah yang diamati adalah kadar asam fitat, laju degradasi asam fitat,
kecernaan bahan kering, kecernaan nutrien (kecernaan protein kasar, kecernaan
lemak kasar, kecernaan serat kasar) dan absorbsi mineral (data sekunder). Kadar
asam fitat dianalisa menggunakan metode Davies & Reid (1979). Kecernaan bahan
kering dianalisa menggunakan metode AIA dan metode koleksi total. Analisis data
mengg