Peran Panglima Laot Terhadap Peningkatan Partisipasi Nelayan Dalam Pengelolaan Bersama Perikanan di Lampuuk Aceh Besar

PERAN PANGLIMA LAOT TERHADAP PENINGKATAN
PARTISIPASI NELAYAN DALAM PENGELOLAAN
BERSAMA PERIKANAN DI LAMPUUK ACEH BESAR

MUHAMMAD SADRI SUGRA

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Peran Panglima Laot
terhadap Peningkatan Partisipasi Nelayan dalam Pengelolaan Bersama Perikanan
adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2014
Muhammad Sadri Sugra
NIM I34100010

ABSTRAK
MUHAMMAD SADRI SUGRA. Peran Panglima Laot terhadap Peningkatan
Partisipasi Nelayan Dalam Pengelolaan Bersama Perikanan. Dibimbing oleh
SAHARUDDIN
Tujuan dari penelitian ini adalah (1) Menganalisis peran Panglima Laôt
terhadap peningkatan partisipasi nelayan dalam pengelolaan bersama perikanan dan
(2) Menganalisis pengaruh tingkat partisipasi nelayan terhadap aspek sosial,
ekonomi dan lingkungan. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif yang
didukung oleh kualitatif. Pengumpulan data dilakukan dengan kuesioner, observasi
dan wawancara mendalam. Hasil dari penelitian adalah peran Panglima Laot dalam
memberi informasi, mengawasi kegiatan, memberi semangat dan mewakili
kelompok pada pengelolaan bersama perikanan tergolong kuat, namun tidak
signifikan mempengaruhi peningkatan partisipasi walaupun nelayan menunjukkan
tingkat partisipasi yang tinggi. Berdasarkan dampaknya, nelayan merasakan

dampak yang tinggi dari pengelolaan bersama perikanan baik dari aspek sosial,
ekonomi, dan lingkungan. Analisis yang dilakukan menunjukkan tingkat partisipasi
berpengaruh terhadap aspek sosial dan lingkungan, namun tidak berpengaruh
terhadap aspek ekonomi nelayan.
Kata Kunci: panglima laot, pengelolaan bersama perikanan, partisipasi

ABSTRACT
MUHAMMAD SADRI SUGRA. The role of Panglima Laot to Increased
Fishermen’s Participation In Fisheries Co-Management. Supervised by
SAHARUDDIN
The purpose of this study are (1) to analyze the role of Panglima Laot to
increased fishing participation in fisheries co-management and (2) to analyze the
effect of the participation’s level of fishermen on the social, economic and
environmental aspect. This study used a quantitative approach that is supported by
qualitative. Data was collected through questionnaires, observations and in-depth
interviews. Results of the study is the Panglima Laot’s role in giving information,
supervise activities, encouraging and represent the group in fisheries comanagement is quite strong, but did not significantly affect the increasing of
fishermen’s participation although the fishermen showed high levels of
participation. Under its impact, the fishermens felt good impact of fisheries comanagement both from social, economic, and environmental. The analysis showed
that the participation’s level significantly affect the social and environmental

aspects, but has no effect on the economic aspects.
Keywords: panglima laot, fisheries co-management, participation

PERAN PANGLIMA LAOT TERHADAP PENINGKATAN
PARTISIPASI NELAYAN DALAM PENGELOLAAN
BERSAMA PERIKANAN DI LAMPUUK ACEH BESAR

MUHAMMAD SADRI SUGRA

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
pada
Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan
Masyarakat

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR

2014

Judul Skripsi : Peran Panglima Laot Terhadap Peningkatan Partisipasi Nelayan
Dalam Pengelolaan Bersama Perikanan di Lampuuk Aceh Besar
Nama
: Muhammad Sadri Sugra
NIM
: I34100010

Disetujui oleh

Dr Ir Saharuddin, Msi
Pembimbing

Diketahui oleh

Dr Ir Siti Amanah, MSc
Ketua Departemen

Tanggal Lulus: __________________


PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang selalu memberikan
rahmat dan anugerah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir
skripsi yang berjudul “Peran Panglima Laot terhadap Peningkatan Partisipasi
Nelayan dalam Pengelolaan Bersama Perikanan (Mukim Lampuuk
Kecamatan Lhoknga Kabupaten Aceh Besar)” dengan baik tanpa ada kendala
dan masalah yang berarti.
Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini dapat terselesaikan dengan
baik karena dukungan dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis
mengucapkan rasa terima kasih kepada:
1. Dr. Ir. Saharuddin, Msi, dosen pembimbing skripsi yang telah banyak
mencurahkan waktu untuk membimbing dan memberikan masukan yang
sangat berarti selama penulisan skripsi ini.
2. Dr. Arif Satria, SP, Msi, dosen pembimbing akademik yang telah
membimbing saya dan memberi masukan dalam hal akademik.
3. Ayahanda tercinta Mulyadinsyah, Ibunda tercinta Rosdiana, Kakak dan
adik-adik tercinta Kak Gitra, Sadakta , Diat, Opal, dan Faiz yang merupakan
sumber motivasi utama bagi penulis. Tidak lupa kepada Yahnek, Nenek,
Nekgam, Bunda Ot, Muani, Bunda Pida dan seluruh keluarga besar di Aceh

yang telah memberikan dukungan secara moril dan materil kepada penulis
selama masa perkuliahan.
4. Keluarga satu kontrakan Bandow Bagus, Dimas, Gerry, Iqbal, Reza, Bagus
Ndut, Mayong, Prehadi dan Agung yang banyak memberikan hiburan dan
semangat bagi penulis selama perkuliahan dan penulisan skripsi.
5. Teman-teman manggung Javanication Anggi, Zia, Ditha, Rere, Anna, dan
Kunti yang selalu membuat suasana hangat dan menghibur bagi penulis.
6. Teman-teman SKPM 47 yang tidak pernah berhenti menyemangati dan
menginspirasi penulis selama perkuliahan dan penulisan skripsi, khususnya
bagi teman satu bimbingan Jamal dan Eva yang selalu saling mengingatkan
dan menyemangati satu sama lain.
7. Teman KKP Extraordinary Kautsar, Tachur, Yunus, Yazka, Indah, Endah,
Dana, Miftah dan Fani yang menghibur dan mendukung satu sama lain.
8. Noni Gusmawan yang selalu memberikan semangat dan motivasi bagi
penulis selama perkuliahan, penelitian dan penulisan skripsi.
9. Dan seluruh pihak yang telah mendukung sehingga skripsi ini bisa
diselesaikan dengan baik.
Akhirnya, penulis memahami betul bahwa skripsi ini masih jauh dari kata
sempurna, oleh karena itu kritik dan saran yang tentunya membangun sangat
diharapkan. Kiranya skripsi ini bermanfaat bagi pihak-pihak yang membutuhkan.

Bogor, Agustus 2014
Muhammad Sadri Sugra

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Masalah Penelitian
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
PENDEKATAN TEORITIS
Panglima Laot
Pembangunan Wilayah Pesisir
Konsep Partisipasi dan Kepemimpinan
Kerangka Pemikiran
Hipotesis Penelitian

Definisi Operasional
PENDEKATAN LAPANGAN
Metode Penelitian
Lokasi dan Waktu Penelitian
Teknik Penentuan Informan dan Responden
Teknik Pengumpulan Data
Teknik Pengolahan dan Analisis Data
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
Kondisi Geografis dan Demografi
Aksesibilitas
Sistem Pelapisan Kepemimpinan Adat
Panglima Laot di Lampuuk
Potensi Sumberdaya Perikanan Lampuuk
Pengelolaan Bersama Perikanan Lampuuk
KARAKTERISTIK RESPONDEN
Karakteristik Berdasarkan Usia
Karakteristik Berdasarkan Tempat Tinggal
Karakteristik Berdasarkan Tingkat Pendidikan
PERAN PANGLIMA LAÔT SEBAGAI PEMIMPIN DALAM
PENGELOLAAN BERSAMA PERIKANAN LAMPUUK

Peran Panglima Laot dalam Program Penanaman Pohon
Peran Panglima Laot dalam Pembuatan Kolam Penangkaran Penyu

Halaman
vi
viii
ix
x
1
1
3
4
4
6
6
15
19
21
22
22

25
25
25
26
26
27
28
28
29
30
30
31
33
36
36
36
37
38
38
39


PARTISIPASI NELAYAN DALAM PENGELOLAAN BERSAMA
PERIKANAN LAMPUUK
Bentuk-bentuk Partisipasi Nelayan dalam Pengelolaan Bersama
Perikanan di Lampuuk
Tingkat Partisipasi Nelayan Pada Tahap Perencanaan
Tingkat Partisipasi Nelayan Pada Tahap Pelaksanaan
Tingkat Partisipasi Nelayan Pada Tahap Menikmati Hasil
Tingkat Partisipasi Nelayan Pada Tahap Evaluasi
Tingkat Partisipasi Nelayan dalam Program Penanaman Pohon
Tingkat Partisipasi Nelayan dalam Pembuatan Kolam Penangkaran
Penyu
Keterkaitan Bentuk-bentuk Partisipasi dengan Tahapan Partisipasi
PENGARUH PERAN PANGLIMA LAOT TERHADAP TINGKAT
PARTISIPASI NELAYAN DALAM PENGELOLAAN BERSAMA
PERIKANAN DI LAMPUUK
Pengaruh Peran Panglima Laot terhadap Tingkat Partisipasi Nelayan
pada Program Penanaman Pohon di Lampuuk
Pengaruh Peran Panglima Laot terhadap Tingkat Partisipasi Nelayan
pada Pembuatan Kolam Penangkaran di Lampuuk
DAMPAK
SOSIAL,
EKONOMI,
DAN
LINGKUNGAN
PENGELOLAAN BERSAMA PERIKANAN TERHADAP NELAYAN
Dampak Sosial
Dampak Ekonomi
Dampak Lingkungan
PENGARUH TINGKAT PARTISIPASI NELAYAN DALAM
PENGELOLAAN BERSAMA PERIKANAN TERHADAP ASPEK
SOSIAL, EKONOMI, DAN LINGKUNGAN
Pengaruh Tingkat Partisipasi Terhadap Aspek Sosial
Pengaruh Tingkat Partisipasi Terhadap Aspek Ekonomi
Pengaruh Tingkat Partisipasi Terhadap Aspek Lingkungan
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP

42
42
44
45
45
46
47
48
50

52
52
54
57
57
58
59

61
61
62
63
64
64
64
66
68
80

DAFTAR TABEL
Tabel 1
Tabel 2
Tabel 3
Tabel 4
Tabel 5
Tabel 6
Tabel 7
Tabel 8
Tabel 9
Tabel 10

Tabel 11

Tabel 12

Tabel 13
Tabel 14
Tabel 15

Tabel 16

Tabel 17
Tabel 18

Tabel 19

Halaman
Jadwal Pelaksanaan Penelitian
26
Kalender Musim Nelayan Lampuuk
32
Jumlah dan Persentase Usia Responden Menurut Golongan Usia
36
Jumlah dan Persentase Responden menurut Desa Tempat Tinggal
37
Jumlah dan Persentase Responden menurut Tingkat Pendidikan
37
Jumlah dan Presentase Responden menurut Peran Panglima Laot
39
dalam Program Penanaman Pohon
Jumlah dan Presentase Responden menurut Peran Panglima Laot
41
dalam Pembuatan Kolam Penangkaran Penyu
Jumlah dan Presentase Responden menurut Bentuk Partisipasi pada
43
Program Penanaman Pohon
Jumlah dan Presentase Responden menurut Bentuk Partisipasi pada
43
Pembuatan Kolam Penangkaran Penyu
Jumlah dan Presentase Responden menurut Tingkat Partisipasi pada
Tahap Perencanaan Program Penanaman Pohon dan Pembuatan
44
Kolam Penangkaran Penyu
Jumlah dan Presentase Responden menurut Tingkat Partisipasi pada
Tahap Pelaksanaan Program Penanaman Pohon dan Pembuatan
Kolam Penangkaran Penyu
45
Jumlah dan Presentase Responden menurut Tingkat Partisipasi pada
Tahap Menikmati Hasil Program Penanaman Pohon dan Pembuatan
Kolam Penangkaran Penyu
46
Jumlah dan Presentase Responden menurut Tingkat Partisipasi pada
Tahap Evaluasi Program Penanaman Pohon dan Pembuatan Kolam
46
Penangkaran Penyu
Jumlah Responden menurut Bentuk Partisipasi dan Hubungannya
dengan Tahapan Partisipasi Nelayan dalam Pengelolaan Bersama
Perikanan
50
Jumlah dan Presentase Responden menurut Hubungan antara Peran
Panglima Laot dengan Tingkat Partisipasi Nelayan dalam Program
53
Penanaman Pohon
Hasil uji statistik analisis regresi linear berganda pengaruh peran
Panglima Laot terhadap tingkat partisipasi nelayan dalam kegiatan
penanaman pohon
53
Jumlah dan Presentase Responden menurut Hubungan antara Peran
Panglima Laot dengan Tingkat Partisipasi Nelayan dalam
55
Pembuatan Kolam Penangkaran Penyu
Hasil uji statistik analisis regresi linear berganda pengaruh peran
Panglima Laot terhadap tingkat partisipasi nelayan dalam kegiatan
55
pembuatan kolam penangakaran penyu
Jumlah dan Presentase Responden menurut Dampak Sosial yang
diterima dari Pengelolaan Bersama Perikanan
58

Tabel 20
Tabel 21
Tabel 22
Tabel 23

Tabel 24

Tabel 25

Tabel 26

Jumlah dan Presentase Responden menurut Dampak Ekonomi yang
diterima dari Pengelolaan Bersama Perikanan
Jumlah dan Presentase Responden menurut Peningkatan
Pendapatan Sebelum dan Sesudah Pengelolaan Bersama Perikanan
di Lampuuk
Jumlah dan Presentase Responden menurut Dampak Lingkungan
yang diterima dari Pengelolaan Bersama Perikanan
Hasil uji statistik analisis regresi linear pengaruh tingkat partisipasi
nelayan dalam pengelolaan bersama perikanan terhadap dampak
sosial, ekonomi, dan lingkungan.
Jumlah dan Presentase Responden menurut Hubungan antara
Tingkat Partisipasi Nelayan dengan Dampak Sosial yang dirasakan
Nelayan
Jumlah dan Presentase Responden menurut Hubungan antara
Tingkat Partisipasi Nelayan dengan Dampak Ekonomi yang
dirasakan Nelayan
Jumlah dan Presentase Responden menurut Hubungan antara
Tingkat Partisipasi Nelayan dengan Dampak Lingkungan yang
dirasakan Nelayan

59
59
60

61

62

62

63

DAFTAR GAMBAR
Gambar 1
Gambar 2
Gambar 3
Gambar 4
Gambar 5
Gambar 6
Gambar 7
Gambar 8

Halaman
Kerangka Pemikiran
21
Grafik Jawaban Responden tentang Peran Panglima Laot dalam
Penanaman Pohon
38
Grafik Jawaban Responden tentang Peran Panglima Laot dalam
Pembuatan Kolam Penangkaran Penyu
40
Presentase Tingkat Partisipasi Nelayan pada Kegiatan
47
Penanaman Pohon di Lampuuk.
Jumlah Responden berdasarkan Tahap Partisipasi pada Program
48
Penanaman Pohon
Presentase Tingkat Partisipasi Nelayan pada Pembuatan Kolam
49
Penangkaran Penyu di Lampuuk.
Jumlah Responden berdasarkan Tahap Partisipasi pada
50
Pembuatan Kolaam Penangkaran Penyu
Peta Kawasan Lampuuk, Lhoknga
68

DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1
Lampiran 2
Lampiran 3
Lampiran 4
Lampiran 5

Peta Lokasi Penelitian
Daftar Anggota Nelayan Panglima Laot Lhokpasi Lampuuk
Pengolahan Data (Uji statistik)
Kuesioner
Dokumentasi Penelitian

Halaman
68
69
70
72
79

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Secara historis bangsa Indonesia dikenal sebagai pelaut yang ulung, mereka
dengan gagah berani mengarungi samudera yang luas hingga melintasi benua
(Anwar 2012). Berdasarkan hal tersebut, tidak bisa dipungkiri bahwa banyak
masyarakat Indonesia yang menggantungkan hidupnya di laut atau menjadi nelayan.
Seperti yang kita ketahui bahwa rata-rata nelayan bertempat tinggal di wilayah
pesisir. Wilayah pesisir sendiri dalam geografi dunia merupakan tempat yang
sangat unik, karena di tempat ini air tawar dan air asin bercampur dan menjadikan
wilayah ini sangat produktif serta kaya akan ekosistem yang memiliki
keanekaragaman lingkungan laut. Oleh karena itu dengan banyaknya potensipotensi yang dimiliki oleh wilayah pesisir, perlu dikelola secara bersama-sama dan
terpadu agar dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan.
Pembangunan dan pengelolaan wilayah pesisir sudah menjadi perhatian
pemerintah sejak jaman orde baru. Namun pada masa itu pengaturan wilayah pesisir
dan laut lebih banyak dilakukan oleh pemerintah pusat. Hal ini dapat dilihat pada
UU nomor 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang pasal 9 ayat 2 dimana dinyatakan
bahwa wilayah lautan dan wilayah udara diatur secara terpusat menurut undangundang. Berbeda ketika otonomi daerah hadir pada tahun 1999, yakni pada masa
reformasi. Dikeluarkannya UU Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
membuat Kabupaten/Kota memiliki kewenangan mengatur wilayah perairan yang
ada di wilayahnya sejauh 4 mil dari garis pantai. Selain itu juga diterbitkan UndangUndang Nomor 27 Tahun 2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulaupulau kecil (BPHN 2009).
Salah satu contoh pelaksanaan pembangunan di wilayah pesisir dan laut
adalah adanya pengelolaan perikanan. Pengelolaan bersama perikanan dapat
diartikan sebagai suatu model pengelolaan yang kolaboratif yang memadukan
antara unsur masyarakat pengguna (kelompok nelayan, pengusaha perikanan, dan
lain-lain) dan pemerintah yang juga dikenal dengan Co-Management. CoManagement perikanan dapat didefinisikan sebagai pembagian atau pendistribusian
tanggung jawab dan wewenang antara pemerintah dan masyarakat lokal dalam
mengelola sumberdaya perikanan. Berdasarkan definisi ini maka pemerintah dan
masyarakat bertanggungjawab bersama-sama dalam melakukan seluruh tahapan
pengelolaan perikanan. Melalui model ini, pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut
dilaksanakan dengan menyatukan lembaga-lembaga terkait terutama masyarakat
dan pemerintah serta stakeholder lainnya dalam setiap proses pengelolaan
sumberdaya, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pemanfaatan, dan pengawasan
(Alains et al. 2009).
Pelaksanaan pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut, dalam hal ini adalah
pengelolaan bersama perikanan, yang ditujukan untuk memberdayakan sosial
ekonomi masyarakat, maka masyarakat seharusnya memiliki kekuatan besar untuk
mengatur dirinya sendiri dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut di era
otonomi ini. Sehingga kontribusi dan partisipasi masyarakat berperan penting
dalam melancarkan pembangunan. Karena dengan adanya kontribusi dan
partisipasi masyarakat maka kebijakan yang diformulasikan tersebut akan lebih

2
menyentuh persoalan yang sebenarnya dan tidak merugikan kepentingan publik.
Oleh karena itu, sudah menjadi suatu kewajiban bahwa disetiap penyelenggaraan
program atau kegiatan yang berkaitan dengan pembangunan, partisipasi masyarakat
sebagai subjek pembangunan perlu diperhatikan.
Lubis (2009) menyatakan bahwa partisipasi masyarakat memiliki banyak
bentuk, mulai dari yang berupa keikutsertaan langsung masyarakat dalam program
pemerintahan maupun yang sifatnya tidak langsung, seperti berupa sumbangan
dana, tenaga, pikiran, maupun pendapat dalam pembuatan kebijakan pemerintah.
Namun demikian, ragam dan kadar partisipasi seringkali hanya ditentukan secara
masif, yakni dari banyaknya individu yang dilibatkan. Padahal partisipasi
masyarakat pada hakikatnya akan berkaitan dengan akses masyarakat untuk
memperoleh informasi. Selain itu Korten dalam Susantyo (2007) menyatakan
bahwa masyarakat akan mengalami kejenuhan apabila penyelenggaraan program
pembangunan tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat itu sendiri. Kejenuhan
tersebut mengindikasikan bahwa masyarakat sebagai sasaran program
pembangunan merasa tidak atau kurang dilibatkan, sehingga menggores minat serta
adanya ketidaksesuaian dengan nilai maupun tradisi setempat.
Berkaitan dengan hal tersebut, dalam proses pembangunan, khususnya di
wilayah pesisir, aspek lokalitas masyarakat setempat tidak bisa dikesampingkan.
Seperti yang kita ketahui bahwa masyarakat di daerah pedesaan, khususnya di
wilayah pesisir, memiliki pengetahuan lokal atau yang biasa disebut dengan
kearifan lokal yang mencerminkan karakteristik masyarakat di masing-masing
daerah tersebut. Kearifan lokal sendiri menurut Barkes (1999) dalam Naing et al.
(2009) dengan terminologi traditional ecological knowledge (TEK), adalah
kumpulan pengetahuan, praktik, keyakinan yang berkembang melalui proses
adaptif (penyesuaian) yang diwariskan dari generasi ke generasi melalui saluran
(transmisi) budaya berkaitan dengan hubungan antara makhluk hidup (termasuk
manusia) dengan lingkungan sekitarnya.
Dalam hal pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut, masyarakat adat/lokal di
Indonesia memiliki beberapa kearifan lokal, salah satu contohnya dan sekaligus
menjadi fokus dalam penelitian ini adalah adanya Panglima Laôt di Aceh.
Penelitian Jufri (2008) menjelaskan bahwa Panglima Laôt adalah pemimpin
nelayan yang secara hukum adat laut (hukum adat laôt) bertugas
mengkoordinasikan satu atau lebih wilayah operasional nelayan, dan minimal satu
pemukiman nelayan. Dengan demikian tugas dan tanggung jawab Panglima Laôt
diantaranya mengawasi dan memelihara pelaksanaan hukum adat laut,
menyelesaikan berbagai pertikaian sehubungan dengan penangkapan ikan dan
menyelenggarakan upacara-upacara adat laut dan lainnya.
Wardah (2004) menuliskan bahwa sebagai suatu lembaga adat, hukum adat
laôt tersebut berkuasa mengatur eksploitasi lingkungan laut didalam wilayah laut
yang menjadi kekuasaannya. Kekuasaan mengatur lingkungan laut didalam
jurisdiksinya bersifat otonom tidak bergantung kepada kekuasaan manapun juga.
Peran Panglima Laôt disadari menjadi sangat strategis dalam upaya pembangunan
di Aceh, khususnya di wilayah pesisir. Hal tersebut dibuktikan secara rinci dalam
Pasal 6 Perda No. 2 Tahun 1990. Menurut pasal tersebut fungsi lembaga adat yang
didalamnya termasuk lembaga Panglima Laôt adalah:
1. Membantu pemerintah dalam memperlancar pelaksanaan pembangunan.
2. Melestarikan hukum adat, adat istiadat dan kebiasaan masyarakat.

3
3. Memberi kedudukan hukum menurut hukum adat terhadap hal-hal yang
menyangkut keperdataan adat.
4. Menyelenggarakan pembinaan dan pengembangan masyarakat.
Provinsi Aceh sendiri terletak di ujung barat Indonesia yang secara geografis
dikelilingi oleh laut yaitu Selat Malaka, Samudera Hindia dan pantai utaranya
berbatasan dengan Selat Benggala. Wilayah pesisirnya memiliki panjang garis
pantai 1.660 km dengan luas wilayah perairan laut seluas 295.370 km² terdiri dari
laut wilayah (perairan teritorial dan perairan kepulauan) 56.563 km² dan Zona
Ekonomi Eksklusif (ZEE) 238.807 km². Kondisi ini sangat strategis untuk usaha
perikanan, khususnya penangkapan ikan di laut dan budidaya tambak. Sehingga
menjadikan provinsi ini sebagai salah satu wilayah yang memiliki potensi besar di
sekitar kelautan dan perikanan dan mempunyai peluang besar menjadi sektor
dominan dan andalan yang dapat mengangkat serta meningkatkan pendapatan dan
kesejahteraan masyarakat Aceh di masa depan (BPHN 2009).
Penelitian ini akan dilakukan di Lampuuk. Wilayah ini merupakan bagian
dari Kecamatan Lhoknga, Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Aceh. Penduduk desa
ini rata-rata menggantungkan hidup di laut sebagai nelayan. Sebagai wilayah yang
sebagian besarnya adalah kawasan pesisir, kearifan lokal Panglima Laôt
merupakan kelembagaan yang berjalan disini. Di Lampuuk ini terdapat kawasan
yang bernama Kawasan Bina Bahari, dimana di kawasan tersebut dilakukan
pengelolaan perikanan secara bersama yang melibatkan masyarakat pesisir,
pemerintah dan Panglima Laôt. Sebagai pemimpin lembaga yang mengatur hampir
seluruh kegiatan yang berhubungan dengan kelangsungan hidup masyarakat pesisir,
Panglima Laôt diharapkan dapat meningkatkan partisipasi masyarakat dalam
pengelolaan bersama perikanan ini. Oleh karena itu, berdasarkan pentingnya
partisipasi masyarakat dalam pengelolaan perikanan di wilayah pesisir Aceh yang
tentunya berpijak pada aspek kearifan lokal masyarakat setempat, yakni lembaga
Panglima Laôt, maka menarik bagi penulis untuk meneliti tentang peran Panglima
Laôt terhadap peningkatan partisipasi nelayan dalam pengelolaan bersama
perikanan dan bagaimana dampaknya terhadap nelayan di Lampuuk, Aceh
Besar.
Masalah Penelitian
Terwujudnya partisipasi masyarakat dalam pembangunan akan membuka
peluang masyarakat untuk menyalurkan tenaga dan aspirasinya. Dengan demikian
tidak berlebihan jika menyimpulkan bahwa partisipasi masyarakat menjadi kunci
kesuksesan sebuah pembangunan. Berkaitan dengan hal tersebut, peran Panglima
Laôt sebagai pemimpin hukum adat laut di Aceh yang bertugas mengatur
pengelolaan dan seluruh kepentingan yang ada di pesisir Aceh, tidak bisa
dikesampingkan. Mengingat bahwa rentannya sumberdaya pesisir dan laut terhadap
eksploitasi yang berujung pada kerusakan, maka keterlibatan masyarakat dalam
pengelolaan bersama perikanan yang juga melibatkan pemerintah dan Panglima
Laôt perlu diwujudkan. Oleh karena itu, menarik dan penting bagi penulis untuk
menganalisis bagaimana peran Panglima Laôt terhadap peningkatan partisipasi

4
nelayan dalam pengelolaan bersama perikanan di Lampuuk, Kabupaten Aceh
Besar?
Pembangunan yang baik adalah pembangunan yang berkelanjutan.
Pembangunan yang berkelanjutan tersebut tentunya bisa dicapai jika pembangunan
tersebut tepat sasaran, artinya kebutuhan dan aspirasi masyarakat di daerah yang
bersangkutan terakomodasi dengan baik. Kebutuhan dan aspirasi tersebut tentunya
akan terakomodasi dengan adanya partisipasi dari masyarakat dalam proses
pembangunan tersebut. Berkaitan dengan hal ini, pengelolaan bersama perikanan
juga merupakan proses pembangunan di wilayah pesisir yang tentunya memiliki
dampak bagi masyarakat. Dampak tersebut bisa dilihat dari sisi sosial budaya,
lingkungan dan ekonominya. Oleh karena itu, perlu dikaji mengenai bagaimana
pengaruh tingkat partisipasi nelayan dalam Pengelolaan Bersama Perikanan
terhadap dampak sosial, ekonomi dan lingkungan?
Tujuan Penelitian
Berdasarkan uraian latar belakang dan rumusan masalah di atas, penulisan
proposal penelitian ini bertujuan untuk:
1. Menganalisis peran Panglima Laôt terhadap peningkatan partisipasi
nelayan dalam pengelolaan bersama perikanan di Lampuuk, Lhoknga,
Kabupaten Aceh Besar.
2. Menganalisis pengaruh tingkat partisipasi nelayan dalam Pengelolaan
Bersama Perikanan terhadap dampak sosial, ekonomi dan lingkungan?
Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan memiliki manfaat dan berguna bagi beberapa
pihak, antara lain.
1. Kalangan Akademisi
Penelitian ini diharapkan bisa menjadi salah satu sumber informasi
dan dapat menambah khasanah penelitian mengenai kearifan lokal
masyarakat pesisir, khususnya Panglima Laôt. Selain itu penelitian ini
diharapkan juga bisa menjadi acuan atau referensi bagi para akademisi
untuk melakukan penelitian yang lebih jauh mengenai peran kearifan lokal
dalam upaya pembangunan
2. Bagi Pemerintah
Penelitian ini diharapkan bisa menjadi bahan pertimbangan bagi para
pembuat kebijakan atau pemerintah baik di tingkat daerah maupun pusat
dalam membuat kebijakan-kebijakan yang tentunya mempertimbangkan
aspek sosial budaya masyarakat nelayan. Selain itu penelitian ini juga
diharapkan bisa menjadi acuan untuk pemerintah dalam membuat kebijakan
mengenai pelestarian budaya lokal sebagai aset yang berharga bagi
masyarakat dan daerah yang bersangkutan.
3. Bagi Masyarakat
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran kepada
masyarakat mengenai pentingnya partisipasi dalam proses pembangunan.

5
Selain itu juga dapat memberi kesadaran pada masyarakat akan pentingnya
melestarikan kebudayaan salah satunya dengan mempertahan nilai-nilai
kearifan lokal yang mereka pegang dalam upaya pembangunan demi
kesejahteraan masyarakat.

6

PENDEKATAN TEORITIS
Panglima Laôt
Sejarah Panglima Laôt
Masyarakat nelayan Aceh merupakan nelayan yang bertempat tinggal di
wilayah pesisir yang bermata pencaharian menangkap ikan di laut. Dalam
kehidupan sosial nelayan di wilayah pesisir Aceh, terdapat norma-norma tradisi
yang hidup dan berkembang di kalangan masyarakat nelayan Aceh. Atas dasar
norma-norma tersebut, kehidupan masyarakat nelayan berjalan dengan adat istiadat
yang mengkultur secara turun temurun. Adat istiadat yang berlaku dan berkembang
secara umum di wilayah pesisir Aceh adalah adat laôt. Dalam prosesnya sendiri,
adat laôt dipimpin oleh seseorang yang dipercayai nelayan yaitu Panglima Laôt.
Wardah (2004) menuliskan bahwa sebagai suatu lembaga adat, hukum adat laôt
tersebut berkuasa mengatur eksploitasi lingkungan laut didalam wilayah laut yang
menjadi kekuasaannya. Kekuasaan mengatur lingkungan laut didalam jurisdiksinya
bersifat otonom tidak bergantung kepada kekuasaan manapun juga.
Dalam sejarah Panglima Laôt sebagai pemimpin masyarakat di wilayah
pesisir Aceh dapat diidentifikasi mulai dari pemerintahan Sultan Iskandar Muda
(1607-1637), masa penjajahan kolonial Belanda (1904-1942), masa pendudukan
Jepang (1942-1945), dan setelah Indonesia merdeka hingga sekarang.
Kelembagaan Panglima Laôt sebagai lembaga adat di masyarakat wilayah pesisir
Aceh telah ada sejak masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda dari kesultanan
Samudra Pasai. Di masa lalu, Panglima Laôt merupakan perpanjangan kedaulatan
Sultan atas wilayah maritim di Aceh. Dalam mengambil keputusan, Panglima Laôt
berkoordinasi dengan uleebalang1, yang menjadi penguasa wilayah administratif.
Menurut C. Van Vollen Hoven tentang Panglima Laôt, dalam hasil “duek
pakat”2 adat laôt atau Panglima Laôt se-Aceh, Panglima Laôt sejak jaman dulu
sedah menjadi salah satu lembaga resmi yang diatur oleh negara. Sejak jaman dulu
di Aceh memang sudah ada peraturan sampai seberapa jauh nelayan dapat
beroperasi untuk menangkap ikan di laut. Pengaturan tersebut merupakan terusan
dari surat yang diberikan Sultan kepada pembesar wilayah. Berdasarkan hal
tersebut, tampak bahwa Hukôm Adat Laôt memiliki kedudukan yang kuat pada
masa itu dengan dasar hukum yang jelas atas dasar ketetapan langsung dari Sultan
(Sulaiman 2010).
Legitimasi Hukum
Lembaga Adat Laôt adalah lembaga yang tidak hanya diakui keberadaannya
oleh masyarakat saja, namun pemerintah dan negara juga mengakuinya. Hal
tersebut dibuktikan dengan adanya Undang-Undang No. 44 tahun 1999 tentang
penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh, dimana pada
bagian ketiga tentang penyelenggaraan kehidupan adat pasal 7 menyebutkan
bahwa:
1
2

Ulee Balang artinya pemerintah atau penguasa (pemerintahan daerah)
Duek pakat artinya bermusyawarah

7
“Daerah dapat membentuk lembaga adat dan mengakui lembaga adat
yang sudah ada dan sesuai dengan kedudukan masing-masing di
provinsi, kabupaten, kecamatan, kemikiman dan kelurahan/gampong.”
Selain itu Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Aceh No. 7 Tahun
2000 Tentang Penyelenggaraan Kehidupan Adat pada pasal 1 ayat 5 menyebutkan:
“Lembaga Adat adalah suatu organisasi kemasyarakatan adat yang dibentuk oleh
suatu masyarakat hukum adat tertentu yang mempunyai wilayah tertentu dan harta
kekayaan sendiri serta berhak dan mempunyai wewenang untuk mengatur dan
mengurus serta menyelesaikan hal-hal yang berkaitan dengan Adat Aceh”. Oleh
karena itu, berdasarkan hal tersebut Lembaga Adat Laôt harus tetap dipertahankan,
dimanfaatkan, dipelihara serta diberdayakan oleh masyarakat Aceh dan tentunya
dengan dukungan pemerintah (Wardah 2004).
Sementara itu, dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang
Pemerintahan Aceh (UUPA). Keberadaan lembaga adat (termasuk Panglima Laôt)
mendapatkan pengaturan tersendiri dalam Pasal 98 dan 99 BAB XIII tentang
Lambaga Adat. Pasal 98 Ayat (2) menyatakan bahwa penyelesaian permasalahan
sosial kemasyarakatan secara adat ditempuh melalui lembaga adat. Hal ini berarti
fungsi penyelesaian sengketa masyarakat dari Panglima Laôt tetap mendapatkan
pengakuan. Untuk membangun kembali (revitalisasi) Hukum Adat Laôt, khususnya
budaya adat Aceh kiranya perlu memaknai kembali (re-thinking) arti dan tujuan
sebuah budaya dan memfungsikan Panglima Laôt dalam menyelesaikan sengketasengketa yang terjadi di laut (Kurniawan 2008).
Sebagai lembaga adat yang berkembang di Aceh, Adat Laôt memiliki
pemimpin yang disebut dengan Panglima Laôt. Hal tersebut menjadi jelas dengan
dikeluarkannya Perda Daerah Istimewa Aceh No. 2 Tahun 1990 yang menjelaskan
bahwa Panglima Laôt adalah orang yang memimpin adat istiadat, kebiasaankebiasaan yang berlaku dalam penangkapan ikan di lautan, termasuk dalam hal ini
mengatur tempat atau areal penangkapan ikan yang dilakukan oleh nelayan (Djufri
2008). Kelembagaan Panglima Laôt menjadi lebih kuat dan efektif dengan adanya
pengakuan secara formal dari pemerintah setempat yaitu dengan diterbitkannya
Qanun Aceh Nomor 9 tahun 2008 tentang Pembinaan Kehidupan Adat dan Adat
Istiadat serta Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2008 tentang Lembaga Adat oleh
Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam (Kurniasari dan Nurlaili 2012).
Struktur Kelembagaan Panglima Laôt
Struktur organisasi vertikal Panglima Laôt mulai ditata pada Musyawarah
Panglima Laôt se-Nanggroe Aceh Darussalam di Banda Aceh pada Juni 2002. Dari
strukturnya, Panglima Laôt memiliki dua tingkatan, yaitu Panglima Laôt Lhôk dan
Panglima Laôt. Wilayah Lhôk adalah suatu wilayah pesisir dimana nelayan
berdomisili dan sebagian besar melakukan usaha penangkapan ikan atau bermata
pencaharian utama menangkap ikan di laut. Panglima Laôt di tingkat lhôk,
disingkat Panglima Lhôk, bertanggung jawab menyelesaikan perselisihan dan
persengkataan nelayan di tingkat lhôk. Bila perselisihan tidak selesai di tingkat lhôk,
maka diajukan ke tingkat yang lebih tinggi, yaitu Panglima Laôt Kabupaten, yang
disebut Panglima Laôt Chik atau Chik Laôt.

8
Tugas Panglima Laôt tingkat kabupaten/kota adalah untuk menyelesaikan
sengketa tentang kegiatan mencari ikan di laut, perselisihan tentang adat (hukum
adat) laut antara Panglima Laôt Lhôk dan Pawang Laôt yang tidak terselesaikan
pada tingkat Panglima Laôt Lhôk. Tugas utama lainnya adalah mengatur kenduri
laôt bersamaan dengan nelayan dibawah koordinir Panglima Laôt Lhôk (Jufri 2008).
Selanjutnya bila perselisihan mencakup antar kabupaten, provinsi atau bahkan
internasional, akan diselesaikan di tingkat provinsi oleh Panglima Laôt Provinsi.
Secara lebih khusus dalam Wardah (2004) pertemuan para Panglima Laôt
se-Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang ditetapkan di Langsa Aceh Timur
pada tanggal 25 Januari 1992 memutuskan bahwa Lembaga Adat Laot adalah
Hukum Adat Laot dan adat istiadat yang diperlukan masyarakat nelayan untuk
menjaga ketertiban dalam penangkapan ikan dan kehidupan masyarakat nelayan di
pantai. Sementara itu dipertegas pula bahwa Lembaga Adat dan Hukum Adat Laot
masing-masing daerah kabupaten dan kota dalam Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam merupakan lembaga dan Hukum Adat yang berlaku didaerahnya.
Nelayan atau pengusaha perikanan yang melakukan penangkapan ikan di daerah
perairan kabupaten atau kota tersebut harus tunduk pada lembaga dan hukum adat
yang berlaku di daerah tersebut.
Lembaga Persidangan Hukum Adat Laut terdiri dari:
a. Lembaga Persidangan Hukum Adat Laot Lhok.
1. 3 orang penasehat
2. Panglima Laôt Lhok bersangkutan (ketua lembaga persidangan)
3. 1 orang wakil ketua
4. 1 orang sekretaris (bukan anggota)
5. 3 orang dari staf lembaga (anggota)
b. Lembaga Persidangan Hukum Adat Laot Kabupaten/Kota.
1. 3 orang penasehat sekaligus sebagai pembina (Kadis Perikanan Tk. II,
Ketua Lembaga Adat Kebudayaan ceh Tk. II, dan Ketua HNSI
Kabupaten/Kota)
2. Panglima Laôt/ Panglima Laôt Chik bersangkutan (ketua lembaga
persidangan)
3. 1 orang wakil ketua
4. 1 orang sekretaris bukan anggota
5. Seluruh Panglima Laôt Lhok sebagai anggota kecuali Panglima Laôt
Lhok dari daerah sengketa merupakan staf lembaga.
Wilayah Kekuasaan Panglima Laôt
Wilayah kekuasaan Panglima Laôt mulai dari wilayah pesisir pantai hingga
ke laut lepas. Ruang fisik wilayah pesisir pantai yang menjadi kewenangan
Panglima Laôt meliputi: bineh pasie (tepi pantai), leun pukat (kawasan untuk tarik
pukat darat), kuala dan teupien (tepian pendaratan peuraho, baik di kawasan teluk
maupun kuala), dan laot luah (laut lepas). Menurut Djuned, wilayah kekuasaan
Panglima Laôt ke arah laut lepas pada prinsipnya mengikuti kaedah hukum sejauh
mana sumberdaya laut itu bisa dikelola secara ekonomis oleh masyarakat adat laut.
Sedangkan ruang fisik yang berhubungan dengan ekosisitem pantai meliputi: uteun
bangka (hutan bakau), uteun pasie, uteun aron (hutan cemara), neuheun (tambak),
dan lancang sira (ladang garam).

9
Secara lebih rinci, wilayah kekuasaan Panglima Laôt diuraikan dalam
Wetlands (2007) sebagai berikut.
a. Bineh Pasie
Bineh pasie (tepi pantai) adalah kawasan di tepi pantai terhitung mulai
dari pecahnya ombak hingga ke tempat dimana tanaman tahunan tidak bisa
tumbuh, paling hanya ditumbuhi oleh tanaman tapak kuda. Bineh pasie
merupakan kawasan darat yang berada dalam pengawasan adat laot
karenanya penggunaan dan perubahan peruntukan kawasan bineh pasie untuk
kepentingan selain kepentingan masyarakat nelayan haruslah atas persetujuan
dari masyarakat nelayan setempat. Bineh Pasie merupakan wilayah
kewenangan lembaga Panglima Laôt untuk mengatur dan mengawasi
pemanfaatannya, khususnya untuk kesejahteraan kaum nelayan.
b. Leun Pukat
Leun pakat adalah kawasan bineh pasie yang digunakan untuk kegiatan
menarik pukat darat (pukat banting atau pukat Aceh). Leun Pukat letaknya
membujur dari tepi pantai hingga laut yang ukurannya sesuai dengan
kebutuhan mendaratkan ikan bagi pukat darat. Leun Pukat merupakan
kawasan yang dilindungi oleh adat dan tidak boleh dipergunakan untuk
keperluan lain tanpa izin dari masyarakat nelayan. Teupien merupakan tempat
nelayan mendaratkan perahunya. Sebagai salah satu pusat kegiatan nelayan
disaat pulang melaut, penggunaan teupin diatur dan dilindungi oleh adat.
Dengan demikian, kepentingan nelayan atas kawasan ini tetap terpelihara dan
terjamin keberadaannya.
c. Uteun Bangka
Uteun bangka (hutan bakau) merupakan kawasan penyanggga bagi
kehidupan di pesisir pantai. Di beberapa tempat seperti di Kabupaten Aceh
Besar dan Aceh Barat berlaku adat; siapa yang menanam pohon bakau di
suatu perairan, maka yang bersangkutan berhak atas tanaman tersebut.
Namun karena pengelolaannya tidak terkontrol, penanaman pohon bakau
terus meluas, sehingga tidak jelas lagi kepemilikannya. Disinilah peran
Panglima Laôt dalam mengatur pengelolaan hutan bakau di pesisir Aceh.
d. Uteun Aroen
Uteun aroen (hutan cemara) merupakan kawasan penyangga di tepi
pantai yang terdiri dari pohon cemara. Perairan yang dekat dengan pesisir
pantai yang banyak pohon cemara berdasarkan pengalaman nelayan setempat
diyakini sangat disukai oleh kawanan ikan tertentu, terutama molusca
(kerang-kerangan), kakap, kerapu dan lain-lain dimana habitat ikan tersebut
lebih tertarik kepada suhu iklim sekitar kawasan pantai yang ditumbuhi pohon
cemara.
e. Uteun Pasie
Uteun pasie (hutan pantai) adalah sebutan untuk kawasan tajuk
pepohonan hutan yang tumbuh di pinggir pantai. Uteun pasie merupakan
kawasan hutan yang dilindungi untuk kepentingan keseimbangan lingkungan
di kawasan pesisir.

10
Fungsi dan Tugas Panglima Laôt
Panglima Laôt adalah pemimpin nelayan yang secara hukum adat laut
(hukum adat laôt) bertugas mengkoordinasikan satu atau lebih wilayah operasional
nelayan, dan minimal satu pemukiman nelayan. Dengan demikian tugas dan
tanggung jawab Panglima Laôt diantaranya mengawasi dan memelihara
pelaksanaan hukum adat laut, menyelesaikan berbagai pertikaian sehubungan
dengan penangkapan ikan dan menyelenggarakan upacara-upacara adat laut dan
lainnya.
Secara khusus, Panglima Laôt berfungsi untuk membantu Kheucik 3 di
bidang kelautan. Dalam hal ini, Panglima Laôt dibantu oleh Syahbandar, yakni
orang yang memimpin dan mengatur perahu, lalu lintas kapal/perahu. Hal tersebut
tertulis dalam Pasal 1 ayat 13, 14, 15, 16 dan ayat 17 Perda Nomor 7 Tahun 2000.
Dalam menjalankan fungsinya, maka tugas dan peran Panglima Laôt
berdasarkan hasil musyawarah Panglima Laôt se-Aceh yang dilaksanakan pada
tanggal 6-7 Juni, Tahun 2000 adalah sebagai berikut.
1. Memelihara dan mengawasi ketentuan-ketentuan dalam Hukum Adat Laôt
2. Mengkoordinasikan dan mengawasi setiap usaha penangkapan ikan di laut
3. Menyelesaikan perselisihan atau sengketa yang terjadi diantara sesama
nelayan atau kelompoknya
4. Mengurus dan menyelenggarakan upacara adat laôt
5. Menjaga dan mengawasi agar pohon-pohon di tepi pantai/sungai tidak
ditebang
6. Merupakan badan penghubung antara nelayan dengan pemerintah
7. Meningkatkan taraf hidup masyarakat nelayan, dan
8. Mengatur jadwal acara-acara ritual yang berhubungan dengan masyarakat
nelayan (misalnya: Khanduri Laôt).
Berdasarkan uraian fungsi dan tugas Hukum Adat Laot di atas, bisa
dikatakan bahwa jelas fungsi dan tugas dari lembaga Panglima Laôt tersebut
sepenuhnya hanya dapat terlaksana apabila memiliki kekuatan dan pengakuan
hukum yang kuat dan tetap dalam struktur pemerintahan sehingga mempunyai
wewenang penuh dalam menjalankannya.
Aturan Adat Panglima Laôt
Kelembagaan Panglima Laôt merupakan tatanan yang dibuat oleh
masyarakat dalam menjalankan tiga fungsi, yakni fungsi religi, ekonomi dan sosial.
Fungsi religi terkait dengan hubungan para nelayan dengan tuhan, fungsi sosial
berarti hubungan antar sesama nelayan, dan fungsi ekonomi adalah hubungan
nelayan dengan alam sehingga berdampak positif pada kegiatan ekonomi
masyarakat nelayan. Peran Panglima Laôt sangat strategis dalam rangka
pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya laut secara bijaksana agar ketiga fungsi
tersebut laut dapat tereksplorasi secara optimal dan seimbang. Hal ini terlihat dalam
setiap pasal demi pasal aturan Panglima Laôt selalu mengandung nilai religi,
ekonomi, dan sosial. Pemanfaatan fungsi ekonomi dan fungsi sosial dari laut harus
selalu selaras dengan fungsi religinya. Dengan kata lain, segala bentuk eksplorasi
3

Kheucik artinya kepala desa

11
laut dan hubungan antar pelaku dalam memanfaatkan laut harus mempunyai nilainilai ibadah menurut syariat Islam.
Secara rinci hari pantang melaut yang ditetapkan oleh Panglima Laôt
diuraikan dalam Wetlands (2007) sebagai berikut.
a. Kenduri adat laot
Kenduri adat laot dilaksanakan paling kurang 3 tahun sekali atau
tergantung kesepakatan dan kesanggupan nelayan setempat dinyatakan 3
hari pantang melaut pada acara kenduri tersebut dihitung sejak keluar
matahari pada hari kenduri hingga tenggelam matahari pada hari ketiga.
b. Hari Jum’at
Dilarang melaut selama 1 hari terhitung sejak tenggelam matahari pada
hari kamis hingga terbenam matahari pada hari jumat.
c. Hari Raya Iedul Fitri
Dilarang melaut selama 2 hari dihitung sejak tenggelam matahari pada hari
Meugang hingga terbenam matahari pada kedua Hari Raya.
d. Hari Raya Iedul Adha
Dilarang melaut selama 3 hari dihitung sejak tenggelam matahari pada hari
meugang hingga terbenam matahari padari ketiga Hari Raya.
e. Hari Kemerdekaan tanggal 17 Agustus
Dilarang melaut selama 1 hari dihitung sejak tenggelam matahari pada
tanggal 16 Agustus hingga terbenam matahari pada tanggal 17 Agustus.
f. Setiap tanggal 26 Desember
Dilarang melaut selama 1 hari dihitung sejak tenggelam matahari pada
tanggal 25 Desember hingga terbenam matahari pada tanggal 26 Desember.
Larangan ini untuk mengenang peristiwa tsunami yang terjadi pada
tanggal 26 Desember 2004.
Pantangan ini mengandung nilai religi, nilai ekonomi dan sosial. Selain
sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Tuhan YME sehingga mentalitas
yang baik selalu terjaga, adanya hari pantang melaot ini berdampak positif pula
terhadap stabilisasi ketersediaan ikan di laut. Dalam satu tahun, terdapat kurang
lebih 60 hari dimana nelayan tidak melalut. Dengan demikian terdapat jeda
dimana laut dapat melakukan rehabilitasi kondisi lingkungan baik segi kualitas
berupa perbaikan lingkungan a biotik maupun segi kuantitas berupa restoking
ikan dan biota lainnya. Dengan demikian stabilisasi lingkungan laut dapat
terjaga sehingga dapat memenuhi kebutuhan masyarakat baik untuk generasi
sekarang maupun generasi yang akan datang.
Sedangkan fungsi sosial dari hari pantang melaut adalah adanya waktu
dimana warga masyarakat baik sesama nelayan maupun antara nelayan dengan
komunitas lain bisa bersilaturahim untuk menjaga rasa solidaritas, dan toleransi
sehingga ikatan sosial terjalin dengan baik. Hal ini dapat menjaga stabilisasi
kondisi sosial kemasyarakatan sehingga dapat menekan terjadinya konflik sosial.
Rendahnya potensi konflik menciptakan kondisi yang kondusif bagi kegiatan
ekonomi. Selain itu terkait dengan sistem teknologinya, alat tangkap yang
digunakan oleh nelayan tidak boleh bersifat merusak seperti pukat langga,
pemboman, pembiusan dan lain-lain. Jika hal ini dilakukan selain terkena sanksi
adat yang telah ditetapkan oleh Panglima Laôt juga akan berhadapan dengan
pihak yang berwajib (Kurniasari dan Nurlaili 2012).

12
Adat Pemeliharaan Lingkungan Laôt
Aturan adat Panglima Laôt juga terkait dengan pemeliharaan lingkungan laut,
dimana para nelayan dalam menjalankan kegiatan melautnya harus tetap menjaga
kelestarian sumberdaya laut. Adat pemeliharaan lingkungan laut secara rinci
diuraikan sebagai berikut.
a. Dilarang melakukan pemboman, peracunan, pembiusan, penglistrikan,
pengambilanterumbu karang dan bahan-bahan lain yang dapat merusak
lingkungan hidup ikan dan biota lainnya.
b. Dilarang menebang/merusak pohon-pohon kayu di pesisir pantai laut seperti
pohon arun/cemara, pandan, ketapang, bakau dan pohon lainnya yang hidup
di pantai.
c. Dilarang menangkap ikan/biota laut lainnya yang dilindungi (lumba-lumba,
penyu dan lain sebagainya).
d. Dilarang penggunaan jaring di area terumbu karang (daerah pemijahan).
e. Adanya pengaturan penangkapan ikan yang bertanda (tagging).
Selain itu, terkait dengan teknologi penangkapan ikan, peraturan yang
dibuat oleh Panglima Laôt tidak menyalahi aturan hukum kemaritiman. Seperti
dalam Keppres Nomor 39 Tahun 1980 yang melarang kapal ikan menggunakan alat
tangkap trawl, begitu juga dengan peran kelembagaan Panglima Laôt yang
menetapkan aturan yang sama, yakni melarang kapal ikan menggunakan alat
tangkap trawl. Hukum negara dan hukôm adat laôt sama-sama melarang kapal ikan
yang menggunakan alat tangkap trawl beroperasi diperairan laut Provinsi Nanggroe
Aceh Darussalam. Dengan demikian, terlihat bahwa hukôm adat laôt memiliki
dasar hukum yang kuat untuk mengambil tindakan yang melanggar peraturanperaturan yang ditetapkan oleh Panglima Laôt dan hukum negara (Jufri 2008).
Mekanisme pengambilan keputusan dalam kelembagaan Panglima Laôt
menempatkan semua nelayan mempunyai hak untuk terlibat dalam pengelolaan
sumberdaya laut. Hal ini dibuktikan dengan adanya rapat mingguan para nelayan
tingkat lhok yang diselenggarakan di balai adat untuk membahas permasalahan dan
perkembangan isu-isu kelautan. Kelembagaan Panglima Laôt tidak hanya
memperhatikan hubungan sosial antar anggota masyarakat nelayan tetapi juga
hubungan antara nelayan dengan pemerintah. Nelayan tidak boleh menangkap jenis
ikan yang dilindungi oleh pemerintah seperti lumba-lumba dan penyu. Kolaborasi
yang baik anatara pemerintah dan lembaga adat inilah yang merupakan salah satu
kelebihan dan kekuatan wilayah pesisir Aceh dibandingkan dengan wilayahwilayah lain diluar Provinsi NAD (Kurniasari dan Nurlaili 2012).
Sistem Pengelolaan Lingkungan Laôt
Pengelolaan lingkungan laut menurut hukum adat laut dipercayakan kepada
Lembaga Adat Laot. Lembaga adat laot dipimpin oleh seseorang yang ahli dalam
bidang pengelolaan laut yang disebut Panglima Laôt. Dalam menjalankan
pengelolaan lingkungan laut, Panglima Laôt dibantu oleh pawang pukat dan aneuk
pukat yang tersusun dalam suatu struktur organisasi. Kekuasaan Panglima Laôt
meliputi tiga bidang, yaitu bidang keamanan di laut, bidang sosial warga

13
persekutuan dan bidang pemeliharaan lingkungan laut. Sistem pengelolaan
lingkungan laut oleh Lembaga Panglima Laôt dilakukan sebagai berikut.
a. Penetapan aturan hukum yang mengatur pengelolaan lingkungan laut.
b. Diangkat seorang pemimpin yang menjalankan Hukum Adat Laot
c. Diadakan sejenis pengadilan untuk mempertahankan Hukum Adat Laot.
d. Menjalin hubungan dengan intansi pemerintah terkait.
Panglima Laôt dalam melaksanakan pengelolaan lingkungan laut bekerja
sama dengan Dinas Kelautan dan Perikanan, Syahbandar dan polisi perairan.
Segenap fungsionaris Lembaga Adat laot mendapat bimbingan dari Dinas Kelautan
dan Perikanan, baik mengenai teknologi penangkapan hasil laut maupun dalam
pelaksanaan peraturan pemerintah, terutama yang menyangkut pengelolaan
lingkungan laut seperti pemilikan jaring yang tidak merusak lingkungan dan daerah
penangkapan ikan. Syahbandar sebagai penanggung jawab terhadap pelayaran di
laut sangat berkepentingan kepada Panglima Laôt . Karena itu izin pembuatan
perahu/boat dan pos berlayar bagi perahu/boat disalurkan melalui Panglima Laôt
dan pelaksanaannya diawasi bersama. Syahbandar memberi petunjuk-petunjuk
wilayah laut yang boleh dilayari dan menangkap ikan serta cuaca di laut. Kerja sama
dengan polisi perairan dilakukan dalam hal adanya pelanggaran berat dan tidak
mampu diselesaikan oleh Panglima Laôt
Mengingat peran serta Panglima Laôt demikian besar dalam menjaga
pelestarian fungsi laut, maka keberadaan Lembaga Panglima Laôt tersebut tetap
dipertahankan oleh masyarakat. Dalam hukum adat laot telah dikembangkan sistem
pelaporan untuk menjaga lingkungan laut. Jika seorang nelayan atau anggota
masyarakat lainnya melihat ada oknum yang melanggar lingkungan hidup, maka
pelanggaran tersebut harus dilaporkan segera pada Panglima Laôt dan atau kepada
pihak yang berwajib. Panglima Laôt secara kelembagaan mengatur pengelolaan
lingkungan laut dengan aturan selain memuat larangan juga mengatur cara orang
bertindak terhadap lingkungan dalam lingkup yang terbatas sesuai dengan
kewenangan yang dimilikinya. Pengaturan seperti itu membawa konsekuensi lebih
efektifnya berlaku hukum atas pengelolaan lingkungan laut.
Selanjutnya aspek-aspek yang diatur terkait dengan Lembaga Hukum Adat
Laot diuraikan dalam Wardah (2004) sebagai berikut.
a. Hal-hal yang menyangkut dengan hukum adat laut
1. Aturan-aturan tentang penangkapan ikan di laut
2. Aturan tentang bagi hasil, sewa menyewa, pengupahan dan lain-lain
3. Aturan-aturan tentang tempat / wilayah khusus tempat penambahan
perahu/pukat di pantai
4. Aturan-aturan tentang tempat / wilayah penjemuran ikan, penangkapan
ikan / memperbaiki kerusakan-kerusakan baik alat penangkapan ikan
maupun perahu/boatnya
5. Aturan tentang larangan melakukan kegiatan di laut / pantang laut
6. Aturan-aturan tentang penemuan harta di laut
7. Aturan-aturan tentang upah atau pengganti jerih payah Panglima Laôt
dan Pawang Laôt
8. Aturan-aturan tentang pertengkaran, perselisihan atau pertikaian serta
perkelahian di laut
9. Aturan-aturan tentang kerusakan lingkungan laut

14
10. Aturan tentang pencuian ikan dilaut
11. Aturan-aturan laut yang berhubungan dengan semua kegiatan mencari
nafkah di laut
b. Hal-hal yang menyangkut dengan sanksi adat atas penyelenggaraanpenyelenggaraan Hukum Adat Laot
1. Sanksi adat berupa penyitaan hasil laut
2. Sanksi adat berupa denda
3. Sanksi adat berupa perdamaian
4. Sanksi adat berupa larangan turun melaut selama jangka waktu tertentu
5. Sanksi adat berupa sanksi gabungan
c. Hal-hal yang menyangkut dengan adat-istiadat laut
1. Adat-istiadat dalam operasional melaut termasuk tata cara penangkapan
ikan di laut
2. Adat-istiadat dalam kehidupan sosial ekonomi nelayan
3. Adat-istiadat dalam pemeliharaan dan pelestarian lingkungan
4. Adat-istiadat dalam mensyukuri rahmad berkaitan dengan hasil laut
d. Hal-hal yang menyangkut dengan penyelesaian sengketa / perkara, baik
perkara-perkara pidana maupun perkara-perkara perdata
1. Dalam penangkapan ikan terjadi sak-sak atau menghimpit pukat
2. Sengketa mengenai yang terlebih dahulu menguasai kelompok ikan

Dokumen yang terkait

Pengaruh Panglima Laot Terhadap Peningkatan Pendapatan Nelayan (Studi Kasus : Nelayan Pemilik : Perahu Tanpa Motor, Perahu Motor Dan Kapal Motor Di Kelurahan Lhok Bengkuang, Kecamatan Tapaktuan Kabupaten Aceh Selatan)

2 47 57

Revitalisasi Peran Kelembagaan Panglima Laôt dalam Pengembangan Masyarakat Nelayan (Gampong Telaga Tujuh Kecamatan Langsa Timur Pemerintah Kota Langsa, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam)

3 15 250

Analisis kelembagaan panglima Laot Lhok dalam pengelolaan kegiatan perikanan seine di Kecamatam Muara Batu, Kabupaten Aceh Utara

0 15 149

Model Integrasi Kelembagaan Adat Panglima Laot Dalam Pengelolaan Kawasan Konservasi Taman Wisata Alam Laut Pulau Weh, Provinsi Aceh

1 23 117

ampak Keberadaan Lembaga Hukum Adat Laot Dalarn Kehidupan Nelayan Aceh Kaitannya Terhadap Tingkat Pendapatan Nelayan

0 8 211

PANGLIMA LAÔT SEBAGAI LOCAL WISDOM MASYARAKAT NELAYAN PESISIR ACEH ( STUDI KASUS TENTANG PANGLIMA LAÔT LHOK KECAMATAN SERUWAY KABUPATEN ACEH TAMIANG).

0 3 24

KEPEMIMPINAN PANGLIMA LAOT DALAM MENJAGA KEDAMAIAN ANTAR NELAYAN DI TPI KECAMATAN SAWANG KABUPATEN ACEH SELATAN | Raihan | Al-Idarah: Jurnal Manajemen dan Administrasi Islam 1539 2988 1 PB

0 0 18

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI EFEKTIVITAS PANGLIMA LAOT DALAM PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM LAUT DI KOTA SABANG

0 0 8

STUDI KELEMBAGAAN PANGLIMA LAÔT LHÔK DALAM PENGELOLAAN PERIKANAN PURSESEINE DI KECAMATAN JOHAN PAHLAWAN KABUPATENACEH BARAT

0 0 48

PERAN LEMBAGA ADAT LAOT DALAM MENINGKATKAN PENDIDIKAN ANAK NELAYAN DESA PESISIR DI KECAMATAN SAMATIGA KABUPATEN ACEH BARAT - Repository utu

0 0 140