Prevalensi dan Risiko Infeksi Cacing Jantung pada Anjing yang Diimpor melalui Bandara Soekarno Hatta

(1)

PREVALENSI DAN RISIKO INFEKSI

CACING JANTUNG PADA ANJING YANG DIIMPOR

MELALUI BANDARA SOEKARNO-HATTA

ESMIRALDA EKA FITRI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2009


(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Prevalensi dan Risiko Infeksi Cacing Jantung pada Anjing yang Diimpor melalui Bandara Soekarno-Hatta adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Januari 2009 Esmiralda Eka Fitri NRP. B251064014


(3)

ABSTRACT

ESMIRALDA EKA FITRI. Prevalence and Risk of Heartworm Infection in Imported Dog through Soekarno-Hatta International Airport. Under direction of FADJAR SATRIJA and HADI WARDOKO.

The present study determined prevalence and risk factors associated with D. immitis infection in pet dogs imported through Soekarno-Hatta International Airport in period of January-November 2008. Eleven (8.2%) of 134 samples tested with antigen detecting ELISA kits showed positive reaction for D. immitis antigen. Prevalence of D. immitis infection in dogs imported from countries in Europe, Asia, Australia and America were 6.5, 10.6, 11.1, and 3.6% respectively. Chi2 analysis showed no significant association between prevalence and origin of importation area. No infected dogs were found in the period of January – June, whereas prevalence of D. immitis infection among the imported dogs was 15% in July-November. Chi2 analysis revealed a significant association between prevalence of heartworm infection and period of importation. More male (9.4%) than female (8.6%) dogs were affected in this study, although there was no significant difference between both groups. The seroprevalence was 7.9% in <3-year-old group, 5.9% in 3-6-<3-year-old group, and 12.5% in >6-<3-year-old group. Age group of dogs was no associated with seroprevalence of D. immitis. Despite more dogs with short hair (11.9%) was higher than longhair (6.5%) exhibited positive reaction to D. immitis antigens, no association was found between seroprevalence and the length of dog hair. This study revealed that importation of dogs posses risk for spreading of heartworm infection in dogs in Indonesia.

Comparative study between serological CHD diagnosis method and

modified knott, has been done. From 11 samples, only 1 sample showed positive reaction for D. immitis with serologic test, while using knott detection

method showed negative result for samples taken at 10.00 am and 22.00 pm. This study revealed that serologic method is more effective to detect CHD and recommended to diagnostic method in quarantine station laboratory.


(4)

RINGKASAN

ESMIRALDA EKA FITRI. Prevalensi dan Risiko Infeksi Cacing Jantung pada Anjing yang diimpor melalui Bandara Soekarno-Hatta. Di bawah bimbingan FADJAR SATRIJA dan HADI WARDOKO).

Studi dirofilariosis pada anjing impor telah dilakukan secara lintas seksional untuk: (1) Mengetahui prevalensi infeksi D. immitis pada anjing yang diimpor melalui Bandar Udara Soekarno-Hatta, (2) Mengkaji faktor-faktor risiko

timbulnya Canine Heartworm Disease (CHD) pada anjing impor dan (3) Mengetahui teknik dan metoda yang akurat dan efisien sebagai bahan validasi

metoda pemeriksaan dirofilariosis.

Sebanyak 134 sampel serum anjing impor berumur minimal enam bulan (≥

6 bulan) yang dilalulintaskan melalui Balai Besar Karantina Pertanian Soekarno-Hatta, diambil pada periode bulan Januari sampai dengan Nopember 2008. Jumlah sampel serum yang diambil dari setiap negara pengekspor anjing dilakukan secara proporsional dengan metoda Probability Proportional to Size (McGinn 2004). Infeksi D. immitis pada anjing tersebut dideteksi secara serologis dengan metode ELISA menggunakan Kit ELISA komersial (DiroCHEK®Canine Heartworm Antigen Test Kit; Synbiotics Corporation,San Diego, CA). Data-data tentang berbagai faktor yang dapat menjadi faktor risiko infeksi seperti umur, jenis kelamin, ras dan asal negara diperoleh dari keterangan pada Surat Kesehatan Hewan (Animal Health Certificate). Studi kasus dengan metoda serologis ini menghasilkan data prevalensi infeksi anjing yang diimpor melalui BBKP SH pada bulan Januari – Nopember 2008.

Untuk mengetahui efektifitas metoda pemeriksaan terhadap CHD dilakukan pengujian terhadap 11 sampel darah dengan 2 metoda yang akan dibandingkan, yaitu menggunakan metode konsentrasi/uji Knott (konvensional) dan menggunakan kit komersial untuk mendeteksi antigen D immitis. Sampel darah diambil dari 7 ekor anjing impor dan empat ekor anjing milik BBKP SH. Pengujian dengan metoda Knott dilakukan pada dua waktu yaitu pada pukul 10.00 (pagi) dan 22.00 (malam). Hal ini dilakukan dengan mempertimbangkan periodisitas mikrofilaria dalam peredaran darah anjing yang mencapai puncaknya pada pukul 23.00 – 24.00 (Karmil 2002), sedangkan untuk metode serologi sampel diambil pada saat jam kerja (08.00 – 16.00).

Prevalensi CHD pada anjing yang diimpor melalui Bandar Udara Soekarno-Hatta selama bulan Januari – Nopember 2008 didapatkan sebesar 8,2%. Ditinjau dari wilayah asal impor yaitu Eropa, Asia, Australia dan Amerika, didapatkan prevalensi masing-masing sebesar 6,5%, 10,6%, 11,1% dan 3,6%. Analisis chi square menunjukkan tidak ada asosiasi antara prevalensi dan wilayah asal impor. Pada periode impor Januari – Juni tidak didapatkan anjing yang terdeteksi positif CHD sedangkan periode Juli – Nopember dideteksi sebesar 15% anjing dideteksi CHD. Chi square menyatakan adanya asosiasi nyata antara prevalensi dan periode impor (P<0,05). Berdasarkan jenis kelamin, ditemukan prevalensi lebih tinggi pada hewan jantan (9,4%) dibanding betina (8,6%) meskipun tidak ada perbedaan nyata antara keduanya. Anjing umur >6 tahun mempunyai prevalensi paling tinggi (12,5%) dibanding kelompok umur <3 tahun


(5)

(7,9%) dan umur 3 – 6 tahun (5,9%) namun tidak ditemukan asosiasi antara prevalensi dan kelompok umur. Analisis terhadap ras anjing juga tidak ditemukan keterkaitan nyata antara prevalensi CHD dan ras anjing, meskipun ditemukan prevalensi pada ras rambut pendek lebih tinggi (11,9%) dibanding rambut panjang (6,5%). Studi ini menyatakan bahwa anjing impor berpotensi sebagai risiko dalam penyebaran cacing jantung pada anjing di Indonesia.

Pengujian secara serologis dan modifikasi Knott untuk membandingkan efektifitas antara kedua metoda tersebut menunjukkan satu sampel dideteksi positif CHD dengan menggunakan metoda serologis, namun tidak ditemukan sampel positif baik pada sampel yang diambil pada pukul 10.00 (pagi) maupun pukul 22.00 (malam) pada metoda modifikasi knott. Hal ini menunjukkan bahwa metode serologis lebih efektif dalam mendeteksi CHD dibanding modifikasi Knott dan dapat direkomendasikan sebagai metoda standar untuk pengujian cacing jantung di laboratorium karantina hewan.


(6)

©Hak cipta milik IPB, tahun 2009

Hak Cipta dilindungi Undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber.

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk laporan apapun tanpa izin IPB


(7)

PREVALENSI DAN RISIKO INFEKSI

CACING JANTUNG PADA ANJING YANG DIIMPOR

MELALUI BANDARA SOEKARNO-HATTA

ESMIRALDA EKA FITRI

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2009


(8)

(9)

Judul Tesis : Prevalensi dan Risiko Infeksi Cacing Jantung pada Anjing yang Diimpor melalui Bandara Soekarno-Hatta

Nama : Esmiralda Eka Fitri

NIM : B251064014

Disetujui Komisi Pembimbing

drh. Fadjar Satrija, MSc, Ph.D drh. Hadi Wardoko, MM

Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Kesehatan Masyarakat Veteriner

Dr. drh. Denny Widaya Lukman, M.Si. Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S.


(10)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala rahmat dan hidayahNya sehingga karya ilmiah yang berjudul Prevalensi dan Risiko Infeksi Cacing Jantung pada Anjing yang diimpor melalui Bandara Soekarno-Hatta ini dapat diselesaikan dengan baik. Haturan terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Drh. Fadjar Satrija, MSc, Ph.D dan Bapak Drh. Hadi Wardoko, MM selaku pembimbing atas arahan yang diberikan sehingga karya ini dapat diselesaikan dengan baik. Disamping itu penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Kepala Badan Karantina Pertanian dan Kepala Pusat Karantina Hewan yang telah memberi kesempatan penulis mengikuti program pascasarjana ini, Kepala Balai Besar Karantina Pertanian Soekarno-Hatta dan Kepala Balai Besar Uji Standar Karantina Pertanian beserta staf dan semua pihak yang telah sangat membantu kelancaran proses penelitian penulis. Ungkapan terima kasih tak henti-hentinya penulis sampaikan kepada suami tercinta, Drh. Irpansyah Batubara, MSi, ananda Divanka Noviazra Batubara serta ayah dan ibu atas dukungan dan doa yang diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan program ini dengan lancar. Tak lupa buat teman-teman kelas khusus KMV Karantina, terima kasih atas kebersamaannya sehingga program ini bisa kita selesaikan bersama-sama.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat dan dapat digunakan sebagaimana mestinya.

Jakarta, Januari 2009 Esmiralda Eka Fitri


(11)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kendari pada tanggal 4 September 1978 dari ayah Ir. Amri Dayan, SE dan ibu Nuraini. Penulis merupakan anak pertama dari empat bersaudara. Pendidikan sarjana ditempuh di Fakultas Kedokteran Hewan IPB, lulus pada tahun 2000 kemudian dilanjutkan Program Pendidikan Dokter Hewan (PPDH) IPB lulus pada tahun 2002.

Penulis bekerja di Kantor Pusat Badan Karantina Pertanian pada unit kerja Pusat Teknik dan Metoda pada tahun 2004 – 2006, lalu pada tahun 2006 sampai dengan sekarang ditempatkan di unit kerja Pusat Karantina Hewan. Untuk meningkatkan kemampuan teknis dan wawasan tentang perkarantinaan hewan, penulis diberi kesempatan untuk mengikuti berbagai pelatihan antara lain Training of Animal Quarantine Management di Malaysia pada (2006) dan Seminar for Commodity Inspection and Quarantine Official of Developing Countries di Republik Rakyat Cina (2008). Pada tahun 2007 penulis mendapat kesempatan untuk tugas belajar dari Badan Karantina Pertanian pada program Magister Sains (S2) Kesehatan Masyarakat Veteriner di Sekolah Pascasarjana IPB.


(12)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL……….. xii

DAFTAR GAMBAR………... xiii

PENDAHULUAN………... 1

Latar belakang………... 1

Tujuan penelitian………... 3

Manfaat penelitian………. 3

Hipotesis……… 3

TINJAUAN PUSTAKA……… 4

Klasifikasi Dirofilaria immitis……….. 4

Gambaran morfologi………. 4

Siklus hidup dan penularan………... 7

Vektor……… 8

Dinamika mikrofilaria D. immitis dalam tubuh inang………... 8

Canine heartworm disease (Dirofilariosis) ………... 9

Human pulmonary dirofilariosis………. 11

Faktor fisiko………. 12

Diagnosa……… 15

Pengobatan……….... 18

Persyaratan kesehatan hewan impor dan ekspor anjing ………... 23

Instalasi karantina hewan Soekarno-Hatta………. 23

BAHAN DAN METODE……….. 25

Tempat dan waktu penelitian………... 25

Desain penelitian………... 25

Deteksi antigen D immitis denganELISA……… 26

Uji Knott untuk mendeteksi mikrofilaria D. immitis……….. 26

Analisis data………... 27

HASIL DAN PEMBAHASAN………. 28

Karakteristik anjing impor……….….. 28

Prevalensi CHD berdasarkan faktor risiko………. 29

Perbandingan metoda pengujian D. immitis……….... 39

SIMPULAN DAN SARAN………... 41


(13)

DAFTAR TABEL

Halaman 1. Perbedaan morfologi dan ciri-ciri dari D. immitis dan Dipetalonema

reconditum (Di. reconditum)... 6 2. Prevalensi CHD di berbagai negara... 11 3. Perbandingan kelebihan dan kekurangan metode pemeriksaan

cacing jantung………... 18 4. Pengobatan profilaksis yang umum digunakan untuk pencegahan infksi

cacing jantung………. 22

5. Jenis ras anjing yang digunakan untuk penelitian... 29 6. Hasil analisis menggunakan chi square test dengan

tingkat kepercayaan 95%... 30 7. Status kesehatan hewan yang dideteksi positif CHD………... 31 8. Hasil pengujian D. immitis dengan metoda knott dan serologi... 40


(14)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Dirofilaria immitis………... 5

2. Mikrofilaria Dirofilaria sp………... 6

3. Siklus hidup D. immitis………..…... 7

4. Peta distribusi CHD di dunia tahun 2001... 14

5. Instalasi Karantia Hewan Balai Besar Karantina Pertanian Soekarno-Hatta.. 24

6. DiroCHEK®Canine Heartworm Antigen Test Kit (Synbiotics Corporation, San Diego, CA)………... 26

7. Contoh ras anjing bulu panjang (australian silky terrier)….……… 28

8. Contoh ras anjing bulu pendek (labrador)…..………...……… 28

9. Prevalensi berdasarkan wilayah asal………...……… 32

10.Prevalensi berdasarkan periode impor……… 33

11.Prevalensi berdasarkan jenis kelamin... 36

12.Prevalensi berdasarkan umur... 37


(15)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Perdagangan bebas telah mendorong terjadinya peningkatan arus lalu lintas orang, hewan maupun produk hewan antar negara. Hal ini meningkatkan secara nyata perekonomian dunia termasuk Indonesia, namun di sisi lain juga meningkatkan peluang masuk dan tersebarnya berbagai penyakit hewan termasuk penyakit-penyakit dapat ditularkan hewan kepada manusia (zoonosis).

Bandar Udara Internasional Soekarno-Hatta adalah bandar udara terbesar di Indonesia dengan lalulintas orang, hewan dan produk hewan yang cukup ramai. Salah satu jenis hewan yang sering dilalu-lintaskan melalui bandara tersebut adalah anjing yang diimpor untuk berbagai tujuan diantaranya hewan kesayangan milik Korps Diplomatik, bibit untuk kennel, maupun untuk diperdagangkan di pasar hewan atau pet shop.

Berdasarkan Laporan Tahunan Pusat Karantina Hewan, jumlah anjing impor yang masuk melalui Bandar Udara Soekarno - Hatta antara tahun 2005-2007 adalah sebanyak 2032 ekor (Pusat Karantina Hewan 2005, 2006, 2005-2007). Pada periode Januari – Nopember 2008, jumlah anjing impor yang masuk adalah sebanyak 548 ekor berasal dari Argentina, Australia, Bahrain, Belgia, Cina, Denmark, Hongkong, Hungaria, Jepang, Jerman, Kanada, Korea Selatan, Malaysia, Mesir, Netherland, Norwegia, Pakistan, Perancis, Philipina, Qatar, Republik Ceko, Republik Czech, Singapore, Srilanka, Swiss, Taiwan, Thailand, United Kingdom, Ukraina, USA (Pusat Karantina Hewan 2008).

Pengawasan terhadap penyakit hewan di Bandar Udara Soekarno-Hatta dilakukan oleh institusi pemerintah Balai Besar Karantina Pertanian Soekarno-Hatta (BBKP SH). Selama ini pengawasan dan pemeriksaan terhadap anjing khususnya anjing impor lebih dititikberatkan pada penyakit rabies. Disamping rabies, anjing dapat membawa zoonosis lain misalnya Canine Heartworm Disease (CHD). Canine Heartworm Disease (dirofilariosis) adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi cacing jantung (Dirofilaria immitis). Penyakit ini berakibat fatal dan menimbulkan kematian pada anjing serta dapat ditularkan ke manusia melalui vektor nyamuk, dan menyebabkan Human Pulmonary


(16)

2

Dirofilariosis (HPD). Pengawasan terhadap penyakit ini belum dilakukan secara intensif oleh Badan Karantina Pertanian karena penyakit ini belum ditetapkan sebagai Hama Penyakit Hewan Karantina (HPHK).

Data tentang kejadian dirofilariosis pada anjing peliharaan di Indonesia masih terbatas. Pengamatan Karmil (2002) terhadap keberadaan mikrofilaria pada anjing peliharaan di wilayah D.I. Aceh, Jakarta dan Bogor, serta Bali menemukan mikrofilaria pada 10,7%, 19,23%, dan 5,23% sampel darah anjing yang diambil dari masing-masing daerah. Berdasarkan uji ELISA untuk mendeteksi keberadaan antigen D. immitis dalam serum, prevalensi infeksi CHD pada anjing peliharaan di DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Bali terdeteksi masing-masing sebesar 2,2%, 15,9%, 4,5% dan 8,8% (Satrija et al. 2008).

Sejauh ini belum ada data tentang kasus CHD pada anjing impor dan kemungkinan peranannya dalam penyebaran CHD di Indonesia. Mengingat potensi zoonosis dari cacing jantung maka perlu diketahui prevalensi serta berbagai faktor risiko yang terkait dengan kasus dirofilariosis pada anjing-anjing impor melalui Bandara Soekarno-Hatta Jakarta. Data ini diperlukan sebagai dasar rekomendasi ilmiah dalam menyusun kebijakan pengawasan dan tindakan perkarantinaan hewan terhadap CHD di Indonesia.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi infeksi D. immitis pada anjing impor di Instalasi Karantina Pertanian Soekarno-Hatta, serta mengkaji keterkaitannya dengan faktor umur, jenis kelamin, kelompok ras, wilayah asal impor, dan waktu impor anjing. Hasil penelitian ini diharapkan akan menjadi bahan pertimbangan bagi institusi terkait seperti Badan Karantina Pertanian (Pusat Karantina Hewan) dan Balai Besar Karantina Pertanian Soekarno-Hatta dalam melakukan pengawasan lalulintas terhadap anjing sebagai upaya pencegahan masuk dan tersebarnya Canine Heartworm Disease melalui anjing yang masuk ke wilayah RI maupun yang dilalulintaskan antar area.


(17)

3

Tujuan Penelitian

(1) Mengetahui prevalensi infeksi D. immitis pada anjing yang diimpor melalui Bandar Udara Soekarno-Hatta.

(2) Mengkaji faktor-faktor risiko timbulnya Canine Heartworm Disease (CHD) pada anjing impor

(3) Mengetahui teknik dan metoda yang akurat dan efisien sebagai bahan validasi metoda pemeriksaan Dirofilariosis

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan akan menjadi bahan pertimbangan bagi institusi terkait seperti Badan Karantina Pertanian (Pusat Karantina Hewan) dan Balai Besar Karantina Pertanian Soekarno-Hatta dalam melakukan pengawasan lalulintas terhadap anjing sebagai upaya pencegahan masuk dan tersebarnya Canine Heartworm Disease melalui anjing yang masuk ke wilayah RI maupun yang dilalulintaskan antar area.

Hipotesis

a. Anjing impor yang dilalulintaskan melalui Bandar Udara Soekarno-Hatta terinfeksi CHD.

b. Kejadian infeksi CHD pada anjing impor berbeda-beda dipengaruhi oleh umur, jenis kelamin, ras anjing, wilayah asal dan periode impor anjing. c. Terdapat perbedaan hasil pengujian CHD dengan menggunakan metoda


(18)

4

TINJAUAN PUSTAKA

Klasifikasi Dirofilaria immitis

Genus Dirofilaria dibagi menjadi dua subgenus, yaitu subgenus Dirofilaria meliputi Dirofilaria immitis dan Dipetalonema reconditum sedangkan subgenus Nochtiella meliputi Dirofilaria ursi, D. repens, D. striata dan D. tenuis (Lok 1988). Menurut Soulsby (1986), klasifikasi D. immitis adalah sebagai berikut :

Filum : Nemathelminthes Kelas : Nematoda Sub Kelas : Secernentea Sub Ordo : Spirurata Superfamili : Filarioidea Famili : Filariidae Genus : Dirofilaria Spesies : Dirofilaria immitis

Cacing dewasa D. immitis hidup di dalam ventrikel kanan jantung dan arteri pulmonalis anjing yang merupakan inang definitifnya. Selain anjing, cacing ini juga dapat menginfeksi lebih dari 30 spesies hewan (misalnya coyotes, serigala, rubah dan canidae liar lainnya, kucing dan kucing liar, ferrets, singa laut dan sebagainya) dan manusia (AHS 2007a). Selain canidae, siklus hidup D. immitis juga terjadi secara sempurna pada tikus air (Ondatra zibethica) walaupun mikrofilaria belum ditemukan hingga 160 hari (Karmil 2002). Jika secara alami terbukti bahwa tikus air dapat menjadi reservoir, maka penyebaran CHD akan lebih mudah lagi karena populasi tikus air di Indonesia cukup tinggi.

Gambaran Morfologi

Cacing D. immitis dewasa berbentuk ramping berwarna putih dengan panjang cacing jantan 12 – 16 cm, betina 25 – 30 cm. Ujung posterior cacing jantan berbentuk melingkar dan pada ekor terdapat beberapa papilae lateral. Vulva cacing betina terletak di belakang ujung esofagus (Soulsby 1986, Manfredi et al. 2007). Cacing D. immitis dewasa mengambil makanan dari induk semang


(19)

5

(inang) berupa plasma dan cacing ini dapat hidup selama 5 – 7 tahun di tubuh inang. Nematoda ini termasuk golongan vivipar, cacing betina melepaskan mikrofilaria ke dalam aliran darah inang (Manfredi et al. 2007)

A B C

Gambar 1 Dirofilaria immitis (Manfredi et al. 2007) A. Ujung posterior cacing jantan

B. Ujung anterior cacing betina

C. Cacing dewasa betina (atas) dan jantan (bawah)

Pada pemeriksaan darah anjing terinfeksi, dapat ditemukan beberapa jenis mikrofilaria (mf) yaitu mf Dipetalonema dan Dirofilaria. Perbedaan morfologi dan ciri-ciri dari D. immitis dan Dipetalonema reconditum dapat dilihat pada Tabel 1 (Lok 1988, Tarello 2004, Karmil 2002).


(20)

6

Tabel 1 Perbedaan morfologi dan ciri-ciri dari D. immitis dan Dipetalonema reconditum (Di. reconditum).

Karakteristik D. immitis Di. reconditum

Mikrofilaria:

• Jumlah dalam darah Sedikit s/d banyak Biasanya sedikit

• Bentuk badan Biasanya lurus Kurva

• Panjang badan 308 (295 – 325) m 263 (250 – 288) m

• Lebar badan 5 – 7,5 m 4,5 – 5,5 m

• Bentuk ujung badan runcing Tumpul

• Bentuk ekor lurus Kurva atau berkait

• Pergerakan Dari sisi ke sisi

(stationary)

Ke depan

Cacing dewasa:

• Panjang betina 25 – 30 cm 3,0 – 3,2 cm

• Panjang jantan 15 – 20 cm 1,7 cm

• Habitat Ventrikel kanan dan

arteri pulmonalis

Daerah subkutan di seluruh tubuh

A B C

Gambar 2 Mikrofilaria Dirofilaria sp

A. Mikrofilaria D. immitis (Ohio State University 2007)

B. Detail ujung posterior mikrofilaria D. immitis pada pembesaran 40x (Tarello 2004)

C. Detail ujung posterior mikrofilaria Dipetalonema reconditum pada pembesaran 40x (Tarello 2004)


(21)

7

Siklus Hidup dan Penularan

Penyebaran D. immitis dari anjing ke hewan lain atau manusia terjadi melalui gigitan nyamuk yang mengandung L3 yang biasa disebut dengan istilah mikrofilaria (mf) ketika menghisap darah anjing terinfeksi (Abraham 1988, Manfredi 2007). Pada hari ke-1, darah yang mengandung mf masih tersisa di bagian mulut, tetapi pada hari ke-2, mf bermigrasi ke bagian midgut dan tubulus malphigi. Pada hari ke-4, mikrofilaria telah berubah menjadi bentuk sosis (L2) dengan ukuran panjang 220 – 240 m dan lebar 20 – 25 m. Pada hari ke-9, terjadi penambahan sel intestinum dan sel ekskretori dan akhirnya membentuk organ-organ tubuh dengan ukuran 500 x 20 m. Pada hari ke-15 sd 17, mikrofilaria menuju thoraks dan akhirnya di labium nyamuk dan bentuk ini disebut bentuk infektif (L3) dengan ukuran 800 – 900 m.

Pemindahan L3 terjadi ketika nyamuk memuntahkan air liur yang mengandung L3 ketika menjelang menghisap darah hewan. Dari tempat bekas gigitan nyamuk, L3 bermigrasi ke membran subkutikuler dan jaringan adipose inang definitif baru. Pada inang yang baru, L3 mengalami perubahan bentuk menjadi stadium L4, L5, cacing muda dan dewasa dengan indikasi bahwa cacing betina dewasa viviparu akan menghasilkan mf yang dapat dideteksi melalui pemeriksaan darah perifer. Setelah 85 – 120 hari pasca infeksi, D. immitis dewasa sudah berada di dalam jantung kanan dan arteri pulmonalis dengan ukuran panjang sekitar 32 cm (Gambar 3).


(22)

8

Secara eksperimen, mikrofilaria dari darah anjing terinfeksi dapat dipindahkan ke anjing lain melalui transfusi darah (Abraham 1988). Mikrofilaria ini dapat beredar di tubuh anjing resipien selama 2,5 tahun. Umumnya mikrofilaria hasil transfusi ini tidak beredar di pembuluh darah perifer namun di dalam organ. Mikrofiaria dari kultur in vitro pun pernah di transfusi secara eksperimen pada anjing normal. Anjing resipien ini dapat memelihara mikrofilaria pada pembuluh darah perifer untuk beberapa minggu, namun dalam jumlah sedikit.

Vektor

Nyamuk merupakan vektor bagi D. immitis. Sebanyak 60 -70 spesies nyamuk diperkirakan dapat menjadi vektor potensial (Nithiuthai, 2003; Lok 1988). Larva D. immitis dapat berkembang menjadi L3 di dalam nyamuk dari genus Culex, Aedes, Psorophora, Mansonia atau Anopheles. Spesies yang dapat menjadi vektor D. immitis adalah spesies yang tidak mempunyai bucco-pharyngeal yang dapat merusak kutikula mikrofilaria sehingga menghambat perkembangannya menjadi larva infektif (Manfredi 2007).

Dinamika Mikrofilaria D. immitis dalam Tubuh Inang

Mikrofilaria (mf) dapat ditemukan di dalam sirkulasi darah anjing reservoir setiap waktu, akan tetapi angka mikrofilaremik perifer umumnya mengikuti pola periodisitas yang berbeda pada setiap geografis. Di USA, Perancis dan Cina angka minimum dan maksimum mikrofilaremik perifer masing-masing terdapat pada jam 11.00 dan 16.00, 08.00 dan 20.00 serta 06.00 dan 18.00 (Soulsby 1986). Puncak mikrofilaremia di Indonesia khususnya di wilayah DI. Aceh, DKI Jakarta, Bogor dan Bali terjadi pada pukul 7.00 – 8.00 dan pukul 23.00 – 24.00 (Karmil 2002).

Fenomena rendahnya mikrofilaremia pada anjing terlihat pada siang hari diduga terjadi karena: (1) tekanan O2 di dalam pembuluh darah perifer lebih rendah dibandingkan dengan di dalam pembuluh darah pulmoner; (2) adanya kecenderungan bahwa anjing mempunyai aktivitas tinggi, sehingga terjadi vasokonstriksi pembuluh darah perifer; (3) aliran darah dalam sirkulasi lebih cepat


(23)

9

dan kondisi demikian tidak menguntungkan bagi mf dan jumlah mf di dalam pembuluh darah perifer sedikit; (4) reservoir mf terdapat pada pembuluh darah pulmoner, limpa, vena abdominalis dan sinus-sinus vena hepatik, pleksus vena kulit. Berdasarkan sistem vena tersebut ternyata limpa dan pembuluh darah pulmonalis menjadi reservoir dari mf.

Angka mikrofilaremik lebih tinggi pada malam hari dibandingkan pada siang hari, sehingga periodisitas demikian disebut subperiodik nokturnal. Fenomena tentang maksimum mikrofilaremia terjadi pada malam hari ada kemungkinan mengikuti irama sistem sirkulasi darah. Volume darah yang mengalir di dalam pembuluh darah perifer atau di jaringan-jaringan adalah sangat lambat, sehingga pertukaran zat-zat makanan antara darah dan jaringan berlangsung sangat intensif.

Kehadiran mikrofilaria dalam darah anjing terinfeksi tidak selamanya dapat dideteksi. Keadaan ini disebut sebagai occult heartworm infection. Karmil (2002) memperkirakan sebesar 14,27 – 37,76% dari anjing penderita dirofilariosis di DI. Aceh, Jakarta, Bogor dan Bali tergolong occult infection. Kondisi serupa ditemukan pada 10 - 67% anjing yang terinfeksi D. immitis di Korea (Byeon et al. 2007). Kondisi occult infection dapat disebabkan oleh 3 faktor yaitu: (1) infeksi oleh satu jenis cacing saja (single sex), (2) respon imun inang terhadap sirkulasi mikrofilaria dan (3) pemberian obat cacing sebagai pencegahan.

Dinamika mikrofilaria D. immitis di dalam tubuh vektor berkaitan erat dengan (1) jumlah mikrofilaria; (2) jenis nyamuk dan (3) geografi atau iklim (Karmil 2002). Pertumbuhan membutuhkan waktu 15 – 17 hari untuk daerah subtropis dan 18 – 10 hari untuk daerah tropis (Jones et al. 1993). Studi Karmil (2002) menunjukkan bahwa pertumbuhan menjadi stadium mikrofilaria infektif (L3) dalam mikrofilaria lebih cepat di D.I. Aceh (9 hari) dibandingkan dengan di Bogor (12 hari).

Canine Heartworm Disease (Dirofilariosis)

Prevalensi dirofilariosis di berbagai negara sangat bervariasi (Tabel 2) dan dipengaruhi oleh banyak faktor diantaranya umur, jenis kelamin, ras dan manajemen pemeliharaan anjing. Seekor anjing dapat terinfeksi sebanyak 1 – 250


(24)

10

ekor cacing jantung yang masa hidup sekitar 5 – 7 tahun. Masa prepaten rata-rata (waktu dari mikrofilaria masuk ke dalam tubuh host sampai cacing betina dewasa memproduksi mikrofilaria) pada anjing sekitar 6 – 7 bulan. Secara eksperimen infeksi D. immitis, persentase mikrofilaria infektif berkembang menjadi cacing dewasa pada anjing adalah 40 – 90% (AHS 2007a).

Gejala klinis tergantung pada jumlah cacing jantung yang menginfeksi anjing. Gejala yang umum terjadi adalah batuk kronis dan kehilangan stamina. Kemudian terjadi gejala ketidakmampuan jantung, suara murmur jantung yang jelas dan kolaps setelah exercise. Gambaran elektrocardiogram pada saat hewan dalam keadaan tenang dapat menunjukkan gambaran normal, namun pada saat setelah exercise, gelombang "T” dapat terjadi sebaliknya. Berbagai gejala klinis lain yang timbul tergantung pada organ yang terpengaruh secara sekunder (Soulsby 1986).

Cacing dewasa D. immitis umumnya hidup di arteri pulmonaris dan ventrikel kanan. Namun dalam kondisi yang sangat jarang terjadi, L5 dapat bermigrasi ke bagian lain yang menyimpang dari biasanya yaitu otak, sumsum tulang belakang, hati, ruang epidural, mata dan ruang peritoneal Pada operasi sterilisasi anjing betina yang dilakukan Oh et al. (2008) di Korea, ditemukan satu ekor cacing dewasa pada ruang abdominal anjing dan setelah dikonfirmasi dengan PCR dinyatakan D. immitis. Pemeriksaan dengan ulas darah dan Uji Modified Knott ditemukan mikrofilaria pada darah anjing tersebut.


(25)

11

Tabel 2 Prevalensi CHD di berbagai negara

Negara Wilayah tahun Jumlah sampel Kasus Positif (%) Metode Pemeriksaan Pustaka

Thailand Bangkok 1992 496 46,17 Uji Knott Nithiuthai

(2003)

Bangkok 1999s/d

2002

83.476 10,2 Uji Knott Nithiuthai (2003)

29,2 ELISA Nithiuthai

(2003) Taiwan Nantou county

(central Taiwan)

1993 s/d 1997

1228 41 Ulas darah

tebal

Ching-Cheng dan Ping-Chin (2003)

Liuchiu 1993 s/d

1997

1228 1 Ulas darah

tebal

Ching-Cheng dan Ping-Chin (2003)

Lanyu 1993 s/d

1997

1228 2 Ulas darah

tebal

Ching-Cheng dan Ping-Chin (2003) Taiwan utara 1993 s/d

1997

837 57 Ulas darah

tebal

Wu dan Fan (2003)

Italia Alessandria 1998 7 100 Uji Difil Tarello (2004)

Fermo 1998 7 100 ELISA Tarello (2004)

Indonesia Jakarta dan Bogor 2002 286 19,23 Uji Knott Karmil (2002)

Bali 2002 822 5,23 Uji Knott Karmil (2002)

DI Aceh 2002 1163 10,7 Uji Knott Karmil (2002)

Jakarta 2008 93 2,2 ELISA Satrija et al.

(2008)

Jawa Tengah 2008 22 4,5 ELISA Satrija et al.

(2008)

Bali 2008 57 8,6 ELISA Satrija et al.

(2008)

Jawa Barat 2008 63 15,9 ELISA Satrija et al.

(2008)

Human Pulmonary Dirofilariosis

Kasus Dirofilariosis pada manusia disebut Human Pulmonary Dirofilariosis (HPD). Di Indonesia, sampai saat ini kasus HPD belum pernah ada laporan. Tetapi biasanya pada daerah endemik CHD, besar kemungkinan kasus HPD pada manusia juga tinggi.

Pada manusia, cacing dewasa pernah ditemukan di arteri digitalis, kelopak mata, ventrikel kiri, vena cava inferior, jaringan subkutan dan cacing menjadi penyebab painfark paru-paru. Kasus HPD sering dijumpai pada orang dewasa, dengan ciri-ciri : (1) Pemeriksaan fototoraks, pada lobus paru terlihat massa tumor berbentuk ”coin lesion” (3x3 cm); (2) adanya keluhan nyeri dada, demam dan batuk; (3) temuan histopatologi ditemukan nodul yang terbungkus oleh jaringan


(26)

12

ikat dan berisi massa putih keabu-abuan berupa nekrosis koagulatif; (4) adanya granuloma yang terdiri dari jaringan infark, sel eosinofil, monosit, neutrofil dan sel ”foreign body giant” (Yoshimura, 1995; Mimori et al. 1986).

Berdasarkan informasi dari Karmil (2002), kasus HPD pada manusia di beberapa negara antara tahun 1968 – 2000 antara lain terjadi di Thailand, Jepang, Australia, Sidney, Quinsland, USA, Michigan, Indiana, Amerika Selatan, Jerman, Spanyol dan Brazil dengan kasus terbanyak terjadi di Michigan.

Faktor Risiko

Tingkat risiko timbulnya CHD dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya umur, ras, jenis kelamin, wilayah, iklim dan manajemen pemeliharaan anjing.

Umur

Anjing pada semua kategori umur berisiko terinfeksi cacing jantung (Nithiuthai 2003). Namun prevalensi infeksi meningkat seiring dengan bertambahnya umur anjing. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh waktu pemaparan yang lebih lama, terutama pada daerah endemik penyakit ini.

Boonyapakorn et al. (2008) pada penelitiannya terhadap pasien anjing rawat jalan di Rumah Sakit Hewan Chiang Mai University, Thailand menemukan prevalensi pada anjing umur dibawah 2 tahun adalah 6,4%, lebih rendah daripada anjing pada umur diatas 2 tahun (41,5%). Prevalensi ini berbeda nyata pada tingkat kepercayaan 95%. Satrija et al. (2008) menemukan bahwa anjing umur 3 – 6 tahun menunjukkan seroprevalensi yang paling tinggi terhadap D. immitis yaitu sebesar 16,7% diikuti anjing umur diatas 6 tahun (6,1%) dan anjing umur dibawah 3 tahun (4,7%). Di Korea Selatan, prevalensi tertinggi ditemukan pada anjing umur di atas 6 tahun (50,3%) dibanding anjing umur muda. Analisis chi square mengungkapkan bahwa prevalensi lebih tinggi secara signifikan pada anjing umur 4 – 6 tahun (100%) di wilayah garis pantai dan pada anjing umur 2 – 4 tahun (51,2%) di wilayah perkotaan (Song et al. 2003).


(27)

13

Ras

Umumnya anjing ras besar paling sering terinfeksi oleh D. immitis. Anjing-anjing pekerja dan olahraga (Greyhound) juga memiliki risiko tinggi terhadap infeksi cacing D. immitis. Anjing gembala ras jerman dan Boxer mempunyai risiko paling tinggi terhadap infeksi cacing ini.

Di Indonesia, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Satrija et al. (2008), anjing-anjing ras lokal memegang peranan sebagai sumber infeksi D. immitis. Prevalensi tertinggi CHD di Indonesia diketahui terjadi pada Pulau Bali (8,8%) dan Kabupaten Sukabumi (15,9%), yaitu salah satu kabupaten di Propinsi Jawa Barat dengan populasi anjing tak bertuan (stray dog) yang cukup tinggi. Penelusuran lebih lanjut menyatakan bahwa jika dilihat dari faktor breed/ras, diketahui bahwa prevalensi terbesar terjadi pada breed lokal yaitu sebesar 11,9% dibandingkan ras impor (2,2%) dan ras campuran (9,1%).

Jenis Kelamin

Umumnya, infeksi cacing jantung pada anjing jantan lebih tinggi daripada anjing betina. Lewis dan Losonsky (1978) menyatakan bahwa Rasio infeksi pada anjing jantan terhadap anjing betina adalah 4:1. Pada hewan liar, penelitian terhadap coyote di wilayah Illinois didapatkan prevalensi jantan sebesar 17,7% sedangkan pada coyote betina adalah 14,1% (Nelson et al. 2003). Perbedaan ini diduga akibat pergerakan hewan jantan lebih tinggi dibanding betina sehingga risiko terpapar nyamuk juga meningkat. Hewan betina cenderung membatasi pergerakan mereka selama musim panas dan menjaga anak-anaknya di sarang.

Seroprevalensi CHD pada anjing jantan yang lebih tinggi dibanding betina juga ditemukan oleh Satrija et al. (2008) di Indonesia. Meskipun setelah ditinjau lebih lanjut dinyatakan bahwa tidak ada asosiasi antara seroprevalensi dan jenis kelamin.

Wilayah

American Heartworm Society (2007b) menyatakan bahwa CHD telah tersebar luas di dunia khususnya pada wilayah dengan iklim tropis dan subtropics, kecuali di Alaska. Belum pernah ada laporan transmisi CHD di wilayah ini


(28)

14

bahkan pada importasi anjing dengan kondisi mikrofilaremik. Hal ini disebabkan oleh iklim di belahan utara dunia ini tidak mendukung perkembangan larva infektif.

Wilayah dapat mempengaruhi timbulnya CHD didukung dengan kondisi geografis, iklim dan temperatur serta populasi vektor pada wilayah tersebut (Lok 1988). Hal ini terkait dengan jenis- jenis nyamuk sebagai vektor dan dinamika larva CHD di dalam tubuh vektor tersebut. Gambaran distribusi CHD di dunia dapat dilihat dari peta penyebaran di bawah ini:

Gambar 4. Peta Distribusi CHD di dunia tahun 2001 (Sumber: http://www.stanford.edu/class/humbio103/ParaSites2001/dirofilari asis/Global Distribution.html )

Iklim

Iklim menyediakan temperatur dan kelembaban yang cukup untuk mendukung perkembangan populasi nyamuk dan juga perkembangan larva menjadi stadium infektif (L3) di dalam vektor. Hal ini memegang peranan


(29)

15

penting dalam transmisi D.immitis. Kondisi temperatur di lingkungan nyamuk hidup merupakan salah satu faktor penting yang mempengaruhi larva D. immitis, dimana larva di dalam tubuh nyamuk akan berkembang lebih cepat pada temperatur hangat (Abraham 1988). Temperatur optimum untuk perkembangan larva D. immitis adalah 22°C - 26,5°C. Pada suhu 27°C, waktu yang dibutuhkan untuk perkembangan larva menjadi stadium infektif adalah 10 – 14 hari. Temperatur yang turun di bawah batas ambang (14°C) untuk beberapa jam saja akan memperlambat pematangan larva. Sejalan dengan pernyataan Lok (1988) yang menjelaskan bahwa temperatur hangat (21°C) akan mendukung perkembangan nyamuk. Lebih lanjut dijelaskan bahwa mikrofilaria banyak terdapat pada sirkulasi darah sepanjang musim semi dan musim panas dibandingkan musim hujan dan musim gugur.

Pada perbandingan berdasarkan iklim di Korea Selatan, didapatkan bahwa prevalensi di wilayah garis pantai (69,5%) lebih tinggi dan berkaitan nyata dibanding wilayah perkotaan dan pegunungan (Song et al. 2003). Untuk Amerika Utara, infeksi paling banyak terjadi saat musim panas, temperatur yang sangat cocok untuk perkembangan nyamuk (Rawlings 1998).

Manajemen pemeliharaan

Beberapa penelitian telah menunjukkan prevalensi infeksi D. immitis pada anjing-anjing yang dipelihara atau hidup di luar rumah, 4 – 5 kali lebih tinggi dibanding anjing di dalam rumah. Hal ini disebabkan oleh lebih besarnya kemungkinan anjing yang di luar rumah tergigit oleh nyamuk dibanding anjing yang di dalam rumah (Byeon et al. 2007) sehingga lebih besar pula kemungkinan anjing di luar rumah terinfeksi D. immitis, terutama pada daerah endemik (Nithiuthai 2003).

Diagnosa

Gejala klinis yang muncul pada penderita CHD sangat bervariasi sehingga peneguhan diagnosa dapat dilakukan dengan berbagai metode antara lain radiologi, angiografi dan ultrasonografi (ekokardiografi), nekropsi, deteksi mikrofilaria dan uji serologis (Atwell 1988; AHS 2007a).


(30)

16

Radiologi

Pemeriksaan radiografi paru-paru dan jantung adalah cara terbaik untuk mengevaluasi penyakit. Perubahan secara tipical yang dapat terlihat adalah pembesaran bagian kanan jantung (ventrikel kanan), artery pulmonalis, dan perubahan arteri pulmonalis lobus paru. Pembesaran arteri pulmonalis sering dilaporkan. serta peradangan jaringan paru-paru sekitar arteri pulmonalis juga sering ditemukan.

Angiografi and Ultrasonografi

Angiografi adalah teknik visualisasi pembuluh darah tubuh dengan melakukan radiograph dalam beberapa detik setelah diinjeksi dengan material kontras kedalam pembuluh darah tersebut. Pada infeksi CHD, angiografi digunakan untuk mempelajari perubahan arteri pulmonalis. Ultrasonografi (echocardiography) telah digunakan untuk mengevaluasi pembesaran ventrikel kanan dan untuk melihat kehadiran cacing jantung di ventrikel kanan atau arteri pulmonalis utama.

Nekropsi

Nekropsi merupakan teknik diagnosa yang paling akurat untuk menemukan cacing jantung, namun cara ini tidak dapat dilakukan untuk mendiagnosa hewan yang masih hidup. Cacing jantung sering ditemukan pada ventrikel kanan jantung atau arteri pulmonalis utama. Cacing juga dapat ditemukan di cabang terjauh arteri pulmonalis. Infeksi “Ectopic heartworm” jarang terjadi. Pada infeksi ini, cacing dideteksi terdapat pada organ selain jantung dan paru-paru atau pada rongga tubuh.

Deteksi Mikrofilaria dalam Darah

Deteksi keberadaan mikrofilaria D.immitis dalam sampel darah mengindikasikan dapat dilakukan dengan dua metode yaitu uji knott dan uji filtrasi. Para praktisi sering melakukan pemeriksaan cepat dengan sediaan natif darah untuk melihat kehadiran mikrofilaria.

Metode ini praktis dalam penerapannya, baik dari segi waktu dan biaya. Atas dasar alasan inilah metode deteksi mikrofilaria dengan uji Knott digunakan pada penelitian ini mengingat institusi karantina hewan merupakan pintu terdepan


(31)

17

yang menyaring kemungkinan masuknya penyakit hewan ke wilayah Indonesia. Di sisi lain, metode ini tidak cukup sensitif untuk mendiagnosa CHD dengan jumlah mikrofilaria yang rendah dalam sampel darah. Selain itu menurut Karmil (2002), waktu pengambilan sampel juga menentukan ketepatan diagnosa dengan metoda ini.

Uji Serologi

Uji serologi dapat dilakukan dengan dua cara yaitu mendeteksi antibodi dan mendeteksi antigen.

1). Deteksi antibodi

Beberapa uji CHD antibodi berkembang dan diperkenalkan pada awal 1980-an. Prinsip uji ini adalah mendeteksi antibodi dengan menggunakan antigen ekskretori-sekretori dari cacing jantung dewasa. Uji ini cukup sensitif (dapat mendeteksi infeksi awal dan infeksi dengan sejumlah kecil cacing jantung) namun tidak cukup spesifik karena dapat terjadi reaksi silang dengan parasit gastrointestinal di tubuh inang. Uji ini kurang populer digunakan sebagai screening test pada anjing.

Keberadaan cacing jantung yang steril, single sex atau ketidakhadiran respon inang terhadap antigen permukaan mikrofilaria, tidak akan memproduksi titer antibodi. Variasi dari uji antibodi ini termasuk menggunakan mikrofilaria yang telah dihancurkan untuk memicu antibodi terhadap antigen somatik. Teknik IFA somatic ini non spesifik dan secara klinis kurang dapat digunakan untuk diagnosa.

2). Deteksi antigen

Deteksi antigen spesifik dari cacing jantung dewasa digunakan secara sukses untuk mendeteksi infeksi CHD. Sekarang ini, metode ini telah banyak dilakukan di laboratorium – laboratorium veteriner. Kebanyakan test komersial akan akurat mendeteksi infeksi dengan satu atau lebih cacing jantung dewasa umur 7 - 8 bulan, namun secara umum, uji ini tidak dapat mendeteksi infeksi kurang dari lima bulan (AHS2007a).

Untuk metode serologis pada penelitian ini menggunakan kit ELISA komersial DiroCHEK®, yang dapat mendeteksi antigen D.immitis dewasa dalam


(32)

18

sirkulasi darah minimal enam bulan pasca infeksi. Kit ini mempunyai sensitifitas dan spesifisitas yang cukup tinggi yaitu masing-masing 99,1% dan 90,3% (Atwell 1988). Genchi et al. 2007 merumuskan kelebihan dan kekurangan metode diagnostic CHD pada Tabel 3.

Tabel 3 Perbandingan Kelebihan dan Kekurangan Metode Pemeriksaan cacing jantung

Metode pemeriksaan kelebihan kekurangan

Natif Cepat dan murah Sensitifitas sangat rendah,

sering terjadi negatif palsu, sulit membedakan spesies mikrofilaria

Metode Konsentrasi

a. Modified Knott Cukup sensitif dan spesifik, dapat membedakan spesies vector

Membutuhkan keahlian pemeriksa dalam membedakan morfologi mikrofilaria. b. Filtrasi Cepat dan sensitif, tidak

memerlukan alat untuk sentrifus

Mahal (uji ini tersedia dalam bentuk kit), larutan thelysate dapat menyusutkan

mikrofilaria sehingga untuk membedakan spesies dibutuhkan standar ukuran yang baru

ELISA Sangat spesifik dan sensitif

untuk diagnosa CHD (jika hasil positif, uji ini membuktikan secara pasti terjadi infeksi)

Mahal

Pemeriksaan antibodi Sangat sensitif, sangat bermanfaat untuk mendeteksi infeksi cacing jantung pada kucing, cocok untuk menilai risiko infeksi pada kucing dan untuk survey epidemiologi

Mahal, tidak spesifik, sulit diinterpretasikan

Polymerase Chain Reaction (PCR)

Sangat sensitif, spesifik dan akurat. Dapat membedakan spesies filaria

Mahal, membutuhkan waktu lama, butuh laboratorium khusus dan keahlian teknisi pemeriksa

Pengobatan

Sebagian besar anjing terinfeksi cacing jantung dapat berhasil diobati. Tujuan pengobatan yaitu untuk membunuh cacing dewasa dengan adulticida dan membunuh mikrofilaria dengan mikrofilarisida. Hal ini sangat perlu dipenuhi untuk meminimalkan efek bahaya dari obat dan komplikasi yang dapat terjadi akibat cacing jantung yang mati. Infeksi ringan dan tanpa gejala klinis mempunyai tingkat keberhasilan pengobatan yang tinggi (AHS 2007a).


(33)

19

Dalam proses terapi terhadap CHD, ada lima tahap pendekatan yang benar-benar harus diperhatikan yaitu: (1) Pada preterapi, hewan harus diperiksa dan dievaluasi secara menyeluruh; (2) terapi suportif dan asimptomatik adalah sangat krusial, baik pada preterapi, selama dan pascaterapi adulticida; (3) terapi adulticida; (4) terapi mikrofilarisida (kecuali pada infeksi occult) dan (5) terapi hewan harus diawali dengan medikasi profilaktik (Karmil 2002, Courtney 1988).

Evaluasi Pasien

Sebelum melakukan terapi, hewan harus dievaluasi terlebih dahulu secara seksama melalui pemeriksaan fisik, analisis urin, radiografi, umur, uji fungsi organ khususnya hati dan ginjal (berkaitan dengan efek toksik dari thiacetarsamide), sehingga pasien dapat dibagi dalam kelompok: (1) tidak boleh diobati sama sekali, (2) ditunda atau (3) diobati dengan syarat dirawat secara intensif. Berdasarkan risiko terjadinya komplikasi thromboemboli pascaterapi, Venco (2007) membagi pasien menjadi dua kategori yaitu risiko rendah (low risk) dan risiko tinggi (high risk). Anjing yang termasuk dalam kategori risiko rendah harus memenuhi kondisi antara lain: (1) tidak menunjukkan gejala; (2) pada pemeriksaan radiograph terhadap thorax menunjukkan gambaran normal; (3) sirkulasi antigen rendah atau negatif dengan mikrofilaria terdapat pada sirkulasi darah; (4) tidak terlihat cacing pada pemeriksaan echocardiograph dan (5) dapat melakukan exercise ringan. Sedangkan anjing kategori risiko tinggi memenuhi kondisi antara lain: (1) menunjukkan gejala antara lain batuk dan pembengkakan bagian abdomen; (2) Gambaran radiograph tidak normal; (3) sirkulasi mikrofilaria pada level tinggi; (4) Cacing terlihat pada echocardiograph (5) tidak diperkenankan untuk melakukan exercise. Evaluasi ini berdasarkan pertimbangan terhadap efek yang kurang menguntungkan akibat terapi adulticida yaitu reaksi toksik dan emboli serta tromboemboli akibat kematian cacing pascaterapi.

Terapi suportif

Terapi suportif ditujukan untuk memperkecil kemungkinan efek samping yang sering terjadi pada pascaterapi adulticida yaitu obstruksi sistem sirkulasi oleh cacing mati dan diikuti dengan reaksi radang. Terapi supportif yang sering


(34)

20

diberikan adalah: (1) Aspirin 7 mg/kg BB/hari selama 6 – 12 bulan, dapat menekan thromboembolisme secara eksperimen; (2) anti radang (prednisolon 10 mg/kg BB/hari selama 4 minggu) dapat mengurangi efek radang periarterial dan (3) terapi antiserotonin untuk mengatasi thromboembolisme, vasokonstriksi sekunder dan bronkhokonstriksi.

Terapi adulticida

Adulticida pertama untuk anjing yang dikembangkan adalah thiacetarsamide sodium dengan kandungan arsenic (Nash 2008). Obat ini harus diberikan melalui intra vena karena dapat menimbulkan kerusakan pada beberapa jaringan jika diberikan selain intra vena. Beberapa hewan dapat menjadi lebih parah dan pengobatan harus dihentikan. Hampir semua hewan harus dirawat selama beberapa hari untuk pengobatan ini.

Melarsomin dihidroklorida adalah obat yang mengandung arsenik organik. Obat ini dapat diberikan melalui injeksi intra muscular dan lebih efektif serta mempunyai efek samping yang lebih ringan dibanding thiacetarsamide. Venco (2007) menyatakan bahwa pemberian melarsomin dihidroklorida dengan dosis 2,5 mg/kg BB dapat membunuh sekitar 90% cacing jantan dan 10% cacing betina. Oleh karena itu dapat mengurangi sekitar 50% cacing (jumlah ini dinyatakan lebih aman terhadap kemungkinan terjadinya emboli dan shock). Berdasarkan alasan ini maka American Heartworm Society menyatakan bahwa melarsomin dihidroklorida merupakan drug of choice terhadap CHD. Pemberian melarsomin dihidroklorida juga dilakukan pada pengendalian CHD di Thailand. Lebih lanjut dinyatakan bahwa terapi adulticida sebaiknya dilanjutkan dengan terapi mikrofilarisida minimal 4 minggu kemudian (Nithiuthai 2003). Eslami et al. (2005) menyatakan bahwa pemeriksaan darah dan klinis terhadap anjing yang diterapi dengan melarsomin dihidroklorida pada satu dan dua bulan pascaterapi menunjukkan tidak adanya mikrofilaria dalam darah maupun gejala klinis.


(35)

21

Terapi Mikrofilarisida

Pemberian mikrofilarisida adalah untuk mengeliminasi mikrofilaria. Obat yang paling efektif untuk tujuan ini adalah antelmintik macrocyclic lactone (ML) seperti milbemycin oxime, selamectine, moxidectine dan ivermectine. Sirkulasi mikrofilaria biasanya dapat dieliminasi dalam beberapa minggu dengan obat golongan ML. Nithiuthai (2003) dan Elsami et al. (2005) menyatakan bahwa ivermectine 0,05 mg/kg BB adalah mikrofilarisida yang paling efektif. Selain ivermectin, pemberian levamisole 11 mg/kg per oral selama 7 - 12 hari juga dapat mengeliminasi mikrofilaria (O'Grady dan O'Sullivan 2004).

Terapi Profilaksis

Terapi profilaksis dilakukan untuk melindungi anjing dari infeksi cacing jantung. Beberapa terapi profilaksis yang direkomendasikan saat ini dapat dilihat pada tabel berikut (Courtney 1988; O'Grady dan O'Sullivan 2004). Obat-obatan ini umumnya digunakan sebagai pencegahan terhadap infeksi cacing jantung. Jika diberikan secara konsisten, maka sangat mungkin untuk menghentikan perkembangan larva menjadi dewasa (Nash 2008).


(36)

22

Tabel 4 Pengobatan profilaksis yang umum digunakan untuk pencegahan infeksi cacing jantung

Kandungan aktif Dosis Keterangan Diethylcarbamazine

(DEC)

5.5 sampai 6.5 mg/kg setiap hari

• Mencegah perkembangan cacing menjadi dewasa

• Terapi seharusnya dimulai dua minggu sebelum musim populasi nyamuk meningkat dan dilanjutkan sampai dua bulan setelah akhir musim tersebut

• Anjing harus dalam kondisi amikrofilaremik sebelum pemberian DEC

• Reaksi akibat pemberian DEC pada kondisi anjing mikrofilaremia biasanya timbul 30 - 60 menit setelah treatmen meliputi diare, muntah, depresi, lethargi, inkoordinasi, tachycardia, bradycardia, dyspnea dan shock sirkulasi perifer. Penyebab reaksi ini belum jelas

• DEC harus dimulai sesegera mungkin setelah uji terhadap mikrofilaria dinyatakan negatif.

Ivermectin 6 µg/kg BB sekali sebulan • Dimulai dalam satu bulan setelah anjing terpapar nyamuk dan dilanjutkan setiap bulan selama periode nyamuk yang berpotensi membawa larva infektif aktif

• Aman terhadap anjing ras Collie kecuali dengan berat badan kurang dari 4,5 kg

Milbemycin oxime • 2,3 mg untuk anjing dengan berat badan di atas 4,5 kg; dosis 5,75 mg untuk anjing dengan berat 5 – 11 kg; dosis 11,5 mg untuk anjing dengan berat badan 12 – 22 kg dan dosis 23 mg untuk anjing dengan berat badan 23 – 45 kg.

• Diberikan sekali sebulan

• Pemberian dianjurkan mengikuti pola pemberian ivermectin

• Dapat membunuh mikrofilaria, reaksi shock (jarang terjadi) saat diberikan pada anjing dengan mikrofilaremia hebat

• Menyebabkan cacing betina dewasa steril


(37)

23

Persyaratan Kesehatan Hewan Impor dan Ekspor Anjing

Upaya pencegahan penyebaran Canine Heartworm Disease telah dilakukan oleh beberapa negara diantaranya dengan cara menetapkannya dalam persyaratan kesehatan hewan. Pemerintah Australia mempersyaratkan pengobatan profilaksis cacing jantung untuk anjing minimal 4 bulan sebelum diimpor ke negaranya mengingat Australia merupakan wilayah endemis cacing jantung. New Zealand menetapkan rekomendasi karantina untuk mencegah D. immitis bagi anjing yang diimpor dari Australia. Anjing harus menunjukkan hasil uji negatif terhadap sirkulasi antigen D. immitis dan mikrofilarianya. Saat kedatangan di New Zealand, anjing harus di beri pengobatan profilaksis menggunakan ivermectine atau milbemycin oxime (NZMAF 2008). Institusi Karantina Hewan Singapura menetapkan tindakan pencegahan terhadap heartworm disease selama masa karantina bagi anjing yang diimpor ke Singapura. Dalam persyaratan kesehatan tersebut, pengobatan profilaksis terhadap cacing jantung harus dimulai 4 – 6 minggu sebelum masuk ke Singapura (AVA 2008). Instalasi Karantina Hewan Soekarno-Hatta

Berdasarkan definisi pada Peraturan Pemerintah Nomor 82 tahun 2000 tentang Karantina Hewan, Instalasi karantina hewan (IKH) yang selanjutnya disebut instalasi karantina adalah suatu bangunan berikut peralatan dan lahan serta sarana pendukung yang diperlukan sebagai tempat untuk melakukan tindakan karantina. Instalasi Karantina yang dimiliki oleh Balai Besar Karantina Pertanian Hatta terletak di dalam kawasan Bandar Udara Soekarno-Hatta, meliputi instalasi karantina untuk anjing, instalasi untuk kucing, instalasi karantina untuk unggas, instalasi karantina untuk reptil, instalasi karantina untuk DOC, instalasi karantina untuk kuda dan instalasi karantina untuk Primata. Instalasi tersebut dilengkapi dengan sebuah laboratorium yang mempunyai kemampuan untuk melakukan uji diagnosis cepat guna mendukung kelancaran pelayanan karantina hewan kepada pengguna jasa karantina.


(38)

24

Khusus untuk IKH anjing, mempunyai kapasitas 50 ekor, dilengkapi dengan Air Conditioner (AC) dan kandang ditutupi dengan kasa nyamuk.

A B C

Gambar 5 Instalasi Karantina Hewan BBKP SH

A. Kandang anjing di bagian dalam ruangan IKH anjing B. Kandang anjing di bagian luar ruangan IKH anjing C. Bangunan laboratorium


(39)

25

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Instalasi Karantina Hewan Balai Besar Karantina Pertanian Soekarno-Hatta, Jakarta. Penelitian dilakukan pada bulan Januari - November 2008.

Desain Penelitian

Studi kasus dirofilariosis pada anjing impor dilakukan secara lintas seksional dengan mengambil 134 sampel serum anjing impor berumur ≥ 6 bulan yang dilalulintaskan melalui Balai Besar Karantina Pertanian Soekarno-Hatta dari bulan Januari sampai dengan Nopember 2008. Jumlah sampel serum yang diambil dari setiap negara pengekspor anjing dilakukan secara proporsional dengan metoda Probability Proportional to Size (McGinn 2004). Infeksi D. immitis pada anjing tersebut dideteksi secara serologis dengan metode ELISA menggunakan Kit ELISA komersial (DiroCHEK® Canine Heartworm Antigen Test Kit; Synbiotics Corporation, San Diego, CA). Data-data tentang berbagai faktor yang dapat menjadi faktor risiko infeksi seperti umur, jenis kelamin, ras dan asal negara diperoleh dari keterangan pada Surat Kesehatan Hewan (Animal Health Certificate). Studi kasus dengan metoda serologis ini menghasilkan data prevalensi infeksi anjing yang diimpor melalui BBKP SH pada bulan Januari – Nopember 2008.

Untuk mengetahui efektifitas metoda pemeriksaan terhadap CHD dilakukan pengujian terhadap 11 sampel darah dengan 2 metoda yang akan dibandingkan, yaitu menggunakan metode konsentrasi/uji Knott (konvensional) dan menggunakan kit komersial untuk mendeteksi antigen D immitis. Sampel darah diambil dari 7 ekor anjing impor dan empat ekor anjing milik BBKP SH. Pengujian dengan metoda Knott dilakukan pada dua waktu yaitu pada pukul 10.00 (pagi) dan 22.00 (malam). Hal ini dilakukan dengan mempertimbangkan periodisitas mikrofilaria dalam peredaran darah anjing yang mencapai puncaknya pada pukul 23.00 – 24.00 (Karmil 2002), sedangkan untuk metode serologi


(40)

26

sampel diambil pada saat jam kerja (08.00 – 16.00). Hasil yang didapatkan dari kedua metoda tersebut dibandingkan dan dianalisis secara deskriptif.

Deteksi antigen D. immitis dengan ELISA

DiroCHEK® Canine Heartworm Antigen Test Kit (Gambar 6) digunakan untuk mendeteksi antigen ekskretori-sekretori cacing dewasa D. immitis. Prosedur pemeriksaan dilakukan sesuai petunjuk penggunaan kit dari produsen. Sebanyak 0,5 ml sampel serum diteteskan ke dalam setiap sumur yang telah dilapisi monoklonal antibodi. Selanjutnya ditambahkan sebanyak satu tetes monoklonal antibodi yang telah dikonjugasi dengan enzim Horseradish peroxidase (HRP). Setelah dilakukan pencucian sebanyak lima kali dengan menggunakan aquades steril, ke dalam setiap sumur ditambahkan dua tetes kromogen lalu ditunggu selama lima menit. Sampel yang mengandung antigen D. immitis akan menunjukkan reaksi positif berupa warna biru.

Gambar 6 DiroCHEK® Canine Heartworm Antigen Test Kit (Synbiotics Corporation,San Diego, CA)

Uji knott untuk mendeteksi mikrofilaria D immitis

Pengambilan sampel darah (whole blood) dengan EDTA untuk Uji Knott dilakukan sebanyak dua kali yaitu pada pukul 10.00 (pagi) dan pukul 22.00 (malam). Sebanyak 1 ml darah di dicampur dengan 9 ml formalin 2% lalu di sentrifuse 1500 RPM. Supernatan dibuang, kemudian endapan (pelet) diteteskan methylen blue 0,1% lalu sebanyak satu tetes diulaskan di atas gelas obyek untuk melihat keberadaan mikrofilaria dengan menggunakan mikroskop binokuler.


(41)

27

Analisis Data

Data yang dihasilkan dari penelitian ini dianalisis dengan menggunakan chi square (X2) independent test untuk menguji perbedaan proporsi seluruh kelompok data. Peubah yang menunjukkan perbedaan nyata antar kelompok diuji lebih lanjut dengan model Regresi Logistik untuk menentukan Odds Ratio dugaan (Kleinbaum 1994), serta prevalensi dugaan pada sampling yang dilakukan dengan metode proporsional (Thrusfield 2005). Efektifitas metoda pengujian secara serologis dan metoda konvensional, dianalisis secara deskriptif.


(42)

28

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik anjing impor

Berdasarkan data Pusat Karantina Hewan (2008), tercatat sebanyak 548 ekor anjing impor dari berbagai negara yang dilalulintaskan melalui Balai Besar Karantina Pertanian Soekarno-Hatta selama bulan Januari – Nopember 2008. Dari total jumlah anjing impor tersebut dilakukan pemeriksaan status infeksi CHD terhadap 134 ekor (24,5%) terdiri atas 63 ekor betina dan 71 ekor jantan. Anjing tersebut diimpor dari 33 negara di wilayah Eropa, Amerika, Australia dan Asia (Tabel 6). Kisaran umur anjing yang diambil sampel darahnya antara 6 bulan sampai 18 tahun. Pengambilan sampel pada anjing dengan batas umur minimal 6 bulan dilakukan dengan pertimbangan bahwa kit ELISA yang digunakan mampu mendeteksi antigen D. immitis dewasa dalam sirkulasi darah minimal 6 bulan pasca infeksi (Atwell 1986).

Ras anjing yang diimpor sangat bervariasi namun dapat dibedakan menjadi dua golongan yaitu ras dengan jenis rambut panjang sebanyak 92 ekor dan ras dengan jenis rambut pendek sebanyak 42 ekor. Jenis-jenis ras yang digunakan pada penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 5. Manajemen pemeliharaan anjing tidak dapat diketahui karena sebagian besar anjing impor tidak dibawa langsung oleh pemilik melainkan menggunakan biro jasa pengiriman.

Gambar 7. Contoh Ras anjing bulu panjang Gambar 8. Contoh Ras anjing bulu pendek (Australian Silky Terrier) (Labrador)


(43)

29

Tabel 5 Jenis ras anjing yang diperiksa selama penelitian

Ras Rambut Panjang Ras Rambut Pendek

Collie Dachshund

Pomeranian Boxer

Poodle Rottweiller

Cocker Spaniel Bull

Herder Bulldog

Spaniel Basset Hound

Pekingesse Pincher

Chow-Chow Chihuahua

Maltesse Shihtzu Schnauzer West Highland Terrier Sheltie Bichon Friese Golden Retriever Scot Terrier Pappilon Cockapo Siberian Alaskan

Prevalensi CHD berdasarkan faktor risiko

Prevalensi infeksi D. immitis pada anjing yang diimpor melalui BBKP SH pada bulan Januari – Nopember 2008 adalah sebesar 8,2% (Tabel 7). Jumlah anjing yang terdeteksi positif CHD adalah sebanyak 11 ekor berasal dari negara Malaysia, Singapura, India, Republik Rakyat Cina, Oman, Australia, USA, Jerman dan Rumania, dengan infeksi terbanyak terjadi pada anjing asal Malaysia. Jika ditinjau dari kategori wilayah, prevalensi tertinggi ditemukan pada anjing yang berasal dari wilayah Australia yaitu sebesar 11,1% diikuti wilayah Asia (10,6%), Eropa (6,5%) dan Amerika (3,6%). Secara statistik tidak ditemukan keterkaitan yang signifikan antara prevalensi infeksi dengan wilayah asal anjing impor (Tabel 6). Status kesehatan hewan selama berada di Instalasi Karantina tercantum pada Tabel 7.


(44)

30

Tabel 6 Hasil analisis menggunakan chi square test dengan tingkat kepercayaan 95%

Faktor Risiko Jml anjing yang diuji

Hasil uji Prevalensi (%) positif negatif

Wilayah Asal

Asia1) 66 7 59 10,6

Eropa2) 31 2 29 6,5

Australia 9 1 8 11,1

Amerika3) 28 1 27 3,6

Periode importasi *)

Januari – Juni 61 0 61 0

Juli – Desember 73 11 62 15

Jenis Kelamin

Jantan 71 6 65 9,4

Betina 63 5 58 8,6

Kelompok Umur (Tahun)

0.5 – 3 101 8 93 7,9

4 – 6 17 1 16 5,9

> 6 16 2 14 12.5

Ras berdasarkan

panjang rambut

Rambut Panjang 92 6 86 6,5

Rambut Pendek 42 5 37 11,9

Keterangan:

1)

terdiri atas Taiwan, Jepang, Republik Rakyat Cina, Oman, Saudi Arabia, Malaysia, Singapura, Thailand, Korea Selatan dan India.

2)terdiri atas negara Belgia, Jerman, Belanda, Swiss, Spanyol, Italia, Inggris, Yunani, Hungaria, Rumania,

Serbia, Republik Ceko, Republik Czechnia dan Uzbekistan

3)

terdiri atas USA, Canada dan Brazil

*)


(45)

31

Tabel 7 Status kesehatan hewan yang dideteksi positif CHD

Kode Sampel Negara asal Signalemen Status Present Keterangan 224a Malaysia Ras: golden

retriever, sex: betina, umur: 3 thn

Kondisi umum (KU): ada luka di telinga,telinga kotor, bulu kusam, mulut caries, Temp (T)=38,4˚C, Nadi: 100/mnt, respirasi

(resp)=28/mnt 214 Malaysia Ras: Australian

Silky Terier Sex: betina, umur: 4 thn

KU: baik, jamuran T= 38,5˚C, nadi= 80/mnt,

resp=100/mnt 267 Jerman Ras: Rottweiler,

sex: jantan, umur: 1 thn

KU: flu,selaput lendir pucat, T=38,1˚C, nadi=88/mnt, resp=100/mnt

Mati setelah keluar dari karantina dan ditemukan cacing jantung pada nekropsi 386 Cina Ras: mix, sex:

jantan, umur: 6 bln

KU: baik, normal

282a Rumania Ras: labrador, sex: jantan, umur: 7 thn

KU: baik, normal

237 Malaysia Ras: Labrador, sex: betina, umur: 3 thn

KU: baik, normal

321 Oman Ras: Spitz

Terrier, sex: jantan, umur: 3 thn

KU: baik, nadi: 60/mnt, resp: 32/mnt

344 Australia Ras; Maltesse, sex: jantan, umur: 2 thn

KU: baik, normal

365 Singapura Ras: Shihtzu, sex: jantan, umur: 1 thn

KU: baik, telinga kotor, caries, nadi: 80/mnt, resp: 104/mnt,

370 India Ras: German

Sheperd, sex: betina, umur: 11 thn

KU: baik, telinga kotor, nadi: 148/mnt, resp: 100/mnt

387 USA Ras:

Pomeranian, sex: betina, umur: 1 thn

KU: baik, nadi: 120/mnt, resp: 116/mnt


(46)

32

Gambar 9 Prevalensi berdasarkan Wilayah Asal

Hasil pemeriksaan terhadap anjing yang masuk selama periode bulan Januari – Juni 2008 menunjukkan tidak ada anjing yang terinfeksi D.immitis. Pada periode importasi Juli – Nopember 2008 terdeteksi adanya infeksi cacing jantung pada 11 ekor anjing (15%). Analisa statistik menunjukkan adanya keterkaitan yang nyata antara periode impor anjing dengan prevalensi infeksi cacing jantung pada anjing yang masuk melalui BBKP SH (P< 0,05). Hal ini menunjukkan bahwa risiko anjing terinfeksi yang diimpor pada bulan Juli – Nopember lebih besar dibanding 6 bulan pertama. Tidak dapat diketahui nilai Odds Ratio pada analisis ini disebabkan adanya prevalensi sebesar 0% pada bulan Januari – Juni (Thrusfield 2005). Analisis lebih lanjut menunjukkan prevalensi dugaan (confident interval) infeksi cacing jantung pada periode Januari – Nopember adalah antara 3,56 – 12,86%. Prevalensi dugaan (confident interval) yang lebih tinggi ditemukan pada bulan berisiko (Juli – Nopember) yaitu antara 6,86 – 23,28%.

Amerika 3.6%

Australia 11.1%

Eropa 6.5%

Asia 10.6%


(47)

33

Gambar 10 Prevalensi berdasarkan Periode Impor

Temuan ini mengindikasikan bahwa penyebaran infeksi cacing jantung pada anjing telah meluas ke berbagai penjuru dunia. Berbagai studi menunjukkan prevalensi cacing jantung yang tinggi pada anjing di berbagai negara Asia. Tingkat kejadian CHD pada anjing di Malaysia tercatat sebesar 25,8% (Retnasabapathy dan San 1976), sedangkan Boonyapakorn et al. (2008) mencatat 18.2% pasien anjing yang menjalani rawat jalan di Rumah Sakit Hewan Universitas Chiang Mai Thailand menderita dirofilariosis. Tingkat prevalensi yang lebih tinggi ditemukan di Taiwan dan Korea Selatan yaitu masing-masing sebesar 57% (Wu dan Fan 2003) dan 40% (Song et al. 2003).

Di Amerika, infeksi tersebar luas. American Heartworm Society (2007a) melaporkan bahwa infeksi CHD ditemukan di 50 negara bagian USA. Semua anjing berdasarkan umur, jenis kelamin atau habitat rentan terserang CHD. Infeksi tertinggi (sampai 45%) pada anjing diamati pada Teluk Mexico sampai New Jersey dan sepanjang Sungai Mississipi. Wilayah lain mempunyai tingkat insidensi yang lebih rendah (kurang dari 5%) namun insidensi ini dapat meningkat pada beberapa wilayah yang mempunyai kondisi lingkungan, populasi nyamuk dan populasi anjing yang mendukung terjadinya infeksi CHD. Nelson et al. (2003) dalam tulisannya mengemukakan bahwa survei regional yang dilakukan pada coyote sepanjang tahun 1995 – 1997 di Illinois menunjukkan prevalensi secara umum adalah 16% dan jika ditinjau secara regional, prevalensi meningkat dari bagian utara (3,4%) ke bagian selatan Illinois (40%). Perbedaan prevalensi ini dijelaskan terkait dengan habitat nyamuk, dimana di wilayah selatan merupakan dataran rendah, hutan dan rawa. Habitat ini disukai oleh 3 jenis

0 11

61 62

0 10 20 30 40 50 60 70

januari - juni juli - nopember

positif negatif

15% 0%


(48)

34

nyamuk yaitu Aedes canadensis, Aedes trivittatus dan Aedes vaxans yang merupakan vektor CHD di wilayah tersebut.

Lok (1988) dalam tulisannya melaporkan bahwa Australia merupakan daerah enzootik terhadap D. immitis, khususnya sepanjang Australia bagian utara dan timur. Dalam wilayah ini, prevalensi infeksi CHD terjadi sampai mendekati 90%. Lebih lanjut dijelaskan bahwa kejadian infeksi lebih banyak terjadi pada wilayah dengan temperatur hangat dibanding dataran tinggi. Transportasi anjing secara bebas dari satu negara bagian ke negara bagian lainnya merupakan faktor utama penyebaran D. immitis di Australia. Institusi karantina Australia (Australian Quarantine and Inspection Services/AQIS) mempersyaratkan bagi anjing/kucing yang akan masuk ke wilayah Australia, khususnya yang belum pernah terpapar CHD untuk melakukan tindakan pencegahan setidaknya 4 bulan sebelum masuk ke wilayah Australia (AQIS 2008).

Keterkaitan yang nyata antara periode impor anjing dengan prevalensi infeksi cacing jantung mungkin terkait dengan waktu terjadinya infeksi di negara asal. Dalam penelitian ini anjing dari negara empat musim (temperate region) yang positif antigen D. immitis terdeteksi pada periode bulan Agustus-November.

Berdasarkan kemampuan deteksi Kit, diduga anjing tersebut terinfeksi pada periode bulan Februari-Mei yaitu bertepatan dengan musim semi sampai musim panas. Berdasarkan laporan AHS (2007b), puncak transmisi D. immitis di Hemisphere bagian utara adalah bulan Juli dan Agustus. Hal ini dijelaskan lebih lanjut bahwa iklim menyediakan temperatur dan kelembaban yang cukup untuk mendukung perkembangan populasi nyamuk dan juga perkembangan larva menjadi stadium infektif (L3) di dalam vektor yang memegang peranan penting dalam transmisi D.immitis. Temperatur yang turun di bawah batas ambang (14°C) untuk beberapa jam saja akan memperlambat pematangan larva bahkan ketika temperatur harian rata-rata mendukung kelanjutan perkembangannya. Pada suhu 27°C, waktu yang dibutuhkan untuk perkembangan larva menjadi stadium infektif adalah 10 – 14 hari. Sejalan dengan pernyataan Lok (1988) yang menjelaskan bahwa temperatur hangat (21°C) akan mendukung perkembangan nyamuk. Kondisi temperatur di lingkungan nyamuk hidup merupakan salah satu faktor penting yang mempengaruhi larva D. immitis, dimana larva akan


(1)

Pada studi ini juga dilakukan uji terhadap anjing milik Balai Besar Karantina Pertanian Soekarno – Hatta dan dipelihara di dalam instalasi karantina. Dari 4 ekor anjing yang diuji, 1 ekor menunjukkan positif CHD, yaitu anjing betina berumur > 6 tahun. Dilihat dari manajemen pemeliharaan, anjing ini dipelihara di dalam kandang yang diberi kasa nyamuk. Namun kondisi kasa tersebut sudah tidak utuh lagi, beberapa bagian sudah ada yang rusak (robek). Hal ini menunjukkan bahwa terdapat risiko penularan CHD dari anjing impor ke anjing lokal dan sebaliknya. Data ini merupakan masukan yang sangat berguna bagi institusi karantina dalam meningkatkan upaya pencegahan masuk dan tersebarnya penyakit hewan di Indonesia. Senler et al.(2003) melaporkan bahwa D. immitis merupakan salah satu endoparasit yang dapat menyebabkan kematian pada anjing. Nekropsi yang dilakukan terhadap anjing di wilayah Van, Turki menunjukkan bahwa dari 15 ekor anjing, sebanyak 3 ekor (20%) ditemukan D. immitis. Di India, D. immitis juga merupakan salah satu penyebab kematian canidae. Pada nekropsi yang dilakukan Rao dan Acharjyo (1995) terhadap hewan-hewan yang mati kebun binatang Nandakan India, ditemukan D. immitis pada serigala, jackal, anjing liar dan hyena.

Total waktu yang dibutuhkan dalam satu siklus hidup D. immitis isolat lokal adalah berkisar antara 134 – 138 hari. Siklus ini lebih pendek dibandingkan dengan isolat D. immitis di luar negeri. Menurut Soulsby (1986), lamanya waktu dalam satu siklus hidup D. immitis isolat Jepang sekitar 145 – 185 hari. Mengingat siklus hidup D. immitis di Indoneisa sangat pendek, maka penambahan kasus CHD baru dalam kurun waktu tertentu lebih cepat dibandingkan di negara-negara lain. Dengan demikian dapat diprediksi bahwa pada populasi anjing umur 1 tahun minimal ada 2 -3 generasi cacing dewasa di dalam tubuhnya.

Perbandingan Metoda Pengujian D. immitis

Perbandingan hasil diagnosa dirofilariosis melalui pemeriksaan laboratorium dengan metoda Knott dan deteksi antigen dengan uji ELISA dapat dilihat pada Tabel 8. Dari 11 sampel yang diuji dengan metode Knott dan ELISA, terdapat satu sampel yang menunjukkan positif pada pemeriksaan serologi namun tidak terdeteksi dengan metode Knott baik pada sampel yang diambil pada pukul


(2)

10.00 maupun pukul 22.00.

Tabel 8. Hasil Pengujian D. immitis dengan metoda Knott dan Serologis.

Metode Pengujian Positif negatif Total

Knott

a. Pengambilan pukul 10.00

0 11 11

b. Pengambilan pukul 22.00

0 11 11

Serologi 1 10 11

Hasil negatif pada pemeriksaan metode Knott dan positif pada pemeriksaan serologi mengindikasikan anjing tersebut dalam kondisi occult infection. Kondisi ini menyebabkan hasil pemeriksaan negatif palsu yang dapat disebabkan oleh: (A) ketidakmampuan memproduksi mikrofilaria akibat (1) cacing yang menginfeksi anjing hanya satu ekor, (2) cacing yang menginfeksi anjing adalah single sex, (3) parasit masih berada dalam usia infeksi (belum dewasa) atau (4) infeksi ektopik; (B) Infeksi menghasilkan mikrofilaria namun dihancurkan oleh mekanisme pertahanan tubuh inang (disebut juga immune-mediated occult); dan (C) produksi mikrofilaria berkurang atau berhenti bahkan cacing betina menjadi steril akibat efek dari obat-obat antiparasit (Atwell 1988).

Sejalan dengan hasil penelitian Courtney dan Zeng (1999), dari 963 ekor anjing yang di nekropsi, dikonfirmasi positif terhadap cacing jantung sebanyak 834 (86,6%) menggunakan kit ELISA DiroCHECK® dan 504 (52,3%) ditemukan mikrofilaremia dengan pemeriksaan modified Knott. Hanya 2 ekor anjing (0,4%) dengan mikrofilaremia dideteksi negatif oleh kit ELISA DiroCHECK® sedangkan 18 ekor lainnya (3,6%) dideteksi positif.

Kombinasi uji Knott dan uji antigen akan meningkatkan akurasi pengujian secara keseluruhan (Tarello 2004). Hoover et al. dalam Tarello (2004) memperoleh akurasi hasil pengujian 95% ketika menggunakan uji Knott dan DiroCHECK® secara bersamaan.


(3)

SIMPULAN DAN SARAN a. Simpulan

1. Anjing impor yang masuk melalui Balai Besar Karantina Pertanian Soekarno-Hatta pada bulan Januari – Nopember 2008 terinfeksi (CHD) dengan prevalensi sebesar 8,2%.

2. Prevalensi infeksi cacing jantung pada anjing impor mempunyai asosiasi yang nyata dengan periode impor. Anjing yang diimpor pada bulan Juli – Nopember 2008 menunjukkan prevalensi CHD 15% sementara Januari – Juni sebesar 0%. Prevalensi dugaan pada bulan Juli – Nopember berkisar antara 6,86 – 23,28%.

3. Tidak ada asosiasi yang nyata antara prevalensi infeksi cacing jantung pada anjing impor dengan wilayah asal, umur, ras dan jenis kelamin anjing.

4. Pengujian dengan metode serologi lebih efektif dalam mendeteksi infeksi CHD dibanding metode Knott.

b. Saran

1. Dalam upaya mencegah penyebaran CHD dan HPD melalui anjing impor, pemberian pengobatan profilaksis terhadap cacing jantung perlu dimasukkan sebagai salah satu persyaratan kesehatan hewan.

2. Untuk dapat mengkaji lebih dalam pengaruh periode impor terhadap infeksi CHD, penelitian dengan pola yang sama perlu dilakukan minimal 3 tahun berturut-turut.

3. Manajemen perkandangan anjing dalam hal ini instalasi karantina hewan perlu mempertimbangkan risiko penularan penyakit CHD, sehingga dalam membuat desain kandang instalasi perlu mempertimbangkan faktor-faktor risiko CHD.

4. Metode serologi disarankan sebagai metode standar untuk pengujian cacing jantung pada anjing yang dilalulintaskan melalui karantina hewan.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Abraham D. 1988. Biology of Dirofilaria immitis. Di dalam: Boreham PFL dan Atwell RB, editor Dirofilariasis. CRC Press. hlm 29 - 46.

[AHS]. American Heartworm Society. 2007a. Canine Heartworm Disease. http://www.heartwormsociety. org/index.asp.

[AHS]. American Heartworm Society. 2007b. 2007 Guidelines for the Diagnosis, Treatment and Prevention of Heartworm (Dirofilaria immitis) Infection in Cats. http://www.heartwormsociety.org/article.asp?id=47.

[AQIS] Australian Quarantine and Inspection Service. 2008. Information Package-2 Quarantine requirements for the importation of cats and dogs from approved rabies-free countries and territories http://www.daffa.gov.au/__data/assets/pdf_file/0007/709207/category-2-information-package.pdf.

Atwell RB. Clinical Sign and Diagnosis of Canine Dirofilariasis. Di dalam:

Boreham PFL dan Atwell RB, editor Dirofilariasis. CRC Press. hlm 62 - 81.

[AVA] Agrifood and Veterinary Authority of Singapore. Import Health Standard for Animal. 2008.

Boonyapakorn C, Srikitjakarn L, Morakote N, Hoerchner F. 2008. The Epidemiology of Dirofilaria immitis Infection in Outpatient Dogs at Chiang Mai University Small Animal Hospital, Thailand. Southeast Asian J Trop Med Public Health. 39(1):33-38.

Byeon KH, Kim BJ, Kim SM, Yu HS, Jeong HJ, Ock MS. 2007. A serological survey of Dirofilaria immitis infection in pet dogs of Busan, Korea, and

effects of chemoprophylaxis. Korean Journal of Parasitology. 45(1):27 – 32.

Ching-cheng W dan Ping-chin F. 2003. Prevalence of Canine Dirofilariasis in Taiwan. http://cat.inist.fr/?aModele=afficheN&cpsidt=14587186. Courtney CH. 1988. Chemotheraphy and Chemoprophylaxis. Di dalam: Boreham

PFL dan Atwell RB, editor Dirofilariasis. CRC Press. hlm 152-162. Courtney CH dan Zeng QY. 1999. Relationship between Mikrofilaria Count and

Sensitivity of the Direct Smear for Diagnosis of Canine Dirofilariosis. Med Trop (Mars). 59(4):389 – 400.

Eslami A, Ashrafi-Halan J, Mashgi B. 2005. Canine Heartworm-Clinical Sign and Treatment. Indian Vet.J. 82:75 – 76.

Genchi C, Venco L, Genchi M. 2007. Guideline for the laboratory diagnosis of canine and feline Dirofilaria infections. Di dalam: Cringoli G, editor Mappe Parasitologiche. Department of Pathology and Animal Health Faculty of Veterinary Medicine University of Naples Federico II. Italy. 137-144.

Jones LM, Meisch MV, Farmer FL. 1993. Survey of Dirofilaria in Arkansas. J. Am. Mosq. Control Assoc. 9(2):235 – 237.

Karmil TF. 2002. Studi Biologis dan Potensi Vektor Alami Dirofilaria immitis sebagai landasan penyiapan bahan hayati. Disertasi. IPB.


(5)

Lok JB. 1988. Dirofilaria Sp: Taxonomy and Distribution. Di dalam: Boreham PFL dan Atwell RB, editor Dirofilariasis. CRC Press. hlm 1 – 28.

Manfredi MT, Di Cerbo A, Genchi M. Biology of filarial worms parasitizing dogs and cats. Di dalam Cringoli G, editor Mappe Parasitologiche. Department of Pathology and Animal Health Faculty of Veterinary Medicine University of Naples Federico II. Italy. 39-46.

McGinn T. 2004. Probability Proportional to Size Sampling Technique. RHRC Consortium Monitoring and Evaluation Toolkit.

Mimori T, Tada I, Takeuchi T. 1986. Dirofilaria Infection in Breast of a Woman in Japan. Southeast Asian J. Trop. Med Pub. HLTH. 17(2):361-368. Nash H. 2008. Heartworm. http://www.priory.com/vet/cardioworm.htm.

Nayar JK. 1990. Mosquito-Borne Dog Heartworm Disease. http://images.google. co.id/imgres?imgurl= http://www.co.okaloosa.fl.us/images/pub_mosq_

hwmap.jpg&imgrefurl=http://www.co.okaloosa.fl.us/pub_mosq_dog. html&h=167&w=265&sz=23&hl=id&start=3&um=1&tbnid=L2PSR8vrL

XkatM:&tbnh=71&tbnw=112&prev=/images%3Fq%3Dmap%2B Dirofilariasis%26um%3D1%26hl%3Did.

Nelson TA, Gregory DG Laursen JR. 2003. Canine Heartworms in Coyotes in Illinois. Journal of Wildlife Diseases. 39(3):593 – 599.

Nithiuthai S. 2003. Risk of Canine Heartworm Infection in Thailand. Proceeding of World Small Animal Veterinary Association World Congress 2003. http://www.vin.com/proceedings.plx?CID= WSAVA2003&category= 995&O=Generic.

[NZMAF] New Zealand Ministry of Agriculture and Forestry. Import Health Standard for Cats and Dogs from Australia. http://www.biosecurity.govt.nz/files/imports/animals/standards/domaniic.i sl.pdf.

O'Grady MR dan O'Sullivan ML. 2004. Clinical Cardiology Concepts For The Dog And Cat. http://www.vetgo.com/cardio/contact.php.

Oh HW, Jun HK, You MJ, Hayasaki M, Song KH. 2008. Ectopic Migration of an Adult Heartworm in a Dog with Dirofilariasis. Korean J. Parasitol. 46(3): 171 – 173.

Ohio State Univercity. Transmission and Life Cycle. http://www.biosci.ohio-state.edu/~parasite/dirofilaria.html.

Pusat Karantina Hewan (2005). Laporan Tahunan 2005 Pusat Karantina Hewan. Badan Karantina Pertanian.

Pusat Karantina Hewan (2006). Laporan Tahunan 2006 Pusat Karantina Hewan. Badan Karantina Pertanian.

Pusat Karantina Hewan (2007). Laporan Tahunan 2007 Pusat Karantina Hewan. Badan Karantina Pertanian.

Pusat Karantina Hewan. 2008. Laporan Operasional Balai Besar Karantina Pertanian Soekarno-Hatta bulan Januari – Nopember 2008.

Rawlings CA, Dawe DL, McCall JW, Keith JC, Prestwood AK. 1982. Four types of occult Dirofilaria immitis infection in dogs. J Am Vet Med Assoc. 180(11):1323-6.

Rao AT dan Acharjyo LN. 1995. Causes of Mortality in Carnivores other than Felids at Nandakan Zoo. Indian Vet. J. 918 – 921.


(6)

Retnasabapathy A, San KT. 1976. Incidence of canine heartworm (Dirofilaria immitis) in Malaysia. Vet Rec. 98(4):68-69.

Satrija F, Ridwan Y, Wulandari N, Ming Y. 2008. Prevalensi dan Faktor Risiko Infeksi Cacing Jantung (Dirofilaria immitis) pada anjing peliharaan di Jawa dan Bali. Proceeding of KIVNAS 2008. 323-324..

Senler NG, Gul A, Bicek K, Deger S. 2003. Prevalence of Endoparasites in Dog and Their Importance on Human Health in and Around Van. Indian Vet.J. 80:832-833.

Song KH, Lee SE, Hayasaki M, Shiramizu K, Kim DH, Cho KW. 2003. Seroprevalence of Canine Dirofilariasis in South Korea. Vet Parasitol. 114(3):231-236.

Soulsby. 1986. Helminths, Arthropods and Protozoas of Domesticticated Animals, 7th. Edition. Bailliere Tindal, England.

Thrusfield M. 2005. Veterinary Epidemiology. 3rd Eds. Veterinary Clinical Studies Royal (Dick) School of Veterinary Studies. University of Edinburgh.

Tarello (2004). Importance in the Dog of Concentration Tests for the Diagnosis of Heartworm Disease in Non Endemik Areas. Heartworm Article in Vet On-Line&CC. http://www.priory.com/vet/cardioworm.htm.

Venco L. Heartworm (Dirofilaria immitis) Disease in Dog. Di dalam: Cringoli G, editor Mappe Parasitologiche. Department of Pathology and Animal Health Faculty of Veterinary Medicine University of Naples Federico II. Italy. 117-125.

Wu CC, Fan PC. 2003. Prevalence of Canine Dirofilariasis in Taiwan. J. Helminthol. 77(1):83-88.

Yoshimura H. 1995. Human Dirofilariasis in Japan. Minophegen Medical Review. 30:136.