Moduza procris Cramer (Lepidoptera: Nymphalidae) pada Daun Jabon Merah dan Putih (Anthocephalus spp.): Perkembangan dan Preferensi Makan

i

Moduza procris CRAMER (LEPIDOPTERA: NYMPHALIDAE)
PADA JABON MERAH DAN PUTIH (Anthocephalus spp.)
PERKEMBANGAN DAN PREFERENSI MAKAN

MARTINI WALI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Moduza procris
Cramer (Lepidoptera: Nymphalidae) pada Jabon Merah dan Putih (Anthocephalus
spp.): Perkembangan dan Preferensi Makan adalah benar karya saya dengan
arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam

teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Desember 2014
Martini Wali
E451120041

RINGKASAN
MARTINI WALI. Moduza procris Cramer (Lepidoptera: Nymphalidae) pada
Jabon Merah dan Putih (Anthocephalus spp.): Perkembangan dan Preferensi
Makan. Dibimbing oleh NOOR FARIKHAH HANEDA dan NINA MARYANA.
Jabon putih (Anthocephalus cadamba Miq.) dan jabon merah (A.
macrophyllus Roxb. Havil) termasuk dalam famili Rubiaceae. Tanaman ini
mempunyai banyak keunggulan serta merupakan tanaman yang dibudidayakan
pada hutan tanaman industri dan hutan rakyat saat ini. Moduza procris
(Lepidoptera: Nymphalidae) adalah hama baru yang menyerang daun jabon,
dengan pola serangan daun dimakan dari ujung dan meninggalkan tulang daun.
Penelitian ini bertujuan mengamati perkembangan dan preferensi makan
hama M. procris, serta mengkaji kandungan kimia (senyawa primer dan senyawa
metabolik sekunder) yang terdapat pada kedua jenis daun jabon tersebut. Metode

penelitian preferensi makan dilakukan dengan metode pilihan (choise) dan tanpa
pilihan (no choise) pada larva instar 4. Pengujian kandungan kimia daun
dilakukan dengan menggunakan analisis proksimat dan analisis fitokimia.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata perkembangan lama stadia M.
procris lebih singkat pada jabon merah daripada jabon putih. Larva terdiri dari 5
instar. Rata-rata stadium instar larva pada jabon merah 16.00 hari dan pada jabon
putih 17.20 hari. Pupa menempel pada daun dengan bantuan juluran ujung
posterior (kremaster). Stadium pupa yaitu 8.70 hari pada jabon merah dan 8.10
hari pada jabon putih. Stadium imago betina 11.75 hari dan imago jantan 11.50
hari pada jabon merah. Stadium imago betina 15.25 hari dan imago jantan 14.50
hari pada jabon putih. Sebaliknya rata-rata ukuran M. procris relatif lebih besar
pada daun jabon putih daripada jabon merah.
Pengujian proksimat menunjukkan bahwa kandungan nutrisi penting seperti
kadar air, protein, karbohidrat (serat dan BETA-N), nitrogen, ADF (Acid
Detergent Fiber) dan lignin lebih banyak pada jabon putih yaitu berturut-turut
96.35%, 16.44%, (14.49%, 56.29%), 2.63%, 38.72% dan 24.21%. Sebaliknya
kandungan lemak dan selulosa banyak terdapat pada jabon merah yaitu berturutturut 3.15% dan 10.13%, sedangkan kandungan lainnya seperti kadar abu, Ca, P
dan silika dalam jumlah yang relatif sama yaitu berturut-turut 6.72%, 1.47%,
0.25% dan 0.04 pada jabon putih; dan 6.95%, 1.84%, 0.32%, 0.07% pada jabon
merah. Kandungan garam (NaCl) dalam persentase yang sama yaitu 0.03%.

Pengujian fitokimia menunjukkan ada dua senyawa yang terdeteksi yaitu senyawa
kuinon dan steroid. Kedua senyawa yang terdeteksi ini lebih banyak terdapat pada
daun jabon merah dibandingkan jabon putih.
Rata-rata kemampuan makan larva instar 4 secara berturut-turut adalah
105.61 cm2 pada jabon merah dan 18.11 cm2 pada jabon putih untuk metode
pilihan. Sebaliknya pada metode tanpa pilihan rata-rata kemampuan makan yaitu
130.08 cm2 pada jabon merah dan 141.23 cm2 pada jabon putih.
Kata kunci: Anthocephalus spp., lama perkembangan,
preferensi makan, uji fitokimia.

Moduza

procris,

SUMMARY
MARTINI WALI. Moduza procris Cramer (Lepidoptera: Nymphalidae) on Red
Jabon and White Jabon (Anthocephalus spp.): Development and Eating
Preference. Supervised by NOOR FARIKHA HANEDA and NINA MARYANA.
Red jabon (Anthocephalus macrophyllus Roxb. Havil) and white jabon
(Anthocephalus cadamba Miq.) are included in the Rubiaceae family. This plant

has a lot of advantages as well as many industrial plants cultivated in the forest
and forest community today. Moduza procris Cramer is a new pest that attack
jabon leaf. The leaves eaten from the edge and leave the venation.
This study’s aims were to observe the development, the eating preference of
M. procris and examines the chemical contents (compound primary and
secondary metabolic compound) that found on both species of jabon. Choise and
no choise treatmenst were conducted on the fourth instar larvae eating
preference. The chemical contents of leaves were tested by using proximate
analysis and phytochemical analysis.
The results showed that the development time of M. procris on red jabon
was shorter than white jabon. M. procris has 5 instar larvae. The average stadium
of each instar larvae were 16.00 days on red jabon, and 17.20 days on white
jabon. Posterior part of the pupae attached to the leaf with silk (kremester).
Pupae stadium was 8.70 days on red jabon and 8.10 days on white jabon.
Longevity of male and female on red jabon were 11.50 and 11.75 days
respectively, and in white jabon were 14.50 and 15.25 days respectively.
Otherwise the average size of each phase of M. procris were bigger respectively
on white jabon than red jabon.
Proximate test showed that the content of essential nutrients such as water
content, protein, carbohidrates (fiber and BETA-N), nitrogen, ADF (Acid

Detergent Fiber), and lignin were more on white jabon i.e. 96.35%, 16.44%,
(14.49%, 56.29%), 2.63%, 38.72% and 24.21%. Otherwise the fat content and
cellulose were more founded in red jabon i.e 6.72%, 1.47%, 0.25% dan 0.04
respectively, while other ingredient such as ash content, Ca, P and silica in the
some relative amounts i.e 6.72%, 1.47%, 0.25% and 0.04 on white jabon, and
6.95%, 1.84%, 0.32%, 0.07% on red jabon. The content of salt (NaCl) was in the
same percentage 0.03%. Phytochemical tests showed two compounds were
quinones and steroid. This compounds were more concentration in red jabon’s
leaf than white jabon.
The larvae prefer ate red jabon leaf (105.61 ± 25.82 cm2) than white jabon
(18.11 ± 10.02 cm2) in choise treatment. In contras, the larvae prefer to ate white
jabon than red jabon in no choise treatment. The average leaf width that
consumed by larvae on white jabon were 130.08 ± 23.06 cm2, and on red jabon
were 141.23 ± 19.85 cm2.
Keywords: Anthocephalus spp., development time, eating preference, Moduza
procris, phytochemical test.

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan

atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

i

Moduza procris CRAMER (LEPIDOPTERA: NYMPHALIDAE)
PADA JABON MERAH DAN PUTIH (Anthocephalus spp.)
PERKEMBANGAN DAN PREFERENSI MAKAN

MARTINI WALI

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Silvikultur Tropika


SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir H. Irdika Mansur, Mfor Sc

Judul Tesis : Moduza procris Cramer (Lepidoptera: Nymphalidae) pada Daun
Jabon Merah dan Putih (Anthocephalus spp.): Perkembangan dan
Preferensi Makan
Nama
: Martini Wali
NRP
: E451120041
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Dr Ir Noor Farikhah Haneda, MS
Ketua


Dr Ir Nina Maryana, MSi
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi/
Mayor Silvikultur Tropika

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof Dr Ir Sri Wilarso Budi R, MS

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian:
(20 November 2014)

Tanggal Lulus:
(

)

PRAKATA
Alhamdulillah penulis haturkan kehadirat Allah SWT, karena telah
melimpahkan rahmat, hidayah serta inayah-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan karya ilmiah dengan judul “Moduza procris Cramer (Lepidoptera:
Nymphalidae) pada Jabon Merah dan Putih (Anthocephalus spp.): Perkembangan
dan Preferensi Makan”. Melalui kesempatan ini penulis ingin menyampaikan
terima kasih dan rasa hormat kepada ibu Dr. Ir. Noor Farikhah Haneda MS. dan
Dr. Ir. Nina Maryana M.Si. selaku pembimbing 1 dan pembimbing 2 yang dengan
segenap perhatian, kesabaran, waktu, tenaga, serta pikirannya memberikan arahan,
bimbingan dan masukan, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis.
Ucapan terima kasih disampaikan kepada Rektor Universitas Iqra Buru,
Dekan Fakultas Pertanian dan Kehutanan Universitas Iqra Buru, atas kerendahan
hatinya telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan studi S2 di Sekolah Pascasarjana IPB; Rektor IPB, Dekan Sekolah Pascasarjana IPB, dan
Ketua Program Studi Silvikultur Tropika atas kesempatan yang diberikan kepada
penulis untuk mengikuti pendidikan di SPs IPB. Ucapan terima kasih juga
ditujukan kepada seluru staf pengajar, dan administrasi IPB atas ilmu, kelancaran
studi dan administrasi selama penulis menjadi mahasiswa di SPs IPB, tak lupa
pula kepada Direktorat Pendidikan Tinggi yang telah memberikan Beasiswa Studi

kepada penulis. Ucapan terima kasih juga kepada ibu Elly Zulaikha atas segala
bantuannya selama penyelesaian riset di Laboratorium Entomologi Hutan, Kak
Neng, teman-teman seperjuangan Silvikultur Tropika, terutama sahabat-sahabat
terkasih mbak Santy, Lola, Rara dan Alisa serta semua pihak yang telah
membantu selama penelitian.
Ungkapan terima kasih yang mendalam kepada kedua orangtua tercinta
Ayahanda (Abdullah Wali) dan Ibunda (Sakinah Sanmardy) atas kesabaran, doa
tulus, harapan serta motivasi yang tiada hentinya kepadaku, Ninie, Keluarga Besar
Sanmardy, Keluarga Besar Wali.
Penulis menyadari bahwa penyusunan karya ilmiah ini masih jauh dari
kesempurnaan, oleh karena itu dengan kerendahan hati penulis mengharapkan
kritik dan saran yang sifatnya membangun demi perbaikan. Akhir kata penulis
berharap semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat dan menjadi acuan ilmu bagi
yang membutuhkan.

Bogor, Desember 2014
Martini Wali

DAFTAR ISI


DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Rumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Hipotesis Penelitian
2 BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu
Metode Penelitian
Analisis Data
3 HASIL DAN PEMBAHASAN
Habitat dan Morfologi Jabon
Perkembangan M. procris
Parasitoid M. procris
Kandungan Kimia Daun
Preferensi Makan M. procris
4 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP

Halaman
xii
xii
xii
1
1
2
2
3
3
4
4
4
9
10
10
11
15
16
18
22
22
22
23
26
31

DAFTAR TABEL
Halaman
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.

Perbedaan ciri morfologi jabon merah dan jabon putih
Rata-rata stadium larva, dan pupa serta lama hidup imago
Moduza procris pada jabon merah dan jabon putih
Ukuran pradewasa dan imago Moduza procris pada jabon merah
dan jabon putih
Parasitoid yang keluar dari pupa Moduza procris
Hasil analisis kandungan senyawa primer pada daun jabon merah
dan jabon putih
Hasil pengujian kimia sama amino pada daun jabon merah dan
jabon putih
Hasil pengujian senyawa metabolik sekunder pada daun jabon
merah dan jabon putih
Jumlah luas daun jabon merah dan jabon putih yang dimakan oleh
larva Moduza procris instar 4 pada metode pilihan dan tanpa pilihan

DAFTAR GAMBAR
1. Pengukuran bagian tubuh larva Moduza procris
2. Pengukuran imago Moduza procris
3. Telur Moduza procris
4. Larva Moduza procris
5. Pupa Moduza procris
6. Imago Moduza procris
7. Parasitoid pada pupa Moduza procris
8. Luas daun yang dimakan oleh larva per hari pada jabon merah
dan putih dengan metode pilihan dan tanpa pilihan

DAFTAR LAMPIRAN
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.

10
11
12
15
17
17
18
19

Halaman
5
5
11
12
14
15
16
19

Halaman

Stadium larva dan pupa serta lama hidup imago Moduza procris
pada jabon merah
Stadium larva dan pupa serta lama hidup imago Moduza procris
pada jabon putih
Ukuran pradewasa Moduza procris pada jabon merah
Ukuran pradewasa Moduza procris pada daun jabon putih
Ukuran imago pada jabon merah dan jabon putih
Jumlah parasitoid yang ditemukan pada fase pupa
Jumlah luas daun yang dimakan larva per hari dengan metode
tanpa pilihan
Jumlah luas daun yang dimakan larva per hari dengan metode pilihan

26
26
27
28
29
30
30
30

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Jabon merah (Anthocephalus macrophyllus Roxb. Havil) dan jabon putih (A.
cadamba Miq.) termasuk dalam famili Rubiaceae. Tanaman ini merupakan jenis
pohon yang memiliki prospek tinggi untuk hutan tanaman industri maupun hutan
rakyat yang ada di Indonesia. Pertumbuhan tanaman ini relatif cepat, mampu
beradaptasi pada berbagai kondisi tempat tumbuh, serta perlakuan silvikulturnya
relatif mudah. Jabon juga diharapkan menjadi semakin penting bagi industri
perkayuan di masa mendatang, terutama ketika bahan baku kayu pertukangan dari
hutan alam diperkirakan akan semakin berkurang (Krisnawati et al. 2011).
Pemanfaatan kayu jabon digunakan sebagai bahan bangunan nonkonstruksi, meubelir atau furniture, bahan plywood, papan, peti, korek api dan
sebagainya. Pemanfaatan non kayu lainnya sebagai obat tradisional yaitu
digunakan sebagai obat kumur dengan cara diekstrak terlebih dahulu. Daun segar
dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai pakan ternak. Kayu jabon merah bisa
dimanfaatkan juga sebagai arang aktif. Arang yang dihasilkan dari jabon merah
tidak memiliki bau dan tidak mengeluarkan asap atau percikan, namun nilai energi
yang dihasilkan tergolong rendah yaitu 19.800 kJ/kg (Halawane et al. 2011).
Namun sebagai suatu ekosistem yang homogen, kawasan hutan tanaman rentan
terhadap berbagai kendala di antaranya serangan hama. Populasi tanaman hutan
yang homogen akan mudah diserang dan berpotensi terjadi ledakan (outbreak)
hama, baik di lapangan maupun di persemaian (Krisnawati et al. 2011).
Hama Moduza procris Cramer (Lepidoptera: Nymphalidae) tergolong hama
baru yang menyerang jabon. Penelitian tentang hama ini belum banyak dilakukan.
Beberapa penelitian yang telah dilakukan yaitu di India, sedangkan di Indonesia
hama ini dilaporkan menyerang jabon putih di persemaian, dengan pola serangan
acak sehingga daun berbentuk tak beraturan. Intensitas serangan yang dilaporkan
relatif kecil, akan tetapi pada fase larva dipandang sebagai hama yang serius
karena memakan daun-daun jabon dalam waktu yang relatif singkat daun dapat
habis (Darwiati et al. 2010).
Perkembangan suatu hama di lapangan dapat dilihat dari biologi dan tingkat
preferensi makannya. Pengetahuan aspek biologi yang diperlukan antara lain
meliputi perilaku, siklus hidup, perkembangan dan morfologi hama. Populasi
serangga dalam suatu areal tertentu ditentukan oleh dua faktor yaitu kemampuan
hayati atau potensi biotik dan hambatan lingkungan (Dadang 2006).
Beberapa penelitian biologi khususnya dari famili Nymphalidae yang
pernah dilakukan diantaranya oleh Urich dan Emmel (1990), Brower et al. (1992)
dan Rayalu et al. (2011). Studi biologi famili Nymphalidae jenis Acraea violae
Fabricius, pada inang Passiflora edulis menunjukkan siklus hidup yang bervariasi,
telur diletakkan secara berkelompok, jumlah instar pada larva tidak tetap yang
terdiri dari 5 ˗ 7 instar. Larva hidup berkelompok dan memakan daun tumbuhan
inangnya (Andrianti 2011). Selain jabon putih, larva M. procris juga menyerang
jabon merah. Hama ini lebih banyak ditemukan pada persemaian dan tegakan
jabon merah dengan umur yang bervariasi. Studi dan referensi mengenai hama M.
procris dan gejala serangannya pada jabon merah belum ditemukan. Menurut
Borror et al. (1989), M. procris memakan tumbuhan dari famili Rubiaceae.

2
Tingkat preferensi makan serangga tergantung pada berbagai kandungan
kimia pada tanaman yang mempengaruhi penerimaan dan penolakan hama
tersebut. Hal ini terkait dengan senyawa primer dan senyawa metabolik sekunder
yang terdapat pada tumbuhan inang, serta bisa menjadi salah satu faktor pembatas
bagi serangga hama untuk memakan jaringan tumbuhan. Perilaku biologi
serangga sangat berkaitan dengan tersedianya tanaman sebagai sumber pakan
yang berkualitas untuk menjamin keberlangsungan hidup larvanya (Price 2000).
Penelitian yang dilakukan oleh Nuringtyas et al. (2007) terhadap larva
Attacus atlas L. (Lepidoptera: Saturniidae), pada 4 jenis pakan menunjukkan
bahwa larva cenderung memilih pakan dengan kandungan senyawa primer yang
lebih tinggi dan senyawa metabolik sekunder yang sedikit. Senyawa primer
mengandung nutrisi sedangkan senyawa metabolik sekunder berperan sebagai
penolak dan perlindungan terhadap hama. Penelitian perkembangan dan preferensi
makan pada hama M. procris belum pernah dilakukan di Indonesia, sementara
informasi perkembangan ini sangat diperlukan dalam pengelolahan hama M.
procris kaitannya dengan intensitas serangan dan waktu yang tepat dalam
melakukan pengendalian. Oleh karena itu penelitian ini dipandang perlu
dilakukan.
Perumusan Masalah
Jabon merah dan putih merupakan jenis tanaman yang mempunyai sifat fast
growing, dan mempunyai banyak keunggulan. Akan tetapi sebagai tanaman hutan
yang homogen jabon dihadapkan pada serangan hama di lapangan maupun di
persemaian. Salah satu hama yang dilaporkan menyerang jabon adalah M. procris.
Meskipun intensitas serangan pada jabon di persemaian relatif sedikit, akan tetapi
pada fase larva dipandang sebagai hama yang serius karena memakan daun-daun
jabon dalam waktu yang relatif singkat daun dapat habis. Hal ini tentunya
mengakibatkan proses fotosintesis pada daun akan terganggu, sehingga dapat
mempengaruhi pertumbuhan tanaman.
Di Indonesia kajian studi tentang perkembangan dan preferensi makan dari
hama M. procris pada jabon belum pernah dilakukan. Sementara informasi
perkembangan sangat penting karena dapat digunakan sebagai dasar untuk
melakukan pengelolaan dan penentuan waktu yang tepat untuk melakukan
pengendalian serangan hama ini di lapangan. Preferensi makan berkaitan dengan
pemilihan pakan yang sesuai antara jabon putih dan jabon merah, sehingga dapat
diketahui hama ini lebih berpotensi sebagai hama pada jenis jabon yang mana.
Mencermati uraian di atas maka penelitian ini dilakukan untuk menjawab
beberapa pertanyaan berikut ini:
1) Bagaimana perkembangan dan preferensi makan M. procris pada dua
tumbuhan inang A. macrophyllus dan A. cadamba,
2) Apakah ada perbedaan kandungan kimia daun dari kedua jenis famili
Rubiaceae tersebut.
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah mengamati perkembangan dan preferensi
makan hama M. procris serta mengkaji kandungan kimia (senyawa primer dan
senyawa metabolik sekunder) yang terdapat pada daun jabon merah dan jabon
putih.

3
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi petani jabon dan
masyarakat luas sebagai referensi dan bahan acuan informasi yang dapat
digunakan dalam pengembangan budidaya jabon merah dan jabon putih.
Hipotesis Penelitian
Hipotesis penelitian yang akan dilakukan adalah sebagai berikut:
1) Perkembangan hama M. procris dipengaruhi oleh kandungan nutrisi yang
terdapat pada pakan yang dikonsumsi.
2) Diduga preferensi makan hama M. procris lebih besar pada jabon merah
daripada jabon putih.
3) Diduga pada kedua jenis jabon ini terdapat perbedaan konsentrasi kandungan
senyawa primer dan kandungan senyawa metabolik sekunder yang dapat
mempengaruhi hama M. procris dalam menentukan makanan yang sesuai.

4

BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu
Penelitian perkembangan dan preferensi makan dilakukan di Laboratorium
Entomologi Hutan, Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan, IPB. Pengujian
kandungan kimia daun dilaksanakan di dua laboratorium yang berbeda, yaitu
pengujian proksimat dilakukan di Laboratorium Teknologi Pakan, Fakultas
Peternakan, IPB dan pengujian fitokimia dilaksanakan di Laboratorium Kimia
Organik, Fakultas MIPA, IPB. Penelitian dimulai dari bulan November 2013
sampai Agustus 2014.
Metode Penelitian
Pemeliharaan Tanaman Uji
Tanaman yang digunakan sebagai inang yaitu bibit jabon merah dan putih
yang masing-masing berumur 3 bulan yang didapatkan dari persemaian di sekitar
kampus IPB. Tanaman dipelihara di dalam sungkup beratap paranet hitam. Bibit
tanaman disiram setiap hari. Kedua jenis tanaman ini disiapkan untuk pengamatan
perkembangan dan preferensi makan M. procris.
Pemeliharaan Serangga Uji
Larva dan pupa M. procris diperoleh dari Hutan Rakyat yang ada di sekitar
Dramaga. Larva dan pupa dibawa ke laboratorium Entomologi Hutan dan
ditempatkan di dalam wadah plastik berukuran 17 x 12 x 11 cm3 sampai menjadi
imago. Imago yang keluar dibedakan jenis kelaminnya, kemudian dipilih 10
pasang imago dan dimasukkan ke dalam kurungan serta diberi makan larutan
madu 10% yang diserapkan pada kapas, kemudian digantung di bagian atas
kurungan. Dalam kurungan tersebut juga diletakkan media peletakan telur (bibit
jabon merah dan putih) untuk tempat bertelur kupu-kupu betina.
Pengamatan Perkembangan
Penelitian perkembangan dimulai dengan menggunakan 10 larva M. procris
sebagai ulangan, masing-masing pada daun jabon merah dan putih. Pengamatan
dilakukan setiap hari dan dimulai dari larva instar 1 atau 2 sampai imago.
Khusus untuk fase telur, pengamatan dilakukan pada telur hasil pembedahan
abdomen betina karena proses peneluran oleh imago di laboratorium mengalami
hambatan. Pengamatan dilakukan terhadap ukuran dan stadium telur.
Larva yang diperoleh dari lapangan diletakkan di dalam wadah plastik
pengamatan berukuran 17 x 12 x 11 cm3, masing-masing wadah berisi 1 ekor
larva. Fase larva diamati mulai dari instar pertama sampai instar terakhir.
Pengamatan larva meliputi jumlah instar, morfologi, perilaku dan stadium tiap
instar. Pengukuran larva meliputi ukuran panjang dan lebar kepala larva setiap
instar (Gambar 1). Pada fase pupa selain dilakukan pengukuran, juga dilakukan
pengamatan stadium dan perilaku.
Pengamatan imago dilakukan dengan cara mengambil kupu-kupu yang baru
keluar dari pupa kemudian ditempatkan di dalam kurungan berkasa berukuran 60
x 60 x 40 cm3. Pada setiap kurungan ditempatkan satu pasang kupu-kupu. Apabila

5

Panjang tubuh
Kepala

Gambar 1 Pengukuran bagian tubuh larva Moduza procris
perbandingan jantan dan betina tidak mencapai 1 : 1, maka jantan dipindahkan
beberapa kali ke dalam beberapa kurungan imago betina agar semua imago dapat
berkopulasi. Kupu-kupu kemudian diberi makan cairan madu 10% yang
diserapkan pada kapas dan digantung di bagian atas kurungan. Pengamatan imago
meliputi morfologi, nisbah kelamin, lama hidup dan jumlah telur yang diletakkan
(keperidian). Pengamatan dilakukan setiap hari sampai kupu-kupu tersebut mati,
sehingga diperoleh data lama hidup imago. Pengukuran panjang tubuh dan
rentang sayap dilakukan langsung setelah imago mati. Cara pengukuran terhadap
imago dapat dilihat pada Gambar 2.
Rentang sayap

Panjang tubuh

Gambar 2 Pengukuran imago Moduza procris.
Pada penelitian ini dilakukan juga pengamatan terhadap parasitoid yang
menyerang hama di lapangan. Jenis parasitoid yang diperoleh dari lapangan
disimpan di dalam botol koleksi berisi alkohol 70%, selanjutnya untuk
menentukan jenis perasitoid yang ditemukan diidentifikasi menggunakan buku
acuan (identifikasi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia). Selain itu suhu dan
kelembaban diukur sebagai faktor yang mempengaruhi perkembangan hama di
laboratorium. Pengukuran suhu ruangan dilakukan tiga kali sehari yaitu pada
pukul 07.30, 13.30 dan 17.30 WIB (Bariyah 2011). Rata-rata suhu dan
kelembaban relatif laboratorium yaitu berturut-turut 27.12 °C dan 64.93%.
Pengujian Preferensi Makan
Pengujian preferensi makan dilakukan dengan dua cara yaitu metode pilihan
(choise) dan metode tanpa pilihan (no choise). Metode pilihan dilakukan dengan
menempatkan 1 ekor larva insar empat pada wadah pengamatan, dan diberi pakan
daun jabon merah dan putih dalam wadah yang sama. Sebelumnya daun jabon
dipetakan di atas kertas milimeter blok untuk mengetahui luas daun yang

6
dijadikan pakan. Pangkal daun diberi kapas yang telah dibasahi air untuk menjaga
daun tetap segar. Pergantian pakan daun dilakukan setiap hari. Daun yang telah
dimakan keesokan harinya dipetakan kembali di atas kertas milimeter blok dan
dihitung jumlah luasan daun yang dimakan larva per hari.
Metode tanpa pilihan dilakukan dengan memasukkan satu jenis daun jabon
merah atau putih ke dalam wadah plastik. Ukuran daun yang digunakan sebagai
pakan dalam metode pilihan atau tanpa pilihan relatif sama. Pada setiap metode
dilakukan dengan lima ulangan. Jumlah luasan daun yang dimakan dihitung setiap
hari, hingga larva berganti kulit menjadi instar 5.
Pengujian Kandungan Kimia Daun Jabon
Bahan tanaman uji yang digunakan adalah daun jabon merah dan putih yang
berada pada posisi ke tiga dari tunas dan masih berwarna hijau. Daun yang
digunakan sebagai sampel merupakan daun yang diambil pada pohon jabon
berumur 7 bulan, yang diambil secara acak berasal dari Hutan Rakyat Desa
Cibanteng, Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor. Pada tahap awal daun jabon
dibersihkan dengan air kemudian dikering udarakan tanpa terkena cahaya
matahari langsung atau dikeringkan di dalam oven dengan suhu tidak melebihi 50
°C. Setelah kering, daun dihaluskan dan sampel siap untuk diuji.
Uji Proksimat (Senyawa Primer)
Uji proksimat terdiri dari uji kadar air, kadar abu, protein kasar, serat kasar
dan kandungan lemak total. Uji mineral meliputi kandungan Ca, P dan NaCl.
Analisis serat meliputi ADF (Acid Detergent Fiber), selulosa, lignin dan silika
serta uji asam amino (AOAC. 2005; SNI 01-2891-1992).
Pengujian Kadar Air. Cawan porselin yang sebelumnya telah dipanaskan
pada oven 105 oC didinginkan selama ± 1 jam di dalam eksikator, kemudian
ditimbang berat cawan (X). Sampel yang telah ditimbang sebanyak ± 5 g (Y),
kemudian diletakkan ke dalam cawan. Ke dalam oven 105 oC sampel dimasukkan
selama ± 4 – 6 jam (tercapai bobot tetap). Sampel diangkat, kemudian didinginkan
dalam eksikator selama 10 menit. Berat sampel ditimbang dan dicatat. Tahapan
tersebut diulangi sampai diketahui berat stabilnya (Z). Perhitungan kadar air
dilakukan dengan rumus:
Kadar Air pada 105 oC =

XxY–Z
Y

x 100%

Pengujian Kadar Abu. Cawan porselin yang sebelumnya telah dipanaskan
pada tanur 400 – 600 oC kemudian didinginkan di dalam eksikator, dan ditimbang
(X). Sampel ± 5 g dimasukkan ke dalam cawan kemudian ditimbang (Y),
selanjutnya sampel dibakar di atas hot plate sampai tidak berasap. Setelah proses
pembakaran selesai sampel dimasukkan ke dalam tanur dengan suhu 800 °C
selama 1 jam. Sampel kemudian diangkat dan didinginkan dalam eksikator lagi
selama 30 menit. Berat sampel ditimbang dan dicatat (Z). Perhitungan kadar abu
dilakukan dengan rumus:
Kadar Abu = X – Z x 100%
Y

7
Pengujian Serat Kasar. Sampel ditimbang sebanyak ± 1 g (X), kemudian
dimasukkan ke dalam gelas piala. Sampel dimasukkan ke dalam alat Heater
extract dan ditambah dengan 50 ml H2SO4 0.3 N, kemudian diekstrak selama 30
menit. Setelah diekstrak sampel ditambahkan dengan 25 ml NaOH 1.5 N dan
diekstrak kembali selama 30 menit. Selanjutnya sampel ditempatkan pada kertas
saring Whatman 41 yang telah dipanaskan dalam oven 105 oC selama 1 jam, dan
ditimbang kembali (a). Cairan kemudian disaring menggunakan Whatman 41 dan
dimasukkan ke dalam corong buchner. Penyaringan tersebut dilakukan dengan
labu pengisap yang dihubungkan dengan pancar air. Sampel yang telah selesai
disaring kemudian dicuci berturut-turut dengan menggunakan 50 ml air panas, 50
ml H2SO4 0.3 N, 50 ml air panas dan 25 ml aseton. Kertas saring Whatman 41
beserta isinya dimasukkan ke dalam cawan porselen, selanjutnya dikeringkan
dengan oven 105 oC selama 1 jam. Sampel diangkat dan didinginkan dalam
eksikator kemudian ditimbang beratnya (Y). Setelah ditimbang sampel
ditempatkan pada cawan dan dimasukkan ke dalam tanur selama 1 jam dengan
suhu mencapai 800 °C, sampel diangkat dan didinginkan kemudian ditimbang
beratnya (Z). Perhitungan kandungan serat kasar dilakukan dengan rumus:
% Serat Kasar =

Y–Z–a
x 100%
X

Pengujian Protein Kasar. Pengujian protein kasar dilakukan dalam
beberapa tahapan. Tahapan pertama yaitu tahap destruksi, sampel ditimbang
sebanyak ± 0.3 g, kemudian ditambakan ± 1.5 g katalis Selenium Mixture.
Selanjutnya sampel dimasukkan ke dalam labu Kjeldahl dan ditambahkan 20 ml
H2SO4 pekat, dan didestruksi sampai warna larutan menjadi hijau-kekuninganjernih. Tahap kedua yaitu tahapan destilasi, setelah proses destruksi sampel
didinginkan selama ± 15 menit. Ke dalam sampel ditambahkan 300 ml aquadest,
kemudian didinginkan kembali, setelah proses pendinginan ke dalam sampel
ditambahakan 100 ml NaOH 40 % (teknis) dan dilakukan destilasi. Proses
destilasi ini berlangsung selama ± 30 menit sampai terjadinya letupan. Tahapan
ketiga yaitu proses titrasi. Hasil destilasi dicampur dengan 10 ml H2SO4 0.1 N
yang sudah ditambah 3 tetes indikator campuran Methylen Blue dan Methylen Red
dengan NaOH 0.1 N sampai terjadi perubahan warna dari ungu menjadi birukehijauan. Pada proses titrasi ini juga dilakukan penetapan blanko (sebagai
pembanding), 10 ml H2SO4 0.1 N dipipet dan ditambah 2 tetes indikator PP
(Phenol Phtalein), kemudian dititrasi dengan NaOH 0.1 N. Perhitungan protein
kasar dilakukan dengan rumus:
% Protein =

(ml blanco – ml sampel) x N NaOH x 14 x 6.25
x 100%
Berat sampel (mg)

Pengujian Kadar Lemak. Labu penyari (labu lemak) disiapkan
sebelumnya, dengan batu didih di dalamnya yang telah dipanaskan sebelumnya
pada suhu 105 - 110 oC dan didinginkan di dalam eksikator. Berat labu penyari
ditimbang (a). Sampel daun yang telah dihaluskan ditimbang ± 1 g (x), dan
dimasukkan ke dalam selongsong penyaring, kemudian ditutup dengan
menggunakan kapas tidak berlemak. Selongsong penyaring ini dimasukkan ke

8
dalam alat soxlet, selanjutnya disaring menggunakan petroleum benzin.
Selanjutnya ekstraktor dihubungkan dengan kondensor, proses ini dilakukan
menggunakan alat FATEX-S. Labu penyari diangkat dari alat FATEX-S, kemudian
dikeringkan dalam oven 105 - 110 oC sampai bobotnya tetap (± 4 - 6 jam). Sampel
diangkat dari oven, kemudian didinginkan di dalam eksikator selama 30 menit,
selanjutnya ditimbang bobot akhirnya (b). Perhitungan lemak kasar dilakukan
dengan rumus:
% Lemak =

b–a
x 100%
x

Pengujian Van Soest. Sistem analisis Van Soest merupakan kelanjutan dari
uji serat, yaitu menggolongkan zat pakan menjadi isi sel (cell content) dan dinding
sel (cell wall). Analisis serat yang dilakukan dalam penelitian ini meliputi analisis
ADF, selulosa dan lignin. Analisis ADF mewakili selulosa dan lignin dinding sel
tanaman.
Prinsip dasar dari analisis ADF adalah mengukur bagian dinding sel
tanaman yang tidak dapat larut dalam larutan detergen asam dengan komposit
utama CTAB (Cetyl Trimethyl Ammonium Bromide) pada pemanasan satu jam.
Larutan detergent asam atau Acid Detergent Solution (ADS) dibuat dengan
melarutkan CTAB 20 g dalam 27.5 asam sulfat 1 N dan ditambahkan aquadest
hingga volumenya menjadi 1 liter. Sampel ditimbang sebanyak 1 g (A),
selanjutnya dimasukkan ke dalam gelas piala 600 ml, dan ditambahkan dengan
100 ml larutan ADS. Sampel kemudian diekstraksi selama 60 menit dari mulai
mendidih. Sampel hasil ekstraksi disaring menggunakan cawan kaca masir yang
telah ditimbang sebelumnya (B). Residu hasil ekstraksi dibilas menggunakan air
panas dan aseton. Sampel dikeringkan pada oven 105 °C selama ± 4 jam sampai
beratnya stabil, selanjutnya cawan diangkat dan didinginkan di dalam eksikator.
Setelah dingin, cawan dikeluarkan dari eksikator dan ditimbang (C).
Analisis selulosa merupakan lanjutan dari analisa ADF. Sampel analisis
ADF yang sudah ditimbang (C) ditambah dengan larutan asam sulfat (H2SO4)
72% sampai terendam selama 3 jam. Setelah 3 jam, residu dibilas menggunakan
air panas dan aseton. Selanjutnya dikeringkan pada oven 105 °C selama ± 4 jam
sampai beratnya stabil, angkat dan dinginkan dalam eksikator. Setelah dingin,
cawan dikeluarkan dari eksikator dan ditimbang (D).
Analisis lignin merupakan kelanjutan dari analisis ADF dan selulosa.
Sampel yang sudah dikeringkan (D), selanjutnya dibakar di dalam tanur dengan
tempratur ± 600 °C. Sampel yang ditempatkan di dalam cawan diangkat dan
didinginkan dalam eksikator dan ditimbang beratnya (E). Analisis Van Soest
dapat dihitung dengan persamaan berikut:
% ADF = C – B x 100%
A
% Selulosa =

C–D
x 100%
A

% Lignin = C – E x 100%
A

9
Uji Fitokimia (Senyawa Metabolik Sekunder)
Analisis fitokimia daun yang dilakukan mengacu pada metode Harborne
(1987).
Uji Alkaloid. Sebanyak 500 mg sampel dilarutkan di dalam 5 ml kloroform
dan dibasakan dengan beberapa tetes NH4OH, kemudian sampel disaring ke
dalam tabung reaksi. Ekstrak kloroform kemudian ditambahi 10 tetes H2SO4 2M
lalu dikocok hingga terbentuk dua lapisan. Lapisan asam yang berada di atas di
ambil, kemudian diteteskan pada pelat tetes dan diuji berturut-turut dengan
pereaksi Meyer, pereaksi Wagner, dan pereaksi Dragendrof. Uji positif bila
didapat endapan berturut-turut putih, cokelat, dan merah jingga.
Uji Flavonoid. Pada 500 mg sampel ditambahkan 10 ml air panas kemudian
dididihkan selama 5 menit dan disaring. Ke dalam 5 ml filtratnya ditambahkan 0.5
g serbuk Mg, 1 ml HCl pekat, dan 1 ml amil alkohol kemudian dikocok dengan
kuat. Hasil uji positif bila muncul warna merah, kuning atau jingga pada lapisan
amil alkohol.
Uji Kuinon. Sebanyak 500 mg sampel ditambahkan ke dalam 10 ml air
panas dan sampel dididihkan selama 5 menit lalu disaring. Filtrat ditambahi 3
tetes NaOH. Uji positif bila ditandai dengan munculnya endapan merah.
Uji Tanin. Sebanyak 500 mg sampel ditambahkan ke dalam 50 ml air panas
dan dididihkan selama 15 menit lalu disaring. Filtratnya ditambahi 10 ml FeCl3
1%. Uji positif bila ditandai dengan munculnya warna hijau kehitaman.
Uji Saponin. Pada 500 mg sampel ditambahkan 10 ml air panas dan
dididihkan selama 5 menit lalu disaring. Sebanyak 10 ml filtrat dikocok di dalam
tabung reaksi tertutup selama 10 detik kemudian dibiarkan selama 10 menit.
Adanya saponin ditunjukkan dengan terbentuknya buih yang stabil.
Uji Triterpenoid dan Steroid. Uji ini menggunakan pereaksi LiebermanBurchard. Pada pengujian ini, sebanyak 500 mg sampel dimaserasi dengan 25 ml
etanol panas selama 1 jam, disaring dan residunya ditambah eter. Filtrat ditambah
3 tetes asam asetatanhidrat dan 1 tetes asam sulfat pekat secara berurutan. Larutan
dikocok perlahan dan dibiarkan beberapa menit. Uji positif ditandai dengan
terbentuknya warna merah atau ungu untuk triterpenoid dan warna hijau atau biru
untuk steroid.
Analisis Data
Data pengamatan perkembangan dianalisis secara deskriptif, data hasil
penelitian ditampilkan dalam bentuk tabel dan gambar. Data preferensi makan
dengan metode pilihan dan tanpa pilihan dianalisis dengan uji t pada taraf nyata
5%, menggunakan software SAS versi 9.1. Data pengujian kandungan kimia
senyawa primer dan senyawa metabolik sekunder dianalisis secara deskriptif yaitu
hasil pengujian kandungan kimia daun dua jenis jabon disajikan dalam bentuk
tabel dan dilihat berapa persentase perbedaan kandungan kimia dari daun jabon
merah dan putih.

10

HASIL DAN PEMBAHASAN
Habitat dan Morfologi Jabon
Jabon merah (A. macrophyllus) merupakan tanaman pioner yang toleran
cahaya, dapat hidup di dataran rendah sampai ketinggian 50 - 1000 m dpl.
Penyebaran alami jabon merah di Indonesia lebih sempit bila dibandingkan
dengan jabon putih, yang meliputi Sulawesi, Maluku dan Papua. Tinggi pohon
jabon merah bisa mencapai 40 meter dengan batang bundar dan tegak lurus
mencapai 70% - 80% dengan lingkar batang mencapai lebih dari 150 cm
(diameter lebih dari 50 cm). Daya tumbuh di lahan kritis juga cukup baik, bahkan
bisa dijadikan sebagai buffer zone untuk kepentingan konservasi atau daerah
penyangga karena memiliki perakaran yang dalam. Di Hungoyono, Kabupaten
Bone Bolango, Gorontalo, jabon merah ditemukan tumbuh dengan subur diatas
bukit karst dekat sumber air panas tempat peneluran burung maleo
(Macrocephalon maleo) (Halawane et al. 2011).
Jabon putih (A. cadamba) merupakan tanaman pionir yang dapat tumbuh
baik pada tanah-tanah aluvial yang lembab dan umumnya dijumpai di hutan
sekunder di sepanjang bantaran sungai dan daerah transisi antara daerah berawa,
daerah yang tergenang air secara permanen maupun secara periodik. Beberapa
pohon jabon terkadang juga ditemukan di areal hutan primer. Jenis ini tumbuh
baik pada berbagai jenis tanah, terutama pada tanah-tanah yang subur dan
beraerasi baik (Soerianegara & Lemmens 1993).
Penyebaran jabon putih di Indonesia cukup luas meliputi seluruh Sumatera,
Jawa Barat, Jawa Timur, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, seluruh
Sulawesi, Nusa Tenggara Barat dan Papua. Jabon tumbuh pada daerah lembab di
pinggir sungai, rawa dan kadang-kadang terendam air. Jabon tersebar dari daerah
pantai hingga ketinggian 1000 m dpl (Heyne 1987). Jabon termasuk jenis kayu
daun lebar yang lunak (ringan). Kayu teras berwarna putih kekuningan sampai
kuning terang, tidak dapat dibedakan dengan jelas warnanya dari kayu gubal
(Martawijaya et al. 1989). Beberapa ciri morfologi yang membedakan jabon
merah dari jabon putih dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Perbedaan ciri morfologi jabon merah dan jabon putih
No

Karakteristik

Jabon merah

1

Tunas daun muda

 Berwarna merah

2
3

Pangkal daun
Urat daun primer

 Runcing
 Berwarna merah

4

Batang muda

 Berwarna merah kehitaman

5

Batang pohon
dewasa
Warna buah

 Berwarna kehitaman

6

 Buah masak fisiologis
berwarna coklat kemerahan

Sumber: Martawijaya et al. (1989), Halawane et al. (2011)

Jabon putih
 Berwarna coklat
muda
 Rata
 Berwarna hijau
kekuningan
 Berwarna hijau
kecoklatan
 Berwarna coklat
kelabu
 Buah masak fisiologis
berwarna kuning

11
Perkembangan M. procris
M. procris merupakan serangga yang mengalami metamorfosis sempurna
(holometabola), yaitu terdiri dari telur, larva yang terdiri dari lima instar, pupa dan
imago. Perubahan setiap instar larva ditandai dengan terjadinya pergantian kulit
pada setiap fase larva. Lama perkembangan M. procris mulai dari telur, larva,
pupa sampai imago dengan pakan jabon merah dan putih tersaji pada Tabel 2.
Data stadium dan ukuran pradewasa dan dewasa M. procris ditunjukkan pada
Lampiran 1 - 5.
Tabel 2 Rata-rata stadium larva dan pupa serta lama hidup imago Moduza procris
pada daun jabon merah dan jabon putih (hari)
Jabon merah
Jabon putih
Tahap
perkembangan
N
Stadium
Stadium
Larva
50
16.00 ± 1.91
17.20 ± 2.47
Instar 1
10
3.10 ± 0.32
3.40 ± 0.52
Instar 2
10
3.20 ± 0.42
4.50 ± 0.53
Instar 3
10
3.10 ± 0.32
3.20 ± 0.42
Instar 4
10
3.10 ± 0.32
3.40 ± 0.52
Instar 5
10
3.50 ± 0.53
2.70 ± 0.48
Pupa
10
8.70 ± 1.06
8.10 ± 0.99
Imago*
Jantan
2
11.50 ± 3.53
14.50 ± 2.12
Betina
8
11.75 ± 2.05
15.25 ± 2.38
* = lama hidup, N = jumlah ulangan (individu)
Telur
Telur berbentuk agak bulat berwarna hijau kekuningan dan terdapat rambutrambut halus seperti duri pada permukaannya (Gambar 3a). Telur yang diperoleh
dari hasil pembedahan imago betina rata-rata berukuran 1.32 mm untuk pakan
dengan daun jabon merah, dan 1.36 mm pada jabon putih (Tabel 3). Menurut
Morrell (1948), telur M. procris berukuran 1 mm, dengan lama fase telur 3.5 hari.
Telur diletakkan kupu-kupu betina pada ujung daun tanaman inang yang terdapat
bekas gigitan larva. Telur berwarna hijau kekuningan, agak bulat berbentuk kubah
dengan permukaan berbentuk heksagonal dan terdapat bulu-bulu halus seperti duri
(Gambar 3b).

0..5 mm 0

a

.5 mm

b

Gambar 3 Telur Moduza procris, (a) hasil pembedahan,
(b) menurut Morrell (1948).

12
Tabel 3 Ukuran pradewasa dan imago Moduza procris pada jabon merah dan
jabon putih (mm)
Jabon merah
Jabon putih
Tahap
Panjang
Panjang
perkembangan
N
Lebar
Lebar
tubuh
tubuh
Telur
10
1.32 ± 0.09
-1.36 ± 0.09
Larva*
10
0.91 ± 0.03
7.20 ± 0.42
0.94 ± 0.01
Instar 1
10
1.92 ± 0.02
9.70 ± 0.43
1.94 ± 0.02
Instar 2
10
2.91 ± 0.03
15.60 ± 0.52
2.93 ± 0.04
Instar 3
10
3.91 ± 0.03
24.20 ± 0.79
3.93 ± 0.04
Instar 4
10
4.91 ± 0.02
33.90 ± 0.74
4.92 ± 0.02
Instar 5
Pupa
2
8.00 ± 0.00
27.50 ± 0.58
8.50 ± 0.71
Jantan
8
9.83 ± 0.52
29.63 ± 0.52
10.25 ± 0.71
Betina
Imago**
2
55.00 ± 0.00
16.50 ± 0.71
55.50 ± 0.71
Jantan
8
67.25 ± 0.89
20.50 ± 0.93
67.63 ± 0.92
Betina
Keterangan: * = lebar pada larva adalah lebar kepala, N = jumlah ulangan (individu)
** = lebar pada imago adalah rentang sayap imago

mm
3 mm

mm

16.00 ± 1.41
20.88 ± 0.64

c

5

1 cm

6 mm 6
mm

d

28.00 ± 0.00
30.00 ± 0.54

2.5 mm

b

5 mm

7.80 ± 0.42
10.30 ± 0.67
16.30 ± 0.48
24.70 ± 0.48
34.80 ± 0.42

3

5 mm

a

--

e

cm

1

f

Gambar 4 Larva Moduza procris, (a) instar 1 awal, (b) instar 1 akhir,
(c) instar 2, (d) instar 3, (e) instar 4, (f) instar 5.
Larva
Larva M. procris berbentuk silindris (erusiform). Larva tua berwarna coklat
tua sampai hitam. Pada ruas tubuh terdapat sejumlah duri. Kepala berwarna coklat
tua sampai coklat kemerahan dengan bercak-bercak merah. Pada kepala terdapat
ciri khas yaitu adanya semacam tanduk bercabang pada bagian ujung. Larva
memakan daun dengan cara menggigit dari ujung daun tanaman dan
meninggalkan tulang daun. Semakin besar ukuran stadium larva semakin banyak
daun yang dimakan. Larva yang akan berganti kulit berhenti makan untuk
sementara waktu. Pergantian kulit ditandai dengan adanya sisa bekas kulit
(eksuvia). Eksuvia ini akan dimakan kembali oleh larva kecuali eksuvia kepala.

13
Larva akan merespon bila diganggu, dan mengeluarkan cairan berwarna hijau
sebagai perlindungan diri dari serangan musuhnya.
Larva Instar 1. Larva instar 1 memiliki panjang awal 3 mm dan berwarna
coklat kehijauan, sesuai dengan warna daun yang dimakan (Gambar 4a). Setelah
keluar dari telur larva mencari pakan di sekitarnya dan mulai memakan tepi daun
dalam jumlah yang sedikit serta gerakan larva masih lambat. Rambut-rambut
tubuh belum terbentuk. Kepala larva agak bulat dengan lebar 0.91 mm (Gambar
4b). Rata-rata stadium larva instar 1 pada pakan daun jabon merah relatif lebih
singkat (3.10 hari), daripada pakan daun jabon putih (3.40 hari) (Tabel 2).
Menurut Morrell (1948), umumnya larva hidup secara soliter pada setiap ujung
daun tanaman inangnya. Bourinbaiar dan Huang (2006) menambahkan bahwa
aktifitas larva muda relatif rendah, sehingga keberadaannya masih di sekitar
daerah peletakkan telur.
Larva Instar 2. Larva instar 2 yang baru berganti kulit mempunyai panjang
tubuh sekitar 8 mm. Larva berwarna merah kecoklatan. Pada instar 2 ini larva
mulai banyak makan daripada instar sebelumnya. Akhir instar 2, larva memiliki
panjang tubuh 10 mm (Gambar 4c). Rata-rata stadium larva instar 2 dengan
pemberian pakan daun jabon merah relatif lebih singkat (3.20 hari) daripada jabon
putih (4.50 hari). Sebaliknya ukuran larva instar 2 relatif lebih besar pada pakan
daun jabon putih daripada jabon merah (Tabel 3). Morrell (1948) melaporkan
bahwa larva instar 2 mempunyai panjang tubuh sekitar 6 – 6.5 mm dengan lama
stadium 3 hari.
Larva Instar 3. Larva instar 3 memiliki panjang tubuh awal sekitar 13 mm,
dengan warna tubuh coklat kehitaman. Pada akhir instar larva mempunyai panjang
tubuh sekitar 18 mm, dengan warna yang sama coklat kehitaman. Serabut tubuh
mulai tumbuh dan sepasang serabut yang lebih panjang pada bagian kepala yang
menyerupai tanduk pada bagian ujung (Gambar 4d). Pada instar 3 larva mulai
intens makan akan tetapi tidak dalam jumlah yang banyak. Larva makan untuk
mencukupi kebutuhan tubuh dan proses moulting. Rata-rata stadium larva instar 3
dengan pemberian pakan daun jabon merah relatif lebih singkat (3.10 hari)
daripada jabon putih (3.20 hari). Sebaliknya ukuran larva relatif lebih besar pada
pakan daun jabon putih daripada jabon merah (Tabel 3). Morrell (1948)
melaporkan bahwa pada fase ini panjang tubuh larva sekitar 15 - 16 mm dengan
lama hidup 3 hari.
Larva Instar 4. Larva instar 4 memiliki panjang tubuh awal sekitar 20 mm,
dengan warna tubuh coklat kehitaman (Gambar 4e). Rata- rata stadium larva
instar 4 lebih singkat pada pakan daun jabon merah (3.10 hari) daripada daun
jabon putih (3.40 hari). Sebaliknya ukuran relatif lebih besar pada pakan daun
jabon putih (Tabel 3). Morrell (1948) melaporkan bahwa pada fase ini lama hidup
larva berlangsung selama 4 hari, dengan panjang tubuh mencapai 23 - 24 mm.
Larva Instar 5. Larva instar akhir ini memilih panjang tubuh awal 30 mm,
dan panjang tubuh akhir 35 mm. Larva berwarna coklat kehitaman (Gambar 4f).
Rata-rata lebar kepala larva mencapai 4.91 mm. Rata-rata stadium larva instar 5

14
pada pakan daun jabon putih relatif lebih singkat (2.70 hari) daripada jabon merah
(3.50 hari). Sebaliknya ukuran relatif lebih besar pada pakan daun jabon putih
(Tabel 3). Menurut Morrell (1948), pada fase akhir ini lama hidup larva
berlangsung selama 3 hari dengan panjang tubuh 31 mm. Rata-rata stadium larva
secara keseluruhan pada pemberian pakan daun jabon merah relatif lebih singkat
(16.00 hari) daripada jabon putih (17.20 hari).
Pupa

Bentuk pupa berlekuk-lekuk dan terlihat seperti daun kering yang
menggulung. Pupa berwarna coklat kekuningan atau coklat kehitaman. Bagian
posterior pupa menempel pada batang atau daun dan terikat oleh benang sutra
tipis (kremaster) (Gambar 5). Rata-rata stadium pupa dengan pakan daun jabon
putih relatif lebih singkat (8.10 hari) daripada jabon merah (8.70 hari). Sebaliknya
ukuran pupa baik jantan maupun betina relatif lebih besar pada pakan daun jabon
putih daripada daun jabon merah (Tabel 3).

a

b

c

Gambar 5 Pupa Moduza procris, (a) ventral, (b) dorsal, (c) lateral.
Imago
Imago yang baru keluar dari pupa sayapnya masih pendek, lunak, dan berkerut.
Setelah beberapa saat, sayap-sayap akan berkembang dan mengeras, pigmentasi akan
terbentuk, dan imago siap melanjutkan perkembangannya. Kupu-kupu M. procris
berwarna hitam, coklat kemerahan dengan spot putih berbentuk huruf V, bagian
ventral berwarna putih kehijauan, warna pada betina dan jantan sulit dibedakan
karena sangat mirip (Gambar 6a dan 6b). Perbedaan antara jantan dan betina dapat
dilihat dari ukuran tubuh. Ukuran tubuh pada jantan relatif lebih kecil dari betina.
Selain itu pada abdomen betina dicirikan dengan adanya ovipositor, sedangkan
pada jantan tidak terdapat ciri tersebut.
Proses kopulasi pada kupu-kupu berlangsung selama 50 menit (Gambar 6c).
Pada akhir kopulasi biasanya sayap imago rusak. Kupu-kupu betina lebih banyak
dari jantan dengan nisbah kelamin 8 : 2. Imago betina yang melakukan kopulasi
dengan cahaya matahari yang cukup, setelah dilakukan pembedahan mampu
menghasilkan telur 17 - 43 butir. Morrell (1948) melaporkan bahwa imago betina
hanya meletakkan 1 telur pada satu daun tumbuhan inangnya. Jumlah telur yang
diletakkan tergantung kecukupan nutrisi dan cahaya matahari. Morrell (1960) juga
melaporkan bahwa semua spesies Nymphalidae terbang dengan kuat dan cepat.
Kebanyakan imago jantan sangat menyukai cahaya matahari, sehingga kopulasi
dilakukan pada tempat yang banyak terdapat cahaya.

15

1 cm

1 cm

a

b

c

Gambar 6 Imago Moduza procris, (a) jantan, (b) betina, (c) kopulasi
jantan dan betina.
Lama hidup imago betina yang diberi pakan daun jabon merah relatif lebih
singkat (11.75 hari) daripada jabon putih (15.25 hari) (Tabel 2). Hasil yang sama
juga terjadi pada imago jantan dengan lama hidup 11.50 hari pada pakan daun
jabon merah, dan 14.50 hari pada pakan daun jabon putih. Sebaliknya rata-rata
ukuran imago betina maupun jantan relatif lebih besar pada pakan daun jabon
putih daripada jabon merah (Tabel 3). Secara keseluruhan hasil pengamatan lama
stadium dan ukuran M. procris tidak menunjukkan hasil yang berbeda nyata
antara jabon merah dan jabon putih.
Parasitoid M. procris
Selama penelitian ditemukan dua jenis parasitoid pada pupa, yaitu Theronia
sp. (Hymenoptera: Ichneumonidae), dan Brachymeria lassus (Hymenoptera:
Chalcididae) (Gambar 7a dan 7b). Jumlah kedua jenis parasitoid ini tersaji pada
Tabel 4. Data pengamatan parasitoid yang ditemukan selama penelitian dapat
dilihat pada Lampiran 6.
Tabel 4 Parasitoid yang keluar dari pupa Moduza procris (ekor)
Parasitoid
Theronia sp.
Brachymeria lasus

Jumlah pupa
terparasit
6
5

Jumlah parasitoid
yang keluar
6
69

Jumlah parasitoid
per inang
1
11 - 17

16
Parasitoid merupakan serangga yang bersifat sebagai parasit pada serangga
atau binatang Arthropoda yang lain. Parasitoid bersifat parasitik pada fase
pradewasa (larva) sedangkan pada fase dewasanya biasanya hidup bebas dan tidak
terikat pada inangnya. Jumlah parasitoid yang ditemukan lebih banyak pada jabon
merah, akan tetapi selama pengamatan tidak ditemukan gejala awal larva atau
pupa yang terserang parasitoid. Menurut Untung (1996), kebanyakan famili
Ichneumonidae merupakan parasitoid soliter, yaitu hanya ada satu individu yang
muncul dalam satu pupa. Purnomo (2000) juga menyatakan bahwa
Ichneumonidae merupakan famili yang banyak bertindak sebagai parasitoid pada
bermacam inang. Menurut Soviani (2012), yang melaporkan bahwa sebagian
besar famili Chalcididae merupakan parasitoid primer Lepidoptera.

11 mm

7 mm

a

b

Gambar 7 Parasitoid pada Moduza procris, (a) Theronia sp.,
(b) Brachymeria lassus.
Selain parasitoid yang ditemukan, ada beberapa jenis parasitoid yang
diketahui menyerang hama jabon di lapangan. Menurut Susanty (2014), yang
melaporkan bahwa ada lima jenis parasitiod yang menyerang hama Artrochista
hilaralis. Kelima jenis parasitoid tersebut yaitu Phanerotoma sp., Chelonus sp.,
Apanteles sp., Tetrastichus sp., dan Ooencyrtus sp..
1.

Kandungan Kimia Daun

Uji Proksimat
Analisis proksimat pertama kali dikembangkan di Weende Experiment
Station Jerman oleh Hennerberg dan Stokmann. Oleh karena itu analisis ini sering
juga dikenal dengan analisis Weende. Analisis proksimat dilakukan untuk
mengetahui