Tradisi Mudik Lebaran: Membentuk Karakter “Pemaaf”
Tradisi Mudik Lebaran: Membentuk Karakter “Pemaaf”
Oleh Akhmad Baidun
Lebaran, merupakan momen spiritual sekaligus momen sosial.
Maman (2014) menyebutnya sebagai pencerahan spiritual. Mudik lebaran
merupakan fenomena sosial, kultural, dan psikologi. Secara sosiologis,
mudik lebaran merupakan tradisi masyarakat dari rantau ke kampung
halaman. Secara kultural mudik merupakan budaya atau tradisi. Pada aspek
psikologis mudik lebaran merupakan bentuk energi yang menggerakan
(drive), memotivasi, dan mendorong (urge) individu untuk mudik pada hari
lebaran.
Fenomena mudik lebaran dapat dilihat dalam perspektif psikologi
lintas budaya (Irmawati, 2008). Mudik lebaran, sebagai suatu fenomena
sosial, dapat dijadikan instrumen untuk menganalisis secara kritis dan
menciptakan lingkungan sosial secara lebih baik. Dalam perspektif
Matsumoto (2004) mempelajari mudik lebaran terkait budaya merupakan
sesuatu alat baru bagi disiplin ilmu psikologi.
Tradisi mudik lebaran tidak hanya produk kreatif dan gejala sosial
masyarakat Indonesia, tetapi terkait aspek psikologis sosial. Triandis (dalam
Warnaen, 2002) menamakan sebagai kultur subyektif, dimana mudik lebaran
merupakan ciri khas kebudayaan masyarakat. Perspektif kultur subyektif
tradisi mudik lebaran dipersepsi sebagai gejala sosial yang memiliki nilai,
aturan, dan norma kelompok.
Marsudi (2013) menulis, hakekat mudik lebaran merupakan ekpresi
kegembiraan sebagai simbol hari kemenangan, setelah lulus menjalani
cobaan di bulan Ramadhan. Siklus mudik lebaran merupakan ekpresi
psikologis manusia untuk menempa diri menghadapi cobaan dalam
kehidupan. Mudik lebaran, merupakan ekpresi kegembiraan, untuk
kemudian menjalani kehidupan secara lebih baik, bermoral, bermartabat,
dan berdasarkan pada spirit Islam dalam kehidupan.
Selanjutnya, Marsudi (2013) melihat bahwa tradisi mudik merupakan
instrumen sosial dalam melakukan interaksi komunal untuk saling
memaafkan antar sesama manusia. Silturrahmi, saling memberi dan
meminta maaf kepada tetangga dan sanak saudara ini telah menjadi tradisi
atau adat masyarakat Indonesia. Tradisi ini dipandang sebagai keunikan
tradisi umat Islam Indonesia.
Dalam perspektif lain, tradisi mudik berhubungan dengan kebiasaan
manusia berbuat baik (muamalah), saling menghormati, dan bekerjasama
Majid, Abdul (tt). Secara psikologis sikap ikhlas, berjabat tangan dan ucapan
permohonan ma’af, akan membangun persepsi dan emosi positif. Emosi
positif ini akan membangun kesejahteraan jiwa dan memberikan kesan
positif pada sistem kognitif dan memory individu. Sistem kognisi dan emosi
positif individu inilah yang selanjutnya akan memungkinkan terbentuknya
sistem sosial yang lebih sehat dan sejahtera.
1
Efek negatif mudik lebaran
Tradisi mudik di satu sisi dapat memunculkan budaya eufimisme,
yaitu penuh dengan kepura-puraan. Memaksakan diri, belanja dan konsumsi
melebihi batas kemampuan, serta menantang resiko dalam perjalanan Alkautsar, Syukiran (2015). Menghamburkan sumberdaya, khususnya
sumberdaya ekonomi, berarti membiasakan diri dengan konsumsi biaya
tinggi.
Akhirnya, tradisi mudik lebaran dapat membentuk karakter “pemaaf”.
Namun, tradisi mudik lebaran sewajarnya saja, sehingga dapat dihindari
adanya ekonomi biaya tinggi dan melahirkan eufimisme sosial.
DAFTAR PUSTAKA
Irmawati, Pemberdayaan kearifan lokal melalui pendekatan psikologi ulayat
untuk pembangunan bangsa, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar
Kampus USU, 20 September 2008
Maman (2014). http://www.beritasatu.com/tausiah/199684-idul-fitri-menujupencerahan-spiritual.html (diunduh pada hari Senin, 22 Juni 2015 jam
14:15 di Jakarta).
Marsudi (2013).
http://bulletintjtpqnuponorogo.blogspot.com/2013/08/lebaran-dalamperspektif-psikologi.html (diunduh pada hari Senin, 22 Juni 2015 jam
01:01 di Bogor).
Matsumoto, David. & Juang, Linda. (2004). Culture and psychology, 3rd
edition. Wordsworth: Thompson Learning Inc.
Sinta Nuriyah, (2013). http://psychology.binus.ac.id/2012/12/18/psikologiulayat-sebagai-instrumen-advokasi/ (diunduh pada hari Senin, 22 Juni
2015 jam 00:39 di Bogor)
Warnaen, S. (2002). Stereotip etnis dalam masyarakat multietnis, (cetakan
pertama). Yogyakarta: Mata Bangsa.
Majid, Abdul (tt). Mudik Lebaran.
https://www.google.co.id/search?newwindow=1&q=mudik+tradisi+pdf&
oq=mudik+tradisi+pdf&gs_l=serp.12...316373.318239.0.320062.7.7.0.0
.0.0.171.568.0j4.4.0....0...1.1.64.serp..5.2.280.VKltfuDOTxU (diunduh
pada hari Selasa, 4 Agustus 2015 jam 19:07 di Jakarta)
Al-kautsar, Syukiran (2015). http://id.scribd.com/doc/76113158/Dampak-PositifDan-Negatif-Budaya-Mudik-Khas-Indonesia#scribd (diunduh pada hari
Selasa, 4 Agustus 2015 jam 19:13 di Jakarta)
2
Oleh Akhmad Baidun
Lebaran, merupakan momen spiritual sekaligus momen sosial.
Maman (2014) menyebutnya sebagai pencerahan spiritual. Mudik lebaran
merupakan fenomena sosial, kultural, dan psikologi. Secara sosiologis,
mudik lebaran merupakan tradisi masyarakat dari rantau ke kampung
halaman. Secara kultural mudik merupakan budaya atau tradisi. Pada aspek
psikologis mudik lebaran merupakan bentuk energi yang menggerakan
(drive), memotivasi, dan mendorong (urge) individu untuk mudik pada hari
lebaran.
Fenomena mudik lebaran dapat dilihat dalam perspektif psikologi
lintas budaya (Irmawati, 2008). Mudik lebaran, sebagai suatu fenomena
sosial, dapat dijadikan instrumen untuk menganalisis secara kritis dan
menciptakan lingkungan sosial secara lebih baik. Dalam perspektif
Matsumoto (2004) mempelajari mudik lebaran terkait budaya merupakan
sesuatu alat baru bagi disiplin ilmu psikologi.
Tradisi mudik lebaran tidak hanya produk kreatif dan gejala sosial
masyarakat Indonesia, tetapi terkait aspek psikologis sosial. Triandis (dalam
Warnaen, 2002) menamakan sebagai kultur subyektif, dimana mudik lebaran
merupakan ciri khas kebudayaan masyarakat. Perspektif kultur subyektif
tradisi mudik lebaran dipersepsi sebagai gejala sosial yang memiliki nilai,
aturan, dan norma kelompok.
Marsudi (2013) menulis, hakekat mudik lebaran merupakan ekpresi
kegembiraan sebagai simbol hari kemenangan, setelah lulus menjalani
cobaan di bulan Ramadhan. Siklus mudik lebaran merupakan ekpresi
psikologis manusia untuk menempa diri menghadapi cobaan dalam
kehidupan. Mudik lebaran, merupakan ekpresi kegembiraan, untuk
kemudian menjalani kehidupan secara lebih baik, bermoral, bermartabat,
dan berdasarkan pada spirit Islam dalam kehidupan.
Selanjutnya, Marsudi (2013) melihat bahwa tradisi mudik merupakan
instrumen sosial dalam melakukan interaksi komunal untuk saling
memaafkan antar sesama manusia. Silturrahmi, saling memberi dan
meminta maaf kepada tetangga dan sanak saudara ini telah menjadi tradisi
atau adat masyarakat Indonesia. Tradisi ini dipandang sebagai keunikan
tradisi umat Islam Indonesia.
Dalam perspektif lain, tradisi mudik berhubungan dengan kebiasaan
manusia berbuat baik (muamalah), saling menghormati, dan bekerjasama
Majid, Abdul (tt). Secara psikologis sikap ikhlas, berjabat tangan dan ucapan
permohonan ma’af, akan membangun persepsi dan emosi positif. Emosi
positif ini akan membangun kesejahteraan jiwa dan memberikan kesan
positif pada sistem kognitif dan memory individu. Sistem kognisi dan emosi
positif individu inilah yang selanjutnya akan memungkinkan terbentuknya
sistem sosial yang lebih sehat dan sejahtera.
1
Efek negatif mudik lebaran
Tradisi mudik di satu sisi dapat memunculkan budaya eufimisme,
yaitu penuh dengan kepura-puraan. Memaksakan diri, belanja dan konsumsi
melebihi batas kemampuan, serta menantang resiko dalam perjalanan Alkautsar, Syukiran (2015). Menghamburkan sumberdaya, khususnya
sumberdaya ekonomi, berarti membiasakan diri dengan konsumsi biaya
tinggi.
Akhirnya, tradisi mudik lebaran dapat membentuk karakter “pemaaf”.
Namun, tradisi mudik lebaran sewajarnya saja, sehingga dapat dihindari
adanya ekonomi biaya tinggi dan melahirkan eufimisme sosial.
DAFTAR PUSTAKA
Irmawati, Pemberdayaan kearifan lokal melalui pendekatan psikologi ulayat
untuk pembangunan bangsa, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar
Kampus USU, 20 September 2008
Maman (2014). http://www.beritasatu.com/tausiah/199684-idul-fitri-menujupencerahan-spiritual.html (diunduh pada hari Senin, 22 Juni 2015 jam
14:15 di Jakarta).
Marsudi (2013).
http://bulletintjtpqnuponorogo.blogspot.com/2013/08/lebaran-dalamperspektif-psikologi.html (diunduh pada hari Senin, 22 Juni 2015 jam
01:01 di Bogor).
Matsumoto, David. & Juang, Linda. (2004). Culture and psychology, 3rd
edition. Wordsworth: Thompson Learning Inc.
Sinta Nuriyah, (2013). http://psychology.binus.ac.id/2012/12/18/psikologiulayat-sebagai-instrumen-advokasi/ (diunduh pada hari Senin, 22 Juni
2015 jam 00:39 di Bogor)
Warnaen, S. (2002). Stereotip etnis dalam masyarakat multietnis, (cetakan
pertama). Yogyakarta: Mata Bangsa.
Majid, Abdul (tt). Mudik Lebaran.
https://www.google.co.id/search?newwindow=1&q=mudik+tradisi+pdf&
oq=mudik+tradisi+pdf&gs_l=serp.12...316373.318239.0.320062.7.7.0.0
.0.0.171.568.0j4.4.0....0...1.1.64.serp..5.2.280.VKltfuDOTxU (diunduh
pada hari Selasa, 4 Agustus 2015 jam 19:07 di Jakarta)
Al-kautsar, Syukiran (2015). http://id.scribd.com/doc/76113158/Dampak-PositifDan-Negatif-Budaya-Mudik-Khas-Indonesia#scribd (diunduh pada hari
Selasa, 4 Agustus 2015 jam 19:13 di Jakarta)
2