MAKALAH PENDIDIKAN KARAKTER PEMAAF DAN S

Materi kuliah
Pendidikan karakter
Oleh dosen pembina:
Drs. H.M. Yatimun, MM

Kelompok :
1.
2.
3.

Nur Halimah
Sitti Sahiroh
Sulfiati

PENDIDIKAN KARAKTER (Membangun Sifat Pemaaf dan Sabar)
ABSTRAK

Arti maaf secara umum adalah kita bisa mengartikan memaafkan sebagai mengampuni
kesalahan, tidak mendendam, memberi remisi, atau pembebasan. Juga dinyatakan dalam Al-Qur’an
bahwa pemaaf adalah sifat mulia yang terpuji. "Tetapi barang siapa bersabar dan memaafkan,
sungguhyang demikian itu termasuk perbuatan yang mulia."(Qur'an 42:43). Perihal penting yang perlu

kita garisbawahi bahwa orang yang wajib kita tauladani atas sifat pemaaf yang paling tinggi adalah
tauladan hidup kita yaitu Nabi Muhamad SAW. Beliau telah memiliki sifat Hilm yaitu sifat sabar diatas
sabar.
Sedangakan sabar, secara etimologis, sabar (ash-Shabr) berarti menahan dan mengekang (al-habs wa
al-kuf). Secara terminologis sabar berarti menahan dari segala sesuatu yang tidak sukai karena
mengharap ridha Allah. Yang tidak disukai itu tidak selamanya terdiri dari hal-hal yang tidak disenangi
seperti musibah kematian, sakit, kelaparan dan sebagainya, tapi bisa juga berupa hal-hal yang disenangi
misalnya segala kenikmatan duniawi yang disukai oleh hawa nafsu. Sabar dalam hal ini berarti
menahan dan mengekang diri dari memperturutkan hawa nafsu.
Menurut Hamzah Ya’qub, sabar menurut bahasa adalah teguh hati tanpa mengeluh ditimpa bencana
apabila dikatakan dengan pandangan Islam maka sabar diartikan tabah menerima ujian-ujian Tuhan
dalam bakti dan perjuangan dengan tujuan memperoleh ridhanya
A. PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Masalah
Dewasa ini dunia pendidikan di negara kita semakin mendapatkan tantangan, berbagai
usaha pembaharuan dibidang pendidikan telah dilakukan sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas
pendidikan, misalnya kurikulum yang mengalami penyempurnaan dan beberapa metode dan media
pembalajaran mengalami pembaharuan yang dinamis. Hal tersebut bertujuan untuk membentuk individu
– individu yang berkualitas, kreatif dan memiliki keimanan serta kepribadian yang matang guna

menghadapi perkembangan dan kemajuan jaman.
Guru memiliki peranan penting dalam pembentukan kepribadian siswa, selain mengajar
untuk menyampaikan materi pelajaran, guru juga harus dapat mengintegrasikan nilai – nilai yang
bermuatan moral dan spiritual kepada anak didik. Melalui berbagai model dan cara harus dilakukan oleh
seluruh guru bidang studi, agar menghasilkan anak didik yang cerdas secara intelaktual dan sekaligus
berkepribadian yang matang (berkarakter)
Pendidikan karakter di sekolah dapat dilakukan dengan berbagai cara, baik didalam kelas
maupun diluar kelas, seperti melalui penugasan dirumah, melalui lembar kerja yang disusun oleh guru,
motivasi sebelum pelajaran dimulai, membuat program kultum di luar kelas setiap hari jum’at atau bentuk
kegiatan yang lainnya. Dan yang menjadi pembahasan dalam penelitian ini adalah pendidikan karakter
terutama mengenai sifat pemaaf dan sabar
2. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana implementasi pembentukan karakter
pemaaf dan sabar sebagai pilar pendidikan
Ketika seseorang memiliki sifat pemaaf, maka orang tersebut cenderung akan lebih sehat
dan bahagia, hal ini diungkapkan dalam beberapa penelitian tentang karakter pemaaf pernah dilakukan
oleh beberapa pakar ahli psikologi Amerika, diantaranya adalah seorang ahli psikologi bernama Dr.
Frederic Luskin dalam bukunya, Forgive for Good [Maafkanlah demi Kebaikan], menjelaskan sifat pemaaf
sebagai resep yang telah terbukti bagi kesehatan dan kebahagiaan. Sedangkan Harun Yahya dalam
buku karangannya yang berjudul Sikap Memaafkan dan Manfaatnya bagi Kesehatan, menjelaskan


bahwa pemahaman orang-orang beriman tentang sikap memaafkan sangatlah berbeda dari mereka yang
tidak menjalani hidup sesuai ajaran Al-Qur’an. Meskipun banyak orang mungkin berkata mereka telah
memaafkan seseorang yang menyakiti mereka, namun perlu waktu lama untuk membebaskan diri dari
rasa benci dan marah dalam hati mereka. Sikap memaafkan orang-orang beriman adalah tulus, karena
mereka tahu bahwa manusia diuji di dunia ini, dan belajar dari kesalahan mereka, mereka berlapang
dada dan bersifat pengasih.
Menurut penelitian terakhir, para ilmuwan Amerika membuktikan bahwa mereka yang mampu
memaafkan adalah lebih sehat baik jiwa maupun raga. Orang-orang yang diteliti menyatakan bahwa
penderitaan mereka berkurang setelah memaafkan orang yang menyakiti mereka. Penelitian tersebut
menunjukkan bahwa orang yang belajar memaafkan merasa lebih baik, tidak hanya secara batiniyah
namun juga jasmaniyah. Sebagai contoh, telah dibuktikan bahwa berdasarkan penelitian, gejala-gejala
pada kejiwaan dan tubuh seperti sakit punggung akibat stress [tekanan jiwa], susah tidur dan sakit perut
sangatlah berkurang pada orang-orang ini.

Para peneliti percaya bahwa pelepasan hormon stres, kebutuhan oksigen yang meningkat oleh
sel-sel otot jantung, dan kekentalan yang bertambah dari keping-keping darah, yang memicu pembekuan
darah menjelaskan bagaimana kemarahan meningkatkan peluang terjadinya serangan jantung. Ketika
marah, detak jantung meningkat melebihi batas wajar, naiknya tekanan darah pada pembuluh nadi, dan
oleh karenanya memperbesar kemungkinan terkena serangan jantung.


B. METODOLOGI PENELITIAN

1. Kerangka Berpikir

Allah SWT telah berfirman dalam Al-Qur’an: ”Dan hendaklah takut (kepada Allah) orang –
orang yang sekiranya mereka meninggalkan keturunan yang lemah dibelakang mereka yang mereka
khawatirkan terhadap (kesejahteraan)nya. Oleh karena itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan
hendaklah mereka bertutur kata yang benar”.

Hakekat pendidikan menurut Yulianti, harus berorientasi pada pembentukan karakter
(kepribadian/jati diri) yang ada dalam cara berikir dan cara merasa seseorang. Sebagai diketahui
manusia terdiri dari tiga unsur pembagun yaitu ; hatinya (bagaimana ia merasa), fikirannya (bagaimana ia
berfikir), dan fisiknya (bagaimana ia bersikap). Oleh karena itu langkah – langkah untuk membentuk
karakter hendaknya memenuhi beberapa kaidah berikut ini:
Kaidah kebertahapan : proses pembentukan karakter harus dilakukan secara bertahap, orang

a.

tidak bisa dituntut berubah sesuai yang dianjurkan secara tiba – tiba dan instant, namuan harus dilakukan

dengan penuh kesabaran dan tidak terburu – buru, orientasinya ada pada proses bukan pada hasil. Jadi
proses pendidikan adalah lama namun hasilnya paten.
Kaidah kesinambungan : seberapapun kecilnya porsi latihan, yang terpenting bukanlah disitu

b.

tetapi pada kesinambungannya. Proses inilah yang nantinya membentuk rasa dan warna berfikir
seseorang yang lama – lama akan menjadi kebiasaan dan seterusnya akan menjadi karakter pribadi
yang khas.
Kaidah momentum : Penggunaan berbagai momentum peristiwa untuk fungsi pendidikan dan

c.

latihan, misalnya Rhamadhan untuk mengembangkan sifat sabar, kemauan yang kuat, kedermawanan
dan sebagainya.
d.

Kaidah motivasi insting : karakter yang kuat akan terbentuk sempurna jika dorongan yang

menyertainya benar – benar lahir dalam diri sendiri. Jadi proses merasakan sendiri dan melakukan

sendiri. Hal ini sesuai dengan kaidah umum bahwa mencoba sesuatu akan berbeda hasilnya antara yang

dilakukan sendiri dengan yang hanya dilihat/didengarkan saja. Pendidikan harus menanamkan motivasi
dan keinginan yang kuat serta melibatkan aksi fisik yang nyata.
e.

Kaidah pembimbingan : pembentukan karakter ini tidak bisa dilakukan tanpa seorang

guru/pembimbing. Kedudukan seorang guru/pembimbing adalah untuk memantau dan mengevaluasi
perkembangan seseorang, yang juga berfungsi sebagai unsur perekat, tempat ”curhat” dan sarana
tukarpikiran bagi murid – muridnya.

Beberapa ayat Al-Qur’an juga mengajarkan manusia tentang sifat pemaaf dan sabar yang merupakan
salah satu sifat mulia, diantaranya adalah:
“Jadilah pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf, serta jangan pedulikan orang-orang yang
bodoh”. (Qs. 7:199)
Dalam ayat lain Allah berfirman: "...dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah
kamu tidak suka bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang." (QS.
An Nuur, 24:22)
Mereka yang tidak mengikuti ajaran mulia Al-Qur'an akan merasa sulit memaafkan orang lain. Sebab,

mereka mudah marah terhadap kesalahan apa pun yang diperbuat. Padahal, Allah telah menganjurkan
orang beriman bahwa memaafkan adalah lebih baik:
... dan jika kamu maafkan dan kamu santuni serta ampuni (mereka), maka sungguh, Allah Maha
Pengampun, Maha Penyayang. (QS. At Taghaabun, 64:14)
Juga dinyatakan dalam Al-Qur’an bahwa pemaaf adalah sifat mulia yang terpuji. "Tetapi barang
siapa bersabar dan memaafkan, sungguh yang demikian itu termasuk perbuatan yang mulia." (Qur'an
42:43)
Berlandaskan hal tersebut, kaum beriman adalah orang-orang yang bersifat memaafkan,
pengasih dan berlapang dada, sebagaimana dinyatakan dalam Al-Qur’an, "...menahan amarahnya dan
memaafkan (kesalahan) orang lain." (QS. Ali ‘Imraan, 3:134)
Memaafkan adalah ungkapan yang mudah untuk diucapkan, namun tidak sesederhana ketika
diaplikasikan. Ketika seseorang telah atau akan dicelakai, maka yang tertanam biasanya perasaan
dendam dan ingin membalas. Perasaan seperti itu adalah wajar dalam diri orang biasa. Namun sikap
memaafkan hanya ada pada diri orang yang luar biasa.

Dalam menghadapi situasi yang cenderung memancing emosi, manusia dapat digolongkan
dalam tiga tipe yaitu :
- Pertama, orang yang tidak merasa marah padahal penyebabnya ada.
- Kedua, orang yang merasa marah tetapi mampu menahan amarahnya dan mau memaafkan
- Ketiga, mereka yang merasa marah, mampu menahan marah tetapi tidak bisa memaafkannya.


Dari ketiga katagori ini tentu saja golongan pertama yang lebih utama. Mereka disebut telah
memiliki hilm sifat sabar yang sangat besar. Sabar di atas sabar. Sifat ini telah dimiliki Rasulullah S.A.W,
dan telah dibuktikan dalam berbagai peristiwa. Sebagai contoh dituliskan dalam sebuah buku karangan
Fauziah Sari yang berjudul Memaafkan atau Membalas Secukupnya. Suatu hari ’Aisyah yang tengah
duduk santai bersama suaminya, Rasululluh S.A.W, dikagetkan oleh seorang Yahudi yang minta izin
masuk ke rumahnya dengan ucapan assamu’alaikum (kecelakaan bagimu) sebagai ganti ucapan
assalaamu’alaikum kepada Rasulullah. Kemudian Rasulullah menjawab dengan ”Wa’alaikumsaam”
(celaka juga bagimu). Tidak lama kemudian datang lagi Yahudi yang lain dengan perbuatan yang sama.
Ia masuk dan mengucapkan assamu’alaikum. Jelas sekali bahwa mereka datang dengan sengaja untuk
mengganggu ketenangan Rasulullah.”

Menyaksikan pola tingkah mereka ’Aisyah gemas dan berteriak : ”Kalianlah yang celaka!”
Rasulullah tidak menyukai Reaksi keras istrinya. Beliau menegur, ” Hai ’Aisyah, jangan kau ucapkan

sesuatu yang keji, seandainya Allah menampakkan gambaran keji secara nyata, niscaya ia akan
berbentuk suatu yang paling buruk dan jahat. Berlemah lembut atas semua yang terjadi akan menghias
dan memperindah perbuatan itu, dan atas segala sesuatu yang bakal terjadi akan menambah
keindahannya. Kenapa engkau harus marah dan berang ?”


”Ya Rasulullah, apakah engkau tidak mendengar apa yang mereka ucapkan secara keji
sebagai pengganti dari ucapan salam ?” ”Ya, aku telah mendengarnya. Akupun telah menjawabnya
Wa’alaikumsaam itu sudah cukup.”

Manusia agung, Muhammad S.A.W ini lagi – lagi memberikan pelajaran yang sangat berharga
kapada istrinya, yang tentu saja berlaku pula bagi segenap kaum muslimin. Batapa beliu telah
menunjukkan suatu kepribadian yang amat matang dan sangat dewasa dalam menghadapi berbagai
keadaan. Begitu kokoh pertahanan dirinya, sehingga tidak mudah terpancing amarahnya. Suatu
pengendalian emosi yang luar biasa.
Sebuah buku karangan Harun Yahya yang berjudul Sikap Memaafkan dan Manfaatnya bagi
Kesehatan, di jelaskan bahwa Pemahaman orang-orang beriman tentang sikap memaafkan sangatlah
berbeda dari mereka yang tidak menjalani hidup sesuai ajaran Al-Qur’an. Meskipun banyak orang
mungkin berkata mereka telah memaafkan seseorang yang menyakiti mereka, namun perlu waktu lama
untuk membebaskan diri dari rasa benci dan marah dalam hati mereka. Sikap mereka cenderung
menampakkan rasa marah itu. Di lain pihak, sikap memaafkan orang-orang beriman adalah tulus. Karena
mereka tahu bahwa manusia diuji di dunia ini, dan belajar dari kesalahan mereka, mereka berlapang
dada dan bersifat pengasih. Lebih dari itu, orang-orang beriman juga mampu memaafkan walau
sebenarnya mereka benar dan orang lain salah. Ketika memaafkan, mereka tidak membedakan antara
kesalahan besar dan kecil. Seseorang dapat saja sangat menyakiti mereka tanpa sengaja. Akan tetapi,
orang-orang beriman tahu bahwa segala sesuatu terjadi menurut kehendak Allah, dan berjalan sesuai

takdir tertentu, dan karena itu, mereka berserah diri dengan peristiwa ini, tidak pernah terbelenggu oleh
amarah.
Dr. Frederic Luskin Dalam bukunya, Forgive for Good [Maafkanlah demi Kebaikan],
menjelaskan sifat pemaaf sebagai resep yang telah terbukti bagi kesehatan dan kebahagiaan. Buku
tersebut memaparkan bagaimana sifat pemaaf memicu terciptanya keadaan baik dalam pikiran seperti
harapan, kesabaran dan percaya diri dengan mengurangi kemarahan, penderitaan, lemah semangat dan
stres. Menurut Dr. Luskin, kemarahan yang dipelihara menyebabkan dampak ragawi yang dapat teramati
pada diri seseorang. Dia melanjutkan dengan mengatakan bahwa, permasalahan tentang kemarahan
jangka panjang atau yang tak berkesudahan adalah kita telah melihatnya menyetel ulang sistem pengatur
suhu di dalam tubuh. Ketika Anda terbiasa dengan kemarahan tingkat rendah sepanjang waktu, Anda
tidak menyadari seperti apa normal itu. Hal tersebut menyebabkan semacam aliran adrenalin yang
membuat orang terbiasa. Hal itu membakar tubuh dan menjadikannya sulit berpikir jernih ( memperburuk
keadaan).
Sebuah tulisan berjudul "Forgiveness" [Memaafkan], yang diterbitkan Healing Current
Magazine [Majalah Penyembuhan Masa Kini] edisi bulan September-Oktober 1996, menyebutkan bahwa
kemarahan terhadap seseorang atau suatu peristiwa menimbulkan emosi negatif dalam diri orang, dan
merusak keseimbangan emosional bahkan kesehatan jasmani mereka. Artikel tersebut juga
menyebutkan bahwa orang menyadari setelah beberapa saat bahwa kemarahan itu mengganggu
mereka, dan kemudian berkeinginan memperbaiki kerusakan hubungan. Jadi, mereka mengambil
langkah-langkah untuk memaafkan. Disebutkan pula bahwa, meskipun mereka tahan dengan segala hal

itu, orang tidak ingin menghabiskan waktu-waktu berharga dari hidup mereka dalam kemarahan dan
kegelisahan, dan lebih suka memaafkan diri mereka sendiri dan orang lain.
Meminta maaf memang bukan hal yang mudah, kadang kita tidak menyadari bahwa tindakan
kita telah menyakiti orang lain, tetapi jika budaya kita sudah mengajarkan hal yang seperti ini maka
setelah melakukan suatu kesalahan, permintaan maaf seringkali dapat dengan mudah diucapkan..

Meskipun mungkin terkadang ada permintaan maaf yang dilontarkan dengan berat hati atau dengan tidak
sepenuhnya rela, namun kata ‘maaf’ yang terucap tetap mencerminkan suatu penyesalan. Suatu kata
yang hampir secara otomatis kita ucapkan saat kita menyadari bahwa perbuatan yang kita lakukan itu
salah, atau telah menyinggung orang lain.
Menurut sebuah artikel yang dirilis Harvard Women Health Watch seperti dikutip detikhot,
Jumat (20/10/2006) menyatakan memaafkan seseorang yang melukai Anda bisa membuat keadaan
mental dan fisik menjadi lebih baik. Bahkan ada 5 alasan penting mengapa Anda harus saling
memaafkan.
(1)

Mengurangi Stres : Penelitian menemukan dendam yang selalu disimpan secara mental dapat

membuat ketegangan atau tekanan yang dapat menyebabkan stres. Otot-otot menegang, tekanan darah
meningkat, dan keringat berlebihan. Apa gunanya selalu menyimpan amarah dalam hati.
(2) Kesehatan Jantung Membaik : Sebuah studi menemukan hubungan antara memaafkan seseorang
yang telah berkhianat dengan perbaikan tekanan darah dan detak jantung. Semakin rendah tingkat
amarah Anda pendam maka akan bertambah baik juga fungsi kerja jantung Anda.
(3)

Hubungan yang Lebih Kuat : Dengan sifat pemaaf, wanita terbukti bisa membuat hubungannya

bertahan lebih lama. Studi di tahun 2004 menunjukkan wanita yang selalu memaafkan dan bermurah hati
terhadap pasangannya akan lebih mudah menyelesaikan konflik.
(4)

Mengurangi Rasa Sakit : Sebuah studi kepada orang yang mengalami penyakit punggung kronis

menemukan, berlatih meditasi pengendalian amarah lebih efektif mengurangi rasa sakit dan rasa tegang
dibandingkan dengan terapi kesehatan biasa.
(5)

Lebih Bahagia : Ketika Anda memaafkan seseorang, Anda akan membuat diri sendiri jadi lebih

bahagia dibandingkan mereka yang Anda maafkan.

Sebagai lawan kata dari sifat pemaaf adalah pendendam. Seorang yang memiliki sifat
pendendam biasanya akan selalu mengingat – ingat peristiwa yang terjadi ketika ia disakiti oleh orang
lain, terlebih lagi jika ia merasakan ada kerugian yang timbul akibat kesalahan orang tersebut. Seolaholah ada rasa tidak puas bila orang yang melakukan kesalahan tersebut belum merasakan kerugian yang
sama.
Dendam, menurut John Monbourquette (2000) dalam How to Forgive, merupakan keadilan
instinktual yang mencuat dari alam bawah sadar. Derita menghendaki derita atas nama keadilan
instinktual. Akibatnya, kita terikat rantai derita, berbalut kekerasan yang tiada putus. Rantai derita mesti
diputus oleh sikap memaafkan.
Madame Swetchine (penulis Rusia, 1782-1857) mengingatkan, ”Sangat jarang kita memaafkan
dan sangat sering kita melupakan.”Ya, kita sering menyalahmaknakan memaafkan dengan melupakan.
Kita bersadar diri dan menemukan berbagai kelemahan sendiri seperti rasa malu, kecenderungan agresif,
keinginan berbalas dendam, rasa terlantar, dan keinginan untuk melupakan begitu saja. Sungguh
menyakitkan karena pemeriksaan batin menyadarkan kita bahwa ternyata kita tidak jauh berbeda dari
orang yang bersalah pada kita.
Keperkasaan seseorang tidak dapat di ukur dari kekuatan fisiknya. Orang yang jantan bukan
mereka yang ahli bertinju, bukan mereka yang disetiap pertandingan tak terkalahkan. Menurut
determinasi islam orang yang kuat adalah mereka yang dikala marah bisa menahan dirinya. Rasulullah
bersabda, ”Bukan dikatakan pemberani karena seseorang cepat melupakan amarahnya. Seorang
pemberani adalah mereka yang dapat menguasai diri (nafsunya) sewaktu marah” (HR Buhari dan
Muslim)
Menahan marah bukan pekerjaan mudah, menuntut perjuangan yang amat berat lagi susah,
apalagi bagi mereka yang mempunyai kemampuan dan kekuasaan untuk melupakan kemarahannya.
Akan tetapi justru disinilah seseorang itu dinilai, apakah layak disebut kesatria atau tidak. Seseorang
kesatria adalah yang mampu menahan marahnya, akan tetapi jika kezhaliman itu sudah melampaui
batas, ia mampu membalasnya, setimpal dengan perlakuan orang tersebut. Orang seperti ini akan
mendapat jaminan dari Allah, berupa kecintaan yang mendalam.

Rasulullah bersabda, ”Ada tiga hal yang jika dimiliki seseorang, ia akan mendapatkan
pemeliharaan dari Allah, akan dipenuhi dengan rahmat-Nya, dan Allah akan senantiasa memasukannya
dalam lingkungan hamba yang mendapatkan cinta- Nya, yaitu : (1) Seseorang yang selalu bersyukur
manakala mendapat nikmat dari-Nya. (2) Seseorang yang mampu melupakan amarahnya tetapi mampu
memberi maaf atas kesalahan orang. (3) Seseorang yang apabila sedang marah, dia menghentikan
marahnya”. (HR Hakim).

Dalam ajaran Islam membalas itu tidak dilarang, akan tetapi memaafkan itu lebih baik. Jika
benar – benar kita ingin membalas, balasan itu hendaknyatidak lebih dari yang ia terima. Berlebih –
lebihan dalam pembalasan merupakan tindak kedzhaliman. Allah berfirman ” Bulan haram dengan bulan
haram, dan ada sesuatu yang patut dihormati, berlaku hukum qishash. Oleh sebab itu barang siapa yang
menyerang kamu, maka serang lah ia seimbang terhadap serangan kepadamu. Bertaqwalah kepada
Allah dan ketahuilah, bahwa Allah bersama orang – orang yang bertaqwa.” (QS Al-Baqarah : 194).
Jadi jelaslah bahwa dalam ajaran Islam tidak melarang hambanya membalas tindak
kedzaliman yang terjadi pada dirinya, asalkan balasannya setimpal dengan apa yang kita rasakan,
namun yang perlu kita ingat juga bahwa Islam pun mengajarkan bahwa sikap pemaaf adalah perbuatan
yang lebih mulia.

Tidak seperti agama lain yang mengajarkan bahwa, bila pipi kananmu dipukul, berikan pipi
kirimu. Bila jubahmu diminta berikan bajumu. Ajaran ini justru tidak manusiawi, sebab sangat
memberatkan mereka yang didzalimi. Islam mengajarkan agar seseorang bisa memberi balasan setimpal
dengan apa yang telah diterimanya. Meskipun demikian, memaafkan itu jauh lebih baik

Secara psikologis (Cullough, Worthington, Rachal, 1997) mengataka, Memaafkan merupakan
proses menurunnya motivasi membalas dendam dan menghindari interaksi dengan orang yang telah
menyakiti sehingga cenderung mencegah seseorang berespons destruktif dan mendorongnya bertingkah
laku konstruktif dalam hubungan sosialnya.

C. KESIMPULAN DAN SARAN

Peran guru dan orang tua sangat diperlukan dalam upaya membangun karakter siswa-siswi hal
ini sangat penting mengingat tugas dari seorang guru (pendidik) adalah bukan hanya menyampaikan
teori-teori ilmu pengetahuan yang terdapat dalam sebuah buku, tetapi lebih dari itu seorang pendidik
diharapkan dapat membentuk karakter, sifat, dan sikap (attitude) dari anak didiknya. Sifat yang di bangun
oleh seorang guru diantaranya adalah sifat pemaaf, meminimalisir perasaan tidak nyaman, dan
menghindari sifat pendendam. Strategi yang dilakukan oleh guru dalam membangun sifat tersebut
diantaranya adalah melalui penugasan/lembar-lembar kerja dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan. Hal ini
bertujuan untuk membentuk karakter positif pada anak yang pada gilirannya nanti di harapkan akan
melahirkan generasi-generasi yang memiliki intelektual tinggi dan berakhlah mulia.
Betapa pentingnya setiap orang untuk dapat membangun dan memenuhi kebutuhan harga
dirinya secara realistik, melalui pengembangan segenap potensi yang dimilikinya hingga menjadi sebuah
prestasi.
Orang tua dan guru memiliki tanggung jawab besar untuk dapat memenuhi kebutuhan harga
diri anak (siswanya), melalui pemberian kasih sayang yang tulus sehingga anak dapat tumbuh dan
berkembang secara wajar dan sehat, yang didalamnya terkandung perasaan harga diri yang stabil dan
mantap. Disinilah, tampak arti penting peran orang tua dan guru sebagai fasiltator.

DAFTAR PUSTAKA

Animous, 1996 , "Forgiveness" [Memaafkan], Healing Current Magazine, Internet.

Departemen Agama RI, 2005, Al-Qur’an, Jakarta, PT Syamil Cipta Media

Detikhot, Jumat (20/10/2006), artikel Harvard Women Health Watch dalam Nasrul Azwar, Internet.

Luskin, Frederic, Dr, 2009, Forgive for Good [Maafkanlah demi Kebaikan], Internet.

Monbourquette, John, 2000, How to Forgive, dalam Nasrul Azwar, Internet.

Sari, Fauziah, 2006, Memaafkan atau Membalas Secukupnya, Internet

Spring, Janis, 1996, dalam Nasrul Azwar, Internet.

Swetchine, Madame, 2009, Permaafan Menyesatkan, dalam Nasrul Azwar
Internet.

Yahya, Harun, 2008, Sikap Memaafkan dan Manfaatnya bagi Kesehatan, Jakarta, Darrut-Tauhiid.
Yulianti, 2009, Hakekat Pendidikan Karakter, Internet