Struktur Biaya Dan Pendapatan Usaha Tempe Anggota Dan Non Anggota Primer Koperasi Produsen Tempe Tahu Indonesia Kota Bogor (Studi Kasus Kelurahan Kedung Badak, Kecamatan Tanah Sareal, Kota Bogor)
STRUKTUR BIAYA DAN PENDAPATAN USAHA TEMPE
ANGGOTA DAN NON ANGGOTA PRIMER KOPERASI
PRODUSEN TEMPE TAHU INDONESIA KOTA BOGOR
(Studi Kasus Kelurahan Kedung Badak,
Kecamatan Tanah Sareal, Kota Bogor)
KURNIA SAFITRI
DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
(2)
(3)
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Struktur Biaya dan Pendapatan Usaha Tempe Anggota dan Non Anggota Primer Koperasi Produsen Tempe Tahun Indonesia Kota Bogor (Studi Kasus Kelurahan Kedung Badak, Kecamatan Tanah Sareal, Kota Bogor) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2015
Kurnia Safitri
(4)
(5)
ABSTRAK
KURNIA SAFITRI. Struktur Biaya dan Pendapatan Usaha Tempe Anggota dan Non Anggota Primer Koperasi Produsen Tempe Tahu Indonesia Kota Bogor (Studi Kasus Kelurahan Kedung Badak, Kecamatan Tanah Sareal, Kota Bogor). Dibimbing oleh UJANG SEHABUDIN.
Tempe merupakan pangan bernilai gizi tinggi yang digemari masyarakat Indonesia. Banyaknya usaha tempe di Kota Bogor membuat Primer Koperasi Produsen Tempe Tahu Indonesia (Primkopti) Kota Bogor hadir untuk menghimpun serta membina usaha dan kesejahteraan para pengrajin tempe tahu beserta keluarganya. Tidak seluruh pengrajin di Kelurahan Kedung Badak tergabung menjadi anggota dan penggunaan kedelai yang bervariasi dapat menyebabkan perbedaan struktur biaya, pendapatan, dan titik impas. Tujuan penelitian ini yaitu menganalisis struktur biaya, pendapatan, dan titik impas usaha tempe anggota dan non anggota Primkopti pada tiap skala usaha. Hasil penelitian menunjukkan bahwa komponen biaya terbesar adalah biaya bahan baku utama, yaitu kedelai, baik anggota maupun non anggota pada tiap skala usaha. Total biaya per kg tempe anggota lebih rendah dibanding non anggota. Total biaya per kg tempe terendah terdapat pada usaha tempe skala II. Pendapatan dan rasio R/C atas biaya total per kg tempe anggota lebih tinggi dibanding non anggota. Pendapatan dan rasio R/C atas biaya total per kg tempe tertinggi terdapat pada usaha tempe skala II. Usaha tempe yang paling efisien dari segi biaya dan pendapatan adalah usaha tempe pengrajin anggota pada skala II karena memiliki total biaya per kg tempe terendah yaitu Rp 7 367/hari/kg tempe serta pendapatan dan rasio R/C atas biaya total per kg tempe tertinggi yaitu Rp 1 489/hari/kg tempe dan 1.2. Usaha tempe anggota cenderung memiliki nilai BEP yang lebih rendah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengrajin tempe disarankan untuk lebih meningkatkan peran aktif terhadap koperasi produsen seperti Primkopti Kota Bogor.
(6)
ABSTRACT
KURNIA SAFITRI. Cost Structure and Income of Tempe Business for Members and Non Members of Primer Koperasi Produsen Tempe Tahu Indonesia Bogor City (Case Study of Kedung Badak, Tanah Sareal Sub-district, Bogor City). Supervised by UJANG SEHABUDIN.
Tempe (soycake) is a food contained of high nutrition that favored by people in Indonesia. Numerous tempe producers in Bogor make Primer Koperasi Produsen Tempe Tahu Indonesia (Primkopti) Kota Bogor comes for business coaching intended to maximize welfare of the producers. Membership is not universal among producers in Kelurahan Kedung Badak and the varying nature of soybean used by each producer affects the cost structure, income, and break-even point of the business. The purpose of this research is to analyze the cost structure, income, and break-even point of tempe business faced by both members and non members of the cooperative across every business scale. The results showed that soybean is the highest of cost components for both members and non members of the cooperative for every business scale. Total cost per kg of tempe faced by members is lower than total cost per kg faced by non members. The lowest total cost per kg is identified in business scale II. Income and R/C ratio of total cost faced by members were found to be higher than those of non members. Highest income and R/C ratio of total cost found in business scale II. Business scale II found to be the most cost-and-income efficient tempe business with lowest cost per kg Rp 7 367/day/kg, income 1 489/day/kg and, R/C ratio of total cost per kg 1.2. There is tendency that cooperative members face shorter BEP too. Result concluded tempe business willing to increase its active role within the cooperative (Primkopti Kota Bogor) will obtain benefit.
Keywords: tempe business, business scale, cost structure, income, break-even point
(7)
STRUKTUR BIAYA DAN PENDAPATAN USAHA TEMPE
ANGGOTA DAN NON ANGGOTA PRIMER KOPERASI
PRODUSEN TEMPE TAHU INDONESIA KOTA BOGOR
(Studi Kasus Kelurahan Kedung Badak,
Kecamatan Tanah Sareal, Kota Bogor)
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi
pada
Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan
KURNIA SAFITRI
DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
(8)
(9)
(10)
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Subhanahu Wa Ta’ala
atas segala karunia-Nya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Topik yang dipilih dalam penelitian ini adalah ekonomi usaha dengan judul Struktur Biaya dan Pendapatan Usaha Tempe Anggota dan Non Anggota Primer Koperasi Produsen Tempe Tahu Indonesia Kota Bogor (Studi Kasus Kelurahan Kedung Badak, Kecamatan Tanah Sareal, Kota Bogor).
Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan kontribusi serta kerjasama dalam penyusunan skripsi ini terutama kepada:
1. Ayahanda tercinta (H. Saifullah), Ibunda tercinta (Hafifa), Kakak tersayang (Nurbaity dan Hadana Izzaty), Asmawi, S.H, serta keluarga besar yang telah memberikan kasih sayang, motivasi, dukungan moril maupun materil, serta limpahan doa kepada penulis.
2. Ir. Ujang Sehabudin, M.Si selaku dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan arahan, ilmu, dan dukungan dengan penuh kesabaran serta kebaikan yang sangat membantu sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. 3. Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, M.A sebagai dosen penguji utama dan
Osmaleli, S.E, M.Si sebagai dosen penguji perwakilan departemen yang telah memberikan ilmu, saran, dan masukan dalam perbaikan skripsi ini. 4. Dr. Meti Ekayani, S.Hut, M.Sc selaku dosen pembimbing akademik. 5. Seluruh dosen dan staff Departemen Ekonomi Sumberdaya dan
Lingkungan (ESL) atas dukungan selama masa studi.
6. Kepala dan Sekretaris Primkopti Kota Bogor, Kepala dan Sekretaris Kelurahan Kedung Badak, serta seluruh responden pengrajin tempe di Kelurahan Kedung Badak yang telah memberikan data dan informasi yang dibutuhkan penulis dalam penulisan skripsi ini.
7. Seluruh rekan ESL 48 atas kerjasama, bantuan, semangat, dan motivasi yang telah diberikan kepada penulis.
8. Saktyo Toerhutomo atas segala doa, dukungan, semangat, kritik, saran, dan lainnya selama menjalani proses pembuatan skripsi hingga selesai. 9. Sahabat (Sahabat SMA, Widya, Fara, Sintya, Arizca, Astari, Rani, Vyatra,
Deanty, Susilo, Nindya, Fuji, dan Ricka) serta teman satu bimbingan (Deni, Dyah, Inggit, Novia, Sara, Eka, Adilla, Agustin, Sri, dan Rendy) atas dukungan, bantuan, dan semangat yang diberikan kepada penulis. 10. Semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini yang
tidak dapat disebutkan satu per satu.
Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan pengembangan ilmu pengetahuan.
Bogor, Agustus 2015
(11)
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ... xiv
DAFTAR GAMBAR ... xv
DAFTAR LAMPIRAN ... xv
I. PENDAHULUAN ... 1
1.1. Latar Belakang ... 1
1.2. Perumusan Masalah ... 6
1.3. Tujuan Penelitian ... 8
1.4. Manfaat Penelitian ... 9
1.5. Ruang Lingkup Penelitian ... 9
II. TINJAUAN PUSTAKA ... 11
2.1. Karakteristik Kedelai dan Tempe ... 11
2.2. Usaha Pembuatan Tempe ... 13
2.3. Struktur Biaya dan Pendapatan Usaha Pembuatan Tempe ... 15
2.4. Primer Koperasi Produsen Tempe Tahu Indonesia (Primkopti) ... 15
2.5. Penelitian Terdahulu ... 17
III. KERANGKA PEMIKIRAN ... 23
3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis ... 23
3.1.1. Analisis Struktur Biaya Usaha ... 23
3.1.2. Analisis Pendapatan Usaha... 25
3.1.3. Analisis Titik Impas (Break Even Point) Usaha ... 26
3.2. Kerangka Pemikiran Operasional ... 28
IV. METODE PENELITIAN ... 31
4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 31
4.2. Jenis dan Sumber Data ... 31
4.3. Metode Pengambilan Sampel... 32
4.4. Analisis Data ... 33
4.4.1. Analisis Struktur Biaya ... 34
4.4.2. Analisis Pendapatan ... 35
4.4.3. Analisis Rasio R/C ... 36
4.4.4. Analisis Titik Impas (Break Even Point) ... 37
4.4.5. Uji Beda Total Biaya, Pendapatan, Rasio R/C, dan BEP Berdasarkan Keanggotaan ... 38
4.4.6. Uji Beda Total Biaya, Pendapatan, Rasio R/C, dan BEP Berdasarkan Skala Usaha ... 39
4.5. Definisi Operasional ... 40
V. GAMBARAN UMUM PENELITIAN ... 41
5.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 41
5.1.1. Sumberdaya Alam ... 41
5.1.2. Sumberdaya Manusia ... 41
5.2. Gambaran Umum Responden ... 42
(12)
5.2.2. Karakteristik Usaha Tempe Berdasarkan Keanggotaan Pengrajin Tempe Terhadap Primkopti Kota Bogor dan
Skala Usaha ... 46
VI. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 55
6.1. Analisis Struktur Biaya Usaha Tempe... 55
6.1.1. Analisis Struktur Biaya Berdasarkan Keanggotaan Primkopti dan Skala Usaha ... 57
6.1.2. Uji Beda Terhadap Struktur Biaya Usaha Tempe Berdasarkan Keanggotaan Primkopti dan Skala Usaha ... 61
6.2. Analisis Pendapatan Usaha Tempe ... 63
6.2.1. Analisis Pendapatan Berdasarkan Keanggotaan Primkopti dan Skala Usaha ... 64
6.2.2. Uji Beda Terhadap Pendapatan dan Rasio R/C Usaha Tempe Berdasarkan Keanggotaan Primkopti dan Skala Usaha ... 67
6.3. Analisis Titik Impas (Break Even Point, BEP) Usaha Tempe ... 71
6.3.1. Analisis Titik Impas (Break Even Point, BEP) Berdasarkan Keanggotaan Primkopti dan Skala Usaha ... 71
6.3.2. Uji Beda Terhadap Titik Impas (BEP) Usaha Tempe Berdasarkan Keanggotaan Primkopti dan Skala Usaha ... 72
VII. SIMPULAN DAN SARAN ... 77
7.1. Simpulan ... 77
7.2. Saran ... 78
DAFTAR PUSTAKA ... 79
LAMPIRAN ... 81
(13)
DAFTAR TABEL
No. Halaman
1.1 Perkembangan Penyediaan dan Penggunaan Kedelai di Indonesia Tahun 20102013 ... 2 1.2 Perkembangan Konsumsi Bahan Makanan Berbahan Baku Kedelai di
Rumah Tangga di Indonesia Tahun 20022013 (Kg/Kapita/Tahun) ... 3 1.3 Jumlah Pengrajin Tempe dan Tahu Anggota dan Non Anggota Primkopti
Kota Bogor per Desember 2014 ... 5 2.1 Komposisi Zat Gizi Kedelai dan Tempe dalam 100 gram Bahan Kering ... 12 2.2 Penelitian Terdahulu ... 19 4.1 Pembagian Tiga Skala Usaha Tempe dan Jumlah Sampel yang Diambil
Untuk Pengrajin Anggota dan Non Anggota Pada Masing-Masing Skala Usaha ... 32 4.2 Matriks Metode Analisis Data ... 33 4.3 Metode Perhitungan Struktur Biaya Berdasarkan Biaya Tetap dan Biaya
Variabel (Rp/Hari/Kg Tempe) ... 34 4.4 Metode Perhitungan Struktur Biaya Biaya Berdasarkan Biaya Tunai dan
Biaya Tidak Tunai (Rp/Hari/Kg Tempe) ... 35 4.5 Metode Perhitungan Pendapatan dan Rasio R/C Harian Usaha Tempe ... 37 5.1 Jumlah Penduduk Kelurahan Kedung Badak Menurut Kelompok Usia
Tahun 2015 ... 42 5.2 Karakteristik Umum Responden Pengrajin Tempe Berdasarkan
Keanggotaan Primkopti dan Skala Usaha di Kelurahan Kedung Badak Tahun 2015 ... 43 5.3 Rata-Rata Penggunaan Input Produksi Usaha Tempe Berdasarkan
Keanggotaan Primkopti dan Skala Usaha di Kelurahan Kedung Badak Tahun 2015 (Jumlah/Satuan/Hari) ... 49 5.4 Rata-Rata Berat dan Jumlah Kemasan Tempe yang Dihasilkan Pada
Usaha Tempe di Kelurahan Kedung Badak Tahun 2015 (Per Hari) ... 52 5.5 Rata-Rata Input Kedelai, Produksi Tempe, dan Produktivitas Berdasarkan
Keanggotaan Primkopti dan Skala Usaha di Kelurahan Kedung Badak Tahun 2015 ... 53 6.1 Rincian Biaya Pada Usaha Tempe di Kelurahan Kedung Badak Tahun
2015 ... 55 6.2 Struktur Biaya Usaha Tempe Berdasarkan Keanggotaan Primkopti dan
Skala Usaha di Kelurahan Kedung Badak Tahun 2015 (Rp/Hari) ... 58 6.3 Struktur Biaya Usaha Tempe per Unit Output Berdasarkan Keanggotaan
Primkopti dan Skala Usaha di Kelurahan Kedung Badak Tahun 2015 (Rp/Kg Tempe) ... 59
(14)
6.4 Hasil Uji Beda Total Biaya Usaha Tempe per Kg Output Menurut Keanggotaan Pengrajin di Kelurahan Kedung Badak Tahun 2015 ... 61 6.5 Hasil Uji Beda Total Biaya Usaha Tempe per Kg Output Menurut Skala
Usaha di Kelurahan Kedung Badak Tahun 2015 ... 62 6.6 Rata-Rata Pendapatan dan Rasio R/C Usaha Tempe Berdasarkan
Keanggotaan Primkopti dan Skala Usaha di Kelurahan Kedung Badak Tahun 2015 ... 65 6.7 Hasil Uji Beda Pendapatan dan Rasio R/C Usaha Tempe per Kg Output
Menurut Keanggotaan Pengrajin di Kelurahan Kedung Badak Tahun 2015 ... 68 6.8 Hasil Uji Beda Pendapatan Atas Biaya Total Usaha Tempe per Kg
Output Menurut Skala Usaha di Kelurahan Kedung Badak Tahun 2015 ... 69 6.9 Hasil Uji Beda Rasio R/C Atas Biaya Total Usaha Tempe per Kg Output
Menurut Skala Usaha di Kelurahan Kedung Badak Tahun 2015 ... 70 6.10 Nilai Titik Impas Rata-Rata Usaha Tempe Berdasarkan Keanggotaan
Primkopti dan Skala Usaha di Kelurahan Kedung Badak Tahun 2015 ... 72 6.11 Hasil Uji Beda Titik Impas (BEP) Usaha Tempe Menurut Keanggotaan
Pengrajin di Kelurahan Kedung Badak Tahun 2015 ... 73 6.12 Hasil Uji Beda BEP Unit Usaha Tempe per Kg Output Menurut Skala
Usaha di Kelurahan Kedung Badak Tahun 2015 ... 74 6.13 Hasil Uji Beda BEP Rupiah Usaha Tempe per Kg Output Menurut Skala
Usaha di Kelurahan Kedung Badak Tahun 2015 ... 75
DAFTAR GAMBAR
No. Halaman
3.1 Kurva Titik Impas (BEP) ... 27 3.2 Skema Kerangka Pemikiran Operasional ... 30
DAFTAR LAMPIRAN
No. Halaman
1 Kuesioner Penelitian ... 83 2 Komponen Biaya Penyusutan Usaha Tempe di Kelurahan Kedung
Badak Tahun 2015 (Rp/Hari/Orang) ... 89 3 Komponen Biaya Tetap Usaha Tempe di Kelurahan Kedung Badak
Tahun 2015 ... 93 4 Komponen Biaya Variabel Usaha Tempe di Kelurahan Kedung Badak
(15)
5 Biaya Tunai dan Biaya Tidak Tunai Usaha Tempe di Kelurahan Kedung Badak Tahun 2015 ... 101 6 Komponen Penerimaan dari Penjualan Tempe di Kelurahan Kedung
Badak Tahun 2015 ... 105 7 Hasil Uji Beda Total Biaya Usaha Tempe per Kg Output Menurut
Keanggotaan Pengrajin di Kelurahan Kedung Badak Tahun 2015 ... 109 8 Hasil Uji Beda Total Biaya per Kg Output Menurut Skala Usaha pada
Usaha Tempe Anggota di Kelurahan Kedung Badak Tahun 2015 ... 109 9 Hasil Uji Beda Total Biaya per Kg Output Menurut Skala Usaha pada
Usaha Tempe Non Anggota di Kelurahan Kedung Badak Tahun 2015 .... 110 10 Hasil Uji Beda Total Biaya Usaha Tempe per Kg Output Menurut Skala
Usaha di Kelurahan Kedung Badak Tahun 2015 ... 111 11 Hasil Uji Beda Pendapatan Atas Biaya Total Usaha Tempe per Kg
Output Menurut Keanggotaan Pengrajin di Kelurahan Kedung Badak Tahun 2015 ... 112 12 Hasil Uji Beda Rasio R/C Atas Biaya Total Usaha Tempe per Kg
Output Menurut Keanggotaan Pengrajin di Kelurahan Kedung Badak Tahun 2015 ... 113 13 Hasil Uji Beda Pendapatan Atas Biaya Total per Kg Output Menurut
Skala Usaha pada Usaha Tempe Anggota di Kelurahan Kedung Badak Tahun 2015 ... 113 14 Hasil Uji Beda Pendapatan Atas Biaya Total per Kg Output Menurut
Skala Usaha pada Usaha Tempe Non Anggota di Kelurahan Kedung Badak Tahun 2015 ... 114 15 Hasil Uji Beda Pendapatan Atas Biaya Total Usaha Tempe per Kg
Output Menurut Skala Usaha di Kelurahan Kedung Badak Tahun 2015 .. 115 16 Hasil Uji Beda Rasio R/C Atas Biaya Total per Kg Output Menurut
Skala Usaha pada Usaha Tempe Anggota di Kelurahan Kedung Badak Tahun 2015 ... 116 17 Hasil Uji Beda Rasio R/C Atas Biaya Total per Kg Output Menurut
Skala Usaha pada Usaha Tempe Non Anggota di Kelurahan Kedung Badak Tahun 2015 ... 117 18 Hasil Uji Beda Rasio R/C Atas Biaya Total Usaha Tempe per Kg
Output Menurut Skala Usaha di Kelurahan Kedung Badak Tahun 2015 .. 118 19 Hasil Uji Beda BEP Unit Usaha Tempe per Kg Output Menurut
Keanggotaan Pengrajin di Kelurahan Kedung Badak Tahun 2015 ... 119 20 Hasil Uji Beda BEP Rupiah Usaha Tempe per Kg Output Menurut
Keanggotaan Pengrajin di Kelurahan Kedung Badak Tahun 2015 ... 120 21 Hasil Uji Beda BEP Unit Menurut Skala Usaha pada Usaha Tempe
(16)
22 Hasil Uji Beda BEP Unit Menurut Skala Usaha pada Usaha Tempe Non Anggota di Kelurahan Kedung Badak Tahun 2015 ... 121 23 Hasil Uji Beda BEP Unit Usaha Tempe Menurut Skala Usaha di
Kelurahan Kedung Badak Tahun 2015 ... 122 24 Hasil Uji Beda BEP Rupiah Menurut Skala Usaha pada Usaha Tempe
Anggota di Kelurahan Kedung Badak Tahun 2015 ... 123 25 Hasil Uji Beda BEP Rupiah Menurut Skala Usaha pada Usaha Tempe
Non Anggota di Kelurahan Kedung Badak Tahun 2015 ... 124 26 Hasil Uji Beda BEP Rupiah Usaha Tempe Menurut Skala Usaha di
Kelurahan Kedung Badak Tahun 2015 ... 125 27 Dokumentasi Penelitian ... 126
(17)
I.
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pertanian memiliki peran yang sangat penting guna menunjang peningkatan kualitas sumber daya manusia dalam pembangunan berkelanjutan. Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang menghasilkan bahan pangan yang memiliki kandungan gizi yang tinggi. Ketersediaan pangan yang cukup dan bernilai gizi tinggi sangat diperlukan dalam menunjang kesehatan bagi masyarakat sebagai aktor pembangunan.
Menurut Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan, pangan adalah segala sesuatu yang diperuntukkan bagi konsumsi manusia yang berasal dari sumber hayati produk pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan, perairan, dan air. Pangan juga meliputi bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lainnya yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan/atau pembuatan makanan atau minuman. Salah satu subsektor pertanian yang menghasilkan pangan bergizi tinggi adalah subsektor tanaman pangan. Tanaman pangan merupakan produk pertanian yang strategis dalam memenuhi kebutuhan hidup masyarakat Indonesia. Komoditas yang termasuk ke dalam tanaman pangan adalah padi, jagung, kedelai, kacang tanah, kacang hijau, ubi kayu, dan ubi jalar.
Kedelai merupakan komoditas pertanian strategis dalam tanaman pangan selain padi dan jagung. Kedelai juga merupakan sumber protein nabati yang banyak dikonsumsi masyarakat Indonesia. Selain sebagai bahan makanan untuk dikonsumsi, Kementerian Pertanian menggolongkan penggunaan kedelai untuk pakan, bibit, diolah untuk bukan makanan, dan tercecer. Penyediaan kedelai belum dipenuhi seluruhnya dari produksi dalam negeri sehingga impor kedelai masih diperlukan karena tingginya penggunaan dari pada produksi. Data penyediaan dan penggunaan kedelai dapat dilihat pada Tabel 1.1.
Penyediaan kedelai diperoleh dari produksi kedelai dalam negeri ditambah impor, dikurangi ekspor, dan dikurangi perubahan stok. Impor memiliki proporsi terbesar dalam penyediaan kedelai di Indonesia dari tahun 20102013.
(18)
Tabel 1.1 Perkembangan penyediaan dan penggunaan kedelai di Indonesia tahun 20102013
No. Uraian Tahun
2010 2011 2012 2013*)
A. Penyediaan (000 ton) 2 652 2 944 2 764 1 887
1. Produksi
i. Masukan - - - -
ii. Keluaran 907 851 843 780
2. Impor 1 745 2 093 1 923 1 108
3. Ekspor 0.4 1 2 1
4. Perubahan Stok - - - -
B. Penggunaan (000 ton) 2 652 2 944 2 764 1 887
1. Pakan 9 10 9 6
2. Bibit 39 36 34 23
3. Diolah untuk:
i. Makanan - - - -
ii. Bukan Makanan 113 111 141 100
4. Tercecer 133 147 138 94
5. Bahan Makanan 2 358 2 640 2 442 1 663
Keterangan: *) Angka Sementara Sumber: Kementerian Pertanian, 2014
Berdasarkan Tabel 1.1, pada tahun 20102013 rata-rata lebih dari 65 persen total penyediaan kedelai dipenuhi dari impor. Pada tahun 2010, total penyediaan kedelai mencapai 2 652 ribu ton dan berfluktuasi namun cenderung menurun hingga menjadi 1 887 ribu ton pada tahun 2013 atau turun sebesar 6.71 persen. Meskipun penyediaan kedelai cenderung menurun namun proporsi impor tetap tinggi dalam penyediaan tersebut menunjukkan tingginya penggunaan kedelai.
Penggunaan kedelai untuk pakan, yang tercecer, bibit, dan yang terserap ke industri bukan makanan dari tahun ke tahun dalam kuantitas yang relatif kecil, sehingga kuantitas yang cukup besar digunakan untuk bahan makanan dari tahun 20102013. Penggunaan kedelai untuk bahan makanan secara rata-rata lebih dari 88 persen. Tingginya impor kedelai disebabkan kapasitas produksi nasional yang belum mencukupi dan tingginya konsumsi produk industri rumahan olahan kedelai seperti tahu dan/atau tempe.
Terdapat berbagai macam olahan kedelai seperti tauco, oncom, dan kecap selain tempe dan tahu. Perkembangan konsumsi bahan makanan berbahan baku kedelai di rumah tangga di Indonesia tahun 20022013 dapat dilihat pada Tabel 1.2.
(19)
Tabel 1.2 Perkembangan konsumsi bahan makanan berbahan baku kedelai di rumah tangga di Indonesia tahun 20022013 (kg/kapita/tahun)
Tahun Kedelai Segar Tahu Tempe Tauco Oncom Kecap
2002 0.1043 7.7171 8.2907 0.0365 0.1043 0.6059
2003 0.0521 7.4564 8.2386 0.0365 0.0782 0.5694
2004 0.0521 6.7264 7.3000 0.0365 0.0730 0.5694
2005 0.0521 6.8829 7.5607 0.0469 0.1095 0.6643
2006 0.0521 7.1957 8.7079 0.0469 0.0834 0.7008
2007 0.1043 8.4993 7.9779 0.0313 0.1095 0.6789
2008 0.0521 7.1436 7.2479 0.0209 0.1043 0.6497
2009 0.0521 7.0393 7.0393 0.0209 0.0626 0.6205
2010 0.0521 6.9871 6.9350 0.0209 0.0469 0.6643
2011 0.0521 7.4043 7.3000 0.0313 0.0730 0.6716
2012 0.0521 6.9871 7.0914 0.0261 0.0626 0.5694
2013 0.0521 7.0393 7.0914 0.0261 0.0574 0.6205
Rata-Rata 0.0608 7.2565 7.5651 0.0322 0.0804 0.6321
Sumber: Kementerian Pertanian, 2014
Berdasarkan Tabel 1.2, besarnya konsumsi kedelai segar di rumah tangga di Indonesia selama tahun 20022013 sangat rendah dan relatif stabil, yaitu rata-rata sebesar 0.06 kg/kapita/tahun. Tempe dan tahu adalah olahan utama dari kedelai. Besarnya konsumsi tempe dan tahu ini jauh berada di atas konsumsi kedelai segar pada periode yang sama. Tahun 20022013 rata-rata konsumsi tempe sebesar 7.57 kg/kapita/tahun lebih tinggi dibanding rata-rata konsumsi tahu sebesar 7.26 kg/kapita/tahun. Konsumsi per kapita tauco, oncom, dan kecap jauh berada di bawah konsumsi tempe dan tahu. Selama periode tahun 2002–2013, rata-rata konsumsi tauco sebesar 0.032 kg/kapita/tahun, oncom sebesar 0.08 kg/kapita/tahun, dan kecap sebesar 0.63 kg/kapita/tahun.
Tempe adalah produk kedelai yang paling dikenal oleh masyarakat. Indonesia merupakan negara produsen tempe terbesar di dunia dan menjadi pasar kedelai terbesar di Asia. Sebanyak 50 persen konsumsi kedelai Indonesia dalam bentuk tempe, 40 persen dalam bentuk tahu, dan 10 persen dalam bentuk produk lain (tauco, kecap, dll.) (Kementerian Pertanian, 2013). Tingginya konsumsi tempe tersebut menunjukkan bahwa banyak terdapat usaha pembuatan tempe di Indonesia.
Usaha pembuatan tempe di Indonesia mencapai sekitar 81 000 usaha yang memproduksi 2.4 juta ton tempe per tahun pada tahun 2012. Usaha pembuatan tempe ini menghasilkan sekitar Rp 37 Triliun nilai tambah. Usaha pembuatan tempe cukup memberi nilai bagi perekonomian rakyat (Badan Standardisasi
(20)
Nasional, 2012). Umumnya usaha pembuatan tempe di Indonesia dalam skala usaha rumah tangga, yaitu sebagai pengrajin tempe. Pengrajin tempe tersebar di seluruh kota di Indonesia.
Primer Koperasi Produsen Tempe Tahu Indonesia atau yang disingkat dengan nama Primkopti merupakan koperasi yang menghimpun dan membina usaha dan kesejahteraan para pengrajin tempe tahu beserta keluarganya. Tingginya konsumsi tempe tahu menjadi menu makanan sehari-hari seluruh lapisan masyarakat, khususnya tempe, maka usaha pembuatan tempe pun merambah dengan jumlah yang cukup banyak tersebar di pelosok kota dan pedesaan.
Kota Bogor merupakan salah satu kota yang cukup banyak memiliki pengrajin tempe pada rumah tangga. Oleh karena itu, di Kota Bogor juga terdapat Primkopti Kota Bogor yang mewadahi para pengrajin tempe tahu di Kota Bogor. Data yang dimiliki Primkopti Kota Bogor hingga Desember 2014 jumlah pengrajin tempe dan tahu di Kota Bogor berjumlah 455 pengrajin. Dari total pengrajin tersebut, sebanyak 409 pengrajin (89.89 persen) merupakan pengrajin tempe dan sisanya sebanyak 46 pengrajin (10.11 persen) merupakan pengrajin tahu. Di Kota Bogor pengrajin tempe lebih banyak dibanding pengrajin tahu. Hal tersebut dikarenakan usaha pembuatan tahu membutuhkan modal yang lebih besar dan di Kota Bogor tidak terdapat lahan yang cukup untuk mengelola limbah dari pembuatan tahu.
Tidak semua pengrajin tempe tergabung menjadi anggota Primkopti Kota Bogor. Sebagian besar pengrajin tempe masih belum tergabung menjadi anggota Primkopti. Sebagian pengrajin tempe masih merupakan non anggota Primkopti Kota Bogor, padahal peran dari Primkopti Kota Bogor ini adalah untuk menyejahterakan pengrajin tempe dan tahu beserta keluarganya di Kota Bogor.
Jumlah pengrajin tempe yang cukup banyak di Kota Bogor, maka kebutuhan akan kedelai untuk menghasilkan tempe pun tinggi. Para pengrajin harus membeli kedelai dari toko di pasar bebas dengan harga yang tidak terkendali. Oleh karena itu, Primkopti khususnya Primkopti Kota Bogor menyediakan kedelai dengan harga yang terkendali. Primkopti Kota Bogor seperti koperasi pada umumnya juga terdapat fasilitas simpan pinjam dan Sisa Hasil
(21)
Usaha (SHU) yang dapat dinikmati oleh para pengrajin yang dapat memengaruhi biaya dan pendapatan serta kesejahteraan para pengrajin. Besarnya jumlah pengrajin tempe dan tahu anggota dan non anggota Primkopti Kota Bogor dapat dilihat pada Tabel 1.3.
Tabel 1.3 Jumlah pengrajin tempe dan tahu anggota dan non anggota Primkopti Kota Bogor per Desember 2014
Pengrajin Tempe Share (%) Tahu Share (%) Total Share (%)
Anggota 90 22 40 86.96 130 28.57
Non Anggota 319 78 6 13.04 325 71.43
Total 409 100 46 100 455 100
Sumber: Primkopti Kota Bogor, 20151
Berdasarkan Tabel 1.3, jumlah pengrajin non anggota Primkopti Kota Bogor, yaitu sebanyak 325 pengrajin (71.43 persen) dibandingkan dengan pengrajin anggota, yaitu sebanyak 130 pengrajin (28.57 persen). Jumlah pengrajin tempe anggota Primkopti Kota Bogor sebanyak 90 pengrajin (22 persen) dan mayoritas sebagai pengrajin non anggota sebanyak 319 pengrajin (78 persen). Sementara untuk tahu, jumlah pengrajin anggota Primkopti lebih banyak dibanding pengrajin non anggota, yaitu sebanyak 40 pengrajin (86.96 persen) dan 6 pengrajin (13.04 persen).
Jumlah pengrajin tempe di Kota Bogor tersebar di seluruh kecamatan dan kelurahan. Jumlah pengrajin tempe cukup banyak terdapat di Kecamatan Tanah Sareal, maka terbentuk suatu kelompok pengrajin tempe yang dibentuk sebagai sarana untuk meningkatkan rasa kekeluargaan antar sesama pengrajin. Kelompok tersebut bernama Paguyuban Pengrajin Tempe Kota Bogor yang terdiri dari para pengrajin yang terdapat di Kecamatan Tanah Sareal dan paling banyak adalah pengrajin tempe di Kelurahan Kedung Badak. Menurut data dari Paguyuban Pengrajin Tempe Kota Bogor tahun 2015, jumlah pengrajin tempe hingga saat ini paling banyak berada di Kelurahan Kedung Badak yaitu berjumlah 127 pengrajin tempe (31.05 persen) dibanding Kelurahan Tegal Lega 46 pengrajin tempe (11.25 persen), Kelurahan Cilendek Barat 33 pengrajin tempe (8.07 persen), Kelurahan Mulya Harja 28 pengrajin tempe (6.85 persen), dan Kelurahan Kebon Pedes 26 pengrajin tempe (6.36 persen).
1
(22)
Kelurahan Kedung Badak merupakan salah satu dari 68 kelurahan yang terdapat di Kota Bogor. Pengrajin tempe di Kelurahan Kedung Badak yang berjumlah 127 pengrajin tersebut menunjukkan bahwa dalam satu dari kelurahan saja, yaitu Kelurahan Kedung Badak, sudah mencakup 31.05 persen dari total pengrajin tempe di Kota Bogor tersebar di 6 kecamatan dan 68 kelurahan. Potensi inilah yang mendorong peneliti untuk meneliti usaha tempe di Kelurahan Kedung Badak karena dianggap mewakili keragaan usaha tempe yang ada di Kota Bogor.
Adanya perbedaan karakteristik pengrajin usaha tempe berdasarkan status keanggotaan Primkopti Kota Bogor dan bervariasinya penggunaan kedelai per hari antar pengrajin di Kelurahan Kedung Badak yang dapat menimbulkan perbedaan struktur biaya dan pendapatan usaha tempe, maka perlu dilakukan penelitian mengenai struktur biaya dan pendapatan usaha tempe anggota dan non anggota Primkopti Kota Bogor di Kelurahan Kedung Badak.
1.2. Perumusan Masalah
Tempe menjadi makanan sehari-hari untuk semua kalangan masyarakat Indonesia karena mengandung sumber utama protein nabati, sehingga keberadaan usaha pembuatan tempe tersebar di seluruh kota dan pedesaan. Usaha pembuatan tempe umumnya dilakukan oleh perorangan rumah tangga, yang disebut sebagai pengrajin tempe. Oleh karena banyaknya pengrajin tempe di Kota Bogor, Primkopti juga hadir di Kota Bogor dengan tujuan menjadi wadah untuk menghimpun dan membina usaha dan kesejahteraan para pengrajin tempe tahu beserta keluarganya.
Kelembagaan seperti koperasi memiliki peran yang penting dalam pengembangan usaha rumah tangga yang dijalani. Peran tersebut yaitu menjembatani akses pelaku usaha terhadap pembiayaan, bantuan teknis, dan pasar. Keberadaan Primkopti Kota Bogor ini belum dimanfaatkan oleh para pengrajin tempe sepenuhnya. Masih banyak pengrajin tempe yang belum tergabung menjadi anggota Primkopti Kota Bogor. Penyebab masih banyaknya pengrajin tempe yang belum tergabung sebagai anggota Primkopti Kota Bogor karena kesadaran para pengrajin tempe non anggota yang masih rendah.
(23)
Para pengrajin anggota mendapatkan bahan baku utama pembuatan tempe yaitu kedelai dari Primkopti Kota Bogor. Selain itu, para pengrajin tempe anggota juga dapat melakukan simpan pinjam di Primkopti Kota Bogor. Mereka dapat melakukan simpanan yang dapat diambil ketika membutuhkannya atau untuk tambahan biaya produksi dan mendapat SHU setiap tahun yang juga dapat digunakan untuk menambah biaya produksi dan menambah pendapatan. Selain simpanan mereka juga dapat melakukan pinjaman dengan bunga yang tidak terlalu tinggi dan masih bersahabat dengan para pengrajin tempe. Jika terdapat subsidi kedelai dari pemerintah melalui Primkopti, maka pengrajin tempe anggota dapat memperoleh pendapatan yang lebih besar lagi. Sementara para pengrajin non anggota masih belum memanfaatkan fasilitas Primkopti Kota Bogor masih mencari sendiri kedelai di pasar bebas, sehingga tidak se-mudah dan se-murah para pengrajin anggota dalam mendapatkan kedelai. Tidak sedikit para pengrajin non anggota terjerat utang piutang dengan lembaga keuangan non formal seperti rentenir dengan bunga pengembalian yang tinggi, sehingga dapat menghasilkan biaya produksi yang tinggi.
Perbedaan pengrajin anggota dan non anggota Primkopti Kota Bogor tersebut dapat menimbulkan perbedaan struktur biaya produksi, sehingga dapat menimbulkan perbedaan juga pada pendapatan yang diterima dan titik impas (BEP) atau minimal yang harus diproduksi atau dijual dari usaha pembuatan tempe yang dijalani. Oleh karena itu, diperlukan penelitian yang mengkaji struktur biaya, pendapatan, dan bagaimana titik impas (BEP) dari usaha tempe anggota dan non anggota Primkopti Kota Bogor yang dibedakan berdasarkan skala usaha yang dilihat dari jumlah kebutuhan kedelai per hari. Hal tersebut dikarenakan skala usaha yang berbeda juga akan mengakibatkan struktur biaya, pendapatan, dan titik impas (BEP) yang berbeda-beda. Nantinya dapat ditentukan mana skala usaha tempe anggota dan non anggota Primkopti Kota Bogor yang efisien sehingga dapat dijadikan masukkan saran untuk dapat meningkatkan pendapatan. Skala usaha tempe yang efisien dilihat dari nilai rasio R/C yang terbesar.
Tipe usaha pada setiap skala usaha dan pada setiap lokasi tertentu berbeda satu sama lain. Terdapat perbedaan dalam karakteristik yang dimiliki oleh usaha yang bersangkutan. Usaha pada skala usaha yang besar umumnya memiliki modal
(24)
yang besar, teknologi tinggi, dan bersifat komersial, sementara usaha skala kecil umumnya memiliki modal kecil, teknologi tradisional, serta bersifat usaha sederhana, subsisten, dan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi sendiri dalam kehidupan sehari-hari.
Pengkajian mengenai struktur biaya, pendapatan, dan titik impas (BEP) ini dapat dilakukan pada usaha tempe anggota dan non anggota Primkopti Kota Bogor yang terdapat di Kelurahan Kedung Badak Kecamatan Tanah Sareal Kota Bogor. Pasalnya, Kelurahan Kedung Badak Kecamatan Tanah Sareal merupakan kelurahan yang terdapat pengrajin tempe yang cukup banyak di Kota Bogor.
Berdasarkan perumusan masalah yang telah diuraikan, maka pertanyaan penelitian dalam penelitian ini sebagai berikut:
1. Bagaimana struktur biaya usaha tempe anggota dan non anggota Primkopti Kota Bogor di Kelurahan Kedung Badak menurut masing-masing skala usaha?
2. Bagaimana pendapatan usaha tempe anggota dan non anggota Primkopti Kota Bogor di Kelurahan Kedung Badak menurut masing-masing skala usaha?
3. Bagaimana titik impas (break even point) usaha tempe anggota dan non anggota Primkopti Kota Bogor di Kelurahan Kedung Badak menurut masing-masing skala usaha?
1.3. Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah yang telah diuraikan, maka tujuan penelitian ini sebagai berikut:
1. Menganalisis struktur biaya usaha tempe anggota dan non anggota Primkopti Kota Bogor di Kelurahan Kedung Badak menurut masing-masing skala usaha.
2. Menganalisis pendapatan usaha tempe anggota dan non anggota Primkopti Kota Bogor di Kelurahan Kedung Badak menurut masing-masing skala usaha.
(25)
3. Menganalisis titik impas (break even point) usaha tempe anggota dan non anggota Primkopti Kota Bogor di Kelurahan Kedung Badak menurut masing-masing skala usaha.
1.4. Manfaat Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang ada, penelitian ini diharapkan dapat menjawab, memberikan informasi, dan memberikan manfaat bagi pihak-pihak yang terkait, antara lain:
1. Bagi pengrajin tempe anggota maupun non anggota Primkopti Kota Bogor sebagai informasi apakah usaha ini mampu memberikan pendapatan besar terkait skala usaha yang dijalankan serta sebagai masukan agar dapat menentukan pemilihan skala usaha mana yang lebih menguntungkan. 2. Bagi masyarakat yang ingin mendirikan usaha pembuatan tempe sebagai
informasi bagaimana usaha sebaiknya usaha tempe yang akan dijalankan agar efisien dan menguntungkan.
3. Bagi pemerintah setempat sebagai bahan masukan dalam penetapan kebijakan untuk pengembangan usaha tempe anggota dan non anggota Primkopti Kota Bogor agar usaha rumah tangga ini dapat bertahan dan meningkatkan pendapatan serta kesejahteraan hidupnya.
4. Bagi peneliti sebagai penerarapan ilmu dan teori yang telah didapat selama masa perkuliahan dan dapat diterapkan dalam permasalahan yang terjadi di masyarakat serta dapat memberikan alternatif pemecahannya.
5. Bagi peneliti selanjutnya sebagai bahan rujukan untuk penelitian selanjutnya.
1.5. Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini meliputi:
1. Analisis struktur biaya dan pendapatan usaha tempe dilakukan pada periode produksi terakhir yang dilakukan pengrajin tempe anggota dan non anggota Primkopti Kota Bogor di Kelurahan Kedung Badak, Kecamatan Tanah Sareal, Kota Bogor.
(26)
2. Skala usaha tempe dibagi berdasarkan jumlah kebutuhan kedelai per proses produksi yang dilakukan setiap hari oleh pengrajin karena mampu mencerminkan produksi, produktivitas, biaya produksi, pendapatan, dan titik impas (BEP) dari usaha pembuatan tempe yang dijalankan.
3. Struktur biaya yang dikaji meliputi biaya tetap dan biaya variabel serta biaya tunai dan tidak tunai. Pendapatan usaha tempe dalam penelitian ini menggunakan biaya tunai dan tidak tunai, serta titik impas (BEP) menggunakan biaya tetap dan biaya variabel.
(27)
II.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Karakteristik Kedelai dan Tempe
Sejak zaman Kerajaan Demak beberapa pedagang Cina melakukan perdagangan di pesisir Pulau Jawa dan meminta kepada para petani setempat untuk menanam dan mengusahakan kedelai di sawah dan ladang mereka. Sejak itu kedelai menjadi tanaman pangan yang cukup populer di Indonesia. Oleh orang Belanda, kedelai banyak dibawa ke negerinya dan diberi nama latin Cadelium. Oleh para taksonomis lainnya, kedelai diberi nama Soja max, Glycine max, dan
Glycine soja (Cahyadi, 2007). Dunia internasional lebih mengenal soy atau
soybean atau soya.Kedelai termasuk ke dalam kingdom Plantae, divisi
Magnoliophyta, kelas Magnoliopsida, ordo Fabales, famili Fabaceae, genus
Glycine, dan spesies Glycine max (L) Merill (Warisno dan Dahana, 2010).
Kedelai merupakan sumber protein nabati yang efisien, yaitu diperlukan kedelai dalam jumlah yang kecil untuk memperoleh jumlah protein yang cukup. Nilai protein kedelai jika difermentasi dan dimasak akan memiliki mutu yang lebih baik dari jenis kacang-kacangan lain (Cahyadi, 2007). Kedelai memiliki kadar protein yang tinggi, yaitu rata-rata 35 persen atau 4044 persen pada varietas unggul, lemak sekitar 1820 persen, 85 persen di antaranya merupakan asam lemak tidak jenuh yang baik untuk kesehatan, vitamin (terutama vitamin A, B kompleks, dan E), serta mineral (kasium, fosfor, dan zat besi) (Astawan, 2009).
Warisno dan Dahana (2010) mengelompokkan manfaat kedelai menjadi tiga aspek, Aspek ekonomi yaitu dapat menghasilkan pendapatan dari proses budi daya hingga pengolahan kedelai. Aspek lingkungan dan argoekosistem yaitu tanaman kedelai dapat meningkatkan kesuburan tanah dengan cara bersimbiosis dengan bakteri pengikat nitrogen di dalam tanah. Gizi yang terkandung dalam kedelai sangat tinggi, terutama protein, karbohidrat, dan lemak, sehingga dalam aspek gizi dan kesehatan memiliki manfaat dalam menyediakan energi bagi tubuh, menurunkan kolesterol jahat, mencegah penyakit jantung koroner, obesitas, darah tinggi, serta penyakit kanker. Selain kaya akan kandungan gizi yang bermanfaat bagi tubuh, kedelai juga mengandung senyawa pengganggu dan senyawa antigizi, namun senyawa pengganggu dan antigizi tersebut dapat dihilangkan dengan cara
(28)
mengolah kedelai melalui pemanasan atau fermentasi. Pengolahan kedelai dengan proses fermentasi di antaranya tempe, kecap, dan tauco.
Tempe merupakan salah satu olahan kedelai yang paling banyak diminati oleh masyarakat. Selain rasanya enak dan harganya lebih murah dari sumber protein asal hewani (daging, susu, dan telur), kandungan gizinya juga tinggi. Kandungan gizi tempe lebih baik dibandingkan dengan kedelai. Hal tersebut dikarenakan proses fermentasi dengan ragi atau kapang golongan Rhizopus yang menyebabkan gizi dalam kedelai yang awalnya tidak dapat diurai dan diserap menjadi dapat dimanfaatkan oleh tubuh. Berikut ini adalah perbandingan komposisi zat gizi kedelai dan tempe yang dapat dilihat pada Tabel 2.1
Tabel 2.1 Komposisi zat gizi kedelai dan tempe dalam 100 gram bahan kering
Zat Gizi Satuan Kedelai Tempe
Abu g 6.1 3.6
Protein g 46.2 46.5
Lemak g 19.1 19.7
Karbohidrat g 28.2 30.2
Serat g 3.7 7.2
Kalsium mg 254 347
Fosfor mg 781 724
Besi mg 11 9
Vitamin B1 mg 0.48 0.28
Riboflavin mg 0.15 0.65
Niasin mg 0.67 2.52
Asam Pantotenat mkg 430 520
Piridoksin mkg 180 100
Vitamin B12 mkg 0.2 3.9
Biotin mkg 35 53
Asam Amino Esensial g 17.7 18.9
Sumber: Astawan, 2009
Berdasarkan Tabel 2.1, sebagian besar kandungan gizi yang terkandung dalam kedelai meningkat setelah diolah menjadi tempe dengan proses fermentasi. Hanya beberapa kandungan gizi yang menurun dan penurunannya tidak terlalu besar, di antaranya abu menurun sebesar 2.5 g (41 persen), fosfor 57 mg (7 persen), besi 2 mg (18 persen), vitamin B1 0.2 mg (42 persen), piridoksin 80 mkg (44 persen), dan sisanya mengalami peningkatan. Peningkatan terbesar terjadi pada vitamin B12 yaitu hingga 19 kali lipat dari sebelumnya.
Astawan (2009) juga menyebutkan bahwa tempe menjadi satu-satunya sumber vitamin B12 yang potensial dari bahan pangan nabati. Vitamin B12 umumnya terdapat pada produk-produk hewani, tetapi tidak dijumpai pada makanan nabati seperti sayuran, buah-buahan, dan biji-bijian. Oleh karena itu,
(29)
tempe sebagai sumber protein nabati setara dengan sumber protein hewani dan dapat dijadikan sebagai alternatif pengganti protein hewani. Tempe sebagai sumber protein dan mengandung zat besi yang diperlukan dalam pembentukan kadar hemoglobin (Astuti, Aminah, dan Syamsianah, 2014). Oleh karena itu, jika tempe dikonsumsi secara teratur, maka seseorang dapat terhindar dari anemia akibat kekurangan zat besi, mencegah terbentuknya radikal bebas dan proses penuaan secara dini karena terdapat kandungan antioksidan, serta serat pada tempe dapat mencegah penyakit-penyakit saluran pencernaan.
2.2. Usaha Pembuatan Tempe
Berbagai macam olahan kedelai, terutama tempe, kini sudah banyak tersedia, baik di pasar tradisional maupun pasar modern. Hotel/restoran juga telah menyajikan tempe sebagai salah satu menu utama. Tempe sudah banyak diolah menjadi makanan cepat saji seperti burger tempe dan camilan seperti keripik tempe. Banyaknya olahan tempe tersebut menunjukkan banyaknya masyarakat Indonesia yang bergelut di bidang usaha pembuatan tempe.
Pembuatan tempe tidak sulit dan dapat dilakukan dengan menggunakan alat-alat yang biasa terdapat di rumah tangga, sehingga usaha pembuatan tempe banyak dilakukan dengan skala kecil atau rumah tangga. Usaha kecil di Indonesia berkembang karena adanya latar belakang ekonomi yang menjadi alasan utama dalam melakukan usaha, yaitu untuk memperoleh perbaikan penghasilan untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya sehari-hari. Selain itu juga karena melihat prospek usaha ke depan dengan adanya peluang usaha dan pangsa pasar yang aman dengan kendala modal yang terbatas. Beberapa pengusaha kecil berusaha dengan alasan utamanya karena faktor keturunan/warisan, dibekali keahlian, dan membuka lapangan kerja baru bagi warga setempat (Tambunan, 2009).
Tempe yang berkualitas baik memiliki ciri-ciri berwarna putih bersih dan merata pada permukaannya, struktur yang homogen dan kompak, serta memiliki rasa, bau, dan aroma khas tempe. Sementara tempe yang berkualitas buruk memiliki ciri-ciri permukaan basah, struktur tidak kompak, terdapat bercak hitam, adanya bau amoniak dan alcohol, serta beracun. Menurut Warisno dan Dahana
(30)
(2010) cara pembuatan tempe untuk menghasilkan tempe dengan kualitas yang baik sebagai berikut:
1. Perebusan dan perendaman
Rebus kedelai hingga mendidih. Setelah mendidih, angkat kedelai dan rendam dalam air bersih hingga air menjadi berlendir. Buang air rendaman dan cuci kedelai hingga bersih dan lendirnya hilang.
2. Pembelahan biji dan pembuangan kulit
Biji kedelai dimasukkan ke dalam karung goni lalu injak-injak hingga biji kedelai terbelah. Selain itu dapat juga dilakukan dengan mesin pembelah biji. Tahap selanjutnya rendam biji kedelai di dalam air sambil diremas hingga kulit terlepas, buang kulit biji kedelai tersebut.
3. Pencucian dan perebusan biji tanpa kulit
Cuci biji yang telah terlepas dari kulitnya hingga bersih, lalu rebus kembali biji kedelai hingga lunak atau selama 2030 menit.
4. Pemberian ragi tempe (inokulasi) dengan cara menaburkan ragi tempe. Jumlah ragi yang digunakan tergantung pada jenis ragi yang digunakan. 5. Pembungkusan biji kedelai dengan plastik atau daun pisang.
Masing-masing pengrajin biasanya memiliki cara membungkus yang berbeda-beda dengan berbagai ukuran.
6. Fermentasi dilakukan dengan meletakkan bakal tempe di rak kayu atau bambu selama 1.52 hari.
Salah satu faktor pendukung berhasilnya suatu usaha kecil atau rumah tangga dalam pembuatan tempe adalah pemasaran yang dilaksanakan dengan baik. Pemasaran yang baik akan menentukan tingkat keuntungan yang diperoleh. Pemasaran yang baik dan efisien terjadi apabila tepat guna, waktu, bentuk, dan kepemilikan, serta biaya pemasaran yang rendah (Ramadhani, 2012).
Menurut Sarwono (2002), dalam hal pemasaran, usaha tempe pada skala kecil atau rumah tangga memungkinkan terjadinya pemasaran secara langsung. Pasalnya usaha ini berada di sekitar lingkungan warga sehingga warga dapat membeli tempe langsung ke tempat pengrajin atau pengrajin dapat menjualnya dari rumah ke rumah dengan sepeda/sepeda motor. Selain itu, pengrajin dapat langsung menjualnya ke pasar tradisional ke para pedagang pengecer atau
(31)
membuka kios sendiri. Pengrajin juga dapat menjalin kerja sama dengan warung yang ada di sekitar tempat produksi.
2.3. Struktur Biaya dan Pendapatan Usaha Pembuatan Tempe
Biaya yang dikeluarkan untuk memproduksi tempe umumnya meliputi biaya tetap dan biaya variabel. Biaya tetap terdiri dari biaya bangunan, drum besi, drum plastik, ember, alat pengupas kulit kedelai, bak air, tampah, pompa air listrik, sumur pantek atau sumur bor, dan kompor gas, serta biaya penyusutan peralatan yang termasuk dalam biaya tetap. Sementara biaya variabel terdiri dari kedelai sebagai bahan baku utama, ragi tempe, plastik, daun pisang, tabung gas, tenaga kerja, dan listrik.
Penerimaan dari produksi tempe per bulan didapatkan dari hasil penjualan tempe (dalam satuan bungkus atau kilogram) dikali dengan harga per satuannya. Keuntungan dari usaha pembuatan tempe ini didapatkan setelah total penerimaan dikurang total biaya. Setelah itu dapat ditentukan rasio R/C, BEP harga produksi, dan BEP volume produksi (Warisno dan Dahana, 2010).
Menurut Anggraeny, Husinsyah, dan Maryam (2011), permasalahan yang terjadi pasa usaha tempe adalah kurangnya pengetahuan pengrajin mengenai pengelolaan dan penggunaan modalnya, sehingga pengrajin kurang mengetahui apakah mendapatkan keuntungan atau kerugian. Oleh karena itu, perlu diketahui usaha tempe yang dijalankan mendapat keuntungan, kerugian, atau tidak mengalami kerugian (impas) dengan analisis titik impas (break even point).
2.4. Primer Koperasi Produsen Tempe Tahu Indonesia (Primkopti)
Koperasi didefinisikan sebagai organisasi yang didirikan dengan tujuan utama untuk menunjang kepentingan ekonomi para anggotanya melalui suatu perusahaan bersama. Sejarah berdirinya koperasi di Indonesia dimulai pada masa penjajahan saat diberlakukan culture stelsel yang mengakibatkan penderitaan bagi rakyat, terutama para petani dan golongan bawah, menimbulkan gagasan dari seorang Patih Purwokerto, yaitu Raden Ario Wiraatmadja untuk menolong pegawai dan orang kecil dengan mendirikan Hulpen Spaaren Landbouwcrediet
(32)
lahir perkumpulan Budi Utomo yang dalam programnya memanfaatkan sektor perkoperasian untuk mensejahterakan rakyat miskin dimulai dengan koperasi industri kecil dan kerajinan. Kemudian berdiri Toko Adil sebagai langkah pertama pembentukan koperasi konsumsi (Partomo dan Soejoedono, 2002).
Partomo dan Soejoedono (2002) juga menjelaskan mengenai tugas, fungsi, tujuan, dan jenis koperasi. Tugas koperasi adalah menunjang kegiatan usaha para anggotanya melalui pengadaan barang dan jasa yang dibutuhkan dengan harga, mutu, dan syarat-syarat yang lebih menguntungkan. Fungsi koperasi adalah sebagai alat perjuangan ekonomi untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dan alat pembina masyarakat untuk memperkokoh kedudukan ekonomi Indonesia. Tujuan koperasi adalah keuntungan dan manfaat dirasakan oleh para anggotanya yang bekerja secara bersama-sama memperbaiki keadaan ekonomi.
Jenis koperasi yang dibahas dalam penelitian ini adalah jenis koperasi berdasarkan tipe kehidupan ekonomi para anggotanya dan jenis koperasi berdasarkan keanggotaannya. Jenis koperasi berdasarkan tipe kehidupan ekonomi para anggotanya dibedakan menjadi koperasi konsumen, yaitu koperasi yang bertugas meningkatkan kepentingan ekonomi dari rumah tangga anggotanya, dan koperasi produsen, yaitu koperasi yang bertugas meningkatkan kemampuan ekonomi dari usaha para anggotanya.
Jenis koperasi berdasarkan keanggotaannya terbagi menjadi koperasi primer, koperasi sekunder, dan koperasi tersier. Koperasi primer adalah koperasi yang beranggotakan orang perorangan paling sedikit 20 orang. Koperasi sekunder adalah koperasi yang beranggotakan badan hukum koperasi atau koperasi primer paling sedikit beranggotakan tiga koperasi primer. Koperasi terserier adalah koperasi yang beranggotakan koperasi-koperasi sekunder.
Kota Bogor merupakan salah satu kota yang memiliki koperasi dalam jumlah yang cukup banyak. Dinas Koperasi dan UMKM Kota Bogor mencacat pada tahun 2014 terdapat 750 koperasi di Kota Bogor dan telah menentukan beberapa koperasi berprestasi, yaitu salah satunya adalah Primer Koperasi Produsen Tempe Tahun Indonesia (Primkopti) Kota Bogor. Aspek penilaian tersebut adalah aspek organisasi, aspek manajemen dan tatalaksana, aspek produktivitas, serta aspek dampak dan manfaat. Salah satu staff Dinas Koperasi
(33)
dan UMKM Kota Bogor bagian Koperasi juga menuturkan bahwa penilaian koperasi tersebut salah satunya dilihat berdasarkan Rapat Akhir Tahun (RAT) yang dilaksanakan rutin setiap tahun dan tepat waktu pada bulan januari hingga maret.
Primer Koperasi Produsen Tempe Tahu Indonesia (Primkopti) Kota Bogor adalah salah satu koperasi berprestasi tingkat Kota Bogor tahun 2014. Primkopti adalah koperasi produsen dan koperasi primer yang bergerak pada bidang produksi tempe tahu dengan kedelai sebagai bahan baku utamanya. Menurut Danoe2 (1995), Primkopti didirikan pada tanggal 1979. Latar belakang berdirinya Primkopti adalah karena tingginya konsumsi tempe sehingga menjadi menu makanan sehari-hari dalam masyarakat tetapi kurang memberikan dampak positif untuk kemajuan usaha dan kesejahteraan pengrajin beserta anggota keluarganya. Mereka harus membeli bakan baku utamanya yaitu kedelai dari toko di pasar bebas dengan harga yang tidak terkendali.
Terdapat tokoh masyarakat yang menaruh kepedulian kepada para pengrajin tersebut karena melihat usaha dan kehidupan sehari-hari para pengrajin tempe tahu yang jumlahnya cukup banyak dan tersebar di pelosok perkotaan dan pedesaan. Tokoh masyarakat tersebut yaitu Abdul Hanan, Djajang Murdjana, Suryana Hanafie, Ezrim Jamil, BA., dan Agung Soetrisno. Kelima orang tersebut mencetuskan gagasan membentuk suatu wadah untuk menghimpun dan membina para pengrajin tempe dan tahu yang kemudian diberi nama KOPTI singkatan dari Koperasi Produsen Tempe Tahu Indonesia. Primkopti tersebar pada tingkat provinsi serta kota dan kabupaten. Kota Bogor merupakan salah satu kota yang memiliki Primkopti untuk mewadahi para pengrajin tempe tahu yang terdapat di Kota Bogor.
2.5. Penelitian Terdahulu
Berikut ini beberapa penelitian terdahulu yang berkaitan dengan analisis struktur biaya dan pendapatan, komoditas tempe, serta yang berkaitan dengan membedakan berdasarkan status keanggotaan pelaku usaha terhadap suatu
(34)
kelembagaan, baik anggota dan non anggota koperasi, anggota dan non anggota kelompok tani, maupun pola kemitraan dan pola mandiri.
Penelitian terdahulu yang dijadikan referensi dalam penelitian ini adalah penelitian Bantani (2004), Setiawan (2011), Ruswan (2012), Rachmatia (2013), Arroyan (2011), Utomo (2014), Aulani (2014), dan Lestari (2010). Persamaan penelitian ini dengan penelitian terdahulu antara lain memiliki kesamaan metode dalam menganalisis struktur biaya dan pendapatan dengan rasio R/C dengan penelitian Bantani (2004), Rachmatia (2013), dan Arroyan (2011).
Penelitian ini juga memiliki kesamaan dalam membedakan pelaku usaha terhadap status keanggotaan suatu kelembagaan dengan penelitian Lestari (2010), Ruswan (2012), dan Utomo (2014) yang membedakan berdasarkan anggota dan non anggota kelompok tani, serta Rachmatia (2013) dan Aulani (2014) berdasarkan pola mandiri dan pola kemitraan. Penelitian ini juga memiliki kesamaan berdasarkan komoditas yang diteliti, yaitu tempe dengan penelitian Ruswan (2012), Aulani (2014), dan Setiawan (2011).
Perbedaan penelitian terdahulu dengan penelitian ini antara lain perbedaan komoditas yang diteliti, perbedaan dalam membedakan status keanggotaan pelaku usaha terhadap suatu kelembagaan dalam menganalisis struktur biaya dan pendapatan, serta perbedaan kriteria analisis struktur biaya dan pendapatan, serta terdapat analisis titik impas (BEP). Penelitian ini menggunakan usaha tempe dan tempe sebagai komoditas penelitian, sedangkan pada penelitian terdahulu, komoditas yang dianalisis adalah usaha tani kangkung oleh Lestari (2010), usaha tani sayuran organik dan non organik oleh Arroyan (2011), usaha pemotongan ayam oleh Bantani (2004), usaha ternak ayam ras pedaging oleh Rachmatia (2013), serta usaha tani padi oleh Utomo (2014). Penelitian yang dilakukan oleh Arroyan (2011) dan Bantani (2004) tidak membedakan status keanggotaan pelaku usaha terhadap suatu kelembagaan.
Analisis struktur biaya dan pendapatan pada penelitian ini membagi analisis menjadi dua kategori berdasarkan status keanggotaan Primkopti Kota Bogor. Status keanggotaan tersebut dibagi lagi berdasarkan skala usaha tempe yang dijalankan. Penjelasan terhadap penelitian-penelitian terdahulu tersebut dapat dilihat pada Tabel 2.2.
(35)
19 Tabel 2.2 Penelitian terdahulu
No. Peneliti / Judul Tujuan Penelitian Metode Penelitian Hasil Penelitian
1. Agus Taofik
Bantani (2004) /
Analisis Struktur
Biaya dan
Pendapatan Usaha
Pemotongan Ayam
Tradisional di
Kelurahan Kebon
Pedes, Bogor, Jawa Barat.
1.Menganalisis struktur biaya
berdasarkan keragaman skala
usaha pemotongan ayam
tradisional.
2.Menganalisis pendapatan usaha
pemotongan ayam tradisional berdasarkan keragaman skala
usaha pemotongan ayam
tradisional.
3.Menganalisis keragaman skala
usaha pemotongan ayam
tradisional, sehingga dapat
berdampingan antar skala usaha.
1.Analisis struktur biaya dilakukan dengan mengelompokkan biaya-biaya yang terjadi, yaitu biaya-biaya tetap dan biaya variabel.
2.Analisis pendapatan dilakukan
dengan pendapatan atas biaya tunai dan pendapatan atas biaya total serta dilanjutkan dengan analisis rasio R/C.
3.Analisis keragaman skala usaha
pemotongan ayam tradisional
menggunakan statistik deskriptif dengan menggunakan tabel-tabel analisis.
1.Komponen biaya terbesar adalah biaya pembelian ayam hidup. Biaya total per kg Pemotong I semakin kecil pada setiap peningkatan skala usaha, sedangkan Pemotong II, peningkatan skala usaha tidak berpengaruh nyata pada perubahan biaya total per kg. Hal tersebut terjadi karena harga beli ayam hidup pada Pemotong II lebih mahal dari pada Pemotong I, sedangkan harga jual hasil produksi sama.
2.Pendapatan cenderung lebih besar seiring dengan
peningkatan jumlah ayam yang dipotong. Pada Pemotong I, pendapatan yang diperoleh lebih besar karena jumlah ayam yang dipotong lebih banyak dan harga pembelian ayam hidup lebih murah dari pada Pemotong II.
3.Harga jual hasil produk dijual dengan tingkat harga yang sama. Oleh karena itu, tidak terjadi persaingan harga antara pengusaha pemotongan ayam di Kebon Pedes, sehingga usaha tersebut dapat berdampingan dan bertahan pada tingkat skala usaha yang beragam dari skala kecil sampai besar.
2. Indra Setiawan
(2011) /
Faktor-Faktor yang
Mempengaruhi Konsumsi Tempe di Kota Bogor.
1.Menganalisis karakteristik
konsumen tempe di Kota Bogor. 2.Menganalisis faktor-faktor yang
mempengaruhi konsumsi tempe di Kota Bogor.
1.Analisis karakteristik konsumen
tempe di Kota Bogor dilakukan dengan analisis deskriptif dengan tabulasi sederhana.
2.Analisis faktor-faktor yang
mempengaruhi konsumsi tempe dengan regresi linier berganda beserta ujinya.
1.Mayoritas responden adalah ibu rumah tangga.
Pengeluaran konsumsi tempe untuk semua kelas terbesar adalah di atas Rp 60 000. Lokasi pembelian tempe kelas ekonomi atas 56 persen di pasar, kelas ekonomi menengah 38 persen di pedagang keliling, dan kelas ekonomi bawah 50 persen di pedagang sayur keliling.
2.Faktor-faktor yang mempengaruhi konsumsi tempe
adalah harga tempe (X1), harga tahu (X2), harga telur
(X3), jumlah anggota keluarga (X4), pendidikan terakhir
(X5), kelas ekonomi bawah (D1), dan kelas ekonomi
menengah (D2) berpengaruh nyata dengan taraf nyata 5
(36)
20 20 Tabel 2.2 Penelitian terdahulu (lanjutan)
No. Peneliti / Judul Tujuan Penelitian Metode Penelitian Hasil Penelitian
3. Ade Ruswan (2012) /
Analisis Pendapatan dan
Produksi Usaha tempe
Anggota dan Non Anggota Primer Koperasi Produsen Tempe Tahu Indonesia Tebet Barat Jakarta Selatan.
1.Menganalisis tingkat pendapatan
usaha tempe anggota Primkopti dan non anggota Primkopti di Tebet Barat Jakarta Selatan.
2.Menganalisis faktor-faktor yang
mempengaruhi produksi usaha
tempe anggota dan non anggota Primkopti di tebet Barat Jakarta Selatan.
3.Menganalisis tingkat efisiensi
penggunaan faktor-faktor produksi dalam usaha tempe anggota dan non anggota primkopti di tebet Barat Jakarta Selatan.
1.Analisis tingkat pendapatan
dilakukan dengan analisis
pendapatan.
2.Analisis faktor-faktor yang
mempengaruhi dilakukan
dengan model regresi
berganda (fungsi
Cobb-Douglas).
3.Analisis tingkat efisiensi
faktor-faktor produksi
dilakukan dengan analisis nilai produk marjinal (NPM).
1.Usaha tempe anggota dan non anggota Primkopti memiliki pendapatan lebih besar adalah usaha tempe yang mengguanakan kedelai kualitas A. penggunaan kedelai kualitas A memiliki pendapatan lebih besar pada usaha tempe non anggota, sedangkan penggunaan kedelai kualitas B memiliki pendapatan lebih besar pada usaha tempe anggota Primkopti.
2.Faktor-faktor produksi yang berpengaruh nyata
terhadap peningkatan produksi tempe untuk usaha tempe anggota Primkopti adalah kedelai dan tenaga kerja, sedangkan usaha tempe non anggota adalah kedelai dan ragi.
3.Penggunaan faktor-faktor produksi usaha tempe
anggota dan non anggota belum efisien, ditunjukkan dengan rasio nilai NPM-BKM tidak sama dengan satu.
4. Nur Rizky Rachmatia (2013)
/ Struktur Biaya dan
Pendapatan Usahaternak
Ayam Ras Pedaging Pola
Mandiri dan Kemitraan
Perusahaan Inti Rakyat di
Kecamatan Pamijahan
Kabupaten Bogor.
1.Menganalisis struktur biaya dan
unit cost usahaternak ayam ras pedaging menurut tipe usahaternak dan skala ushaternak di Kecamatan Pamijahan.
2.Menganalisis pendapatan
usahaternak ayam ras pedaging menurut tipe usahaternak dan skala
usahaternak di Kecamatan
Pamijahan.
1.Analisis struktur biaya
dilakukan dengan
mengelompokkan biaya-biaya yang terjadi, yaitu biaya tetap, biaya tunai, dan tidak tunai. 2.Analisis pendapatan dilakukan
dengan analisis pendapatan, rasio R/C, dan uji beda pendapatan.
1.Struktur biaya terbesar dalam usahaternak ayam yaitu biaya pakan dan DOC. Unit cost peternak mandiri lebih kecil dibandingkan peternak plasma.
Unit cost peternak skala II (populasi 5000 ekor) lebih kecil dibandingkan skala I (populasi 5000 ekor).
2.Pendapatan dan rasio R/C atas biaya tunai dan biaya total lebih besar peternak mandiri dibandingkan peternak plasma, dan lebih besar peternak mandiri skala II dibandingkan peternak plasma skala I. Peternak mandiri skala II paling baik karena pendapatan terbesar dan unit cost terkecil.
(37)
21 Tabel 2.2 Penelitian terdahulu (lanjutan)
No. Peneliti / Judul Tujuan Penelitian Metode Penelitian Hasil Penelitian
5. Raihani Arroyan
(2011) / Analisis Struktur Biaya dan Pendapatan Usahatani Sayuran Organik dan Non Organik.
1.Mengkaji struktur biaya
usahatani sayuran organik
dibandingkan dengan usahatani sayuran non organik.
2.Menganalisis pendapatan
usahatani sayuran organik
dibandingkan dengan usahatani sayuran non organik.
1.Analisis struktur biaya
dilakukan dengan
mengelompokkan biaya-biaya yang terjadi pada sayuran, yaitu biaya tetap dan biaya variabel.
2.Analisis pendapatan dilakukan dengan analisis pendapatan.
1.Total biaya usahatani sayuran organik lebih tinggi
dibandingkan non organik. Komponen biaya usahatani sayuran organik dan non organik tertinggi adalah tenaga kerja dan pupuk.
2.Pendapatan usahatani sayuran organik lebih tinggi
dibandingkan non organik. Komoditas yang memiliki pendapatan tertinggi per kg output pada usahatani sayuran organik dan non organik adalah cabai. Pendapatan usahatani sayuran organik dan non organik terdapat perbedaan nyata pada satuan per hektar dan perbedaan tidak nyata pada satuan per petani.
6. Kusaeri Aulani
(2014) / Analisis
Pendapatan dan
Fungsi Produksi
Tempe Pada
Industri Pola
Kemitraan dan
Pola Mandiri.
1.Mengidentifikasi karakteristik
pengusaha tempe pola
kemitraan dan pola mandiri di Desa Cimanggu I.
2.Menganalisis faktor-faktor
yang berpengaruh terhadap
produksi tempe pola mandiri di Desa Cimanggu I.
3.Menganalisis perbandingan
struktur biaya dan pendapatan industri tempe pola kemitraan dan pola mandiri di Desa Cimanggu I.
1.Identifikasi pengusaha tempe
dilakukan dengan analisis
deskriptif.
2.Analisis faktor-faktor yang
berpengaruh dengan regresi linier berganda dari fungsi
produksi Cobb-Douglas
beserta ujinya.
3.Analisis struktur biaya
dilakukan dengan
mengelompokkan biaya yang terjadi dan analisis pendapatan
dilakukan dengan analisis
pendapatan.
1.Karakteristik sosial dilihat dari tingkat usia, tingkat pendidikan, dan pengalaman usaha pengusaha tempe. Pengusaha pola kemitraan mendapatkan kedelai dari koperasi sedangkan pengusaha pola mandiri dari luar koperasi. Cara pengolahannya pengusaha pola kemitraan menggunakan cara tradisional sedangkan pengusaha pola mandiri menggunakan cara yang disosialisasikan oleh KOPTI Kabupaten Bogor.
2.Output produksi tempe pengusaha pola kemitraan
dipengaruhi oleh kedelai, ragi, dan air. Sedangkan output produksi tempe pengusaha pola mandiri dipengaruhi kedelai saja. Skala usaha tempe pengusaha pola kemitraan dan pola mandiri berada pada kondisi decreasing return to scale. 3.Pendapatan total pengusaha tempe pola kemitraan sebesar
Rp 105 982 805.97 per tahun, sedangkan pendapatan total pengusaha pola mandiri sebesar Rp 123 524 163.33 per tahun. Selisihnya sebesar Rp 17 541 357.36 per tahun.
(38)
22 22 Tabel 2.2 Penelitian terdahulu (lanjutan)
No. Peneliti / Judul Tujuan Penelitian Metode Penelitian Hasil Penelitian
7. Agung Prasetio Utomo
(2014) / Produksi dan
Pendapatan Usahatani
Padi Petani Anggota dan Non anggota Kelompok Tani di Desa Kopo
Kecamatan Cisarua
Kabupaten Bogor.
1.Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi produksi padi petani anggota dan non anggota kelompok tani di Desa Kopo.
2.Membandingkan tingkat
pendapatan petani padi anggota dan non anggota kelompok tani di Desa Kopo.
1.Analisis faktor-faktor yang
mempengaruhi dilakukan
dengan metode OLS dari
fungsi produksi
Cobb-Douglas.
2.Analisis pendapatan
dilakukan dengan analisis pendapatan dan rasio R/C.
1.Terdapat lima variabel yang berpengaruh nyata pada taraf nyata 10 persen yaitu benih, pupuk kandang, tenaga kerja wanita dalam keluarga, tenaga kerja wanita luar keluarga dan keanggotaan kelompok tani.
2.Berdasarkan keanggotaan, petani anggota kelompok tani
memiliki pendapatan yang lebih besar dibandingkan dengan petani non anggota. Berdasarkan status kepemilikan lahan usahatani, petani penyewa lahan memiliki pendapatan yang lebih besar dibandingkan dengan petani pemilik lahan. Berdasarkan keanggotaan dan status kepemilikan lahan usahatani, petani anggota kelompok tani dan penyewa lahan memiliki pendapatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan karakteristik responden lainnya.
8. Fuji Lestari (2010) /
Analisis Produksi dan
Pendapatan Usahatani
Kangkung Anggota dan Non Anggota Kelompok Tani di Desa Bantarsari Kecamatan Rancabungur Kabupaten Bogor.
1.Mengkaji keragaan usahatani
kangkung anggota dan non anggota kelompok tani di Desa Bantarsari.
2.Menganalisis faktor-faktor yang
mempengaruhi produksi
kangkung di Desa Bantarsari.
3.Membandingkan pendapatan
petani kangkung anggota dan non anggota kelompok tani di Desa Bantarsari.
1.Analisis keragaan
usahatani dilakukan dengan statistik deskriptif.
2.Analisis faktor-faktor yang
mempengaruhi produksi
kangkung menggunakan
model regresi berganda fungsi Cobb-Douglas.
3.Analisis pendapatan
menggunakan uji statistik berupa uji-t.
1.Keragaan usahatani dilihat dari luas lahan dan status kepemilikan lahan anggota dan non anggota kelompok tani.
2.Faktor-faktor yang mempengaruhi produksi kangkung
anggota kelompok tani terdapat dua variabel yang berpengaruh nyata pada taraf 5 persen, yaitu TKLK dan luas lahan, sedangkan non anggota kelompok tani yang berpengaruh nyata pada taraf 5 persen, yaitu benih dan luas lahan.
3.Pendapatan usahatani kangkung anggota dan non anggota kelompok tani secara rata-rata berbeda, yaitu sebesar Rp 698 615.42 per usahatani atau Rp 3 870 441.41 per ha. Perbedaan pendapatan tersebut sangat dipengaruhi oleh produksi kangkung yang dihasilkan dan harga yang didapat anggota kelompok tani lebih tinggi dan harga input yang digunakan lebih rendah dibandingkan non anggota kelompok tani.
(39)
III.
KERANGKA PEMIKIRAN
3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis
Kerangka pemikiran teoritis ini akan memberikan gambaran tentang teori yang akan dipakai sebagai landasan penelitian yang akan dilakukan, yaitu teori mengenai variabel-variabel yang akan diteliti. Variabel-variabel yang akan diteliti pada penelitian struktur biaya dan pendapatan usaha tempe anggota dan non anggota Primkopti Kota Bogor di Kelurahan Kedung Badak Kecamatan Tanah Sareal terdiri dari struktur biaya, skala usaha, pendapatan, dan titik impas (BEP). Kerangka penelitian teoritis ini akan dibahas secara rinci sebagai berikut.
3.1.1. Analisis Struktur Biaya Usaha
Usaha rumah tangga atau usaha kecil layaknya usaha tani yang memiliki struktur biaya seperti yang diklasifikasikan oleh Soekartawi (1995), yaitu biaya tetap (fixed cost) dan biaya variabel (variable cost). Biaya tetap umumnya diartikan sebagai biaya yang relatif tetap jumlahnya dan terus dikeluarkan walaupun produksi yang diperoleh banyak atau sedikit. Besarnya biaya tetap ini tidak bergantung pada besar-kecilnya produksi yang diperoleh, contohnya sewa tempat usaha, pajak, penyusutan alat, dan sebagainya. Biaya-biaya tersebut akan tetap dibayar walaupun hasil usaha itu besar atau gagal sekalipun.
Biaya variabel umumnya diartikan sebagai biaya yang besar-kecilnya dipengaruhi oleh produksi yang diperoleh, contohnya biaya untuk sarana produksi. Jika produksi yang diinginkan tinggi, maka faktor-faktor produksi seperti bahan baku, tenaga kerja, dan sebagainya perlu ditambah, sehingga biaya ini sifatnya berubah-ubah tergantung dari besar-kecilnya produksi yang dinginkan. Penjumlahan antara total biaya tetap (Total Fixed Cost, TFC) dengan total biaya variabel (Total Variable Cost, TVC) menghasilkan total biaya (Total Cost, TC). Soekartawi (1995) merumuskan biaya total (TC) sebagai berikut:
Selain total biaya, total biaya tetap, dan total biaya variabel, masing-masing biaya tersebut dapat ditentukan biaya rata-ratanya. Menurut Shinta (2011), rata-rata biaya tetap (Average Fixed Cost, AFC) adalah biaya tetap untuk satuan
(40)
produksi atau output yang dihasilkan. Rata-rata biaya variabel (Average Variable Cost, AVC) adalah biaya variabel untuk satuan produksi atau output yang dihasilkan. Sama halnya dengan total biaya, rata-rata total biaya (Average Total Cost, ATC) merupakan penjumlahan antara AFC dengan AVC. Hernanto (1990) merumuskan AFC, AVC, dan ATC secara matematis sebagai berikut:
Hernanto (1990) juga mengklasifikasikan struktur biaya menjadi biaya tetap dan biaya variabel seperti Soekartawi (1995) yang telah diuraikan sebelumnya, serta biaya tunai dan biaya tidak tunai (diperhitungkan). Dua kategori biaya menurut Hernanto (1990), sebagai berikut:
1. Biaya berdasarkan biaya tetap dan biaya variabel:
a. Biaya tetap adalah biaya yang penggunaannya tidak habis dalam satu masa produksi, antara lain pajak tanah, pajak air, serta penyusutan alat dan bangunan.
b. Biaya variabel adalah biaya yang besar-kecilnya sangat tergantung pada skala produksi, antara lain biaya untuk pupuk, bibit, buruh atau tenaga kerja upahan, biaya panen, biaya pengolahan tanah baik yang berupa kontrak maupun upah harian, dan sewa tanah.
2. Biaya berdasarkan biaya tunai dan biaya tidak tunai:
a. Biaya tunai adalah biaya tetap dan biaya variabel yang dibayar tunai. Biaya tetap antara lain air dan pajak tanah, sedangkan biaya variabel antara lain biaya untuk pemakaian bibit, pupuk, obat-obatan, dan tenaga kerja luar keluarga.
b. Biaya tidak tunai (diperhitungkan) adalah biaya tetap dan variabel yang tidak dibayar tunai tetapi diperhitungkan. Biaya tetap antara lain biaya untuk tenaga kerja keluarga dan biaya penyusutan. Biaya variabel antara lain biaya panen dan pengolahan tanah dari keluarga dan jumlah pupuk kandang yang dipakai.
Biaya produksi berdasarkan biaya tunai dan tidak tunai secara matematis dapat dirumuskan sebagaimana biaya total (TC) yang dirumuskan Soekartawi (1995) sebagai berikut:
(41)
3.1.2. Analisis Pendapatan Usaha
Menurut Rahim dan Hastuti (2007), pendapatan suatu usaha merupakan selisih antara penerimaan dan semua biaya. Dengan kata lain, pendapatan ini meliputi pendapatan kotor atau penerimaan total dan pendapatan bersih. Penerimaan kotor atau penerimaan total adalah nilai produksi secara keseluruhan sebelum dikurangi total biaya produksi atau disebut juga dengan total penerimaan (Total Revenue, TR). Total penerimaan (TR) adalah hasil perkalian harga jual (Rp/unit) dengan produksi atau output yang diperoleh (unit). Pendapatan bersih adalah nilai produksi secara keseluruhan sesudah dikurangi total biaya produksi (Total Cost, TC) yang disimbolkan dengan ∏. Menurut Soekartawi (1995), pendapatan usaha ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
Sering kali perhitungan pendapatan suatu usaha, terutama usaha kecil atau rumah tangga, tidak memasukkan biaya tenaga kerja keluarga dan penyusutan alat-alat yang digunakan untuk berproduksi. Hal tersebut membuat pendapatan yang diperoleh dapat lebih besar yang pada kenyataannya masih terdapat biaya lain yang belum dihitung dalam usaha tersebut. Menurut Soekartawi (1995), perhitungan analisis pendapatan ini lebih baik dengan menggunakan biaya tunai dan tidak tunai. Pendapatan atas biaya tunai dan biaya tidak tunai dapat secara matematis dapat dirumuskan sebagaimana pendapatan usaha tani yang dirumuskan oleh Soekartawi (1995) sebagai berikut:
Selain analisis pendapatan yang dapat menunjukkan besar pendapatan yang diperoleh dari usaha yang dijalalankan, maka terdapat rasio R/C yang juga dapat menunjukkan bahwa usaha yang dijalankan menguntungkan, merugikan, atau impas. Semakin besar nilai rasio R/C, maka keuntungan yang diperoleh pengrajin tempe akan semakin besar. Menurut Rahmi dan Hastuti (2007) rasio R/C atau R/C Ratio adalah perbandingan (ratio) antara penerimaan (revenue) dan
(42)
biaya (cost). Seperti pendapatan, perhitungan rasio R/C juga dapat dibedakan menjadi dua, yaitu rasio R/C atas biaya total dan rasio R/C atas biaya tunai. Menurut Soekartawi (1995), rasio R/C secara matematis dapat dirumuskan sebagai berikut:
Dengan kriteria:
1. Rasio R/C 1, menunjukkan bahwa setiap satu rupiah biaya yang dikeluarkan dalam usaha tersebut akan menghasilkan penerimaan yang lebih besar dari satu. Dengan kata lain, usaha tersebut menguntungkan atau lebih efisien.
2. Rasio R/C = 1, menunjukkan bahwa setiap satu rupiah biaya yang dikeluarkan dalam usaha tersebut akan menghasilkan penerimaan sama dengan satu. Penerimaan yang diperoleh sama dengan biaya yang dikeluarkan. Dengan kata lain, usaha tersebut dalam kondisi break even point (BEP), yaitu tidak untung dan tidak rugi.
3. Rasio R/C 1, menunjukkan bahwa setiap satu rupiah biaya yang dikeluarkan dalam usaha tersebut akan menghasilkan penerimaan yang lebih kecil dari satu. Dengan kata lain, usaha tersebut merugikan atau tidak efisien.
3.1.3. Analisis Titik Impas (Break Even Point) Usaha
Suatu usaha rumah tangga atau usaha kecil dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan, sehingga dalam merencanakan sesuatu diperlukan suatu analisis yang bisa memberikan dasar pada volume produksi atau hasil produksi dalam rupiah berapakah yang harus dihasilkan agar diperoleh pendapatan yang dapat menutupi biaya totalnya agar terhindar dari kerugian (Shinta, 2011). Alat analisis yang digunakan dalam hal ini adalah analisis titik impas atau break even point (BEP). Analisis BEP adalah suatu teknik atau pendekatan perencanaan
(43)
keuntungan yang mendasarkan pada hubungan antara biaya (cost) dengan penerimaan (revenue). Salah satu syarat perhitungan analisis BEP adalah bahwa semua biaya yang terkait dengan proses produksi mulai dari setiap jenis barang atau jasa yang dihasilkan, yaitu biaya tetap dan biaya variabel. Menurut Shinta (2011), asumsi-asumsi yang digunakan dalam analisis BEP ini adalah sebagai berikut:
1. Biaya dalam usaha dibagi dalam golongan biaya variabel dan biaya tetap. 2. Besarnya biaya variabel secara total berubah-ubah secara proporsional
dengan volume produksi atau penjualan. Ini berarti biaya variabel per unitnya adalah tetap sama.
3. Besarnya total biaya tetap tidak berubah meskipun ada perubahan volume produksi atau penjualan. Ini berarti bahwa biaya tetap per unitnya berubah-ubah karena adanya perubahan volume produksi.
4. Harga jual per unit tidak berubah selama periode yang dianalisis.
5. Usaha tersebut hanya memproduksi satu macam produk, apabila diproduksi lebih dari satu macam produk pertimbangan penghasilan penjualan antara masing-masing produk adalah tetap konstan.
Kurva BEP menggambarkan keterkaitan antara biaya dan pendapatan. Kondisi BEP dapat ditentukan pada titik perpotongan antara garis penerimaan dengan garis biaya total. Soekartawi (1995) menggambarkan kurva BEP sebagaimana yang dapat dilihat dalam Gambar 3.1.
Sumber: Soekartawi, 1995
Gambar 3.1 Kurva Titik Impas (BEP)
TR TC
TFC TVC
X Y
Pener
im
aa
n dan Bi
ay
a (
R
p)
Volume Produksi (kg) BEP
(44)
Berdasarkan Gambar 3.1, BEP terletak pada perpotongan garis penerimaan (TR) dan garis biaya total (TC). Kurva ini juga dapat menunjukkan laba atau rugi yang dihasilkan pada berbagai tingkat keluaran. Daerah rugi karena hasil penjualan lebih rendah dari biaya total ditunjukkan pada daerah di sebelah kiri titik BEP, yaitu bidang antara garis biaya total dengan garis penerimaan. Sementara, daerah laba karena hasil penjualan lebih tinggi dari biaya total ditunjukkan pada daerah di sebelah kanan titik BEP, yaitu bidang antara garis biaya total dengan garis penerimaan. Analisis BEP bertujuan untuk mengetahui besarnya pendapatan pada saat titik balik modal, yaitu yang menunjukkan bahwa suatu usaha tidak dapat mendapatkan keuntungan tetapi juga tidak mengalami kerugian. Menurut Soekartawi (1995), BEP dapat dihitung dengan dua cara, yaitu: 1. BEP dalam satuan unit produksi
2. BEP dalam satuan rupiah
Keterangan:
TFC = Total biaya tetap (Rp)
AVC = Biaya variabel per unit (Rp/unit) P = Harga jual per unit (Rp/unit)
Hasil dari perhitungan tersebut akan diketahui suatu unit produksi atau suatu hasil penjualan tertentu yang merupakan nilai penjualan minimal yang harus dicapai agar usaha tidak mengalami kerugian.
3.2. Kerangka Pemikiran Operasional
Kedelai adalah tanaman pangan yang kaya akan kandungan gizinya. Kedelai dapat diolah menjadi bahan makanan melalui fermentasi dan pemanasan. Salah satu olahan tempe melalui fermentasi yang banyak digemari masyarakat adalah tempe. Tempe merupakan makanan populer khas Indonesia. Konsumen tempe kini merambah hingga ke semua kalangan masyarakat. Hal tersebut dikarenakan tempe mengandung sumber protein nabati yang tinggi yang setara dengan sumber protein asal hewani seperti daging, susu, dan telur. Selain itu,
(1)
Multiple Comparisons Dependent Variable: BEP Rupiah Anggota
(I) Skala Usaha (J) Skala Usaha Mean Difference
(I-J)
Std. Error Sig. 95% Confidence Interval
Lower Bound
Upper Bound
Bonferroni Skala I Skala II -87342.717(*) 25841.915 .007 -153470.689 -21214.745
Skala III -143431.467(*) 50227.655 .025 -271961.142 -14901.792
Skala II Skala I 87342.717(*) 25841.915 .007 21214.745 153470.689
Skala III -56088.750 50960.944 .843 -186494.870 74317.370
Skala III Skala I 143431.467(*) 50227.655 .025 14901.792 271961.142
Skala II 56088.750 50960.944 .843 -74317.370 186494.870
Games-Howell
Skala I Skala II
-87342.717(*) 28442.490 .021 -161591.763 -13093.670
Skala III -143431.467 20999.833 .052 -290771.036 3908.103
Skala II Skala I 87342.717(*) 28442.490 .021 13093.670 161591.763
Skala III -56088.750 32205.229 .258 -151410.608 39233.108
Skala III Skala I 143431.467 20999.833 .052 -3908.103 290771.036
Skala II 56088.750 32205.229 .258 -39233.108 151410.608
* The mean difference is significant at the .05 level. Sumber: Data Primer, 2015 (Diolah)
Lampiran 25 Hasil uji beda BEP rupiah menurut skala usaha pada usaha tempe
non anggota di Kelurahan Kedung Badak tahun 2015
Test of Homogeneity of Variances BEP Rupiah Non Anggota
Levene
Statistic df1 df2 Sig.
3.015 2 28 .065
ANOVA BEP Rupiah Non Anggota
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 359918280014.763 2 179959140007.382 38.360 .000
Within Groups 131355822143.109 28 4691279362.254
(2)
125
Multiple Comparisons Dependent Variable: BEP Rupiah Non Anggota
(I) Skala Usaha (J) Skala Usaha Mean Difference
(I-J)
Std.
Error Sig. 95% Confidence Interval Lower
Bound
Upper Bound
Bonferroni Skala I Skala II -120729.283(*) 29986.028 .001 -197087.66 -44370.906
Skala III -260684.908(*) 29986.028 .000 -337043.286 -184326.531
Skala II Skala I 120729.283(*) 29986.028 .001 44370.906 197087.661
Skala III -139955.625(*) 34246.457 .001 -227163.038 -52748.212
Skala III Skala I 260684.908(*) 29986.028 .000 184326.531 337043.286
Skala II 139955.625(*) 34246.457 .001 52748.212 227163.038
Games-Howell
Skala I Skala II
-120729.283(*) 34890.010 .015 -216345.603 -25112.964
Skala III -260684.908(*) 27561.081 .000 -333830.657 -187539.160
Skala II Skala I 120729.283(*) 34890.010 .015 25112.964 216345.603
Skala III -139955.625(*) 39440.321 .009 -244210.826 -35700.424
Skala III Skala I 260684.908(*) 27561.081 .000 187539.160 333830.657
Skala II 139955.625(*) 39440.321 .009 35700.424 244210.826
* The mean difference is significant at the .05 level. Sumber: Data Primer, 2015 (Diolah)
Lampiran 26 Hasil uji beda BEP rupiah menurut skala usaha di Kelurahan
Kedung Badak tahun 2015
Test of Homogeneity of Variances BEP Rupiah
Levene
Statistic df1 df2 Sig.
10.329 2 57 .000
ANOVA BEP Rupiah
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 451445926754.833 2 225722963377.417 45.895 .000
Within Groups 280340606800.150 57 4918256259.652
(3)
Multiple Comparisons Dependent Variable: BEP Rupiah
(I) Skala Usaha
(J) Skala Usaha
Mean Difference (I-J)
Std.
Error Sig. 95% Confidence Interval Lower Bound Upper Bound
Bonferroni Skala I Skala II -99960.15(*) 20244.868 .000 -149897.903 -50022.397
Skala III -239445.80(*) 25607.958 .000 -302612.617 -176278.984
Skala II Skala I 99960.150(*) 20244.868 .000 50022.397 149897.903
Skala III -139485.65(*) 27161.340 .000 -206484.176 -72487.124
Skala III Skala I 239445.80(*) 25607.958 .000 176278.984 302612.617
Skala II 139485.65(*) 27161.340 .000 72487.124 206484.176
Games-Howell
Skala I Skala II -99960.15(*) 22144.737 .000 -154969.434 -44950.866
Skala III -239445.80(*) 26497.321 .000 -310730.192 -168161.408
Skala II Skala I 99960.15(*) 22144.737 .000 44950.866 154969.434
Skala III -139485.65(*) 32225.500 .001 -220836.815 -58134.485
Skala III Skala I 239445.80(*) 26497.321 .000 168161.408 310730.192
Skala II 139485.65(*) 32225.500 .001 58134.485 220836.815
* The mean difference is significant at the .05 level. Sumber: Data Primer, 2015 (Diolah)
Lampiran 27 Dokumentasi penelitian
Gambar 1 Bakal tempe Gambar 2 Proses perendaman kedelai
di drum plastik
Gambar 3Ragi tempe Gambar 4 Proses penggantian kemasan
tempe
(4)
127
Gambar 5 Rak untuk proses fermentasi Gambar 6 Kendaraan untuk mengangkut
tempe
Gambar 7 Tempe siap dijual Gambar 8 Wawancara dengan salah satu
responden
(5)
(6)