Pengaruh Kenaikan Harga Kedelai Terhadap Struktur Biaya dan Keuntungan Usaha Tempe (Studi Kasus: Rumah Tempe Indonesia di Bogor)

PENGARUH KENAIKAN HARGA KEDELAI TERHADAP
STRUKTUR BIAYA DAN KEUNTUNGAN USAHA TEMPE
(STUDI KASUS: RUMAH TEMPE INDONESIA DI BOGOR)

RIDWAN LUKMANUL HAKIM

DEPARTEMEN AGRIBISNIS
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pengaruh Kenaikan
Harga Kedelai Terhadap Struktur Biaya dan Keuntungan Usaha Tempe (Studi
Kasus: Rumah Tempe Indonesia di Bogor) adalah benar karya saya sendiri dan
belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
bentuk daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Maret 2014

Ridwan Lukmanul Hakim
NIM H34114002

ABSTRAK
RIDWAN LUKMANUL HAKIM. Pengaruh Kenaikan Harga Kedelai Terhadap
Struktur Biaya dan Keuntungan Usaha Tempe (Studi Kasus: Rumah Tempe
Indonesia di Bogor). Dibimbing oleh ANNA FARIYANTI
Tempe merupakan produk olahan yang memiliki nilai gizi tinggi. Usaha
tempe umumnya dijalankan dengan skala rumah tangga maupun industri kecil.
Produk tempe yang dihasilkan oleh RTI menggunakan kedelai hasil rekayasa
genetik (Genetic Modifier Organism), disebut tempe GMO dan tempe yang
menggunakan kedelai tanpa rekayasa genetik, disebut tempe Non GMO.
Penelitian ini hanya menganalisis produk tempe GMO kemasan 450gr dan
kemasan 700gr.
Adanya kenaikan harga kedelai diduga akan memberikan pengaruh kepada
pengrajin usaha tempe dalam hal ini usaha RTI. Penelitian ini bertujuan untuk

menganalisis struktur biaya usaha tempe RTI sebelum kenaikan harga kedelai
serta pengaruh kenaikan harga kedelai terhadap usaha tempe RTI ditinjau dari
analisis kelayakan usaha (R/C rasio dan titik impas (BEP). Hasil penelitian
menunjukkan bahwa kenaikan harga kedelai mempengaruhi struktur biaya dan
keuntungan usaha. Namun rasio R/C usaha meningkat setelah kenaikan harga
kedelai. Berdasarkan kondisi tersebut, RTI disarankan untuk menambah/
meningkatkan jumlah konsumen dikarenakan pemasaran tempe RTI yang sifatnya
tersegmentasi.
Kata kunci: GMO, keuntungan usaha, R/C rasio, titik impas

ABSTRACT
RIDWAN LUKMANUL HAKIM. The Impact of Price Rise of Soybean on to The
Cost Structure and Sales Revenue of Tempe businesses (Case Study : Rumah
Tempe Indonesia, Bogor). Supervised by ANNA FARRIYANTI
Tempe is a processed product which has a high nutritional value. Tempe
businesses are generally run by household and small industries. Tempe produced
by RTI consist of genetic modifier organism and Non-genetic modifier organism
soybean. This research had only analyzed GMO tempe produced of 450gr and
700gr package.
The increase in soybean prices are expected to give effect to the business

craftsmen tempe in this case the business RTI. This study aims to analyze the cost
structure of the soybean business in RTI before rising soybean prices and the
impact of price rise of soybean in terms of the feasibility analysis (R/C ratio and
break-even point (BEP). The results showed that the increase in soybean prices
affect revenue of RTI. But R/C ratio was rising after the price rise of soybean.
Based on these conditions, RTI is advised to improve the amount of their market
because of RTI’s market which are segmented.
Keywords: GMO, sales revenue, R/C ratio, the break-even

PENGARUH KENAIKAN HARGA KEDELAI TERHADAP
STRUKTUR BIAYA DAN KEUNTUNGANUSAHA TEMPE
(STUDI KASUS: RUMAH TEMPE INDONESIA DI BOGOR)

RIDWAN LUKMANUL HAKIM

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Ekonomi
pada
Departemen Agribisnis


DEPARTEMEN AGRIBISNIS
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Judul Skripsi: Pengaruh Kenaikan Harga Kedelai Terhadap Struktur Biaya dan
Keuntungan Usaha Tempe (Studi Kasus: Rumah Tempe Indonesia
di Bogor)
Nama
: Ridwan Lukmanul Hakim
NIM
: H34114002

Disetujui oleh

Dr Ir Anna Fariyanti, MSi
Pembimbing


Diketahui oleh

Dr Ir Nunung Kusnadi, MS
Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian ini adalah pendapatan yang dilaksanakan sejak bulan
September-Oktober 2013, dengan judul Dampak Kenaikan Harga Kedelai
Terhadap Pendapatan Usaha Tempe (Studi Kasus; Rumah Tempe Indonesia).
Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Ir Anna Fariyanti, MSi selaku
pembimbing, Dr Ir Dwi Rachmina, MS selaku dosen penguji utama dan Yanti
Nuraeni Muflikh, SP Magribuss selaku dosen penguji komdik. Penulis juga
mengucapkan terima kasih kepada Bapak Endang selaku Sekretaris KOPTI
Kabupaten Bogor dan Bapak Yanto selaku bagian produksi di RTI yang telah
membantu selama pengumpulan data. Ucapan terima kasih juga disampaikan
kepada ayah, ibu, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya.

Saya ucapkan terima kasih kepada rekan-rekan di Departemen Agribisnis yang
telah membantu dalam interaksi di dalam dan di luar kelas. Semoga karya ilmiah
ini bermanfaat.

Bogor, Maret 2014

Ridwan Lukmanul Hakim

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian
TINJAUAN PUSTAKA
Gambaran Karakteristik Usaha Tempe
Analisis Usaha Tempe

Metode Analisis Usaha
KERANGKA PEMIKIRAN
Kerangka Pemikiran Teoritis
Kerangka Pemikiran Operasional
METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian
Jenis dan Sumber Data
Metode Pengumpulan Data
Metode Pengolahan dan Analisis Data
GAMBARAN UMUM RTI
Sejarah Singkat RTI
Peralatan Produksi Tempe RTI
Kegiatan Produksi dan Pemasaran Tempe RTI
Kebijakan RTI Terhadap Kenaikan Harga Kedelai
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengaruh Kenaikan Harga Kedelai Terhadap Biaya Usaha Tempe
Pengaruh Kenaikan Harga Kedelai Terhadap Penerimaan Usaha Tempe
Pengaruh Kenaikan Harga Kedelai Terhadap Keuntungan Usaha Tempe
Analisis R/C Rasio
Analisis Titik Impas

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP

vi
vi
vii
1
1
3
5
6
6
6
7
8
9

9
14
16
16
16
16
16
19
19
20
21
23
24
24
30
32
33
35
36
36

36
36
38

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7

8
9
10
11
12
13
14

15
16
17
18
19
20

Konsumsi Komoditas
Kedelai dan Bahan Olahan Kedelai
2007-2011 (dalam Kg/Kapita/Tahun)
Luas Panen, Produktivitas dan Produksi Tanaman Kedelai di
Indonesia Tahun 2004-2012
Perkembangan Produksi dalam Negeri, Impor dan Pasokan Nasional
Kedelai Tahun 2004-2011
Investasi Gedung dan Peralatan
Jumlah Produksi Rata-rata Tempe di RTI periode Maret 2013Oktober 2013
Rincian Biaya Tetap Produksi Tempe RTI per bulan, Periode Maret
2013-Oktober 2013
Rincian Komponen Penyusun Biaya Tetap Rata-rata untuk Produksi
Tempe per Bulan di RTI, Kondisi Sebelum dan Setelah Kenaikan
Harga Kedelai
Struktur Biaya Tetap dan Biaya Tetap/output Tempe Kemasan 450gr
dan 700gr
Data Penggunaan Input Rata-rata, Biaya Variabel Total (TVC) dan
TVC/output, Periode Maret 2013-Oktober 2013
Struktur Biaya Variabel dan Biaya Variabel/output Tempe Kemasan
450gr dan 700gr
Struktur Biaya Rata-rata Tempe RTI Sebelum Kenaikan Harga
Kedelai
Struktur Biaya Rata-rata Tempe RTI Setelah Kenaikan Harga Kedelai
Penerimaan Usaha Rata-rata RTI Kondisi Sebelum dan Setelah
Kenaikan Harga Kedelai
Struktur Biaya Usaha Rata-rata dan Penerimaan Usaha Rata-rata RTI
Rata-rata penerimaan, biaya dan Keuntungan Tempe Kemasan 450gr
Rata-rata penerimaan, biaya dan Keuntungan Tempe Kemasan 700gr
Nilai R/C Tempe Kemasan 450gr
Nilai R/C Tempe Kemasan 700gr
Perbandingan Nilai R/C Penelitian Hakim (2014), Patmawaty (2009)
dan Amalia (2008)
Nilai BEP Unit dan BEP Rupiah Usaha Tempe RTI

1
2
2
21
24
25

25
26
27
28
29
30
31
31
32
33
33
34
34
35

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5

Perkembangan Harga rata-rata Kedelai Wil. Jakarta, DKI Jakata
Perkembangan Harga Perolehan Kedelai di RTI
Kurva Permintaan
Kurva Biaya Tetap - Biaya Variabel dan Biaya Total
Kurva Biaya Tetap Rata-rata-Biaya Variabel Rata-rata dan Biaya
Total Rata-rata

4
5
10
11
12

6

Hubungan Kurva Biaya Tetap-Biaya Variabel dan Biaya Total
dengan Kurva Penerimaan
7 Kerangka Operasional
8 Alur Pemesanan dan Pemasaran Tempe RTI
9 Penggunaan Kedelai GMO dan Produksi Tempe GMO RTI
10 Pergerakan Kurva AFC Usaha Tempe RTI

13
15
21
22
26

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5

Peralatan Produksi Tempe di RTI
Rincian Biaya Penyusutan per bulan, Periode Maret-Oktober 2013
Struktur Biaya Variabel Usaha Tempe RTI Sebelum Kenaikan Harga
Kedelai Juni 2013
Struktur Biaya Variabel Usaha Tempe RTI Setelah Kenaikan Harga
Kedelai Juni 2013
Nilai BEP unit dan BEP Rupiah Usaha Tempe RTI

38
40
41
42
43

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sebagai negara berpenduduk besar dengan laju pertumbuhan penduduk
sebesar 1.49 per tahun1, pembangunan sektor pertanian harus menjadi perhatian
utama negara Indonesia. Peningkatan jumlah penduduk akan diikuti oleh
peningkatan permintaan terhadap jumlah pangan. Selain itu kondisi masyarakat
saat ini semakin menyadari pentingnya pangan yang tidak sekedar untuk
dikonsumsi tapi juga memenuhi aspek makanan yang sehat, aman dan bergizi
tinggi. Makanan yang bergizi diantaranya memenuhi syarat mengandung protein
yang tinggi.
Pemenuhan kebutuhan terhadap protein dapat dipenuhi dari protein hewani
dan nabati. Ada beranekaragam komoditi pertanian yang dapat dimanfaatkan
sebagai sumber protein nabati. Salah satu komoditi nabati potensial, alternatif
pengganti protein hewani adalah kedelai. Kedelai merupakan komoditi pangan
bergizi bagi manusia selain beras dan jagung. Kedelai banyak dimanfaatkan
sebagai bahan baku utama berbagai macam produk olahan. Beberapa macam
produk olahan dari kedelai antara lain tempe, tahu, kecap, tauco, susu kedelai, dan
pakan ternak. Pada Tabel 1 dapat dilihat konsumsi kedelai dan beberapa pangan
olahan kedelai di Indonesia.
Tabel 1 Konsumsi Komoditas Kedelai dan Bahan Olahan Kedelai 2007-2011
(dalam Kg/Kapita/Tahun)
No

Komoditas

1
Kacang kedelai
2
Tahu
3
Tempe
4
Tauco
5
Oncom
Sumber: Kementan, 2012

Tahun
2007
0.10
8.50
7.98
0.03
0.11

2008
0.05
7.14
7.25
0.03
0.10

2009
0.05
7.04
7.04
0.02
0.06

2010
0.05
6.99
6.94
0.02
0.05

2011
0.05
7.40
7.30
0.03
0.07

Pertumbuhan konsumsi pangan hasil olahan kedelai tertinggi terlihat pada
konsumsi tahu dan tempe masing-masing sebesar 7.40 persen dan 7.30 persen
pada tahun 2011. Hal ini dikarenakan kandungan gizi yang terdapat pada tahu dan
tempe, yang bahan baku utamanya berasal dari kedelai. Kandungan gizi pada
kedelai cukup baik, selain mengandung protein juga mengandung asam amino
yang dibutuhkan oleh tubuh.
Kesadaran masyarakat yang semakin tinggi terhadap konsumsi pangan
bergizi mengakibatkan semakin meningkatnya permintaan kedelai sebagai sumber
protein nabati bergizi tinggi. Pemerintah melalui Kementerian Pertanian berupaya
untuk meningkatkan jumlah produksi kedelai dalam negeri (domestik). Usaha
sudah mulai terlihat dengan adanya peningkatan produktivitas lahan kedelai pada
periode 2007-2012 yang mengalami peningkatan tertinggi sebesar 1.485 Ton/Ha
pada tahun 2012, bila dibandingkan pada tahun 2006 sebesar 1.288 Ton/ Ha.
1

http://www.bps.go.id/. Laju Pertumbuhan Penduduk Menurut Provinsi periode 2000-2010.
[Diakses 18 Juli 2013]

2

Hanya saja jumlah produksi kedelai domestik terlihat mengalami kecenderungan
menurun dikarenakan luas panen kedelai yang semakin berkurang. Kondisi ini
semakin menunjukkan produksi kedelai domestik belum mampu memenuhi
kebutuhan kedelai nasional. Luas panen, produksi dan produktivitas tanaman
kedelai di Indonesia dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2 Luas Panen, Produktivitas dan Produksi Tanaman Kedelai di Indonesia
Tahun 2004-2012
Tahun

Luas Panen
(Ha)

Produktivitas
(Ton/Ha)

Produksi
(Ton)

2004
565 155
1.280
2005
621 541
1.301
2006
580 534
1.288
2007
459 116
1.291
2008
590 956
1.313
2009
722 791
1.348
2010
660 823
1.373
2011
622 254
1.368
2012
567 624
1.485
Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS), 2013.

723 483
808 353
747 611
592 534
775 710
974 512
907 031
851 286
843 153

Kenaikan
(%)
11.73
-7.51
-20.74
30.91
25.63
-6.92
-6.15
-0.96

Untuk memenuhi kebutuhan kedelai nasional, Indonesia masih harus
mengimpor kedelai dari negara-negara produsen. Pada periode 2004-2011, 65
persen kebutuhan rata-rata kedelai Indonesia harus diimpor dari negara-negara
produsen kedelai. Bahkan ketergantungan impor kedelai Indonesia semakin
terlihat pada tahun 2007 dan 2011, dengan jumlah impor 2 240 795 Ton di tahun
2007 dan 2 088 616 Ton pada tahun 2011. Kondisi ini semakin menunjukkan
ketergantungan impor kedelai Indonesia hingga mencapai 79.09 persen di tahun
2007 dan 71.04 persen di tahun 2011. Kondisi ini menunjukkan bahwa
peningkatan jumlah produksi kedelai domestik masih belum terasa dampaknya
secara nyata (Tabel 3).
Tabel 3 Perkembangan Produksi dalam Negeri, Impor dan Pasokan Nasional
Kedelai Tahun 2004-2011
Tahun
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
Rata-rata

Produksi
dalam Negeri
Ton
%
723 483
808 353
747 611
592 534
775 710
974 512
907 031
851 286
797 565

39.29
42.67
39.77
20.91
39.80
42.57
34.26
28.96
34.92

Impor
Ton
1 117 790
1 086 178
1 132 144
2 240 795
1 173 097
1 314 620
1 740 505
2 088 616
1 486 718

Pasokan (Supply)
%
60.71
57.33
60.23
79.09
60.20
57.43
65.74
71.04
65.08

Ton

%

1 841 273
1 894 531
1 879 755
2 833 329
1 948 807
2 289 132
2 647 536
2 939 902
2 284 283

100
100
100
100
100
100
100
100

Sumber: BPS dalam Statistik Pertanian 2012 (Diolah)

Menurut Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti),
dari jumlah kebutuhan kedelai nasional 2013 yaitu 2.2 juta ton akan diserap 83.7

3

persen untuk kebutuhan pangan atau pengrajin (industri tahu tempe), 14.7 persen
diserap untuk kebutuhan industri kecap, tauco dan lainnya, 1.2 persen untuk
kebutuhan benih dan 0.4 persen untuk kebutuhan pakan2. Data tersebut sesuai
dengan data Kementerian Perindustrian yang menyatakan bahwa 83.7 persen
pengguna kedelai adalah industri tahu tempe. Industri tahu dan tempe
membutuhkan 1.8 juta ton kedelai setiap tahunnya3. Hal ini semakin menunjukkan
bahwa industri pengolahan berbahan baku kedelai sangat tergantung kepada
ketersediaan kedelai impor.
Salah satu pelaku usaha yang memanfaatkan kedelai sebagai bahan baku
utama produksi yaitu pengrajin tempe. Sebagian besar pengrajin tempe di
Indonesia adalah pengrajin skala kecil-menengah, proses produksi masih
tradisional dan peralatan yang sederhana. Disamping itu modal yang dimiliki
pengrajin terbatas, menyebabkan para pengrajin harus bisa mengelola modal yang
dimiliki dengan baik untuk alokasi bahan baku agar usaha tempe yang dijalankan
tetap dapat berproduksi.
Selain permodalan yang terbatas, para pengrajin usaha tempe juga harus
menghadapi kondisi harga kedelai yang tidak stabil. Pada periode Januari-Maret
2012 harga kedelai sebesar Rp5 500/kg. Harga kedelai mengalami kenaikan 9.1
persen menjadi Rp6 000/kg pada bulan Mei 2012. Harga kedelai kembali naik
33.3 persen mencapai Rp8 000/kg pada periode Juni – Juli 20124. Dengan kondisi
harga kedelai seperti ini, tentunya akan semakin menambah beban bagi para
pengrajin tempe. Hal ini disebabkan kedelai merupakan bahan baku utama dan
komponen biaya terbesar dalam suatu usaha produksi tempe.
Perumusan Masalah
Dengan kenaikan harga kedelai mengakibatkan banyak pengrajin tempe
yang menurunkan volume produksinya sampai 30 persen bahkan ada yang tidak
dapat melanjutkan berproduksi. Kondisi tersebut disebabkan harga kedelai yang
sangat tinggi, mencapai Rp7 600/kg (Maret 2013) dari harga sebelumnya yang
berada pada Rp5 800 – 6 000/kg sedangkan para pengrajin tempe tidak bisa
menaikkan harga tempe akibat kenaikkan harga kedelai5. Kenaikan harga kedelai
pada awal tahun 2013 dipengaruhi karena menurunnya produksi kedelai di
beberapa negara produsen kedelai seperti Amerika Serikat, Brasil, Afrika dan
sejumlah negara lainnya akibat pengaruh musim kemarau6. Para pengrajin tempe
yang mayoritas adalah usaha kecil dan menengah tidak berani mengambil risiko
untuk berproduksi.
Permasalahan kenaikan harga kedelai sudah mulai dapat dikendalikan.
Dengan ditetapkannya PERMENDAG No.26 Tahun 2013, pemerintah
2

http://www.tribunnews.com/ Kebutuhan Kedelai Nasional 2013 Tembus 2.2 juta Ton [Diakses 5
November 2013]
3
http://www.shnews.co/ Danny Putra. Gejolak Kedelai yang Membuat Rakyat Resah. [Diakses
14 Desember 2013]
4
http://www.bisnis.com/. Herdiyan. Industri Tempe: Harga Bahan Baku Naik Picu Mogok Kerja
[Diakses 26 Februari 2013]
5
http://www.forumtempe.org/ Perubahan BM Dorong Kenaikan Harga Kedelai. [Diakses 6 Maret
2013]
6
http://www.bisnis.com/ Herdiyan. 23 juli 2012. Industri Tempe: Harga Bahan Baku Naik Picu
Mogok Kerja. [Diakses 26 Februari 2013]

4

menetapkan harga jual kedelai di tingkat pengrajin tahu/ tempe sebesar Rp7 450/
kg7. Ketetapan ini mulai berlaku pada 1 Juli 2013. Dengan dikeluarkannnya
peraturan tersebut diharapkan dapat menstabilkan harga kedelai di tingkat
pengrajin tahu-tempe.
Namun sebelum ditetapkan peraturan pemerintah tersebut, banyak pengrajin
tempe yang berupaya untuk tetap berproduksi dengan mempertahankan harga jual
yang sama namun dengan memperkecil ukuran tempe yang diproduksi. Sebagian
pengrajin tempe yang lain menaikkan harga jual tempe untuk mengatasi
kenaikkan harga kedelai. Salah satu pengrajin usaha tempe yang menaikkan harga
jual tempenya adalah Rumah Tempe Indonesia (RTI).
RTI merupakan industri tempe yang mulai berproduksi pada 6 Juni 2012.
Usaha tempe RTI saat ini memproduksi 2 jenis tempe yaitu tempe dengan
penggunaan kedelai hasil rekayasa genetik (Genetic Modifier Organism/GMO)
disebut dengan tempe GMO, dan tempe dengan penggunaan input kedelai tanpa
hasil rekayasa genetik disebut dengan tempe Non GMO. Sebagai industri tempe
yang mengedepankan konsep produksi yang higienis dan ramah lingkungan,
kegiatan produksinya juga terpengaruh dengan kenaikan harga kedelai.
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pemasaran Produk Hasil Pertanian (Ditjen
PPHP) Kementerian Pertanian 2013, perkembangan harga kedelai rata-rata di
wilayah Jakarta sejak Juni 2012 sampai dengan Oktober 2013 berfluktuasi dengan
kecenderungan semakin meningkat. Harga grosir rata-rata tertinggi mencapai Rp8
903.1 dengan harga eceran rata-rata tertinggi mencapai Rp9 362.5 (September
2013). Perkembangan harga rata-rata kedelai di wilayah Jakarta dapat dilihat pada
Gambar 1.

Gambar 1 Perkembangan Harga rata-rata Kedelai Wil. Jakarta, DKI Jakata
Sumber: Ditjen PPHP, Kementan 2013 (Diolah)8
7

http://www.kemendag.go.id/ Peraturan Menteri Perdagangan RI No. 26/M-DAG/PER/6/2013.
[Diakses 28 November 2013]
8
http://pphp.deptan.go.id/ Perkembangan Harga Komoditas Pertanian Strategis [Diakses 28
November 2013]

5

Pada saat terjadi kenaikan harga kedelai pada akhir tahun 2012, RTI
menaikkan harga jual tempe di tingkat konsumen sebesar Rp6 500/kemasan 450
gr. RTI menaikkan harga jual sebesar Rp1 000 dari harga sebelumnya. Harga
tersebut telah diberlakukan oleh RTI pada bulan Januari 2013. Sebagai usaha
industri tempe yang baru berjalan, RTI kembali menaikkan harga tempe di tingkat
konsumen menjadi Rp7 000/kemasan 450 gr dan Rp10 000/kemasan 700 gr
(tempe GMO) pada Juni 2013. Sedangkan harga jual tempe Non GMO, di tingkat
konsumen akhir tidak mengalami kenaikan pada periode Januari 2013 sampai Juni
2013. Kebijakan RTI menaikkan harga jual dipengaruhi oleh ketidakstabilan
kembali harga kedelai karena harganya masih tetap diatas harga yang telah
ditetapkan melalui peraturan PERMENDAG No.26 tahun 2013. Ketidakstabilan
harga kedelai tersebut pada akhirnya juga mempengaruhi harga perolehan kedelai
RTI dari KOPTI Kabupaten Bogor (Gambar 2).

Gambar 2 Perkembangan Harga Perolehan Kedelai di RTI
Sumber: KOPTI Kabupaten Bogor, 2013

Berdasarkan kondisi yang telah diuraikan sebelumnya, mendorong peneliti
untuk menganalisis lebih lanjut mengenai usaha tempe RTI. Beberapa
permasalahan yang diteliti adalah:
1. Bagaimana pengaruh kenaikan harga kedelai terhadap struktur biaya dan
keuntungan usaha tempe RTI?
2. Apa pengaruh kenaikan harga kedelai terhadap usaha tempe RTI ditinjau dari
R/C rasio dan titik impas (BEP)?
Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan permasalahan yang telah dirumuskan
sebelumnya, maka tujuan penelitian ini adalah:
1. Menganalisis pengaruh kenaikan harga kedelai terhadap struktur biaya dan
keuntungan usaha tempe RTI.
2. Menganalisis pengaruh kenaikan harga kedelai terhadap usaha tempe RTI
ditinjau dari R/C rasio dan titik impas (BEP).

6

Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini hanya meneliti struktur biaya dan pendapatan usaha RTI dari
produksi tempe GMO saja. Struktur biaya dan pendapatan yang dianalisis adalah
kondisi sebelum dan setelah kenaikan harga kedelai untuk periode waktu bulan
Maret 2013 – Oktober 2013. Hal ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh
kenaikan harga kedelai terhadap biaya yang harus dikeluarkan RTI dan juga
pengaruhnya terhadap pendapatan yang diterima.

TINJAUAN PUSTAKA
Gambaran Karakteristik Usaha Tempe
Tempe merupakan produk olahan yang memiliki nilai gizi tinggi. Produk ini
merupakan produk makanan yang identik dengan budaya di Indonesia, khususnya
di wilayah jawa. Produk ini berbahan baku utama kedelai, merupakan hasil dari
proses fermentasi. Sarwono (1994) menyatakan bahwa ada tiga faktor pendukung
utama dalam proses pembuatan tempe yaitu bahan baku yang diurai,
mikroorganisme berupa kapang tempe (Rhizopus sp) dan keadaan lingkungan
tumbuh. Keadaan lingkungan tumbuh pada proses peragian adalah pada suhu
300C, pH awal 6.8 serta kelembaban berkisar antara 70 – 80 persen. Sehingga
menurut Cahyadi (2007), melalui proses tersebut kandungan gizi tempe memiliki
nilai lebih baik bila dibandingkan dengan kandungan yang terdapat pada kedelai
mentah. Karena proses fermentasi yang terjadi saat pembuatan tempe
meningkatkan daya cerna kedelai. Sehingga kandungan protein dan nutrisi lain
yang terkandung pada tempe, mudah diserap tubuh9.
Kegiatan usaha tempe yang selama ini dikenal oleh masyarakat Indonesia
adalah kegiatan usaha dengan skala kecil yang dilakukan secara sederhana dan
tradisional. Selain itu, usaha tempe yang dijalankan merupakan pekerjaan utama
serta keterampilan membuat tempe diperoleh secara turun temurun dan juga
melalui belajar sendiri. Hal ini sesuai penelitian Dardja (1999), sebanyak 12
responden dari 14 responden pengusaha tempe menggunakan modal usaha sendiri
sedangkan 2 orang responden memperoleh modal dari pinjaman (kredit).
Berdasarkan Dardja (1999), kondisi usaha tempe umumnya dijalankan
dengan skala rumah tangga maupun industri kecil, sehingga industri ini sangat
terpengaruh bila terjadi perubahan harga faktor-faktor input terutama pada saat
terjadi krisis ekonomi. Jumlah modal yang digunakan mengalami kenaikan bila
dibandingkan dengan sebelum krisis. Modal yang digunakan sebelum krisis
sebesar Rp120 000/hari sedangkan saat krisis ekonomi modal yang digunakan
sebesar Rp167 000/hari. Pemakaian kedelai sebelum krisis sebesar 2 509.28
kg/bulan dengan harga jual Rp1 422.5/kg. Bila dibandingkan pada saat krisis
pemakaian kedelai menurun sebesar 2 337.86 kg/bulan dengan harga jual Rp2
142.85/kg. Peningkatan penggunaan modal dan pemakaian kedelai pada saat krisis
9

http://www.forumtempe.org/ Tempe baik untuk Makanan pendamping ASI [Diakses 6 Maret
2013]

7

ekonomi justru meningkatkan keuntungan yang diterima pada industri tempe
sebesar 39.13 persen. Karena hal ini dipengaruhi juga oleh kenaikan harga jual
tempe dari Rp800/potong menjadi Rp1 300/potong.
Namun menurut Sutrisno (2006), berdasarkan penelitian yang telah
dilakukan di Kecamatan Parung Kabupaten Bogor salah satu faktor kunci
keberhasilan industri tempe skala kecil yang sukses di kecamatan parung adalah
cara menentukan harga jual. Pengrajin tempe menetapkan harga berdasarkan pada
biaya produksi yang dikeluarkan bahkan berani menjual dengan harga miring. Hal
ini dikarenakan pengrajin tempe yang sukses memiliki skala usaha yang besar
sehingga masih memperoleh keuntungan. Selain itu para pengrajin memiliki
pendapatan sampingan dari menjual kedelai, plastik dan ragi. Pendapatan
sampingan pengrajin ini, bisa diperoleh dengan menyisihkan sebagian keuntungan
hasil penjualan tempe untuk kegiatan membeli dan kemudian menjual kembali
kedelai, plastik dan ragi tersebut kepada pengrajin tempe lainnya. Sebaliknya
pengrajin usaha tempe yang kurang sukses disebabkan karena menentukan harga
dengan mengikuti tren harga jual tempe yang ada di pasar.
Analisis Usaha Tempe
Telah banyak penelitian dilakukan terhadap usaha produk olahan kedelai
terutama untuk usaha tahu dan tempe. Patmawaty (2009), meneliti dampak
kenaikan harga kedelai terhadap pendapatan usaha pengrajin tahu skala kecil dan
rumah tangga di Desa Bojong Sempu Kecamatan Parung Kabupaten Bogor.
Penelitian Amalia (2008), menganalisis dampak kenaikan harga kedelai terhadap
efisiensi teknis dan pendapatan usaha tempe di Desa Citeureup Kecamatan
Citeureup Kabupaten Bogor. Sedangkan Latifah (2006), menganalisis dampak
kenaikan harga bahan bakar minyak terhadap pendapatan usaha pengrajin tempe
anggota Primkopti Kelurahan Cilendek Timur Kotamadya Bogor.
Patmawaty (2009) menyimpulkan bahwa kenaikan harga kedelai yang
mencapai 92.94 persen memiliki dampak terhadap kemampuan pengrajin tahu
berproduksi. Kenaikan harga kedelai mengakibatkan perubahan siklus produksi,
penurunan volume produksi, penurunan penggunaan faktor input, peningkatan
harga jual dan mengurangi penerimaan dan pendapatan usaha pengrajin tahu.
Total penerimaan pengrajin tahu mengalami penurunan sebesar 14.25 persen dan
mempengaruhi pendapatan bersih pengrajin yang mengalami penurunan sebesar
47.12 persen. Sedangkan total biaya produksi mengalami penurunan sebesar 8.47
persen, yang disebabkan penurunan volume produksi tahu 32.99 persen akibat
kenaikan harga kedelai.
Penelitian Amalia (2008), menyimpulkan bahwa kenaikan harga kedelai
mempengaruhi kondisi usaha pengrajin tempe di Desa Citeureup. Kenaikan harga
kedelai sebesar 54.95 persen dari Rp4 550/kg menjadi Rp7 050/kg mengakibatkan
penurunan seluruh penggunaan input. Salah satu input yang mengalami penurunan
yaitu penggunaan kedelai yang menurun sebesar 28.54 persen. Selain itu
penurunan penggunaan kedelai juga mengakibatkan berkurangnya jumlah output
produksi tempe sebesar 26.52 persen. Kenaikan harga kedelai juga menyebabkan
total biaya produksi meningkat sebesar 6.4 persen. Sehingga penerimaan total dan
pendapatan total pengrajin tempe di Desa Citeureup menurun sebesar 4.67 persen
dan 50.27 persen. Kenaikan harga kedelai belum mampu meningkatkan efisiensi

8

penggunaan input produksi tempe, meskipun efisiensi teknis pengrajin tempe
meningkat akan tetapi peningkatannya masih sangat kecil yaitu sebesar 19.4
persen.
Sedangkan Latifah (2006), menyimpulkan kenaikan harga BBM sangat
berpengaruh terhadap kegiatan usaha pengrajin tempe. Hal ini dikarenakan
penurunan jumlah produksi tempe karena adanya pengurangan faktor input.
Pengurangan penggunaan faktor input dilakukan terhadap penggunaan kedelai,
plastik, minyak tanah, kayu, tenaga kerja luar keluarga (TKLK) dan tenaga kerja
keluarga (TKK). Hasil produksi tempe yang dihasilkan setelah kenaikan harga
BBM menurun sebesar 12.9 persen.
Berdasarkan hasil penelitian Amalia (2008), Patmawaty (2009) dan Latifah
(2006) menjadi acuan bagi peneliti untuk mengkaji pengaruh kenaikan harga
kedelai terhadap kondisi usaha dilihat dari perubahan biaya, penerimaan dan
keuntungan usaha. Penelitian ini berbeda dengan penelitian Amalia (2008),
Patmawaty (2009) dan Latifah (2006) karena penelitian ini bersifat studi kasus.
Metode Analisis Usaha
Metode analisis usaha yang dilakukan oleh Patmawaty (2009), yaitu dengan
melakukan analisis pendapatan usaha, analisis penerimaan dan biaya (R/C) dan
juga analisis titik impas (BEP) untuk mengetahui volume penjualan minimal agar
usaha tahu tidak mengalami kerugian. Analisis pendapatan usaha ditujukan untuk
mengetahui tingkat pendapatan yang diperoleh dari kegiatan produksi. Dari hasil
analisis, diperoleh hasil R/C atas biaya tunai mengalami penurunan sebesar 6.47
persen, dengan nilai R/C setelah kenaikan harga kedelai 1.39 sedangkan nilai R/C
sebelum kenaikan harga kedelai 1.48. Sedangkan nilai R/C atas biaya total
mengalami penurunan sebesar 7.09, nilai R/C setelah kenaikan kedelai 1.27
sedangkan nilai sebelum kenaikan harga kedelai 1.36. Selain itu kenaikan harga
kedelai memberi dampak terhadap titik impas usaha. Titik impas usaha setelah
kenaikan harga kedelai mengalami kenaikan 50.30 persen dengan volume
produksi 3 414.22 kg dibandingkan volume produksi sebelum kenaikan harga
kedelai sebesar 1 696.77 kg. Titik impas usaha dalam bentuk penerimaan
mengalami kenaikan sebesar 60.54 persen dengan nilai Rp11 497 648.81 dari nilai
penerimaan sebelum kenaikan harga kedelai yaitu Rp 4 537 300.04.
Penelitian yang dilakukan Amalia (2008), yaitu menggunakan alat analisis
fungsi produksi Stochastic Frontier dengan tujuan untuk menganalisis efisiensi
teknis industri tempe dari sisi input dan faktor-faktor yang mempengaruhi
efisiensi teknis pada saat sebelum dan setelah kenaikan harga kedelai. Amalia
(2008) melakukan analisis efisiensi dan inefisiensi teknis yang mengacu kepada
model inefisiensi Coelli, Rao, dan Battese (1998). Selain itu juga menganalisis
pendapatan serta menghitung imbangan penerimaan terhadap biaya (R/C rasio).
Dari hasil analisis, R/C rasio atas biaya tunai setelah kenaikan harga kedelai yaitu
1.12. Nilai ini menunjukkan penurunan sebesar 10.42 persen bila dibandingkan
nilai R/C sebelum kenaikan harga kedelai yaitu 1.25. Sedangkan R/C rasio atas
biaya total setelah kenaikan harga kedelai yaitu 1.11. Nilai ini menunjukkan
penurunan sebesar 10.41 persen dari R/C rasio sebelum kenaikan harga kedelai
yaitu 1.24.

9

Penelitian Latifah (2006), menggunakan analisis fungsi produksi Cobb
Douglas dengan metode analisis regresi berganda. Hal ini untuk menunjukkan
hubungan teknis antara suatu variabel teknis faktor produksi dan outputnya
berdasarkan elastisitas produksi dari setiap faktor produksi. Selain itu, Amalia
(2008) juga menganalisis biaya produksi dan efisiensi faktor produksi pengrajin
tempe. Dari hasil analisis, kenaikan harga BBM menyebabkan kenaikan total
biaya produksi yang pada akhirnya menyebabkan penurunan total penerimaan
usaha dan total pendapatan usaha pengrajin tempe sebesar 4.6 persen dan 7.2
persen. Penurunan pendapatan usaha disebabkan besarnya penurunan jumlah hasil
produksi (12.9 persen) yang tidak sebanding dengan kenaikan harga tempe (10.8
persen). Selain itu hasil penelitian menunjukkan penggunaan faktor produksi
tempe di daerah penelitian belum efisien dikarenakan nilai rasio NPM dan BKM
pada kondisi sebelum dan sesudah kenaikan harga BBM tidak sama dengan 1.
Sedangkan menurut penelitian Dardja (1999), industri tempe tetap
mengalami keuntungan disaat krisis ekonomi. Meskipun keuntungan yang
diperoleh pengrajin tempe mengalami penurunan karena nilai R/C menurun. Nilai
R/C sebelum krisis ekonomi sebesar 1.42 sedangkan pada saat krisis ekonomi
sebesar 1.39. Alat analisis yang digunakan adalah analisis pendapatan usaha, R/C
rasio dan fungsi Cobb Douglas.
Adapun persamaan penelitian yang dilakukan dengan penelitian sebelumnya
dengan Amalia (2008) dan Patmawaty (2009) yaitu menggunakan alat analisis
pendapatan usaha, analisis penerimaan dan biaya (R/C) dan juga analisis titik
impas (BEP) untuk mengetahui volume penjualan minimal agar usaha tempe tidak
mengalami kerugian. Dan untuk mengetahui kondisi usaha tempe RTI setelah
kenaikan harga kedelai ditinjau dari analisis kelayakan usaha bila dilihat dari R/C
rasio dan titik impas (BEP).

KERANGKA PEMIKIRAN
Kerangka Pemikiran Teoritis
Konsep Permintaan
Putong (2010) menjelaskan, “permintaan adalah banyak jumlah barang yang
diminta pada suatu pasar tertentu dengan tingkat harga tertentu pada tingkat
pendapatan tertentu dan dalam periode tertentu”. Ada beberapa faktor yang dapat
mempengaruhi permintaan dari seorang individu atau masyarakat terhadap suatu
barang, diantaranya adalah:
1. Harga barang
2. Tingkat pendapatan atau pendapatan rata-rata
3. Jumlah penduduk
4. Selera
5. Estimasi dimasa depan
6. Harga barang lain atau barang substitusi
7. Distribusi produk
Faktor yang paling berpengaruh terhadap permintaan suatu produk adalah
faktor harga. Apabila faktor lain dianggap tetap (cateris paribus) maka berlaku
hukum permintaan. Hukum Permintaan menyatakan: “Bila harga barang naik

10

maka permintaan barang tersebut akan turun, sebaliknya bila harga barang turun
maka permintaan barang akan naik dengan asumsi cateris paribus (semua faktor
yang mempengaruhi permintaan selain harga dianggap tetap” (Gambar 3)
Harga (Rp)

D1
Q (Jumlah Output)

D2

D0

Gambar 3 Kurva Permintaan
Sumber: Rahardja, Manurung, 2006

Gambar 3 menunjukkan apabila harga barang naik maka permintaan barang
akan berkurang. Sehingga kurva permintaan akan bergeser dari D0 ke D2.
Sebaliknya apabila harga barang turun maka permintaan barang akan meningkat
dan kurva permintaan akan bergeser dari D0 ke D1. Kegiatan usaha tempe sangat
dipengaruhi oleh ketersedian penawaran dan harga input kedelai. Bila harga
kedelai naik maka pada umumnya kecendrungan para pengrajin akan mengurangi
penggunaan kedelai.
Biaya Usaha
Biaya usaha merupakan total biaya yang dikeluarkan yang berkaitan
langsung dengan kegiatan usaha/ produksi. Biaya usaha terbagi atas dua, yaitu
biaya tetap dan biaya variabel. Menurut Salvatore (2006), biaya tetap total adalah
seluruh kewajiban atau biaya yang harus dikeluarkan perusahaan per unit waktu
atas semua input tetap. Biaya ini tidak berubah besarnya meskipun jumlah
produksi (output) mengalami perubahan. Biaya variabel total adalah seluruh biaya
yang dikeluarkan perusahaan per unit waktu berdasarkan semua faktor input dan
jumlah input yang digunakan. Besar kecilnya biaya variabel dipengaruhi oleh
jumlah output yang akan diproduksi.
Secara sederhana, biaya tetap berhubungan dengan waktu dan tidak
berhubungan dengan tingkat ataupun volume produksi, atau nilai dari biaya tetap
adalah sama. Biaya variabel berhubungan dengan tingkat dan volume produksi.
Besarnya biaya variabel ditentukan oleh besarnya jumlah output yang diinginkan.
Kedua jenis biaya ini akan dipergunakan dalam perhitungan titik impas atau Break
Event Poin (BEP). Dalam penelitian ini, Biaya Total (TC) = Biaya Tetap Total
(TFC) + Biaya Variabel Total (TVC). Hubungan biaya total, biaya tetap dan biaya
variabel dapat dilihat pada Gambar 4.

11

Biaya (Rp)
TC

180
160

TVC

140
120
100
80
60

TFC

40
20
Q (Jumlah Output)
0

1

2

3

4

5

6

Gambar 4 Kurva Biaya Tetap - Biaya Variabel dan Biaya Total
Sumber: Salvatore, 2006

Berdasarkan Gambar 4, nilai TFC selalu sama pada berbagai jumlah output
yang dihasilkan. Nilai TVC akan semakin meningkat bila jumlah output semakin
bertambah dengan jumlah penambahan biaya yang semakin berkurang. Sedangkan
bentuk kurva TC sama dengan TVC karena besarnya nilai TC sama dengan TFC
ditambah TVC. Namun letaknya berada diatas TVC dengan selisih sesuai dengan
nilai biaya tetap yang dikeluarkan.
Disamping itu untuk memudahkan didalam menganalisa biaya usaha tempe
maka dilakukan perhitungan biaya rata-rata. Rahardja P, Mandala M (2006)
menjelaskan bahwa biaya rata-rata adalah biaya yang harus dikeluarkan untuk
memproduksi satu unit output. Karena nilai TC = TFC+TVC, maka besarnya nilai
biaya rata-rata sama dengan biaya tetap rata-rata ditambah biaya variabel rata-rata.
Hubungan biaya rata-rata, biaya tetap rata-rata dan biaya variabel rata-rata dapat
dilihat pada Gambar 5.
AC = AFC + AVC
atau
TC/Q = TFC/Q + TVC/Q
dimana: AC = biaya rata-rata
AFC = biaya tetap rata-rata
AVC = biaya variabel rata-rata

12

Biaya (Rp)

AC
AVC

AFC
Q (Jumlah Output)

Gambar 5 Kurva Biaya Tetap Rata-rata-Biaya Variabel Rata-rata dan Biaya
Total Rata-rata
Sumber: Rahardja, Manurung, 2006

Gambar 5 menunjukkan kurva AFC terus menurun apabila suatu usaha
mampu meningkatkan jumlah produksi. Hal ini berarti biaya tetap untuk setiap
unit hasil produksi semakin murah. Sedangkan biaya variabel rata-rata (AVC)
berhubungan dengan jumlah produk rata-rata yang dihasilkan. Apabila nilai
produk rata-rata yang dihasilkan meningkat maka nilai AVC menurun.
Keuntungan Usaha dan Efisiensi Usaha
Pendapatan usaha atau lebih sering dikenal dengan keuntungan usaha adalah
penerimaan total dikurangi biaya total. Bila perubahan penerimaan total lebih
besar daripada perubahan biaya total maka pendapatan usaha yang diterima
semakin meningkat. Sebaliknya bila perubahan penerimaan total lebih kecil
daripada perubahan biaya total, maka keuntungan usaha yang diterima semakin
menurun atau bahkan merugi. Besarnya jumlah biaya total terutama dipengaruhi
oleh besarnya jumlah biaya variabel, yang dipengaruhi oleh harga input setiap
faktor produksi dan jumlah input yang digunakan. Sedangkan besarnya jumlah
penerimaan dipengaruhi oleh harga output per-unit serta jumlah output yang
dihasilkan dalam setiap siklus produksi.
Keuntungan usaha (π) menurut Soekartawi (1995), dapat dihitung dengan
rumus:
π = TR-TC
Keterangan: π = Keuntungan usaha yang diperoleh (Rupiah)
TR = Penerimaan total (Rupiah)
TC = Biaya Total (Rupiah)
Harapan dari setiap usaha adalah selisih antara penerimaan total dan biaya
total bernilai positif, lebih besar dari nol. Artinya usaha tersebut mendapatkan
keuntungan. Semakin besar nilai keuntungan yang diperoleh, usaha tersebut bisa
mengatur untuk meningkatkan jumlah produksi dan penjualan dengan harapan
untuk semakin memperbesar jumlah keuntungan usaha yang diterima. Upaya

13

meningkatkan keuntungan usaha bisa dilakukan bila biaya TFC rendah atau TVC
rendah (Gambar 6). Jika kurva TFC bergeser ke bawah, maka keuntungan usaha
yang diperoleh semakin besar. Atau bila kurva TVC bergeser ke sebelah kiri maka
biaya variabel yang dikeluarkan juga semakin murah.
Perubahan nilai TFC, TVC akan mempengaruhi nilai TFC/output,
TVC/output dan juga nilai TR/output produksi. Apabila jumlah produk yang
dihasilkan semakin bertambah maka nilai TFC/output dan TVC/ output semakin
kecil. Dalam hal ini biaya total yang harus dikeluarkan suatu usaha semakin
murah. Selain itu dengan biaya variabel yang semakin murah diharapkan dapat
meningkatkan volume penjualan dan pada akhirnya akan meningkatkan jumlah
penerimaan (TR). Semakin besar jumlah penerimaan usaha maka nilai TR/output
semakin besar. Kondisi tersebut pada akhirnya akan meningkatkan nilai
keuntungan dari setiap output (π /output) yang diterima suatu usaha.
TR,TC,
TVC,TFC

TC
TR

Keuntungan (π)

TVC

TFC

Q (Jumlah Output)
0

1

2

3

4

5

6

Gambar 6 Hubungan Kurva Biaya Tetap-Biaya Variabel dan Biaya Total dengan
Kurva Penerimaan
Sumber: Salvatore, 2006

Sedangkan efisiensi usaha dapat diukur berdasarkan perbandingan antara
besarnya nilai penerimaan dengan biaya yang dikeluarkan dalam menjalankan
usaha tersebut yaitu dengan menggunakan nilai R/C atau Return Cost Ratio.
Dalam analisis efisiensi usaha, penilaian R/C bisa dilakukan dengan
menggunakan biaya riil yang dikeluarkan pengusaha dan R/C dengan
memperhitungkan semua biaya, meliputi biaya riil yang dikeluarkan maupun
biaya yang tidak riil dikeluarkan (Soekartawi, 1995).
Perhitungan Efisiensi usaha menurut Soekartawi (1995) dapat dihitung
dengan rumus:
Efisiensi = R
C
Keterangan: R = Penerimaan (Rupiah)
C = Biaya Total (Rupiah)
Kriteria yang digunakan dalam penentuan efisiensi usaha adalah:
R/C>1 berarti usaha sudah efisien

14

R/C=1 berarti usaha dalam kondisi BEP (Break Event Point)
R/C1, artinya setiap
biaya yang dikeluarkan akan menghasilkan penerimaan yang lebih besar dari pada
biaya atau secara sederhana kegiatan usaha tempe tersebut menguntungkan.
Sebaliknya jika nilai R/C rasio