Uji Ketahanan Beberapa Klon Tanaman Karet (Hevea Brassiliensis Muel. Arg.) Terhadap 3 Isolat Penyakit Gugur Daun (Colletotrichum Gloeosporioides Penz. Sacc.) Di Laboratorium

(1)

UJI KETAHANAN BEBERAPA KLON TANAMAN KARET

(Hevea brassiliensis

Muel. Arg.) TERHADAP 3 ISOLAT PENYAKIT GUGUR

DAUN (Colletotrichum gloeosporioides

Penz. Sacc.) DI LABORATORIUM

SKRIPSI

OLEH :

SILVIA DARINA

040302014

HPT

DEPARTEMEN HAMA DAN PENYAKIT TUMBUHAN

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

UJI KETAHANAN BEBERAPA KLON TANAMAN KARET

(Hevea brassiliensis

Muel. Arg.) TERHADAP 3 ISOLAT PENYAKIT GUGUR

DAUN (Colletotrichum gloeosporioides

Penz. Sacc.) DI LABORATORIUM

SKRIPSI

OLEH :

SILVIA DARINA

040302014

HPT

Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Di Departemen Hama dan Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian

Universitas Sumatera Utara, Medan

Diketahui Oleh :

Komisi Pembimbing

( Ir. Kasmal Aripin, Msi )

( Ir. Lahmuddin Lubis, MP )

Ketua

Anggota

( Ir. Aidi Daslin Sagala, MS )

Pembimbing Lapangan

DEPARTEMEN HAMA DAN PENYAKIT TUMBUHAN

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

ABSTACT

Silvia Darina Uji Ketahanan Beberapa Klon Tanaman Karet (Hevea

brassiliensis Muel. Arg.) Terhadap 3 Isolat Penyakit Gugur Daun

(Colletotrichum gloeosporioides Penz. Sacc.) Di Laboratorium with the

conselling Mr. Ir. Lahmuddin Lubis, MP as a leader, Mr. Ir. Kasmal Aripin, Msi as co-author, Mr. Ir. Aidi Daslin, Sagala, MS as a conselling field and Mrs. Zaida Fairuzah, Sp as a conselling field. The research was conducted in Laboratory Plant Protection Sungai Putih Research Center since July to September 2008. The aims of the research was to know different resistant rubber comersial klons to 3rd

isolate fall of leaf disease (C. gloeosporioidesPenz. Sacc.). The research used the method of complete factorial random design with 40 combine of treatmentand 3 repeats. Clones that used were BPM 24, PB 260, BPM 1, RRIC 100, PB 330, IRR 118, IRR 104, BPM 107, BPM 109, PB 217.C.gloeosporioides isolate from Sumut (Sungai Putih), Palembang (Sembawa), Jawa tengah (Salatiga), and control (used aquadest steril). The result of research showed that the clone BPM 109 (K9)

is a resistant clone, clone BPM 24 (K1) is a moderat clone, and the other clones

were is a middle resistant. Periode latent to all isolate except control to 2 hsi was a clone BPM 24 and BPM 1. Isolate from Salatiga showed a high virulence if compared with isolate from Sembawa, Sungai Putih and Control.


(4)

ABSTRAK

Silvia Darina Uji Ketahanan Beberapa Klon Tanaman Karet (Hevea

brassiliensis Muel. Arg.) Terhadap 3 Isolat Penyakit Gugur Daun

(Colletotrichum gloeosporioidesPenz. Sacc.) Di Laboratorium dengan komisi

pembimbing Bapak Ir. Lahmuddin Lubis, MP selaku ketua, Bapak Ir. Kasmal Aripin, Msi selaku anggota, Bapak Ir. Aidi Daslin, Sagala, MS selaku pembimbing lapangan dan Ibu Ir. Zaida Fairuzah, Sp selaku pembimbing lapangan. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Proteksi Tanaman Balai Penelitian Perkebunan Karet Sungai Putih dari bulan Juli sampai dengan September 2008. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan ketahanan beberapa klon komersial tanaman karet terhadap 3 isolat penyakit gugur daun (C. gloeosporioidesPenz. Sacc.). Penelitian menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) Faktorial dengan 40 Perlakuan kombinasi dan 3 ulangan. Klon yang digunakan adalah BPM 24, PB 260, BPM 1, RRIC 100, PB 330, IRR 118, IRR 104, BPM 107, BPM 109, PB 217. isolat yang digunakan berasal dari Sumut (Sungai Putih), Palembang (Sembawa), dan Jawa tengah (Salatiga), dan kontrol (menggunakan air steril). Hasil Penelitian menunjukkan bahwa Klon BPM 109 (K9) adalah klon yang tergolong resisten, dan klon BPM 24 (K1) adalah klon

yang tergolong moderat, sedangkan klon yang lainnya tergolong agak resisten. Periode latent pada masing masing isolat kecuali kontrol adalah 2 hsi yaitu pada klon BPM 24 dan BPM 1. Isolat dari Salatiga menunjukkan tingkat virulensi yang tinggi bila dibandingkan isolat dari Sembawa, Sungai Putih dan Kontrol (lihat Tabel 3).


(5)

RIWAYAT HIDUP

Silvia Darina dilahirkan di Damuli pada tanggal 18 Januari 1987 dari Ayahanda Armansyah dan Ibunda Hartini. Penulis merupakan putri pertama dari 3 (tiga) bersaudara.

Pendidikan yang pernah di tempuh penulis adalah tahun 1998 lulus dari SD Al Khairiyah Medan, tahun 2001 lulus dari MTSN Binjai, tahun 2004 lulus dari SMU Panca Budi Medan, dan tahun 2004 diterima sebagai mahasiswa di Departemen Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara Medan melalui jalur SPMB.

Kegiatan akademis yang pernah diikuti penulis selama mengikuti perkuliahan adalah tahun 2004 2008 menjadi anggota Komunikasi Muslim HPT (Komus HPT), tahun 2007 menjadi seksi minat dan bakat di Ikatan Mahasiswa Perlindungan Tanaman (IMAPTAN), mengikuti seminar Pelatihan Pembuatan Kompos dan Pemanfaatan Bioaktivator Pengomposan di Fakultas pertanian USU pada tanggal 7 Juli 2007, mengikuti seminar dan lokakarya Pengelolaan dan Pembentukan Forum DAS Wampu Sei Ular di Deli Room Hotel Danau Toba International Medan pada tanggal 30 Oktober 2007, mengikuti seminar Peringatan 100 tahun Kebangkitan Nasional FP USU pada tanggal 24 mei 2008. Tahun 2008 menjadi asisten di Laboratorium Epidemiologi Penyakit Tumbuhan, tahun 2008 melaksanakan Praktek Kerja Lapangan (PKL) pada tanggal 9 Juni sampai 9 Juli 2008 di PT. PP. London Sumatera Indonesia Tbk, Begerpang Estate, Deli Serdang, dan tahun 2008 melaksanakan penelitian di Balai Penelitian Perkebunan Karet Sungai Putih, kecamatan Galang pada bulan Juli September.


(6)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat dan hidayahNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini tepat pada waktunya.

Usulan penelitian ini berjudul Uji Ketahanan Beberapa Klon Tanaman Karet (Hevea brassiliensisMuel. Arg.) Terhadap 3 Isolat Penyakit Gugur Daun (Colletotrichum gloeosporioidesPenz. Sacc.) Di Laboratorium . Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk dapat memperoleh gelar sarjana di Departemen Hama dan Penyakit Tanaman Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Komisi Pembimbing Ir. Kasmal Arifin Lubis, Msi, selaku ketua, Ir. Lahmuddin Lubis, MP selaku anggota, Ir. Aidi Daslin Sagala, MS dan Zaida fairuzah, SP, selaku pembimbing lapangan Balai Penelitian Perkebunan Karet Sungai Putih yang telah memberikan saran dan arahannya kepada penulis dalam pelaksanaan usulan penelitian ini.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih banyak kekurangan, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan usulan penelitian ini.

Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah membantu dan semoga bermanfaat bagi pihak yang membutuhkan.

Medan, Oktober 2008 Penulis


(7)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRACT... i

ABSTRAK... ii

RIWAYAT HIDUP... iii

KATA PENGANTAR... iv

DAFTAR ISI... v

DAFTAR TABEL... vi

DAFTAR GAMBAR... vii

DAFTAR LAMPIRAN... viii

PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1

Tujuan Penelitian... 3

Hipotesis Penelitian... 4

Kegunaan Penelitian... 4

TINJAUAN PUSTAKA Biologi Penyakit... 5

Gejala Serangan... 7

Epidemiologi Penyakit... 9

Resistensi Klon Karet... 10

Pengendalian Penyakit... 12

BAHAN DAN METODA Tempat dan Waktu Penelitian... 14

Bahan dan Alat... 14

Metode Penelitian... 14

Pelaksanaan Penelitian... 15

Persiapan Bahan Inokulasi... 15

Inokulasi Pada Cakram Daun (Leaf Disc)... 20

Peubah Amatan... 20

Tingkat Kepekaan/Ketahanan Klon Karet... 20


(8)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil... 24

Intensitas SeranganC.gloeosporioides(%)... 24

Pengaruh Klon (K) Terhadap Intensitas Serangan (%) C. gloeosporioides... 24

Pengaruh Isolat (I) Terhadap Intensitas Serangan (%) C. gloeosporioides... 25

Pengaruh Interaksi Isolat x Klon (I x K) Terhadap Intensitas Serangan (%)C. gloeosporioides... 25

Periode Laten... 27

Pembahasan... 24

Intensitas SeranganC.gloeosporioides(%)... 29

Pengaruh Klon (K) Terhadap Intensitas Serangan (%) C. gloeosporioides... 29

Pengaruh Isolat (I) Terhadap Intensitas Serangan (%) C. gloeosporioides... 32

Pengaruh Interaksi Isolat x Klon (I x K) Terhadap Intensitas Serangan (%)C. gloeosporioides... 34

Periode Laten... 38

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan... 40

Saran... 41 DAFTAR PUSTAKA


(9)

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel. 1. Klassifikasi Penilaian Intensitas Serangan Penyakit

C. gloeosporioides... 23 Tabel. 2. Pengaruh Faktor Klon (K) Terhadap Rataan Intensitas

Serangan (%)C. gloeosporioides... 24 Tabel. 3. Pengaruh Faktor Isolat (I) Terhadap Rataan Intensitas

Serangan (%)C. gloeosporioides... 25 Tabel. 4. Pengaruh Faktor Perlakuan Interaksi Isolat x Klon (I x K)

Terhadap Rataan Intensitas Serangan (%)C. gloeosporioides... 25 Tabel. 5. Pengamatan Periode LatentC. gloeosporioidesPada Cakram


(10)

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar. 1. KonidiaC. gloeosporioides... 5 Gambar. 2. Gejala SeranganC. gloeosporioidesPada Daun Tanaman Karet.. 8 Gambar. 3. Biakan MurniC. Gloeosporioides... 16 Gambar. 4. Haemocytometer... 16 Gambar. 5. Skala Bercak Daun Untuk Penilaian Intensitas Serangan

C. gloeosporioidesPada Cakram Daun Di Laboratorium... 21 Gambar. 6. Skala Bercak Daun Untuk Penilaian Intensitas Serangan

C. gloeosporioidesPada Cakram Daun Di Lapangan... 21 Gambar. 7. Skala Cacat Daun Untuk Penilaian Intensitas Serangan


(11)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman Lampiran. 1. Bagan Penelitian... 44 Lampiran. 2. Data Pengamatan Intensitas Serangan (%)C. gloeosporioides

Pada Pengamatan I (2 hsi)... 45 Lampiran. 3. Tabel Dwikosta Pada Pengamatan I (2 hsi)... 45 Lampiran. 4. Data Pengamatan Intensitas Serangan (%)C. gloeosporioides

Pada Pengamatan I (2 hsi) Setelah Di Transformasi Arc. Sin x. 45 Lampiran. 5. Tabel Dwikosta Pada Pengamatan I (2 hsi) Setelah Di Transformasi

Arc. Sin x... 45 Lampiran. 6. Uji Duncan Pada Pengamatan I (2 hsi)... 45 Lampiran. 7. Data Pengamatan Intensitas Serangan (%)C. gloeosporioides

Pada Pengamatan II (4 hsi) ... 51 Lampiran. 8. Tabel Dwikosta Pada Pengamatan II (4 hsi)... 45 Lampiran. 9. Data Pengamatan Intensitas Serangan (%)C. gloeosporioides

Pada Pengamatan II (4 hsi) Setelah Di Transformasi Arc. Sin x. 51 Lampiran. 10. Tabel Dwikosta Pada Pengamatan II (4 hsi) Setelah Di

Transformasi Arc. Sin x... 45 Lampiran. 11. Uji Duncan Pada Pengamatan II (4 hsi)... 45 Lampiran. 12. Data Pengamatan Intensitas Serangan (%)C. gloeosporioides

Pada Pengamatan III (6 hsi)... 56 Lampiran. 13. Tabel Dwikosta Pada Pengamatan III (6 hsi)... 45 Lampiran. 14. Data Pengamatan Intensitas Serangan (%)C. gloeosporioides

Pada Pengamatan III (6 hsi) Setelah Di Transformasi Arc. Sin x 56 Lampiran. 15. Tabel Dwikosta Pada Pengamatan III (6 hsi) Setelah Di

Transformasi Arc. Sin x... 45 Lampiran. 16. Uji Duncan Pada Pengamatan III (6 hsi)... 45


(12)

Lampiran. 17. Data Pengamatan Intensitas Serangan (%)C. gloeosporioides

Pada Pengamatan IV (8 hsi)... 56

Lampiran. 18. Tabel Dwikosta Pada Pengamatan IV (8 hsi)... 45

Lampiran. 19. Data Pengamatan Intensitas Serangan (%)C. gloeosporioides Pada Pengamatan IV (8 hsi) Setelah Di Transformasi Arc. Sin x 56 Lampiran. 20. Tabel Dwikosta Pada Pengamatan IV (8 hsi) Setelah Di Transformasi Arc. Sin x... 45

Lampiran. 21. Uji Duncan Pada Pengamatan IV (8 hsi)... 45

Lampiran. 22. Foto Daun... 67


(13)

ABSTACT

Silvia Darina Uji Ketahanan Beberapa Klon Tanaman Karet (Hevea

brassiliensis Muel. Arg.) Terhadap 3 Isolat Penyakit Gugur Daun

(Colletotrichum gloeosporioides Penz. Sacc.) Di Laboratorium with the

conselling Mr. Ir. Lahmuddin Lubis, MP as a leader, Mr. Ir. Kasmal Aripin, Msi as co-author, Mr. Ir. Aidi Daslin, Sagala, MS as a conselling field and Mrs. Zaida Fairuzah, Sp as a conselling field. The research was conducted in Laboratory Plant Protection Sungai Putih Research Center since July to September 2008. The aims of the research was to know different resistant rubber comersial klons to 3rd

isolate fall of leaf disease (C. gloeosporioidesPenz. Sacc.). The research used the method of complete factorial random design with 40 combine of treatmentand 3 repeats. Clones that used were BPM 24, PB 260, BPM 1, RRIC 100, PB 330, IRR 118, IRR 104, BPM 107, BPM 109, PB 217.C.gloeosporioides isolate from Sumut (Sungai Putih), Palembang (Sembawa), Jawa tengah (Salatiga), and control (used aquadest steril). The result of research showed that the clone BPM 109 (K9)

is a resistant clone, clone BPM 24 (K1) is a moderat clone, and the other clones

were is a middle resistant. Periode latent to all isolate except control to 2 hsi was a clone BPM 24 and BPM 1. Isolate from Salatiga showed a high virulence if compared with isolate from Sembawa, Sungai Putih and Control.


(14)

ABSTRAK

Silvia Darina Uji Ketahanan Beberapa Klon Tanaman Karet (Hevea

brassiliensis Muel. Arg.) Terhadap 3 Isolat Penyakit Gugur Daun

(Colletotrichum gloeosporioidesPenz. Sacc.) Di Laboratorium dengan komisi

pembimbing Bapak Ir. Lahmuddin Lubis, MP selaku ketua, Bapak Ir. Kasmal Aripin, Msi selaku anggota, Bapak Ir. Aidi Daslin, Sagala, MS selaku pembimbing lapangan dan Ibu Ir. Zaida Fairuzah, Sp selaku pembimbing lapangan. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Proteksi Tanaman Balai Penelitian Perkebunan Karet Sungai Putih dari bulan Juli sampai dengan September 2008. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan ketahanan beberapa klon komersial tanaman karet terhadap 3 isolat penyakit gugur daun (C. gloeosporioidesPenz. Sacc.). Penelitian menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) Faktorial dengan 40 Perlakuan kombinasi dan 3 ulangan. Klon yang digunakan adalah BPM 24, PB 260, BPM 1, RRIC 100, PB 330, IRR 118, IRR 104, BPM 107, BPM 109, PB 217. isolat yang digunakan berasal dari Sumut (Sungai Putih), Palembang (Sembawa), dan Jawa tengah (Salatiga), dan kontrol (menggunakan air steril). Hasil Penelitian menunjukkan bahwa Klon BPM 109 (K9) adalah klon yang tergolong resisten, dan klon BPM 24 (K1) adalah klon

yang tergolong moderat, sedangkan klon yang lainnya tergolong agak resisten. Periode latent pada masing masing isolat kecuali kontrol adalah 2 hsi yaitu pada klon BPM 24 dan BPM 1. Isolat dari Salatiga menunjukkan tingkat virulensi yang tinggi bila dibandingkan isolat dari Sembawa, Sungai Putih dan Kontrol (lihat Tabel 3).


(15)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Tanaman Karet (Hevea brassiliensis Muell. Arg.) merupakan salah satu komoditi pertanian yang penting baik lingkup internasional dan teristimewa bagi Indonesia. Tanaman ini berasal dari daerah Amerika Selatan, tepatnya di wilayah Amazon Brazilia. Pada tahun 1860 dimulai pengembangan karet di Asia Tenggara sedangkan tahun 1864 untuk pertama kalinya tanaman karet di perkenalkan di Indonesia (Nazaruddin dan Farry, 1999).

Indonesia merupakan negara dengan perkebunan karet terluas di dunia meskipun tanaman tersebut baru di introduksi pada tahun 1864, hanya dalam kurun waktu sekitar 150 tahun sejak di kembangkan pertama kali luas areal perkebunan karet di Indonesia telah mencapai 3.260.291 ha. Dari total areal perkebunan karet di Indonesia tersebut, 84.5 % di antaranya merupakan kebun milik rakyat, 8.4 % milik swasta, dan hanya 7.1 % milik negara. Puncak kejayaan karet Indonesia terjadi antara tahun 1926 sampai menjelang perang dunia II, ketika itu Indonesia merupakan pemasok utama karet alam terkemuka di pasar internasional. Setelah kemerdekaan produksi karet Indonesia justru merosot, situasi politik yang tidak menentu dan tidak dilakukannya peremajaan merupakan faktor utama produksi karet Indonesia merosot. Pada awal dekade 1990 produksi karet Indonesia kembali naik setelah dilakukan peremajaan tanaman sejak 1970. Maka hal ini menjadi tantangan bagi negara Indonesia untuk meningkatkan


(16)

kualitas serta kuantitas produksi karet alamnya supaya dapat menjadi produsen utama karet dunia kembali (Setiawan dan Andoko, 2006).

Dalam rangka meningkatkan pendapatan petani karet dan meningkatkan ekspor non migas. Mulai tahun 1980 an pemerintah telah mengembangkan pertanaman karet dengan pola intensifikasi, rehabilitasi, perluasan areal, dan penanaman ulang. Sebagai konsekuensinya, berbagai masalah telah timbul dan salah satu di antaranya adalah penyakit. Penyakit pada tanaman karet merupakan salah satu faktor pengganggu yang penting daripada masalah gangguan yang lainnya, dan bahkan seringkali dapat menggagalkan suatu usaha pertanaman. Penyakit tanaman karet dapat dijumpai dari pembibitan sampai tanaman tua, dari bagian akar hingga daun. Penyebab penyakit pada tanaman karet umumnya disebabkan oleh cendawan/jamur (Sujatno, 1990).

Salah satu penyakit yang perlu diperhatikan adalah penyakit gugur daun (Colletotrichum gloeosporioides) yang terjadi pada pertumbuhan daun muda yang sangat mengganggu budidaya karet. Serangan Colletotrichum pada klon yang rentan dapat menyebabkan gugur daun terus menerus selama terjadi pembentukan pucuk pucuk baru dalam musim penghujan. Klon yang menggugurkan daun daunnya tidak serempak akan mengalami serangan terus menerus sehingga produksi lateks turun secara nyata. Serangan pada bibitan dan tanaman belum menghasilkan (TBM) dapat menyebabkan hambatan pertumbuhan sehingga dapat memperpanjang masa tidak produktif (Anonimous, 1991).

Gugur daun Colletotrichum dapat menurunkan produksi lateks karena daun sebagai tempat terjadinya fotosintesis tidak sempat berfungsi dengan sempurna sehingga akan berpengaruh langsung pada semua proses metabolisme


(17)

tanaman termasuk proses pembentukan lateks turun. Dalam keadaan serangan penyakit yang parah produksi lateks menurun hingga 45 % (Soepena, 1991).

Resistensi tanaman merupakan komponen pengendalian penyakit penting di perkebunan karet Indonesia. Klon klon resisten ternyata telah mampu mengurangi kerugian akibat kerusakan oleh penyakit penting karet salah satunya penyakit gugur daun Colletotrichum. Penggunaan klon klon unggul dalam pertanaman karet terbukti dapat meningkatkan produksi karet lebih tinggi hal ini dikarenakan klon klon unggul yang resisten mampu mengurangi kerugian akibat kerusakan penyakit dan memiliki kualitas serta kuantitas yang lebih unggul (Situmorangdkk, 1998).

Pada lokakarya nasional pemuliaan tanaman karet 2005, telah direkomendasikan klon klon unggul baru generasi 4 untuk periode tahun 2006 2010, yaitu klon : IRR 5, IRR 32, IRR 39, IRR 42, IRR 104, IRR 112, dan IRR 118. klon : IRR 42 dan IRR 112 akan diajukan pelepasannya sedangkan klon IRR lainnya sudah dilepas secara resmi (Daslin dan Lasminingsih, 2001).

Dalam hal ini penulis mengadakan penelitian pengujian beberapa klon tanaman karet (Hevea brasiliensis Muell. Arg.) terhadap 3 isolat penyakit gugur daun (C. gloeosporioidesPenz. Sacc.) dari daerah yang berbeda.

Tujuan penelitian

Untuk mengetahui perbedaan ketahanan beberapa klon komersial tanaman karet terhadap 3 isolat penyakit gugur daun C. gloeosporioides Penz. Sacc. di laboratorium. Dimana diharapkan dari pengujian ini diketahui klon yang peka dan tahan terhadap penyakit ini.


(18)

Hipotesis Penelitian

Terdapat perbedaan ketahanan beberapa klon karet terhadap 3 isolat penyakit gugur daun C. gloeosporioidesPenz. Sacc. dari daerah yang berbeda. Kegunaan Penelitian

Sebagai bahan informasi bagi pihak yang memerlukan dan sebagai salah satu syarat untuk dapat menyelesaikan pendidikan di Departemen Ilmu Hama dan Penyakit Tanaman Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan.


(19)

TINJAUAN PUSTAKA

Biologi Penyakit

Penyakit gugur daun yang menyerang tanaman karet disebabkan oleh

Colletotrichum gloeosporioides Penz. Sacc. Stadium sempurna (Perfect stage) dari jamur ini adalah Glomerella cingulata (Stonem) Spauld et v. Schrenk. Stadium ini ditemukan pada daun daun tua yang sedang membusuk. Jamur ini juga merupakan penyebab gugur daun sekunder (SLF) (Wetscott, 1960).

Menurut Alexopoulos and Mims (1979) penyakit gugur daun (Colletotrichum gloeosporioides Penz. Sacc.) dapat di klasifikasikan sebagai berikut :

Kingdom : Myceteae

Divisio : Amastigomycota Sub Divisio : Deuteromycotina Class : Deuteromycetes Ordo : Melanconiales Famili : Melanconiaceae Genus :Colletotrichum

Species :C. gloeosporioidesPenz. Sacc

Gambar. 1. KonidiaColletotrichum


(20)

Colletotrichummempunyai konidiofor yang pendek pada permukaan yang tipis dari parenkhimoid dan stroma (acervulus). Konidia dibentuk dalam

acervulus. Merupakan parasit pada daun dan buah, biasanya dikenal dengan nama antraknosa (Dickman, 1993).

Konidia terbentuk dalam acervuli (seperti bantalan) bersel berwarna terang. Acervuli berlilin, berbentuk cakram tetapi tidak mempunyai duri duri, berwarna gelap berada diantara kondiofor. Konidia berbentuk oval memanjang, agak melengkung dan dalam jumlah banyak berwarna kemerahan (seperti warna

salmon) merupakan turunan konidia (imperfect) dan glomerella (ascomycetes) (Rubert, 1992).

C. gloeosporioidesPenz. Sacc. merupakan parasit fakultatif yang termasuk ordo melanconiales. Konidianya berukuran panjang 10 15 µm dan lebar 5 7 µm. Acervuli berada di bawah jaringan epidermis, tipe sub epidermis terdiri dari konidiofor yang berbulu seta.Colletotrichummempunyai stroma yang terdiri dari massa miselium yang berbentuk acervulus, bersepta, panjang antara 30 90 µm, umumnya berkembang merupakan perpanjangan dari setiap acervulus

(Bailey and Jeger, 1992).

Acervuli tersusun di bawah epidermis tumbuhan inang. Epidermis pecah apabila konidia telah dewasa, konidia keluar sebagai percikan berwarna putih, kuning, jingga, hitam atau warna lain sesuai pigmen yang dikandung konidia. DiantaraMelanconialesyang konidianya cerah (hyalin) adalahGloeosporium dan

Colletotrichum, keduanya mempunyai konidia yang memanjang dengan penciutan di tengah (Agrios, 1978).


(21)

Pada medium agar PDA (Potato Dextrose Agar) C. gloeosporioidesdapat tumbuh dan bersporulasi dengan baik. Biakan murni pada medium tersebut berwarna kelabu kehitaman atau keputih putihan. Serta konidia yang dihasilkan bersel satu dan tidak berwarna (Alexopoulos and Mims, 1979).

Gejala Serangan

Serangan C. gloeosporioides terutama menyerang daun. Serangan yang berat pada daun muda yang baru terbentuk setelah tanaman meranggas sehingga menyebabkan banyaknya daun muda yang gugur. Hal ini disebut dengan gugur daun sekunder, ini terutama terjadi jika perkembangan daun muda berlangsung pada cuaca yang basah. Gejala pertama pada daun muda yang agak dewasa dapat di lihat dengan adanya spora (konidium) jamur yang berwarna merah jambu. Pada cuaca yang basah massa spora ini dapat terlihat jelas, lalu daun muda tampak lemas berwarna hitam, keriput, bagian ujung mati, menggulung dan akhirnya berguguran. Daun muda hanya rentan selama ± 5 hari pada waktu kuncup membuka (bud break) dan selama 10 hari pertama pada waktu daun berkembang. Setelah itu daun membuka penuh, warnanya sudah berubah dari warna perunggu menjadi hijau pucat. Pada waktu itu kutikula sudah terbentuk dan daun cukup tahan. Jika infeksi terjadi pada bagian awal dari masa 15 hari tersebut, daun akan segera layu dan rontok, tetapi jika infeksi terjadi pada tingkat yang lebih maka daun sudah mempunyai ketahanan dalam, yang mencegah terjadinya kerusakan yang meluas. Sehingga meskipun sebagian daun berubah bentuknya dan banyak bercak bercak daun tidak akan gugur (Semangun, 1991).


(22)

Pada daun daun yang lebih dewasa serangan C. gloeosporioides dapat menyebabkan tepi dan ujung daun berkeriput, dan pada permukaan daun terdapat bercak bercak bulat berwarna cokelat dengan tepi kuning, bergaris tengah 1 2 mm. Bila daun bertambah umurnya, bercak akan berlubang di tengahnya, dan bercak tampak menonjol dari permukaan daun. Ini juga merupakan salah satu tanda pengenal yang penting bagi penyakit (Dickman, 1993).

Gambar. 2. Gejala SeranganC. gloeosporioidespada daun tanaman Karet (Sumber : foto langsung).

Bercak yang besar mudah pecah bila ditiup angin dan membentuk lubang yang disebut Shot hole (robek). Dalam cuaca lembab tunas akan terbentuk berulang ulang tetapi setiap keluar tunas akan diikuti oleh serangan penyakit, sehingga daun gugur kembali. Gugur daun yang terus menerus menyebabkan mati pucuk (die back). Pertumbuhan tanaman terhambat dan menyebabkan produksi getah turun. Kepekaan klon bisa menambah parah kerusakan yang terjadi, kerusakan berat sering terjadi pada tanaman yang ditanam pada ketinggian lebih dari 300 m dpl (Soepena, 1991).

Daun yang terinfeksi dapat menunjukkan gejala setelah berumur 2- 53 hari, dan gugur setelah daun berumur antara 12 64 hari. Jadi setelah pengamatan pertama kolonisasi dan invasi akan berkembang Purwantara dan Pawirosoemardjo (1991).


(23)

Serangan berat oleh C. gloeosporioides pada tanaman okulasi yang baru berumur beberapa bulan dapat menyebabkan tunas menjadi busuk dan mati. Di pembibitan dapat menyebabkan gugurnya daun daun muda sehingga mengakibatkan gundul, sedang daun daun yang tidak gugur berlubang lubang. Sehingga pertumbuhan bibit terhambat serta kesulitan pelaksanaan okulasi karena kulit menjadi tipis dan melekat pada kayu di kebun entres akibatnya kualitas kayu entres merosot, sedang pada tanaman yang menghasilkan menurunkan produksi. Pada klon yang rentan serangan berat dapat menurunkan produktivitas lateks 30 % atau lebih, sedangkan di pembibitan dapat mengakibatkan matinya bibit (Anonimous, 1991).

Epidemiologi Penyakit

Penularan utama Colletotrichum adalah dengan spora konidia yang disebarkan melalui percikan air hujan dan angin. Konidia merupakan sel tunggal yang transparan, sangat ringan dan terbentuk pada ujung konidiofor (Soepena, 1991).

Evaluasi perkembangan penyakit gugur daun Colletotrichum dilakukan di wilayah Langkat, Sumatera Utara, yakni di Kebun Batang Serangan dan Kebun Tanjung Keliling. Perkembangan kedua patogen sangat dipengaruhi oleh agroekosistem setempat. Dari hasil pengamatan diketahui bahwa periode tahun 1999 pada umumnya tanaman karet mendapat gangguan penyakit Colletotrichum

lebih berat dibandingkan tahun sebelumnya. Hal ini diduga disebabkan faktor iklim yaitu pada saat pembentukan daun baru (flush) setelah tanaman menggugurkan daun secara alami diikuti dengan jumlah hari hujan yang tinggi


(24)

dan merata menyebabkan kondisi daun menjadi sangat rentan. Akibatnya daun baru yang terbentuk menjadi gugur kembali, keadaan ini terjadi berulang kali. Hal ini didukung oleh data curah hujan selama 3 tahun terakhir (Anonimous, 1999).

Perkembangan penyakit gugur daun Colletotrichum sangat dipengaruhi oleh kondisi curah hujan yang tinggi pada saat pembentukan daun baru setelah gugur alami. Spora patogen tersebar sepanjang hari dan mencapai puncak pukul : 11. 00 14.00 WIB (Soekirman, 2001).

Suhu udara optimum untuk berkembangnya jamur ini antara 28 ºC dengan kelembaban di atas 95 %, sedangkan suhu di bawah 5 ºC dan di atas 32 ºC konidia jamur tidak dapat berkecambah. Sementara pada percobaan di rumah kaca dan laboratorium ternyata bahwa infeksi jamur terjadi pada kelembaban lebih dari 96 % pada temperatur 26 31 ºC (Bailey and Jeger, 1992).

Resistensi Klon Tanaman Karet

Pada umumnya klon karet yang dilepas Pusat Penelitian Karet mempunyai resistensi yang baik terhadap satu atau beberapa penyakit penting karet. Beberapa klon yang cukup handal mengatasi beberapa penyakit penting karet terutama penyakit gugur daun Colletotrichum di berbagai daerah perkebunan Indonesia adalah BPM 1, BPM 24, PR 260, dan RRIC 100. Klon anjuran IRR juga termasuk klon yang mempunyai resistensi yang baik terhadap penyakit karet. Penggunaan klon resisten merupakan metoda pengendalian yang efektif karena kemampuannya memperkecil kerusakan tanaman. Rendahnya kerusakan tanaman resisten adalah sebagai akibat penurunan populasi awal patogen dan laju infeksi patogen. Mekanisme kerjanya adalah mengurangi jumlah spora patogen atau memperkecil


(25)

jumlah populasi awal, menghambat perkembangan bercak, memperpanjang waktu dalam pembentukan spora baru dan memperkecil jumlah spora baru. Disamping efektif, penggunaan klon resisten juga dianggap efisien karena sekali penggunaan klon resisten relatif tidak lagi memerlukan biaya, tenaga dan waktu. Tetapi kendala yang dihadapi adalah tidak satu klonpun yang mempunyai resistensi terhadap semua penyakit, demikian juga resistensi suatu klon terhadap penyakit tertentu dapat menjadi patah pada suatu agroklimat atau ras patogen tertentu. Untuk mengoptimalkan penggunaan klon resisten dianjurkan untuk membatasi penggunaan satu klon dalam hamparan luas, menggunakan klon karet secara berimbang dalam suatu hamparan, dan menanam klon campuran dalam satu blok serta penempatan suatu klon dalam suatu agroklimat yang sesuai untuk menghindari kerusakan berat penyakit penting (Situmorangdkk, 1998).

Klon BPM 24 merupakan hasil seleksi dari persilangan antara klon GT 1 x AVROS. Ketahanan terhadap penyakit daun Corynesporacukup baik, sedangkan ketahanan terhadapColletotrichum kurang. Perioritas pengembangannya dapat di lakukan di daerah beriklim sedang. Lateks berwarna putih kekuningan, dan dapat diolah menjadi SIR 3L (Woelan dkk, 1999).

Setiap masing masing klon baik yang tergolong dalam anjuran maupun komersial mempunyai sifat ketahanan yang berbeda beda terhadap jamur C. gloeosporioides. Klon RRIC 100 ketahanannya terhadap beberapa penyakit daun (Colletotrichum, Corynespora, dan Oidium) cukup baik. Potensi produksi awal rendah dengan raa rata produksi aktual 1567 kg/ha/thn selama 8 tahun penyadapan, lateks berwarna putih. Pengembangannya dapat dilakukan pada daera beriklim sedang sampai basah (Woelan dkk, 1999).


(26)

Hubungan antaraC. gloeosporioides dan toksin yang dihasilkannya dengan kerentanan klon karet dapat digolongkan menjadi : 1) rentan terhadap serangan jamur dan toksin yang dihasilkannya; 2) rentan terhadap serangan jamur tetapi resisten terhadap toksin; 3) resisten terhadap serangan jamur dan rentan terhadap toksin; 4) resisten terhadap serangan jamur dan toksin. Klon apa saja yang termasuk kelompok tersebut sampai sekarang belum banyak diketahui, tetapi klon klon yang termasuk dalam kelompok pertama dan ketiga adalah klon yang berisiko mengalami serangan berat (Situmorang dkk, 1998)

Kajian tentang sifat resistensi klon terhadap penyakit utama pada karet khususnya klon yang akan dianjurkan diperlukan untuk merumuskan rekomendasi klon unggul. Dari hasil uji resistensi klon terhadap penyakitColletotrichumdalam kondisi laboratorium menunjukkan :

(a.) IRR 106, IRR 118, IRR 130 Resisten

(b.) BPM 1, IRR 111, IRR 120, IRR 129 Agak Resisten

(c.) IRR 100, IRR 104, IRR 105, IRR 107, IRR 110, IRR 112, IRR 117, IRR 124, IRR 125, IRR, 126, IRR 128 Moderat

(d.) IRR 101, IRR 102, IRR 103, IRR 108, IRR 109, IRR 113, IRR 114, IRR 115, IRR 127 Agak Rentan dan yang rentan : GT 1, IRR 116, IRR 119, IRR 123, RRIM 600 (Sujatnodkk, 1998).

Pengendalian Penyakit

Pengendalian penyakit gugur daun Colletotrichum dapat diusahakan melalui pemeliharaan tanaman seperti menanam 3 jenis klon anjuran yang resisten dalam satu areal pertanaman seperti : PR 261, RRIC 100, BPM 1, BPM 24, BPM


(27)

107, BPM 109, PB 260, klon seri 00 dan 100 dan klon unggul lainnya (Riyaldi, 2003).

Klon yang peka diganti tajuknya melalui okulasi tajuk dengan klon tahan sehingga diharapkan bebas dari serangan Colletotrichum. Penginokulasian dilakukan pada ketinggian 2 meter di atas permukaan tanah, pada umur 2 3 tahun di lapangan (Situmorang dan Budiman, 1984).

Melakukan pemupukan teratur seperti pada tanaman terserang ringan diberi pupuk nitrogen dua kali dosis anjuran pada saat daun mulai terbentuk. Pupuk dibenamkan ke dalam tanah agar mudah diserap akar, selain itu dilakukan pemberantasan gulma (Riyaldi, 2003).

Pinggiran daun lebih awal disemprot dengan penyemprotan asam kakodilik agar tanaman membentuk daun daun baru lebih awal sebelum musim hujan dengan demikian tanaman akan terhindar serangan penyakit (Situmorang dan Budiman, 1984).

Tanaman yang terserang berat dilakukan penyemprotan dengan fungisida kontak yang disemprotkan pada setiap mulai membentuk daun dengan interval 1 minggu sampai daun berwarna hijau. Fungisida yang efektif untuk penyakit ini adalah mankozeb. Alat penyemprotan juga berbeda sesuai dengan umur tanaman jika di pembibitan digunakan knapsack sprayer sedangkan pada masa TBM menggunakan mist blower (Soepena, 1991).


(28)

BAHAN DAN METODA

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini di laksanakan di Laboratorium Proteksi Tanaman Balai Penelitian Perkebunan Karet Sungai Putih, Kecamatan Galang yang terletak ± 80 m dpl. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli 2008 sampai dengan bulan September 2008.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan terdiri dari 10 klon daun tanaman karet, aquadest steril, 3 Isolat C. gloeosporioides yang berasal dari daerah yang berbeda (Isolat Sei Putih, Sembawa, dan Salatiga), Potato Dextrose Agar (PDA), clorox 0,1 %, dan alkohol 96 %.

Alat yang digunakan terdiri dari pinset, petridish, erlenmeyer, haemocytometer, mikroskop, autoclave, inkubator, jarum inokulasi, kapas, kertas saring, dan cork borer (pelubang gabus).

Metode Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) faktorial yang terdiri dari 40 kombinasi perlakuan dan tiga ulangan dengan 2 faktor perlakuan yaitu :

Isolat yang terdiri dari :

I0 : Kontrol (Aquadest steril)


(29)

I2 : Isolat dari Sembawa Palembang

I3 : Isolat dari Salatiga Jawa Tengah

Klon yang terdiri dari 10 jenis yaitu :

K1 : BPM 24 K6 : IRR 118

K2 : PB 260 K7 : IRR 104

K3 : BPM 1 K8 : BPM 107

K4 : RRIC 100 K9 : BPM 109

K5 : PB 330 K10 : PB 217

Kombinasi kedua perlakuan tersebut adalah sebagai berikut :

I0K1 I0K2 I0K3 I0K4 I0K5 I0K6 I0K7 I0K8 I0K9 I0K10

I1K1 I1K2 I1K3 I1K4 I1K5 I1K6 I1K7 I1K8 I1K9 I1K10

I2K1 I2K2 I2K3 I2K4 I2K5 I2K6 I2K7 I2K8 I2K9 I2K10

I3K1 I3K2 I3K3 I3K4 I3K5 I3K6 I3K7 I3K8 I3K9 I3K10

Jumlah Perlakuan : 40

Jumlah Ulangan : 3

Jumlah Cakram Daun tiap klon : 5 Diameter Cakram Daun : 2 cm Jumlah Unit Percobaan : 120 Pelaksanaan Penelitian

Persiapan Bahan Inokulasi

Isolat C. gloesporioides dari beberapa daerah dimurnikan pada media PDA. Biakan yang telah benar benar murni diinkubasikan dalam inkubator selama 6 hari pada suhu 28odan RH 60 70 %.


(30)

Biakan murni dari C. gloesporioides ditetesi dengan aquadest steril secukupnya, kemudian dikikis dengan menggunakan jarum kait, sehingga seluruh konidia yang terdapat pada ujung konidiofor terlepas dan masuk kedalam larutan. Campuran larutan ini disaring dengan menggunakan kain muslin, sehingga potongan miselium atau bagian yang kasar dari media akan tertinggal pada kain penyaring, sedangkan yang dapat lolos hanya konidia. Kemudian suspensi ini diencerkan dengan aquadest steril sehingga mencapai kerapatan konidia sebanyak 4.104 konidia/ml. Konsentrasi ini dapat dihitung dengan menggunakan

haemocytometer.

Gambar. 3. Biakan MurniC. gloeosporioides

(Sumber : foto langsung)

Jumlah konidia C. gloeosporioides di hitung dengan menggunakan alat hitung Haemocytometer

Gambar. 4. Alat Untuk menghitung Konidia (Haemocytometer) (Sumber :http://www.wikimedia.co.id)


(31)

Kotak a, b, c, d dan e adalah kotak yang dihitung jumlah konidianya. Adapun cara kerjanya sebagai berikut :

Bersihkan permukaan kamar itung dengan air mengalir dan kemudian keringkan dengan tissue atau kain yang lembut.

Tempatkan gelas penutup di atas slide, kemudian dijepit dengan penjepit yang ada di sebelah kanan kiri.

Siapkan suspensi konidia yang di hitung, usahakan konidia yang tersuspensi dalam cairan menyebar merata.

Ambil sedikit suspensi konidia dengan pipet tetes dan teteskan sebanyak 2 tetes di tepi gelas penutup. Suspensi akan masuk ke kamar hitung dan mengisi seluruh ruangan yang ada pada bilik tersebut.

Biarkan selama 1 2 menit, agar sel yang ada di dalam bilik stabil.

Tempatkan haemocytometer pada meja mikroskop dan hitung jumlah sel yang ada dengan rumus sebagai berikut :

Jumlah Konidia/ml = (a + b + c + d + e) X 50000 Hasil perhitungan konidia jamurC. gloeosporioides:

Isolat Sei Putih a = 5 konidia b = 3 konidia c = 7 konidia d = 6 konidia e = 4 konidia

+ 25 konidia


(32)

= ( 5 + 3 + 7 + 6 + 4 ) X 50000 = 125 X 104

Maka untuk membuat kerapatan 4.104 konidia ml/air digunakan rumus

pengenceran sebagai berikut : V1N1 = V2N2

50 x 125.104 = V

2x 4.104

V2 = 1562.5 ml

Maka penambahan aquadest steril seagai pengencer untuk menghasilkan kerapatan konidia 4.104 ml/air :

1562.5 50 = 1512.5 ml.  Isolat Sembawa

a = 2 konidia b = 1 konidia c = 1 konidia d = 1 konidia e = 0 konidia

+ 5 konidia

Jumlah Konidia = (a + b + c + d + e) X 50000 = ( 2 + 1 + 1 +1 + 0 ) X 50000 = 25 X 104

Maka untuk membuat kerapatan 4.104 konidia ml/air digunakan rumus

pengenceran sebagai berikut : V1N1 = V2N2

80 x 25.104 = V


(33)

V2 = 500 ml

Maka penambahan aquadest steril seagai pengencer untuk menghasilkan kerapatan konidia 4.104 ml/air :

500 80 = 420 ml.  Isolat Salatiga

a = 10 konidia b = 16 konidia c = 17 konidia d = 11 konidia e = 22 konidia + 76 konidia

Jumlah Konidia = (a + b + c + d + e) X 50000 = ( 10 + 16 + 17 + 11 + 22 ) X 50000 = 380 X 104

Maka untuk membuat kerapatan 4.104 konidia ml/air digunakan rumus

pengenceran sebagai berikut : V1N1 = V2N2

50 x 380.104 = V

2x 4.104

V2 = 4750 ml

Maka penambahan aquadest steril seagai pengencer untuk menghasilkan kerapatan konidia 4.104 ml/air :


(34)

Inokulasi Pada Cakram Daun(Leaf Disc)

Setiap daun dari 10 klon yang di uji di lubangi sehingga terbentuk cakram daun dengan alat pelubang gabus (Cork Borer) yang berdiameter 2 cm. Selanjutnya Cakram daun diinokulasikan dengan cara direndam dengan suspensi konidiaC. gloesporioidesdengan kerapatan 4.104 konidia/ml selama 1 2 menit.

Kemudian cakram daun (leaf disc) disusun di dalam petridish yang telah dilapisi kertas saring yang terlebih dahulu dilembabkan dengan aquadest steril. Satu cawan petri di letakkan 10 cakram daun yang di susun secara acak. Kemudian petridish inokulasi ditutup.

Peubah Amatan

Intensitas Serangan Pada Cakram Daun (Leaf Disc)

Potongan cakram daun yang telah diinokulasi dengan suspensi

C. gloesporioidesdiamati 2 hari sekali sebanyak 4 kali pengamatan untuk masing masing daerah asal isolat (pada hari ke 2, 4, 6, dan 8 hsi). Pengamatan dilakukan dengan membandingkan antara luas bercak yang timbul dengan luas cakram daun secara visual.

Pengukuran skala bercak pada cakram daun di laboratorium menurut metode Pawirosoemardjo (1999) yang telah dimodifikasi, maka skala bercak daun ditetapkan 0 4 yaitu sebagai berikut:

Skala 0 = tidak terdapat bercak

Skala 1 = terdapat bercak < 1/4 bagian Skala 2 = terdapat bercak < 1/2 bagian


(35)

Skala 3 = terdapat bercak >1/2 3/4 bagian Skala 4 = terdapat bercak > 3/4 bagian

Gambar. 5. Skala bercak daun untuk penilaian intensitas serangan

C. gloeosporioidespada cakram daun di laboratorium (Sumber : Puslitbun Sungai Putih)

Pengukuran skala bercak daun di lapangan menurut metode Pawirosoemardjo (1999) yang telah dimodifikasi, maka skala bercak daun ditetapkan 0 6 yaitu sebagai berikut:

Skala 0 = tidak ada bercak pada daun Skala 1 = terdapat bercak daun 1/16 bagian Skala 2 = terdapat bercak daun 1/8 bagian Skala 3 = terdapat bercak daun 1/4 bagian Skala 4 = terdapat bercak daun 1/2 bagian Skala 5 = terdapat bercak daun > 1/2 bagian

Skala 6 = terdapat bercak pada seluruh permukaan daun

Gambar. 6. Skala bercak daun untuk penilaian intensitas serangan

C. gloeosporioidespada cakram daun di lapangan (Sumber : Puslitbun Sungai Putih)


(36)

Skala cacat daun ditetapkan sebagai berikut : Skala 0 = tidak ada cacat pada daun

Skala 1 = terdapat cacat daun 1/16 bagian Skala 2 = terdapat cacat daun 1/8 bagian Skala 3 = terdapat cacat daun 1/4 bagian Skala 4 = terdapat cacat daun 1/2 bagian Skala 5 = terdapat cacat daun > 1/2 bagian

Skala 6 = terdapat cacat pada seluruh permukaan daun

Gambar. 7. Skala cacat daun untuk penilaian intensitas serangan

C. gloeosporioidespada cakram daun di lapangan (Sumber : Puslitbun Sungai Putih)

Hasil pengukuran skala bercak pada cakram daun di laboratorium digunakan untuk menghitung nilai intensitas serangan klon tanaman karet. Menurut Pawirosoemardjo (1999) nilai intensitas serangan penyakit dinyatakan dengan rumus : I = 100%

x ) (

x N Z

nxv

Dimana : I = Intensitas Serangan

n = Jumlah daun tiap kategori serangan v = Nilai skala dari setiap kategori serangan Z = Nilai skala dari kategori yang tertinggi N = Jumlah daun yang diamati


(37)

Klassifikasi penilaian intensitas serangan penyakit C. gloeosporioides di cantumkan pada tabel 1.

Tabel. 1. Klassifikasi Penilaian Intensitas Serangan PenyakitC. gloeosporioides

Klassifikasi Intensitas Serangan Resisten

Agak Resisten Moderat Agak Rentan Rentan

0 20 % 21 40 % 41 60 % 61 80 % 81 100 % (Pawirosoemardjo, 1999)

Periode Latent

Merupakan interval, dimulai dari inokulasi sampai sporulasi pertama kali terdeteksi.


(38)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Hasil penelitian uji ketahanan beberapa klon tanaman karet (Hevea brassiliensis Muel. Arg.) terhadap 3 isolat penyakit gugur daun (Colletotrichum gloeosporioides Penz. Sacc.) di laboratorium adalah sebagai berikut :

Intensitas Serangan (%)C. gloeosporioides

Pengaruh Faktor Klon (K) Terhadap Rataan Intensitas Serangan (%)

C. gloeosporioides

Berdasarkan hasil pengamatan 2, 4, 6, dan 8 hsi dari analisa sidik ragam diperoleh bahwa klon berpengaruh sangat nyata. Hal ini dapat dilihat pada tabel 2. Tabel 2. Pengaruh Faktor Klon (K) Terhadap Rataan Intensitas Serangan (%)

C. gloeosporioides

Faktor K Intensitas Serangan (%)

2 hsi 4 hsi 6 hsi 8 hsi

K1 K2 K3 K4 K5 K6 K7 K8 K9 K10

8,13 A 1,04 B 2,50 B 0,00 B 1,88 B 0,00 B 0,00 B 2,29 B 0,00 B 0,00 B

15,83 A 3,75 D 11,46 B 3,96 D 9,38 B 8,33 C 6,67 C 13,33 B 4,58 C 6,88 C

46,25 A 30,63 C 39,79 B 21,88 E 33,96 C 30,21 D 27,29 D 40,21 B 19,38 E 30,00 D

79,17 A 60,42 C 77,08 A 58,96 C 61,04 C 67,08 B 63,54 B 72,89 A 51,67 D 70,58 B

Keterangan : Notasi yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf 1 %.


(39)

Pengaruh Faktor Isolat (I) Terhadap Rataan Intensitas Serangan (%)

C. gloeosporioides

Berdasarkan hasil pengamatan 2, 4, 6, dan 8 hsi dari analisa sidik ragam diperoleh bahwa isolat berpengaruh sangat nyata. Hal ini dapat dilihat pada tabel 3.

Tabel. 3. Pengaruh Faktor Isolat (I) Terhadap Rataan Intensitas Serangan (%)

C. gloeosporioides

Faktor I Intensitas Serangan (%)

2 hsi 4 hsi 6 hsi 8 hsi

I0

I1

I2

I3

0.08 B 1.08 B 1.50 B 3.67 A

4.92 C 6.75 C 9.42 B 12.58 A

21.00 D 30.83 C 35.92 B 40.08 A

49.17 C 68.32 B 69.08 B 78.40 A

Keterangan : Notasi yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf 1 %.

Pengaruh Faktor Perlakuan Interaksi Isolat dengan Klon (I x K) Terhadap Rataan Intensitas Serangan (%)C. gloeosporioides

Berdasarkan hasil pengamatan 2, 4, 6, dan 8 hsi dari analisa sidik ragam diperoleh bahwa isolat berpengaruh sangat nyata. Hal ini dapat dilihat pada tabel 4.


(40)

Tabel. 4. Pengaruh Faktor Perlakuan Interaksi Isolat dengan Klon (I x K) Terhadap Rataan Intensitas Serangan (%)C. gloeosporioides

Perlakuan Intensitas Serangan (%)

2 hsi 4 hsi 6 hsi 8 hsi

I0K1 0,83 C 3,33 C 10,00 G 23,33 E

I0K2 0,00 C 0,00 C 5,00 G 30,00 D

I0K3 0,00 C 5,83 C 12,50 F 50,00 C

I0K4 0,00 C 0,00 C 5,00 G 20,83 E

I0K5 0,00 C 0,00 C 6,67 G 21,67 E

I0K6 0,00 C 14,17 B 40,00 C 77,5 B

I0K7 0,00 C 7,50 C 35,83 D 76,67 B

I0K8 0,00 C 8,33 C 46,67 C 83,33 A

I0K9 0,00 C 0,00 C 5,00 G 26,67 E

I0K10 0,00 C 10,00 B 43,33 C 81,67 B

I1K1 4,17 B 23,33 A 74,17 A 93,33 A

I1K2 4,17 B 7,50 C 35,83 D 50,00 C

I1K3 2,50 C 9,17 B 28,33 E 58,33 C

I1K4 0,00 C 0,00 C 5,00 G 55,00 C

I1K5 0,00 C 3,33 C 37,50 D 84,17 A

I1K6 0,00 C 3,33 C 33,33 D 60,83 C

I1K7 0,00 C 6,67 C 28,33 E 64,17 C

I1K8 0,00 C 5,83 C 21,67 E 54,07 C

I1K9 0,00 C 4,17 C 21,67 E 63,33 C

I1K10 0,00 C 4,17 C 22,50 E 100,00A

I2K1 10,00 B 18,33 B 59,17 B 100,00A

I2K2 0,00 C 4,17 C 41,67 C 100,00A

I2K3 5,00 B 23,33 A 75,83 A 100,00A

I2K4 0,00 C 10,00 B 44,17 C 100,00A

I2K5 0,00 C 5,00 C 26,67 E 38,33 D

I2K6 0,00 C 5,00 C 14,17 F 30,00 D

I2K7 0,00 C 9,17 B 26,67 E 54,17 C

I2K8 0,00 C 10,00 B 27,50 E 54,17 C

I2K9 0,00 C 5,00 C 28,33 E 73,33 B

I2K10 0,00 C 4,17 C 15,00 F 40,83 D

I3K1 17,50 A 18,33 B 41,67 C 100,00A

I3K2 0,00 C 3,33 C 40,00 C 61,67 C

I3K3 2,50 C 7,50 C 42,50 C 100,00A

I3K4 0,00 C 5,83 C 33,33 D 60,00 C

I3K5 7,50 B 29,17 A 65,00 B 100,00A

I3K6 0,00 C 10,83 B 33,33 D 100,00A

I3K7 0,00 C 3,33 C 18,33 F 59,17 C

I3K8 9,17 B 29,17 A 65,00 B 100,00A

I3K9 0,00 C 9,17 B 22,50 E 43,33 D

I3K10 0,00 C 9,17 B 39,17 C 59,83 C

Keterangan : Notasi yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf 1 %.


(41)

Pembahasan

Intensitas Serangan (%)C. gloeosporioides

Pengaruh Faktor Klon (K) Terhadap Rataan Intensitas Serangan (%)

C. gloeosporioides

Dari tabel 2 dapat dilihat bahwa pada perlakuan klon terhadap intensitas serangan memiliki variasi ketahanan yang berkisar antara 51.67 % 79.17 %. Hal ini disebabkan oleh masing masing klon yang mempunyai ketahanan yang berbeda beda terhadap jamurC. gloeosporioides. Hal ini sesuai dengan literatur Woelan, dkk (1999) yang menyatakan bahwa setiap masing masing klon baik yang tergolong dalam anjuran maupun komersial mempunyai sifat ketahanan yang berbeda beda terhadap jamurC. gloeosporioides.

Pada pengamatan I (2 hsi) perlakuan klon BPM 24 berbeda sangat nyata dengan perlakuan klon PB 260, BPM 1, RRIC 100, PB330, IRR 118, IRR 104, BPM 107, BPM 109 dan PB 217. Intensitas serangan tertinggi terdapat pada perlakuan klon BPM 24 yaitu sebesar 8.13 %, sedangkan intensitas serangan terendah terdapat pada perlakuan klon RRIC 100, IRR 118, IRR 104, BPM 109 dan PB 217 yaitu sebesar 0 %. Klon BPM 24 pada pengamatan I (2 hsi) masih tergolong dalam kategori resisten. Hal ini sesuai dengan literatur Pawirosoemardjo (1999) yang menyatakan bahwa nilai skala 0 20 % tergolong dalam kategori resisten.

Pada pengamatan II (4 hsi) dapat dilihat bahwa intensitas serangan tertinggi terdapat pada perlakuan klon BPM 24 yaitu sebesar 15.83 % dan yang terendah


(42)

terdapat pada PB 260 yaitu sebesar 3.75 %. Klon BPM 24 pada pengamatan I (2 hsi) masih tergolong dalam kategori resisten. Hal ini sesuai dengan literatur Pawirosoemardjo (1999) yang menyatakan bahwa nilai skala 0 20 % tergolong dalam kategori resisten.

Pada pengamatan III (6 hsi) dapat dilihat bahwa serangan tertinggi terdapat pada perlakuan klon BPM 24 yaitu sebesar 46.25 % dan yang terendah terdapat pada BPM 109 yaitu sebesar 19.38 %. Pada pengamatan ke III ini perlakuan klon BPM 24 sudah tergolong dalam kategori moderat dan perlakuan klon BPM 109 masih tergolong dalam kategori resisten. Hal ini dikarenakan klon BPM 24 mempunyai sifat ketahanan terhadap Colletotrichum kurang. Hal ini sesuai dengan literatur Woelan, dkk (1999) yang menyatakan bahwa klon BPM 24 merupakan hasil seleksi dari persilangan antara klon GT 1 x AVROS. Ketahanan terhadap penyakit daun Corynespora cukup baik, sedangkan ketahanan terhadap

Colletotrichumkurang.

Pada pengamatan IV (8 hsi) dapat dilihat bahwa intensitas serangan tertinggi terdapat pada klon BPM 24 yaitu sebesar 79.17 % dan intensitas serangan terendah terdapat pada perlakuan klon BPM 109 yaitu sebesar 51.67 %. Hal ini sesuai dengan literatur Pawirosoemardjo (1999) yang menyatakan bahwa nilai skala 61 80 % tergolong dalam kategori agak rentan.

Intensitas serangan (%)C. gloeosporioides selama pengamatan 2, 4, 6 dan 8 hsi dalam bentuk histogram untuk setiap klon dapat dilihat pada Gambar 8. pada Gambar histogram dapat dilihat bahwa rata rata intensitas serangan tertinggi terdapat pada 8 hsi dan terendah pada 2 hsi.


(43)

G a m b a r 8. H is to g ra m In te n s ita s S e ra n g a n (% ) C . g lo e o s p o rio id e s P e n z . S a c c P a d a P e rla k u a n K lo n (K ) 8, 13 1, 04 2, 50 0, 00 1, 88 0, 00 0, 00 2, 29 0, 00 0, 00

15 , 83

3, 75

11 , 46

3, 96

9, 38

8, 33

6, 67

13 , 33

4, 58

6, 88

46 , 25

30 , 63

39 , 79

21 , 88

33 , 96

30 , 21

27 , 29

40 , 21

19 , 38

30 , 00

79 , 17

60 , 42

77 , 08

58 , 96

61 , 04

67 , 08

63 , 54

72 , 89

51 , 67

70 , 58

0,

00 10,00 20,00 30,00 40,00 0,050 60,00 70,00 80,00 90,00

K 1 K 2 K 3 K 4 K 5 K 6 K 7 K 8 K 9 K 1 0 K lo n ( K )

Int en s i tas S e r an g a n (% )

2 hs i 4 hs i 6 hs i 8 hs i


(44)

Pengaruh Faktor Isolat (I) Terhadap Rataan Intensitas Serangan (%)

C. gloeosporioides

Dari tabel 3 dapat dilihat bahwa pada perlakuan isolat terhadap intensitas serangan memiliki variasi virulensi yang berkisar antara 49.17 % 78.40 %. Hal ini disebabkan oleh masing masing isolat C. gloeosporioides yang mempunyai sifat virulensi yang berbeda beda terhadap daun klon tanaman karet.

Pada pengamatan I (2 hsi) perlakuan kontrol sangat berbeda nyata dengan perlakuan isolat salatiga tetapi tidak berbeda nyata dengan isolat yang berasal dari sei putih dan sembawa. Adapun intensitas serangan tetinggi terdapat pada perlakuan isolat salatiga yaitu sebesar 3.67 % dan terendah terdapat pada perlakuan kontrol yaitu 0.08 %.

Pada pengamatan II (4 hsi) perlakuan kontrol sangat berbeda nyata dengan perlakuan isolat salatiga dan perlakuan isolat sembawa, tetapi tidak berbeda nyata dengan isolat yang berasal dari sei putih. Adapun intensitas serangan tetinggi terdapat pada perlakuan isolat salatiga yaitu sebesar 12.58 % dan terendah terdapat pada perlakuan kontrol yaitu 4.92 %.

Pada pengamatan III (6 hsi) perlakuan kontrol sangat berbeda nyata dengan perlakuan isolat salatiga perlakuan isolat sembawa dan isolat yang berasal dari sei putih. Adapun intensitas serangan tetinggi terdapat pada perlakuan isolat salatiga yaitu sebesar 40.08 % dan terendah terdapat pada perlakuan kontrol yaitu 21.00 %.

Pada pengamatan IV (8 hsi) perlakuan kontrol sangat berbeda nyata dengan perlakuan isolat salatiga tetapi tidak berbeda nyata dengan perlakuan isolat


(45)

sembawa dan isolat yang berasal dari sei putih. Adapun intensitas serangan tetinggi terdapat pada perlakuan isolat salatiga yaitu sebesar 78.40 % dan terendah terdapat pada perlakuan kontrol yaitu 49.17 %.

Pada pengamatan I sampai dengan pengamatan ke IV intensitas serangan tertinggi terdapat pada perlakuan isolat salatiga. Hal ini dikarenakan isolat salatiga mempunyai tingkat virulensi yang lebih tinggi dibandingkan dengan isolat sei putih dan sembawa. Pada pengamatan ini intensitas serangan terendah terdapat pada perlakuan kontrol, hal ini dikarenakan hanya menggunakan aquadest steril.

Intensitas serangan (%)C. gloeosporioides selama pengamatan 2, 4, 6 dan 8 hsi dalam bentuk histogram untuk setiap isolat dapat dilihat pada Gambar 9. pada Gambar histogram dapat dilihat bahwa rata rata intensitas serangan tertinggi terdapat pada 8 hsi dan terendah pada 2 hsi.

Gambar 9. Histogram Intensitas Serangan (%) C. gloeosporioides Penz. Sacc. Pada Perlakuan Isolat (I)

0,0

8 4,9 1,08 1,50 3,67

2 6,75 9,4

2 12,58

21,

00

30,

83 35,

92 40,08

49,

17

68,

32 69,08

78, 40 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90

I0 I1 I2 I3

Isolat Int en sit as Se ran ga n (

%) 2 hsi

4 hsi 6 hsi 8 hsi


(46)

Pengaruh Faktor Perlakuan Interaksi Isolat dengan Klon (I x K) Terhadap Rataan Intensitas Serangan (%)C. gloeosporioides

Dari tabel 4 dapat dilihat bahwa pada perlakuan interaksi isolat dengan klon (I x K) terhadap intensitas serangan memiliki variasi ketahanan yang berkisar antara 20.83 % 100 %. Hal ini disebabkan oleh hubungan antara C. gloeosporioides dan toksin yang dihasilkannya dengan kerentanan klon karet. Hal ini sesuai dengan literatur situmorang, dkk (1999) yang menyatakan bahwa hubungan antaraC. gloeosporioides dan toksin yang dihasilkannya dengan kerentanan klon karet dapat digolongkan menjadi : 1) rentan terhadap serangan jamur dan toksin yang dihasilkannya; 2) rentan terhadap serangan jamur tetapi resisten terhadap toksin; 3) resisten terhadap serangan jamur dan rentan terhadap toksin; 4) resisten terhadap serangan jamur dan toksin.

Pada pengamatan I (2 hsi) dapat dilihat bahwa intensitas serangan tertinggi terdapat pada isolat salatiga klon BPM 24 yaitu sebesar 17.50 % dan intensitas serangan terendah terdapat pada perlakuan interaksi kontrol klon PB 260, kontrol klon BPM 1, kontrol klon RRIC 100, kontrol klon PB 330, kontrol klon IRR 118, kontrol klon IRR 104, kontrol klon BPM 107, kontrol klon BPM 109, kontrol klon PB 217, isolat sei putih klon RRIC 100, isolat sei putih klon PB 330, isolat sei putih klon IRR 118, isolat sei putih klon IRR 104, isolat sei putih klon BPM 107, isolat sei putih klon BPM 109, isolat sei putih klon PB 217, isolat sembawa klon PB 260, isolat sembawa klon RRIC 100, isolat sembawa klon PB 330, isolat sembawa klon IRR 118, isolat sembawa klon IRR 104, isolat sembawa klon BPM 107, isolat sembawa klon BPM 109, isolat sembawa klon PB 217, isolat salatiga klon PB 260, isolat salatiga klon RRIC 100, isolat salatiga klon IRR


(47)

118, isolat salatiga klon IRR 104, isolat salatiga klon BPM 109, dan isolat salatiga klon PB 217 yaitu sebesar 0 %.

Pada pengamatan II (4 hsi) dapat dilihat bahwa intensitas serangan tertinggi terdapat pada isolat salatiga klon PB 330 dan isolat salatiga klon BPM 107 yaitu sebesar 29.17 % dan intensitas serangan terendah terdapat pada perlakuan interaksi kontrol klon PB 260, kontrol klon RRIC 100, kontrol klon PB 330, kontrol klon BPM 109, dan isolat sei putih klon RRIC 100 yaitu sebesar 0 %.

Pada pengamatan III (6 hsi) dapat dilihat bahwa intensitas serangan tertinggi terdapat pada isolat sembawa klon BPM 1 yaitu sebesar 75.83 % dan intensitas serangan terendah terdapat pada perlakuan interaksi kontrol klon PB 260, kontrol klon RRIC 100, kontrol klon BPM 109, dan isolat sei putih klon RRIC 100 yaitu sebesar 5.00 %.

Pada pengamatan IV (6 hsi) dapat dilihat bahwa intensitas serangan tertinggi terdapat pada isolat sei putih klon PB 217, isolat sembawa klon BPM 24, isolat sembawa klon PB 260, isolat sembawa klon BPM 1, isolat sembawa klon RRIC 100, isolat salatiga klon BPM 24 , isolat salatiga klon BPM 1, isolat salatiga klon PB 330 , isolat salatiga klon IRR 118, isolat salatiga klon BPM 109 yaitu sebesar 100 % dan intensitas serangan terendah terdapat pada perlakuan interaksi kontrol klon RRIC 100 yaitu sebesar 20.83 %.

Dari tabel 4 dapat dilihat bahwa dari pengamatan I (2 hsi) sampai dengan pengamatan ke IV (8 hsi) berpengaruh sangat nyata dan mengalami peningkatan intensitas serangan. Hal ini terjadi karena patogen berada dalam tahap menginfeksi tanaman yang semakin lama semakin berkembang. Hal ini sesuai


(48)

dengan literatur Purwantara dan Pawirosoemardjo (1991) yang menyatakan bahwa daun yang terinfeksi dapat menunjukkan gejala setelah berumur 2 53 hari, dan gugur setelah daun berumur antara 12 64 hari. Jadi setelah pengamatan pertama kolonisasi dan invasi akan berkembang.

Intensitas serangan (%)C. gloeosporioides selama pengamatan 2, 4, 6 dan 8 hsi dalam bentuk histogram untuk setiap perlakuan interaksi isolat dengan klon (I x K) dapat dilihat pada Gambar 10. Pada Gambar histogram dapat dilihat bahwa rata rata intensitas serangan tertinggi terdapat pada 8 hsi dan terendah pada 2 hsi.


(49)

G a m b a r 1 0 . H i s t o g r a m In t e n s it a s S e r a n g a n ( % ) C . g lo e o s p o r io id e s P e n z . S a c c . P a d a P e r la k u a n I n t e r a k s i Is o la t d e n g a n K l

0 , 0 0

0 , 0 0

0 , 0 0

0 , 8 3

0 , 0 0

0 , 0 0

0 , 0 0

0 , 0 0

0 , 0 0

0 , 0 0

4 , 1 7

4 , 1 7

2 , 5 0

0 , 0 0

0 , 0 0

0 , 0 0

0 , 0 0

0 , 0 0

0 , 0 0

0 , 0 0

1 0 , 0 0

0 , 0 0

5 , 0 0

0 , 0 0

0 , 0 0

0 , 0 0

0 , 0 0

0 , 0 0

0 , 0 0

0 , 0 0

1 7 , 5 0

0 , 0 0

2 , 5 0

0 , 0 0

7 , 5 0

0 , 0 0

0 , 0 0

9 , 1 7

0 , 0 0

0 , 0 0 0 , 0 0

5 , 8 3

3 , 3 3

0 , 0 0

1 4 , 1 7

7 , 5 0

8 , 3 3

0 , 0 0

1 0 , 0 0

2 3 , 3 3

7 , 5 0

9 , 1 7

0 , 0 0

3 , 3 3

3 , 3 3

6 , 6 7

5 , 8 3

4 , 1 7

4 , 1 7

1 8 , 3 3

4 , 1 7

2 3 , 3 3

1 0 , 0 0

5 , 0 0

5 , 0 0

9 , 1 7

1 0 , 0 0

5 , 0 0

4 , 1 7

1 8 , 3 3

3 , 3 3

7 , 5 0

5 , 8 3

2 9 , 1 7

1 0 , 8 3

3 , 3 3

2 9 , 1 7

9 , 1 7

9 , 1 7 5 , 0 0

1 2 , 5 0

1 0 , 0 0

6 , 6 7

4 0 , 0 0

3 5 , 8 3

4 6 , 6 7

5 , 0 0

4 3 , 3 3

7 4 , 1 7

3 5 , 8 3

2 8 , 3 3

5 , 0 0

3 7 , 5 0

3 3 , 3 3

2 8 , 3 3

2 1 , 6 7

2 1 , 6 7

2 2 , 5 0

5 9 , 1 7

4 1 , 6 7

7 5 , 8 3

4 4 , 1 7

2 6 , 6 7

1 4 , 1 7

2 6 , 6 7

2 7 , 5 0

2 8 , 3 3

1 5 , 0 0

4 1 , 6 7

4 0 , 0 0

4 2 , 5 0

3 3 , 3 3

6 5 , 0 0

3 3 , 3 3

1 8 , 3 3

6 5 , 0 0

2 2 , 5 0

3 9 , 1 7 3 0 , 0 0

5 0 , 0 0

2 0 , 8 3

2 1 , 6 7

7 7 , 5 0

7 6 , 6 7

8 3 , 3 3

2 6 , 6 7

8 1 , 6 7

9 3 , 3 3

5 0 , 0 0

5 8 , 3 3

5 5 , 0 0

8 4 , 1 7

6 0 , 8 3

6 4 , 1 7

5 4 , 0 7

6 3 , 3 3

1 0 0 , 0 0

1 0 0 , 0 0

1 0 0 , 0 0

1 0 0 , 0 0

1 0 0 , 0 0

3 8 , 3 3

3 0 , 0 0

5 4 , 1 7

5 4 , 1 7

7 3 , 3 3

4 0 , 8 3

1 0 0 , 0 0

6 1 , 6 7

1 0 0 , 0 0

6 0 , 0 0

1 0 0 , 0 0

1 0 0 , 0 0

5 9 , 1 7

1 0 0 , 0 0

4 3 , 3 3

5 9 , 8 3

0 ,0 0 2 0 ,0 0 4 0 ,0 0 6 0 ,0 0 8 0 ,0 0 1 0 0 ,0 0 1 2 0 ,0 0 I0 K 1I0 K 2I0 K 3I0 K 4I0 K 5I0 K 6I0 K 7I0 K 8I0 K 9I0 K 1 0 I1 K 1I1 K 2I1 K 3I1 K 4I1 K 5I1 K 6I1 K 7I1 K 8I1 K 9I1 K 1 0 I2 K 1I2 K 2I2 K 3I2 K 4I2 K 5I2 K 6I2 K 7I2 K 8I2 K 9I2 K 1 0I3 K 1I3 K 2I3 K 3I3 K 4I3 K 5I3 K 6I3 K 7I3 K 8I3 K 9I3 K 1 0 P e r la k u a n I n t e r a k s i

I n t e n s i t a s S e r a n g a n ( % )

2 h s i 4 h s i 6 h s i 8 h s i


(50)

Periode LatentC. gloeosporioidesPada Cakram Daun (Leaf Disc)

Pada pengamatan periode latent C. gloeosporioides pada cakram daun (leaf disc) untuk perlakuan kontrol (menggunakan air steril) klon BPM 24, PB 260, RRIC 100, PB 330 dan BPM 109 pertama kali menimbulkan gejala pada 6 hsi. Pada klon BPM 1, IRR 118, IRR 104, BPM 107, dan PB 217 pertama kali menimbulkan gejala 4 hsi. Hal ini disebabkan oleh masing masing klon yang mempunyai ketahanan yang berbeda beda terhadap jamurC. gloeosporioides. Hal ini sesuai dengan literatur Woelan, dkk (1999) yang menyatakan bahwa setiap masing masing klon baik yang tergolong dalam anjuran maupun komersial mempunyai sifat ketahanan yang berbeda beda terhadap jamurC. gloeosporioides.

Pada pengamatan periode latent C. gloeosporioides pada cakram daun (leaf disc) untuk perlakuan isolat sei putih klon BPM 24, BPM 1 pertama kali menimbulkan gejala 2 hsi, PB 260 3 hsi, RRIC 100 6 hsi dan pada klon PB 330, IRR 118, IRR 104, BPM 107, BPM 109 dan PB 217 pertama kali menimbulkan gejala 4 hsi.

Pada pengamatan periode latent C. gloeosporioides pada cakram daun (leaf disc) untuk perlakuan isolat sembawa klon BPM 24, BPM 1 pertama kali menimbulkan gejala 2 hsi. Pada klon PB 260, RRIC 100, PB 330, IRR 118, IRR 104, BPM 107, BPM 109 dan PB 217 pertama kali menimbulkan gejala 4 hsi.

Pada pengamatan periode latent C. gloeosporioides pada cakram daun (leaf disc) untuk perlakuan isolat salatiga klon BPM 24, BPM 1, PB 330, BPM 107 pertama kali menimbulkan gejala 2 hsi. Pada klon PB 260, RRIC 100, IRR 104,


(51)

BPM 109, PB 217 pertama kali menimbulkan gejala 4 hsi dan pada klon IRR 118 pertama kali menimbulkan gejala 3 hsi.

Pada pengamatan periode latent dapat diketahui bahwa pertama kali timbul gejala yang tercepat pada masing masing isolat kecuali kontrol adalah 2 hsi yaitu pada klon BPM 24 dan BPM 1. ini berarti diantara seluruh klon yang paling rentan terserang adalah klon BPM 24 dan BPM 1. hal ini sesuai dengan literatur Woelan, dkk (1999) yang menyatakan bahwa klon BPM 24 merupakan hasil seleksi dari persilangan antara klon GT 1 x AVROS. Ketahanan terhadap penyakit daun Corynespora cukup baik, sedangkan ketahanan terhadap Colletotrichum


(52)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

1. Pada pengamatan 8 hsi klon yang memiliki intensitas tertinggi terdapat pada klon BPM 24, yaitu sebesar 79.17 %, dan yang terendah terdapat pada klon BPM 109 yaitu 51.67 %.

2. Pada pengamatan 8 hsi isolat yang memiliki intensitas serangan tertinggi terdapat pada isolat isolat salatiga yaitu sebesar 78.40 %, dan terendah terdapat pada perlakuan kontrol (air steril) yaitu 49.17 %.

3. Intensitas serangan tertinggi terdapat pada isolat sei putih klon PB 217, isolat sembawa klon BPM 24, isolat sembawa klon PB 260, isolat sembawa klon BPM 1, isolat sembawa klon RRIC 100, isolat salatiga klon BPM 24, isolat salatiga klon BPM 1, isolat salatiga klon PB 330, isolat salatiga klon IRR 118, isolat salatiga klon BPM 109 yaitu sebesar 100 % dan intensitas serangan terendah terdapat pada perlakuan interaksi kontrol klon RRIC 100 yaitu sebesar 20.83 %.

4. Klon BPM 109 adalah klon yang tergolong resisten, dan klon BPM 24 adalah klon yang tergolong moderat, sedangkan klon yang lainnya tergolong agak resisten.

5. Pada pengamatan periode latent dapat diketahui bahwa pertama kali timbul gejala yang tercepat pada masing masing isolat kecuali kontrol adalah 2 hsi yaitu pada klon BPM 24 dan BPM 1.


(53)

Saran

Disarankan penelitian lanjutan mengenai Uji Ketahanan Beberapa Klon Tanaman Karet (Hevea brassiliensis Muel. Arg.) Terhadap 3 Isolat Penyakit Gugur Daun (Colletotrichum gloeosporioidesPenz. Sacc.) dalam skala lapangan.


(54)

DAFTAR PUSTAKA

Agrios, G. N. 1978. Plant Pathology Second Edition. Academic Press. A Subsidiary of harcourt Brace Jovanovich, Publisher. New York. p. 272. Alexopoulos, C. J andC. W. Mims. 1979. Introductory Mycology Third Edition.

John Wiley and Sons. New York. pp. 559 560.

Anonimous. 1991. Pengendalian Beberapa Penyakit Tanaman Karet Terpenting. Asosiasi Penelitian dan Pengembangan Perkebunan Indonesia (AP3I) Pusat Penelitian Perkebunan Sungai Putih. Taruna Melati. Medan. p. 23.

. 1999. Laporan Tahunan (Annual Report) : Pengendalian Penyakit Tanaman Karet (Control Of Hevea Rubber Diseases). Pusat Penelitian karet (Indonesian Rubber Research Institute). Medan. pp. 16 17.

Bailey, J. A and M. J. Jeger. 1992. Colletotrichum : Biology, Pathology, and Control. The British Society for Plant Pathology. London. pp. 88 337. Anwar, C. 2001. Manajemen dan Teknologi Budidaya karet. Warta Pusat

Penelitian karet. Medan.

Daslin, A dan M. Lasminingsih. 2001. Klon Karet Unggul Anjuran IRR Seri 00 Sebagai Penghasil Lateks Kayu. Warta Pusat Penelitian Karet 2001. Medan. 21 (1 3) : 25 31.

Dickman, M. B. 1993.Plant Disease Pathogen : Colletotrichum gloeosporioides. Department of Plant Pathology University of Hawaii at Hilo. Hawai.

Available at :

http://dokumen.deptan.go.id/doc/BDD2.nsf/6342ec1c781e8e3247256a4800 1c96ba?Document+klon+tahan+tanaman+karet+terhadap+colletotrichum&h l=id&ct=clnk&cd=3&gl=id. Pada tanggal 28 Januari 2008.

Nazaruddin dan Farry, B.P. 1999. Karet, Strategi Pemasaran, Budidaya dan Pengolahan. Penebar Swadaya. Jakarta. pp. 1 17.

Pawirosoemardjo, S. 1999. Aspek Aspek Biologi C. gloeosporioides Penz. dan Respon Beberapa Klon Karet Terhadap Penyakit yang Ditimbulkan. Tesis Magister Sains, Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. Riyaldi. 2003. Pedoman Pengamatan dan Pengendalian Organisme Pengganggu

Tanaman Karet. Direktorat Bina Produksi Perkebunan Departemen Pertanian Desember 2003. Jakarta. pp. 7 -10.

Rubert, B. S. 1992. Diagnosis Plant Diseases. The University of Arizona Press. Tuscon Arizona USA. pp. 8.15 8.16.


(55)

Soekirman, P. 2001. Laporan Tahunan (Annual Report) 2001. Pusat Penelitian Karet Sungai Putih (Indonesian Rubber Institute). Medan. P. 12.

. 2003.Kumpulan Materi Workshop Penanggulan Kas dan Penyakit Penting Tanaman Karet : Pengendalian penyakit karet. Balai Penelitian Sungai Putih. Medan. P. 12.

Semangun, H. 1991. Penyakit Penyakit Tanaman Perkebunan Di Indonesia. Fakultas Pertanian. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. pp. 89 92.

Setiawan, D. H dan A. Andoko. 2006. Petunjuk Lengkap Budidaya Karet. PT Agromedia Pustaka. Jakarta. pp. 11 17.

Situmorang, A dan A. Budiman. 1984. Penyakit Tanaman Karet dan Pengendaliannya. Balai Penelitian Sembawa. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Sembawa. pp. 29 31. Situmorang, A, M. Lasminingsih, dan Thomas. 1998. Resistensi Klon Karet

Anjuran dan Strategi Penggunaannya dalam Pengendalian Penyakit Penting Di Perkebunan Karet Indonesia. Dalam Prosiding Lokakarya Nasional Pemuliaan Karet 1998 dan Diskusi Nasional Prospek Karet Alam Abad 21. Medan, 8 9 Desember 1998. p. 103.

Sujatno. 1990. Penyakit Penting Tanaman Karet dan Cara Pengendaliannya. Balai Penelitian Sungai Putih. Medan. pp. 1 20.

Sujatno, Syaifuddin, dan Soekirman, P. 1998. Resistensi Klon Harapan Terhadap Penyakit Utama Tanaman Karet. Dalam Prosiding Lokakarya Nasional Pemuliaan Karet 1998 dan Diskusi Nasional Prospek Karet Alam Abad 21. Medan, 8 9 Desember 1998. pp. 223 227.

Wetscott, C. 1960. Plant Disease Handbook. D. Van Nostrand Company, Inc. New York. pp. 48 58.

Soepena, H. 1991. Shourt Course on South American Leaf Blight and Other Diseases of Rubber. Research Institute for Estate Crops of Sungai Putih in Colaboration with Association of Natural Rubber Producing Countris Asean Plant Quarantine Centre and Training Institute Rubber Research Institute of Malaysia Centre Agricultural Quarantine. Medan. Pp. 3 6.

Unterstenhover, G. 1963. The Basic Principles of Crop Protection Field Trial. Pflanzenschulz Nachrichten. AG, Laverbusen.


(56)

Lampiran. 1. Bagan Penelitian di Laboratorium I

K1I3 K5I0 K3I1 K8I1 K7I0 K2I2 K4I3 K10I1 K6I3 K9I0

K1I1 K5I1 K3I3 K8I0 K7I2 K2I1 K4I0 K10I2 K6I0 K9I1

K1I0 K5I3 K3I2 K8I2 K7I3 K2I0 K4I1 K10I3 K6I1 K9I2

K1I2 K5I2 K3I0 K8I3 K7I1 K2I3 K4I2 K10I0 K6I2 K9I3

II

K1I2 K5I1 K3I3 K8I2 K7I0 K2I2 K4I2 K10I1 K6I2 K9I1

K1I0 K5I2 K3I0 K8I1 K7I3 K2I0 K4I1 K10I0 K6I0 K9I3

K1I1 K5I0 K3I1 K8I0 K7I2 K2I1 K4I0 K10I2 K6I3 K9I0

K1I3 K5I3 K3I2 K8I3 K7I1 K2I3 K4I3 K10I3 K6I1 K9I2

III

K1I0 K5I0 K3I3 K8I2 K7I3 K2I1 K4I0 K10I3 K6I1 K9I2

K1I2 K5I2 K3I1 K8I3 K7I2 K2I0 K4I3 K10I1 K6I3 K9I1

K1I3 K5I3 K3I0 K8I2 K7I0 K2I2 K4I2 K10I0 K6I2 K9I0

K1I0 K5I1 K3I2 K8I3 K7I1 K2I3 K4I1 K10I2 K6I0 K9I3

Keterangan:

K1 = Klon BPM 24 K6 = Klon IRR 118

K2 = Klon PB 260 K7 = Klon IRR 104

K3 = Klon BPM 1 K8 = Klon BPM 107

K4 = Klon RRIC 100 K9 = Klon BPM 109

K5 = Klon PB 330 K10 = Klon PB 217

I0 = Kontrol

I1 = Isolat dari daerah Sumatera Utara Kabupaten Deli Serdang

I2 = Isolat dari daerah Jawa Tengah


(57)

Lampiran. 10. Foto Daun

(Sumber : Foto Langsung)


(58)

Lampiran. 11. Foto Leaf Disc (Cakram Daun)


(59)

(1)

DAFTAR PUSTAKA

Agrios, G. N. 1978. Plant Pathology Second Edition. Academic Press. A Subsidiary of harcourt Brace Jovanovich, Publisher. New York. p. 272. Alexopoulos, C. J andC. W. Mims. 1979. Introductory Mycology Third Edition.

John Wiley and Sons. New York. pp. 559 560.

Anonimous. 1991. Pengendalian Beberapa Penyakit Tanaman Karet Terpenting. Asosiasi Penelitian dan Pengembangan Perkebunan Indonesia (AP3I) Pusat Penelitian Perkebunan Sungai Putih. Taruna Melati. Medan. p. 23.

. 1999. Laporan Tahunan (Annual Report) : Pengendalian Penyakit Tanaman Karet (Control Of Hevea Rubber Diseases). Pusat Penelitian karet (Indonesian Rubber Research Institute). Medan. pp. 16 17.

Bailey, J. A and M. J. Jeger. 1992. Colletotrichum : Biology, Pathology, and Control. The British Society for Plant Pathology. London. pp. 88 337. Anwar, C. 2001. Manajemen dan Teknologi Budidaya karet. Warta Pusat

Penelitian karet. Medan.

Daslin, A dan M. Lasminingsih. 2001. Klon Karet Unggul Anjuran IRR Seri 00 Sebagai Penghasil Lateks Kayu. Warta Pusat Penelitian Karet 2001. Medan. 21 (1 3) : 25 31.

Dickman, M. B. 1993.Plant Disease Pathogen : Colletotrichum gloeosporioides. Department of Plant Pathology University of Hawaii at Hilo. Hawai.

Available at :

http://dokumen.deptan.go.id/doc/BDD2.nsf/6342ec1c781e8e3247256a4800 1c96ba?Document+klon+tahan+tanaman+karet+terhadap+colletotrichum&h l=id&ct=clnk&cd=3&gl=id. Pada tanggal 28 Januari 2008.

Nazaruddin dan Farry, B.P. 1999. Karet, Strategi Pemasaran, Budidaya dan Pengolahan. Penebar Swadaya. Jakarta. pp. 1 17.

Pawirosoemardjo, S. 1999. Aspek Aspek Biologi C. gloeosporioides Penz. dan Respon Beberapa Klon Karet Terhadap Penyakit yang Ditimbulkan. Tesis Magister Sains, Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. Riyaldi. 2003. Pedoman Pengamatan dan Pengendalian Organisme Pengganggu

Tanaman Karet. Direktorat Bina Produksi Perkebunan Departemen Pertanian Desember 2003. Jakarta. pp. 7 -10.

Rubert, B. S. 1992. Diagnosis Plant Diseases. The University of Arizona Press. Tuscon Arizona USA. pp. 8.15 8.16.


(2)

Soekirman, P. 2001. Laporan Tahunan (Annual Report) 2001. Pusat Penelitian Karet Sungai Putih (Indonesian Rubber Institute). Medan. P. 12.

. 2003.Kumpulan Materi Workshop Penanggulan Kas dan Penyakit Penting Tanaman Karet : Pengendalian penyakit karet. Balai Penelitian Sungai Putih. Medan. P. 12.

Semangun, H. 1991. Penyakit Penyakit Tanaman Perkebunan Di Indonesia. Fakultas Pertanian. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. pp. 89 92.

Setiawan, D. H dan A. Andoko. 2006. Petunjuk Lengkap Budidaya Karet. PT Agromedia Pustaka. Jakarta. pp. 11 17.

Situmorang, A dan A. Budiman. 1984. Penyakit Tanaman Karet dan Pengendaliannya. Balai Penelitian Sembawa. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Sembawa. pp. 29 31. Situmorang, A, M. Lasminingsih, dan Thomas. 1998. Resistensi Klon Karet

Anjuran dan Strategi Penggunaannya dalam Pengendalian Penyakit Penting Di Perkebunan Karet Indonesia. Dalam Prosiding Lokakarya Nasional Pemuliaan Karet 1998 dan Diskusi Nasional Prospek Karet Alam Abad 21. Medan, 8 9 Desember 1998. p. 103.

Sujatno. 1990. Penyakit Penting Tanaman Karet dan Cara Pengendaliannya. Balai Penelitian Sungai Putih. Medan. pp. 1 20.

Sujatno, Syaifuddin, dan Soekirman, P. 1998. Resistensi Klon Harapan Terhadap Penyakit Utama Tanaman Karet. Dalam Prosiding Lokakarya Nasional Pemuliaan Karet 1998 dan Diskusi Nasional Prospek Karet Alam Abad 21. Medan, 8 9 Desember 1998. pp. 223 227.

Wetscott, C. 1960. Plant Disease Handbook. D. Van Nostrand Company, Inc. New York. pp. 48 58.

Soepena, H. 1991. Shourt Course on South American Leaf Blight and Other Diseases of Rubber. Research Institute for Estate Crops of Sungai Putih in Colaboration with Association of Natural Rubber Producing Countris Asean Plant Quarantine Centre and Training Institute Rubber Research Institute of Malaysia Centre Agricultural Quarantine. Medan. Pp. 3 6.

Unterstenhover, G. 1963. The Basic Principles of Crop Protection Field Trial. Pflanzenschulz Nachrichten. AG, Laverbusen.


(3)

Lampiran. 1. Bagan Penelitian di Laboratorium I

K1I3 K5I0 K3I1 K8I1 K7I0 K2I2 K4I3 K10I1 K6I3 K9I0

K1I1 K5I1 K3I3 K8I0 K7I2 K2I1 K4I0 K10I2 K6I0 K9I1

K1I0 K5I3 K3I2 K8I2 K7I3 K2I0 K4I1 K10I3 K6I1 K9I2

K1I2 K5I2 K3I0 K8I3 K7I1 K2I3 K4I2 K10I0 K6I2 K9I3

II

K1I2 K5I1 K3I3 K8I2 K7I0 K2I2 K4I2 K10I1 K6I2 K9I1

K1I0 K5I2 K3I0 K8I1 K7I3 K2I0 K4I1 K10I0 K6I0 K9I3

K1I1 K5I0 K3I1 K8I0 K7I2 K2I1 K4I0 K10I2 K6I3 K9I0

K1I3 K5I3 K3I2 K8I3 K7I1 K2I3 K4I3 K10I3 K6I1 K9I2

III

K1I0 K5I0 K3I3 K8I2 K7I3 K2I1 K4I0 K10I3 K6I1 K9I2

K1I2 K5I2 K3I1 K8I3 K7I2 K2I0 K4I3 K10I1 K6I3 K9I1

K1I3 K5I3 K3I0 K8I2 K7I0 K2I2 K4I2 K10I0 K6I2 K9I0

K1I0 K5I1 K3I2 K8I3 K7I1 K2I3 K4I1 K10I2 K6I0 K9I3

Keterangan:

K1 = Klon BPM 24 K6 = Klon IRR 118

K2 = Klon PB 260 K7 = Klon IRR 104

K3 = Klon BPM 1 K8 = Klon BPM 107

K4 = Klon RRIC 100 K9 = Klon BPM 109

K5 = Klon PB 330 K10 = Klon PB 217

I0 = Kontrol

I1 = Isolat dari daerah Sumatera Utara Kabupaten Deli Serdang

I2 = Isolat dari daerah Jawa Tengah


(4)

Lampiran. 10. Foto Daun

(Sumber : Foto Langsung)


(5)

Lampiran. 11. Foto Leaf Disc (Cakram Daun)


(6)

Dokumen yang terkait

Uji Ketahanan Beberapa Genotipe Tanaman Karet Terhadap Penyakit Corynespora cassiicola dan Colletotrichum gloeosporioides di Kebun Entres Sei Putih

1 85 68

Uji Ketahanan Beberapa Klon Tanaman Karet (Hevea Brasiliensis Muell. Arg.) Terhadap Penyakit Gugur Daun ( Corynespora Cassiicola (Berk. &amp; Curt.) Wei.) Di Kebun Entres

0 57 66

Uji Resistensi Progeni F1 HP 1998 Terhadap Penyakit Gugur Daun Colletotrichum gloeoesporioides (Penz). Sacc Pada Tanaman Karet (Hevea brasiliensis Muell Arg.) di Laboratorium

0 29 61

Uji Ketahanan Klon IRR Seri 200 Terhadap Penyakit Gugur Daun (Colletotrichum gloeosporioides Penz. et Sacc.) Pada Tanaman Karet (Hevea brassiliensis Muell. Arg.) Di Laboratorium

0 38 63

Uji Resistensi Beberapa Klon Karet (Hevea brasiliensis Muell. Arg.) Dari Kebun Konservasi Terhadap Penyakit Gugur Daun Colletotrichum gloeosporioides Penz. Sacc.

0 35 61

Uji Resistensi Beberapa Genotipe Plasma Nutfah Karet (Hevea brasiliensis Muell.Arg.) Terhadap Penyakit Gugur Daun (Corynespora cassiicola (Berk. &amp; Curt.) Wei.) Di Laboratorium

0 30 53

Uji Resistensi Klon IRR Seri 400 Terhadap Penyakit Gugur Daun Colletotrichum gloeosporioides (Penz.) Sacc Pada Tanaman Karet (Hevea brasiliensis Muell Arg.) Di Laboratorium

1 54 88

Uji Ketahanan Beberapa Genotipe Tanaman Karet (Hevea brasilensis Muell. Arg.)Terhadap 3 Isolat PenyakitGugur Daun (Colletotricum gloeosporides Penz. Sacc.) di Laboratorium

0 2 52

Uji Ketahanan Beberapa Genotipe Tanaman Karet (Hevea brasilensis Muell. Arg.)Terhadap 3 Isolat PenyakitGugur Daun (Colletotricum gloeosporides Penz. Sacc.) di Laboratorium

0 0 11

Uji Ketahanan Beberapa Genotipe Tanaman Karet (Hevea brasilensis Muell. Arg.)Terhadap 3 Isolat PenyakitGugur Daun (Colletotricum gloeosporides Penz. Sacc.) di Laboratorium

0 0 3