Analisis Pengaruh Kenaikan Harga Kedelai Terhadap Kinerja Usaha Industri Tempe di Desa Citeureup Kabupaten Bogor

(1)

i

ANALISIS PENGARUH KENAIKAN HARGA KEDELAI

TERHADAP KINERJA USAHA INDUSTRI TEMPE

DI DESA CITEUREUP KABUPATEN BOGOR

SKRIPSI

TITA NURSIAH H34104105

DEPARTEMEN AGRIBISNIS

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

ABSTRACT

Soybean demand continues to increase but does not meet sufficient domestic production resulting in higher price shock. An increase in soybean prices caused a major influence on tempeh industry in Indonesia, since soybean is the main input of tempeh,. The aims of this research were to analyze the effects of the increasing soybean price on business performance in terms of cost structure, revenue, profit, and efforts to deal with adjustments made under these conditions. This research was conducted from December 2012 to Februari 2013. This research used primary data from direct interviews with respondents and secondary data from relevant institutions and literature. The analysis tools used are quantitative and qualitative analysis. The results indicated that an increase in soybean prices affected rising of the total cost significantly because 70 percent of the cost was used for the purchase of soybeans. The condition led to decrease the amount of profit earned. Based on the comparison of the cost structure of the three production-scale showed there was a trend that an increasing of business scale will decrease the cost per kg of soybeans. It is concluded that an adjustment has to be undertaken in order to get high profit by reducing the size and increasing the price of tempeh.

.


(3)

ii

RINGKASAN

TITA NURSIAH, Analisis Pengaruh Kenaikan Harga Kedelai Terhadap Kinerja Usaha Industri Tempe di Desa Citeureup Kabupaten Bogor. Skripsi. Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor (Di bawah bimbingan NUNUNG KUSNADI).

Tingginya permintaan kedelai dalam negeri yang terus meningkat tidak diimbangi dengan jumlah produksi sehingga memicu kelangkaan dan kenaikan harga kedelai dipasaran. Salah satu upaya untuk menstabilkan harga kedelai, pemerintah melakukan impor. Kedelai merupakan salah satu input utama dalam pembuatan tempe, sehingga dengan adanya kenaikan harga kedelai akan berpengaruh langsung terhadap kinerja usaha pengrajin tempe. Adapun pengrajin tempe merupakan usaha dengan skala kecil bahkan mikro yang rentan terhadap kenaikan harga input. Kondisi inilah yang menyebabkan pengrajin tempe harus melakukan upaya untuk menyiasati kenaikan harga kedelai.

Berdasarkan permasalahan tersebut, maka tujuan dari penelitian ini adalah (1) Menganalisis pengaruh kenaikan harga kedelai terhadap kinerja usaha yang ditinjau dari penerimaan, keuntungan, dan struktur biaya produksi usaha tempe. (2) Mengidentifikasi upaya-upaya penyesuaian yang telah dilakukan oleh para pengrajin tempe dalam menyiasati kenaikan harga kedelai.. Penelitian dilakukan di Desa Citeureup Kabupaten Bogor. Adapun pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara sengaja (purposive) dengan mempertimbangkan bahwa Desa Citeureup merupakan sentra industri tempe terbesar di Kabupaten Bogor. Penelitian dilakukan pada bulan Desember 2012 sampai Maret 2013. Data yang digunakan berupa data primer dan data sekunder. Pengolahan data dilakukan baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Metode kuantitatif dilakukan untuk menghitung besaran struktur biaya dan keuntungan yang diterima pengrajin di lokasi penelitian, sedangkan metode kualitatif deskriptif digunakan untuk menganalisis upaya yang telah dilakukan pengrajin tempe dalam menyiasati kenaikan harga kedelai.

Untuk mempertajam analasis, unit usaha pembuatan tempe dilokasi penelitian dibedakan dalam tiga skala, yaitu skala I, skala II, dan skala III. Penggolongan skala ini didasarkan pada banyaknya jumlah produksi kedelai yang dilakukan setiap hari. Berdasarkan struktur biaya sebelum dan setelah kenaikan harga kedelai menunjukkan bahwa dengan adanya kenaikan harga kedelai mempengaruhi kinerja usaha yang ditunjukkan dari peningkatan biaya total dan penurunan keuntungan. Komponen biaya terbesar dalam struktur biaya menunjukkan bahwa kedelai merupakan komponen biaya terbesar yang mengambil 70 persen dari biaya total produksi. Selain itu komponen biaya yang juga tinggi adalah biaya upah tenaga kerja. Berdasarkan dari perbandingan tiga skala menunjukkan bahwa pada produksi skala III mengeluarkan biaya total rata-rata per kg kedelai lebih rendah dibandingkan skala I dan II. Baik sebelum kenaikan harga kedelai maupun setelah kenaikan harga kedelai. Sementara dari penerimaan dan keuntungan, dengan adanya kenaikan harga kedelai menyebabkan keuntungan yang diperoleh menjadi menurun. Hal ini dikarenakan tidak adanya pilihan lain yang dapat dilakukan oleh pengrajin kecuali menurunkan keuntungan yang diperoleh dalam menyiasati kenaikan harga kedelai.


(4)

iii Dengan demikian dapat disimpulkan adanya kenaikan harga kedelai membuat kinerja usaha pengrajin tempe menurun. Berdasarkan hasil analisis pada tiga skala produksi menunjukkan bahwa pada skala III merupakan skala paling efisien dilihat dari besaran nilai biaya rata-rata yaitu Rp 8.684 sebelum kenaikan harga kedelai dan Rp 10.222 setelah kenaikan harga kedelai untuk per 100 kg serta R/C rasio yang paling tinggi yaitu 1,20 sebelum kenaikan harga kedelai dan 1,15 setelah kenaikan harga kedelai.

Upaya yang dilakukan pengrajin dalam menyiasati kenaikan harga kedelai ada empat cara yaitu : (1) mengurangi ukuran tempe dan harga tetap dilakukan oleh 80 persen responden, (2) mengurangi ukuran tempe dan menaikkan hargadilakukan oleh 10 persen responden, (3) memperbesar ukuran tempe dan menaikkan harga dilakukan 3 persen respnden, dan (4) mengurangi jumlah produksi dan mengurangi ukuran tempe. Dilakukan oleh 7 persen responden. Berdasarkan hubungan upaya dan keuntungan yang diperoleh didapatkan bahwa upaya paling efisien yang dilakukan untuk menyeimbangkan keuntungan adalah upaya ke-2. Hal ini dinilai dari peningkatan jumlah keuntungan tertinggi yang diperoleh pengrajin. Pilihan upaya yang dilakukan pengrajin sebagian besar adalah pilihan untuk menurunkan keuntungan yang diperoleh, dikarenakan hanya pilihan inilah yang dapat dilakukan. Pengrajin tempe tidak dapat melakukan pilihan lain dikarenakan adanya kekakuan dalam penggunaan input yang dilakukan sehingga tidak ada pilihan lain selain mengurangi keuntungan.


(5)

iv

ANALISIS PENGARUH KENAIKAN HARGA KEDELAI

TERHADAP KINERJA USAHA INDUSTRI TEMPE

DI DESA CITEUREUP KABUPATEN BOGOR

TITA NURSIAH H34104105

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada

Departemen Agribisnis

DEPARTEMEN AGRIBISNIS

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(6)

v Judul Proposal : Analisis Pengaruh Kenaikan Harga Kedelai Terhadap Kinerja Usaha Industri Tempe di Desa Citeureup Kabupaten Bogor

Nama : Tita Nursiah

NIM : H34104105

Disetujui, Pembimbing

Dr. Ir. Nunung Kusnadi, MS NIP. 19580908 198403 1 002

Mengetahui

Ketua Departemen Agribisnis Fakultas Ekonomi dan Manajemen

Institut Pertanian Bogor

Dr. Ir. Nunung Kusnadi, MS, NIP. 19580908 198403 1 002


(7)

vi

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi saya yang berjudul “Analisis Pengaruh Kenaikan Harga Kedelai Terhadap Kinerja Usaha Industri Tempe di Desa Citeureup Kabupaten Bogor” adalah karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam bentuk daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Mei 2013

Tita Nursiah H34104105


(8)

vii

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Tasikmalaya, pada tanggal 14 April 1989. Penulis adalah anak ketiga dari tiga bersaudara dari keluarga Bapak H. Memed dan Ibu Hj. Fatimah. Pendidikan Sekolah Dasar (SD) ditempuh dari tahun 1995 sampai 2001 di SDN Kenteng Kabupaten Purworejo. Pada tahun 2001 penulis melanjutkan sekolah di SMP N 6 Purworejo dan lulus pada tahun 2004, setelah itu penulis diterima di SMA N 1 Purworejo dengan jurusan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) dan lulus pada tahun 2007.

Pada tahun 2007 penulis diterima di Program Diploma III Institut Pertanian Bogor, pada Program Keahlian Manajemen Industri Jasa Makanan dan Gizi melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Penulis menjalani Praktek Kerja Lapang (PKL) selama empat bulan dimulai dari tanggal 03 Agustus 2009 sampai 04 Desember 2009 di RSUD Prof.Dr.Margono Soekarjo Purwokerto. Penulis juga menjalani Praktek Usaha Jasa Boga (PUJB) di Kantin Sehati selama dua bulan dari tanggal 22 Februari 2010 sampai 24 April 2010. Kemudian penulis melanjutkan pendidikan S1 di Program Alih Jenis Agribisnis, Fakultas Manajemen dan Ekonomi, Institut Pertanian Bogor pada tahun 2010. Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif mengikuti organisasi Badan Eksekutif Mahasiswa Diploma selama dua tahun kepengurusan sebagai Sekretaris Departemen Olahraga Seni dan Budaya tahun 2008, anggota Departemen Ekonomi dan Bisnis serta sebagai Direktur Utama BEM Corporation tahun 2009. Selain itu tahun 2011 sebagai Wakil Bendahara FASTER Alih Jenis Agribisnis.


(9)

viii

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb.

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyusun dan menyelesaikan skripsi ini. Tujuan skripsi ini adalah untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Program Alih Jenis Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.

Adapun judul skripsi adalah ” Analisis Pengaruh Kenaikan Harga Kedelai Terhadap Kinerja Usaha Industri Tempe di Desa Citeureup Kabupaten Bogor”. Menganalisis pengaruh kenaikkan harga kedelai terhadap kinerja usaha yang dilihat dari struktur biaya, keuntungan, dan upaya yang telah dilakukan dalam menyiasati kenaikan harga kedelai berdasarkan pada masing-masing skala produksi yang dijalankan di Desa Citeureup dengan menggunakan analisis kuantitatif deskriptif dan kualitatif.

Penulis mengharapkan skripsi ini dapat memberikan informasi dan acuan untuk penelitian selanjutnya yang berkaitan dengan usaha pembuatan tempe. Akhir kata semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak.

Wassalamualaikum Wr. Wb.

Bogor, Mei 2013


(10)

ix

UCAPAN TERIMA KASIH

Selama menyusun skripsi ini penulis tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak baik secara material maupun non material. Oleh karena sebagai rasa syukur kepada Alloh SWT, penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada :

1. Dr. Ir. Nunung Kusnadi, MS selaku dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan hingga terselesaikannya skripsi ini. 2. Dr. Ir. Dwi Rachmina, MS selaku dosen evaluator proposal dan dosen penguji

utama pada sidang skripsi yang telah disusun.

3. Eva Yolynda Aviny, SP, MM selaku dosen penguji komisi akademik pada sidang skripsi yang telah disusun.

4. Dr. Ir. Anna Fariyanti, MS selaku doses pembimbing akademik yang telah memberikan bimbingan selama perkuliahan.

5. Maryono, SP, M.Sc selaku dosen yang memberikan arahan serta konsultasi terhadap skripsi yang disusun.

6. Ratna Indriasti selaku pembahas dalam seminar yang telah memberi masukan terhadap penyusunan skripsi.

7. Orang tua tercinta H. Memed dan Hj. Fatimah yang telah memberikan dukungan, doa dan materi.

8. Responden yaitu pengrajin tempe di Desa Citeureup atas waktu, kesempatan, informasi, dan dukungan yang diberikan.

9. Ketua dan staf Primkopti Kabupaten Bogor atas waktu, informasi, dan dukungan yang telah diberikan.

10. Sahabat yang selalu membantu Ulfa Aprililla, Muhamad Arief, Vilia Dita, Ratna Indriasti dan seluruh teman-teman Agribisnis alih jenis angkatan 1 IPB yang tidak dapat disebutkan satu per satu, terima kasih telah memberikan semangat selama penelitian hingga penyelesaian skripsi ini.

Bogor, Mei 2013


(11)

x

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI……….... x

DAFTAR TABEL………... xii

DAFTAR GAMBAR……….. xiii

DAFTAR LAMPIRAN……….. xiv

I. PENDAHULUAN………... 1

1.1 Latar Belakang……… 1

1.2 Perumusan Masalah ··· 5

1.3 Tujuan Penelitian ··· 6

1.4 Manfaat Penelitian ··· 6

1.5 Ruang Lingkup ··· 7

II. TINJAUAN PUSTAKA ··· 8

2.1 Karakteristik Industri ··· 8

2.2 Perkembangan Industri Tempe di Indonesia ··· 10

2.3 Hubungan Kinerja, Skala Usaha dan Biaya Produksi ··· 13

III. KERANGKA PEMIKIRAN ··· 17

3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis ··· 17

3.1.1 Hubungan Penggunaan Input dengan Biaya ··· 17

3.1.2 Penerimaan dan Efisiensi Usaha ··· 20

3.2 Kerangka Pemikiran Operasional ··· 21

IV. METODE PENELITIAN ··· 24

4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ··· 24

4.2 Jenis dan Sumber Data ··· 24

4.3 Metode Pengumpulan Sampel ··· 24

4.4 Metode Pengolahan dan Analisis Data ··· 25

4.4.1 Analisis Struktur Biaya ··· 25

4.4.2 Analisis Upaya Penyesuaian ··· 26

V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN ··· 27

5.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian··· 27

5.1.1 Lokasi Geografis Desa Citeureup ··· 27

5.1.2 Kependudukan··· 28

5.1.3 Kondisi Sosial ··· 28

5.2 Karakteristik Responden di Desa Citeureup ··· 30

5.2.1 Usia ··· 30

5.2.2 Tingkat Pendidikan ··· 31

5.2.3 Anggota Keluarga··· 32

5.2.4 Lama Usaha··· 33

5.2.5 Penggunaan Jumlah Kedelai ··· 34

5.3 Peralatan Produksi ··· 35


(12)

xi

5.5 Cara Pemasaran ··· 43

VI. ANALISIS STRUKTUR BIAYA USAHA TEMPE··· 46

6.1 Biaya Tetap Usaha Tempe di Desa Citeureup Bogor ··· 46

6.2 Biaya Variabel Usaha Tempe di Desa Citeureup ··· 49

6.3 Biaya Total Usaha Tempe di Desa Citeureup ··· 54

6.4 Penerimaan, Keuntungan, dan R/C Rasio Usaha Tempe ··· 57

VII. ANALISIS UPAYA MENYIASATI KENAIKAN HARGA ··· 60

7.1 Strategi Menghadapi Kenaikan Harga Kedelai ··· 60

7.2 Perubahan Keuntungan Berdasarkan Jenis Upaya ··· 66

VIII. KESIMPULAN DAN SARAN ··· 69

8.1 Kesimpulan ··· 69

8.2 Saran ··· 69

DAFTAR PUSTAKA ··· 70


(13)

xii

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Permintaan, Produksi, dan Impor Kedelai di Indonesia ... 2

2. Harga Tertinggi Kedelai Dalam Negeri ... 3

3. Harga Kedelai Dalam Negeri dan Volume Impor ... 4

4. Struktur Biaya Produksi Usaha Tempe. ... 25

5. Kependudukan Desa Citeureup Berdasarkan Umur ... 28

6. Kependudukan Desa Citeureup Berdasarkan Mata Pencaharian... 29

7. Kependudukan Desa Citeureup Berdasarkan Tingkat Pendidikan ... 29

8. Sebaran Responden Berdasarkan Usia ... 30

9. Sebaran Responden Berdasakan Tingkat Pendidikan ... 31

10. Sebaran Responden Berdasakan Jumlah Anggota Keluarga ... 32

11. Sebaran Responden Berdasarkan Lama Usaha ... 33

12. Sebaran Responden Berdasarkan Jumlah Kedelai Per Produksi ... 34

13. Sebaran Responden Berdasarkan Cara Pemasaran ... 44

14. Harga dan Ukuran Tempe di Desa Citeureup………... 45

15. Biaya Tetap Berdasarkan Skala Usaha ... 47

16. Biaya Variabel Sebelum dan Setelah Kenaikan Harga ... 50

17. Biaya Produksi Tempe Sebelum Kenaikan Harga ... 55

18. Biaya Produksi Tempe Setelah Kenaikan Harga ... 55

19. Penerimaan dan Keuntungan Berdasarkan Skala Usaha ... 58

20. Upaya Menyiasati Kenaikan Harga ... 66


(14)

xiii

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Kurva Biaya Rata-Rata... 18

2. Kurva Isokuan Kedelai dan Tenaga Kerja ... 19

3. Diagram Alur Pemikiran Operasional ... 23

4. Mesin Pemecah Kedelai ... 37

5. Ragi Batangan ... 39

6. Proses Perebusan Kedelai ... 40

7. Perendaman Kedelai ... 40

8. Pemecahan Kedelai dengan Mesin ... 41

9. Penirisan dan Pendinginan Kedelai ... 42

10. Pengemasan Tempe ... 42

11. Pengeraman Tempe ... 43

12 Grafik Hubungan Biaya dan Skala Usaha………... 57

13. Grafik Pilihan Upaya ... 61


(15)

xiv

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Kuesioner ... 74 2. Contoh Perhitungan Biaya Penyusutan ... 80


(16)

1

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia merupakan negara yang memiliki jumlah penduduk yang besar, menduduki peringkat ke empat setelah Cina, India dan Amerika Serikat dengan jumlah penduduk 237.641.326 jiwa (BPS, 2010a). Seiring dengan meningkatnya pertumbuhan penduduk, maka kebutuhan terhadap pangan juga meningkat. Hingga saat ini, ketahanan pangan Indonesia diakui masih sangat kurang. Hal ini dapat tercermin dari kurangnya suplai beberapa bahan pangan, sehingga mengharuskan negara melakukan impor dari negara lain. Beberapa bahan pangan tersebut adalah beras, daging, gula, dan kedelai. Bahan pangan tersebut merupakan bahan pangan pokok, Misalnya kedelai yang merupakan salah satu komoditas pangan yang memiliki peranan penting. Salah satu peranannya adalah sebagai bahan baku pembuatan tempe, tahu, kecap, tauco, dan susu.

Dikarenakan peranannya yang penting ini jumlah permintaan kedelai pun tinggi yaitu mencapai 2,4 juta ton/tahun. Hingga saat ini permintaan kedelai dalam negeri belum dapat dipenuhi karena produksi rata-rata kedelai dalam negeri berkisar 600.000-850.000 ton per tahun. Untuk memenuhi permintaan kedelai tersebut diperlukan impor dengan rata-rata sebesar 1,8 juta ton/tahun1. Badan Pusat Statistik mencatat tahun 2010 lalu total impor kedelai Indonesia meningkat hingga 1,739 juta ton, berasal dari Amerika Serikat, Malaysia, Argentina, Kanada, dan Thailand. Perkembangan permintaan, produksi, dan jumlah impor kedelai dalam negeri dapat dilihat pada Tabel 1. Berdasarkan Tabel 1, 60 % pemenuhan permintaan kedelai tersebut dilakukan pemerintah dengan mengimpor kedelai dan hanya 40 % dipenuhi dari produksi dalam negeri.

1

Gita, Wiryawan. 70 Persen Kebutuhan Kedelai RI Masih Impor. http://bisniskeuangan.kompas.com. (21 September 2012)


(17)

2 Tabel 1. Perkembangan Permintaan, Produksi, dan Impor Kedelai di Indonesia

Tahun 2000-2010

Tahun Permintaan

(Ton)

Produksi (Ton)

Impor (Ton)

Tingkat Ketergantungan (%)

2000 1.863.775 1.017.634 1.277.683 68,5

2001 1.881.174 826.932 1.136.419 60,4

2002 1.902.865 673.056 1.365.253 71,7

2003 1.924.804 671.600 1.192.717 61,9

2004 1.947.000 723.199 1.115.793 57,3

2005 1.969.391 802.751 1.166.640 59,2

2006 1.992.038 891.053 1.100.985 55,2

2007 2.014.947 989.069 1.119.839 54,9

2008 2.038.119 723.535 1.371.465 67,2

2009 2.061.557 974.512 1.087.045 52,7

2010 2.646.887 907.031 1.738.777 66,1

Sumber : Badan Pusat Statistik, 2010b (diolah)

Tabel 1 menunjukkan tingkat ketergantungan kedelai impor yang cukup tinggi, membuat harga kedelai di dalam negeri mengikuti kondisi harga kedelai impor. Hal ini sesuai dengan penelitian Handayani (2009) yang menjelaskan bahwa peningkatan harga kedelai impor akan meningkatkan harga kedelai dalam negeri. Kondisi ini sesuai dengan observasi di tingkat industri, bahwa ketentuan harga kedelai lokal berdasarkan mekanisme pasar dengan mengikuti harga kedelai impor. Tabel 2 menunjukkan harga kedelai di dalam negeri turut meningkat ketika harga kedelai impor mengalami kenaikan. Pada Tabel 2 dapat dilihat bahwa ada kenaikan harga kedelai lebih dari 100 persen. Kenaikan ini dari tingkat harga Rp 3.200 pada tahun 2007 menjadi Rp 7.500 pada tahun 2008. Hal ini berhubungan dengan adanya kenaikam harga kedelai impor yang meningkat lebih dari 80 persen pada tahun 2008.


(18)

3 Tabel 2. Perkembangan Harga Tertinggi Kedelai Dalam Negeri Tahun

2007-2010

Tahun Harga Tertinggi Kedelai Dalam Negeri (Rp/kg)

Perubahan (%)

Harga Tertinggi Kedelai Dunia

(US$/kg)

Perubahan (%)

2007 3.200 0 3.225 0

2008 7.500 134 5.822 81

2009 7.900 5 5.030 3

2010 8.088 2,3 5.258 4,3

Sumber: Dinas Industri dan Perdagangan, 2010c

Ketergantungan terhadap kedelai impor semakin besar dengan adanya kecenderungan industri pengguna bahan baku kedelai seperti industri tempe yang memilih menggunakan kedelai impor. Selain harganya lebih murah dibanding kedelai lokal kualitas kedelai impor pun lebih baik. Harvita (2007) menjelaskan, pada umumnya industri tempe lebih menyukai kedelai impor karena lebih mudah diperoleh di pasaran, ukuran kedelai lebih seragam, ukuran kedelai lebih besar (panjang 71 mm; lebar 6,8 mm; tebal 6,0 mm), kedelai impor kering dengan kadar air 10-12,5 persen, dan kadar kotoran rendah (kandungan benda-benda asing 0,8-2 persen). Tabel 3 memperlihatkan perkembangan harga kedelai dan volume impor yang terjadi dari tahun 2011 hingga 2012.

Dilihat pada Tabel 3, harga kedelai lokal dibandingkan dengan harga kedelai impor lebih murah. Oleh karena itu, sebagian besar pengrajin tempe menggunakan kedelai impor sebagai bahan baku dalam pembuatan tempe. Hal ini dilihat dari besarnya volume impor setiap bulannya. Volume impor kedelai yang terjadi dalam setahun pada tahun 2011 hingga 2012 tidak terjadi setiap bulan dan jumlahnya pun tidak tentu. Menurut Amalia (2008), harga kedelai impor murah karena mendapatkan subsidi yang besar oleh negara pengekspornya, khususnya kedelai dari Amerika. Produksi kedelai dalam negeri tidak mampu bersaing dengan kedelai impor yang disubsidi tersebut. Upaya pemerintah dalam meningkatkan tarif impor kedelai dari lima persen menjadi sepuluh persen pada tahun 2005, ternyata belum mampu menaikkan produksi kedelai secara signifikan. Bahkan kenaikan harga kedelai pada tahun 2012 mengharuskan pemerintah menurunkan tarif impor kedelai.


(19)

4 Tabel 3. Perkembangan Harga Kedelai Dalam Negeri dan Volume Impor

Tahun 2011-2012

Sumber : Dinas Industri dan Perdagangan, 2012 (diolah) * Badan Pusat Statistik, 2012

Kenaikan harga kedelai ini sangat mempengaruhi kinerja industri di dalam negeri yang menggunakan bahan baku kedelai, salah satunya yaitu industri tempe. Berdasarkan data yang ada pengrajin tempe dan tahu berjumlah cukup banyak di Indonesia yaitu sekitar 32.171 ribu pengrajin dengan rata-rata berskala usaha kecil (BSN, 2011). Peningkatan harga yang tinggi inilah yang menyebabkan industri pengolahan kedelai khususnya tempe dirugikan. Dikarenakan kedelai merupakan bahan baku utama yang dominan yaitu 80 persen hingga 90 persen dari biaya produksi (Amang B; Husein S; Anas R, 1996). Oleh karena itu, ketika terjadi perubahan harga kedelai pasti akan mempengaruhi kinerja dan aktivitas produksi yang dilakukan industri tempe. Aktivitas produksi ini erat kaitannya dengan biaya bahan baku kedelai dalam struktur biaya produksi. Biaya bahan baku kedelai merupakan komponen terbesar dalam biaya total produksi, sehingga adanya kenaikan harga kedelai akan menyebabkan kenaikan biaya total yang tinggi.

Adanya kenaikan biaya total ini mengharuskan pengrajin melakukan upaya yang dapat menyiasati kondisi ini. Dampak kenaikan harga kedelai

Tahun Bulan Kedelai Lokal

(Rp/kg)

Kedelai Impor (Rp/kg)

Volume Impor (ton)*

2011 Juni 5.849,03 5.270,9 0

Juli 6.036,34 6.209,76 132.130,7

Agustus 6.424,81 6.120,08 212.020,9

September 5.930,07 5.560,67 0

Oktober 6.480,72 5.997,69 0

November 6.624,83 5.801,63 105.398,7

Desember 6.224,83 5.801,63 283.661,3

2012 Januari 5.939,36 5.793,1 76.253,4

Februari 6.818,88 6.368,12 114.194,5

Maret 8.896,31 8.363,92 528.487

Mei 7.173,08 6.827,73 0


(20)

5 mempengaruhi kinerja seluruh pengrajin tempe di Indonesia, khususnya pengrajin di wilayah Bogor. Dikarenakan di wilayah ini tempe banyak diusahakan oleh pengrajin dan membentuk kluster di beberapa desa seperti, Citeureup, Bojong Sempu, Ciampea, dan Cibungbulang. Menurut KOPTI Kabupaten Bogor, kebutuhan kedelai untuk industri olahan di wilayah ini tergolong tinggi yaitu 3.336.660 kg tiap bulannya. Salah satu sentra industri tempe di Bogor yang terdapat pengrajin terbanyak adalah Desa Citeureup, di desa ini terdapat sekitar 188 unit usaha. Hal ini menunjukkan bahwa tempe banyak diusahakan meskipun harga kedelai terus meningkat.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas mengenai tingginya permintaan kedelai dalam negeri yang belum terpenuhi dan adanya kenaikan harga kedelai yang terus meningkat dapat mempengaruhi kinerja produksi tempe yang ada. Berdasarkan hasil survei Departemen Perindustrian tahun 1992, bahwa volume bahan baku kedelai yang diolah per pengrajin tempe cukup rendah yaitu sekitar kurang dari 25 kg per hari (Amang B; Husein S; Anas R, 1996). Hal ini menunjukkan bahwa skala usaha untuk pembuatan tempe sebagian besar berupa industri rumah tangga. Usaha skala kecil atau rumah tangga merupakan usaha yang rentan terhadap perubahan harga input. Dengan demikian, adanya kenaikan harga input membuat pengrajin tempe yang merupakan skala kecil merugi karena pengrajin tempe skala kecil masuk dalam kategori price taker

tidak dapat mempengaruhi harga output yang ada di pasar ketika adanya kenaikan harga satu input.

Peningkatan harga input yaitu kedelai sebagai bahan baku utama tempe tidak dapat diikuti oleh peningkatan harga jual tempe sebesar peningkatan harga kedelai yang terjadi. Hal ini karena melihat daya beli konsumen yang umumnya merupakan golongan ekonomi menengah ke bawah. Kenaikan harga kedelai dapat menurunkan jumlah keuntungan yang diperoleh pengrajin, karena kenaikan harga kedelai yang terjadi mempengaruhi struktur biaya, baik itu biaya tetap maupun biaya variabel. Adanya peningkatan harga kedelai menyebabkan peningkatan biaya produksi. Untuk menutupi peningkatan biaya


(21)

6 produksi, pengrajin tempe harus melakukan upaya alternatif agar tetap dapat berproduksi dan mendapatkan keuntungan maksimal.

Berdasarkan uraian di atas, menjadi penting untuk mengkaji permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimanakah pengaruh kenaikan harga kedelai terhadap kinerja usaha pengrajin tempe dilihat dari struktur besaran biaya produksi dan keuntungan industri tempe di lokasi penelitian?

2. Upaya-upaya apakah yang dilakukan pengrajin tempe di lokasi penelitian dalam menyiasati kenaikan harga kedelai yang terus meningkat agar kinerja usaha dapat dilakukan dengan optimal?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang diuraikan di atas, maka tujuan yang ingin dicapai oleh peneliti adalah :

1. Menganalisis pengaruh kenaikan harga kedelai terhadap kinerja usaha yang ditinjau dari struktur biaya produksi, penerimaan, keuntungan usaha tempe di Desa Citeureup Kabupaten Bogor yang dibagi dalam tiga skala usaha.

2. Mengidentifikasikan upaya-upaya penyesuaian yang telah dilakukan oleh para pengarajin tempe untuk menyiasati kenaikan harga kedelai di Desa Citeureup Kabupaten Bogor.

1.4 Manfaat Penelitian

Selain adanya permasalahan serta tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini juga terdapat manfaat yang diperoleh. Manfaat yang diperoleh ini tentunya dapat dijadikan acuan untuk memperbaiki apa yang sedang diteliti saat ini. Manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini, diantaranya:

1. Menambah wawasan dan pengetahuan bagi pihak yang berkepentingan khususnya para pengrajin tempe di Desa Citeureup Kabupaten Bogor dalam mengambil kebijakan terkait dengan pengembangan usaha. 2. Bagi penulis sebagai sarana untuk mengaplikasikan pengetahuan yang

telah diperoleh selama kegiatan perkuliahan.

3. Pembaca sebagai wawasan ilmu pengetahuan dan bahan rujukan untuk penelitian mengenai industri tempe selanjutnya.


(22)

7 1.5 Ruang Lingkup

Ruang lingkup dari penelitian ini yaitu kajian mengenai pengaruh kenaikan harga kedelai terhadap kinerja usaha pengrajin tempe di Desa Citeureup Kabupaten Bogor. Penelitian ini hanya mencakup bagaimana pengaruh kenaikan harga kedelai terhadap kinerja usaha. Kinerja usaha yang dilihat yaitu dari struktur biaya, penerimaan dan keuntungan yang diperoleh pengrajin tempe. Selain itu akan menganalisis upaya apakah yang telah dilakukan pengrajin dalam mengatasi kenaikan harga kedelai.


(23)

8

II. TINJAUAN PUSTAKA

Tinjauan pustaka dalam penelitian ini meliputi tinjauan mengenai kinerja industri tempe melalui karakteristik industri tempe yang sebagian besar berskala kecil, dengan modal terbatas. Perkembangan industri tempe di Indonesia cukup pesat karena industri ini menjanjikan keuntungan yang tinggi. Yempe merupakan makanan khas Indonesia yang bergizi tinggi serta harga relatif murah. Selain itu ditinjau juga peranan kedelai sebagai bahan baku pada industri tempe nasional, dan juga pola hubungan struktur biaya dengan bermacam-macam pengelompokkan skala usaha.

2.1 Karakteristik Industri

Pengertian industri menurut UU No. 5 tahun 1984 adalah suatu usaha atau kegiatan pengolahan bahan mentah atau barang setengah jadi menjadi barang jadi yang memiliki nilai tambah untuk mendapatkan keuntungan. Hasil dari industri tidak hanya berupa barang tetapi dalam bentuk jasa. Sentra industri merupakan suatu wilayah yang di dalamnya terjadi pengelompokan industri-industri kecil yang sejenis atau memiliki kaitan erat diantara industri-industri kecil tersebut, dimana wilayah kerjanya tidak dibatasi oleh wilayah administrasi saja tetapi ditentukan oleh wilayah industri kecil itu sendiri. Industri kecil merupakan salah satu sektor informal yang mempunya ciri-ciri sebagai berikut :

1. Kegiatan usahanya tidak terorganisir dengan baik. 2. Pada umumnya unit usaha tidak mempunyai ijin usaha.

3. Pola kegiatan usaha tidak terfokus dalam arti lokasi atau jam kerja. 4. Teknologi yang digunakan masih bersifat sederhana.

7. Skala usaha kecil, karena modal dan perputaran usahanya juga kecil. 8. Tidak memerlukan pendidikan formal, karena hanya berdasarkan

pengalaman sambil kerja.

9. Pada umumnya bekerja sendiri atau hanya dibantu karyawan atau kerabat/ keluarga yang tidak perlu dibayar.

10. Sumber modal usaha pada umumnya berasal dari tabungan sendiri atau dari lembaga keuangan yang tidak resmi.


(24)

9 11. Sebagian besar hasil produksi atau jasa mereka hanya dikenali oleh masyarakat yang berpenghasilan rendah atau sebagian kecil atau golongan ekonomi menengah.

Industri kecil merupakan kumpulan dari beberapa usaha kecil yang sejenis. Pengelompokkan usaha kecil ini dapat dilihat dari jumlah tenaga kerja dimana menurut Badan Pusat Statistik (BPS, 2010b) usaha kecil merupakan entitas usaha yang memiliki jumlah tenaga kerja lima hingga 19 orang, sedangkan usaha menengah dengan jumlah tenaga kerja 20 hingga 99 orang. Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 316/KMK.016/1994 tanggal 27 Juni 1994, usaha kecil didefiniskan sebagai perorangan atau badan usaha yang telah melakukan kegiatan usaha dengan omset / penjualan Rp 600.000.000, usaha ini bisa dalam bentuk usaha CV, PT, dan koperasi atau perorangan (pengrajin/industri rumah tangga, petani, peternak, nelayan, pedagang). Usaha kecil sendiri memiliki keunggulan antara lain:

1. Memiliki kebebasan untuk bertindak artinya bila ada perubahan produk baru atau teknologi baru, usaha kecil dapat cepat menyesuaikan.

2. Fleksibel artinya perusahaan kecil dapat menyesuaikan dengan kebutuhan setempat baik bahan baku, tenaga kerja, dan pemasaran produk usaha kecil pada umumnya menggunakan sumber-sumber setempat yang bersifat lokal. 3. Tidak mudah goncang karena bahan baku sebagian besar lokal dan sumber

daya lainnya bersifat lokal, maka perusahaan kecil tidak rentan terhadap fluktuasi bahan baku impor.

Berdasarkan uraian pada nomor tiga, terdapat perbedaan dengan kenyataan di lapangan. Kenyataan yang terjadi di lapangan adalah sebagian besar industri kecil inilah yang rentan terhadap perubahan bahan baku, sebagai contoh industri pengolahan kedelai. Pada saat terjadi perubahan harga kedelai, usaha ini rentan mengalami kerugian, karena sebagian besar bahan baku kedelai berasal dari impor. Meskipun industri kecil rentan mengalami kerugian apabila terjadi perubahan harga baik input maupun output, usaha ini tetap digemari dan diusahakan karena memiliki peluang pasar yang masih luas. Industri pengolahan kedelai terdapat di sejumlah wilayah Indonesia, namun pada umumnya industri ini terkonsentrasi di Jawa, karena selain sebagian besar


(25)

10 konsumen terbesar juga terkonsentrasi di Jawa, Jawa merupakan penghasil kedelai terbesar dibandingkan propinsi lain. Untuk lokasi industri tahu lebih banyak terkonsentrasi di daerah kota, sedangkan untuk industri tempe terpusat usahanya di pedesaan (Amang B; Husein S; Anas R, 1996).

Berdasarkan beberapa penelitian yang telah dilakukan penentuan jumlah responden (pengrajin tempe) yang diambil berada pada satu kawasan yang sama, hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar pengrajin tempe membentuk kluster atau pengelompokkan industri yang sejenis dan sebagian besar usaha ini berskala kecil atau rumah tangga dengan modal yang terbatas. Penelitian ini ditunjukkan oleh (Sondang 2008 ; Amalia 2008) yang melakukan penelitian di Desa Citeureup, Patmawaty (2009) di desa Bojong Sempu, serta Kurniasari (2010) yang melakukan penelitian di Kelurahan Semanan Jakarta. Pengrajin tempe, baik yang bergabung dalam satu kawasan industri maupun yang tidak bergabung, diduga jumlahnya semakin meningkat. Peningkatan jumlah industri ini dapat memberikan dampak terhadap penyerapan tenaga kerja dan adanya pemerataan kesempatan kerja, bisnis pembuatan tempe dan tahu umumnya padat karya dan merupakan industri rumah tangga dengan modal terbatas.

Dinas Perindustrian dan Perdagangan memberikan definisi tentang industri kecil adalah industri dengan investasi yang kurang dari lima juta rupiah. Sumber modal usaha pada umumnya berasal dari tabungan sendiri atau lembaga keuangan tidak resmi. Sebagian besar hasil produksi atau jasa mereka hanya dikenal oleh masyarakat yang berpenghasilan rendah atau sebagian kecil golongan ekonomi menengah, serta jumlah tenaga kerjanya kurang dari 19 orang. Uraian tersebut sesuai dengan penelitian dari Sugianto (1996), Kurniasari (2010), yang menjelaskan bahwa sebagian besar industri tempe berskala kecil terlihat dari jumlah modal investasi yang kecil yaitu antara satu hingga dua juta rupiah. Fakta ini dikuatkan oleh survei yang dilakukan oleh Departemen Perdagangan , yakni modal investasi untuk per unit usaha sebesar Rp 1,55 juta dan modal kerja sebesar Rp 420 ribu.

2.2 Perkembangan Industri Tempe di Indonesia

Industri tempe merupakan industri yang terkait langsung dengan komoditi kedelai karena bahan baku utamanya berupa kedelai. Selain memiliki


(26)

11 prospek pasar yang cukup baik akibat tingginya tingkat permintaan, keberadaan industri tempe juga memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap diversifikasi konsumsi, dan meningkatkan daya tahan kedelai. Peranan lain yang tak kalah pentingnya adalah menciptakan nilai tambah, meningkatkan pendapatan, dan meningkatkan devisa serta menyerap tenaga kerja (Sondang 2008; Ismira 2012).

Keunggulan aktivitas pengolahan kedelai menjadi produk olahan penting untuk diperhatikan terkait dengan kondisi bahan baku yang didominasi impor. Kedelai tersebut sebagian besar digunakan oleh industri pengolahan, sebanyak 50 persen dari konsumsi kedelai diolah menjadi tempe, 40 persen tahu, dan 10 persen dalam bentuk produk lain (seperti tauco, kecap, dan lain-lain). Tempe digemari oleh masyarakat karena kandungan gizinya yang tinggi serta harganya yang relatif murah. Setiadi (2012) menuturkan, Indonesia sendiri sudah dikenal menjadi produsen tempe terbesar di Asia. Selain itu Indonesia adalah negara pengonsumsi tempe terbesar di dunia, terbukti dengan jumlah konsumsi 2,4 juta ton per tahunnya. Peluang mengangkat tempe menjadi industri besar dapat dilakukan karena peluang tersebut sudah terbuka dengan disetujuinya usulan standar tempe yang diajukan Indonesia pada sidang Codex

Alimentarius Commission (CAC) ke-34 di Jenewa 4-9 Juli 2011. Konsumsi

tempe rata-rata per orang per tahun di Indonesia saat ini diduga sekitar 6,45 kg, konsumsi ini setara dengan 4,76 kg kedelai.

Tahun 1979, jumlah industri tempe di dalam negeri sebesar 99 persen merupakan industri tempe skala kecil, sisanya adalah industri skala menengah dan besar (Amang B; Husein S; Anas R, 1996). Tahun 1982, industri tempe yang termasuk ke dalam skala kecil adalah sekitar 94 persen dan sisanya sebesar 6 persen merupakan industri tempe dengan skala menengah dan besar (Suharno dan Mulyana 1996). Saat ini diduga jumlah presentase industri tempe yang termasuk ke dalam skala menengah dan besar akan meningkat, mengingat cukup banyak penemuan teknologi baru yang dapat meningkatkan produktivitas pengrajin tempe. Namun peningkatan presentase industri tempe skala menengah dan besar, tidak lebih besar dari industri tempe yang termasuk ke dalam skala kecil. Dengan kata lain presentase industri skala kecil tetap lebih besar dibandingkan industri tempe menengah dan besar.


(27)

12 Tidak dipungkiri jumlah pengrajin tempe semakin meningkat jumlahnya karena selain usaha pembuatan tempe merupakan salah satu usaha yang mudah dilakukan karena tidak memerlukan keahlian khusus, modal tidak terlalu besar. Besarnya keuntungan perusahaan berbeda antara perusahaan tempe dengan skala kecil dan skala besar, selain itu lokasi juga menentukan. Pernyataan ini dikuatkan oleh penelitian Amang B; Husein S; Anas R (1996) yang melakukan penelitian di Lampung dan Jawa Barat, bahwa usaha industri tempe memberikan rasio keuntungan yang sedikit lebih tinggi dari usaha tahu. Rata-rata rasio keuntungan (persen) terhadap total biaya produksi untuk industri tempe dan tahu di Lampung dan Jawa Barat masing-masing adalah 22 persen dan 24 persen. Sedangkan untuk industri tahu di dua daerah tersebut sekitar 19 persen dan 21 persen. Dengan demikian industri tempe memberikan keuntungan sekitar 3 persen lebih tinggi dibandingkan industri tahu di kedua daerah.

Semakin meningkatnya jumlah pengrajin tempe maka kebutuhan kedelai di Indonesia juga meningkat, namun di sisi lain Indonesia belum dapat mencukupi kebutuhan kedelai dalam negeri sehingga masih tergantung pada kedelai impor. Konsekuensinya harga kedelai di pasar domestik masih dipengaruhi oleh harga di pasar international. Kenaikan harga kedelai pada tahun 2008 sebesar 80 persen di Amerika Serikat yang mewakili pasar internasional membuat harga kedelai dalam negeri meningkat sebesar 134 persen (Handayani, 2009).

Kenaikan harga kedelai beberapa tahun ini sangat berpengaruh terhadap industri pembuatan tempe. Pengrajin tempe lebih memilih kedelai impor dibanding kedelai lokal. Alasan pemilihan kedelai impor karena harganya lebih murah dan kualitasnya lebih baik, seperti butiran lebih besar dan seragam, serta rendemen tempe lebih tinggi. Secara rata-rata rendemen kedelai impor adalah 2 persen lebih tinggi dari pada kedelai lokal (Amang B; Husein S; Anas R, 1996; Krisdiana 2007; Handayani 2009). Kenaikan harga kedelai akan mempengaruhi ongkos produksi tempe, rendahnya harga kedelai impor sekitar 3 hingga 4 persen dibandingkan dengan kedelai dalam negeri telah mendorong industri tempe mensubtitusikan kedelai lokal dengan kedelai impor. Banyaknya


(28)

13 industri tempe berskala kecil yang meningkat jumlahnya cenderung rentan terhadap perubahan-perubahan yang terjadi misalnya perubahan harga input

dan output, dimana perubahan yang sering terjadi adalah perubahan harga input.

Perusahaan tidak dapat mempengaruhi harga input yang mereka butuhkan dan gunakan sehingga ketika terjadi kenaikan harga input yaitu kedelai perusahaan tempe harus membayar harga kedelai sesuai dengan harga yang berlaku di pasar.

Pengaruh kenaikan harga kedelai ini merugikan pengrajin tempe dan tahu, hal ini dijelaskan oleh Apretty (2000). Krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1998 telah menyebabkan kelompok industri terutama yang bahan bakunya didominasi impor mengalami kerugian. Bahan baku kedelai pada industri tempe yang mahal menyebabkan biaya produksi menjadi mahal dan dalam waktu yang bersamaan daya beli masyarakat menjadi menurun. Pengaruh kenaikan harga kedelai terhadap usaha ini pun dikuatkan oleh penelitian Patmawaty (2009), dimana kenaikan harga kedelai menyebabkan volume produksi tahu mengalami penurunan sehingga menyebabkan total penerimaan pengrajin menurun.

Selain kedelai kenaikan input lain yang dialami oleh pengrajin tempe adalah kenaikan harga ragi, pembungkus (plastik dan daun) dan juga kenaikan upah tenaga kerja. Kenaikan upah tenaga kerja menyebabkan pengurangan penggunaan tenaga kerja untuk mengurangi kenaikan biaya produksi (Apretty, 2000). Kenaikan input lain seperti kanaikan harga BBM juga turut mempengaruhi usaha ini. Hal ini dikuatkan oleh penelitian Latifah (2006), dimana kenaikan harga BBM mempengaruhi kondisi usaha dan hasil produksi mengalami penurunan yang ditandai dengan menurunnya jumlah input yang dipakai.

2.3 Hubungan Kinerja, Skala Usaha dan Biaya Produksi

Perkembangan industri tempe di Indonesia tidak hanya dilihat dari bertambahnya jumlah industri secara keseluruhan, tetapi juga dari ditinjau dari kinerja dan skala produksinya. Kinerja dan skala produksi ini dapat dilihat dari jumlah penggunaan tenaga kerja, kapasitas produksi, teknologi yang digunakan, serta modal. Berdasarkan uraian tersebut dapat dinilai bahwa kinerja usaha


(29)

14 tidak dapat dipisahkan dari perusahaan. Kinerja dapat dikatakan sebagai suatu hasil yang dicapai ketika mengerjakan sesuatu atau tugas. Keberhasilan suatu usaha diukur dengan kinerja usaha, dimana kinerja usaha sendiri sangat ditentukan oleh kinerja masing-masing individu dalam perusahaan tersebut.

Pengelolaan atas kinerja yang dilakukan secara strategis merupakan hal utama bagi organisasi untuk membangun dan meraih keunggulan kompetitif melalui peran sumber daya. Indikator kinerja usaha juga penting diketahui untuk mengukur hasil yang telah dicapai. Indikator kinerja usaha adalah ukuran kuantitatif dan kualitatif yang menggambarkan tingkat pencapaian sasaran atau tujuan yang telah ditetapkan dengan memperhitungkan elemen-elemen indikator yaitu : masukan (input), keluaran (output), hasil (outcome), manfaat

(benefit), dampak (impact) manusia dalam menjalankan strategi organisasi.

(Koriawan 2009).

Kinerja usaha pada industri tempe juga dipengaruhi oleh skala produksi, yang mana skala produksi pada industri tempe dipengaruhi produktivitas pengrajin dalam menghasilkan tempe. Skala produksi untuk industri tempe dibagi menjadi tiga, meliputi skala produksi kecil, menengah, dan besar. Berdasarkan jumlah tenaga kerja yang digunakan, suatu industri dapat dikelompokkan secara umum, termasuk industri dalam skala produksi kecil yaitu mempekerjakan tenaga kerja kurang dari dua puluh orang, sedangkan untuk industri skala produksi menengah dan besar apabila mempekerjakan tenaga kerja sebanyak dua puluh orang atau lebih (BPSb, 2010). Penentuan skala usaha pembuatan tempe dapat juga dilakukan berdasarkan jumlah kedelai yang digunakan.

Berdasarkan kapasitas produksinya, industri tempe dikelompokkan menjadi industri sekala kecil, menengah, dan besar. Industri skala kecil mengolah kurang dari 300 kg kedelai per hari, sedangkan industri skala besar mengolah lebih dari 300 kg kedelai per hari (Latifah, 2006). Berbeda lagi dengan penuturan (Harvita, 2007) yang mengelompokkan industri tempe skala kecil dengan penggunaan jumlah kapasitas kedelai kurang dari 50 kg kedelai per hari, skala menengah mengolah kedelai 50 hingga 100 kg kedelai per hari, dan industri skala besar mengolah lebih dari 100 kg kedelai per hari. Sedangkan


(30)

15 menurut Kurniasari (2010), pengelompokkan industri skala kecil adalah industri yang penggunaan kedelai kurang dari 100 kg per produksi, skala menengah menggunaka kedelai antara 100 hingga 200 kg per produksi dan skala besar dengan penggunaan kedelai lebih dari 200 kg per produksi. Beragamnya skala usaha akan mengakibatkan struktur biaya yang digunakan pun berbeda pada masing-masing skala usaha.

Adanya perbedaan skala produksi pada industri tempe diduga akan mempengaruhi struktur biaya dan keuntungan. Suharno dan Mulyana (1996), meneliti bahwa pengrajin tempe skala kecil studi kasus di Jawa Barat memiliki rasio keuntungan sebesar (21,40 persen) lebih kecil dibandingkan dengan pengrajin skala besar dengan rasio keuntungan sebesar (23,48 persen). Tingkat keuntungan yang lebih besar pada pengrajin skala besar dapat disebabkan oleh jumlah produksi yang lebih besar atau harga jual produk yang lebih mahal karena adanya perbedaan kualitas produk yang relatif lebih baik.

Ditinjau dari struktur biaya yang dikeluarkan diduga terdapat perbedaan antar pengrajin tempe yang berbeda skala produksinya. Pernyataan ini dikuatkan oleh penelitian yang dilakukan oleh Kurniasari (2010) yang menunjukkan ada kecenderungan dengan semakin besar skala produksi akan semakin menurunkan biaya produksi yang dikeluarkan. Berdasakan biaya total rata-rata per kg kedelai yang dikeluarkan pengrajin tempe, memperlihatkan kecenderungan dengan semakin meningkatnya skala produksi pengrajin, dalam hal ini penggunaan jumlah kedelai maka biaya total rata-rata per kg kedelai semakin turun. Selain itu adanya kenaikan harga kedelai membuat pengrajin tempe skala kecil dan menengah melakukan upaya dengan memperkecil ukuran tempe, sedangkan untuk skala besar cenderung mengurangi jumlah jam penggunaan tenaga kerja luar keluarga.

Adanya kecenderungan biaya produksi yang semakin rendah dengan semakin besarnya produksi, dapat disebabkan karena pada produsen dengan skala besar memperoleh harga pembelian input yang lebih murah karena melakukan pembelian dalam jumlah yang besar. Berbeda dengan produsen skala kecil yang pada umumnya membeli input faktor produksi dalam jumlah kecil atau kadang secara eceran karena memang kebutuhan faktor produksi


(31)

16 untuk setiap produksi kecil. Menurut Alim (1996), perbedaan jumlah pembelian faktor produksi pada produsen yang berbeda skala akan mempengaruhi daya tahan produsen terhadap gejolak harga faktor produksi.

Perbedaan ini tidak hanya berlaku pada industri tempe, melainkan pada beberapa industri lain yaitu pada usaha kambing perah dan usaha penggemukan sapi perah perah. Stani (2009), mengungkapkan bahwa kecenderungan dengan semakin meningkatnya skala usaha maka biaya per satuan ternak dan per liter susu semakin menurun. Penurunan ini disebabkan biaya tetap (perawatan kandang) pada peternak skala kecil lebih besar dibandingkan biaya tetap pada peternak skala besar. Penelitian Lisa (2010) menguatkan, bahwa berdasarkan rata-rata biaya produksi per unit menunjukkan bahwa dengan meningkatnya skala usaha maka diperoleh biaya per kg sapi potong yang semakin rendah, dikarenakan biaya yang dikeluarkan untuk bakalan, pakan dan obat, serta tenaga kerja lebih rendah. Hal ini menunjukkan bahwa skala usaha dapat mempengaruhi struktur biaya. Dimana skala produksi yang berbeda membuat proporsi komponen biaya produksi yang berbeda juga. Berdasarkan hasil tinjauan pustaka bahwa adanya kecenderungan pada posisi skala ekonomi dengan semakin meningkatnya skala produksi dapat menurunkan biaya rata-rata per produksi yang dikeluarkan.

Hal ini disebabkan oleh adanya spesialisasi faktor produksi, efisiensi penggunaan input. Sedangkan pada posisi skala tidak ekonomi apabila terjadi pertambahan skala produksi menyebabkan biaya rata-rata produksi menjadi semakin tinggi. Hal ini dapat terjadi karena kegiatan produksi yang dilakukan tidak efisien, atau suatu usaha dengan cakupan yang besar sehingga birokrasi yang terjadi semakin rumit dan komplek dan sulit dalam penentuan pengambilan keputusan. Selain itu struktur biaya juga dipengaruhi oleh teknologi, baik penggunaan teknologi tinggi ataupun sederhana harus digunakan sesuai dengan kemampuan usaha tersebut berproduksi serta jumlah produksi yang ingin dicapai.


(32)

17

III. KERANGKA PEMIKIRAN

3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis

Kerangka pemikiran dalam penelitian ini meliputi kerangka pemikiran teoritis dan kerangka pemikiran operasional. Kerangka pemikiran teoritis berisi teori-teori yang berkaitan dengan penelitian mengenai pengaruh kenaikan harga kedelai terhadap kinerja usaha industri tempe. Teori tersebut meliputi teori mengenai hubungan penggunaan input dengan biaya dan keuntungan. Teori ini menjelaskan bagaimana pengaruh jumlah penggunaan input terhadap biaya yang dikeluarkan dan keuntungan yang diperoleh oleh pengrajin.

3.1.1 Hubungan Penggunaan Input dengan Biaya

Kegiatan yang menghasilkan produk berupa barang atau jasa dengan menggunakan sejumlah sumber daya atau input tertentu disebut dengan produksi (Syahrudin, 1990). Kegiatan menghasilkan produk tidak pernah terlepas dari biaya yang digunakan dalam produksi. Pengertian biaya menurut Mankiw (2003) adalah segala sesuatu yang kita korbankan untuk memperoleh sesuatu yang kita inginkan. Perubahan harga input X yang diterima produsen akan mempengaruhi biaya produksi yang dikeluarkan produsen.

Lipsey R ; Courant P ; Purvis D; Steiner P (1995) mendefinisikan biaya total (TC atau total cost) adalah biaya yang digunakan untuk menghasilkan tingkat output tertentu. Biaya total dibagi menjadi dua bagian yaitu biaya tetap total (TFC atau total fixed cost) dan biaya variabel total (TVC atau total

variable cost). Biaya tetap adalah biaya yang tidak berubah meskipun output

berubah. Sedangkan biaya yang berkaitan langsung dengan output yang bertambah besar dengan meningkatnya produksi dan berkurang dengan menurunnya produksi disebut biaya variabel. Secara matematis biaya total (TC) dapat dirumuskan sebagai berikut (Lipsey R ; Courant P ; Purvis D; Steiner P , 1995) :

TC = TFC + TVC = Px. X + TFC dimana :

TC = Total Cost atau Biaya Total (Rp)


(33)

18 TVC = Total Variable Cost atau Biaya Variabel Total (Rp)

Berdasarkan persamaan tersebut, harga input variabel X (Px) akan mempengaruhi biaya total yang dikeluarkan produsen. Kenaikan harga input

menyebabkan biaya variabel total meningkat. Apabila biaya variabel total meningkat maka akan menyebabkan biaya total akan meningkat juga. Hubungan antara besarnya biaya produksi dengan tingkat produksi disebut dengan fungsi biaya dapat digambarkan dalam kurva seperti pada Gambar 1.

Rp MC

ATC

AVC

AFC

0 Output

Gambar 1. Kurva Biaya Rata-Rata

Sumber : Lipsey R ; Courant P ; Purvis D; Steiner P (1995)

Bentuk kurva biaya di atas merupakan gambaran kurva biaya rata-rata. Biaya rata-rata ini diperoleh dari total biaya dibagi jumlah output. Saat terjadi kenaikan harga input yaitu kedelai maka biaya total meningkat karena kedelai merupakan input variabel, sehingga akan terjadi pergeseran kurva biaya total rata-rata atau ATC ke atas. Pergeseran yang terjadi ini akan mempengaruhi keuntungan yang diperoleh pengrajin karena keuntungan yang didapat akan menurun. Oleh karena itu pengrajin harus melakukan upaya untuk meningkatkan keuntungan. Suatu usaha akan memperoleh laba normal apabila harga output (P) = ATC, sedangkan untuk memperoleh laba positif P > ATC. Suatu usaha akan mengalami titik kritis yaitu perusahaan dapat menutupi semua biaya variabel tetapi tidak dapat menutupi biaya tetap pada saat P = AVC. Perusahaan akan mengalami kerugian bahkan gulung tikar pada saat P < AVC.


(34)

19 Berdasarkan uraian tersebut di atas menunjukkan bahwa ada hubungan antara jumlah input dengan harga input. Hubungan antara jumlah input yang digunakan dengan harga input dapat digambarkan dengan kurva isokuan. Kurva isokuan adalah kurva yang menunjukkan kombinasi antara dua input yang dapat digunakan untuk memproduksi sejumlah output yang sama besarnya (Nicholson, 1994). Pada kasus pengrajin tempe dua kombinasi input yang digunakan tidak dapat disubstitusikan, contohnya input kedelai dengan tenaga kerja. Dimana kedua input ini tidak dapat saling menggantikan, namun kedua

input ini berkomplemen atau saling melengkapi. Berikut adalah gambar kurva

isokuan antara kedelai dengan tenaga kerja pada Gambar2.

Tenaga Kerja

T1 Q1

T2 Q2

Modal (Kedelai)

K2 K1

Gambar 2. Kurva Isokuan Kedelai dan Tenaga Kerja Sumber : Lipsey R ; Courant P ; Purvis D; Steiner P, (1995) Berdasarkan Gambar 2 menunjukkan adanya perubahan pada jumlah kedelai yang digunakan karena adanya kenaikan harga kedelai. Kedelai sebagai

input pada sumbu X dan tenaga kerja pada sumbu Y untuk menghasilkan tempe

pada jumlah Q unit. Semula jumlah kedelai pada K1 ketika terjadi kenaikan harga jumlah kedelai dikurangi oleh pengrajin tempe menjadi K2. Begitu juga yang terjadi dengan tenaga kerja, jumlah tenaga kerja semula di T1 berkurang menjadi T2. Hal ini dikarenakan pada fungsi produksi elastisitas subtitusi


(35)

20 bernilai 0 sehingga penggunaan proporsi input tetap (fixed proportions), sehingga penggunaan kedelai dan tenaga kerja selalu digunakan dalam proporsi yang tetap sehingga bentuk kurva isokuannya berbentuk huruf “L”. Bentuk fungsi produksi yang mempunyai proporsi tetap secara matematika dapat dituliskan :

Q = min (aK, bT) a,b>0 Keterangan :

K : kedelai

T : tenaga kerja

a : jumlah kedelai

b : jumlah tenaga kerja

Tanda “min” pada rumus diatas menunjukkan bahwa Q akan diproduksi dengan nilai terkecil dari aK atau bT. Jika nilai aK<bT, maka Q = aK, sehingga kedelai dinilai pengikat dalam proses produksi, sehingga memperjakan tenaga kerja lebih banyak tidak akan menambah hasil output, sebab produk marginal tenaga kerja = 0. Tetapi apabila aK >bT, maka tenaga kerja yang menjadi faktor pengikat, sehingga penambahan kedelai yang lebih banyak juga tidak akan menambah produksi. Apabila aK=bT maka kedua input harus digunakan secara bersamaan untuk menghasilkan output optimal.

3.1.2 Penerimaan dan Efisiensi Usaha

Total penerimaan merupakan nilai produk total yang diterima petani atau pengusaha, dimana penerimaan diperoleh dari jumlah total produk yang dihasilkan dikalikan dengan harga jual atau harga pasar yang konstan. Secara matematis, total penerimaan atau total pendapatan (total revenue) dapat dirumuskan sebagai berikut:

TR = p x y dimana :

TR = Total pendapatan/penerimaan (Rp) p = Harga pasar (Rp)

y = Hasil produksi (satuan)

Total penerimaan atau total pendapatan yang dikurangi dengan biaya total yang dikeluarkan disebut sebagai pendapatan bersih atau keuntungan (profit) yang diterima petani atau pengusaha. Pendapatan bersih atau keuntungan dapat dirumuskan sebagai berikut :


(36)

21

Π = TR - TC

dimana :

Π = Pendapatan bersih/keuntungan (Rp) TR = Total pendapatan/penerimaan (Rp) TC = Biaya Total (Rp)

Sementara untuk melihat efisiensi usaha dapat diukur dengan melakukan analisis R/C rasio. Semakin besar nilai R/C maka semakin efisien usaha yang dilakukan. Nilai (R/C) dalam usahatani juga digunakan untuk melihat apakah kegiatan usahatani menguntungkan atau tidak. Nilai R/C>1, menujukkan bahwa penerimaan lebih besar dari pada biaya yang dikeluarkan sehingga usaha menguntungkan. Nilai R/C=1, menunjukkan bahwa penerimaan sama dengan biaya yang dikeluarkan atau usaha berada pada posisi impas. Sedangkan nilai R/C<1, menunjukkan bahwa penerimaan lebih kecil daripada biaya yang dikeluarkan sehingga usaha yang dijalankan tidak menguntungkan. 3.2 Kerangka Pemikiran Operasional

Kedelai merupakan komoditas tanaman pangan terpenting ketiga setelah padi dan jagung. Pentingnya kedelai terlihat dari permintaan kedelai yang terus meningkat seiring dengan pertumbuhan jumlah penduduk dan kebutuhan bahan industri olahan pangan seperti tahu, tempe, kecap, susu kedelai, tauco, snack, dan sebagainya. Permintaan kedelai yang terus meningkat di dalam negeri tersebut tidak dapat dipenuhi oleh negara sehingga untuk menutupi permintaan tersebut Indonesia melakukan impor.

Ketergantungan pada kedelai impor yang relatif tinggi, membuat harga kedelai di dalam negeri cenderung mengikuti harga kedelai impor. Kenaikan harga kedelai impor yang terus meningkat sangat berpengaruh pada kinerja usaha dari pengrajin tempe dalam memproduksi tempe. Hal ini dikarenakan kedelai merupakan bahan baku utama dalam produksi tempe, yaitu berkisar 80 persen hingga 90 persen dari biaya produksi, sehingga adanya kenaikan harga kedelai akan berpengaruh terhadap struktur biaya yaitu pada biaya produksi dalam pembelian input akan meningkat. Untuk melihat bagaimana struktur biaya pengrajin tempe, penulis mengelompokkan pengrajin tempe dalam tiga skala untuk perbandingan. Berdasarkan perbandingan tersebut akan terlihat perbedaan struktur biaya baik sebelum kenaikan harga kedelai dan setelah


(37)

22 adanya kenaikan harga kedelai. Dengan demikian dengan adanya kenaikan harga kedelai, maka pengeluaran biaya meningkat, dan keuntungan menurun sedangkan pengrajin tidak memiliki pilihan untuk menyeimbangkan pengeluaran dengan pemasukan. Oleh karena itu pengrajin perlu melakukan upaya-upaya untuk menyiasati kondisi tersebut agar kinerja usaha menjadi optimal dan keuntungan yang diperoleh pun maksimal.

Penelitian ini dimaksudkan untuk melihat bagaimanakan pengaruh kenaikan harga kedelai terhadap kinerja usaha yang ditinjau dari menganalisis penerimaan, keuntungan, dan struktur biaya di sentra industri tempe Citeureup serta mengidentifikasi upaya apa saja yang dilakukan oleh pengrajin untuk menyiasati keadaan tersebut. Secara singkat alur pemikiran operasional dari penelitian dapat dilihat pada Gambar 3.


(38)

23 Gambar 3. Diagram Alur Pemikiran Operasional Analisis Pengaruh Kenaikan

Harga Kedelai Terhadap Kinerja Usaha Indutsri Tempe Di Desa Citeureup Kabupaten Bogor.

Harga kedelai impor meningkat

Kinerja Industri Tempe

Perubahan Struktur Biaya, Penerimaan, dan

Keuntungan Permintaan kedelai dalam

negeri meningkat

Penurunan produksi kedelai dalam negeri

Kelangkaan dan Kenaikan harga kedelai

Upaya penyesuaian yang telah dilakukan pengrajin tempe

Sebelum kenaikan harga kedelai

Setelah kenaikan harga kedelai

Upaya paling menguntungkan Ketergantungan impor kedelai


(39)

24

IV. METODE PENELITIAN

4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini telah dilakukan di kawasan industri tempe Desa Citeureup, Kecamatan Citeureup, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Pemilihan lokasi dilakukan secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan kawasan tersebut merupakan salah satu sentra industri tempe terbesar di Bogor. Kegiatan pengambilan data dilakukan pada bulan Desember 2012 – Februari 2013. 4.2 Jenis dan Sumber Data

Data yang telah digunakan meliputi data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui survei menggunakan teknik wawancara dipandu dengan kuesioner yang telah disiapkan. Data primer pada penelitian mencakup karakteristik usaha produksi tempe seperti teknik pengolahan kedelai menjadi tempe, jumlah produksi, biaya produksi, upaya penyesuaian dalam menghadapi kenaikan harga kedelai, serta informasi lainnya yang berguna untuk menunjang penelitian ini. Data sekunder merupakan data pelengkap yang bersumber dari literatur-literatur yang relevan. Data sekunder diperoleh dari catatan, laporan, maupun dokumen dari pihak terkait, seperti Badan Pusat Statistik, Dinas Perindustrian Kabupaten Bogor, Koperasi Produsen Tempe Tahu (KOPTI) Kabupaten Bogor. Selain itu, dilakukan penelusuran melalui internet, serta buku-buku dan penelitian sebelumnya yang dapat digunakan sebagai rujukan dalam penelitian ini.

4.3 Metode Pengumpulan Sampel

Populasi yang diambil adalah pengrajin tempe di Desa Citeureup Kabupaten Bogor berjumlah 188 unit usaha. Pemilihan sampel berdasarkan kriteria utama yaitu lama usaha lebih dari satu tahun agar dapat melihat pengaruh kenaikan harga kedelai yang terjadi. Adapun jumlah sampel yang digunakan sebanyak 30 unit usaha. Metode pemilihan sampel yang digunakan yaitu simple random sampling dengan cara memberi nomor setiap pengrajin pada populasi kemudian dikocok hingga mendapat 30 sampel terpilih. Pada saat pengecekan terhadap sample terpilih di lapangan ternyata terdapat kendala, adanya ketidakcocokan dengan sampel tersebut, sehingga dilakukan pengocokan ulang


(40)

25 untuk mendapatkan sampel yang baru. Metode ini dipilih karena populasinya relatif homogen sehingga memiliki peluang yang sama untuk dipilih.

4.4 Metode Pengolahan dan Analisis Data

Data yang diperoleh dianalisis secara kuantitatif dan kualitatif. Analisis kuantitatif digunakan untuk mengetahui gambaran umum usaha produksi tempe dan struktur biaya. Data tersebut ditampilkan dalam bentuk tabulasi dan grafik untuk menyederhanakan data agar mudah dibaca, sedangkan analisis kualitatif dilakukan untuk menganalisis upaya penyesuaian yang dilakukan oleh pengrajin tempe dalam mengatasi kenaikan harga kedelai. Dalam penelitian ini analisis kuantitatif dilakukan dengan bantuan alat perangkat lunak (software) Microsoft Excel 2007.

4.4.1 Analisis Struktur Biaya

Analisis struktur biaya dilakukan dengan mengelompokkan biaya-biaya yang dikeluarkan pada usaha produksi tempe. Struktur biaya tersebut terdiri atas biaya tetap dan biaya variabel. Metode perhitungan struktur biaya usaha selengkapnya disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4. Struktur Biaya Produksi Usaha Tempe.

Uraian Sebelum kenaikan harga kedelai tahun 2012

Setelah kenaikan harga kedelai tahun 2012

Biaya tetap:

- Penyusutan alat - Transportasi Jumlah biaya tetap Rata-rata

Biaya Variabel: -Kedelai -Ragi -Bahan Bakar -Plastik -Daun pisang -Tenaga kerja -Listrik

Jumlah biaya variabel Rata-rata

Untuk mendapatkan total biaya (TC) diperoleh dengan cara menjumlahkan total biaya tetap (TFC) dengan total biaya variabel (TVC) yang dirumuskan sebagai berikut :


(41)

26 Untuk menghitung total biaya rata-rata (ATC) adalah dengan menjumlahkan biaya tetap rata-rata (AFC) dengan biaya variabel rata-rata (AVC).

Biaya penyusutan peralatan produksi dihitung berdasarkan metode penyusutan garis lurus atau rata-rata, yaitu nilai pembelian dikurangi taksiran nilai sisa dibagi dengan umur ekonomis, rumus yang digunakan yaitu:

Penyusutan = Nilai beli (Rp) – Nilai sisa (Rp) Umur Ekonomis (tahun)

Sementara untuk menghitung seberapa besar penerimaan yang diperoleh pengrajin dapat dihitung dengan perkalian jumlah produk yang dijual dikalikan dengan harga produk yang dijual. Sementara untuk menghitung keuntungan yaitu total penerimaan dikurangi dengan total biaya. Hubungan dari penerimaan dan biaya yang dikeluarkan dapat digunakan untuk melihat seberapa besar efisiensi usaha yang dijalankan. Efisiensi usaha ini dapat dilihat dari besaran nilai R/C rasio. Rumus menghitung R/C rasio yaitu :

R/C Rasio : Total Penerimaan

Total Biaya Keterangan :

R/C rasio > 1 : Usaha layak dan menguntungkan R/C rasio = 1 : Impas

R/C rato < 1 : Usaha tidak menguntungkan

4.4.2 Analisis Upaya Penyesuaian Untuk Menyiasati Kenaikan Harga Kedelai

Analisis kualitatif dilakukan untuk mengetahui upaya pengrajin dalam menyiasati kenaikan harga kedelai. Analisis yang dilakukan adalah dengan melakukan analisis deskriptif terhadap hasil wawancara yang dilakukan terhadap pengrajin tempe mengenai upaya-upaya yang dilakukan dalam menanggapi kenaikan harga kedelai. Proses analisis data dilakukan melalui tiga tahap yaitu:1) reduksi data yaitu merangkum atau memilih hal-hal yang pokok dan penting, 2) penyajian data, yaitu menyajikan data dalam bentuk teks uraian singkat yang bersifat naratif, dan 3) penarikan kesimpulan dan verifikasi dari data untuk menjawab tujuan penelitian.


(42)

27

V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN DAN

KARAKTERISTIK RESPONDEN

5.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Gambaran umum lokasi penelitian ini terdiri dari beberapa yaitu lokasi geografis dari letak lokasi penelitian Desa Citeureup, kependudukan, dan kondisi sosial. Letak lokasi geografis lebih membahas letak Desa Citeureup serta kondisi lokasi tersebut. Sementara untuk kependudukan dan kondisi sosial lebih membahas pada jumlah penduduk yang ada di Desa Citeureup, mata pencaharian, serta latar belakang dari pendidikan penduduk.

5.1.1 Lokasi Geografis Desa Citeureup

Citeureup merupakan salah satu desa di wilayah Kecamatan Citeureup yang terletak di Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Kecamatan Citeureup memiliki luas 6.719 ha, terdiri dari 14 desa, yang salah satunya adalah Desa Citeureup. Jarak desa dari Kecamatan Citeureup yaitu 0,5 km dan terletak 11 km dari Kabupaten Bogor, 150 km dari ibukota Provinsi Jawa Barat. Desa Citeureup tergolong dataran rendah dengan ketinggian 125 dpl, suhu udara rata-rata 24 – 33 derajat celcius dan curah hujan rata-rata-rata-rata 3000 - 3500 mm per tahun. Luas Desa Citeureup adalah 311 ha dengan perbatasan wilayah sebagai berikut : Sebelah Utara : Gunung Putri dan Desa Bantarjati

Sebelah Selatan : Desa Karang Asem Timur dan Karang Asem Barat Sebelah Barat : Puspanegara dan Karang Asem Barat

Sebelah Timur : Gunung Sari, Bantarjati dan Lulut

13 persen dari lahan Kecamatan Citeureup masih merupakan lahan pertanian, dan sisanya digunakan sebagai lahan industri dan daerah pemukiman , perkantoran serta sekolah. Citeureup dikenal sebagai daerah industri di Bogor, dikarenakan banyaknya industri yang berkembang di kecamatan tersebut. Desa Citeureup sendiri dikenal sebagai sentra industri tempe (blok tempe) dikarenakan banyaknya jumlah unit usaha ini. Jumlah unit usaha di Desa Citeureup berjumlah 188, yang mana sebagian besar merupakan penduduk pindahan dari Pekalongan Jawa Tengah.


(43)

28 5.1.2 Kependudukan

Jumlah penduduk Desa Citeureup sebanyak 17.340 jiwa, terdiri atas 8.922 jiwa laki-laki dan 8.418 jiwa perempuan. Jumlah kepala keluarga di desa ini sebanyak 4.422 (KK). Jumlah penduduk yang produktif sebanyak 9.563 jiwa, dan yang tidak produktif sebanyak 3.795 jiwa. Rata-rata kepadatan penduduk sebanyak 1.467 jiwa/km, dengan rata-rata penyebaran penduduk sebanyak 365 jiwa/km. Pertumbuhan penduduk di Desa Citeureup sebesar 1,5 persen. Berikut adalah data mengenai jumlah penduduk berdasarkan kelompok umur di Desa Citeureup dapat dilihat pada Tabel 5 :

Tabel 5. Kependudukan Desa Citeureup Berdasarkan Umur Tahun 2012 Kelompok

Umur

Jumlah Jiwa

Jumlah Laki-laki Perempuan

0-4 613 589 1.202

5-9 526 499 1.025

10-14 612 577 1.189

15-19 904 854 1.758

20-24 712 646 1.358

25-29 795 590 1.385

30-34 675 567 1.242

35-39 915 853 1.768

40-44 612 514 1.126

45-49 628 479 1.107

50-54 527 477 1.004

55-59 456 395 851

60-64 345 330 675

65- ke atas 454 428 882

Jumlah 8.922 8.418 17.340

Sumber : Kantor Desa Citeureup 5.1.3 Kondisi Sosial

Kondisi sosial kependudukan Desa Citeureup dibagi dalam beberapa kelompok mata pencaharian. Kelompok pekerjaan terdiri dari yaitu petani, pengusaha, pengrajin, buruh industri, pedagang, PNS, dan TNI POLRI. Berdasarkan Tabel 6 menunjukkan bahwa mata pencaharian penduduk Citeureup paling banyak adalah pedagang, sedangkan paling sedikit adalah TNI/POLRI. Kondisi sosial kependudukan di Desa Citeureup disajikan pada tabel berikut:


(44)

29 Tabel 6. Kondisi Sosial Kependudukan Desa Citeureup Berdasarkan Mata

Pencaharian Tahun 2012

Pekerjaan Jumlah

Petani 138

Pengusaha 285

Pengrajin 115

Buruh Industri 7

Pedagang 987

Pengemudi 236

PNS 148

TNI / POLRI 14

Pensiunan 39

Sumber : Kantor Desa Citeureup

Kondisi sosial lainnya adalah, kependudukan yang dikelompokkan berdasarkan tingkat pendidikan. Berdasarkan Tabel 7 dapat dilihat jumlah penduduk tamatan SLTP/sederajat dengan jumlah 340 jiwa. Berikut data selengkapnya disajikan pada Tabel 7.

Tabel 7. Kondisi Sosial Kependudukan Desa Citeureup Berdasarkan Tingkat Pendidikan Tahun 2012.

Tingkat Pendidikan Jumlah

Buta Huruf 15

Belum Sekolah 233

Tidak Tamat SD/sederajat 112

Tamat SD/sederajat 327

Tamat SLTP/sederajat 340

Tamat SLTA/sederajat 201

Lulusan Perguruan Tinggi 236


(45)

30 5.2 Karakteristik Responden di Desa Citeureup

Responden dalam penelitian ini adalah 30 pengrajin tempe di Desa Citeureup Kabupaten Bogor. Karakteristik pengrajin meliputi umur, tingkat pendidikan, lama usaha, skala produksi yang dilihat dari banyaknya jumlah kedelai yang digunakan per hari, jumlah anggota keluarga, dan jumlah tenaga kerja, dan cara pemasaran. Proporsi dari 30 responden terbagi menjadi 20 orang berjenis kelamin laki-laki dan 10 orang perempuan. Selain itu responden juga dikelompokkan menjadi tiga yaitu skala I sebanyak 11 responden dengan jumlah penggunaan kedelai kurang dari 100 kg, skala II 100 hingga kurang dari 200 kg, dan skala III dengan penggunaan kedelai lebih dari 200 kg. Seluruh responden yang diwawancarai berasal dari Pekalongan Jawa Tengah, dan hampir seluruh pengrajin yang ada di Citeureup berasal dari daerah tersebut. Kegiatan usaha pembuatan tempe telah berlangsung lama dan secara turun temurun.

5.2.1 Usia

Berikut adalah data mengenai karakteristik responden berdasarkan Usia Tahun 2012 dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8. Sebaran Responden Berdasarkan Usia Tahun 2012 Usia

(tahun)

Skala Produksi

Total (responden)

Persentase (%)

I II III

10-20 2 1 - 3 10

21-30 1 4 - 5 16,7

31-40 6 3 3 12 40

41-50 1 7 - 8 26,7

>50 1 1 - 2 6,6

Jumlah 11 16 3 30 100

Rata-rata pengrajin tempe berusia antara 40 tahun dengan usia termuda yaitu 15 tahun. Jumlah responden terbanyak yaitu yang berusia 31 hingga 40 tahun yang berjumlah 12 orang atau 40 persen dari total responden. Sebaran


(46)

31 usia paling banyak beragam pada setiap responden, untuk skala I usia terbanyak pada rentang usia 31 hingga 40 tahun, untuk skala II usia 41 hingga 50 dan untuk skala III hanya ada satu responden yaitu pada usia 40 tahun. Secara rinci sebaran usia pada seluruh responden dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel tersebut menunjukkan bahwa besarnya skala produksi pengrajin tempe di Desa Citeureup tidak dipengaruhi oleh usia pengrajin.

5.2.2 Tingkat Pendidikan

Selain dilihat dari usia karakteristik responden pengrajin tempe juga dilihat dari tingkatan pendidikan. Tingkat pendidikan responden berdasarkan hasil wawancara menunjukkan sebagian besar merupakan lulusan Sekolah Dasar (SD), namun ada beberapa dari responden merupakan lulusan Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA). Berdasarkan Tabel 9 tersebut, jumlah responden secara keseluruhan dengan tingkat pendidikan terbanyak adalah lulusan SD dengan jumlah 19 orang, SMP sebanyak enam orang, dan SMA sebanyak lima orang. Dari sebaran tersebut tingkatan pendidikan pada setiap skala paling banyak yaitu SD, untuk skala I berjumlah tujuh orang, skala II terdapat 11 orang dan skala III berjumlah satu orang. Secara rinci sebaran responden berdasar tingkat pendidikan dapat dilihat pada Tabel 9.

Tabel 9. Sebaran Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan Tahun 2012 Tingkat

Pendidikan

Skala Produksi

Total (responden)

Persentase (%)

I II III

SD 7 11 1 19 63,3

SMP 3 1 2 6 20

SMA 1 4 - 5 16,7

Jumlah 11 16 3 30 100

Dilihat dari latar belakang pengrajin dengan tingkat pendidikan yang sebagian besar tidak menempuh pendidikan tinggi ini memang tidak menjadi jaminan bahwa pengrajin tidak sukses, nyatanya dengan bekal pendidikan yang


(47)

32 tidak tinggi pengrajin tempe di desa ini dapat menjalankan usahanya hingga sekarang secara turun temurun dan dapat menghidupi keluarga mereka secara cukup. Berdasarkan Tabel 9 tersebut dapat disimpulkan bahwa kemampuan dalam membuat tempe tidak dipengaruhi oleh tingkat pendidikan.

5.2.3 Anggota Keluarga

Jumlah anggota keluarga memiliki pengaruh terhadap usaha pembuatan tempe. Semakin banyak anggota keluarga maka biaya yang ditanggung untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari semakin besar. Namun disisi lain banyak tenaga kerja dapat membantu dalam proses produksi sebagai pengganti tenaga kerja dari luar keluarga. Sebagian besar pengrajin tempe di Desa Citeureup menggunakan tenaga kerja dari dalam keluarga tetapi pekerja tersebut diberikan upah sesuai dengan pekerjaannya. Berikut disajikan data sebaran responden berdasarkan jumlah anggota keluarga pada Tabel 10.

Tabel 10. Sebaran Responden Berdasarkan Jumlah Anggota Keluarga Tahun 2012

Jumlah Angggota

Skala Produksi

Total (responden)

Persentase (%)

I II III

0 - 1 - 1 3

1-2 8 4 - 12 40

3-4 2 10 2 14 47

≥5 1 1 1 3 10

Jumlah 11 16 3 30 100

Berdasarkan Tabel 10 dapat dilihat rentang jumlah anggota keluarga dari pengrajin mulai dari yang tidak memiliki tanggungan sebanyak satu orang. Sebagian besar jumlah anggota keluarga pada pengrajin tempe skala I paling banyak memiliki tanggungan keluarga sebanyak satu hingga dua orangsecara keseluruhan dari 30 responden rata-rata memiliki tanggungan paling banyak tiga hingga empat orang yaitu 47 persen, sedangkan untuk pengrajin skala II paling banyak memiliki tanggungan keluarga sebanyak tiga hingga empat


(48)

33 orang. Dengan demikian semakin banyak anggota keluarga tidak mempengaruhi skala produksi pembuatan tempe.

5.2.4 Lama Usaha

Usaha dalam membuat tempe merupakan usaha yang turun temurun dilakukan para pengrajin tempe di wilayah ini. Pekerjaan menjadi pengrajin tempe merupakan mata pencaharian utama bagi mereka. Dilihat dari lamanya usaha pembuatan tempe yang dilakukan sangat dipengaruhi oleh pengalaman pengrajin itu sendiri. Berdasarkan Tabel 11 dapat dilihat dari 30 pengrajin sebagian besar sudah melakukan usaha antara satu hingga sepuluh tahun dengan persentase 46,7 persen. Selain itu jumlah terbanyak ada pada lama usaha 11 hingga 20 tahun sebanyak 30 persen. Sementara untuk sebaran lama pengalaman terkecil setiap skala usaha beragam, untuk skala I memiliki pengalaman usaha terkecil pada lama usaha lebih dari 20 tahun, sedangkan skala II pada lama usaha lebih dari 30 tahun.

Berdasarkan uraian tersebut, maka lamanya usaha bukanlah jaminan apakah usaha berkembang baik atau tidak, karena masih ada faktor lain seperti modal yang dimiliki ataupun motivasi pengrajin dalam mengembangkan usahanya. Untuk lebih jelasnya data mengenai sebaran responden berdasarkan lama usaha dapat dilihat pada Tabel 11.

Tabel 11. Sebaran Responden Berdasarkan Lama Usaha Tahun 2012 Lama

Usaha (tahun)

Skala Produksi

Total (responden)

Persentase (%)

I II III

0-10 5 9 - 14 46,7

11-20 4 3 2 9 30

21-30 1 2 1 4 13,3

.>30 1 2 - 3 10


(49)

34 5.2.5 Penggunaan Jumlah Kedelai

Penggunaan jumlah kedelai yang digunakan setiap kali produksi menjadi patokan untuk pengelompokkan skala usaha dalam penelitian ini. Penggunaan jumlah kedelai yang digunakan didasarkan pada modal yang dimiliki oleh pengrajin. Semakin banyak memiliki modal maka jumlah kedelai yang digunakan semakin banyak juga. Modal yang digunakan untuk mendirikan usaha diperoleh dari modal sendiri, namun ada dari beberapa pengrajin yang memperoleh modal dari orang tua mereka karena memang usaha ini dijalankan secara turun temurun.

Beberapa pengrajin menyebutkan bahwa pada awal mula mereka mendirikan usaha pembuatan tempe menggunakan modal sedikit karena pada waktu mereka memulai usaha harga kedelai masih rendah tidak seperti harga kedelai sekarang, yaitu hanya berkisar Rp 500 per kg kedelai, sedangkan sekarang harga kedelai sudah meningkat menjadi Rp 7900 per kg. Selain itu penggunaan kedelai pada awal memulai usaha hanya berkisar lima hingga sepuluh kg per produksi, namun sekarang jumlah kedelai yang digunakan pengrajin sudah semakin banyak dan jumlah kedelai yang digunakan juga beragam sesuai kemampuan mereka dalam membeli kedelai. Jumlah kedelai yang digunakan untuk produksi tempe per hari dapat dilihat pada Tabel 12. Tabel 12. Sebaran Responden Berdasarkan Jumlah Kedelai Per Produksi

Tahun 2012 Jumlah

Kedelai (kg)

Skala Produksi

Total (responden)

Persentase (%)

I II III

<100 11 - - 11 36,7

100-199 - 16 - 16 53,3

≥200 - - 3 3 10

Jumlah 11 16 3 30 100

Berdasarkan Tabel 12, karakteristik responden dapat dibedakan berdasarkan jumlah kedelai yang digunakan untuk produksi tempe setiap harinya. Pada skala I jumlah kedelai paling sedikit yang digunakan adalah 25 kg, dan pada skala III paling banyak adalah 350 kg. sebaran responden dengan


(1)

75 10.Bangunan yang digunakan untuk usaha, milik sendiri atau sewa? jika

sewa berapa besarnya?

11.Jika bangunan pabrik merupakan milik sendiri, berapa harga pabrik tersebut pada saat Bapak/Ibu membeli? Rp..., pada tahun... 12.Bagaimana Bapak/Ibu membeli bangunan pabrik tersebut?

a. Membayar lunas

b. Mencicil sebesar, Rp……../bulan, selama……(bln/thn*)

13.Pada awal usaha berapa banyak tempe yang diproduksi?pemasaran yang dilakukan kemana saja?

II. Aspek Manajerial

14.Struktur organisasi?

15.Berapa tenaga kerja yang Bapak/Ibu miliki? ...orang

16.Berapa proporsi tenaga kerja keluarga dan luar keluarga yang Bapak/Ibu miliki? ……… tenaga kerja keluarga

……….……… tenaga kerja luar keluarga 17.Pembagian tugas?

18.Bagaimana proses pengambilan keputusan?siapa yang berperan?

III. Aspek Operasional dan Finansial

19.Dalam satu kali produksi berapa banyak jumlah kedelai yang digunakan?

Jenis kedelai Jumlah (kg) Persentase (%) Lokal

Impor

20.Alasan memilih kedelai tersebut?

Alasan Urutkan Nilai 1-6

Mutu baik (bersih, kering) Mudah diperoleh

Ukuran seragam Harga stabil

Lebih disukai konsumen Biji besar dan mekar


(2)

76 Lokasi Jumlah

(kg)

Persentase (%)

Harga sebelum kenaikan

Harga setelah kenaikan Pasar

Agen Kopti Lainnya

22.Pembelian kedelai dilakukan secara individu atau berkelompok?mengapa?

23.Sistem pembayaran?

24.Dalam seminggu berapa hari Bapak/Ibu memproduksi tempe?

25.Bagaimana proses pembuatan tempe yang dilakukan?

26.Ragi yang digunakan?

a. Buatan sendiri b. Laru LIPI 27.Sumber air utama yang digunakan?

a. Air PAM b. Sumur Alam c. Air sungai 28.Kemasan yang digunakan?

29.Sumber energi / bahan bakar yang digunakan?

a. Kayu b. Minyak tanah c. Solar d. Lainnya (sebutkan)

30.Peralatan yang dibutuhkan saat produksi tempe?

Peralatan satuan unit Harga Jumlah Umur ekonomis (tahun)


(3)

77 No Kegiatan Jumlah

TK

Jumlah jam/hari

Jumlah hari

Total Upah (Rp)

32.Pada saat terjadi kenaikan harga kedelai apakah mempengaruhi jumlah tenaga kerja?

Jumlah tenaga kerja sebelum kenaikan harga kedelai

Jumlah tenaga kerja setelah kenaikan harga kedelai

33.Input produksi apa saja yang diperlukan untuk memproduksi tempe

sebelum dan setelah kenaiakan harga kedelai?

Sebelum kenaikan Setelah kenaikan

Uraian satuan Jumlah Satuan jumlah

Kedelai Ragi Kemasan -daun -plastik -lainnya Bahan bakar TK Air

34.Berapa harga input yang digunakan sebelum dan setelah kenaikan harga kedelai?

Sebelum kenaikan Setelah kenaikan Uraian Harga per

satuan (Rp)

Total Harga per satuan (Rp)

Total Kedelai

Ragi Kemasan Bahan bakar TK Air Kedelai Jumlah


(4)

78

Uraian satuan biaya total

Jumlah

36.Menurut Bapak/Ibu, apakah kenaikan harga kedelai berpengaruh terhadap jumlah produksi tahu?

a. Ya b. Tidak

37.Berapa jumlah rata-rata produksi tahu sebelum dan setelah kenaikan harga kedelai?

Sebelum Kenaikan Harga Kedelai Setelah Kenaikan Harga Kedelai

Ukuran tempe

Harga Total produksi Ukuran

tempe

Harga Total produksi

Total Harga Total Harga

38. Apa yang dilakukan Bapak/Ibu dalam menyiasati kenaikan harga kedelai?mengapa?

39.Apakah menurut Bapak/Ibu strategi yang Bapak/Ibu lakukan berhasil? a. Ya b. Tidak

40. Apakah para pelanggan mengeluh terhadap apa yang Bapak/Ibu lakukan dalam mengatasi kenaikan harga kedelai?

a. Ya b. Tidak

41. Apakah jumlah pelanggan yang Bapak/Ibu miliki berkurang setelahh kenaikan harga kedelai?

a. Ya, sebutkan... b. Tidak

IV. ASPEK PEMASARAN

42.Promosi yang dilakukan? 43.Pemasaran yang dilakukan? 44.Cara pemasaran?


(5)

79 45.Pembeli utama tempe?

Pembeli Urutan (1-5)

Rumah tangga Pedagang keliling Katering

Rumah makan Lainnya

46.Sistem pembayaran? a. Tunai b. konsinyasi

47.Masalah yang dihadapi selama menjalankan usaha?

Masalah Urutkan (1-7)

Permodalan

Harga bahan baku yang fluktuatif

Bahan baku yang sulit didapat Pemasaran

Sumber daya manusia Pengelolaan limbah tempe Ijin usaha


(6)

80 Lampiran 2. Contoh Perhitungan Biaya Penyusutan

No Peralatan Unit

Harga satuan (Rp)

Jumlah (Rp)

Umur ekonomis

(bln)

Nilai sisa

Penyusutan (Rp)

Penyusutan per hari

1 Drum besi 2 110.000 220.000 6 0 36.667 1.222

2 Drum

plastik 4 70.000 280.000 36 0 7.778 259

3 Mesin PK 1 2.500.000 2.500.000 120 0 20.833 694

4 Ember 2 15.000 30.000 12 0 2.500 83

5 Kere 70 30.000 2.100.000 120 0 17.500 583

6 Ayakan

bambu 3 8.000 24.000 12 0 2.000 67