Perubahan Karakteristik Biofisik Perkebunan Kelapa Sawit Pada Berbagai Umur Menggunakan Data Citra Landsat

PERUBAHAN KARAKTERISTIK BIOFISIK PERKEBUNAN
KELAPA SAWIT PADA BERBAGAI UMUR
MENGGUNAKAN DATA CITRA LANDSAT

HIMMATUN KHOTIMAH

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Perubahan Karakteristik
Biofisik Perkebunan Kelapa Sawit Pada Berbagai Umur Menggunakan Data Citra
Landsat adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Juli 2014
Himmatun Khotimah
NIM G24100081

ABSTRAK
HIMMATUN KHOTIMAH. Perubahan Karakteristik Biofisik Perkebunan Kelapa
Sawit Pada Berbagai Umur Menggunakan Data Citra Landsat. Dibimbing oleh
TANIA JUNE dan IDUNG RISDIYANTO.
Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq) merupakan produk pertanian terbesar
kedua setelah padi dan mempunyai potensi ekspor yang tinggi bagi Indonesia.
Upaya meningkatkan produksi sawit dilakukan dengan penambahan luas areal
pertanaman, salah satunya dengan konversi lahan. Konversi lahan dapat
menyebabkan berubahnya kondisi lingkungan. Tujuan penelitian ini adalah
mengidentifikasi perubahan karakteristik permukaan, fluks pemanasan tanah, fluks
bahang terasa dan fluks laten serta perubahan suhu permukaan dan suhu udara pada
berbagai umur tanaman kelapa sawit kemudian dibandingkan dengan hutan.
Pendugaan perubahan karakteristik biofisik menggunakan penginderaan jauh yang
dilakukan dengan cara memanfaatkan data citra Landsat untuk melihat kerapatan
kanopi, karakteristik biofisik serta suhu permukaan pada perkebunan kelapa sawit.

Nilai albedo mengalami penurunan dari 0.11 untuk sawit yang masih muda menjadi
0.08 untuk sawit yang telah dewasa. Nilai fAPAR mengalami peningkatan dari 0.78
menjadi 0.83. Fluks bahang terasa untuk sawit yang masih muda lebih besar yaitu
123 Wm-2 dibandingkan dengan sawit yang telah dewasa sebesar 102 Wm-2.
Selanjutnya penggunaan energi untuk penguapan (fluks laten) pada sawit yang
masih muda lebih kecil yaitu sebesar 299 Wm-2 dibandingkan sawit yang telah
dewasa sebesar 407 Wm-2. Suhu permukaan yang diperoleh dari data citra
mengalami penurunan dari 32.3oC pada sawit yang masih muda menjadi 30.8oC
pada sawit yang telah dewasa.
Kata kunci: albedo, fAPAR, fluks energi, konversi lahan, suhu permukaan

ABSTRACT
HIMMATUN KHOTIMAH. The Changes of Biophysical Characteristics of Oil
Palm Plantations in Various Age Using Landsat Image Data. Supervised by TANIA
JUNE and IDUNG RISDIYANTO.
Oil palm (Elaeis guineensis Jacq) is the second largest agricultural product
after rice and has a high potential for Indonesian exports. To increase the production,
the area has to be extended to meet the demand, one of the ways is through land
conversion. However, those action can lead to the changes of environmental
conditions. Therefore, this study aims to identify changes of surface characteristics,

ground heat flux, sensible and latent heat flux, the changes of surface and air
temperature at various ages of oil palm plantation compared to forest. Estimation
of changes in biophysical characteristics using remote sensing was conducted by
utilizing the Landsat image data to assess the canopy densities, biophysical
characteristics, and surface temperature of oil palm plantation. Albedo value
decreased with increasing age, 0.11 for young oil palm, 0.08 for old oil palm. The
value of fAPAR increased from 0.78 to 0.83. Sensible heat flux of young oil palm
plantation was 123 Wm-2, higher than the old one; 102 Wm-2. Then, the use of
energy for evaporating (latent heat flux) of young oil palm plantation was 299 Wm2
, less than the old one; 407 Wm-2. Surface temperature analyzed from image data
showed there is a decreasing trend with increasing age: 32.3oC (young oil palm) to
30.8oC (old oil palm).
Keywords: albedo, energy flux, fAPAR, land conversion, surface temperature

PERUBAHAN KARAKTERISTIK BIOFISIK PERKEBUNAN
KELAPA SAWIT PADA BERBAGAI UMUR MENGGUNAKAN
DATA CITRA LANDSAT

HIMMATUN KHOTIMAH


Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Sains
pada
Departemen Geofisika dan Meteorologi

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Judul Skripsi : Perubahan Karakteristik Biofisik Perkebunan Kelapa Sawit Pada
Berbagai Umur Menggunakan Data Citra Landsat
Nama
: Himmatun Khotimah
NIM
: G24100081

Disetujui oleh


Dr Ir Tania June, MSc
Pembimbing I

Idung Risdiyanto, SSi MSc
Pembimbing II

Diketahui oleh

Dr Ir Tania June, MSc
Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Segala puji bagi Allah atas ni’mat kasih sayang dan kesehatannya sehingga
karya ilmiah ini mampu diselesaikan dengan baik. Karya ilmiah ini merupakan
salah satu syarat kelulusan di program studi Meteorologi Terapan, Departemen
Geofisika dan Meteorologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam,
Institut Pertanian Bogor. Selanjutnya ucapan terima kasih dengan tulus diucapkan

kepada berbagai pihak yang membantu dalam proses penyelesaian tugas akhir ini.
1. Bapak dan Ibu tercinta serta keluarga besar atas do’a dan dukungannya
2. Dr Ir Tania June, MSc selaku pembimbing pertama dan ketua departemen
atas saran, kritik, arahan dan kesabarannya selama penelitian dan penulisan
karya ilmiah ini. Serta Idung Risdiyanto, SSi MSc selaku pembimbing
kedua atas waktu, saran dan arahannya
3. Kementrian Agama RI atas beasiswa yang diberikan sehingga penulis
mampu menyelesaikan perkuliahan dengan baik di IPB
4. Dosen penguji yang telah memberikan saran dan kritik terhadap karya
ilmiah ini
5. Segenap staff dosen dan pengajar yang telah membagi ilmunya serta staff
pegawai atas bantuannya selama proses perkuliahan
6. Pihak PTPN VIII Cikasungka dan Sub Cimulang atas izin penelitian yang
diberikan, CRC990 dan BOPTN 2013
7. Rekan seperjuangan (Mani, Alan, Arisal, Rizal), sahabat tak tergantikan
(Givo A, Em, Enggar, Jeanette, Murni, Linda) dan Srikandi (Ana, Daniar,
Icha, Aci, Enok, Mimit, Reni) serta saudara satu GFM & CSS (Haikal),
terima kasih atas semangat, do’a dan dukungan kalian
8. Kakak-kakak yang telah membantu selama penelitian (Kak Ocha, Kak
Sholah, Kak Eko, Kak Tomy, Kak Faiz, Kak Heny)

9. Keluarga Besar GFM IPB terutama GFM 47 dan Keluarga CSSMoRA IPB
terutama CSS 47 serta semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat dan dapat menyumbang untuk
kemajuan ilmu pengetahuan dan bangsa

Bogor, Juli 2014
Himmatun Khotimah

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN

vi


PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Tujuan Penelitian

2

METODE

2

Bahan

2


Alat

2

Prosedur Analisis Data

2

HASIL DAN PEMBAHASAN

10

Profil Wilayah Kajian

10

Kenampakan Tutupan Lahan Secara Spasial

11


NDVI dan fAPAR

11

Suhu Permukaan dan Suhu Udara

12

Albedo dan Komponen Neraca Energi

14

Neraca Energi

15

Komponen Neraca Energi

15


Perbandingan Fluks Bahang Tanah

16

SIMPULAN DAN SARAN

17

Simpulan

17

Saran

17

DAFTAR PUSTAKA

18

LAMPIRAN

20

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7

Nilai NDVI dan fAPAR untuk kelapa sawit dan hutan
Suhu permukaan dan suhu udara pada wilayah kajian
Nilai albedo dan radiasi gelombang pendek pada perkebunan sawit
Nilai radiasi gelombang panjang pada perkebunan sawit
Rasio radiasi netto terhadap Rs In
Distribusi komponen neraca energi untuk kelapa sawit
Proporsi G hasil pengukuran lapang dan persamaan Allen et
(2001)

12
12
14
15
15
16
al
17

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5

Spectral radiance Landsat 5 sebelum (a) dan sesudah kalibrasi (b)
Diagram alir langkah penelitian
Peta wilayah kajian
Citra Landsat dengan komposit RGB
Distribusi suhu permukaan perkebunan kelapa sawit

3
9
10
11
13

DAFTAR LAMPIRAN
1 Nilai jarak astronomi bumi-matahari (d2), sudut elevasi matahari dan
julian day citra yang digunakan
21
2 Parameter citra Landsat-5 TM
21
3 Parameter citra landsat 8 OLI-TIRS
21
4 Nilai spectral radiance Landsat 8 sebelum dan sesudah kalibrasi
22
5 Nilai suhu permukaan, suhu udara dan suhu udara dugaan
22
6 Contoh perhitungan suhu udara dugaan dan Rl In pada sawit 2 tahun 22
7 Peta NDVI perkebunan sawit umur 2 tahun
23
8 Peta NDVI perkebunan sawit umur 5 tahun
23
9 Peta NDVI perkebunan sawit umur 9 tahun
24
10 Peta NDVI Hutan Harapan
24
11 Peta albedo perkebunan sawit umur 2 tahun
25
12 Peta albedo perkebunan sawit umur 5 tahun
25
13 Peta albedo perkebunan sawit umur 9 tahun
26
14 Peta albedo Hutan Harapan
26
15 Peta suhu permukaan perkebunan sawit umur 2 tahun
27
16 Peta suhu permukaan perkebunan sawit umur 5 tahun
27
17 Peta suhu permukaan perkebunan sawit umur 9 tahun
28
18 Peta suhu permukaan Hutan Harapan
28
19 Daftar simbol dan keterangannya
29

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq) merupakan produk pertanian terbesar
kedua setelah padi dan mempunyai potensi ekspor yang tinggi bagi Indonesia.
Komoditi kelapa sawit saat ini banyak dicari karena memiliki banyak manfaat.
Minyak kelapa sawit yang dihasilkan bisa dimanfaatkan sebagai bahan makanan,
produk rumah tangga dan industri serta sebagai alternatif penggunaan bahan bakar
fosil. Indonesia merupakan salah satu pemasok utama Crude Palm Oil (CPO) dunia,
perkebunan kelapa sawit di Indonesia telah mampu menghasilkan lebih dari 23 juta
ton minyak sawit per tahun yang menjadikan indonesia sebagai salah satu produsen
minyak sawit terbesar di dunia (FAO 2012). Menurut data FAO (2011) Indonesia
telah memimpin ekspor kelapa sawit dengan kuantitas ekspor lebih dari 16 juta ton
minyak sawit. Konversi lahan menjadi kebun kelapa sawit dibutuhkan untuk
memenuhi permintaan supaya pertumbuhan industri ini dapat terus berjalan. Selain
konversi lahan tersebut, proses rehabilitasi kebun yang telah ada dan intensifikasi
juga kerap dilakukan.
Luas perkebunan kelapa sawit di Indonesia selama 5 tahun terakhir (20092013) bertambah sekitar 1.762.496 ha yaitu 8.248.328 ha pada tahun 2009 menjadi
10.010.824 ha pada tahun 2013. Pada kurun waktu tersebut terjadi peningkatan
lahan rata-rata seluas 352.499,2 ha/tahun (Ditjenbun 2013). Konversi lahan dari
hutan menjadi perkebunan kelapa sawit akan menyebabkan terjadinya perubahan
karakteristik kekasapan permukaan, albedo, iklim mikro, penggunaan air, suhu
permukaan dan neraca karbon. Berbagai isu lingkungan seperti isu emisi gas-gas
rumah kaca (terutama CO2), isu bertambahnya kebutuhan air tanaman kelapa sawit
dan isu meningkatnya suhu lingkungan di sekitar perkebunan kelapa sawit muncul
sebagai reaksi terhadap konversi lahan yang terjadi.
Penelitian menggunakan citra Landsat-5 TM untuk tahun pengamatan 2006
dan 2009 serta citra Landsat 8 OLI-TIRS untuk tahun pengamatan 2013. Kedua
jenis landsat tersebut memiliki area scan seluas 170 km x 183 km dan melakukan
perekaman pada area yang sama setiap 16 hari sekali. Landsat-5 TM diluncurkan
pada tanggal 1 Maret 1984 dan telah dinonaktifkan pada tanggal 26 Desember 2012
karena mengalami gangguan berat sejak November 2011. Landsat-5 Thematic
Mapper (TM) memiliki resolusi spasial 30 meter untuk kanal 1-5 dan kanal 7 serta
untuk kanal termal (kanal 6) adalah 120 meter. Landsat 8 OLI-TIRS merupakan
penerus dari landsat 7 yang mengalami kerusakan, landsat generasi ini dilengkapi
beberapa tambahan yang menjadi penyempurnaan landsat sebelumnya yaitu jumlah
band, panjang rentang spektrum gelombang elektromagnetik yang ditangkap serta
interval nilai Digital Number yang lebih panjang. Landsat 8 Operational Land
Imager-Thermal Infrared Sensor (OLI-TIRS) memiliki resolusi spasial 30 meter
untuk kanal 1-7 dan kanal 9 serta untuk kanal 8 adalah 15 meter. Selanjutnya kanal
termal (kanal 10 dan 11) memiliki resolusi spasial 100 meter (USGS 2013).
Pemanfaatan sistem informasi geografis pada perkebunan kelapa sawit telah
banyak dilakukan. Analisis potensi ketersediaan air di perkebunan kelapa sawit
menggunakan sistem informasi geografis oleh Saputra (2012). Analisis cadangan
karbon pada perkebunan kelapa sawit menggunakan citra satelit oleh Simanjuntak

2
(2011). Identifikasi kenampakan kelapa sawit dan produktivitasnya melalui sistem
informasi geografis oleh Agrianti (2012) serta pemanfaatan citra Landsat 7 untuk
estimasi umur tanaman sawit oleh Aswandi (2012).
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi perubahan karakter biofisik
yang terjadi pada berbagai umur tanaman kelapa sawit. Pendugaan perubahan
karakteristik biofisik menggunakan penginderaan jauh yang dilakukan dengan cara
memanfaatkan data citra Landsat untuk melihat kerapatan kanopi, karakteristik
biofisik serta suhu permukaan pada perkebunan kelapa sawit. Selanjutnya data
penelitian yang diperoleh dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan pada
areal hutan sehingga dapat diidentifikasi perubahan NDVI, fAPAR, albedo, suhu
permukaan dan suhu udara dari hutan menjadi kelapa sawit.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan menganalisis perubahan
NDVI, fAPAR, albedo, suhu permukaan, suhu udara, fluks bahang tanah, fluks
bahang terasa dan fluks laten pada tanaman kelapa sawit di berbagai umur
dibandingkan dengan hutan.

METODE
Bahan
Bahan-bahan yang digunakan adalah data citra Landsat path/row 122/65
akuisisi 5 Juli 2006, 2 November 2009 dan 8 Juli 2013, data citra Landsat path/row
125/61 dan 125/62 akuisisi 31 Mei 2009 (sumber : glovis.usgs.gov), peta
Perkebunan Nusantara VIII afdeling II Cimulang, digunakan untuk pemotongan
wilayah kajian (sumber : PTPN VIII Cikasungka, Bogor), dan peta Hutan Harapan
(Jambi) dalam bentuk shape file digunakan untuk pemotongan wilayah kajian
Hutan Harapan.

Alat
Alat yang digunakan adalah seperangkat komputer yang dilengkapi dengan
perangkat lunak ER Mapper 7.1, Arc GIS 9.3, Microsoft Office dan beberapa
perangkat lunak penunjang lainnya.

Prosedur Analisis Data
Kalibrasi Citra Landsat 8 OLI-TIRS
Pengolahan citra dilakukan pada PTPN VIII Cimulang dengan tahun
pengamatan 2006 yaitu untuk kelapa sawit berumur 2 tahun, tahun 2009 untuk
kelapa sawit berumur 5 tahun dan tahun 2013 untuk kelapa sawit berumur 9 tahun.

3

50
40
30
20
10
0

y = 1.2068x + 0.308
R² = 0.9095

100

Spectral radiance
Landsat 5

Spectral radiance
Landsat 5

Data citra yang digunakan untuk tahun pengamatan 2013 adalah citra Landsat
terbaru yaitu Landsat 8. Landsat 8 memiliki karakteristik yang berbeda dari landsatlandsat sebelumnya. Landsat 8 OLI-TIRS memiliki lebih banyak jumlah band,
panjang rentang spektrum gelombang elektromagnetik serta interval nilai Digital
Number yang lebih panjang dibandingkan Landsat 5.
Sebelum proses pengolahan citra, terlebih dahulu dilakukan proses kalibrasi
citra Landsat 8 dengan citra Landsat 5. Proses kalibrasi dilakukan dengan
menyamakan nilai spectral radiance yang dihasilkan dari kedua citra tersebut. Nilai
spectral radiance yang digunakan adalah nilai spectral radiance pada tutupan lahan
yang tidak mengalami perubahan tutupan lahan seperti badan air. Kemudian dari
kedua nilai spectral radiance tersebut diperoleh persamaan y=1.2068x+0.308
persamaan tersebut digunakan untuk menghitung nilai spectral radiance pada
wilayah kajian.
80
60
40
20
0

0

20
40
Spectral radiance L8

(a)

0
50
100
Spectral radiance L8 terkalibrasi

(b)

Gambar 1 Spectral radiance Landsat 5 sebelum (a) dan sesudah kalibrasi (b)
Pengolahan Awal Data Citra Satelit
Pengolahan awal data citra satelit meliputi koreksi geometrik dan
pemotongan citra yang dilakukan menggunakan software ER Mapper 7.1
a) Koreksi geometrik
Menurut Jensen (2000) koreksi geometrik perlu dilakukan untuk
mengurangi error geometri sehingga proyeksi dan anotasi citra sesuai
dengan peta. Koreksi ini dilakukan dengan merubah datum citra menjadi
WGS84 dan proyeksi menjadi geodetic kemudian dilanjutkan dengan
membuat Ground Control Point (GCP) pada citra.
b)Pemotongan citra
Pemotongan citra dilakukan berdasarkan posisi koordinat areal
penelitian menurut peta administrasi kebun dengan proyeksi Universal
Transfer Mercator (UTM). Daerah penelitian (region of interest) yang
didapatkan dari pemotongan citra ini akan membuat analisis data lebih fokus
dan detail. Pemotongan citra menggunakan peta administrasi kebun yang
diperoleh dari kantor PTPN VIII Sub Cimulang dan peta Hutan Harapan
dalam bentuk shape file.
Klasifikasi Lahan
Klasifikasi yang dilakukan pada citra adalah metode klasifikasi tak
terbimbing (Unsupervised Classification). Komposit band yang digunakan untuk
metode klasifikasi tak terbimbing ini adalah komposit band false color yaitu band

4
542 untuk citra Landsat 5-TM dan band 653 untuk citra Landsat 8. Kelas-kelas yang
dihasilkan pada klasifikasi ini adalah kelas vegetasi dan lahan terbuka. Selanjutnya
pengolahan citra difokuskan hanya pada kelas vegetasi saja.
Perhitungan NDVI
Indeks NDVI merupakan kombinasi matematis antara band merah dan band
NIR yang telah alami digunakan sebagai indikator keberadaan dan kondisi vegetasi
(Lillesand dan Kiefer 1997):
σIR-R
NDVI =
(1)
σIR+R
Keterangan:
NIR
= Near Infrared Band
R
= Red Band
Perhitungan LAI
LAI merupakan luas daun per unit area tanah. Pendugaan nilai LAI untuk
perkebunan kelapa sawit (a) menggunakan persamaan dalam Kanniah et al (2012)
dan hutan (b) menggunakan persamaan dalam Twele et al (2006):
a). LAI= -0.156*Spektral σIR +16.λ5
(2)
Keterangan:
LAI
= Leaf area index
Spektral NIR = Nilai spectral radiance band Near Infrared
b). LAI= -0.3λ2+11.543*σDVI
Perhitungan fAPAR (fraction of Absorbed Photosynthetically Active Radiation)
Indeks fAPAR mengekspresikan kapasitas absorbsi energi kanopi pada panjang
gelombang 400-700 nm (PAR spektrum). fAPAR dapat diestimasi menggunakan
modifikasi hukum Beer-Lambert (Pierce dan Running 1988)
fAPAR=(1-Exp(-kLAI)
(3)
Keterangan:
LAI
= Leaf area index
k
= Koefisien pemadaman (Kelapa sawit 1-3 tahun=0.24, 4-6
tahun=0.30, dan 7-12 tahun=0.47) (Gerritsma 1988)
Pendugaan Suhu Permukaan
Nilai spectral radiance didapatkan dari DN (Digital Number) dengan
menggunakan algoritma berikut (USGS 2013):
Lmax - Lmin
x (Q cal – Q calmin ) + Lmin
(4)
Lα =
Q calmax – Q calmin

Keterangan:

= Spectral radiance pada kanal ke-i (Wm-2 sr-1 µm-1)
Q cal = Nilai digital number kanal ke-i
Lmin
= Nilai minimum spectral radiance kanal ke-i (Wm-2 sr-1 µm-1)
Lmax
= Nilai maksimum spectral radiance kanal ke-i (Wm-2 sr-1 µm-1)
Q calmin = Nilai piksel minimum
Q calmax = Nilai piksel maksimum
Nilai-nilai diatas dapat dilihat pada lampiran 1.

5
Selanjutnya dari nilai spectral radiance kanal termal diperoleh nilai suhu
kecerahan (Brightness temperature). Kanal termal pada Landsat-5 TM yaitu band
6 dan pada Landsat 8 yaitu band 10 dan 11. Suhu kecerahan dapat diperoleh dengan
rumus (USGS 2013):
Tb =

l

K

α

+

Keterangan :
K1 band 10
K2 band 10
K1 band 11
K2 band 11
K1
K2

(5)
= 774.89 M-2 sr-1 µm-1
= 1321.08 K
= 480.89 M-2 sr-1 µm-1
= 1201.14 K (Landsat 8 OLI-TIRS)
= 607.76 Wm-2 sr-1 µm-1
= 1260.56 K (Landsat-5 TM)

Suhu permukaan merupakan suhu terluar dari suatu objek, pada objek
vegetasi suhu permukaan terdapat pada kanopi. Kanal yang digunakan untuk
mengestimasi suhu permukaan dari citra Landsat-5 TM yaitu band 6 dengan
panjang gelombang 10.45-12.42 m dan pada citra Landsat 8 yaitu band 10 dan 11
yang memiliki panjang gelombang 10.30 – 12.50 m. Suhu permukaan dapat dapat
diduga dari nilai suhu kecerahan (Artis and Carnahan 1982):
Tb
Ts =
(6)
Tb
1+



ln ε

Keterangan :
Ts
= Suhu permukaan (K)
Tb
= Suhu kecerahan (K)

= Panjang gelombang dari radiasi yang dipancarkan (11.5 µm)
∂*
= 1.438 x 10-2 Mk

= Emisivitas objek. Badan air = 0.98; RTH = 0.95; non RTH= 0.92
(Weng 2001)
*∂ didapat dari hc/ . h = konstanta Planck (6.26 x 10-34 J sec), c = kecepatan
cahaya (2.998 x 108 ms-1), dan = konstanta Boltzman (1.38 x 10-23 J K-1).
Menurut Lessard R (1994) banyaknya energi untuk memindahkan energi
panas dari permukaan ke udara dipengaruhi oleh suhu permukaan. Suhu permukaan
pada suatu objek mempengaruhi suhu udara di atasnya karena terjadi pemindahan
panas dari permukaan ke udara sehingga nilai suhu udara dapat diduga dari suhu
permukaan
T z, t = T̅ + A 0 e−z/ sin (ωt-z⁄D)
(7)
Keterangan:
T(0,t) = Suhu permukaan pada waktu tertentu (oC)
T(z,t) = Suhu udara pada ketinggian tertentu, waktu tertentu (oC)
A(0)
= Jarak suhu maksimum atau minimum terhadap suhu permukaan
rata-ratanya

ω
= Fluktuasi sudut getaran ( ) (s-1)

z
= Ketinggian objek (Kelapa sawit 2 tahun=2 m; 5 tahun=3.5 m dan
9 tahun=8 m)

6


D

= Damping depth (
. Kondisi udara diasumsikan tidak stabil

D=523.42 m. (Monteith dan Unsworth 1989) dan (Sellers 1965).

Perhitungan Komponen Neraca Energi dan Suhu Udara
Komponen neraca energi dihitung menggunakan nilai radiasi gelombang
pendek yang sampai ke permukaan bumi. Pendugaan radiasi gelombang pendek
menggunakan kanal tampak (visible band) yaitu band 1, 2, dan 3 untuk citra
Landsat-5 TM serta band 2, 3, dan 4 untuk citra Landsat 8 OLI-TIRS. Parameterparameter yang diduga untuk perhitungan neraca energi yaitu:
 =

π.L .d2

ESUσ .Cos θ

(8)

Keterangan:
α
= Albedo (unitless)
L
= Spectral radiance (Wm-2sr-1 m-1)
d
= Jarak astronomi bumi matahari (sr)
ESUN = Rataan nilai solar spectral irradiance band (Wm-2sr-1 m-1)
Cos Ө = Sudut zenith matahari (o)
Perhitungan jarak astronomi bumi matahari (d) dihitung dari tanggal akuisisi
citra berdasarkan Julian Day dengan rumus perhitungan sebagai berikut (Stull
2000):
t(9)
M =C
P

�=�
R

−�

+�.c



d= ̇
A
Keterangan:
C
=2π
t
=Jullian Day
=3 Januari
P
=365.25 hari
R
=Jarak astronomi matahari bumi (Gm)
a
=149.457 Gm
e
=0,0167
̇

=149.5978707 Gm
d
=Jarak astronomi matahari bumi (sr)

(10)

(11)

Radiasi gelombang pendek dapat diperoleh dari hasil pantulan radiasi
matahari oleh permukaan yang ditangkap citra satelit melalui perhitungan
penurunan nilai spectral radiance kanal cahaya tampak dengan rumus perhitungan
sebagai berikut:
1
Rs out = π×L ×d2 ×
(12)
band
Keterangan:
π
= Nilai phi (3.1428571428571428571428571428571)
L
= Spectral radiance (Wm-2sr-1 m-1)
2
d
= Jarak astronomi bumi matahari (sr)
1
= Nilai tengah kisaran panjang gelombang
band

7

Albedo menyatakan perbandingan antara radiasi surya yang dipantulkan
dengan radiasi surya yang datang. Perhitungan radiasi surya yang masuk dapat
dihitung dengan persamaan:
Rs out
Rs in=
(13)
α
Keterangan :
Rs in
= Radiasi gelombang pendek yang masuk (Wm-2)
Rs out
= Radiasi gelombang pendek yang keluar (Wm-2)
α
= Albedo permukaan (unitless)
Radiasi gelombang panjang yang keluar dapat diturunkan dari persamaan
Stefan-Boltzman yang menyatakan bahwa radiasi gelombang panjang yang
dipancarkan bumi sebanding dengan suhu permukaan bumi. Berikut persamaan
yang digunakan:
Rl Out = εσTs4
(14)
Keterangan:
Rl out = Radiasi gelombang panjang yang keluar (Wm-2)
ε
= Emisivitas objek
= Konstanta Stefan Boltzman (5.67 x 10-8 Wm-2 K-4)
Ts
= Nilai suhu permukaan (K)
Radisi gelombang panjang yang masuk ditentukan oleh emisivitas udara,
suhu udara dan keawanan (Swinbank 1963):
Rl In = εa Ta4 0.7(1+0.17N2)
(15)
Keterangan:
Rl In
= Radiasi gelombang panjang yang dipancarkan atmosfer
εa
= Emisivitas udara (0.938 x 10-5 Ta2 K-2)
N
= Faktor keawanan (%), pada kondisi cerah diasumsikan nol
Ta
= Suhu udara yang diduga dari suhu permukaan (Persamaan 7)
Radiasi netto merupakan selisih antara gelombang pendek dan gelombang
panjang yang datang ke permukaan bumi dengan gelombang pendek dan
gelombang panjang yang keluar dari permukaan bumi. Berikut persamaan yang
digunakan:
Rn = Rs In – Rs Out + RL In – RL Out
(16)
Keterangan:
Rs In
= Radiasi gelombang pendek yang masuk (Wm-2)
Rs Out = Radiasi gelombang pendek yang keluar (Wm-2)
RL In = Radiasi gelombang panjang yang masuk (Wm-2)
RL Out = Radiasi gelombang panjang yang keluar (Wm-2)
Jumlah radiasi netto yang diterima/ diserap oleh permukaan kemudian
digunakan sebagai energi untuk memindahkan panas dari permukaan ke dalam
tanah (G), energi untuk memindahkan panas dari permukaan ke udara (H), energi
untuk laten penguapan (LE) dan sisanya digunakan untuk simpanan (∆S). Menurut
Seller (1λ65) nilai ∆S sangat kecil sehingga dapat diabaikan.
Fluks bahang tanah (soil heat flux) merupakan fluks bahang dari atau ke
permukaan tanah. Pada perkebunan kelapa sawit, nilai fluks bahang tanah

8
mempunyai proporsi terhadap radiasi netto yang berbeda-beda pada setiap
kelompok umur. Proporsi G pada perkebunan sawit untuk umur 1-3 tahun adalah
0.16, umur 4-8 tahun adalah 0.118 dan untuk umur lebih dari 10 tahun dalah 0.049.
Nilai proporsi tersebut diperoleh dari penelitian yang dilakukan di lapang. Berikut
persamaan yang digunakan:
G = Rn ∗ Prαβαrsi
(17)

Penelitian ini juga menghitung nilai G menurut persamaan Allen et al (2001)
yang menyatakan bahwa fluks bahang tanah (soil heat flux, G) sebagai fungsi dari
radiasi netto, suhu permukaan, albedo, dan NDVI.
T
= (0.0038 α + 0.0074 α (1-0.98 NDVI4)
(18)
R
Keterangan:
Rn
= Radiasi netto (Wm-2)
Ts
= Suhu permukaan (oC)
α
= Albedo permukaan
NDVI = Normalized Difference Vegetation Index

Perhitungan fluks bahang terasa (sensible heat flux) menggunakan
pendekatan nilai Bowen ratio. Bowen ratio (β) yang digunakan pada perkebunan
sawit untuk umur 1-3 tahun adalah 0.41, umur 4-8 tahun adalah 0.34 dan untuk
umur lebih dari 10 tahun dalah 0.25. Nilai Bowen ratio tersebut diperoleh dari
penelitian yang dilakukan di lapang. Berikut persamaan yang digunakan:
R −
H=
(19)


Keterangan:
β
= Bowen ratio
Rn = Radiasi netto (Wm-2)
G
= Soil heat flux (Wm-2)

Radiasi netto yang diterima permukaan juga digunakan untuk proses
evapotranspirasi yaitu Latent Heat Evapotranspiration (LE). Nilai fluks laten
penguapan dapat dihitung dari persamaan neraca energi yang mengabaikan energi
untuk fotosinesis/ simpanan. Persamaan matematis yang digunakan menjadi :
LE = Rn − G − H
(20)

Suhu udara adalah ukuran energi kinetik rata – rata dari pergerakan molekulmolekul. Suhu udara (Ta) dapat diduga dari nilai sensible heat flux (Montheith dan
Unsworth 1990) dengan persamaan berikut:
Ta = T − (ρ

aH

air

p

)

(21)

Keterangan:
Ts
= Suhu permukaan (K)
rAh
=Tahanan aerodinamik (31.9 u-0.96 sm-1); u pada kelapa sawit 2
tahun=1.56 ms-1, 5 tahun=1.40 ms-1, 9 tahun=1.18 ms-1 dan
vegetasi=1.41 ms-1

9
ρair
Cp

= Kerapatan udara lembab (1.27 Kgm-3)
= Panas spesifik udara pada tekanan konstan (1004 J Kg-1 K-1)

Gambar 2 Diagram alir langkah penelitian

10

HASIL DAN PEMBAHASAN
Profil Wilayah Kajian
Pengelolaan kelapa sawit di Indonesia dilakukan oleh tiga kelompok besar
yaitu perkebunan besar swasta, perkebunan milik negara (PTPN) dan perkebunan
milik masyarakat. Pengelolaan kelapa sawit oleh negara dipegang oleh PT
Perkebunan Nusantara VIIII yang berada di bawah naungan Badan Usaha Milik
Negara (BUMN). Perkebunan kelapa sawit afdeling II Cimulang merupakan bagian
dari PT Perkebunan Nusantara VIII Cikasungka yang terletak di Desa Cimulang,
Kecamatan Rancabungur, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Secara geografis,
PTPN VIII afdeling II Cimulang terletak pada koordinat 106o 42’ 00” – 106o 44’
00’’ BT dan 06o 2λ’ 30” - 06o 32’ 30” LS. Luas areal kelapa sawit milik PTPN VIII
afdeling Cimulang saat ini sekitar 527,179 ha yang terbagi menjadi tiga blok
berdasarkan tahun tanamnya. Tanaman sawit tahun tanam 2003 seluas 115,560 ha,
tahun tanam 2004 seluas 189,750 ha dan tahun tanam 2005 seluas 198,880 ha.
Sebelum tahun 2003, lokasi tersebut merupakan perkebunan karet, kemudian
diganti menjadi tanaman kelapa sawit yang mempunyai potensi hasil yang lebih
menguntungkan.

Gambar 3 Peta wilayah kajian
Kondisi iklim dan curah hujan pada PT. Perkebunan Nusantara VIII
Cimulang cocok untuk pertumbuhan kelapa sawit yaitu beriklim basah dengan
bulan kering tidak lebih dari tiga bulan, curah hujan rata-rata pertahun di atas 3000
mm dan lama matahari bersinar sekitar 5-7 jam per hari. Beberapa blok berada di
atas kondisi tanah berbukit-bukit yang menyebabkan sinar matahari yang jatuh
tidak merata (Agrianti 2012).

11
Kenampakan Tutupan Lahan Secara Spasial
Kenampakan spasial tutupan lahan pada perkebunan kelapa sawit dilakukan
dengan membuat komposit citra dari band RGB (Red Green Blue) sehingga
diperoleh kenampakan alaminya. Hasil komposit band RGB memperlihatkan
tutupan lahan berwarna hijau yang menggambarkan vegetasi, analisis kenampakan
tutupan lahan ini dimanfaatkan untuk memantau pertumbuhan dan perubahan fisik
kelapa sawit dari citra satelit.
Gambar 3a berwarna hijau terang menunjukkan kerapatan kanopi masih
rendah dan terdapat warna merah indikasi adanya tanah terbuka atau belum
ditanami kelapa sawit. Adapun pada gambar 3b warna hijau hampir menutupi
seluruh wilayah kajian dimana pertumbuhan tajuk tanaman mulai rapat pada
tanaman sawit berumur 4-6 tahun. Selanjutnya pada gambar 3c kenampakan
tutupan lahan terlihat hijau gelap. Hal tersebut dikarenakan kerapatan kanopi
tanaman kelapa sawit semakin rapat. Selain itu, perbedaan intensitas warna hijau
pada masing-masing gambar menunjukkan adanya tanaman kelapa sawit dengan
umur yang berbeda-beda. Kelapa sawit dengan umur yang lebih tua terdapat pada
blok sebelah barat dan tanaman yang lebih muda berada di blok sebelah timur, utara
dan selatan. Perbedaan kenampakan tutupan lahan pada tahun pengamatan
ditampilkan pada gambar berikut.

(a)

(b)

(c)

Gambar 4 Citra Landsat dengan komposit RGB
NDVI dan fAPAR
Pendugaan NDVI pada tanaman kelapa sawit menggunakan citra Landsat
memakai band NIR dan band merah seperti pendugaan NDVI pada vegetasi lainnya.
Menurut McMorrow (2001) struktur tanaman kelapa sawit mempunyai kemiripan
dengan hutan sehingga citra Landsat juga dapat digunakan untuk menduga NDVI
kelapa sawit. Nilai NDVI menunjukkan indeks kerapatan pada vegetasi, hasil
pengolahan NDVI pada penelitian ini menunjukkan ada kaitan NDVI dengan umur
tanaman kelapa sawit yaitu jika tanaman sawit semakin dewasa maka nilai NDVI
juga semakin besar disebabkan tajuk tanaman yang semakin rapat. Nilai NDVI
perkebunan sawit umur 2, 5 dan 9 tahun berturut-turut adalah 0.43, 0.45, dan 0.58
sehingga dapat mengindikasikan bahwa NDVI akan meningkat dengan
meningkatnya umur tanaman.
Tabel 1 menunjukkan bahwa nilai NDVI pada kelapa sawit umur 2 tahun
lebih kecil dibandingkan kelapa sawit umur 5 dan 9 tahun karena kerapatan tajuk
kelapa sawit saat umur 2 tahun masih rendah. Kondisi vegetasi pada perkebunan

12
sawit 9 tahun dan Hutan Harapan mampu memantulkan radiasi gelombang NIR
yang lebih banyak dibandingkan gelombang merah sehingga nilai NDVI pada
tutupan lahan tersebut bernilai tinggi yaitu bernilai lebih dari 0.5.
Indeks fAPAR menunjukkan ukuran besarnya fraksi penyerapan radiasi
matahari pada panjang gelombang 400-700 nm. Nilai fAPAR yang paling tinggi
terdapat pada perkebunan sawit umur 9 tahun dan Hutan Harapan. Hal tersebut
menunjukkan bahwa kanopi vegetasi yang terdapat pada kedua jenis tutupan lahan
tersebut mempunyai kapasitas absorbsi yang besar. Nilai fAPAR pada perkebunan
sawit 2 tahun dan 5 tahun lebih rendah dibandingkan perkebunan sawit 9 tahun dan
Hutan Harapan menunjukkan bahwa semakin dewasa tanaman maka kapasitas
absorbsi radiasi mataharinya semakin tinggi.
Tabel 1 Nilai NDVI dan fAPAR untuk kelapa sawit dan hutan
Parameter
NDVI*)
Fapar

Wilayah Kajian
Perkebunan sawit
2 tahun
5 tahun
9 tahun
0.43
0.45
0.58
0.78
0.75
0.83

Hutan Harapan
0.52
0.92

*)

Data Landsat 5-TM (band 3 dan 4) dan data Landsat 8 (band 4 dan 5)
**)Persamaan yang digunakan untuk perkebunan kelapa sawit dan hutan berbeda

Suhu Permukaan dan Suhu Udara
Tabel 2 Suhu permukaan dan suhu udara pada wilayah kajian
Parameter
Ts*)
Ta

Wilayah Kajian
Perkebunan sawit
2 tahun
5 tahun
9 tahun
32.3
32.7
30.8
30.1
29.4
28.5

Hutan Harapan
27.7
25.8

*)

�= 10.45-12.42 µm (Band 6 dari Landsat 5)
�= 10.30-12.50 µm (Band 10 dan 11 dari Landsat 8)

Suhu permukaan merupakan suhu terluar dari suatu objek, pada objek
vegetasi suhu permukaan terdapat pada kanopi. Kanal yang digunakan untuk
mengestimasi suhu permukaan dari citra Landsat 5 TM yaitu band 6 dengan panjang
gelombang 10.45-12.42 m dan pada citra Landsat 8 yaitu band 10 dan 11 yang
memiliki panjang gelombang 10.30–12.50. Kanal termal digunakan karena dapat
digunakan untuk mendektesi gejala alam yang berhubungan dengan panas.
Suhu permukaan dan suhu udara mengalami penurunan dari perkebunan
kelapa sawit yang berumur muda menuju perkebunan kelapa sawit yang berumur
dewasa (Tabel 2). Suhu udara menurun seiring dengan pertumbuhan dan
perkembangan kelapa sawit sehingga dapat diindikasikan bahwa suhu lingkungan
akan berubah menjadi lebih panas jika dilakukan konversi dari hutan menjadi
kelapa sawit, namun suhu lingkungan akan kembali menurun saat kelapa sawit
semakin dewasa. Suhu udara yang lebih tinggi pada tanaman kelapa sawit yang
masih muda disebabkan oleh pemanasan udara yang terjadi lebih besar

13
dibandingkan pada tanaman kelapa sawit yang telah dewasa. Pada tanaman sawit
umur dewasa, energi yang diserap banyak digunakan untuk laten penguapan
dibandingkan untuk pemanasan udara. Suhu udara yang rendah pada perkebunan
kelapa sawit dan hutan disebabkan oleh kerapatan vegetasi yang tinggi. Kerapatan
vegetasi yang tinggi pada suatu jenis tutupan lahan dapat menyebabkan suhu udara
yang lebih rendah dibanding tutupan lahan lainnya.
Nilai suhu permukaan hasil ekstraksi data citra Landsat pada perkebunan
sawit umur 2, 5 dan 9 tahun berturut-turut yaitu 32.3oC, 32.7oC, dan 30.8oC. Adapun
suhu permukaan pada Hutan Harapan sebesar 27.7oC. Hal ini menunjukkan bahwa
pada saat masih muda perkebunan kelapa sawit memiliki suhu permukaan yang
tinggi karena kondisi vegetasi yang masih kecil kemudian seiring bertambahnya
umur kelapa sawit maka kondisi vegetasi semakin hijau dan besar sehingga suhu
permukaan pada perkebunan kelapa sawit akan menurun. Meski demikian suhu
permukaan pada perkebunan sawit yang telah dewasa masih belum sama dengan
vegetasi hutan. Perkebunan kelapa sawit umur 5 tahun lebih tinggi dibandingkan
dengan perkebunan sawit umur 2 tahun. Hal tersebut disebabkan oleh tanggal
akuisisi data citra. Data citra perkebunan sawit umur 5 tahun adalah data citra
dengan tanggal akuisisi 2 November, matahari berada pada wilayah tropis bagian
selatan sehingga radiasi yang datang lebih besar dibandingkan data citra yang
diambil pada bulan Juli saat matahari berada di daerah sub tropis. Suhu permukaan
salah satunya bisa dipengaruhi oleh perbedaan radiasi matahari yang ditangkap oleh
citra (Weng et al 2001).
36
35

Ts (oC)

34
33

32,7
32,3

32
31

30,8
30
29
2 Tahun

5 Tahun
Perkebunan Sawit

9 Tahun

Gambar 5 Distribusi suhu permukaan perkebunan kelapa sawit
Sebaran data yang besar pada perkebunan sawit 2 tahun menunjukkan bahwa
terdapat peningkatan suhu dari suhu rata-ratanya akibat perubahan lahan, kondisi
sawit yang masih kecil serta masih terdapat permukaan tanah yang terbuka
mengakibatkan ada nilai suhu maksimum yang jauh lebih tinggi dibandingkan nilai
rata-ratanya. Kemudian pada perkebunan sawit 5 tahun, sebaran data juga tidak
berbeda jauh dibandingkan sawit 2 tahun disebabkan kondisi tanaman sawit yang
masih muda dan permukaan yang belum tertutup rapat kanopi sehingga nilai suhu
permukaannya belum stabil. Sedangkan pada sawit 9 tahun, sebaran datanya kecil

14
menunjukkan nilai suhu pada perkebunan sawit 9 tahun bisa disebut hampir
homogen. Hal tersebut disebabkan oleh kondisi perkebunan yang sudah rapat oleh
tanaman sawit dewasa dan kondisi tanaman sawit yang hampir seragam.
Albedo dan Komponen Neraca Energi
Albedo menyatakan perbandingan antara radiasi surya yang dipantulkan
dengan radiasi surya yang datang. Menurut Dobos (2003) nilai albedo dipengaruhi
oleh sudut datang matahari, karakter permukaan serta kerapatan vegetasi wilayah.
Rata-rata nilai albedo perkebunan sawit umur 2, 5, dan 9 tahun berturut-turut yaitu
0.11, 0.09, dan 0.08. Nilai albedo pada Hutan Harapan sama besarnya dengan nilai
albedo pada perkebunan sawit umur 9 tahun yaitu sebesar 0.08. Pada perkebunan
sawit yang lebih tua dan wilayah hutan, radiasi yang datang banyak tertahan
diantara celah kanopi sehingga radiasi yang dipantulkan menjadi lebih sedikit
sehingga nilai albedo semakin rendah pada perkebunan sawit tua dan hutan. Albedo
permukaan sangat dipengaruhi oleh kerapatan vegetasi, wilayah dengan kerapatan
vegetasi tinggi memiliki nilai albedo yang rendah. Perkebunan dan hutan memiliki
kerapatan vegetasi yang tinggi sehingga nilai albedo pada jenis tutupan lahan
tersebut bernilai kecil.
Tabel 3 Nilai albedo dan radiasi gelombang pendek pada perkebunan sawit
Parameter
Albedo (unitless)
Rs In (Wm-2)
Rs Out (Wm-2)
*)

Wilayah Kajian
Perkebunan sawit
Hutan Harapan
2 tahun 5 tahun
9 tahun
0.11
0.09
0.08
0.08
733
888
745
793
83
80
57
65

�= 0.452-0.693 µm (Band 1,2,3 dari Landsat 5)
�= 0.450-0.680 µm (Band 2,3,4 dari Landsat 8)

Komponen neraca energi dihitung menggunakan nilai radiasi gelombang
pendek yang sampai ke permukaan bumi. Radiasi matahari yang datang
mempengaruhi komponen neraca energi lainnya. Nilai Rs In pada perkebunan
kelapa sawit tahun umur 2, 5 dan 9 tahun berturut-turut adalah 733 Wm-2, 888 Wm2
dan 745 Wm-2, sedangkan radiasi yang masuk ke dalam wilayah Hutan Harapan
sebesar 793 Wm-2. Nilai radiasi yang datang pada tahun 2009 (perkebunan 5 tahun)
lebih besar dibandingkan nilai radiasi yang datang pada tahun 2006 dengan sudut
elevasi 47.39o dan tahun 2013 dengan sudut elevasi 49.15o. Hal tersebut dapat
dimungkinkan karena perbedaan tanggal akuisisi citra. Data citra tahun 2009
diambil pada tanggal 2 November dengan sudut elevasi 63.13o dimana saat itu
matahari berada pada wilayah tropis bagian selatan sehingga radiasi yang datang
lebih besar dibandingkan data citra yang diambil pada bulan Juli saat matahari
berada di daerah sub tropis. Menurut Khomaruddin et al (2005) jumlah radiasi surya
yang diterima oleh suatu permukaan dipengaruhi oleh letak lintang, tanggal pada
saat penerimaan radiasi surya, sudut datang matahari dan faktor keawanan. Jumlah
radiasi gelombang pendek yang keluar (Rs Out) dipengaruhi oleh albedo
permukaannya, nilai Rs Out yang rendah terdapat pada perkebunan sawit 9 tahun

15
sebesar 57 Wm-2 dan Hutan Harapan sebesar 65 Wm-2. Permukaan dengan
kerapatan vegetasi yang lebih rapat akan memantulkan radiasi yang lebih rendah
dibandingkan permukaan dengan kerapatan kanopi yang kurang rapat.
Tabel 4 Nilai radiasi gelombang panjang pada perkebunan sawit
Parameter
Rl In (Wm-2)
Rl Out (Wm-2)
*)

Wilayah Kajian
Perkebunan Sawit
Hutan Harapan
2 tahun
5 tahun
9 tahun
321
318
309
312
468
470
461
444

Dipengaruhi oleh emisivitas dan suhu udara
�= 10.45-12.42 µm (Band 6 dari Landsat 5)
�= 10.30-12.50 µm (Band 10 dan 11 dari Landsat 8)

**)

Radiasi gelombang panjang yang keluar dari bumi (Rl Out) dipengaruhi
oleh suhu permukaan. Rl Out yang dipancarkan permukaan pada perkebunan sawit
umur 5 tahun lebih besar dibandingkan perkebunan sawit umur 2 tahun, 9 tahun dan
Hutan Harapan. Hal ini dikarenakan suhu permukaan pada perkebunan sawit umur
5 tahun merupakan hasil ekstraksi data citra tahun 2009 yang mempunyai
perbedaan tanggal akuisisi citra dibandingkan dengan data 2 tahun lainnya. Radiasi
gelombang panjang yang diterima (Rl In) dipengaruhi oleh suhu udara dan kondisi
keawanan. Suhu udara yang digunakan merupakan hasil pendugaan dari suhu
permukaan, sedangkan untuk kondisi keawanan diasumsikan cerah.
Neraca Energi
Komponen Neraca Energi
Tabel 5 Rasio radiasi netto terhadap Rs In
Parameter
Proporsi Rn terhadap Rs In

Wilayah Kajian
Perkebunan sawit
Hutan Harapan
2 tahun
5 tahun 9 tahun
0.69
0.74
0.72
0.75

Nilai radiasi netto (Rn) pada tahun 2009 lebih besar dibanding tahun 2006
dan 2013 karena penerimaan radiasi gelombang pendek (Rs In) pada tahun 2009
lebih besar yang disebabkan oleh perbedaan tanggal akuisisi citra. Perbedaan
tanggal akuisisi citra ini menimbulkan perbedaan jarak bumi-matahari sehingga
menimbulkan perbedaan Rs In. Berdasarkan hal tersebut perlu dilakukan analisis
proporsi Rn terhadap Rs In pada masing-masing data untuk mendapatkan kondisi
Rn yang sesuai. Hasil rasio menunjukkan bahwa proporsi Rn yang diterima oleh
perkebunan sawit cenderung meningkat seiring bertambahnya umur tanaman sawit.
Kondisi ini dipengaruhi oleh kerapatan vegetasi yang semakin rapat seiring
bertambahnya umur tanaman. Selain itu, proporsi Rn terhadap Rs In pada Hutan
Harapan memiliki nilai yang tinggi seperti pada perkebunan sawit umur 9 tahun.
Hal ini dapat dikarenakan kerapatan vegetasi pada kedua wilayah tersebut hampir
sama.

16
Neraca energi didefinisikan sebagai jumlah radiasi netto yang diterima/
diserap oleh permukaan kemudian digunakan sebagai energi untuk memindahkan
panas dari permukaan ke dalam tanah (soil heat flux) (G), energi untuk
memindahkan panas dari permukaan ke udara (sensible heat flux) (H), energi untuk
laten penguapan (LE) dan sisanya digunakan untuk fotosintesis/ simpanan (∆S),
Sellers (1λ65) menyatakan bahwa nilai ∆S sangat kecil sehingga dapat diabaikan.
Menurut Khomaruddin (2005) jenis tutupan lahan akan menentukan pembagian
proporsi neraca energi. Pada penelitian ini, proporsi fluks penguapan tanah untuk
tanaman sawit umur 2 tahun sebesar 16% dari Rn, sedangkan untuk sawit berumur
5 dan 9 tahun sebesar 11.8% dan 4.9% dari Rn. Adapun nilai bowen ratio yang
digunakan untuk perhitungan fluks bahang terasa tergantung umur tanaman kelapa
sawit yang dipengaruhi oleh kondisi lahan dan kerapatan vegetasinya. Nilai bowen
ratio untuk kelapa sawit muda umur 1-3 tahun, umur 4-8 tahun dan umur > 8 tahun
berturut-turut yaitu 0.41, 0.34 dan 0.25. Nilai bowen ratio pada tanaman sawit yang
lebih tua memiliki nilai lebih kecil. Hal ini menunjukan bahwa proporsi energi yang
digunakan untuk laten penguapan lebih besar dibandingkan energi yang digunakan
untuk memanaskan udara di atasnya. Begitupula sebaliknya, tanaman kelapa sawit
yang lebih muda memiliki proporsi energi yang diterima lebih banyak digunakan
untuk memanaskan udara di atasnya dibandingkan energi yang digunakan untuk
laten penguapan.
Tabel 6 Distribusi komponen neraca energi untuk kelapa sawit
Parameter
Rn (Wm-2)
G (Wm-2)
H (Wm-2)
LE (Wm-2)

Wilayah Kajian
Perkebunan sawit
Hutan Harapan
2 tahun
5 tahun
9 tahun
503
656
535
596
81
77
26
60
123
147
102
133
299
432
407
403

Tabel 6 menunjukkan bahwa tanaman kelapa sawit umur 2 tahun memiliki
fluks pemanasan udara yang lebih tinggi dibandingkan dengan tanaman umur 9
tahun, sedangkan fluks laten (LE) yang lebih rendah pada tanaman umur 2 tahun.
Hal ini disebabkan oleh konduktivitas termal vegetasi dan gelombang pantul yang
lebih tinggi pada perkebunan sawit yang masih muda. Kondisi sebaliknya pada
tanaman sawit yang lebih tua memiliki konduktivitas termal vegetasi dan
gelombang pantul yang rendah sehingga energi yang sampai di permukaan vegetasi
akan lebih banyak digunakan untuk laten penguapan dan sedikit yang digunakan
untuk pemanasan udara di atas kanopi.
Perbandingan Fluks Bahang Tanah
Perbedaan suhu permukaan dengan suhu tanah pada kedalaman tertentu serta
konduktivitas termal tanah akan mempengaruhi fluks pemanasan tanah (G).
Penelitian ini membandingkan hasil fluks pemanasan tanah yang diperoleh dari
pengukuran suhu tanah di lapang dengan hasil dari data citra yang dihitung
menggunakan persamaan Allen et al (2001). Analisis dilakukan dengan melihat
nilai proporsi G. Proporsi nilai G hasil pengukuran di lapang dan data citra memiliki

17
hubungan berbanding terbalik dengan umur sawit (Tabel 6). Hasil tersebut
menggambarkan bahwa semakin bertambahnya umur sawit maka penggunaan
energi untuk fluks bahang tanah akan semakin berkurang. Begitu pula pada
tanaman yang masih muda, energi lebih banyak digunakan untuk memindahkan
panas dari atau ke dalam tanah. Selain itu, proporsi G terhadap Rn pada Hutan
Harapan hasil pengukuran FAO dan data citra memiliki nilai yang hampir sama.
Proporsi nilai G yang diperoleh dari data citra cenderung lebih besar dibandingkan
dengan hasil dari lapang. Hal ini disebabkan pada data citra, nilai suhu permukaan
(Ts) yang digunakan merupakan nilai suhu terluar vegetasi yang ditangkap oleh
citra, sedangkan penelitian lapang menggunakan suhu permukaan tanah yang
diperoleh dari pengukuran.
Tabel 7 Proporsi G hasil pengukuran lapang dan persamaan Allen et al (2001)
Areal
Perkebunan
Sawit
Hutan Harapan
*)

Umur
(tahun)
2
5
9

Proporsi G dari Radiasi netto
Hasil pengukuran
Persamaan Allen et
lapang
al (2001)
0.160
0.145
0.118
0.140
0.049
0.122
0.100*)
0.116

Sumber: FAO (1998)

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Nilai NDVI perkebunan sawit umur 2, 5, dan 9 tahun berturut-turut adalah
0.43, 0.45, dan 0.58, sehingga dapat diindikasikan bahwa NDVI akan meningkat
dengan meningkatnya umur tanaman. Tanaman sawit muda memiliki nilai albedo
yang lebih tinggi dibandingkan dengan tanaman sawit dewasa disebabkan oleh
permukaan perkebunan kelapa sawit dewasa lebih sedikit memantulkan radiasi
gelombang pendek dan kerapatan vegetasinya tinggi. Selanjutnya fluks bahang
terasa akan menurun seiring pertumbuhan kelapa sawit sedangkan fluks laten
penguapan akan meningkat. Perkebunan kelapa sawit muda memiliki suhu
permukaan dan suhu udara yang lebih besar serta fluks bahang terasa yang tinggi
tetapi setelah kelapa sawit mencapai umur dewasa suhu permukaan dan suhu udara
serta fluks bahang terasa menjadi lebih rendah karena kerapatan vegetasinya tinggi.
Hasil-hasil tersebut menunjukkan bahwa kondisi antara perkebunan sawit yang
telah dewasa (9 tahun) dan Hutan Harapan relatif sama.

Saran
Penelitian dapat dilanjutkan pada areal perkebunan kelapa sawit yang lebih
luas serta dapat dikaitkan dengan data iklim wilayah setempat

18

DAFTAR PUSTAKA
Agrianti S. 2012. Identifikasi kenampakan kelapa sawit dan produktivitasnya
melalui sistem informasi geografis (studi kasus PT. Perkebunan Nusantara VIII
Cimulang, Bogor) [skripsi]. Bogor : Institut Pertanian Bogor.
Allen, R.G., Morse, A., Tasumi., Bastiaansen, W., Kramber, W., and Anderson, H.
2001. Evapotranspiration from Landsat (SEBAL) for Water Right Managment
and Compliance with Multi-State water Compact. University of Idaho Kimberly,
ID 8331.
Artis DA and Carnahan WH. 1982. Survey of emissivity variability in
thermography of urban areas. J Remote Sens. Environ. 12: 313-329.
Aswandi Y. 2012. Pemanfaatan citra Landsat 7 untuk estimasi umur tanaman
kelapa sawit (studi kasus DI PTPN VIII Cisalak Baru, Banten) [skripsi]. Bogor :
Institut Pertanian Bogor.
Chander G, Markham BL, Helder DL. 2009. Summary of current radiometric
calibration coefficients for Landsat MSS, TM, ETM+ and EO-1 ALI sensors. J
Remote Sens. Environ. 113(2009):893–903. doi:10.1016/j.rse.2009.01. 007.
[Ditjenbun] Direktorat Jendral Perkebunan Kementrian Pertanian. 2013. Luas areal
kelapa sawit Indonesia. [Internet]. [diunduh 2014 Maret 30]. Tersedia pada:
http:// deptan.go.id/infoeksekutif/bun/isi_dt5thn_bun.php.
Dobos E. 2003. Albedo. Encyclopedia of Soil Science. doi:10.1081/E-ESS
120014334.
Food and Agriculture Organization (FAO). 1998. Crop evapotranspiration –
Guidelines for computing crop water requirements – FAO Irrigation and
drainage paper 56. FAO - Food and Agriculture Organization of the United
Nations. Rome.
[FAO] Food and Agriculture Organisation of the United Nations. 2011. Top Ten
commodities-Export quantity. [Internet]. [diunduh 2014 Maret 30]. Tersedia
pada: http://faostat.fao.org/site/342/default.aspx.
[FAO] Food and Agriculture Organisation of the United Nations. 2012. Export data:
Countries by comodity. [Internet]. [diunduh 2014 Maret 30]. Tersedia
pada:http://faostat.fao.org/site/339/default.aspx.
Gerritsma W. 1988. Light interception, leaf photosynthesis and sink-source
relations
in
oil
palm
[Disertasi].
Waginingen
Agricultural
UniversityWaginingen.
Jensen J. 2000. Remote Sensing of the Environment : An Earth Resource
Perspective. New Jersey (US) : Prentice Hall.
Kanniah KD, Tan Kian Pang, Cracknell AP. 2012. UK-DMC 2 Satellite Data For
Deriving Biophysical Parameters of Oil Palm Trees in Malaysia. Journal IEEE
978-1-4673-1159-5/12/$31.00.
Khomaruddin MR, Bey A, Risdiyanto I. 2005. Identifikasi neraca energi di
beberapa penggunaan lahan untuk deteksi daerah potensi kekeringan di
Surabaya, Gersik dan Sidoarjo. Pertemuan Ilmiah Tahunan Mapin XIV.
Lillesand TM dan Kiefer WR. 1997. Penginderaan Jauh dan Interpretasi Citra.
Dulbahri, Prapto Suharsono, Hartono, Suharyadi, penerjemah. Yogyakarta (ID):
Gajah Mada University Pr.

19
McMorrow J. 2001. Linear regression modelling for the estimation of oil palm age
from Landat TM. Int. Journal of Remote Sensing, 2001, Vol. 22, page:22352264.
Monteith JL and Unsworth MH. 1990. Principles of Environmental Physics. 2nd
ed. London: Edward Arnold.
Saputra HE. 2012. Analisis potensi ketersedian air di perkebunan kelapa sawit
menggunakan sistem informasi geografis (studi kasus di PT. Perkebunan
Nusantara VIII Cimulang, Bogor) [skripsi]. Bogor : Institut Pertanian Bogor.
Sellers W.D. 1965. Physical Climatology. The University of Chicago Press,
Chicago 60637.
Simanjuntak LY. 2011. Analisis cadangan karbon pada perkebunan kelapa sawit
menggunakan citra satelit Landsat (studi kasus : perkebunan sawit di Kec. Hanau
dan Danau Sembuluh, Kalimantan Tengah) [skripsi]. Bogor : Institut Pertanian
Bogor.
Stull R. 2000. Meteorology for Scientist and Engineers Second Edition. United
States of America: Brooks/ Cole Thomson Learning.
Twele A, Erasmi S dan Martin K. 2006. Estimation Leaf Area Indexunder Dense
Kanopi Conditionsusing Hemispherical Photographyand Optical Earth
Observation Data: Prediction Capabilities of Spectral Indices and Artifical
Neural Networks. Gottingen : Workshop STORMA.
[USGS] United State Geological Survey. 2013. Landsat 7 science data users
handbook [Internet]. [diu