Resiliensi Komunitas Petani Padi Sawah dalam Menghadapi Serangan Hama di Dusun Bengle, Kabupaten Karawang

RESILIENSI KOMUNITAS PETANI PADI SAWAH DALAM
MENGHADAPI SERANGAN HAMA DI DUSUN BENGLE,
KABUPATEN KARAWANG

RENITA INTAN CAHYANI

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Resiliensi Komunitas
Petani Padi Sawah dalam Menghadapi Serangan Hama di Dusun Bengle,
Kabupaten Karawang adalah benar karya saya dengan arahan pembimbing dan
belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Januari 2015

Renita Intan Cahyani

ABSTRAK
RENITA INTAN CAHYANI. Resiliensi Komunitas Petani Padi Sawah
dalam Menghadapi Serangan Hama di Dusun Bengle, Kabupaten Karawang.
Dibimbing oleh NURMALA K. PANDJAITAN.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis bentuk adaptasi dan faktorfaktor yang mempengaruhi resiliensi komunitas petani padi sawah dalam
menghadapi serangan hama di Dusun Bengle. Resiliensi komunitas petani padi
sawah dilihat dari bentuk adaptasi yang dilakukan oleh petani padi sawah baik
respon jangka pendek maupun respon jangka panjang dan perubahan pada kualitas
hidup petani padi sawah sebelum dan sesudah serangan hama. Penelitian ini
menggunakan pendekatan kuantitatif dengan kuesioner didukung oleh data
kualitatif dari wawancara mendalam dan observasi partisipatif. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa terdapat adaptasi yang dilakukan petani padi sawah dalam
mekanisme resiliensi komunitas menghadapi serangan hama berupa respon jangka
pendek dan jangka panjang. Faktor-faktor yang mempengaruhi resiliensi

komunitas terdiri atas kepemimpinan, kohesivitas dan sumberdaya dan
keterampilan yang merupakan faktor yang berasal dari dalam diri komunitas.
Faktor eksternal berupa bantuan tidak mempengaruhi resiliensi komunitas.
Kata kunci: resiliensi komunitas, adaptasi, komunitas petani padi sawah
ABSTRACT
RENITA INTAN CAHYANI. Community resilience of rice farmers
community in the face of pests in Dusun Bengle, Karawang. Supervised by
NURMALA K. PANDJAITAN.
This research aimed to analyze the form of adaptation and the factors that
affect community resilience of rice farmers community to face pests in the village
Bengle. Community Resilience of rice farmers community point of view from the
adaptations made by rice farmers community both short-term response and longterm responses and changes in quality of life of rice farmers community before
and after the attack of pests. This research was conducted using a quantitative
approach by questionnaire supported by qualitative data from in-depth interviews
and participant observation. The results of this study indicate that there are
adaptations made by rice farmers community in community resilience in the face
of pests such as short-term response and long term. Factors that influence the
resilience of the community consists of leadership, cohesiveness and resources
and skills as a factor that comes from within the community. External factors such
as support does not affect the community resilience.

Keywords: community resilience, adaptation, rice farmers community

RESILIENSI KOMUNITAS PETANI PADI SAWAH DALAM
MENGHADAPI SERANGAN HAMA DI DUSUN BENGLE,
KABUPATEN KARAWANG

RENITA INTAN CAHYANI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
pada
Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan
Masyarakat

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015


Judul Skripsi : Resiliensi Komunitas Petani Padi Sawah dalam
Menghadapi Serangan Hama di Dusun Bengle, Kabupaten
Karawang
Nama
: Renita Intan Cahyani
NIM
: I34110024

Disetujui oleh

Dr Nurmala K. Pandjaitan, MS.DEA
Dosen Pembimbing

Diketahui oleh

Dr Ir Siti Amanah, MSc
Ketua Departemen

Tanggal Lulus:


PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan
anugerah-Nya serta kesempatan sehingga laporan skripsi yang berjudul Resiliensi
Komunitas Petani Padi Sawah dalam Menghadapi Serangan Hama di Dusun
Bengle dapat terselesaikan dengan baik. Laporan skripsi ini ditujukan untuk
mendapat gelar Sarjana Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada
Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi
Manusia, Institut Pertanian Bogor.
Penulis menyadari bahwa laporan skripsi ini dapat terselesaikan dengan
baik karena bimbingan, dukungan dan bantuan dari berbagai pihak. Penulis
mengucapkan terimakasih kepada Ibu Dr Nurmala K. Pandjaitan, MS.DEA selaku
dosen pembimbing yang senantiasa memberikan saran, kritik, dan motivasi
selama proses penulisan laporan skripsi ini. Keluarga tercinta, Ibunda Parti Puji
Lestari dan Ayahanda Subagiyo yang selalu memberikan semangat, doa,
dukungan, dan kasih sayang kepada penulis. Alm Bapak Sipar, yang selalu
menjadi inspirasi penulis dalam segala hal. Mas Yunanda Basuki, saudari saya
Fitri Arianingsih dan Pupun Lufianti yang selalu mendukung dan memberikan
semangat dalam penulisan skripsi ini. Mas Rici Pranata yang sudah membantu
dari awal penulisan studi pustaka hingga skripsi ini selesai. Keluarga Pejuang

(Kiky, Lilis, Ifah), Kelompok Bermain (Dian Nita dan Nurul), Keluarga
Manggolo Putro Ponorogo khususnya angkatan 48, PBM 2012, PBM 2013 dan
BEM KM IPB 2014 untuk dukungan dan motivasinya dalam skripsi ini. Keluarga
Besar Mahasiswa Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
(SKPM) angkatan 48, Khususnya teman-teman akselerasi yang berjuang bersama
dengan penuh semangat. Semua pihak yang telah memberikan dorongan, doa,
semangat, bantuan, dan kerjasamanya selama ini.
Semoga penulisan skripsi ini dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang
membutuhkan.

Bogor, Januari 2015

Renita Intan Cahyani

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Masalah Penelitian
Tujuan Penelitian
Kegunaan Penelitian
PENDEKATAN TEORITIS
Tinjauan Pustaka
Kerangka Pemikiran
Hipotesis Penelitian
Definisi Operasional
PENDEKATAN LAPANGAN
Metode Penelitian
Lokasi dan Waktu Penelitian
Teknik Pemilihan Responden dan Informan
Teknik Pengumpulan Data
Teknik Pengolahan dan Analisis Data
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
Kondisi Geografis Desa Pancakarya
Kondisi Demografi Desa Pancakarya
Kondisi Kampung Dusun Bengle
Serangan Hama di Lahan Sawah Desa Pancakarya

KARAKTERISTIK RESPONDEN
Umur Responden
Tingkat Pendidikan
Pengalaman Menjadi Petani Padi Sawah
Status Penguasaan Lahan Tanah
Penguasaan Lahan Sawah
Jenis Mata Pencaharian Utama
ADAPTASI KOMUNITAS PETANI PADI SAWAH
Bentuk Adaptasi Komunitas Petani Padi Sawah
Respon Jangka Pendek Komunitas Petani Padi Sawah
Respon Jangka Pendek Komunitas Petani Padi Sawah
Ikhtisar
RESILIENSI KOMUNITAS PETANI PADI SAWAH
Kondisi Kualitas Hidup Petani Padi Sawah
Tingkat Resiliensi Komunitas Petani Padi Sawah
Ikhtisar
HUBUNGAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI DAN
RESILIENSI KOMUNITAS PETANI PADI SAWAH
Tingkat Kohesivitas
Tingkat Kepemimpinan

Tingkat Sumberdaya dan Keterampilan

ix
xi
xi
1
1
2
3
3
5
5
13
14
14
23
23
23
23
24

24
25
25
25
26
28
31
31
31
32
32
33
33
37
37
38
42
44
47
47

54
55
57
57
61
64

Kondisi Bantuan
Hubungan antara Faktor-faktor yang Mempengaruhi dengan Resiliensi
Komunitas Petani Padi Sawah
Ikhtisar
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
RIWAYAT HIDUP

67
69
70
73
73
73
75
99

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22

Matriks penelitian resiliensi komunitas
Alokasi penggunaan lahan di Desa Pancakarya
Jumlah dan persentase rumahtangga dan rumahtangga petani padi
sawah di Desa Pancakarya
Luas lahan gagal panen di Desa Pancakarya tahun 2011
Jumlah dan Persentase responden berdasarkan umur
Jumlah dan Persentase responden berdasarkan tingkat pendidikan
Jumlah dan Persentase responden berdasarkan pengalaman menjadi
petani padi sawah
Jumlah dan Persentase responden berdasarkan status penguasaan
lahan sawah
Jumlah dan Persentase responden berdasarkan penguasaan lahan
Jumlah responden berdasarkan jenis mata pencaharian utama
rumahtangga
Jumlah dan Persentase responden berdasarkan Pola nafkah
rumahtangga
Jumlah dan Persentan responden bentuk adaptasi dalam resiliensi
komunitas petani padi sawah
Jumlah dan persentase responden berdasarkan komponen pemenuhan
kebutuhan pangan
Jumlah dan persentase responden berdasarkan perubahan ketentraman
dalam komunitas petani padi sawah
Jumlah dan persentase responden berdasarkan perubahan optimisme
dalam komunitas
Jumlah dan persentase responden berdasarkan perubahan pengetahuan
menghadapi kesulitan
Jumlah dan persentase responden berdasarkan komponen jaringan
sosial yang dimiliki
Jumlah dan persentase responden menurut tingkat resiliensi
komunitas dan komponen kualitas hidup komunitas petani padi sawah
Jumlah dan persentase responden berdasarkan komponen kohesivitas

10
23
26
28
31
31
32
33
33
34
34
37

7
0
0
1
2
5

7
Jumlah dan persentase responden berdasarkan kepemimpinan 61
komunitas
Jumlah dan persentase responden berdasarkan kondisi bantuan yang 67
diterima saat serangan hama
Hubungan antara faktor-faktor yang mempengaruhi dengan resiliensi 69
komunitas

DAFTAR GAMBAR
1
2

3
4
5
6

Kerangka pemikiran
Jenis dan persentase responden berdasarkan perubahan praktek
pertanian yang dilakukan petani padi sawah dalam menghadapi
serangan hama
Persentase responden berdasarkan perubahan mata pencaharian
komunitas petani padi sawah dalam menghadapi serangan hama
Persentase responden berdasarkan perubahan nilai yang dilakukan
dalam respon jangka panjang
Pemimpin komunitas petani padi sawah Dusun Bengle
Persentase responden berdasarkan sumberdaya dan keterampilan
komunitas

14
38

41
42
62
65

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6

Peta lokasi penelitian (Desa Pancakarya, Kecamatan Tempuran,
Kabupaten Karawang)
Kerangka sampling
Hasil Uji Statistik
Kuesioner
Panduan pertanyaan
Dokumentasi penelitian

81
83
87
89
95
97

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Salah satu fokus utama pengembangan pertanian pangan di Indonesia
adalah padi. Tujuan pengembangan tanaman padi adalah untuk memproduksi
beras sebagai bahan pangan pokok warga negara Indonesia. Konsumsi beras
masyarakat Indonesia dapat dikatakan tinggi karena setiap orang di Indonesia
mengkonsumsi beras setiap tahun sebesar 139,5 kg (Christianto 2013). Ditjen
Tanaman Pangan menetapkan target 72.063.735 Ton GKP (Gabah Kering Giling)
untuk tahun 2014 pada rencana tahunannya. Menurut hasil ramalan sementara
BPS, produksi padi di Indonesia 2014 adalah sebesar 70.866.571 ton sehingga
masih belum bisa memenuhi target yang ditetapkan oleh pemerintah. Selama 2010
sampai 2013 produksi padi di Indonesia terus mengalami fluktuasi, yaitu terlihat
dari data produksi padi yang publikasikan oleh BPS. Pada tahun 2011, produksi
padi Indonesia sebesar 66.469.394 ton kemudian turun 0,01 persen pada 2011
sebesar 712.490 ton menjadi 65.756.905 ton. Pada tahun selanjutnya, Produksi
padi Indonesia kembali naik menjadi 69.056.126 ton dan terus mengalami
kenaikan hingga 70.866.571 ton (angka sementara). Fluktuasi produksi padi ini
disebabkan oleh berbagai hal, salah satunya adalah serangan hama.
Penurunan produksi padi tahun 2011 antara lain disebabkan oleh hama
tikus, penggerek batang padi, wereng batang coklat, penyakit tungro, dan penyakit
blas, hawar daun bakteri dan penyakit kerdil hampa dan kerdil rumput pada akhir
2010 yang mengurangi hasil panen pada awal 2011. Serangan hama mencapai
puncaknya pada 2010 menimbulkan ledakan sampai puso. Pada tahun 2010
serangan wereng coklat yang diikuti penyakit virus kerdil hampa dan virus kerdil
rumput hingga terjadi penurunan produksi padi sebesar 1,1 persen pada 2011
(65,756 juta ton GKG) dari produksi tahun 2010 (66,469 juta ton GKG) (Baehaki
2012). Luas serangan wereng batang coklat meningkat 5 kali lipat dari 47.473 ha
pada tahun 2009 menjadi 218.060 ha tahun 2011. Pengendalian wereng batang
coklat tidak dapat diselesaikan hanya dengan teknologi, tetapi perlu peran aktif
masyarakat tani sebagai penggerak utama dan pengguna teknologi (Baehaki 2012).
Bencana ini telah mempengaruhi fungsi dari komunitas petani padi sawah. Agar
dapat bertahan, komunitas petani padi sawah perlu menciptakan mekanisme
resiliensi. Meningkatnya produksi padi pada tahun 2012 seperti yang dijelaskan
sebelumnya, dapat menjadi indikasi bahwa petani di Indonesia mampu melakukan
resiliensi. Resiliensi komunitas menjadi suatu kajian penting untuk menentukan
bagaimana strategi suatu komunitas petani padi sawah dalam bertahan dan
kembali meningkatkan kualitas kehidupannya.
Kabupaten Karawang merupakan daerah lumbung padi Jawa Barat dan
salah satu daerah yang memberikan kontribusi bagi kebutuhan beras nasional ratarata mencapai 865.000 ton beras/tahun (Distanhutbun Kabupaten Karawang [tidak
ada tahun]). Untuk mencapai prestasi seperti ini, Kabupaten Karawang tidak
terlepas dari permasalah di bidang pertanian. Beberapa masalah tersebut adalah
produktivitas padi yang belum Optimal, degradasi kesuburan lahan usahatani,
kerusakan infrastruktur jaringan irigasi, dampak perubahan iklim (OPT, banjir,
kekeringan), penguasaan teknologi yang belum Optimal dan ancaman alih fungsi

2
lahan. Dari berbagai masalah tersebut, permasalahan pengendalian Organisme
Pengganggu Tanaman (OPT) menjadi salah satu fokus pengembangan pertanian
padi sawah di Kabupaten Karawang. Salah satu desa yang mengalami
permasalahan pengendalian OPT adalah Desa Pancakarya di Kecamatan
Tempuran. Desa Pancakarya merupakan salah satu desa dengan kultur petani
tradisional dimana budaya kolektivistik masih dipertahankan. Interaksi dalam
komunitas menjadi salah satu perlindungan petani ketika mengalami kesulitan.
Komunitas dapat melakukan pemgambilan keputusan dan pemanfaatan
sumberdaya yang tidak bisa dilakukan individu maupun rumahtangga. Respon
komunitas petani padi sawah dalam menghadapai serangan hama ini penting
dikaji untuk mengetahui strategi komunitas petani dalam bertahan dan kembali
mendapatkan standar hidup yang memadai sebagai bentuk resiliensi komunitas.
Masalah Penelitian
Resiliensi komunitas merupakan mekanisme bertahan komunitas untuk
mencapai standar hidup yang memadai pasca bencana. Komunitas petani padi
sawah di Dusun Bengle, Desa Pancakarya, Kecamatan Tempuran, Kabupaten
Karawang merupakan daerah yang mengalami serangan OPT yang parah di
Karawang. Menurut data yang diperoleh dari Rencana Definitif Kebutuhan
Kelompok Tani (RDKK) Desa Pancakarya, Kecamatan Tempuran, Kabupaten
Karawang tahun 2011 menunjukan kegagalan panen mencapai 312 Ha yang
meliputi seluruh lahan sawah yang ada di desa tersebut dan sebagian besar
merupakan lahan sawah komunitas padi sawah Dusun Bengle. Gagal panen padi
tersebut disebabkan oleh serangan hama wereng coklat yang diikuti penyakit
kerdil hampa dan virus kerdil rumput yang meningkat pada akhir tahun 2010
(Baehaki 2012). Komunitas petani merespon keadaan pasca serangan hama
dengan berbagai bentuk adaptasi sebagai pertahanan dalam menghadapi kesulitan.
Komunitas petani padi sawah menjalankan fungsi penting dalam merespon
keadaan ini. Pengambilan keputusan bersama dan akses sumberdaya yang tidak
dimiliki individu menjadikan komunitas menjadi pusat kegiatan untuk mengatasi
kesulitan yang mereka hadapi. Komunitas yang berfungsi dengan baik akan
mampu membawa warga komunitasnya untuk bertahan dan kembali pada standar
hidup yang memadai pasca bencana. Resiliensi komunitas penting untuk dapat
mengembangkan pertahanan terhadap bencana. Tulisan ini mengkaji tentang
bagaimana bentuk adaptasi komunitas dalam mekanisme resiliensi petani padi
sawah yang terhadap serangan hama?
Bentuk adaptasi dalam resiliensi komunitas memiliki bentuk yang berbeda.
Banyak faktor yang menjadi penentu resiliensi komunitas, diantaranya:
kohesivitas, kepemimpinan, sumberdaya dna keterampilan dan bantuan.
Selanjutnya, penelitian ini juga mengkaji sejauhmana faktor-faktor yang terdiri
atas kohesivitas, kepemimpinan, sumberdaya dan keterampilan dan bantuan
mempengaruhinya tingkat resiliensi komunitas petani padi sawah dalam
menghadapi serangan hama?

3
Tujuan Penelitian
Berdasarkan masalah penelitian yang telah dirumuskan, maka tujuan dari
penelitian ini adalah untuk :
1. Menganalisis bentuk-bentuk adaptasi dalam mekanisme resiliensi
komunitas yang dilakukan oleh petani dalam menghadapi serangan
hama.
2. Menganalisis sejauhmana faktor-faktor yang terdiri atas kohesivitas,
kepemimpinan, sumberdaya dan keterampilan dan bantuan
mempengaruhinya tingkat resiliensi komunitas petani padi sawah
dalam menghadapi serangan hama.
Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai resiliensi
komunitas petani padi sawah dalam menghadapi serangan hama. Secara khusus,
penelitian ini dapat bermanfaat bagi beberapa pihak, yaitu :
1. Bagi pemerintah
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan referensi untuk
pemerintah dalam pembuatan kebijakan peningkatan kapasitas petani
padi sawah dalam menghadapai serangan hama.
2. Bagi akademisi dan peneliti
Penelitian
ini
diharapkan
dapat
memberikan
tambahan
pustaka/literatur/sumber informasi dan pengetahuan mengenai
resiliensi komunitas yang dilakukan oleh petani padi sawah.
3. Bagi masyarakat
Penelitian ini diharapkan mampu menambah wawasan masyarakat
mengenai resiliensi komunitas yang dilakukan oleh petani padi sawah.

4

PENDEKATAN TEORITIS
Tinjauan Pustaka
Resiliensi
Masyarakat mengalami perubahan setiap waktu. Perubahan dalam
masyarakat yang mungkin bersifat besar, incremental atau sedikit serta
berlangsung sementara atau bertahan lebih lama (Gaillard 2007). Perubahan itu
menyebabkan adanya kerentanan (vulnerability). Kerentanan (vulnerability)
didefinisikan sebagai kondisi yang ditentukan oleh fisik, faktor sosial, ekonomi
dan lingkungan atau proses yang meningkatkan kerentanan masyarakat terhadap
kerugian dari dampak bahaya. Salah satu kerentanan yang terjadi dalam
masyarakat adalah kondisi pasca bencana. Bencana menciptakan kerusakan
dimensional kehidupan seseorang meliputi fisik, psikis dan lingkungan dan pada
aras komunitas muncul masalah sosial, yaitu: meningkatnya angka kemiskinan,
terganggunya jalur distribusi dan ekonomi daerah, dan beberapa bencana dapat
menimbulkan kerentanan terhadap penyakit dan kesehatan komunitas (Noviyanty
2011). Masyarakat akan menciptakan mekanisme resiliensi untuk bertahan pasca
bencana. Konsep resiliensi erat hubungannya dengan konsep kerentanan.
Resiliensi didefinisikan sebagai kapasitas sistem, komunitas atau masyarakat yang
berpotensi terkena bahaya untuk beradaptasi, dengan menolak atau berubah untuk
mencapai dan mempertahankan tingkat yang dapat diterima dari fungsi dan
struktur. Pelling (2003) dalam Gaillard (2007) memandang resiliensi sebagai
komponen kerentanan atau kemampuan seorang aktor untuk mengatasi atau
beradaptasi dengan bahaya. Resiliensi dan kerentanan bisa terjadi dalam suatu
situasi maupun berbeda situasi. Buckle (2006) mencontohkan adanya resiliensi
dan kerentanan terjadi pada seseorang yang membangun rumah di daerah banjir,
di satu sisi dia rentan terhadap banjir namun di sisi lain resilien karena telah
mendapatkan asuransi.
Konsep kerentanan dalam komunitas digambarkan melalui kerentanan
sosial. Kerentanan sosial didefinisikan sebagai kecenderungan masyarakat untuk
menderita kerusakan dalam hal terjadinya bahaya tertentu. Kelompok orang-orang
yang berpotensi mengalami kerentanan adalah kelompok lanjut usia, anak-anak,
disabilitas (mental dan fisik), orang miskin, kelompok minoritas, masyarakat adat,
masyarakat yang terisolasi, orang dengan penyakit parah, orang-orang yang
bergantung pada teknologi, keluarga dengan ukuran besar, keluarga dengan orang
tua tunggal, orang-orang dengan koping strategi rendah, orang-orang yang tidak
dapat memenuhi kebutuhannya dan orang asing yang belum mengenal daerah
sekitar (Buckle 2006). Resiliensi dalam komunitas dibangun untuk beradaptasi
terhadap kondisi pasca bencana untuk mencapai dan menjaga fungsi dan struktur
yang sesuai (Economic and Social Commision for Asia and Pasific 2008 dalam
Noviyanty 2011)
Menurut Buckle (2006), studi tentang resiliensi dan kerentanan terbagi
dalam beberapa level :
1. Individu
2. Keluarga
3. Suku dan klan

6
4.
5.
6.
7.
8.

Lokalitas dan lingkungan
Komunitas
Asosiasi sosial
Organisasi
Sistem seperti sistem lingkungan dan ekonomi

Buckle (2006) juga menjelaskan tentang perilaku manusia yang tidak
hidup sendiri sehingga perlu analisis yang lebih jauh pada level unit sosial.
Manusia dijelaskan tidak hidup secara eksklusif, manusia sering menjadi bagian
dari kelompok-kelompok sosial. Resiliensi komunitas menjadi penting dianalisis
karena komunitas memiliki sumberdaya dan mekanisme pengambilan keputusan
yang tidak dimiliki oleh individu untuk bertahan dalam menghadapi bencana
(Noviyanty 2011). Resiliensi juga bisa dianalisis dalam level regional maupun
nasional untuk menentukan kebijakan dalam membangun resiliensi komunitas
maupun sistem lainnya. Dalam penelitian ini akan dibahas mengenai resiliensi
komunitas khususnya pada komunitas petani padi sawah. Resiliensi komunitas ini
mencoba menemukan interaksi warga komunitas untuk membangun pertahanan
dalam komunitasnya untuk mempertahankan kualitas hidupnya.
Resiliensi Komunitas
VanBreda (2001) mendefinikasi resiliensi komunitas adalah kemampuan
masyarakat untuk membangun, mempertahankan, atau mendapatkan kembali
tingkat kapasitas komunitas yang diharapkan dalam menghadapi kesulitan dan
tantangan positif. Komunitas yang mengalami tekanan yang bersumber dari
kemiskinan, kriminalitas, politik yang tidak stabil, diskriminasi dan sumberdaya
yang buruk harus mendapat dukungan sosial (social support) untuk meningkatkan
resiliensinya. Dukungan sosial terdiri atas dukungan emosi, penghargaan dan
jaringan. Ketiga dukungan ini mempunya peran dalam menghadapi tekanan
komunitas.
Definisi lain tentang resiliensi komunitas dinyatakan oleh Economic and
Social Commision for Asia and Pasific (2008) yang dikutip oleh Noviyanty
(2011) mendefinisikan resiliensi komunitas sebagai kapasitas suatu sistem atau
komunitas yang mampu beradaptasi terhadap bencana untuk mencapai dan
menjaga fungsi dan struktur yang sesuai. Definisi ini mengacu pada kesulitan
komunitas yang diakibatkan oleh bencana. Bencana menciptakan kerentanan
dalam komunitas sehingga perlu untuk melakukan mekanisme resiliensi.
Resiliensi komunitas memanfaatkan sumberdaya sosial komunitas dan dukungan
dari luar seperti LSM dan pemerintah. Selanjutnya, Adger (2000) dalam
Tompkins dan Adger (2003) menjelaskan tentang resiliensi sosial yaitu
kemampuan kelompok atau masyarakat untuk beradaptasi dalam menghadapi
pengaruh sosial dari luar, politik atau tekanan lingkungan dan gangguan.
Resiliensi sosial menekankan individu melakukan interaksi sosial dengan
sesamanya dalam kelompok atau masyarakat untuk bertahan dalam kondisi yang
sulit. Kelompok atau komunitas tersebut melakukan adaptasi untuk menyesuaikan
dengan perubahan yang terjadi akibat pengaruh eksternal.
Heijman et al. (2007) dalam Schouten et al. (2009) memperkenalkan
resiliensi pedesaan yang mengacu pada kapasitas daerah pedesaan untuk
beradaptasi dengan perubahan keadaan eksternal sehingga standar hidup dapat

7
dipertahankan meliputi mengatasi kerentanan ekologi, ekonomi dan sosial. Daerah
pedesaan merupakan daerah yang rentan terhadap gangguan. Gangguan tersebut
antara lain adalah populasi, struktur, dan perubahan sumberdaya. Gangguan pada
satu sistem akan mempengaruhi sistem yang lain. Konsep ketahanan (resiliensi)
memungkinkan mereka untuk mengatasi dampak dari gangguan yang mereka
alami. Konsep resiliensi pedesaan ini sangat penting mengkaji tentang mekanisme
timbal balik atau resiprositas dalam komunitas. Masyarakat pedesaan yang terdiri
dari komunitas pertanian, digambarkan oleh Kulig et al. (2008) mempunyai rasa
memiliki yang tinggi dan rasa saling tergantung sehingga mekanisme resiliensi
berhubungan dengan mekanisme resiprositas yang dilakukan komunitas.
Resiprositas itu akan akan mendukung kapasitas masyarakat pedesaan dalam
beradaptasi dengan kondisi yang berubah. Resiprositas merupakan hubungan
timbal balik pada komunitas yang mempunyai rasa memiliki dan ketergantungan
dalam komunitasnya. Resiliensi komunitas menekankan pada ketahanan seluruh
warga komunitas dalam satu kesatuan, yang berarti bahwa kumpulan individu
yang tangguh dalam komunitas tidak menjamin suatu komunitas itu resilien
(Norris et al. 2008).
Resiliensi komunitas ditentukan oleh ketahanan seluruh warga komunitas
sebagai satu kesatuan. Mekanisme resiliensi tersebut melibatkan resiprositas yaitu
hubungan timbal balik dalam komunitas dimana warga komunitas saling
membantu dalam kesulitan. Resiliensi komunitas memungkinkan komunitas
melakukan penyesuaian atau adaptasi terhadap gangguan ekternal yang
mengancam kualitas hidupnya. Komunitas berusaha bertahan dalam kesulitan
untk menjada kualitas hidupnya tetap memadai.
Bentuk Resiliensi Komunitas
Resiliensi komunitas merupakan gabungan dari dua proses yaitu mitigasi
atau pencegahan dan adaptasi terhadap guncangan (bencana) yang terjadi pada
satu komunitas (Tompkins dan Adger 2003, Borron 2006). Masyarakat yang
resilien berusaha mengurangi dampak negatif dari suatu bencana. Resiliensi
komunitas terbentuk dari pengalaman komunitas di masa lalu yang kemudian di
turunkan dari satu generasi ke generasi selanjutnya (Borron 2006, Berkes dan
Jolly 2001, Noviyanty 2011, Schwaz et al. 2011). Perubahan akibat guncangan
atau pasca bencana terjadi dalam skala besar, incremental atau sedikit. Perubahan
ini memaksa masyarakat melakukan sedikit penyesuaian tanpa merubah dasardasar dalam organisasi sosialnya sehingga masih memelihara lingkungan dan
perubahan budaya hanya bersifat lambat (Gaillard 2007). Resiliensi komunitas
melibatkan berbagai pemangku kepentingan untuk bersinergi melakukan aksi
kolektif (Tompkins dan Adger 2003). Respon dalam menghadapi bencana tersebut
bisa berbentuk respon jangka pendek maupun respon jangka panjang (Berkes dan
Jolly 2001). Respon jangka pendek yaitu strategi koping yang berhubungan
dengan perubahan mata pencaharian dalam berburu dan menentukan buruan untuk
pangan. Respon jangka panjang berupa strategi adaptif yang berhubungan dengan
perubahan nilai-nilai budaya yang berjalan lebih lambat. Strategi adaptasi
masyarakat Inuvialuit dalam penelitian Berkes dan Jolly (2001) dijelaskan dalam
beberapa aspek, yaitu : (1) mobilitas dan fleksibilitas kelompok, (2) fleksibilitas
siklus musiman panen dan penggunaan sumberdaya yang didukung oleh tradisi
lisan untuk menyediakan memori kelompok, (3) pengetahuan lingkungan dan

8
keterampilan lokal, (4) mekanisme berbagi dan jaringan sosial untuk memberikan
dukungan bersama dan meminimalkan risiko, dan (5) perdagangan antar
komunitas.
Kesulitan yang diakibatkan oleh guncangan berupa bencana atau krisis
membuat komunitas belajar untuk menghadapinya dan menyelesaikan masalah
tersebut hingga bisa mencapai standar hidup yang lebih baik. Masyarakat tersebut
selain memberikan pengetahuannya kepada generasi selanjutnya juga
mengembangkan mekanisme saling berbagi informasi antar komunitas seperti
yang dilakukan oleh komunitas petani di Indonesia dan Meksiko (Borron 2006).
Pada Komunitas Petani "Pusspaindo" di Indonesia, petani dilembagakan penyuluh
di setiap desa. Para penyuluh bertanggung jawab untuk mempertahankan audit
sumberdaya alam di setiap desa dan jaringan dengan penyuluh lainnya dan petani
tentang masalah pertanian lokal mereka. Para penyuluh petani ini bertanggung
jawab dalam penyebaran informasi kepada petani dan berbagi dengan sesamanya.
Berbeda dengan komunitas petani dataran tinggi tengah Meksiko yang
menghadapi erosi parah. Petani kemudian membentuk kelompok non-profit,
Vicente Guerrero Group (VGG) yang untuk merevitalisasi praktek pertanian
berkelanjutan dalam meningkatkan kualitas tanah mereka. VGG melatih para
petani untuk mengajarkan petani lainnya bahwa petani memiliki kewajiban untuk
berbagi pengetahuan mereka satu sama lain. Penyebaran informasi ini sangat
penting bagi suatu komunitas untuk mengembangkan sistem ketahanannya.
Proses penyesuaian dalam resiliensi komunitas melibatkan berbagai
pemangku kepentingan seperti masyarakat, kelembagaan, pemerintah dan sektor
swasta (Tompkins dan Adger 2003, Lebel et al. 2006, Schouten et al. 2009,
Noviyanti 2011). Setiap pemangku kepentingan memerankan perannya sendirisendiri dalam meningkatkan resiliensi komunitas. Para pemangku menciptakan
jaringan sosial, modal sosial, kohesi sosial dan tindakan kolektif dalam
mendukung ketahanan dalam suatu komunitas. Modal sosial menjadi faktor
penting yang berperan dalam proses adaptasi dalam resiliensi komunitas, untuk itu
peran pemimpin menjadi penting dalam membangun ketahanan suatu komunitas.
Budaya dan nilai-nilai dalam komunitas yang dilengkapi dengan ilmu
pengetahuan menjadikan masyarakat semakin resilien terhadap guncangan yang
menimpa mereka. Penelitian Tousignan dan Sioui (2009) di Kanada
mengungkapkan krisis yang terjadi di Kanada akibat penjajahan dan degradasi
budaya penyesuaian dilakukan dengan jalan penyembuhan trauma yang dialami
oleh masyarakat. Resiliensi yang dibangun untuk penyembuhan trauma adalah
dengan melakukan rehabilitasi untuk para pelaku dan korban trauma. Proses
penyembuhan trauma sangat bergantung pada spiritualitas, tradisionalisme dan
pengawasan fasilitator yang berpengalaman. Modal sosial berupa ikatan sosial dan
peran kepemimpinan menentukan keberhasilan proses penyembuhan trauma ini.
Para pemimpin dan masyarakat terus berjuang untuk mempertahankan budaya dan
nilai-nilai dalam komunitasnya untuk mendukung resiliensinya.
Penyesuaian pasca bencana meliputi penyesuaian ekonomi, teknologi dan
sosial tergantung pada besarnya ancaman yang terjadi, kapasitas yang tersedia
untuk menghadapi perubahan dan prioritas individu dan kelompok terhadap
bencana (Noviyanty 2011). Selain itu, Borron (2006) mengungkapkan tentang
strategi penyesuaian ekologi pada komunitas petani di daerah pedesaan.
Masyarakat petani di pedesaan menggunakan pengetahuan lokal dalam

9
pengelolaan sumberdaya lokal dan melakukan perubahan pada sistem pertanian
konvensional mereka menjadi pertanian organik untuk meningkatkan resiliensinya.
Penelitian ini akan membahas bentuk adaptasi dalam resiliensi komunitas
yang diungkapkan oleh Berkes dan Jolly (2001). Adaptasi tersebut berbentuk
repon jangka pendek dan jangka pendek yang dilakukan dalam mekanisme
resiliensi komunitas. Respon jangka pendek berhubungan dengan perubahan
praktek pertanian dan perubahan mata pencaharian. sedangkan respon jangka
panjang membahas mengenai perubahan nilai dalam komunitas.
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Resiliensi Komunitas
Pada level komunitas, resiliensi di analisis dalam dimensi ikatan sosial dan
kelembagaan. Komunitas memiliki modal sosial yang menunjukkan interaksi
yang terjalin antar anggotanya. Modal sosial terdiri dari jaringan, norma-norma
dan kepercayaan yang ada dalam komunitas (Tousignant dan Sioui 2009). Modal
sosial akan membentuk hubungan kohesivitas di antara anggota komunitas.
Kohesivitas komunitas membuat anggota tidak bersifat individualis dalam
menciptakan aksi-aksi kolektif dari komunitas untuk mengatasi guncangan atau
bencana. Proses ini sangat melibatkan peran pemimpin (Tousignant dan Sioui
2009). Kepemimpinan seorang pemimpin akan menentukan perjuangan anggota
dalam menjaga komunitasnya. Selain aksi-aksi kolektif dan kepemimpinan,
kekokohan kelembagaan juga menjadi salah satu faktor dalam resiliensi
komunitas (Tompkins dan Adger 2003). Kekokohan kelembagaan berperan dalam
pengelolaan sumberdaya dalam komunitas. selain menganalisis interaksi antar
anggota, komunitas juga memiliki berbagai pemangku kepentingan yang
melakukan peranannya sendiri dalam membentuk resiliensi dalam komunitas
(Schouten 2009). Kerja sama antar pemangku kepentingan juga menjadi salah satu
faktor yang akan mendukung resiliensi dalam komunitas. Aksi-aksi kolektif
membutuhkan kerja sama antar pemangku kepentingan dan kekokohan
kelembagaan diperlukan dalam pengaturan komunitas. Faktor intrinsik komunitas
yang terdiri dari kepemimpinan, aksi kolektif dan kekokohan kelembagaan serta
kerja sama dengan pemangku kepentingan akan berpengaruh dalam pembentukan
resiliensi komunitas namun harus di dukung juga oleh kebijakan yang dapat
melindungi komunitas. Kebijakan di keluarkan oleh pemerintah untuk
peningkatan kapasitas komunitas (Schouten et al. 2001, Lebel et al. 2006).
Kebijakan ini terkait kebijakan ekonomi, sosial dan politik yang meningkatkan
kapasitas komunitas untuk bertahan dalam menghadapi guncangan.
Resiliensi komunitas juga dipengaruhi oleh pengalaman komunitas dalam
menghadapi bencana kemudian diakumulasikan menjadi pengetahuan lokal
(Berkes dan Jolly 2001, Borron 2006, Gailard 2007, Schwaz et al. 2011). Lebih
jauh, Gailard menyatakan ada empat faktor yang mempengaruhi tingkat ketahanan
masyarakat yaitu : (1) sifat intrinsik bencana meliputi besar, jarak dan dampak
terhadap komunitas, (2) kondisi sosial dan kultural masyarakat, (3) pengaturan
geografi dan (4) kebijakan rehabilitasi pasca bencana.
Buckle (2006) memberikan penjelasan tentang enam elemen yang
mendukung resiliensi komunitas yaitu : (1) pengetahuan tentang bahaya, (2)
pertukaran nilai dalam komunitas, (3) infrastuktur sosial yang mapan, (4) tren
positif sosial dan ekonomi, (5) kemitraan dan (6) sumberdaya dan keterampilan.
Keenam elemen ini saling mendukung untuk menciptakan resiliensi komunitas.

10
Dengan adanya keenam faktor ini komunitas akan memiliki kapasitas dan
sumberdaya yang cukup untuk menghadapi kesulitan.
Dalam penelitian ini akan dibahas beberapa faktor yang mempengaruhi
resiliensi komunitas meliputi kohesivitas (Tousignant dan Sioui 2009),
Kepemimpinan (Tousignant dan Sioui 2009), sumberdaya dan keterampilan
(Buckle 2006) dan dukungan stakeholder dalam bentuk bantuan (Schouten et al.
2009). Keempat faktor ini akan dianalisis pengaruhnya terhadap resiliensi
komunitas petani padi sawah.
Pengukuran Resiliensi Komunitas
Penelitian tentang resiliensi terus mengalami perkembangan. Berbagai
metode pengukuran dikembangkan oleh peneliti untuk menemukan fenomena
resiliensi dalam komunitas. Beberapa penelitian dan pengukurannya disajikan
pada Tabel 1.
Tabel 1 Matriks penelitian resiliensi komunitas
Penelitian

Daerah
Metode
penelitian
Berkes dan Daerah
Studi kasus
Jolly
kutub utara,
(2001)
Kanada

Variabel
penelitian
Mekanisme
adaptasi
masyarakat
Inuvialuit

Hasil

Dua mekanisme
adaptasi
1.
Respon
jangka pendek
2.
Respon
jangka panjang
Kulig et al. tiga
- Wawancara
Resiliensi
dan Pemahaman
(2008)
komunitas
kualitatif
status kesehatan tentang hubungan
Alberta
- Survai
resiliensi
dan
rumahtangga
status kesehatan
- Analisis
data
dan perbandingan
sekunder
ketiga
metode
yang digunakan
Schwaz et Daerah
Peta
penilaian Dimensi
Faktor
yang
al. (2011)
pesisir
terpadu
kerentanan dan menentukan
kepulauan
menggunakan
faktor-faktor
adaptasi
Solomon
kuesioner
resiliensi
Noviyanty Yogyakarta
Survai
penyesuaian
hubungan positif
(2011)
dusun
jangka antara penyesuaian
panjang
dan dusun
jangka
resiliensi
panjang
dengan
komunitas
resiliensi
komunitas

Setiap metode memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing.
Metode studi kasus (Berkes dan Jolly 2001) dapat menjelaskan mekanisme
resiliensi di tempat dan dalam budaya tertentu. Metode ini dipilih karena tujuan
penelitian adalah menjelaskan mekanisme resiliensi yang dilakukan oleh
masyarakat inuvialuit di Kutub Utara yang memiliki karakter khas dalam mata
pencaharian dan kondisi lingkungannya. Penelitian Kulig et al. (2008) mencoba
menggunakan tiga metode sekaligus untuk dibandingkan dan mencari kekurangan
dan kelebihan dari masing-masing metode. Metode pertama, wawancara kualitatif

11
memiliki kelebihan dalam menjelaskan resiliensi masyarakat pada basis ekonomi
yang berbeda namun mengalami kesulitan dalam menginterpretasi hasil
wawancara karena jawaban yang bervariasi dari informan. Metode kedua, survai
rumahtangga menggunakan kuesioner menggambarkan hubungan status kesehatan
dan resiliensi namun peneliti tidak bisa melakukan diskusi mendalam dengan
responden. Metode ketiga, Analisis data sekunder yaitu analisis data kesehatan
provinsi tidak bisa menjelaskan hubungan tren kesehatan dengan resiliensi, selain
itu metode ini juga mahal, sulit dalam perizinan dan indikatornya tidak jelas.
Meskipun setiap metode memiliki kekurangan namun ketiganya dapat saling
melengkapi untuk meningkatkan pemahaman tentang kondisi masyarakat dan
ketahanannya dalam menghadapi kesulitan. Selanjutnya, Schwaz et al. (2011)
menggunakan peta penilaian terpadu menggunakan kuesioner yang diberikan
kepada responden. Metode ini digunakan untuk mencari informasi tentang
dimensi kerentanan dan kekuatan masyarakat dalam menghadapi guncangan
(resiliensi). Terakhir, penelitian dalam negeri oleh Noviyanty (2011)
menggunakan metode survai. Metode ini berhasil menjawab tujuan penelitian
yaitu mengetahui hubungan antara penyesuaian dusun jangka panjang dengan
resiliensi komunitas. Penelitian ini menggunakan dua variabel penelitian yaitu
penyesuaian dusun jangka panjang dan resiliensi komunitas. Penyesuaian dusun
jangka panjang diukur dari penilaian individu terhadap situasi kehidupan di
dusunnya pada saat gempa dan pasca gempa. Aspek dalam penyesuaian dusun
jangka panjang, yaitu: kedamaian dan kerukunan dusun, optimisme masa depan
dusun juga dukungan partisipasi sosial masyarakat dusun. Resiliensi komunitas
diukur dari penilaian individu terhadap keterlibatan dirinya di dalam komunitas
dan penilaian individu terhadap peran warga, tokoh-tokoh masyarakat, pemerintah,
dan lembaga sosial lainnya dalam dinamika dan kegiatan sosial di dusun. Peneliti
menemukan masalah ketika pengaplikasian kuesioner di lapangan karena
beberapa responden tidak bisa berbahasa Indonesia dan tidak bisa baca tulis.
Schouten et al. memberikan dua pendekatan untuk menilai resiliensi yang
disampaikan pada Seminar European Association of Agricultural Economists ke113 di Serbia pada 2009. Kedua pendekatan tersebut adalah pengembangan indeks
ketahanan dan studi kasus. Kedua pendekatan tersebut digunakan tergantung pada
wilayah kajian, pengembangan indeks ketahanan untuk analisis tingkat makro,
antar negara atau wilayah sedangkan studi kasus digunakan untuk daerah tertentu
dengan karakteristik yang khas. Sayangnya, dalam penelitian ini tidak dijelaskan
lebih lanjut tentang indeks ketahanan yang dikembangkan. Buckle (2006)
menyatakan bahwa pengukuran resiliensi bersamaan dengan kerentanan. Hal ini
dikarenakan dua hal tersebut berkaitan satu sama lain. Buckle menyarankan
pendekatan fungsional diambil dimana kerentanan dan ketahanan yang dinilai
pada kemampuan dasar seseorang, kelompok atau masyarakat untuk bekerja
mencapai tujuan dasar tertentu, seperti kapasitas untuk mengelola urusan mereka
sendiri, untuk memiliki akses ke tingkat yang tepat dari sumberdaya, termasuk
makanan, air, tempat tinggal, kesehatan, pendidikan dan kegiatan budaya, standar
sosial dan informasi serta akses ke layanan lain yang diperlukan dan diinginkan.
Dalam penelitian ini dilakukann metode survai terhadap komunitas padi
sawah. Metode ini digunakan untuk mendapatkan gambaran umum tentang
resiliensi komunitas. gambaran umum ini akan dilengkapi dengan analisis data
kualitatif dari wawancara mendalam terhadap informan kunci dalam komunitas.

12

Komunitas Petani
Daerah pedesaan merupakan sistem sosial-ekologi yang dinamis terdiri
dari komponen ekologi, ekonomi dan sosial yang berinteraksi bersama (Schouten
et al. 2009). Komponen-komponen ini saling terkait dan menciptakan
karakteristik khas daerah pedesaan. Daerah pedesaan merupakan daerah yang
rentan terhadap gangguan. Gangguan tersebut antara lain adalah populasi, struktur,
dan perubahan sumberdaya. Modal sosial, kohesi sosial dan pengetahuan lokal
menjadi alat masyarakat pedesaan menciptakan ketahanannya dalam kondisi yang
rentan terhadap gangguan.
Schouten et al. (2009) menyatakan pertanian dan kehutanan memainkan
peran penting dalam pengelolaan sumberdaya di pedesaan. Masyarakat pedesaan
mengidentifikasikan diri dalam berbagai komunitas. Norris et al. (2008)
mendefinisikan komunitas adalah sebuah entitas yang memiliki batas-batas
geografis dan nasib yang sama. Komunitas dibangun dari lingkungan alam, sosial
dan ekonomi yang mempengaruhi satu sama lain dalam cara yang kompleks.
Norris et al. (2008) juga menjelaskan bahwa dalam menganalisis resiliensi
komunitas, masyarakat bukan hanya jumlah total (atau rata-rata) dari anggotanya,
tapi resiliensi juga adalah ketahanan yang dibangun oleh seluruh bagian
komunitas atau dengan kata lain, individu-individu yang tangguh dalam
komunitas tidak menjamin komunitas tersebut resilien. Salah satu komunitas yang
ada di pedesaan adalah komunitas pertanian yang terdiri dari para petani. Menurut
Kulig et al. (2008), komunitas petani memiliki karakteristik tertentu yang berbeda
dari komunitas lainnya, yaitu: memiliki latar belakang yang sama dengan tingkat
pendidikan yang setara, afiliasi keagamaan dan etnik, juga rentang waktu
masyarakat berada dalam komunitas tersebut. Penelitian Kulig et al. (2008)
terhadap tiga komunitas yang berbeda latar belakang menunjukkan bahwa
komunitas petani memiliki karakteristik rasa memiliki yang lebih tinggi
ditunjukkan dengan filosofi dan komitmen mereka untuk tinggal di pedesaan
daripada pada dua kelompok lain dengan latar belakang komunitas daerah
pertambangan dan komunitas perkotaan. Komunitas pertanian digambarkan
memiliki inisiatif untuk mengatasi masalah mereka, saling membantu dengan
penanaman dan panen dan berinteraksi sebagai unit kolektif. Karakter itu
memberikan gambaran tentang bagaimana interaksi dalam komunitas
berhubungan dengan rasa memiliki dan selanjutnya berpengaruh pada ketahanan
komunitas.
Praktek pertanian tradisional masyarakat pedesaan membuktikan mereka
punya mekanisme resiliensi yang memanfaatkan pengetahuan lokal untuk
pengelolaan sumberdaya. Pertanian tradisional mencoba untuk menghindari resiko
dan memaksimalkan sumberdaya lokal (Borron 2006). Boron (2006) melakukan
penelitian di dua lokasi yaitu komunitas Vicente Guerrero Group (VGG) Meksiko
dan komunitas petani “Puspaindo” di Indonesia. Pengembangan teknologi
pertanian terus dikembangkan oleh para ilmuwan pertanian dalam rangka
melindungi aset-aset pertanian pedesaan dengan memadukan pengetahuan modern
dengan pengetahuan lokal pada praktek pertanian tradisional. Salah satu bentuk
praktek pertanian untuk mendukung resiliensi pertanian tersebut adalah pertanian
organik yang menggabungkan teknologi yang ramah lingkungan dan pengetahuan
lokal masyarakat.

13

Kerangka Pemikiran
Serangan hama sering menyerang lahan petani padi sawah yang
menimbulkan kerugian dan mengancam kualitas hidup komunitas petani padi
sawah. Untuk menghadapi dampak serangan hama, komunitas tersebut
melakukan adaptasi. Mekanisme adaptasi ini akan menentukan tingkat resiliensi
komunitas dalam mempertahankan fungsinya dan mencapai standar hidup yang
memadai pasca bencana. Resiliensi komunitas dapat dilihat dari respon jangka
pendek dan respon jangka panjang. Respon jangka pendek dilihat dari perubahan
mata pencaharian dan perubahan praktek pertanian yang dilakukan oleh
komunitas petani, sedangkan respon jangka panjang dilihat dari perubahan nilai
yang menyangkut perubahan budaya yang sesuai dengan kondisi pasca bencana.
Kohesivitas komunitas, kepemimpinan, sumberdaya dan keterampilan yang
dimiliki, dan bantuan dapat mempengaruhi tingkat resiliensi komunitas.
Kohesivitas komunitas dapat dilihat dari rasa memiliki dalam komunitas yaitu
sikap untuk menjaga dan rasa tanggungjawab terhadap komunitas, inisiatif
menyelesaikan masalah yaitu adalah karakter proaktif yang cepat bereaksi untuk
mencari solusi dan menyelesaikan masalah, saling tergantung dengan sesama
warga komunitas dan interaksi dalam unit kolektif. Kepemimpinan merupakan
keterlibatan pemimpin dalam mengarahkan komunitas untuk mampu beradaptasi
dengan kondisi pasca bencana. Selain itu, sumberdaya dan keterampilan yang
dimiliki warga komunitas baik materi maupun non materi turut mempengaruhi
tingkat resiliensi komunitas pasca bencana. Segala aktivitas yang dilakukan
komunitas pasca serangan hama tidak terlepas dari peran stakeholder yang
berkepentingan baik pemerintah, LSM dan lembaga swasta. Peranan tersebut
terlihat dari adanya bantuan dalam komunitas. Semakin tinggi kohesivitas
komunitas, keterlibatan pemimpin dalam komunitas, sumberdaya dan
keterampilan yang dimiliki anggota komunitas, bantuan dari stakeholder yang
berkepentingan maka akan meningkatkan resiliensi komunitas.

14

Keterangan :
Mempengaruhi
Berhubungan

Gambar 1 Kerangka pemikiran

Hipotesis Penelitian
Berdasarkan kerangka pemikiran di atas, maka dapat disimpulkan
hipotesis penelitiannya adalah sebagai berikut:
1. Diduga terdapat respon jangka pendek dan respon jangka panjang pada
komunitas petani padi sawah dalam menghadapi serangan hama sebagai
bentuk adaptasi dalam mekanisme resiliensi komunitas.
2. Diduga faktor-faktor yang terdiri atas: kohesivitas komunitas,
kepemimpinan, sumberdaya dan keterampilan dan bantuan mempengaruhi
tingkat resiliensi komunitas petani padi sawah.
Definisi Operasional
Penelitian ini terdiri atas beberapa variabel yang terbagi menjadi beberapa
indikator. Masing-masing variabel dan indikator diberi batasan terlebih dahulu
sehingga dapat ditemukan skala pengukurannya. Definisi operasional untuk
masing-masing variabel adalah sebagai berikut.
1. Karakteristik komunitas petani padi sawah adalah ciri-ciri khusus yang
melekat pada komunitas petani padi sawah. Karakter komunitas dapat
dilihat dari :

15
a. Umur adalah selisih antara tahun responden dilahirkan sampai
tahun pada saat dilaksanakan penelitian. Umur responden
dikategorikan menjadi :
1. Umur 25-40 tahun
2. Umur 41-55 tahun
3. Umur lebih dari 56 tahun
b. Tingkat pendidikan adalah jenis pendidikan/sekolah tertinggi
yang pernah diikuti oleh responden. Tingkat pendidikan
dikategorikan menjadi :
1. Responden tidak sekolah, tidak tamat dan tamat
SD/sederajat
2. Responden tamat SMP/sederajat
3. Responden tamat SMA/sederajat
c. Pengalaman menjadi petani adalah lama responden bekerja pada
bidang pertanian padi sawah yang dihitung dalam satuan waktu
(tahun) sejak pertama kali bekerja hingga penelitian
dilaksanakan. Pengalaman menjadi petani dikategorikan
menjadi
1. Pengalaman kurang dari 10 tahun
2. Pengalaman selama 11-20 tahun
3. Pengalaman selama lebih dari 21 tahun)
d. Status penguasaan lahan sawah adalah status responden dalam
hubungannya dengan penguasaan lahan pertanian sawah. Status
penguasaan lahan dikategorikan menjadi :
1. Buruh Tani yaitu responden yang tidak memiliki lahan
sawah dan bekerja dengan menjual tenaganya untuk
bekerja di pertanian padi sawah
2. Penggarap adalah responden yang mengelola lahan
sawah milik orang lain dengan sistem maro atau bagi
hasil yang disepakati dengan pemilik lahan sawah
3. Pemilik-penggarap adalah responden yang menguasai
lahan sawah baik milik sendiri, menyewa atau
mengontrak dan hasil gadai dan mengelola sendiri lahan
sawah tersebut
e. Penguasaan lahan sawah adalah luas areal lahan sawah yang
dikuasai oleh responden. Penguasaan lahan sawah dikategorikan
berdasarkan ukuran lokal, yaitu :
1. Tidak bertanah
2. Berlahan sempit (3 Ha)
f. Jenis mata pencaharian utama adalah jenis pekerjaan yang
dilakukan oleh responden sebagai hasil pendapatan utama. Jenis
pekerjaan dikelompokkan berdasarkan data lapang yang
diperoleh.
2. Kohesivitas adalah kekuatan yang menyebabkan bertahannya warga dalam
komunitas. Kohesivitas komunitas terdiri atas :

16
a. Rasa memiliki adalah rasa ikut memiliki dalam komunitas yang
akan membuat individu mempunyai sikap untuk menjaga dan
rasa tanggung jawab terhadap komunitas sehingga menimbulkan
semangat untuk berpartisipasi dalam komunitas untuk mencapai
tujuan bersama. Rasa memiliki terdiri atas empat pertanyaan
dengan jawaban ya/tidak.
1. Rendah jika skor 4
2. Sedang jika total skor antara 5-6
3. Tinggi jika total skor antara 7-8
b. Inisiatif mengatasi masalah adalah karakter proaktif yang cepat
bereaksi untuk mencari solusi dan menyelesaikan masalah yang
dihadapi. Inisatif mengatasi masalah terdiri atas tiga pertanyaan.
1. Rendah jika total skor antara 4-5
2. Sedang jika total skor antara 6-7
3. Tinggi jika total skor antara 8-10
c. Saling tergantung adalah perasaan saling membutuhkan antar
sesama warga komunitas. Saling tergantung terdiri atas tiga
pertanyaan.
1. Rendah jika total skor antara 3-5
2. Sedang jika total skor antara 6-7
3. Tinggi jika total skor antara 8-9
d. Interaksi dalam unit kolektif adalah partisipasi individu dalam
komunitas dimana individu saling mengenal dan saling
membantu bila ada kesulitan. Interaksi dalam unit kolektif
terdiri atas tiga pertanyaan.
1. Rendah jika total skor antara 3-5
2. Sedang jika total skor antara 6-7
3. Tinggi jika total skor antara 8-9
Kohesivitas komunitas dikategorikan sebagai berikut :
1. Kohesivitas komunitas tinggi bila lebih dari 60 persen
responden berada pada kategori tinggi pada minimum
tiga komponen.
2. Kohesivitas komunitas sedang bila lebih dari 60 persen
responden berada pada kategori sedang atau tinggi pada
minimum dua komponen.
3. Kohesivitas komunitas rendah bila lebih dari 60 persen
responden berada pada kategori rendah pada minimum
satu komponen.
3. Kepemimpinan adalah peran pemimpin komunitas dalam resiliensi
komunitas yang membawa komunitas bertahan dan mencapai standar
hidup yang memadai. Kepemimpinan terdiri atas :
a. Keberadaan pemimpin di komunitas dalam menghadapi
serangan hama. Keberadaan pemimpin terdiri atas satu
pertanyaa

Dokumen yang terkait

Pengetahuan Lokal Petani Dalam Mengelola Padi Sawah di Pangaribuan

4 76 150

Kehidupan Petani Padi Sawah Tadah Hujan di Desa Tanjung Leidong (1970-200)

2 69 90

Akses Pangan Rumah Tangga Petani Padi Sawah Studi Kasus Di Desa Sempung Polding Kecamatan Lae Parira Kabupaten Dairi

2 48 112

Analisis Model Pengelolaan Usaha Padi Sawah Berdasarkan Kepemilikan Lahan ( Studi Kasus: Desa Sukamandi Hilir,Kec.Pagar Merbau,Kab.Deli Serdang )

0 58 112

Pengetahuan Petani Tentang Hama Dan Penyakit Tanaman Padi Di Kampung Susuk, Kecamatan Medan Selayang - Kota Medan

3 103 134

Evaluasi Petani Terhadap Program Penyuluhan Pertanian Sl Ptt (Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu): Hama Terpadu (Kasus : Petani Padi Sawah, Desa Paya Bakung, Kecamatan Hamparan Perak, Kabupaten Deli Serdang)

3 67 67

Analisis Pendapatan Pada Petani Padi Sawah Terhadap Kesejahteraan (Studi Kasus : Desa Lubuk Bayas Kecamatan Perbaungan Kabupaten Serdang Bedagai)

19 173 117

Analisis Komparasi Usahatani Padi Sawah Antara Petani Pengguna Pompa Air Dan Petani Pengguna Irigasi Pada Lahan Irigas) Di Kabupaten Deli Serdang (Studi Kasus: Desa Sidoarjo II Ramunia, Kecamatan Beringin, Kabupaten Deli Serdang)

2 36 140

Nilai Tukar Petani Padi Sawah di Sentra Produksi Padi Sawah (Studi Kasus: Desa Purwabinangun, Kecamatan Sei Bingai, Kabupaten Langkat)

8 73 198

HUBUNGAN ANTARA LAMA PEMAPARAN PENGETAHUAN DAN PERILAKU DENGAN AKTIVITAS CHOLINESTERASE DARAH PETANI (Studi Pada Petani Penyemprot Hama Padi dan Petani Penyemprot Hama Sayuran di Dusun Kerobokan dan Dusun Sari Kelod Kabupaten Tabanan dan Buleleng Propinsi

0 2 125