Modifikasi Pati Garut (Marantha Arundinaceae L.) Dengan Asam, Enzim, Dan Perlakuan Fisik Untuk Memproduksi Pati Resisten Tipe 3 (Rs 3).

MODIFIKASI PATI GARUT (Marantha arundinaceae L.)
DENGAN ASAM, ENZIM, DAN PERLAKUAN FISIK UNTUK
MEMPRODUKSI PATI RESISTEN TIPE 3 (RS 3)

FITRIA SLAMEUT

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Modifikasi Pati Garut
(Marantha arundinaceae L.) dengan Asam, Enzim, dan Perlakuan Fisik untuk
Memproduksi Pati Resisten Tipe 3 adalah benar karya saya dengan arahan dari
pembimbing skripsi dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan
tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2015
Fitria Slameut
NIM F24110010

ABSTRAK
FITRIA SLAMEUT. Modifikasi Pati Garut (Marantha arundinaceae L.) dengan
Asam, Enzim, dan Perlakuan Fisik untuk Memproduksi Pati Resisten Tipe 3 (RS
3). Dibimbing oleh DIDAH NUR FARIDAH
Pati Resiten (RS) adalah pati yang tidak dapat dicerna oleh enzim di dalam
usus halus manusia, namun dapat difermentasi oleh mikroflora dalam usus besar
dan memberikan dampak positif bagi kesehatan. Tujuan penelitian ini adalah untuk
melihat efek hidrolisis asam (lintnerization) (HA), debranching, autoclavingcooling (AC), heat moisture treatment (HMT) dan kombinasinya untuk
memproduksi RS 3 pada pati garut. Metode yang dilakukan dalam penelitian ini
adalah hidrolisis asam pati garut alami (NA) dalam larutan HCl 2.2 N selama 2 jam,
dilanjutkan dengan AC (autoklaf 121 oC 15 menit, cooling pada 4 oC 24 jam).
Setelah itu, sampel dihidrolisis dengan enzim pullulanase (10.4 U/g pati, 16 jam)
(debranching) dan AC lagi selama 2 siklus (HADAC). Sampel yang telah
mengalami perlakuan modifikasi HADAC diberi perlakuan HMT (suhu 121 oC,

kadar air 20%) selama 15 menit (HADAC-HMT15’) dan 60 menit (HADACHMT60’). Pengaruh kombinasi perlakuan ini dapat meningkatkan kadar pati
resisten dari 2.15% (NA) menjadi 17 kali lipatnya, yaitu 36.30% pada perlakuan
HADAC, lalu meningkat lagi ke 52.59% (HADAC-HMT15’) dan 54.11 %
(HADAC-HMT60’). Kadar amilosa juga meningkat dari 50.84% ke 57.74%
(HADAC ke HADAC-HMT60’). Sementara itu, daya cerna pati dan jumlah gula
pereduksi sampel menurun dari 44.94% ke 24.22% dan 13.23% ke 5.53% (HADAC
ke HADAC-HMT60’).
Kata kunci: daya cerna pati, debranching, heat moisture treatment, hidrolisis asam,
pati resisten

ABSTRACT
FITRIA SLAMEUT. Arrowroot (Marantha arundinaceae L.) Modification by
Acid, Enzyme, and Physical Treatment to Produce Resistant Starch Type 3 (RS 3).
Supervised by DIDAH NUR FARIDAH.
Resistant starch (RS) is a starch that can not be digested in human’s small
intestine but can be fermented by microflora in colon and give health effects for
human body. The purpose of this study was to determine the effect of acid hydrolisis
(lintnerization), pullulanase debranching, autoclaving-cooling (AC) and heat
moisture treatment (HMT) combination to producce RS type 3 of arrowroot starch.
The method conducted in this study was hydrolisis of arrowroot starch in HCl 2.2

N solution for two hours continued by AC (autoclaved at 121 oC for 15 minutes,
cooling at 4 oC for 24 hours), pullulanase debranching (10.4 U/g starch) and AC
again for two cycles (HADAC). Than these methods continued with HMT (121 oC,
moisture content 20%) for 15 minutes (HADAC-HMT15’) and 60 minutes

(HADAC-HMT60’). The effect of combination increased RS content from 36.30%
(HADAC) to 52.59% (HADAC-HMT15’) to 54.11 % (HADAC-HMT60’). The
number of amylose content also increased from 50.84% to 57.74% (HADAC to
HADAC-HMT60’). Meanwhile, the starch digestibility and reducing sugar
decreased from 44.94% to 24.22% and from 13.23% to 5.53% (HADAC to
HADAC-HMT60’).
Keywords: acid hydrolisis, debranching, heat moisture treatment (hmt), resistant
starch, starch digestibility

MODIFIKASI PATI GARUT (Marantha arundinaceae L.)
DENGAN ASAM, ENZIM, DAN PERLAKUAN FISIK UNTUK
MEMPRODUKSI PATI RESISTEN TIPE 3 (RS 3)

FITRIA SLAMEUT


Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Teknologi Pertanian
pada
Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Januari 2015 ini ialah
pembuatan pati resisten tipe 3, dengan judul Modifikasi Pati Garut (Marantha
arundinaceae L.) dengan Asam, Enzim, dan Perlakuan Fisik untuk Memproduksi
Pati Resisten Tipe 3 (RS 3).
Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr. Didah Nur Faridah selaku dosen

pembimbing, yang telah banyak meluangkan waktu untuk membimbing dan
memberi masukan kepada penulis selama penelitian ini. Penulis juga mengucapkan
terima kasih kepada Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (DIKTI) yang telah
bersedia mendanai penelitian ini melalui dana BOPTN, serta Faleh Setia Budi, ST,
MT dan Dr. Ir. Sukarno, M.Sc yang telah bersedia menjadi penguji dalam sidang
skripsi penulis dan memberi banyak masukan dalam penyusunan skripsi ini. Di
samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Yahya selaku teknisi
Laboratorium Kimia Pangan dan Bapak Rojak dari bagian Stockroom atas segala
bantuan yang diberikan selama penelitian ini berlangsung. Ucapan terima kasih
juga penulis sampaikan kepada Chairul Anand, Fathma Syahbanu, Kak Mutiara
Pratiwi dan Kak Ratna Sari sebagai rekan yang saling membantu dalam penelitian
ini. Ungkapan terima kasih yang terbesar juga penulis sampaikan kepada keluarga,
Bapak, Mama, dan Adik atas segala doa dan dukungan yang senantiasa diberikan
kepada penulis. Tak lupa juga terima kasih kepada teman-teman ITP 48 dan Wisma
Maharani yang selalu bersedia dimintai bantuan oleh penulis.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2015
Fitria Slameut


DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
TINJAUAN PUSTAKA
METODE
Bahan
Alat
Metodologi Penelitian
Analisis Statistik
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengaruh Modifikasi Pati Garut terhadap Kadar Amilosa dan Kadar Pati
Resisten
Pengaruh Modifikasi Pati Garut terhadap Daya Cerna Pati dan Total Pati
Pengaruh Modifikasi Pati Garut terhadap Kadar Gula Pereduksi

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
RIWAYAT HIDUP

vi
vi
vi
1
1
2
2
3
3
7
7
7
14
14

14
14
19
21
23
23
23
24
32

DAFTAR TABEL
1 Kadar pati resisten pada pati garut alami dan termodifikasi
2 Analisis proksimat pati garut

16
23

DAFTAR GAMBAR
1
2

3
4
5
6
7
8
9

Skema Penelitian
Kadar pati resisten sampel modifikasi pati garut
Kadar amilosa sampel modifikasi pati garut
Hubungan antara kadar pati resisten dengan kadar amilosa sampel
Daya cerna pati sampel modifikasi pati garut
Total pati sampel modifikasi pati garut
Hubungan antara pati resisten, daya cerna pati, dan total pati
Kadar gula pereduksi sampel modifikasi pati garut
Hubungan pati resisten dan gula pereduksi

8
15

17
18
20
20
21
22
22

DAFTAR LAMPIRAN
1
2

Analisis sidik ragam (ANOVA) amilosa, kadar RS, daya cerna pati, kadar
kadar gula pereduksi, dan kadar total pati pada pati garut termodifikasi 27
Hasil metode pendekatan daya cerna pati
30

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Perubahan pola hidup masyarakat memiliki pengaruh yang besar terhadap
arah perkembangan industri pangan. Kesadaran masyarakat yang meningkat
tentang korelasi positif konsumsi pangan sehat dengan tingkat kesehatan setiap
individu menjadi salah satu alasan meningkatnya popularitas pangan bernilai gizi
dan pangan fungsional. Pangan fungsional adalah bahan pangan yang memiliki
manfaat tertentu untuk mengurangi resiko terjadinya penyakit kronis atau penyakit
degeneratif disamping fungsinya untuk memenuhi kebutuhan gizi manusia
(Zaragoza et al. 2010).
Salah satu ingredien pangan yang dapat dijadikan sebagai bahan baku dalam
pembuatan pangan fungsional adalah pati resisten atau Resistant Starch (RS). RS
didefinisikan sebagai bagian pati atau produk turunan pati yang tidak dapat dicerna
oleh enzim pencernaan dalam usus halus, sehingga berlanjut ke usus besar dan
difermentasi oleh mikroflora usus. Sifat RS yang tidak dapat dicerna ini
mengakibatkan pangan yang mengandung RS memberikan respon indeks glikemik
yang rendah (Haub et al. 2009). Pati resisten memiliki cakupan yang luas
tergantung pada bahan bakunya dan memiliki tipe yang berbeda-beda (RS 1-5).
Saat ini, tipe-tipe tersebut dibedakan berdasarkan karakteristik fisik dan kimia
masing-masing pati (Nugent 2005, Diane et al. 2013). Di antara kelima jenis pati
resisten tersebut, pati resisten tipe 3 (RS 3) merupakan tipe pati resisten yang
banyak digunakan sebagai bahan baku pangan fungsional.
RS 3 dapat dihasilkan dari proses pemanasan suhu tinggi dan pendinginan
secara berulang atau disebut siklus autoclaving-cooling (AC). Proses ini dapat
menyebabkan terjadinya retrogradasi fraksi amilosa, kadar RS 3 secara
proporsional berbanding lurus dengan kandungan amilosa dalam bahan pangan
(Shu et al. 2007). Peningkatan fraksi amilosa rantai pendek yang berperan dalam
pembentukan RS 3 dapat dihasilkan melalui proses hidrolisis asam secara lambat
(lintnerization) atau pemutusan ikatan percabangan α-1,6 pada rantai amilopektin
(debranching) sehingga dihasilkan DP (derajat polimerisasi) antara 10-35 yang
dibutuhkan untuk meningkatkan kadar RS 3 (Lehmann et al. 2003). Perlakuan heat
moisture treatment (HMT) dilakukan dengan memanaskan pati dengan kadar air
rendah (< 35%) di atas suhu glass transition selama waktu tertentu. HMT
berpengaruh terhadap sifat fisiko kimia pati melalui interaksi antara bagian amorf
dan kristalin pati dan/atau merusak kristalit pati (Hoover 2010). Penelitian yang
dilakukan oleh Kittipongpatana dan Kittipongpatana (2014) menunjukkan bahwa
perlakuan HMT dapat meningkatkan kadar RS pada pati biji buah nangka sebesar
10-40% tergantung suhu dan waktu HMT.
Pati garut berpotensi sebagai sumber bahan baku RS 3. Hasil pengamatan
dengan menggunakan difraksi sinar X menunjukkan bahwa pati garut memiliki tipe
kristalin A (Faridah et al. 2010), rantai amilopektin pati garut memiliki DP berkisar
9-30 dalam jumlah yang tinggi (96.0%) (Srichuwong 2006), tidak berbeda jauh
dengan hasil penelitian Faridah et al. (2014) yang menunjukkan jumlah DP 9-30
sebanyak 94.02%. Faridah (2011) melaporkan bahwa peningkatan kadar pati
resisten pada pati garut hasil modifikasi berdampak pada penurunan daya cerna pati

2
sehingga dapat menurunkan nilai IG (Indeks Glikemik) produk pangan. Sifat
fungsional ini menjadi penting apabila pati garut hasil modifikasi ini akan dijadikan
sebagai bahan baku pangan fungsional, misalnya pangan dengan nilai IG rendah.
Produk pangan dengan nilai IG rendah dapat dijadikan bahan pangan alternatif
khususnya bagi penderita diebetes. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa
kombinasi hidrolisis asam, debranching dan autoclaving-cooling yang
dikombinasikan dengan modifikasi HMT dapat meningkatkan kadar RS 3 yang
sangat tinggi hingga mencapai 84% (Lehmann et al. 2002). Berdasarkan penjelasan
di atas, maka diperlukan penelitian untuk dapat meningkatkan kadar pati resisten
(RS 3) dari pati garut dengan kombinasi proses hidrolisis asam (lintnerization),
pemutusan ikatan cabang amilopektin secara enzimatis (debranching), AC, dan
HMT.

Perumusan Masalah
Pati garut alami memiliki kadar pati resisten yang rendah, sebagaimana
sumber pati lainnya. Namun pati garut berpotensi untuk dijadikan sebagai bahan
baku pembuatan pati resisten karena memiliki struktur yang sesuai untuk
pembentukan pati resisten. Salah satu cara untuk meningkatkan pati resisten adalah
dengan proses retrogradasi pati yang dapat menghasilkan RS 3. Retrogradasi pati
dapat dilakukan dengan cara pemanasan pada suhu tinggi (autoclaving) yang
dilanjutkan dengan proses pendinginan (cooling) secara berulang. Pati lebih mudah
mengalami retrogradasi dalam bentuk molekul amilosa rantai pendek dengan
derajat polimerasi (DP) berkisar 10-35. Semakin banyak jumlah fraksi amilosa
rantai pendek maka semakin besar peluang terbentuknya pati yang teretrogradasi.
Jumlah fraksi amilosa rantai pendek dapat ditingkatkan dengan cara menghidrolisis
secara parsial ikatan glikosidik pada rantai molekul amilosa dan amilopektin
dengan hidrolisis asam. Selain itu, bisa juga dilakukan pemotongan secara spesifik
pada rantai cabang amilopektin dengan menggunakan enzim pululanase. Kedua
proses ini dapat menghasilkan amilosa rantai pendek. Sifat resistensi pati
berhubungan dengan kristalinitas granula pati. Metode HMT berperan dalam
menyempurnakan pembentukan kristalit pada granula pati, sehingga dapat
meningkatkan kadar RS 3 pada pati garut. Dengan adanya kombinasi hidrolisis
asam, siklus autoclaving-cooling, dan HMT, diharapkan terjadinya peningkatan
kadar RS 3 pada pati garut.

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari karakteristik kimia pati resisten
dari pati garut hasil modifikasi asam dan debranching dengan autoclaving-cooling
dan HMT untuk pengembangan RS sebagai ingredien pangan fungsional.
Adapun tujuan khusus dari penelitian ini adalah:
1.
Mengevaluasi pengaruh kombinasi hidrolisis asam, debranching, autoclaving
cooling, dan heat moisture treatment (HMT) terhadap peningkatan pati
resisten tipe 3 (RS 3), dan

3
2.

Mengetahui pengaruh perbedaan waktu heat moisture treatment (HMT)
terhadap kenaikan kadar RS 3 yaitu HMT selama 15 menit dan 60 menit.

Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini bermanfaat untuk menambah informasi ilmiah terkait
produksi RS 3 berbahan dasar umbi garut sebagai bahan baku pangan fungsional.
Melalui hasil penelitian ini diharapkan bahwa masyarakat dan industri pangan
memiliki pilihan yang lebih kaya dalam membuat dan memperoleh pati resisten
yang memiliki daya cerna pati rendah, sehingga nilai IGnya juga rendah. Selain itu,
penggunaan RS 3 dari pati garut juga diharapkan dapat meningkatkan mutu produk
yang dihasilkan.

TINJAUAN PUSTAKA
Pati Resisten
Pati merupakan sumber terbesar karbohidrat dalam bahan pangan (Ratnayake
dan Jackson 2008). Pada umumnya, pati dicerna di dalam usus manusia dengan cara
hidrolisis oleh enzim α-amilase, glukoamilase, dan sucrase-isomaltase di dalam
usus halus untuk menghasilkan glukosa bebas yang dapat dicerna (Nugent 2005).
Namun, tidak semua jenis pati dapat dicerna di dalam usus halus (Ratnayake dan
Jackson 2008). Pati yang tidak dapat dicerna ini disebut dengan pati resisten.
Makanan yang mengandung pati resisten umumnya memberikan nilai IG
yang rendah karena pati resisten tidak dicerna di dalam usus. Pati resisten akan
langsung menuju ke usus besar dan difermentasi oleh mikroflora yang ada di dalam
usus besar. Hasil fermentasi pati resisten oleh mikroflora pada usus besar adalah
asam lemak rantai pendek yang berupa asam asetat, asam propionat, dan asam
butirat. Pati resisten dapat lolos dari mekanisme pencernaan karena terikat kuat
dalam matriks bahan pangan yang membuatnya tidak dapat dijangkau oleh enzim
(RS 1). Selain itu, beberapa granula pati dari bahan pangan mentah (seperti pisang
dan kentang) dan bahan pangan yang tinggi amilosa (seperti jagung) yang belum
diberi perlakuan juga diketahui tidak dapat dicerna (RS 2). Adapun pati yang diberi
perlakuan pemasakan, pendinginan, pemecahan granula, dan kadang juga dengan
perlakuan debranching, membentuk pati resisten yang saling terikat dan
mengkristalisasi kembali (RS 3). Selanjutnya, pati yang dimodifikasi strukturnya
secara kimia untuk mempertahankan resistansinya terhadap pencernaan secara
enzimatis (misalnya beberapa jenis eter pati, ester pati) (RS 4) (Ratnayake dan
Jackson 2008; Haub et al. 2009; Sanz et al. 2009). Terakhir, RS 5 yang merupakan
hasil interaksi antara pati dengan lemak. Saat pati berinteraksi dengan lemak,
amilosa yang tidak membentuk ikatan double helix dengan sesamanya dapat
membentuk kompleks helix tunggal dengan asam lemak. Amilosa yang sudah
membentuk komplek dengan lemak akan lebih sulit untuk dihidrolisis oleh enzim
amilase. Kompleks amilosa-lemak terbentuk secara spontan dan dapat terbentuk

4
ulang setelah pemasakan, sehingga RS 5 ini tergolong stabil panas (Diane et al.
2013).

Metode Hidrolisis Asam
Perlakuan hidrolisis pati secara lambat (lintnerization) dimaksudkan untuk
meningkatkan jumlah fraksi amilosa rantai pendek dengan bobot molekul rendah
yang merupakan hasil degradasi fraksi amilosa rantai panjang dan titik percabangan
α-1,6 inter-klaster dari rantai amilopektin. Apabila jumlah fraksi amilosa rantai
pendek meningkat, maka semakin banyak fraksi amilosa yang teretrogradasi atau
terkristalisasi, sehingga proses pembentukan RS 3 semakin tinggi dan berdampak
pada penurunan daya cerna pati. Fraksi amilosa sebagai struktur linear akan
memfasilitasi ikatan silang dengan adanya ikatan hidrogen sehingga struktur
amilosa membentuk kristalit yang kompak (Lehmann et al. 2003, AparicioSaguilán et al. 2005, Zhao dan Lin 2009).
Modifikasi pati dengan metode hidrolisis asam tidak mengubah bentuk
granula pati yang dihasilkan, tetapi menyebabkan penurunan kemampuan
mengembang (swelling), viskositas dan kestabilan pasta pati selama proses
gelatinisasi. Proses hidrolisis asam terjadi dalam dua tahap penyerangan pada
granula pati, yaitu tahap penyerangan secara cepat pada daerah amorf, dan tahap
penyerangan yang lebih lambat terhadap fraksi amilopektin di daerah kristalin
(Jayakody dan Hoover 2002).
Beberapa peneliti melaporkan pengaruh kombinasi pengasaman dan
autoclaving-cooling terhadap kadar RS 3. Pati jagung yang dihidrolisis dengan
asam sitrat 0.1 M selama 12 jam yang dilanjutkan dengan proses pemanasan pada
121 oC selama 20 menit dan pendinginan 4 oC dengan jumlah siklus yang sama juga
meningkatkan kadar RS 3 dari 8.0% menjadi 11.0%. Hidrolisis asam lebih atau
kurang dari 12 jam menghasilkan pembentukan RS 3 yang lebih rendah. Mun dan
Shin (2006) melaporkan bahwa pati jagung yang dihidrolisis dengan HCl 0.1 N
selama 6 jam menyebabkan peningkatan kadar RS 3 menjadi 13.8-14.9%. Faridah
(2011) menunjukkan bahwa konsentrasi dan suhu autoklaf akan berpengaruh
terhadap pembentukan RS 3 selama proses autoclaving-cooling dengan
pembentukan RS 3 paling optimum pada konsentrasi suspensi pati 20% dan suhu
121 oC.

Metode Debranching
Enzim pullulanase (EC 3.2.1.4.1 atau pullulan 6-glucanohydrolase)
merupakan enzim mikrobial yang dihasilkan dari Klebsiella pneumoniae. Enzim ini
memecah ikatan glikosidik α-1,6 yang merupakan ikatan percabangan pada
molekul amilopektin. Pemutusan ikatan percabangan (debranching) oleh
pullulanase terjadi pada ikatan glikosidik α-1,6 secara acak pada bagian dalam.
Pengaruh perlakuan debranching rantai amilopektin dengan enzim pullulanase
dalam meningkatkan kadar RS 3 telah dilaporkan oleh beberapa peneliti (GonzalesSoto et al. 2007; Leong et al. 2007; Pongjanta et al. 2009; Miao et al. 2009; Mutungi

5
et al. 2009; Ozturk et al. 2009). Hasil penelitian tersebut memberikan kadar RS 3
yang berbeda-beda untuk jenis pati dan kondisi proses debranching yang berbeda.
Secara umum, kadar RS 3 dipengaruhi oleh konsentrasi enzim pullulanase dan
waktu inkubasi selama proses debranching, serta suhu dan waktu pemanasan
(autoclaving) dan pendinginan (cooling) setelah proses debranching.
Pongjanta et al. (2009) membandingkan proses debranching pati beras tinggi
amilosa dengan menggelatinisasi dahulu suspensi pati (15%) pada suhu 95 oC dan
121 oC selama 30 menit, lalu dihidrolisis oleh enzim pullulanase (8 U/g pati) pada
55 oC dan waktu inkubasi pada selang 0-24 jam. Hasilnya menunjukkan bahwa pati
beras yang dipanaskan pada 121 oC memberikan kadar RS 3 lebih tinggi
dibandingkan pada 95 oC untuk kondisi debranching yang bersesuaian. Semakin
lama proses debranching maka proses hidrolisis amilopektin semakin banyak
sehingga dihasilkan amilosa rantai pendek yang dapat memperbanyak peluang
pembentukan RS 3. Kombinasi pemanasan pada 121 oC dengan waktu inkubasi
selama 24 jam memberikan kadar RS 3 paling tinggi (18.33%) bila dibandingkan
kombinasi suhu dan waktu inkubasi lainnya. Pongjanta et al. (2009) juga
melaporkan bahwa proses debranching meningkatkan kadar RS 3 pati beras tinggi
amilosa sebanyak 4 kali lipat lebih tinggi dibandingkan dengan yang diproses tanpa
debranching pada kondisi autoclaving-cooling yang sama.
Gonzales-Soto et al. (2007) juga membandingkan suspensi pati pisang yang
dihidrolisis oleh enzim pullulanase dan dipanaskan di dalam otoklaf 121 oC selama
30 menit dengan waktu pendinginan yang berbeda (suhu 4 oC dan 32 oC). Hasilnya
menunjukkan bahwa suhu pendinginan 4 oC dan 32 oC tidak memberikan kadar RS
3 yang berbeda nyata. Ozturk et al. (2009) melakukan modifikasi pati jagung tinggi
amilosa, yaitu Hylon V (H5) dan Hylon 7 (H7), dengan perlakuan debranching oleh
enzim pullulanase (1.5 U/g pati) pada suhu 60 oC selama 48 jam. Proses
autoclaving-cooling dilakukan pada suhu 123 oC dan 133 oC dan dilanjutkan
dengan penyimpanan pada suhu rendah (4 oC), selanjutnya dikeringkan dengan
menggunakan oven dan freeze dryer. Hasilnya menunjukkan bahwa pengeringan
pati yang telah dimodifikasi dalam oven memberikan kadar RS 3 lebih tinggi bila
dibandingkan dengan freeze dryer. Berat molekul menurun dan kadar RS 3
meningkat dengan meningkatnya waktu inkubasi selama debranching. Kadar RS 3
pati jagung H7 lebih tinggi dibandingkan dengan H5 pada kondisi proses
debranching yang sama. Berdasarkan hasil analisis menggunakan DSC, proses
debranching-autoclaving-cooling menurunkan suhu puncak (Tp) dan
meningkatkan nilai entalpi pada kedua jenis pati jagung tersebut. Kelarutan dan
kapasitas pengikatan air juga lebih tinggi dibandingkan dibandingkan pati alaminya.
Kadar RS 3 dari pati sagu yang optimal diperoleh dari hasil perlakuan
debranching menggunakan enzim pullulanase pada konsentrasi 40 U/g pati dengan
waktu inkubasi 8 jam dan dilanjutkan dengan penyimpanan pasta pati sagu pada
suhu 80 oC selama 7 hari (Leong et al. 2007). Perlakuan ini dapat menghasilkan
kadar RS 3 sebesar 11.6%. Leong et al. (2007) juga menunjukkan bahwa proses
debranching dari pati sagu dapat menurunkan fraksi amilopektin. Semakin lama
waktu inkubasi, maka kadar amilopektin yang memiliki bobot molekul besar
semakin menurun dan fraksi amilosa berbobot molekul rendah semakin meningkat.
Hasil pengukuran dengan menggunakan difraksi sinar X menunjukkan bahwa
derajat kristalinitas pati sagu hasil modifikasi tersebut menurun menjadi 15.73%
bila dibandingkan dengan pati sagu alaminya (26.47%).

6
Miao et al. (2009) melakukan proses debranching pati jagung tinggi
amilopektin (waxy maize) dengan konsentrasi 10, 20 atau 40 U/g pati dengan waktu
inkubasi 6 jam, kemudian dilanjutkan dengan pemanasan di dalam otoklaf pada
121 oC selama 30 menit dan disimpan pada 4 oC selama 2 hari. Hasilnya
menunjukkan bahwa kadar RS 3 meningkat dengan meningkatnya konsentrasi
enzim pullulanase yang digunakan. Secara umum, kadar RS 3 dipengaruhi oleh
konsentrasi enzim pullulanase dan waktu inkubasi selama proses debranching, serta
suhu dan waktu pemanasan (autoclaving) dan pendinginan (cooling) setelah proses
debranching (Faridah 2011).

Metode Autoclaving-cooling
Pembentukan pati resisten tipe 3 (RS 3) tergantung pada banyak faktor,
diantaranya pH, temperatur, waktu inkubasi, waktu penyimpanan, jumlah siklus
pemanasan dan pendinginan, tipe pati, dan sebagainya (Milasinovic et al. 2010).
Proses pemanasan pada suhu tinggi di dalam otoklaf (autoclaving) menyebabkan
suspensi pati mengalami gelatinisasi. Adapun proses penyimpanan suhu rendah dari
pasta pati yang dihasilkan akan mempercepat terjadinya retrogradasi pati (Liu
2005). Proses autoclaving-cooling yang berulang dapat menyebabkan terjadinya
peningkatan penyusunan ulang ikatan amilosa-amilosa dan amilosa-amilopektin
dan peningkatan pembentukan kristalin yang lebih sempurna dan berakibat pada
peningkatan kadar RS 3 (Leong et al. 2007). Faktor lain yang berpengaruh terhadap
pembentukan RS 3 melalui proses autoclaving-cooling adalah konsentrasi pati dan
suhu autoclaving, konsentrasi amilosa dan amilopektin, panjang rantai amilosa, dan
jumlah siklus autoclaving-cooling (Sajilata et al. 2006).
Penelitian yang dilakukan oleh Milasinovic et al.(2010) menunjukkan adanya
kenaikan kadar RS pati maizena sebanyak 2.1% setelah tiga kali siklus autoclavingcooling. Sajilata et al. (2006) melaporkan bahwa proses autoclaving-cooling pada
pati gandum dapat meningkatkan kadar pati resisten menjadi sembilan kali lipat
dari pati gandum alami. Jumlah siklus autoclaving-cooling juga mempengaruhi
kadar pati resisten yang dihasilkan, misalnya pati gandum yang diproses dengan
tiga kali siklus autoclaving-cooling meningkat kadar RS 3-nya menjadi 7.8% bila
dibandingkan hanya satu kali siklus (6.2%).

Metode Heat Moisture Treatment
Heat moisture treatment (HMT) adalah proses modifikasi hidrotermal yang
dilakukan pada kadar air sampel kurang dari atau sama dengan 35%, dipanaskan
pada suhu di antara suhu glass transition dan suhu gelatinisasi selama waktu
tertentu. Proses HMT biasa dilakukan untuk memodifikasi sifat fisiko-kimia, daya
cerna dan sifat fungsional dengan meminimumkan efeknya terhadap struktur
granula pati (Gunaratne dan Hoover 2002; S. Li et al. 2011). Proses modifikasi
HMT dapat merubah sifat fisikokimia pati dengan memfasilitasi interaksi rantai pati
pada daerah amorf dan daerah kristalin dengan mengganggu kristalit pati.
Pada tahap ini juga terjadi pembentukan struktur double helix (Ji et al. 2015),
serta peningkatan interaksi ikatan antara rantai amilosa-amilosa, rantai amilopektin-

7
amilopektin, serta rantai amilosa-amilopektin sehingga membentuk struktur yang
lebih kompak dan stabil, yang terbentuk selama proses HMT (Zavareze dan Dias
2011). Besarnya perubahan yang dilakukan oleh proses HMT bergantung pada
komposisi pati, kadar air, dan suhu pemanasan, serta struktur amilosa dan
amilopektin pada granula pati native (Hoover 2010). Penelitian yang dilakukan oleh
Kittipongpatana dan Kittipongpatana (2014) menunjukkan bahwa perlakuan HMT
dapat meningkatkan kadar pati resisten hingga mencapai 52.2% pada pati biji
nangka. Peningkatan kadar pati resisten akibat perlakuan HMT juga dilaporkan oleh
Li et al. (2011) dalam penelitian terhadap pati kacang hijau yang diduga sebagai
hasil interaksi antar rantai pati pada daerah amorf granula pati.

METODE
Bahan
Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah pati garut dari
Kelompok Tani Wanita Yogyakarta. Bahan-bahan untuk analisis yaitu H2SO4,
buffer fosfat pH 6 dan pH 7, termamyl (α amilase Sigma A-3403), NaOH, enzim
protease (Sigma P-3910), enzim amiloglukosidase (Sigma A-9913), etanol, aseton,
enzim pepsin (Sigma P-7000), enzim pankreatin (Sigma P-1750), NaHCO3,
akuades, air bebas ion, HCl asam asetat, KI, I2, pereaksi Anthrone, asam
dimetilsalisilat (DNS), enzim α-amilase (Fluca), pati murni (E Merck), maltosa
murni (E Merck), Na2S2O5, enzim pullulanase, fenol, ba-metabisulfit, glukosa,
indikator fenolfetalin, HClO4, Na2HPO4, kuprisulfat, Na2SO4, amonium molibdat,
Na2HPO4.7H2O, butanol, dan etanol.

Alat
Alat yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari peralatan gelas, blender,
mortar, pH meter, penggiling tepung, refrigerator, freezer, termometer, neraca
analitik, spektrofotometer, waterbath shaker, oven, sentrifuse, alat analisa pati
resisten dan lain-lain.

Metodologi Penelitian
Penelitian ini terdiri atas dua tahapan, yaitu tahap pendahuluan (modifikasi
pati garut) dan tahap analisis. Skema penelitian yang ditunjukkan oleh Gambar 1.

8
Pati Garut (NA)

Hidrolisis Asam (HA)

1 siklus AutovclavingCooling
Debranching dengan enzim
pullulanase 10.4 U/g

2 siklus AutovclavingCooling (HADAC)

HMT 15’
(HADAC-HMT15’)

HMT 60’
(HADAC-HMT60’)

Pati Modifikasi

Analisis Sifat Kimia Pati
Modifikasi
1. Kadar Air
2. Kadar gula pereduksi
3. Kadar total gula dan pati
4. Daya cerna pati in vitro
5. Kadar pati resisten

Gambar 1 Skema Penelitian
1.

Modifikasi Pati Garut
1.1 Perlakuan Hidrolisis Asam
Sebanyak 250 g pati garut disuspensikan dalam larutan HCl (nisbah
1:1) dengan konsentrasi 2.2 N pada suhu 35 oC selama 2 jam, sambil terus

9
dilakukan pengadukan. Suspensi pati garut yang telah mengalami perlakuan
hidrolisis asam tersebut kemudian dinetralkan dengan menggunakan larutan
natrium hidroksida (NaOH 1 M) hingga mencapai pH 6.0. Suspensi pati
tersebut kemudian dikeringkan pada suhu 50 oC selama 24 jam hingga
mencapai kadar air 10-12%.
1.2 Perlakuan Debranching dan Autoclaving-Cooling (DAC)
Pati garut hasil hidrolisis asam sebanyak 40.0 g dibuat menjadi suspensi
pati garut 20% b/v dalam air deionisasi dan diberi pemanasan awal pada suhu
80 oC selama 5 menit. Pasta pati kemudian dipanaskan pada suhu 121 oC
dengan otoklaf selama 15 menit. Setelah itu, pasta pati didinginkan selama
satu jam pada suhu ruang, kemudian disimpan di dalam refrigerator 4 oC
selama 24 jam. Pasta pati yang telah mengalami modifikasi AC satu siklus ini
kemudian dipanaskan kembali hingga suhu 50 oC.
Pasta pati kemudian diencerkan sampai konsentrasi 10% b/v dengan
menggunakan buffer asetat dan campuran buffer asetat dengan enzim
pullulanase konsentrasi 10.4 U/g pati dengan perbandingan 1:1. Sampel
diinkubasi pada suhu 50 oC selama 24 jam dalam penangas air bergoyang.
Setelah itu, dilakukan kembali dua siklus autoclaving-cooling pada suhu
121 oC dan 4 oC. Sampel dikeringkan dengan menggunakan freeze dry dan
diayak 80 mesh serta dikemas dalam kantung plastik. Sampel disimpan pada
suhu -18 oC sampai digunakan.
1.3 Perlakuan Heat Moisture Treatment
Sejumlah sampel hasil modifikasi HADAC ditimbang dan
disemprotkan air secara merata sampai mencapai kadar air 20%. Sampel
disimpan dalam plastik tahan panas pada suhu kamar selama semalam.
Kemudian sampel diberi perlakuan panas dalam autoklaf 121 oC dengan dua
parameter waktu yang berbeda yaitu 15 menit dan 60 menit. Setelah itu,
sampel dikeringkan kembali dalam oven 50 oC selama 24 jam, diayak dan
disimpan dalam freezer -18 oC sampai digunakan.
2. Tahap Analisis
2.1 Analisis Kadar air (925.10 AOAC 2012)
Kadar air sampel dianalisis dengan menggunakan metode gravimetri.
Cawan aluminium dikeringkan dengan oven pada suhu 130 + 3°C selama 15
menit, kemudian didinginkan dalam desikator selama 10 menit. Cawan yang
sudah kering ditimbang sebelum digunakan. Sebanyak 2 g sampel ditimbang
ke dalam cawan tersebut, kemudian dikeringkan dengan oven pada suhu
130°C selama 1 jam, didinginkan dalam desikator dan ditimbang hingga
beratnya konstan. Kadar air dihitung dengan rumus sebagai berikut:
Kadar air (%bb) = ܽ−(ܾ−ܿ)ܽ x 100 (1)
Keterangan: a = bobot sampel awal (g); b = bobot sampel dan cawan
setelah dikeringkan (g); c = bobot cawan kosong (g).

10
2.2 Analisis Kadar gula pereduksi metode Park-Johnson (Hizukuri et al.
1983)
Kadar gula pereduksi sampel dianalisis dengan metode Park-Johnson
yang terdiri atas tahapan pembuatan kurva standar glukosa, persiapan sampel,
dan analisis sampel sebagai berikut.
a. Pembuatan Kurva Standar Larutan Glukosa
Sebanyak 1.0 mL larutan glukosa murni yang masing-masing
mengandung 0.0, 2.0, 4.0, 6.0, 8.0, dan 10.0 μg glukosa dalam tabung reaksi
ditambahkan dengan 0.5 mL buffer sodium karbonat-sodium hidrogen
karbonat dan 0.5 mL larutan potasium ferisianida. Sampel dipanaskan dalam
air mendidih selama 15 menit kemudian didinginkan dalam air mengalir
selama 10 menit. Selanjutnya 5.0 mL larutan ferri-amonium sulfat
ditambahkan ke dalam sampel, kemudian diaduk menggunakan vorteks.
Sampel diinkubasi pada suhu ruang selama 20 menit. Sampel diukur
absorbansinya dengan menggunakan spektrofotometer UV-Vis pada panjang
gelombang 715 nm. Persamaan dan kurva standar larutan glukosa dibuat
sebagai hubungan antara konsentrasi larutan glukosa (pada sumbu x) dan
absorbansi (pada sumbu y).
b. Persiapan Sampel
Sebanyak 1.0 g pati dimasukkan secara perlahan ke dalam 100.0 mL
etanol 95% dan dihomogenkan dengan menggunakan pengaduk magnetik.
Suspensi pati tersebut kemudian disaring menggunakan kertas saring. Kertas
yang berisi residu pati didiamkan semalam di dalam desikator. Setelah kering,
pati yang terdapat dalam kertas saring diambil, lalu dihaluskan dengan mortar.
Sebanyak 40.0 mg pati yang telah dihaluskan ditambahkan dengan 20.0 mL
akuades, kemudian dipanaskan dalam otoklaf 105 oC selama 1 jam. Setelah
pemanasan selesai, pasta pati didinginkan pada suhu kamar dan dilakukan 40
kali pengenceran sebelum digunakan.
c. Analisis Sampel
Sampel sebanyak 1 mL ditambahkan 0.5 mL larutan buffer sodium
karbonat-sodium hydrogen karbonat (4.8 g Na2CO3, 9.2 g NaHCO3 dan
0.65 g KCN yang dilarutkan dalam aquades 1 L) dan ditambahkan 0.5 ml
potasium fericianida 0.1% (b/v). Campuran larutan tersebut dipanaskan
selama 15 menit dalam air mendidih dan didinginkan dalam air mengalir
selama 10 menit. Larutan tersebut ditambahkan 2.5 ml larutan feric
ammonium sulfat (3 g (NH4)Fe(SO3)4.2H2O di dalam 1 L larutan 50 mM
H2SO4). Selanjutnya divorteks dan didiamkan selama 20 menit pada suhu
ruang dan dibaca pada panjang gelombang 715 nm dengan menggunakan
spektrofotometer.
2.3 Analisis Kadar Total Gula dan Pati (Dubois et al. 1956)
Kadar total gula dan pati sampel pati garut dianalisis dengan
menggunakan metode fenol sulfat yang mencakup tahapan pembuatan kurva
standar larutan glukosa, persiapan sampel, dan analisis sebagai berikut.
a. Pembuatan Kurva Standar Larutan Glukosa
Larutan glukosa murni (0,5 mL) yang masing-masing mengandung 0.0,
10.0, 20.0, 30.0, 40.0, 50.0, 60.0, 70.0 dan 80.0 μg larutan glukosa
ditempatkan dalam tabung reaksi. Ke dalam masing-masing tabung reaksi

11
tersebut ditambahkan 0.5 mL fenol 5%, kemudian diaduk dengan
menggunakan vorteks. Sebanyak 2.5 mL larutan H2SO4 pekat ditambahkan
secara cepat ke dalam tabung reaksi tersebut (terjadi reaksi eksoterm yang
menghasilkan panas). Larutan tersebut didiamkan selama 10 menit, kemudian
diaduk lagi dengan vorteks. Sampel disimpan pada suhu ruang selama 20
menit sebelum diukur absorbansi dengan spektrofotometer UV-Vis pada
panjang gelombang 490 nm. Persamaan dan kurva standar larutan glukosa
dibuat sebagai hubungan antara konsentrasi larutan glukosa (pada sumbu x)
dan absorbansi (pada sumbu y).
b. Persiapan Sampel Analisis Kadar Pati
Sebanyak 1 g pati dimasukkan secara perlahan ke dalam 100.0 mL
etanol 95% dan dihomogenkan menggunakan pengaduk magnetik. Suspensi
pati kemudian disaring menggunakan kertas saring. Kertas yang berisi residu
pati didiamkan semalam dalam desikator. Residu pati ditimbang sehingga
diketahui beratnya untuk menghitung pati pada sampel sebelum mengalami
pencucian dengan etanol.
Setelah pati kering, pati yang terdapat dalam kertas saring diambil,
kemudian dihaluskan dengan mortar. Sebanyak 40 mg pati yang telah
dihaluskan ditambah dengan 20.0 mL akuades, lalu diotoklaf pada suhu
105 oC selama 1 jam. Setelah diotoklaf, sampel didinginkan pada suhu kamar
lalu diencerkan sebanyak 40 kali.
c. Analisis Sampel
Sebanyak 0.5 mL sampel dimasukkan ke dalam tabung reaksi,
kemudian ditambahkan 0.5 mL fenol 5% dan dihomogenkan dengan
menggunakan vorteks. Sebanyak 2.5 mL larutan H2SO4 pekat lalu
ditambahkan secara cepat ke dalam tabung reaksi, sehingga terjadi reaksi
eksoterm yang menghasilkan panas. Larutan sampel kemudian didiamkan
selama 10 menit pada suhu ruang, diaduk dengan vorteks dan didiamkan
kembali selama 20 menit pada suhu ruang. Nilai absorbansi diukur dengan
spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang 490 nm. Kadar glukosa
(μg/mL) ditentukan dengan menggunakan kurva standar. Kadar total gula
(%bb) diperoleh dari kurva standar, sedangkan kadar pati (%bb) dihitung
dengan mengalikan kadar total gula dengan faktor 0.9.
2.4 Analisis Daya Cerna Pati in Vitro (Anderson et al. 2002)
Analisis daya cerna pati dilakukan dengan metode pendekatan yaitu
kalkulasi terhadap 12 sampel dari hasil penelitian Syahbanu (2015) yaitu
sampel NA, HA, AC, HAAC, HMT15’, HMT60’, HA-HMT15’, HAHMT60’, AC-HMT15’, AC-HMT60’, HAAC-HMT15’, dan HAAC-HMT60’
dengan nilai R2 = 0.9820 (Lampiran 2). Daya cerna pati in vitro pada
penelitian Syahbanu (2015) dianalisis secara spektroskopi yang mencakup
tahapan pembuatan kurva standar maltosa dan analisis sampel sebagai berikut.
a. Pembuatan Kurva Standar Larutan Maltosa
Sebanyak 1.0 mL larutan maltosa standar yang mengandung 0.0, 0.2,
0.4, 0.6, 0.8 dan 1.0 mg maltosa dimasukkan ke dalam tabung reaksi bertutup,
kemudian ditambahkan masing-masing 2.0 mL larutan dinitrosalisilat (DNS).
Larutan dipanaskan dalam air mendidih selama 12 menit, lalu segera
didinginkan dengan air mengalir. Ke dalam larutan tersebut ditambahkan

12
10.0 mL akuades, kemudian diaduk hingga homogen dengan menggunakan
vorteks. Sampel diukur absorbansinya dengan spektrotometer UV-Vis pada
panjang gelombang 520 nm.
b. Analisis Sampel
Sebanyak 1.0 g sampel pati garut dimasukkan ke dalam erlenmeyer
250 mL, lalu ditambahkan dengan 100.0 mL akuades. Labu erlenmeyer
ditutup dengan aluminium foil dan dipanaskan dalam penangas air hingga
mencapai suhu 90 oC sambil terus diaduk, lalu didinginkan. Sebanyak 2.0 mL
larutan sampel tersebut dipipet ke dalam tabung reaksi bertutup, lalu
ditambahkan 3.0 mL akuades dan 5.0 mL larutan bufer fosfat pH 7.0. Masingmasing sampel dibuat dua kali, salah satunya digunakan sebagai blanko.
Tabung ditutup dan diinkubasikan pada suhu 37 oC selama 15 menit. Larutan
sampel dan blanko diangkat dan ditambahkan 5.0 mL larutan enzim αamilase (1 mg/mL dalam larutan bufer fosfat pH 7.0). Kedua tabung tersebut
diinkubasi kembali selama 30 menit, lalu dipindahkan ke dalam tabung reaksi
bertutup berisi 2.0 mL larutan DNS (asam dinitrosalisilat).
Larutan dipanaskan dalam air mendidih selama 12 menit, lalu segera
didinginkan dengan air mengalir. Sebanyak 10.0 mL akuades kemudian
ditambahkan, lalu diaduk hingga homogen dengan menggunakan vorteks.
Larutan sampel dan blanko tersebut kemudian diukur absorbansinya dengan
spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang 520 nm. Daya cerna pati
(dalam persen) dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut
(persamaan 11):
Daya cerna pati (%bb) = (A – a B – b )x 100
dengan : A = maltosa dalam sampel (mg); a = maltosa dalam blanko (mg), B
= maltosa dalam pati murni (mg); b = maltosa dalam blanko pati murni (mg).
2.5 Analisis Kadar Pati Resisten (Goni et al. 1996)
Kadar pati resisten sampel dianalisis dengan metode spektroskopi yang
mencakup tahapan pembuatan kurva standar glukosa dan analisis sampel
sebagai berikut.
a. Pembuatan Kurva Standar Glukosa (Dubois et al. 1956)
Larutan glukosa murni (0.5 mL) yang masing-masing mengandung 0.0,
10.0, 20.0, 30.0, 40.0, 50.0, 60.0, 70.0 dan 80.0 μg larutan glukosa
ditempatkan dalam tabung reaksi. Ke dalam masing-masing tabung reaksi
tersebut ditambahkan 0.5 mL fenol 5%, kemudian diaduk dengan
menggunakan vorteks. Sebanyak 2.5 mL larutan H2SO4 pekat ditambahkan
secara cepat ke dalam tabung reaksi tersebut (terjadi reaksi eksoterm yang
menghasilkan panas). Larutan tersebut didiamkan selama 10 menit, kemudian
diaduk lagi dengan vorteks. Sampel disimpan pada suhu ruang selama 20
menit sebelum diukur absorbansi dengan spektrofotometer UV-Vis pada
panjang gelombang 490 nm. Persamaan dan kurva standar larutan glukosa
dibuat sebagai hubungan antara konsentrasi larutan glukosa (pada sumbu x)
dan absorbansi (pada sumbu y).
b. Analisis Sampel
Sebanyak 50.0 mg pati dimasukkan ke dalam tabung sentrifus, lalu
ditambahkan 5.0 mL larutan bufer KCl-HCl pH 1.5 dan 0.1 mL pepsin (4000
U/10 mL bufer KCl-HCl). Setelah diaduk dengan menggunakan vorteks,

13
sampel diinkubasi pada suhu 40 oC selama 60 menit pada penangas
bergoyang. Sampel kemudian didinginkan pada suhu ruang.
Sebanyak 4.5 mL larutan bufer fosfat pH 6.9 dan 0.5 mL larutan porcine
α-amilase (15.2 mg α-amilase per mL bufer fosfat) ditambahkan ke dalam
sampel. Sampel kemudian diaduk dengan vorteks dan diinkubasi pada suhu
37 oC selama 16 jam sambil terus digoyang. Setelah sampel disentrifus (15
menit, 3000 g), bagian residu diambil dan dicuci dengan 10.0 mL akuades.
Proses sentrifusi diulang lagi dengan cara yang sama seperti di atas dan
residunya kembali diambil dan dicuci. Proses pencucian diulang sebanyak 23 kali.
Ke dalam residu sampel di atas ditambahkan 3.0 mL akuades dan 1.5
mL larutan KOH 4 M, lalu diaduk dengan menggunakan vorteks dan
didiamkan selama 30 menit pada suhu ruang. Secara berturut-turut ke dalam
sampel tersebut ditambahkan 2.75 mL 2 M HCl dan 1.5 mL bufer sodium
asetat pH 4.75 dan 40 µl enzim amilo-glukosidase. Sebelum diinkubasi pada
suhu 60 oC selama 45 menit, sampel diaduk dengan menggunakan vorteks
dalam penangas air bergoyang. Sampel kemudian disentrifus (15 menit, 3000
g), kemudian bagian supernatan diambil dan dimasukkan ke dalam labu takar.
Bagian residu dicuci dengan 10.0 mL akuades, lalu disentrifus kembali.
Bagian supernatan kemudian dicampurkan dengan supernatan sebelumnya.
Sebanyak 25.0-1000.0 mL sampel diencerkan dengan akuades (tingkat
pengenceran tergantung pada kandungan pati resisten dalam sampel).
Sebanyak 0.5 mL sampel dimasukkan ke dalam tabung reaksi,
kemudian ditambahkan 0.5 mL fenol 5% dan dihomogenkan dengan
menggunakan vorteks. Sebanyak 2.5 mL larutan H2SO4 pekat lalu
ditambahkan secara cepat ke dalam tabung reaksi, sehingga terjadi reaksi
eksoterm yang menghasilkan panas. Larutan sampel kemudian didiamkan
selama 10 menit pada suhu ruang, diaduk dengan vorteks dan didiamkan
kembali selama 20 menit pada suhu ruang. Nilai absorbansi diukur dengan
spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang 490 nm. Kadar glukosa
(μg/mL) ditentukan dengan menggunakan kurva standar. Kadar pati resisten
(%bb) dihitung dengan mengalikan kadar glukosa dalam sampel dengan
faktor 0.9.
2.6 Analisis Kadar Amilosa (IRRI 1978)
Kadar amilosa dianalisis dengan metode spektroskopi. Analisis kadar
amilosa mencakup tahapan pembuatan kurva standar larutan amilosa dan analisis
sampel sebagai berikut.
a. Pembuatan Kurva Standar Amilosa
Sebanyak 40.0 mg amilosa murni dimasukkan ke dalam labu takar
100 mL. Ke dalam labu tersebut kemudian ditambahkan 1.0 mL etanol 95 %
dan 9.0 mL larutan NaOH 1 N. Labu takar kemudian dipanaskan dalam
penangas air pada suhu 95 oC selama 10 menit. Setelah didinginkan, larutan
gel amilosa yang terbentuk ditambah dengan akuades sampai tanda tera.
Larutan amilosa ini digunakan sebagai larutan stok amilosa standar. Dari
larutan stok amilosa standar tersebut dipipet 1.0, 2.0, 3.0, 4.0, dan 5.0 mL
untuk dipindahkan masing-masing ke dalam labu takar 100.0 mL. Ke dalam
masing-masing labu takar tersebut kemudian ditambahkan 0.2, 0.4, 0.6, 0.8,

14
dan 1.0 mL larutan asam asetat 1 N. Sebanyak 2.0 mL larutan iod (0.2 g I2
dan 2.0 g KI yang dilarutkan dalam 100.0 mL air destilata) dipipet ke dalam
setiap labu, lalu ditambahkan air destilata hingga tanda tera. Larutan
dibiarkan selama 20 menit dan diukur absorbansinya dengan
spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang 625 nm. Persamaan dan
kurva standar dibuat sebagai hubungan antara kadar amilosa (sumbu x) dan
absorbansi (sumbu y).
b. Analisis Sampel
Sebanyak 100.0 mg sampel pati garut dimasukkan ke dalam labu takar
100 mL, kemudian ditambahkan 1.0 mL etanol 95 % dan 9.0 mL larutan
NaOH 1 N. Labu takar ini lalu dipanaskan dalam penangas air pada suhu 95
ºC selama 10 menit. Setelah didinginkan, larutan gel pati ditambahkan air
destilata sampai tanda tera dan dihomogenkan. Dari labu takar ini dipipet 5.0
mL larutan gel pati dan dipindahkan ke dalam labu takar 100 mL. Ke dalam
labu takar tersebut kemudian ditambahkan 1.0 mL larutan asam asetat 1 N
dan 2.0 mL larutan iod, lalu ditambah akuades hingga tanda tera. Larutan
sampel ini dibiarkan selama 20 menit pada suhu ruang sebelum diukur
absorbansinya dengan spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang
625 nm. Kadar amilosa (dalam persen) ditentukan dengan menggunakan
persamaan kurva standar larutan amilosa.

Analisis Statistik
Analisis sidik ragam dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya perbedaaan di
dalam variabel-variabel yang diuji dalam hal ini adalah karakteristik kimia terhadap
perlakuan modifikasi pada pati garut. Apabila nilai signifikansi (α) yang dihasilkan
dari output ANOVA menunjukkan nilai kurang dari 5% (0.05), maka ada perbedaan
yang signifikan antar variabel yang diuji, dan sebaliknya. Αlfa (α) merupakan
besarnya kesalahan (error) yang masih bisa diterima dalam pengujian. Setelah
ditemukan adanya perbedaan yang signifikan, maka dilakukan uji lanjut Duncan.
Output yang dihasilkan berupa subset-subset dimana sampel-sampel yang berada
pada subset yang sama berarti tidak memiliki perbedaan yang signifikan, sedangkan
sampel-sampel yang berada pada subset yang berbeda berarti memiliki perbedaan
yang signifikan pada α = 0.05. Analisis sidik ragam ini menggunakan software
SPSS 22.00.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengaruh Modifikasi Pati Garut terhadap Kadar Amilosa dan Kadar Pati
Resisten
Kadar pati resisten pati garut dengan kombinasi perlakuan hidrolisis asam
(HA), debranching (D), dan 3 siklus autoclaving-cooling (AC) disingkat (HADAC)
sebesar 36.30%, meningkat sebesar 16.9 kali lipat dibanding pati garut alami

15

% Pati Resisten (RS)

(native) (Gambar 2). Kadar pati resisten semakin meningkat dengan adanya
perlakuan HMT 15 menit (HAD-HMT15’) dan 60 menit (HAD-HMT60’) menjadi
52.59% dan 54.11%. Nilai ini lebih besar dibanding perlakuan yang dilakukan oleh
Syahbanu (2015) dan perlakuan Anand (2015) dengan kadar pati resisten tertinggi
sebesar 29.63% dan 48.59% (Tabel 1). Hal ini terjadi karena pada perlakuan
Syahbanu (2015) dan Anand (2015), perlakuan hidrolisis pati menggunakan asam
dan enzim dilakukan secara terpisah, sedangkan pada penelitian ini hidrolisis asam
(HA) dan hidrolisis enzimatis (debranching) dikombinasikan secara bersama.
Cara kerja asam pada proses HA adalah dengan menghidrolisis secara acak
ikatan α-1,4 yang menghubungkan rantai-rantai amilosa dan beberapa ikatan α-1,6
pada rantai cabang amilopektin menghasilkan rantai-rantai amilosa yang lebih
pendek dan berbobot molekul rendah (Lehmann et al. 2003). Adapun hidrolisis
secara enzimatis dilakukan dengan cara menghidrolisis ikatan glikosidik pada titik
percabangan (α-1,6) rantai amilopektin. Proses debranching menggunakan enzim
pullulanase dilakukan untuk memperoleh rantai glukan yang lurus dan berbobot
molekul rendah yang diharapkan DPnya sesuai untuk pembentukan RS 3, serta
rantai polimer rekristalisasi. (Guraya et al. 2001, Yin et al. 2007). Hasil dari proses
debranching berupa campuran unit rantai linier dengan panjang beragam, yang
kemudian dapat memicu terjadinya retrogradasi pati.
Penggabungan HA dengan debranching memungkinkan jumlah amilosa
rantai pendek semakin tinggi, bisa dilihat berdasarkan peningkatan kadar amilosa
sampel dari 24.50% (NA) menjadi 50.84% (HADAC) dan berbeda pada taraf
signifikansi 5% (Gambar 3). Pengaruh debranching terhadap kadar RS 3 juga
dilaporkan oleh Gonzales-Soto et al. (2007). Mereka melakukan proses modifikasi
pati pisang melalui proses debranching-autoclaving-cooling dengan menggunakan
enzim pulullanase pada berbagai konsentrasi (0.5, 2.6, 5.3, 10.6, 15.9 dan 21.1 U/g
pati) pada suhu inkubasi 50 oC dengan selang waktu 2-10 jam. Hasilnya
menunjukkan bahwa penggunaan enzim pullulanase pada konsentrasi 10.6 U/g pati
dengan waktu inkubasi 5 jam memberikan kadar RS 3 yang optimal. Hasil ini tidak
berbeda jauh dengan penelitian yang dilakukan Faridah (2011) pada pati garut yang
menunjukkan peningkatan kadar RS 3 optimal terjadi pada penambahan enzim
pullulanase sebesar 10.4 U/g pati dan digunakan sebagai acuan pada penelitian ini.
60
50
40
30
20
10
0

52.59c

54.11c

36.30b

2.15a
NA

HADAC

HADAC-HMT15' HADAC-HMT60'
Perlakuan

Gambar 2 Kadar pati resisten sampel modifikasi pati garut. NA=Pati Alami;
HA=Hidrolisis asam dengan HCl 2.2 N selama 2 jam; AC=3 siklus
autoclaving-cooling; D=debranching dengan enzim pullulanase 10.4 U/g
pati; HMT15’=perlakuan HMT selama 15 menit; HMT60’=perlakuan HMT

16
selama 60 menit. Angka pada histogram yang disertai huruf yang berbeda

menyatakan berbeda nyata (α=0.05)
Tabel 1 Kadar pati resisten pada pati garut alami dan termodifikasi
Perlakuan Sampel
Kadar Pati Resisten (%BK)
Native (NA)
2.15
*HA
3.60
*AC
13.88
*HAAC
19.90
*HMT15’
7.04
*HMT60’
11.34
*HA-HMT15’
9.05
*HA-HMT60’
12.93
*AC-HMT15’
17.88
*AC-HMT60’
24.90
*HAAC-HMT15’
25.34
*HAAC-HMT60’
29.63
**DAC
35.47
**DAC-HMT15’
46.53
**DAC-HMT60’
48.59
HADAC
36.30
HADAC-HMT15’
52.59
HADAC-HMT60’
54.11
Keterangan : kadar pati resisten dalam satuan g/100g berat sampel
*
: data penelitian sebelumnya oleh Syahbanu (2015)
**
: data penelitian sebelumnya oleh Anand (2015)

Peningkatan kadar pati resisten pada pati garut termodifikasi erat kaitannya
dengan peningkatan kadar amilosa pada sampel tersebut. Pada Gambar 3 dapat
dilihat bahwa kadar amilosa pati garut meningkat dari 50.84% (HADAC) menjadi
55.60% (HADAC-HMT15’) dan 57.74 % (HADAC-HMT60’), berbanding lurus
dengan peningkatan kadar pati resistennya. Berdasarkan Gambar 4 dapat dilihat
bahwa kadar pati resisten berkorelasi positif dengan kadar amilosa dengan R2 =
0.9738. Hidrolisis secara lambat oleh asam dan debranching dapat memperpendek
panjang rantai α-glukan sehingga derajat polimerisasi (DP) menurun. Schmiedl et
al. (2000) menunjukkan bahwa nilai DP antara 10-35 cukup optimal untuk
meningkatkan kadar RS 3. Mutungi et al. (2009) melakukan proses debranching
pati singkong dengan enzim pullulanase (25 U/g pati) selama 24 jam. Proses
debranching dilakukan setelah pemanasan di dalam otoklaf pada 121 oC selama 15
menit. Hasil modifikasi tersebut dapat meningkatkan kadar RS 3 dari 21.4%
menjadi 88.4%. Peningkatan kadar RS 3 yang menyolok