Uji Rodentisida, Perangkap, Dan Repelen, Serta Persepsi Masyarakat Terhadap Tikus Permukiman Di Cibinong, Bogor

UJI RODENTISIDA, PERANGKAP, DAN REPELEN, SERTA
PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP TIKUS
PERMUKIMAN DI CIBINONG, BOGOR

SONYA SUCI RAMADHANI

DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Uji Rodentisida,
Perangkap, dan Repelen, serta Persepsi Masyarakat terhadap Tikus Permukiman
di Cibinong, Bogor adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada
Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Maret 2016
Sonya Suci Ramadhani
NIM A34120084

* Pelimpahan hak cipta atas karya tulis dari penelitian kerja sama dengan pihak
luar IPB harus didasarkan pada perjanjian kerja sama yang terkait.

ABSTRAK
SONYA SUCI RAMADHANI. Uji Rodentisida, Perangkap, dan Repelen, serta
Persepsi Masyarakat terhadap Tikus Permukiman di Cibinong, Bogor. Dibimbing
oleh SWASTIKO PRIYAMBODO.

Tikus permukiman (Rattus rattus diardii, R. norvegicus, dan Mus musculus)
adalah hama penting di lingkungan permukiman karena dapat menimbulkan kerugian,
seperti kerusakan benda atau sebagai vektor penyakit. Penelitian ini bertujuan
mengetahui metode pengendalian yang efektif berdasarkan karakteristik wilayah
permukiman dan persepsi masyarakat terhadap tindakan pengendalian tikus
permukiman. Lokasi penelitian adalah 30 rumah warga pada tiga kelurahan di

Kecamatan Cibinong. Pengambilan sampel menggunakan teknik purposive sampling.
Perlakuan rodentisida, perangkap, dan repelen dilaksanakan di satu tempat secara
bersamaan di dalam rumah. Perangkap diletakkan di antara rodentisida dan repelen
dengan jarak 2-3 m. Pengamatan perlakuan rodentisida, perangkap, dan repelen
adalah bobot rodentisida yang dikonsumsi, jumlah tikus yang berhasil terperangkap,
dan bobot gabah yang dikonsumsi yang dikaitkan dengan bekas pijakan tikus.
Wawancara dilakukan kepada 30 responden yang merupakan pemilik dari rumah
untuk penelitian. Hasil analisis ragam menyimpulkan bahwa konsumsi rodentisida
(bromadiolon 0.005%) tidak berbeda antara 3 lokasi (p= 0.202). Hasil pengujian
perangkap menunjukkan 35 mamalia kecil yang terperangkap oleh perangkap
tunggal dengan ikan asin sebagai umpan. Keberhasilan pemerangkapan di lokasi ini
tergolong tinggi (28%). Spesies tikus yang terperangkap ialah R. rattus diardii dan
didominasi oleh tikus jantan (71%, 15 tikus dari 21 tikus). Pengujian ekstrak buah
mengkudu (Morinda citrifolia L.) sebagai repelen menunjukkan pengaruh yang sama
di tiga lokasi pengujian. Persepsi masyarakat terhadap tikus permukiman
berpengaruh terhadap tindakan pengendalian tikus permukiman. Metode
pengendalian tikus permukiman yang efektif sesuai dengan karakteristik wilayah
permukiman dan diterima oleh masyarakat ialah penggunaan perangkap.
Kata kunci: keberhasilan pemerangkapan, pengendalian tikus, persepsi masyarakat


ABSTRACT
SONYA SUCI RAMADHANI. Rodenticide, Trap, and Repellent Trial, with
Community Perception for Commensal Rats in Cibinong, Bogor. Supervised by
SWASTIKO PRIYAMBODO.

Commensal rats (Rattus rattus diardii, R. norvegicus and Mus musculus) are
important pests in the residential habitat because it can caused many losses,
including damage to a variety of objects or as vectors of disease. This study aim to
know the effective method to control commensal rats based on the location
characteristics and community perception. The study locations in 30 houses in
Cibinong. A purposive sampling was used in this study. Rodenticide, trap, and
repellent implemented in one place at the same time in the house. Rodenticide,
trap, and repellent trial observations are rodenticides consumed, trap success, and
grains consumed which associated with the former footing rats. Interviews were
conducted to 30 respondents who are the owners of the house used for this study.
Based on the analysis of variance results it can be concluded that the consumption
of rodenticide (bromadiolon 0.005%) was not different between three locations
(p= 0.202). Results of the traps showed that there were 35 small mammals were
trapped using single live trap with raw salted fish bait. Trap success in this area
was relatively high, up to 28%. The rat species trapped was R. rattus diardii and

most of them were male (71%, 15 rats out of 21 rats). Result of the repellent
concluded that noni fruit (Morinda citrifolia L.) extract where applied in three
locations showed the same effect. The community perception has correlation with
the act of commensal rats control. The most effective commensal rats control
menthod according to the characteristic of residential habitat and accepted by the
community is trap.
Keywords: community perception, rat control, trap success

©

Hak Cipta milik IPB, tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
yang wajar IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.


UJI RODENTISIDA, PERANGKAP, DAN REPELEN, SERTA
PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP TIKUS
PERMUKIMAN DI CIBINONG, BOGOR

SONYA SUCI RAMADHANI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Pertanian
pada
Departemen Proteksi Tanaman

DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

Judul Skripsi : Uji Rodentisida, Perangkap, dan Repelen, serta Persepsi
Masyarakat terhadap Tikus Permukiman di Cibinong, Bogor

Nama
: Sonya Suci Ramadhani
NIM
: A34120084

Disetujui oleh

Dr Ir Swastiko Priyambodo, MSi
Dosen Pembimbing

Diketahui oleh

Dr Ir Suryo Wiyono, MScAgr
Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala yang telah
memberikan kekuatan, rahmat, dan karunia-Nya sehingga penulis dapat

menyelesaikan tugas akhir yang berjudul Uji Rodentisida, Perangkap, dan Repelen,
serta Persepsi Masyarakat terhadap Tikus Permukiman di Cibinong, Bogor, sebagai
salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Departemen Proteksi
Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Ir Swastiko Priyambodo, MSi selaku
pembimbing skripsi yang telah memberikan masukan dan saran untuk
pelaksanaan penelitian dan penulisan skripsi. Dr Ir Tri Asmira Damayanti, MAgr
selaku dosen penguji tamu yang telah memberikan kritik dan saran untuk
penyempurnaan penulisan skripsi. Dr Ir Dadan Hindayana selaku pembimbing
akademik yang telah memberikan motivasi selama menjalani pendidikan di IPB.
Ahmad Soban selaku laboran yang telah banyak membantu penulis selama
melakukan penelitian. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Supendi,
SPd, Kokom Komari, dan Mutiara Shima Islami untuk kasih sayang, dukungan,
serta doa yang selalu diberikan serta Roy Ali Umar Bakarus, Pertiwi Suciananda,
Guruh Satria Wibowo, Niedya Octafyanna, dan Oktarina Safar Nida yang telah
memberikan semangat dan motivasi.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Maret 2016
Sonya Suci Ramadhani


DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
TINJAUAN PUSTAKA
Tikus Permukiman
Pengendalian Tikus di Permukiman
Perangkap
Rodentisida
Repelen
Persepsi Masyarakat
BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Bahan dan Alat
Metode Penelitian

Persiapan Rodentisida
Persiapan Perangkap
Persiapan Repelen
Perlakuan dan Pengamatan
Wawancara
Analisis Data
HASIL DAN BAHASAN
Pengujian Rodentisida
Pengujian Perangkap
Pengujian Repelen
SIMPULAN
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP

ix
ix
ix

1
1
1
2
3
3
3
4
4
5
5
6
6
6
6
6
6
7
7
8

8
9
9
11
15
17
17
17
18
21
24

DAFTAR TABEL
1 Konsumsi rodentisida yang diharapkan dan konsumsi rodentisida
kenyataan pada pengujian di tiga kelurahan
2 Keberhasilan pemerangkapan yang diharapkan dan keberhasilan
pemerangkapan nyata antar tiga kelurahan
3 Jenis mamalia kecil yang terperangkap di tiga kelurahan
4 Hasil identifikasi karakter kuantitatif tikus hasil pemerangkapan dengan
perangkap tunggal
5 Hasil identifikasi karakter kualitatif tikus hasil pemerangkapan dengan
perangkap tunggal
6 Tikus yang mendekati umpan dan konsumsi gabah

9
11
12
13
14
16

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5

Rodentisida berbahan aktif bromadiolon 0.005%
Perangkap dan umpan: (a) perangkap tunggal dan (b) ikan asin mentah
Mengkudu: (a) tanaman mengkudu dan (b) buah mengkudu
Perlakuan: (a) rodentisida, (b) perangkap, dan (c) repelen
Tingkat pendidikan dan ekonomi serta tindakan pengendalian oleh
masyarakat di tiga kelurahan
6 Pemilik rumah di tiga kelurahan yang menggunakan perangkap

6
7
7
8
10
12

DAFTAR LAMPIRAN
1 Analisis ragam pengujian rodentisida di tiga kelurahan
2 Lembar kuesioner mengenai tikus permukiman

21
21

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Hama permukiman merupakan organisme pengganggu yang berada di
lingkungan kehidupan manusia. Kerugian yang diakibatkan oleh hama
permukiman dapat berupa kerusakan alat atau sebagai vektor penyakit. Hama
permukiman dapat berasal dari Kelas Arachnida, yaitu tungau; Kelas Insecta yaitu
nyamuk, lalat, rayap, kutu; dan Kelas Mammalia yaitu tikus (Ditjen PPPL 2012).
Tikus permukiman adalah tikus yang berada di lingkungan permukiman
manusia yang sudah beradaptasi dengan baik terhadap aktivitas dan kehidupan
manusia (Priyambodo 2003). Jenis tikus yang sering ditemui pada daerah
permukiman adalah Rattus rattus diardii, R. norvegicus, dan Mus musculus
(Amstrong 2003). Sullivan (2002) menyatakan bahwa umumnya, tikus
permukiman berada di daerah kota dengan penduduk yang padat dan sanitasi yang
kurang baik. Tikus permukiman menimbulkan kerugian bagi kehidupan manusia.
Kerugian akibat keberadaan tikus permukiman adalah kerusakan pada bangunan
atau alat-alat listrik karena perilaku mengerat tikus. Kerugian lain berupa
kontaminasi lingkungan akibat feses atau urin yang berpotensi menjadi sumber
berbagai patogen penyebab penyakit pada manusia
Pengendalian tikus yang dapat dilakukan di permukiman antara lain
perangkap, rodentisida, atau repelen. Penggunaan perangkap sebagai teknik
pengendalian tikus di permukiman merupakan cara yang efektif, aman, dan
ekonomis karena perangkap dapat digunakan beberapa kali. Perangkap yang telah
dipakai harus dibersihkan sehingga tidak menyisakan urin atau kotoran tikus yang
berpotensi menimbulkan jera perangkap. Darmawansyah (2008) menyebutkan
bahwa perangkap yang paling efektif untuk tikus rumah adalah perangkap dengan
pintu yang terbuka ke bawah. Permada (2009) menyatakan bahwa tikus rumah
mengalami kejeraan yang lebih tinggi pada rodentisida flokumafen dibandingkan
dengan rodentisida bromadiolon. Tripathi dan Chaundary (2015) mengemukakan
bahwa rodentisida bromadiolon memiliki akseptabilitas, palatabilitas, dan
toksisitas di laboratorium dan lapang. Amelia (2015) menyebutkan bahwa ekstrak
buah mengkudu konsentrasi 70% memiliki tingkat repelensi lebih dari 64%
terhadap tikus rumah.
Persepsi masyarakat perkotaan terhadap keberadaan tikus berpotensi
memengaruhi keefektifan metode pengendalian tikus permukiman. Nugroho
(2010) menjelaskan bahwa keberadaan hama permukiman mulai meresahkan
masyarakat perkotaan. Oleh sebab itu, perlu dilakukan pengendalian yang tepat
serta berkelanjutan, demi menjaga kelestarian lingkungan serta meningkatkan
kualitas hidup manusia. Tindakan antisipatif perlu dilakukan agar populasi tikus
dapat dikendalikan dan tidak menjadi ancaman serius bagi kehidupan manusia.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan menguji rodentisida, perangkap, dan repelen di
daerah permukiman. Selain itu, untuk mengetahui metode pengendalian yang
efektif berdasarkan persepsi masyarakat perkotaan terhadap tindakan
pengendalian tikus permukiman.

2
Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini diharapkan dapat mengetahui metode
pengendalian tikus permukiman yang sesuai dengan karakteristik wilayah
permukiman. Selain itu, untuk mengetahui metode pengendalian yang efektif
berdasarkan persepsi masyarakat terhadap tindakan pengendalian tikus
permukiman.

3

TINJAUAN PUSTAKA
Tikus Permukiman
Spesies tikus di Indonesia yang paling berperan sebagai hama tanaman,
permukiman, dan vektor patogen pada manusia dan telah teridentifikasi terdapat 9
spesies, namun hanya 3 spesies yang menjadi hama penting di wilayah
permukiman, yaitu Rattus novegicus, R. rattus, dan Mus musculus (Ditjen PPPL
2012). Menurut Priyambodo (2006) kerugian yang ditimbulkan oleh keberadaan
tikus di permukiman adalah kerusakan pada bangunan serta alat listrik. Kerusakan
yang ditimbulkan oleh tikus jauh lebih besar daripada yang dikonsumsinya,
karena cara makan tikus yang sedikit demi sedikit pada beberapa bagian makanan.
Menurut Kalshoven (1981) dalam setahun tikus mampu bereproduksi
sebanyak 5 sampai 7 kali pada kondisi sumber makanan yang berlimpah.
Priyambodo (2006) menjelaskan bahwa tikus rumah mampu melahirkan anak
sebanyak 5 sampai 8 ekor dalam sekali melahirkan. Jumlah anak yang dilahirkan
tergantung ketersediaan makanan. Masa bunting tikus selama 21 hari dan pada
saat dilahirkan tikus tidak memiliki rambut dan mata tertutup. Rambut tumbuh
pada umur 1 minggu setelah dilahirkan dan mata akan terbuka pada umur 9
sampai 14 hari, kemudian tikus mulai mencari makan di sekitar sarang. Tikus
berumur 4 sampai 5 minggu mulai mencari makan sendiri, terpisah dari induknya.
Tikus rumah mencapai umur dewasa setelah kisaran umur 35 sampai 65 hari.
Tikus termasuk mamalia yang merugikan dan mengganggu kehidupan
manusia, namun dapat hidup berdampingan dengan manusia. Tikus dapat
menimbulkan berbagai penyakit salah satunya penyakit pes yang merupakan
penyakit karantina sesuai dengan International Health Regulations (IHR) tahun
1969. Pes merupakan penyakit zoonosis terutama pada tikus dan rodens lain yang
dapat ditularkan kepada manusia (Raharjo 2012).
Pengendalian Tikus di Permukiman
Pengendalian tikus permukiman secara garis besar dapat dikelompokkan ke
dalam beberapa metode pengendalian antara lain: pengendalian secara kultur
teknis, fisik mekanis, biologi, dan kimia. Menurut Amstrong (2003) pengendalian
tikus rumah di permukiman dilakukan dengan mengombinasikan beberapa teknik
pengendalian antara lain memodifikasi lingkungan atau sanitasi, penggunaan
perangkap, dan penggunaan umpan beracun (rodentisida). Modifikasi lingkungan
atau sanitasi lingkungan merupakan pengendalian jangka panjang, sedangkan
penggunaan perangkap dan umpan beracun merupakan pengendalian jangka
pendek (Sullivan 2002). Elemen penting yang harus diperhatikan untuk
mengendalikan tikus di permukiman agar efektif adalah sanitasi lingkungan
sekitar, konstruksi bangunan terhadap keberadaan tikus, dan monitoring populasi
tikus di sekitar permukiman (Salmon et al. 2003).
Pengendalian yang sesuai tikus permukiman menurut Kementerian
Pertanian RI (2013) adalah sanitasi, fisik mekanis, dan kimiawi. Pengendalian
dengan sanitasi berkaitan dengan kebersihan lingkungan sekitar permukiman agar
tikus tidak bersarang. Pengendalian ini merupakan usaha jangka panjang.
Pengendalian secara fisik mekanis merupakan usaha manusia untuk
mematikan atau memindahkan tikus secara langsung dengan menggunakan tangan

4
atau dengan bantuan alat. Pengendalian secara fisik mekanis adalah pengendalian
yang secara langsung mempengaruhi keadaan fisik tikus yang dikendalikan.
Pengendalian ini dapat dilakukan dengan berbagai cara, antara lain penggunaan
perangkap, gelombang suara ultrasonik, gelombang elektromagnetik, sinar
ultraviolet, penghalang, dan berburu (Priyambodo 2006).
Pengendalian kimiawi menggunakan umpan beracun. Sigit (2006)
mengemukakan bahwa penggunaan umpan beracun merupakan metode yang
banyak dilakukan, karena metode ini sangat mudah diaplikasikan dan didapatkan
hasil yang nyata. Pengunaan umpan beracun dapat menimbulkan beberapa
masalah antara lain dapat bersifat racun bagi hewan bukan sasaran serta berbahaya
bagi lingkungan.
Perangkap
Perangkap merupakan salah satu teknik pengendalian tikus permukiman
secara fisik mekanis. Vantassel et al. (2007) menyatakan bahwa penggunaan
perangkap untuk pengendalian tikus direkomendasikan pada lingkungan yang
sensitif terhadap bahan-bahan beracun, misalnya sekolah, permukiman, rumah
sakit, dan daerah dengan populasi tikus rendah.
Tikus memiliki sifat trap shyness yaitu suatu kejadian ketika tikus tidak mau
masuk ke dalam perangkap yang disediakan. Selain itu, faktor genetik juga dapat
memengaruhi keefektifan penggunaan perangkap, yaitu suatu keadaan dimana
pada saat awal pemerangkapan tikus mudah sekali ditangkap, tetapi pada
pemerangkapan berikutnya tikus sulit diperangkap (Priyambodo 2006). Tikus
yang memiliki bobot tubuh rendah dan masih muda sangat mudah untuk
ditangkap Salmon et al. (2003). Menurut Buckle dan Smith (1996), metode
pengendalian dengan menggunakan perangkap kurang efektif dan efisien bila
dibandingkan dengan pengendalian secara kimiawi.
Penggunaan perangkap untuk pengendalian tikus rumah pada habitat
permukiman merupakan metode pengendalian yang sederhana dan mudah
diaplikasikan. Selain itu, penggunaan perangkap merupakan suatu metode yang
aman dan tidak berisiko terhadap lingkungan dan penggunanya. Penggunaan
perangkap untuk mengendalikan tikus rumah merupakan cara yang cukup efektif
tetapi kurang diperhatikan masyarakat sebagai salah satu teknik pengendalian
(Andriani 2005).
Rodentisida
Rodentisida adalah bahan yang mengandung senyawa kimia beracun yang
digunakan untuk mematikan berbagai jenis hewan pengerat, misalnya tikus.
Rodentisida dapat membunuh tikus (hewan pengerat) dengan cara meracuni
makanannya. Menurut Prakash dan Mathur (1988) berdasarkan kecepatan
kerjanya, rodentisida dibagi menjadi dua jenis yaitu rodentisida akut (bekerja
cepat) dan rodentisida kronis (bekerja lambat). Penggunaan rodentisida yang
bersifat kronis bertujuan untuk menghindari sifat jera umpan yang dimiliki oleh
tikus, sehingga pengendalian dengan pengumpanan dapat berjalan lebih efektif.
Rodentisida antikoagulan merupakan penghambat kompetitif vitamin K
dalam sintesis faktor-faktor pembekuan darah di dalam hati sehingga mekanisme
koagulasi (pembekuan) darah terganggu. Akibatnya, terjadi pendarahan dalam
tubuh sehingga tikus mati karena kekurangan darah. Rodentisida koagulan hanya

5
menimbulkan keracunan jika tertelan. Rodentisida generasi pertama memerlukan
pemberian dosis ganda untuk menghasilkan toksisitas pada tikus. Bahan aktif
yang terkandung di dalam rodentisida ini antara lain warfarin, pindone, kumafuril,
kumaklor, dan isovaferil indanedion. Rodentisida antikoagulan generasi kedua
dapat menghasilkan toksisitas pada tikus dengan dosis tunggal. Bahan aktif yang
terkandung dalam rodentisida ini antara lain flokumafen, difenakum, brodifakum,
dan bromadiolon (Djojosumarto 2008).
Bromadiolon merupakan salah satu rodentisida golongan antikoagulan
generasi kedua yang efektif terhadap tikus dan hewan pengerat lainnya.
Bromadiolon tidak mudah terlarut dalam air, tetapi sebagai bahan teknis
bromadiolon beracun bagi organisme air (Bennet 2002). Struktur kimia dari
bromadiolon yaitu 3-[3-(4’-bromobiphenyl-4-yl)-3-hydroxy-1-phenylpropyl]-4hydroxycoumarin [28772-56-7], C30H23BrO4 (Buckle dan Smith 1996).
Bromadiolon diproduksi dalam berbagai bentuk, yaitu bentuk umpan siap saji,
tepung, dan blok. Secara umum bromadiolon digunakan dengan konsentrasi
0.005% dan sudah efektif di lapang terhadap tikus yang sudah resisten terhadap
antikoagulan generasi pertama. Bromadiolon merupakan racun antikoagulan
dengan dosis tunggal 50 mg/kg dengan LD50 kurang dari 2 mg/kg. Penggunaan
bromadiolon harus dilakukan dengan tepat dan aman karena seringkali ditemukan
bau bangkai tikus yang sulit terdeteksi (Pardosi dan Sukana 2005).
Bromadiolon mempunyai toksisitas oral yang akut (LD50= 1-3 mg/kg)
terhadap beberapa spesies hewan, baik yang termasuk hewan pengerat maupun
yang bukan hewan pengerat. Toksisitas dermal juga tinggi (LD50= 9.4 mg/kg pada
kelinci). Tikus yang mengonsumsi rodentisida ini dengan dosis yang mematikan
biasanya akan mengalami kematian pada hari ketiga setelah konsumsi (Bennett
2002).
Repelen
Repelen merupakan suatu senyawa yang beraksi secara lokal atau pada jarak
tertentu yang mempunyai kemampuan mencegah organisme untuk mendekat
(Nerio et al. 2010). Penggunaan repelen sebagai metode pengendalian tikus relatif
lebih aman, karena secara umum bahan tersebut tidak beracun namun
memengaruhi indera penciuman tikus yang berkembang baik. Bahan repelen
nabati yang memiliki kemampuan menolak tikus antara lain minyak cendana,
nilam, dan akar wangi (Natawigena et al. 2003), mengkudu, daun sirsak, bintaro,
dan berenuk (Amelia 2015).
Persepsi Masyarakat
Karakteristik individu adalah sifat-sifat yang ditampilkan seseorang yang
berhubungan dengan semua aspek kehidupannya di dunia atau lingkungannya
sendiri. Pamungkas et al. (2012) menyatakan bahwa karakteristik individu
merupakan salah satu faktor penting untuk diketahui dalam rangka mengetahui
kecenderungan perilaku seseorang atau masyarakat dalam kehidupannya. Sikap
adalah kecondongan evaluatif terhadap suatu obyek atau subyek yang memiliki
konsekuensi yakni bagaimana seseorang berhadapan dengan obyek sikap. Faktorfaktor yang memengaruhi sikap adalah pengalaman pribadi, kebudayaan, orang
lain yang dianggap penting, media massa, lembaga pendidikan, dan lembaga
agama, serta faktor emosi dalam diri individu.

6

BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan dari Bulan September hingga Desember 2015.
Penelitian dilakukan di permukiman Kelurahan Nanggewer, Nanggewer Mekar,
dan Karadenan, Kecamatan Cibinong, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan adalah ekstrak buah mengkudu, gabah, rodentisida
berbahan aktif bromadiolon 0.005%, ikan asin, tepung, dan air. Alat yang
digunakan dalam penelitian ini adalah blender, timbangan elektronik, mangkuk
kecil, nampan plastik, gelas ukur, kuas, label, perangkap tunggal, kain berukuran
20 cm x 20 cm, plastik untuk tikus mati, dan bumbung bambu.
Metode Penelitian
Penelitian ini meliputi empat tahapan kegiatan, yaitu (1) persiapan
rodentisida, perangkap, dan repelen, (2) perlakuan dan pengamatan, (3)
wawancara, dan (4) analisis data.
Persiapan Rodentisida
Rodentisida yang digunakan berbahan aktif bromadiolon 0.005% berbentuk
blok berwarna biru (Gambar 1). Rodentisida dimasukkan ke dalam bumbung
bambu, bertujuan agar tikus tertarik untuk masuk dan merasa nyaman ketika
mengonsumsinya. Kehadiran tikus mendekati dan memasuki bumbung bambu
ditandai dengan bekas pijakan tikus pada ubin jejak.
Ubin jejak merupakan alas berbahan kain dengan ukuran 20 cm x 20 cm
yang dibubuhi tepung pada seluruh tepinya sehingga apabila tikus melewatinya
akan meninggalkan bekas pijakan. Ubin jejak diletakkan di depan lubang masuk
bumbung bambu.

Gambar 1 Rodentisida berbahan aktif bromadiolon 0.005%
Persiapan Perangkap
Perangkap tikus yang digunakan pada penelitian ini adalah perangkap
tunggal (single live trap) (Gambar 2a). Ikan asin mentah sebagai umpan dipasang
di dalam perangkap (Gambar 2b). Prinsip kerja perangkap tunggal ialah tikus
menarik umpan, kemudian kawat umpan akan bergerak dan menyebabkan pintu
perangkap tertutup, sehingga tikus terperangkap di dalamnya. Sebelum diletakkan,
perangkap dibersihkan menggunakan air dan sabun untuk menghindari jera
perangkap.

7
Ubin jejak diletakkan di depan perangkap dengan tujuan untuk mengetahui
keberadaan tikus sebelum memasuki perangkap. Tikus yang melewati ubin jejak
akan meninggalkan bekas pijakan. Bekas pijakan tikus yang teramati diasumsikan
berasal dari satu ekor tikus.

b

a

Gambar 2 Perangkap dan umpan: (a) perangkap tunggal dan (b) ikan asin
mentah
Persiapan Repelen
Bahan uji yang digunakan sebagai repelen adalah buah mengkudu yang
didapat dari Kelurahan Nanggewer (Gambar 3). Bahan repelen dibuat dengan cara
mencampurkan buah mengkudu yang telah masak dan air menggunakan blender
dengan konsentrasi mengkudu 70%. Campuran buah mengkudu dan air dioles
pada bagian dalam nampan plastik berukuran 30 cm x 25 cm x 15 cm yang
dipasang secara terbalik. Gabah sebagai umpan diletakkan di dalam nampan. Ubin
jejak diletakkan di depan pintu masuk nampan dan di dalam nampan dengan
tujuan untuk mengetahui keberadaan tikus mendekati dan memasuki nampan.

a

b

Gambar 3 Mengkudu: (a) tanaman mengkudu dan (b) buah mengkudu
Perlakuan dan Pengamatan
Lokasi penelitian adalah rumah warga di tiga kelurahan. Sampel penelitian
adalah 10 rumah warga di masing-masing kelurahan. Pengambilan sampel
menggunakan teknik purposive sampling, yaitu rumah dipastikan terdapat
keberadaan tikus dan ruang yang cukup luas untuk dijadikan area perlakuan.
Perlakuan rodentisida, perangkap, dan repelen dilaksanakan di satu tempat
secara bersamaan di dalam rumah (Gambar 4). Perangkap diletakkan di antara
rodentisida dan repelen dengan jarak 2-3 m dengan posisi sejajar atau segitiga
sama sisi dan dipindah tempat sejauh 0.5–2.0 m setiap hari. Perlakuan diletakkan
di lokasi pengujian antara pukul 17.00-18.00. Hal ini disesuaikan dengan sifat
tikus yang bersifat nocturnal atau aktif mencari makan di malam hari. Setiap
perlakuan diamati setelah 24 jam selama 5 hari berturut-turut.

8

a

b

c

Gambar 4 Perlakuan: (a) rodentisida, (b) perangkap, dan (c) repelen
Pengamatan yang dilakukan berbeda pada setiap perlakuan. Pengamatan
perlakuan rodentisida adalah bobot rodentisida yang dikonsumsi, dengan
menganalisis peluang konsumsi rodentisida (PKR) dan konsumsi rodentisida
kenyataan (KRK). Pengamatan perlakuan perangkap adalah jumlah tikus yang
berhasil terperangkap, dengan menganalisis keberhasilan pemerangkapan yang
diharapkan (KPH) dan kenyataan (KPK). Pengamatan perlakuan repelen adalah
bobot gabah yang dikonsumsi dan dikaitkan dengan terdapat bekas pijakan tikus.
Pengamatan pada perlakuan rodentisida dan perangkap menurut Astuti (2013)
dilakukan dengan rumus:
Jejak tikus (%) =

Jumlah bekas pijakan tikus
× 100%
Jumlah rumah × hari pengamatan

PKR =

Jejak tikus per lokasi
× 100%
Jumlah jejak tikus pada tiga lokasi

KRK =

Konsumsi rodentisida per lokasi
× 100%
Jumlah konsumsi rodentisida pada tiga lokasi

KPH =

Jumlah bekas pijakan tikus
× 100%
Jumlah rumah × hari pengamatan

KPK =

Jumlah tikus yang terperangkap
× 100%
Jumlah rumah × hari pengamatan

Wawancara
Wawancara dilakukan kepada 30 responden yang merupakan pemilik dari
rumah yang digunakan untuk penelitian. Wawancara digunakan untuk mengetahui
persepsi masyarakat perkotaan terhadap keberadaan dan pengendalian tikus
permukiman. Kuesioner berisi pertanyaan yang berhubungan dengan pengetahuan
masyarakat mengenai tikus permukiman, sikap masyarakat terhadap kehadiran
tikus permukiman, dan tindakan masyarakat terhadap pengendalian tikus
permukiman (Lampiran 2).
Analisis Data
Data hasil pengujian rodentisida dianalisis menggunakan Rancangan Acak
Lengkap dengan lokasi pemerangkapan sebagai faktor perlakuan dan analisis
ragam taraf α=5% yang dilakukan dengan IBM SPSS Statistics 22. Data hasil
pengujian perangkap dan repelen serta hasil wawancara diolah menggunakan
Microsoft Excel 2007.

HASIL DAN BAHASAN
Pengujian Rodentisida
Pengujian rodentisida bromadiolon 0.005% di tiga wilayah permukiman
menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata (Tabel 1). Hal ini menunjukkan
bahwa rata-rata konsumsi rodentisida relatif sama di setiap kelurahan. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa peluang rodentisida untuk dikonsumsi paling
tinggi terdapat di Kelurahan Karadenan namun rodentisida yang dikonsumsi
kenyataan lebih rendah dibandingkan dengan kelurahan lainnya. Hal ini
menunjukkan bahwa banyak tikus yang tertarik mendekati rodentisida, namun
hanya sedikit tikus yang mengonsumsinya. Berbeda dengan di Kelurahan
Nanggewer Mekar, peluang rodentisida untuk dikonsumsi paling rendah namun
kenyataannya rodentisida yang dikonsumsi lebih tinggi dibandingkan dengan
kelurahan lain. Hal ini menunjukkan bahwa walaupun tikus yang tertarik
mendekati rodentisida sedikit, namun banyak tikus mengonsumsi rodentisida
walaupun dalam jumlah yang sedikit (kurang dari 1 g).
Tabel 1 Konsumsi rodentisida yang diharapkan dan konsumsi rodentisida
kenyataan pada pengujian di tiga kelurahan
Konsumsi
Jejak
Peluang
Konsumsi rodentisida
rodentisida
Lokasi
tikus
rodentisida untuk
kenyataan
kenyataan
(%)
dikonsumsi (%)
(Rata-rata ± SD, g)a
(%)
Nanggewer
42.00
29.58
0.81 ± 1.17 a
28.62
Nanggewer
32.00
22.54
1.51 ± 1.27 a
53.36
Mekar
Karadenan
68.00
47.88
0.51 ± 0.83 a
18.02
47.33
0.94 ± 1.09 a
Rerata
a

Angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut uji
Duncan pada taraf 5%

Yuliani et al. (2011) menyatakan bahwa masyarakat dengan tingkat
ekonomi dan pendidikan rendah pada umumnya kurang memedulikan keberadaan
tikus permukiman, selama gejala kerusakan yang ditimbulkan tidak parah.
Masyarakat yang memiliki tingkat ekonomi dan pendidikan yang tinggi sudah
mulai memandang bahwa keberadaan tikus di lingkungan tempat tinggal dapat
menjadi masalah serius.
Sejalan dengan hasil wawancara yang menyatakan bahwa tingkat ekonomi
dan pendidikan masyarakat di Kelurahan Karadenan lebih tinggi dibandingkan
dengan masyarakat di kelurahan lain (Gambar 5). Masyarakat di Kelurahan
Karadenan seluruhnya telah menempuh pendidikan sarjana serta didominasi oleh
masyarakat dengan penghasilan lebih dari 5 juta rupiah. Tingkat pendidikan
masyarakat di Kelurahan Nanggewer dan Nanggewer Mekar bervariasi serta
didominasi oleh masyarakat dengan penghasilan antara 2-5 juta rupiah. Hal ini
memengaruhi tindakan masyarakat dalam mengendalikan tikus di permukiman.

10

Sarjana
Diploma
SMA

Karadenan
Nanggewer Mekar
Nanggewer

≥ 5 Juta
2 Juta
Juta
2>Juta
< x- >< 55 Juta
≤ 2 Juta
Tindakan pengendalian
0

2

4

6

8

10

Jumlah
responden
Gambar 5 Tingkat pendidikan dan ekonomi
serta
tindakan pengendalian oleh
masyarakat di tiga kelurahan
Tindakan masyarakat dalam melakukan pengendalian terhadap tikus
permukiman berpotensi memengaruhi bobot rodentisida kenyataan yang
dikonsumsi. Masyarakat yang melakukan tindakan antisipatif atau kuratif di
lingkungan tempat tinggal dapat menyebabkan konsumsi rodentisida sedikit
akibat tingkat kecurigaan tikus semakin tinggi. Hal ini sesuai dengan pendapat
Liem (1979) yang menyebutkan bahwa setiap perubahan yang terjadi pada
lingkungan akan segera dijauhi dan dihindari oleh tikus. Kejadian ini
mengakibatkan tikus cenderung memasuki rumah yang tidak dilakukan
pengendalian apapun.
Tindakan pengendalian terhadap tikus permukiman tertinggi dilakukan oleh
masyarakat Kelurahan Karadenan. Hal ini menyebabkan konsumsi rodentisida
lebih rendah karena tikus memiliki tingkat kecurigaan yang tinggi terhadap
metode pengendalian yang digunakan.
Masyarakat yang tidak memedulikan keberadaan tikus permukiman di
lingkungan tempat tinggal umumnya tidak melakukan tindakan pengendalian.
Priyambodo (2003) mengemukakan bahwa tikus bergerak antar lokasi hanya
melalui suatu jalan khusus yang selalu diulang-ulang yang disebut dengan runway.
Tindakan pengendalian yang tidak dilakukan di lingkungan tempat tinggal
menyebabkan tikus mudah beradaptasi dengan lingkungan tempat tinggal,
sehingga menimbulkan habitat yang nyaman bagi tikus untuk beraktivitas, seperti
membuat sarang, mencari pakan, dan berkembang biak.
Pengetahuan masyarakat di Kecamatan Cibinong mengenai rodentisida
sebagai metode pengendalian tikus permukiman yaitu 60% (18 responden),
namun tidak ada masyarakat yang mengaplikasikan rodentisida di tempat
tinggalnya. Hal ini diakibatkan masyarakat memandang bahwa rodentisida
bersifat racun sehingga dapat kontak langsung dan membahayakan manusia atau
hewan peliharaaan.

11
Pengujian Perangkap
Pengujian perangkap tikus dilakukan dengan melihat selisih antara
keberhasilan pemerangkapan kenyataan (real trap success) dan keberhasilan
pemerangkapan yang diharapkan (expected trap success), dengan asumsi bahwa
setiap ubin jejak yang teramati berasal dari satu ekor tikus (Tabel 2). Keberhasilan
pemerangkapan tertinggi terdapat di Kelurahan Karadenan diikuti oleh
Nanggewer Mekar dan Nanggewer. Menurut Hadi et al. (1991), pada kondisi
normal keberhasilan pemerangkapan di habitat rumah adalah sebesar 7%. Hal ini
menunjukkan bahwa angka kepadatan tikus di tiga kelurahan ini tergolong tinggi
sehingga perlu dilakukan pengendalian tikus secara intensif.
Tabel 2 Keberhasilan pemerangkapan yang diharapkan dan keberhasilan
pemerangkapan nyata antar tiga kelurahan
Lokasi
Nanggewer
Nanggewer Mekar
Karadenan
Rerata

Keberhasilan
pemerangkapan yang
diharapkan (%)
24
22
48
31.33

Keberhasilan
pemerangkapan
kenyataan (%)
20
22
28
23.33

Selisih keberhasilan
pemerangkapan (%)
4
0
20
8

Jumlah bekas pijakan pada ubin jejak yang ditempatkan di depan bumbung
bambu (47.33%) lebih tinggi dibandingkan di depan perangkap (31.33%).
Priyambodo (2006) menjelaskan bahwa tikus memiliki sifat mudah curiga atau
berhati-hati terhadap setiap benda yang ditemuinya. Kecurigaan tikus terhadap
perangkap lebih besar dibandingkan dengan bumbung bambu karena kondisi
dalam bumbung bambu gelap dan lembap serupa dengan kondisi habitat tikus.
Sementara itu, perangkap terbuat dari ram kawat sehingga menimbulkan kondisi
asing bagi tikus.
Di Kelurahan Nanggewer Mekar tidak terdapat selisih antara keberhasilan
pemerangkapan yang diharapkan dengan keberhasilan pemerangkapan kenyataan,
artinya setiap tikus yang tertarik dengan umpan dan mendekati perangkap berhasil
terperangkap. Selisih keberhasilan pemerangkapan paling tinggi terdapat di
Kelurahan Karadenan sebesar 20%, artinya terdapat 24 ekor tikus yang mendekati
perangkap namun 10 ekor tikus tidak masuk perangkap. Hal tersebut dapat
dipengaruhi oleh tindakan masyarakat antar kelurahan dalam melakukan
pengendalian tikus dengan menggunakan perangkap. Masyarakat di Kelurahan
Karadenan sudah terbiasa menggunakan perangkap untuk mengendalikan tikus,
sedangkan Kelurahan Nanggewer dan Nanggewer Mekar lebih sedikit (Gambar
6).
Buckle dan Smith (1996) merekomendasikan bahwa perangkap hanya
digunakan untuk 2 sampai 3 kali pemerangkapan saja, karena tikus memiliki sifat
trap shyness (jera perangkap). Jera perangkap adalah suatu kejadian ketika tikus
tidak mau masuk ke dalam perangkap yang disediakan atau suatu keadaan ketika
pada saat awal pemerangkapan tikus mudah sekali ditangkap, tetapi pada
pemerangkapan berikutnya tikus sulit diperangkap (Priyambodo 2006).

12

6 responden
9 responden

Nanggewer
Nanggewer Mekar

4 responden

Karadenan

Gambar 6 Pemilik rumah di tiga kelurahan yang menggunakan perangkap
Hasil pemerangkapan menunjukkan bahwa terdapat dua jenis mamalia kecil
yang terperangkap, yaitu tikus rumah (R. rattus diardii) dan cecurut rumah
(Suncus murinus) (Tabel 3). Hasil pemerangkapan di Kelurahan Karadenan
menunjukkan bahwa cecurut rumah lebih banyak terperangkap, sedangkan di
Kelurahan Nanggewer dan Nanggewer Mekar menunjukkan bahwa tikus rumah
lebih banyak terperangkap.
Ristiyanto et al. (2006) mengemukakan bahwa cecurut rumah merupakan
insektivora yang cenderung beraktivitas di luar rumah daripada di dalam rumah,
seperti membuat sarang, berkembang biak, berlindung, dan mencari makan.
Cecurut rumah masuk ke dalam rumah saat sanitasi rumah buruk, terdapat banyak
lubang di dinding rumah, dan tertarik oleh sisa makanan manusia. Hal ini sesuai
dengan Priyambodo (2003) yang mengungkapkan bahwa cecurut rumah mampu
beradaptasi baik dengan pakan selain serangga, yaitu sisa makanan manusia.
Hasil identifikasi berdasarkan karakter kuantitatif menunjukkan bahwa
spesies tikus yang terperangkap ialah tikus rumah (R. rattus diardii) (Tabel 4).
Tikus rumah memiliki bentuk badan sedang atau kecil dengan ukuran panjang
total kurang dari 400 mm. Warna badan bagian ventral gelap, mirip dengan warna
bagian dorsal. Ekor dapat berukuran lebih panjang atau lebih pendek dari ukuran
panjang kepala dan badan.
Tabel 3 Jenis mamalia kecil yang terperangkap di tiga kelurahan
Jenis hewan terperangkap
Lokasi
Tikus rumah
Cecurut rumah
(ekor)
(ekor)
Nanggewer
Jantan
6
4
Betina
0
Nanggewer Mekar
Jantan
5
2
Betina
4
Karadenan
Jantan
4
8
Betina
2

Jumlah
(ekor)
10

11

14

13
Tabel 4 Hasil identifikasi karakter kuantitatif tikus hasil pemerangkapan dengan
perangkap tunggal
Jenis
Jenis
tikus kelamin

Karakter kuantitatif
W
(g)

HB
(mm)

TR
TR
TR
TR
TR
TR

Jantan
Jantan
Jantan
Jantan
Jantan
Jantan

90.80
114.70
55.54
18.75
42.51
88.11

185
185
128
89
110
161

TR
TR
TR
TR
TR
TR
TR
TR

Jantan
Jantan
Betina
Jantan
Betina
Betina
Jantan
Betina

31.28
17.63
55.76
88.11
64.00
40.72
18.88
40.76

107
86
118
161
118
108
87
98

TR
TR
TR
TR
TR
TR

Jantan
Jantan
Betina
Betina
Jantan
Jantan

114.37
92.30
49.76
55.83
20.37
41.35

185
187
108
120
95
109

T
TL
E
HF
I
MF
(mm) (mm) (mm) (mm) (mm) (pasang)
Nanggewer
147
332 20
33
4
0
175
360 21
35
5
0
149
277 15
34
3
0
108
197 10.8
26
2
0
128
238 15
28
3
0
174
335 17
34
4
0
Nanggewer Mekar
126
233 16
28
3
0
110
188 15
22
2
0
137
255 14
33
3
5
174
335 17
34
4
0
162
280 19
32
3
5
142
250 19
34
3
5
142
102 11
26
2
0
143
250 18
34
3
5
Karadenan
175
350 12
23
5
0
147
334 20
34
4
0
135
243 13
31
3
5
137
257 13
33
3
5
120
215 10
21
2
0
125
234 15
26
3
0

Keterangan: TR= Tikus rumah; W (weight)= bobot tubuh; HB (head and body)= ukuran panjang
kepala dan badan; T (tail)= ukuran panjang ekor; TL (total length)= ukuran panjang total; E (ear)=
ukuran lebar daun telinga; HF (hind foot)= ukuran panjang telapak kaki belakang; I (incisors)=
ukuran lebar sepasang gigi pengerat rahang atas; MF (Mammary formula)= jumlah puting susu.

Hasil identifikasi berdasarkan karakter kualitatif menunjukkan bahwa tikus
rumah pradewasa memiliki warna badan coklat muda atau coklat kekuningan,
moncong berbentuk kerucut, badan berbentuk silindris, dan rambut bertekstur
halus (Tabel 5). Tikus rumah dewasa memiliki warna badan coklat kehitaman atau
coklat tua, moncong berbentuk kerucut terpotong, badan berbentuk silindris
membesar ke belakang, dan rambut bertekstur kasar.
Tikus rumah merupakan jenis tikus yang paling banyak terperangkap di
dalam rumah dan merupakan tikus yang umum ditemukan pada rumah penduduk
di Pulau Jawa (Aplin et al. 2003). Tikus rumah berperan penting dalam penularan
beberapa penyakit seperti pes, leptospirosis, dan enterobiasis. (Ramadhani dan
Yuniarto 2012).

14
Tabel 5 Hasil identifikasi karakter kualitatif tikus hasil pemerangkapan dengan
perangkap tunggal
Karakter kualitatif
Jenis
tikus

Jenis
kelamin

Warna
Dorsal
B
E

TR
TR
TR
TR
TR
TR

Jantan
Jantan
Jantan
Jantan
Jantan
Jantan

CK
CK
CT
CM
CM
CK

CK
CK
CK
CT
CT
CK

TR
TR
TR
TR
TR
TR
TR
TR

Jantan
Jantan
Betina
Jantan
Betina
Betina
Jantan
Betina

CN
CM
CM
CT
CM
CM
CM
CM

CK
CT
CT
CT
CT
CT
CT
CT

TR
TR
TR
TR
TR
TR

Jantan
Jantan
Betina
Betina
Jantan
Jantan

CK
CK
CN
CM
CM
CM

CK
CT
CT
CK
CT
CT

Bentuk
hidung
(moncong)

Bentuk
badan

KT
KT
K
K
K
KT

Ventral
B
E
Nanggewer
CM CK
CM CK
CT
CK
CN
CT
CN
CT
CM CK
Nanggewer Mekar
CN
CK
CN
CT
CN
CT
CM
CT
CN
CT
CN
CT
CN
CT
CN
CT
Karadenan
CM CK
CT
CT
CM
CT
CM CK
CN
CT
CN
CT

Rambut
T

U

SB
SB
S
S
S
SB

KA
KA
HA
HA
HA
KA

SE
PA
PE
PE
PE
SE

K
K
K
K
K
K
K
K

S
S
S
SB
S
S
S
S

HA
HA
HA
HA
HA
HA
HA
HA

PE
PE
PE
SE
SE
PE
PE
PE

KT
KT
K
K
K
K

SB
SB
S
S
S
S

KA
KA
HA
HA
HA
HA

PA
SE
PE
PE
PE
PE

Keterangan: TR= Tikus rumah; B= badan; E= ekor; T= tekstur; U= ukuran; CK= coklat
kehitaman; CM= coklat muda; CT= coklat tua; CN= coklat kekuningan; KT= kerucut terpotong;
K= kerucut; SB= silindris membesar ke belakang; S= silindris; KA= kasar, HA= halus, PA=
panjang, SE= sedang, PE= pendek.

Perkembangbiakan tikus tidak hanya dipengaruhi oleh faktor sanitasi rumah
akan tetapi ada beberapa faktor lain, yaitu jenis makanan, susunan barang, serta
suhu, dan kelembaban. Tikus memiliki kecenderungan untuk mengonsumsi
makanan yang disenangi manusia yaitu, karbohidrat, protein, lemak, serta akan
membuat sarang yang tidak jauh dari sumber makanan dan air. Barang yang tidak
tersusun dengan rapi akan menyebabkan tikus mudah untuk membuat sarang atau
tempat persembunyian. Barang-barang harus disusun pada rak dengan ketinggian
30 cm dari permukaan lantai (Priyambodo 2006).

15
Menurut jenis kelamin, jumlah tikus yang paling banyak tertangkap ialah
tikus jantan sebesar 71% (15 ekor), sedangkan tikus betina sebesar 29% (6 ekor).
Hal ini sejalan dengan penelitian Handayani dan Ristiyanto (2008) dan Jacob et al.
(2004) yang menunjukkan bahwa tikus yang tertangkap lebih banyak berjenis
kelamin jantan daripada betina. Hal ini berbeda dengan pernyataan Priyambodo
(2003) yang menyebutkan bahwa tikus betina lebih mudah ditangkap daripada
tikus jantan, karena dalam kelompok tikus, tikus betina merupakan individu
pencari makan untuk anak-anaknya, sedangkan jantan berperan sebagai penjaga
sarang atau wilayah teritorialnya. Perbedaan hasil pemerangkapan antara jantan
dan betina dapat dipengaruhi oleh jumlah populasi awal, kondisi lingkungan, dan
musim. Hasil pemerangkapan pada musim hujan menunjukkan tikus betina lebih
mudah diperangkap, namun pada musim kemarau sebaliknya.
Jenis kelamin jantan lebih banyak ditemukan dalam penelitian ini diduga
karena adanya pengaruh perebutan wilayah territorial (kekuasaan), home range
(daya jelajah harian), serta ketersediaan pakan dan air. Menurut Ristiyanto et al.
(2006) wilayah teritorial merupakan suatu wilayah atau daerah tempat tinggal
tikus yang dipertahankan dari masuknya tikus sejenis. Jika terjadi peningkatan
populasi tikus di daerah territorial maka akan timbul kompetisi yang memaksa
kedudukan tikus jantan yang lebih rendah statusnya dalam hierarki sosial untuk
segera keluar dan mencari wilayah yang baru. Home range merupakan wilayah
tempat tinggal yang tidak dapat dipertahankan oleh tikus, sehingga dapat
ditempati oleh tikus jenis lain atau tikus sejenis dari kelompok lain. Jika home
range diambil tikus lain maka tikus jantan akan mencari wilayah home range
yang lainnya. Selain itu, ketersediaan pakan dan air yang kurang juga dapat
menyebabkan tikus jantan keluar dari sarang untuk mencari sumber pakan dan air.
Pengujian Repelen
Pengujian repelen di tiga permukiman dilakukan dengan mengamati bobot
gabah yang dikonsumsi dan jumlah bekas pijakan tikus pada ubin jejak, dengan
asumsi bahwa setiap ubin jejak yang teramati berasal dari satu ekor tikus. Ratarata gabah yang diletakkan di dalam nampan yang telah diolesi repelen tidak
dikonsumsi oleh tikus (Tabel 4). Hal ini menunjukkan bahwa ekstrak buah
mengkudu memberikan pengaruh untuk mengusir tikus. Hasil pengujian sesuai
dengan penelitian Wathkins et al (1998) yang mengungkapkan bahwa repelen
dapat digunakan untuk memanipulasi pola konsumsi vertebrata hama sehingga
dapat menurunkan tingkat kerusakan yang diakibatkan oleh hama tersebut.
Menurut Marsh dan Salmon (2010) dan Hansen et al. (2015), keberhasilan
repelen sebagai metode pengendalian tikus sangat dipengaruhi oleh jenis tikus,
cara kerja, dan kondisi lingkungan. Hermawan (2010) menyebutkan bahwa
semakin transparan daging buah mengkudu, maka penggunaan sebagai repelen
semakin efektif. Ekstrak buah mengkudu memiliki kemampuan untuk mengusir
tikus karena mengeluarkan aroma yang menyengat. Winarti (2005)
mengemukakan bahwa kandungan asam kaproat dan kaprat dalam buah
mengkudu menyebabkan munculnya aroma yang menyengat terutama pada buah
matang.
Tikus memiliki indera penciuman yang berkembang dengan baik. Hal ini
ditunjukkan dengan aktivitas tikus menggerak-gerakkan kepala serta mendengus
pada saat mencium bau pakan, tikus lain, atau musuhnya (predator). Penciuman

16
tikus yang baik ini juga bermanfaat untuk mencium urin dan sekresi genitalia.
Dengan kemampuan ini tikus dapat menandai wilayah pergerakan tikus lainnya,
mengenali jejak tikus yang masih tergolong dalam kelompoknya, mendeteksi
tikus betina yang sedang estrus (berahi) (Priyambodo 2003).
Tabel 6 Tikus yang mendekati umpan dan konsumsi gabah
Jumlah tikus yang mendekati
Rata-rata
Kelurahan
umpan (ekor)
konsumsi gabah (g)
Nanggewer
16
0.01
Nanggewer
7
0
Mekar
Karadenan
11
0
Indera penciuman tikus diketahui memiliki dua jenis reseptor
pengidentifikasi bau yang berbeda. Reseptor mengirimkan informasi ke otak
untuk mengasosiasikan bau dengan bahaya, misalnya bau tubuh predator atau bau
tidak menyenangkan, seperti bau busuk yang berarti makanan tidak layak (Yusri
2015).
Tikus terusir oleh repelen diakibatkan karena tikus curiga terhadap
lingkungan yang baru, tidak menyukai aroma yang dihasilkan oleh bahan repelen,
atau terganggu oleh aroma ekstrak mengkudu. Terdapat keterkaitan antara aroma
spesifik yang dihasilkan ekstrak buah mengkudu dengan tikus yang memiliki
indera penciuman yang sangat peka. Menurut Alviventiasari (2012), aroma dapat
memengaruhi pikiran maupun tingkah laku tikus. Aroma yang dihirup tersebut
dapat memberi rangsangan yang kuat terhadap indera penciuman. Penggunaan
bahan repelen yang mampu menekan aktivitas makan tikus secara tidak langsung
dapat menyebabkan kematian akibat kemampuan bertahan tikus berkurang.
Pengetahuan masyarakat di Kecamatan Cibinong mengenai mengkudu
sebagai bahan repelen nabati dapat menjadi metode pengendalian tikus
permukiman yaitu 36.7% (11 responden), namun hanya 3.3% (1 responden) yang
mengaplikasikan di tempat tinggalnya. Hal ini karena masyarakat memandang
bahwa hasil pengaplikasian buah mengkudu sebagai repelen tidak dapat segera
terlihat dibandingkan metode pengendalian lain seperti perangkap. Selain itu,
beberapa responden menyatakan terganggu dengan aroma yang dihasilkan oleh
buah mengkudu.

SIMPULAN
Simpulan
Uji rodentisida bromadiolon 0.005% di tiga wilayah permukiman
menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata antar kelurahan. Peluang tertinggi
tikus dalam mengonsumsi rodentisida terdapat di Nanggewer Mekar (47.89%).
Perangkap tunggal yang dipasang menunjukkan keberhasilan pemerangkapan
yang tinggi (28%). R. rattus diardii merupakan jenis tikus yang paling banyak
terperangkap 52.3% (11 ekor). Tikus yang terperangkap didominasi oleh tikus
jantan 71% (15 ekor). Ekstrak buah mengkudu sebagai repelen yang diaplikasikan
memiliki pengaruh yang sama untuk mengusir tikus permukiman. Tingkat
ekonomi dan pengetahuan masyarakat memengaruhi tindakan pengendalian
terhadap tikus permukiman. Metode pengendalian tikus permukiman yang efektif
sesuai dengan karakteristik wilayah permukiman dan diterima oleh masyarakat
ialah penggunaan perangkap.

Saran
Perlu dilakukan penelitian mengenai pengelolaan tikus di permukiman.
Pengelolaan tikus harus berdasarkan pada aspek sosial, budaya, ekonomi, dan
ekologi mengingat populasi tikus di permukiman sangat tinggi dan sudah
meresahkan masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA
Andriani DS. 2005. Ketertarikan tikus sawah (Rattus argentiventer Robb. &
Kloss.), tikus rumah (Rattus rattus diardii Linn.), dan wirok kecil
(Bandicota bengalensis Gray & Hardwicke) terhadap beberapa jenis
perangkap [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Amelia TS. 2015. Pengujian repelensi dari empat jenis tanaman terhadap tikus
rumah (Rattus rattus diardii L.) [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian
Bogor.
Amstrong JB. 2003. Controlling rats and mice around your home [Internet].
Auburn (US): Auburn University; [diunduh 2015 Mei 22]. Tersedia pada:
http://www.aces.edu/pubs/docs/A/ANR-0688/ANR-0688.pdf.
Alviventiasari RS. 2012. Pengaruh pemberian dosis bertingkat jus mengkudu
(Morinda citrifolia L.) terhadap jumlah eritrosit tikus galur wistar (Rattus
norvegicus) yang diberi paparan asap rokok [skripsi]. Semarang (ID):
Universitas Diponegoro.
Aplin KP, Brown J, Jacob CJ, Krebs, Singleton GR. 2003. Field methods for
rodent studies in Asia and the Indo-Pacific. Canberra (AUS): Australian
Centre for International Agricultural Research.
Astuti DR. 2013. Keefektifan rodentisida racun kronis generasi II terhadap
keberhasilan pemerangkapan tikus. Jurnal Kesehatan Masyarakat. 8(2):
183-189.
Bennet SM. 2002. Rodenticide [Internet]. London (GB): The Pied Piper; [diunduh
2015 Mei 22]. Tersedia pada: http://www.the-piedpiper.co.uk/th15(b).htm.
Buckle AP, Smith RH. 1996. Rodent Pests and Their Control. Wallingford (GB):
CABI.
Darmawansyah A. 2008. Rancang bangun perangkap untuk pengendalian tikus
rumah (Rattus rattus diardii Linn.) pada habitat permukiman [skripsi].
Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
[Ditjen PPPL] Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan Penyehatan
Lingkungan. 2012. Hama permukiman di Indonesia [internet]. Jakarta (ID):
Ditjen PP dan PL; [diunduh 2015 Mei 28]. Tersedia pada: http://ppp
l.depkes.go.id/_asset/_download/Leaflet_Urban_Pests_sugik_28_Maret_20
12.pdf.
Djojosumarto P. 2008. Pestisida dan Aplikasinya. Jakarta (ID): Agromedia
Pustaka.
Hadi TR, Ristiyanto, Ima NI, Nina N. 1991. Jenis-jenis ektoparasit pada tikus di
Pelabuhan Tanjung Mas, Semarang. Di dalam: Hadi TR et al., editor.
Biologi dalam Perubahan Lingkungan dan Sosial. Prosiding Seminar
Biologi (PSB) VII; 1991 Okt 5; Pandaan (ID): PSB. hlm: 257-261.
Handayani DF, Ristiyanto. 2008. Rapid assessment inang reservoir leptospirosis
di daerah pasca gempa Kecamatan Jogonalan, Kabupaten Klaten, Jawa
Tengah. Buletin Penelitian Kesehatan. 36(1):1-9.
Hansen SC, Stolter C, Jacob J. 2015. The smell to repel: The effect of odors on
the feeding behavior of female rodents. Journal Crop Protection. 78(1):270276. doi: 10.1016/j.cropro.2015.09.019.

19
Hermawan S. 2010. Efek ekstrak buah mengkudu terhadap kadar enzim sgot dan
sgpt pada mencit dengan induksi karbon tetraklorida [skripsi]. Solo (ID):
Universitas Sebelas Maret.
Jacob J, Herawati A, Davis N, Singleton NA. 2004. The impact of sterilized
females on enclosed