Daya dan Kestabilan Buih Putih Telur Itik Tegal dengan Penambahan Asam Asetat pada Umur Simpan yang Berbeda

DAYA DAN KESTABILAN BUIH PUTIH TELUR ITIK TEGAL
DENGAN PENAMBAHAN ASAM ASETAT PADA UMUR
SIMPAN YANG BERBEDA

SKRIPSI
HANDI SURYONO

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL TERNAK
FAKULTAS PETERNAKAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2006

RINGKASAN
HANDI SURYONO. D14202012. 2006. Daya dan Kestabilan Buih Putih Telur
Itik Tegal dengan Penambahan Asam Asetat pada Umur Simpan yang Berbeda.
Skripsi. Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan. Institut Pertanian
Bogor.
Pembimbing Utama
Pembimbing Anggota

: Ir. Rukmiasih, MS.

: Ir. Rini H. Mulyono, MSi.

Daya dan kestabilan buih merupakan salah satu faktor penting yang
menentukan nilai telur sebagai pangan, misalnya dalam pembuatan tepung telur,
mayones dan kue. Buih terbentuk karena terbukanya ikatan polipeptida dalam
molekul protein (terjadi proses denaturasi) pada waktu pengocokan telur sehingga
rantai protein menjadi lebih panjang, kemudian udara masuk diantara molekulmolekul protein yang rantainya telah terbuka dan tertahan sehingga volume bagian
buih telur menjadi bertambah. Semakin banyak udara yang tertangkap, buih yeng
terbentuk semakin kaku dan kehilangan sifat alirnya, sedangkan kestabilan buih
merupakan ukuran kemampuan struktur buih untuk bertahan kokoh atau tidak
mencair selama waktu tertentu. Kestabilan buih merupakan faktor penting dalam
adonan kue karena mempengaruhi kekokohan struktur kue yang dihasilkan.
Penelitian ini bertujuan untuk mencari taraf penambahan asam asetat yang
dapat meningkatkan daya dan kestabilan buih putih telur itik Tegal pada umur telur
0, 7, 14 dan 21 hari. Penelitian dilaksanakan di Bagian Ilmu Produksi Ternak Unggas
Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini dimulai pada Mei
hingga Oktober 2005.
Penelitian ini menggunakan telur itik Tegal yang diperoleh dari itik Tegal
yang dipelihara di Bagian Ilmu Produksi Ternak Unggas. Penelitian ini terdiri dari
dua perlakuan yaitu penggunaan umur telur yang berbeda yaitu 0, 7, 14 dan 21 hari

dan penambahan asam asetat dengan taraf 0%; 0,8%; 1,6%; 2,4% dan 3,2%. Peubah
yang diamati meliputi penyusutan bobot telur, daya dan kestabilan buih putih telur.
Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan metode deskriptif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa bobot telur itik akan mengalami
penyusutan seiring lamanya penyimpanan pada suhu ruang. Telur itik segar
menghasilkan daya buih yang tertinggi dan tirisan buih yang rendah yaitu 451, 79 %
dan 5,20 %. Daya dan kestabilan buih semakin menurun seiring lamanya umur telur.
Telur segar dengan penambahan asam asetat nol persen menghasilkan daya dan
kestabilan buih yang tinggi. Telur itik Tegal pada umur 7 hari menghasilkan daya
dan kestabilan buih yang baik dengan penambahan asam asetat sebanyak 0,8%. Telur
itik Tegal umur 14 dan 21 hari menghasilkan daya dan kestabilan buih yang baik
dengan penambahan asam asetat sebanyak 1,6%.
Kata-Kata Kunci : asam asetat, putih telur, telur, itik Tegal, daya buih, tirisan buih.

ABSTRACT
Foaming and Stability of Foam Duck Egg Albumen with Addition of
Acetic Acid at Different Time Storage
Suryono, H., Rukmiasih , R. H. Mulyono
Food products such as breads, cakes, and several bakery items depend on air
incorporation to maintain their texture and structure during or after processing.

Proteins are utilized in the food industry since they improve texture attributes
through their ability to encapsulate and retain air. This research was design to find
out good of egg white foams and stability with adding acetic acid and storage at
room temperature. A total of eggs obtained from Tegal duck were sample after
periods of storage of 0, 7, 14 and 21 day at room temperature and adding acetic acid
of 0%; 0.8%; 1.6%; 2.4% and 3.2%. Data on egg white foam and stability of foam
were analyzed using descriptive method. The result of this research shown that
whipping volume decrease slightly with increasing age of the egg. Whipping volume
and stability of foam increased (442.35% and 2.92%) after the eggs were sampled
after storage for 7 day at room temperature and addition with acetic acid as much
0,8%. Whipping volume and stability of foam increased (430.73% and 4.15%) and
(435.31% and 3.69%) after the eggs were sampled after storage for 14 and 21 day at
room temperature and addition with acetic acid as much 1.6%.
Keyword : acetic acid, albumen, egg, stability, whipping volume.

DAYA DAN KESTABILAN BUIH PUTIH TELUR ITIK TEGAL
DENGAN PENAMBAHAN ASAM ASETAT PADA UMUR
SIMPAN YANG BERBEDA

HANDI SURYONO

D14202012

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada
Fakultas Peternakan
Institut Pertanian Bogor

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL TERNAK
FAKULTAS PETERNAKAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2006

DAYA DAN KESTABILAN BUIH PUTIH TELUR ITIK TEGAL
DENGAN PENAMBAHAN ASAM ASETAT PADA UMUR
SIMPAN YANG BERBEDA

Oleh :
HANDI SURYONO
D14202012


Skripsi ini telah disetujui dan disidangkan di hadapan
Komisi Ujian Lisan pada tanggal 23 Juni 2006

Pembimbing Utama

Pembimbing Anggota

Ir. Rukmiasih, MS
NIP 131 284 605

Ir. Rini H. Mulyono, MSi
NIP 131 760 850

Dekan Fakultas Peternakan
Institut Pertanian Bogor

Dr.Ir. Ronny R. Noor, M.Rur Sc
NIP 131 624 188

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 2 Pebruari 1984 di Kabupaten Cirebon,
Propinsi Jawa Barat. Penulis dilahirkan sebagai putra kedua dari empat bersaudara
dari keluarga Bapak Suharto dan Ibu Imiyati.
Jenjang pendidikan ditempuh Penulis mulai dari TK Idhata Kecamatan
Cirebon Barat pada tahun 1989-1990 kemudian dilanjutkan ke SDN Kedawung I
Kabupaten Cirebon pada tahun 1990-1996. Penulis melanjutkan pendidikan ke
SLTPN 2 Weru Kabupaten Cirebon pada tahun 1996-1999, kemudian penulis
mendapatkan beasiswa dari Pemerintah Daerah Kabupaten Cirebon untuk
melanjutkan ke SMUN 1 (Plus) Cisarua Kabupaten Bandung pada tahun 1999-2002.
Penulis diterima sebagai mahasiswa pada program studi Teknologi Hasil Ternak,
Departemen Ilmu Produksi Ternak, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor
melalui Ujian Seleksi Masuk Institut Pertanian Bogor (USMI) pada tahun 2002.
Penulis mendapatkan beberapa beasiswa selama mengikuti pendidikan di Institut
Pertanian Bogor yaitu beasiswa Dompet Duafa Republika, Bimbingan Konseling,
Student Equity dan Bantuan Belajar Mahasiswa.
Penulis

mengikuti

beberapa


kegiatan

di

luar

aktivitas

akademik

kemahasiswaan selama mengikuti pendidikan di Institut Pertanian Bogor. Organisasi
yang pernah diikuti penulis diantaranya, ketua Forum Mahasiswa Peduli Pertanian
2004-2005, staf Departemen Pertanian BEM KM IPB 2004-2005, staf Departemen
Dalam Negeri BEM KM IPB 2004-2003, DPM TPB IPB 2002-2003 dan pengurus
Ikatan Kekeluargaan Cirebon 2002-2004.

PRAKATA
Puji syukur Penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, Tuhan seluruh alam yang
menguasai ilmu pengetahuan atas bumi dan langit-Nya. Shalawat dan salam penulis

haturkan kepada Nabi Muhammad SAW, yang telah membawa cahaya kebenaran
bagi seluruh umat manusia.
Pembuatan produk pangan seperti kue, cake dan roti perlu menggunakan telur
yang memiliki daya dan kestabilan buih telur yang tinggi, sedangkan telur itik
memiliki daya dan kestabilan buih yang rendah. Penambahan asam asetat sebagai
bahan tambahan makanan diharapkan dapat memperbaiki sifat daya dan kestabilan
buih yang rendah pada telur itik. Asam asetat yang digunakan memiliki konsentrasi
5% agar tidak mempengaruhi rasa pada produk pangan yang dihasilkan.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih memiliki banyak kekurangan,
karena hanya Allah SWT pemilik semua kesempurnaan. Kritik dan saran selalu
penulis harapkan untuk perbaikan di masa mendatang. Semoga tulisan ini dapat
memberikan manfaat bagi seluruh pihak dan dunia peternakan

Bogor, Juni 2006
Penulis

DAFTAR ISI
Halaman
RINGKASAN...................................................................................................


i

ABSTRACT......................................................................................................

ii

RIWAYAT HIDUP ..........................................................................................

iii

PRAKATA........................................................................................................

vi

DAFTAR ISI.....................................................................................................

v

DAFTAR TABEL.............................................................................................


vii

DAFTAR GAMBAR........................................................................................ viii
DAFTAR LAMPIRAN.....................................................................................

ix

PENDAHULUAN ............................................................................................

1

Latar Belakang.........................................................................................
Tujuan ......................................................................................................

1
2

TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................................

3


Struktur dan Komposisi Telur..................................................................
Kulit Telur ...................................................................................
Kuning Telur ...............................................................................
Putih Telur ..................................................................................
Protein Putih Telur...................................................................................
Ovalbumin ...................................................................................
Ovomucin ....................................................................................
Globulin ......................................................................................
Daya dan Kestabilan Buih Putih Telur Itik Tegal....................................
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Daya dan Kestabilan Buih...............
Umur Telur ..................................................................................
Suhu ............................................................................................
Pengaruh pH ................................................................................
Pengocokan .................................................................................
Asam Asetat (CH3COOH) .......................................................................

3
4
5
5
5
6
7
7
7
10
10
10
11
11
11

METODE PENELITIAN .................................................................................

13

Lokasi dan Waktu ....................................................................................
Materi.......................................................................................................
Rancangan................................................................................................
Perlakuan ....................................................................................
Model ..........................................................................................
Analisis Data ...............................................................................
Peubah yang Diamati ...................................................................
Prosedur ...................................................................................................
Tahap Persiapan Kandang ...........................................................
Tahap Pemeliharaan.....................................................................

13
13
13
13
13
13
14
14
14
14

Penyimpanan Telur ......................................................................
Pengukuran Daya dan Kestabilan Buih .......................................

15
15

HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................................

17

Daya Buih Putih Telur Itik Tegal ............................................................
Kestabilan Buih Putih Telur Itik Tegal....................................................

17
20

KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................................

22

Kesimpulan ..............................................................................................
Saran ............ ...........................................................................................

22
22

UCAPAN TERIMA KASIH ............................................................................

23

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................

24

LAMPIRAN......................................................................................................

26

DAFTAR TABEL
Nomor

Halaman

1. Perbandingan Komposisi Telur Ayam dan Telur Itik ..........................

4

2. Komposisi Protein Putih Telur Ayam...................................................

6

3. Daya Buih Putih Telur Itik Tegal yang Ditambah Asam Asetat pada
Lama Penyimpanan yang Berbeda .......................................................

17

4. Tirisan Buih Putih Telur Itik Tegal yang Ditambah Asam Asetat pada
Lama Penyimpanan yang Berbeda .......................................................

20

DAFTAR GAMBAR
Nomor

Halaman

5. Struktur Telur (Romanoff dan Romanoff, 1963)..................................

3

6. Mekanisme Pembentukan Buih (Cherry dan Watters, 1981) ...............

8

7. Perubahan Struktur Protein Akibat Denaturasi (Mesier, 1991) ............

9

8. Grafik Daya Buih Putih Telur Itik Tegal dengan Penambahan Asam
Asetat ....................................................................................................

19

9. Grafik Tirisan Buih Putih Telur Itik Tegal dengan Penambahan Asam
Asetat ....................................................................................................

21

DAFTAR LAMPIRAN
Nomor

Halaman

10. Suhu Ruangan Penyimpanan Telur ......................................................

27

11. Rumus Pearson untuk Pengenceran Asam Asetat ................................

27

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Itik merupakan salah satu ternak unggas penghasil telur yang cukup potensial
di Indonesia. Jenis itik lokal merupakan keturunan dari bangsa Indian Runner, yang
terkenal sebagai itik penghasil telur. Setelah bangsa Indian Runner beradaptasi
dengan lingkungan dan geografis di Indonesia maka muncul sifat khas yang
membedakan itik dari daerah yang satu dengan daerah yang lain. Itik Tegal
merupakan salah satu itik yang banyak dikembangkan di daerah Jawa Tengah dan
Jawa Barat bagian Utara. Sesuai dengan nama daerah pengembangannya, maka
dinamakan itik Tegal (Anas javanica) dengan ciri-ciri memiliki bentuk badan dengan
posisi yang hampir berdiri tegak lurus, warna bulu umumnya coklat dengan variasi
warna tertentu dan kerabang telur berwarna biru kehijau-hijauan.
Telur merupakan salah satu sumber makanan yang sangat baik karena selain
memiliki kandungan protein yang sempurna, telur juga memiliki kandungan nutrisi
lain yang tinggi. Telur itik adalah salah satu jenis telur yang banyak dikonsumsi oleh
masyarakat Indonesia selain telur ayam, tetapi penggunaan telur itik masih terbatas.
Hal ini karena belum ada terobosan yang baru untuk menjadikan telur itik mampu
bersaing dengan telur ayam ras.
Industri pengolahan pangan membutuhkan telur yang memiliki sifat yang
baik, seperti sifat daya dan kestabilan buih yang baik. Telur itik memiliki sifat daya
dan kestabilan buih yang lebih rendah dibandingkan dengan telur ayam ras, sehingga
pemanfaatan telur itik masih sangat kurang dibandingkan dengan telur ayam ras.
Daya buih telur berpengaruh terhadap pengembangan adonan kue serta dapat
mempengaruhi tekstur produk pangan tertentu. Volume dan kestabilan buih yang
baik diperlukan agar kue yang dihasilkan mempunyai struktur dan tekstur yang baik.
Daya buih dipengaruhi oleh beberapa protein dalam putih telur yang memiliki
kemampuan yang berbeda-beda. Protein yang berperan dalam pembentukan buih
diantaranya ovalbumin, ovomucin dan globulin. Volume dan kestabilan buih juga
dapat dipengaruhi oleh umur telur, karena semakin lama umur telur maka pH putih
telur akan semakin meningkat, sehingga volume dan kestabilan buih yang terbentuk
akan semakin menurun.

Penelitian ini dilakukan untuk memperbaiki daya dan kestabilan buih putih
telur itik Tegal dengan penambahan asam asetat. Asam asetat merupakan bahan
tambahan makanan yang telah umum digunakan oleh masyarakat. Alasan
penggunaan asam asetat karena asam asetat mudah ditemukan di pasaran dan
memiliki harga yang terjangkau. Penambahan asam asetat pada penelitian ini
dilakukan pada taraf 0%; 0,8%; 1,6%; 2,4% dan 3,2% dengan merujuk pada
penelitian sebelumnya. Penelitian dengan penggunaan taraf tersebut diharapkan
dapat menurunkan pH putih telur itik Tegal, sehingga dapat menghasilkan daya dan
kestabilan buih yang baik.
Peternak itik petelur pada kehidupan sehari-hari tidak langsung menjual telur
hasil ternaknya pada hari itik bertelur, karena tempat pemasaran yang jauh dari
peternakan. Pemberlakuan first in first out pada penjual telur itik mengakibatkan
terjadi proses penyimpanan. Mempertimbangkan hal tersebut telur itik Tegal yang
digunakan pada penelitian ini merupakan telur pada umur 0, 7, 14 dan 21 hari.
Tujuan
Penelitian ini dilakukan untuk mencari taraf penambahan asam asetat yang
terbaik, sehingga dapat meningkatkan daya dan kestabilan buih putih telur itik Tegal
pada umur telur 0, 7, 14 dan 21 hari. Taraf penambahan asam asetat pada penelitian
dilakukan pada taraf 0%; 0,8%; 1,6%; 2,4% dan 3,2%.

TINJAUAN PUSTAKA
Struktur dan Komposisi Telur
Telur merupakan bahan pangan yang sempurna, karena mengandung zat-zat
gizi yang lengkap bagi pertumbuhan mahluk hidup baru. Protein yang terdapat pada
telur sangat diperlukan untuk membangun dan memperbaiki sel dalam tubuh
manusia (Davis dan Reeves, 2002). Protein telur mempunyai mutu yang tinggi,
karena memiliki susunan asam amino esensial yang lengkap, sehingga dijadikan
patokan untuk menentukan mutu protein dari bahan pangan lain (Winarno dan
Koswara, 2002). Bentuk telur itik yang normal umumnya sama dengan telur ayam
yaitu oval dengan salah satu ujung meruncing, sedang ujung yang lain tumpul.
Bentuk seperti ini berguna untuk meningkatkan daya tahan kulit telur terhadap
tekanan mekanis serta mengurangi kemungkinan telur tergelincir pada bidang datar
(Medved, 1986).

latebra

Gambar 1. Struktur Telur (Romanoff dan Romanoff, 1963)
Telur mengandung 66% air, 12% protein, 11% lemak dan 10% ion inorganik
(Buttery dan Lindsay, 1980). Komponen pokok telur adalah kulit telur, putih telur
dan kuning telur (Buckle et al., 1987).

Tabel 1. Perbandingan Komposisi Telur Ayam dan Telur Itik
Komponen
Kimia
Air
Padatan
Bahan organik
Protein
Lemak
Karbohidrat
Bahan anorganik

Telur ayam
Telur itik
(51,6 gram)
(66,6 gram)
---------------------------- ---(%)------------------------------73,6
69,7
26,4
30.3
25,6
29,3
12,8
13,7
11,8
14,4
1,0
1,2
0,8
1,2

Sumber : Romanoff dan Romanoff (1963)

Kulit Telur
Kulit telur terdiri atas empat lapisan yaitu: (1) lapisan membran kulit telur,
(2) lapisan mamilari, (3) lapisan bunga karang (spongiosa), dan (4) lapisan kutikula
(Belitz dan Grosch, 1999). Pada bagian kulit telur banyak terdapat pori-pori yang
berguna sebagai saluran pertukaran udara untuk memenuhi kebutuhan embrio di
dalamnya. Kulit telur bersifat keras, dilapisi kutikula dengan permukaan halus serta
terikat kuat pada bagian luar lapisan membran (Winarno dan Koswara, 2002).
Lapisan kulit telur dapat memberikan perlindungan fisik (Charley, 1982).
Karakteristik lain dari kulit telur ini adalah pori-pori yang dapat menjadikan jalan
keluar masuk air, gas dan bakteri ke dalam telur. Jumlah pori-pori tersebut bervariasi
antara 100-200 lubang/cm3 luas permukaan kulit telur. Pada bagian tumpul, jumlah
pori-pori per satuan luas lebih besar jika dibandingkan dengan bagian lain sehingga
terjadi rongga udara di daerah ini (Sirait, 1986).
Membran kulit telur terdiri atas dua yaitu lapisan luar dan lapisan dalam.
Kedua membran tersebut disusun oleh mucin, yaitu protein yang sama dengan yang
terdapat dalam kutikula (Winarno dan Koswara, 2002). Membran kulit telur dapat
berfungsi sebagai penghambat bakteri masuk ke dalam telur. Membran kulit telur
terdiri atas dua lapisan, lapisan yang pertama adalah membran yang menempel pada
kerabang telur dan membran yang kedua yang menyelimuti putih telur (Sikorski,
2001), sedangkan menurut Winarno dan Koswara (2002) membran kulit telur
mengandung enzim lipozim yang dipercaya bersifat bakteriosidal terhadap bakteri
gram positif, tetapi membran telur tidak efektif untuk mencegah masuknya mikroba

yang menghasilkan enzim proteolitik, karena protein lapisan tersebut akan mudah
dihancurkan oleh enzim bakteri.
Kuning Telur
Kuning telur merupakan emulsi lemak dalam air yang mengandung 50%
bahan kering (Belitz, 1987). Kuning telur berbatasan dengan putih telur dan
dibungkus oleh satu lapisan yang disebut membran vitelin. Umumnya kuning telur
berbentuk bulat, berwarna kuning atau oranye yang terletak pada pusat telur dan
bersifat elastis (Winarno dan Koswara, 2002).
Warna kuning telur sebagian besar dipengaruhi oleh kandungan karotenoid
yang berasal dari pakan (Charley, 1982). Pigmen karotenoid yang terdapat pada
kuning telur adalah karoten dan santofil. Kuning telur pada telur segar berbentuk
utuh yang dikelilingi oleh membran vitelin yang kuat (Romanoff dan Romanoff,
1963).
Putih Telur
Putih telur terdiri atas empat lapisan yaitu lapisan encer luar, lapisan kental
luar, lapisan encer dalam dan khalazaferous (Nakai dan Modler, 2000). Bahan utama
penyusun putih telur adalah protein dan air. Perbedaan kekentalan putih telur
disebabkan oleh perbedaan kandungan air (Stadelman dan Cotterill, 1995).
Kandungan air pada putih telur lebih banyak dibandingkan dengan bagian
lainnya sehingga selama penyimpanan bagian inilah yang mudah rusak (Romanoff
dan Romanoff, 1963). Kerusakan tersebut ditemukan pada jala-jala ovomucin yang
berfungsi sebagai pembentuk struktur putih telur (Stadelman dan Cotterill, 1995).
Kerusakan jala-jala ovomucin mengakibatkan air dari protein putih telur akan keluar
dan putih telur menjadi encer (Heath, 1977), dan semakin encer putih telur maka
tirisan buih yang dihasilkan semakin tinggi (Silverside dan Budgell, 2004).
Protein Putih Telur
Protein putih telur terdiri atas protein serabut dan protein globular. Jenis-jenis
protein dapat dilihat pada Tabel 2. Protein telur dibedakan atas protein sederhana dan
protein konyugasi (protein yang berikatan dengan senyawa lain). Pada putih telur,
protein sederhana lebih dominan dan berjumlah sekitar 11 macam, sedangkan protein
konyugasi lebih banyak terdapat pada kuning telur (Winarno dan Koswara, 2002).

Protein sederhana

diantaranya ovalbumin, ovoconalbumin dan ovoglobulin,

sedangkan yang kedua termasuk glycoprotein yaitu ovomucoid dan ovomucin
(Romanoff dan Romanoff, 1963).
Setiap protein putih telur memiliki kemampuan membentuk buih yang
berbeda. Protein-protein yang berperan dalam pembentukan buih adalah ovalbumin,
ovomucin dan globulin (Stadelman dan Cotterill, 1995), sedangkan menurut Alleoni
dan Antunes (2004) conalbumin, lysozym, dan ovomucoid sedikit memiliki
kemampuan untuk mengembang (berbuih), tetapi interaksi antara lysozym dan
globulin sangat penting dalam pembentukan buih.
Tabel 2. Komposisi Protein Putih Telur Ayam
Persen dari Total
Protein
54

Berat Molekul

12-13

77.700

Ovomucoid

11

28.000

Ovomucin

1,5-3,5

0,23-8,3 x 106

Lysozyme

3,4-3,5

14.300

G2 globulin

4,0

49.000

G3 globulin

4,0

49.000

Ovoinhibitor

0,1-1,5

49.000

Ovoglycoprotein

0,5-1,0

24.400

Ovoflavoprotein

0,8

32.000

Ovomacroglobulin

0,5

0,76-0,90 x 106

Cystatin

0,05

12.700

Avidin

0,05

68.300

Protein
Ovalbumin
Ovotransfferrin

45.000

Sumber : Nakai dan Modler (2000)

Ovalbumin
Ovalbumin adalah protein utama pada putih telur (Nakai dan Modler, 2000).
Ovalbumin terdiri dari atas tiga macam protein, yaitu G1-globulin (lysozyme), G2globulin dan G3-globulin. Ketiga jenis protein tersebut berperan penting dalam
pembentukan busa. Ovalbumin mudah terdenaturasi dan terkoagulasi karena
pengocokan, tetapi lebih tahan terhadap panas. Pemanasan pada suhu 62 oC dan pH

sekitar sembilan selama

3,5 menit, ovalbumin hanya mengalami denaturasi

sebanyak 3%-5% (Winarno dan Koswara, 2002). Nakai dan Modler (2000)
menyatakan bahwa s-ovalbumin merupakan turunan dari ovalbumin. Transformasi
ovalbumin menjadi s-ovalbumin terjadi sebagai akibat penyimpanan yang
meningkatkan pH. Jika kandungan s-ovalbumin meningkat, akan berakibat pada
peningkatan tirisan buih dan penurunan stabilitas telur.
Ovalbumin tidak akan hilang akibat pengocokan dan kandungannya akan
tetap sama seperti pada telur segar. Protein ini akan menggumpal jika dipanaskan
sehingga dapat mempengaruhi bentuk kue (Stadelman dan Cotterill, 1995).
Ovomucin
Ovomucin merupakan glikoprotein pembentuk struktur seperti gel pada
lapisan putih telur kental. Jumlah ovomucin pada lapisan putih telur kental adalah
empat kali lebih banyak dari pada lapisan putih telur encer. Ovomucin bersifat tahan
panas (Winarno dan Koswara, 2002). Perbedaan putih telur kental dan encer
disebabkan perbedaan kandungan ovomucin. Ovomucin pada putih telur yang kental
empat kali lebih besar dari pada putih telur yang encer. Ovomucin merupakan fraksi
protein putih telur yang membentuk selaput dan berfungsi menstabilkan srtuktur
buih. Pengocokan yang berlebihan akan mengakibatkan penggumpalan sebagian
ovomucin dan memperkecil elastisitas gelembung buih (Stadelman dan Cotterill,
1995).
Globulin
Globulin merupakan protein yang menentukan kekentalan putih telur dan
mengurangi pencairan buih. Globulin mempunyai tegangan permukaan yang rendah
sehingga membantu tahapan pembentukan buih. Tegangan permukaan yang rendah
cenderung memperkecil ukuran gelembung dan meratakan tekstur buih. Kandungan
globulin yang rendah pada putih telur membutuhkan waktu pengocokan lebih lama
untuk mencapai volume tertentu (Stadelman dan Cotterill, 1995).
Daya dan Kestabilan Buih Putih Telur
Buih dapat didefinisikan sebagai dua fase yang terdiri atas fase gas dalam
fase cair (Zayas, 1997). Menurut Stadelman dan Cotterill (1995) buih merupakan
dispersi koloidal dengan gas-gas atau udara terdispersi ke dalam fase cair, sedangkan

daya buih merupakan ukuran kemampuan putih telur untuk membentuk buih jika
dikocok dan dinyatakan dengan persentase terhadap volume putih telur. Daya buih
merupakan salah satu faktor penting yang menentukan nilai telur sebagai pangan
misalnya dalam pembuatan tepung telur, mayones dan kue. Mekanisme pembentukan
buih disajikan pada Gambar 2.
Protein putih telur
Denaturasi
(perentangan rantai polipeptida)
Adsorpsi
(pembentukan lapisan monolayer)
Penangkapan udara, membentuk busa
Adsorpsi kontinyu untuk membentuk monolayer
kedua untuk menggantikan lapisan yang terdenaturasi
Lapisan protein saling mengikat untuk mencegah cairan keluar
Koagulasi
(gaya interaksi polipeptida naik dan menyebabkan agregasi,
sehingga melemahkan lapisan yang terbentuk)
Gambar 2. Mekanisme Pembentukan Buih (Cherry dan Watters, 1981)
Perubahan putih telur menjadi buih disebabkan denaturasi protein, yaitu
proses yang mengubah struktur molekul protein tanpa memutuskan ikatan kovalen
(Belitz dan Grosch, 1999). Denaturasi protein dapat diakibatkan bukan hanya oleh
panas, tetapi juga oleh pH ekstrim; beberapa pelarut organik seperti alkohol atau
aseton; zat terlarut tertentu seperti urea; detergen atau hanya dengan pengguncangan
intensif (mekanik) larutan protein yang bersinggungan dengan udara sehingga
terbentuk busa (Lehninger, 1982). Winarno (1997) menambahkan bahwa masingmasing cara mempunyai pengaruh yang berbeda-beda terhadap denaturasi protein.
Perubahan sifat fisik, kimia dan biologi akibat dari denaturasi adalah: (1)
penurunan tingkat kelarutan protein, (2) perubahan daya ikat air, (3) penurunan
aktivitas biologi pada enzim dan imonulogi, (4) peningkatan viskositas intrinsik dan

(5) ketidakmampuan untuk mengkristal (Fennema, 1985). Pemekaran atau
pengembangan molekul protein yang terdenaturasi akan membuka gugus reaktif
yang ada pada rantai polipeptida. Selanjutnya akan terjadi pengikatan kembali pada
gugus reaktif yang sama atau yang berdekatan. Bila unit ikatan yang terbentuk cukup
banyak sehingga protein tidak lagi terdispersi sebagai suatu koloid, maka protein
tersebut mengalami koagulasi. Apabila ikatan-ikatan antara gugus reaktif protein
tersebut menahan seluruh cairan, akan terbentuk gel. Sedangkan bila cairan terpisah
dari protein yang terkoagulasi itu, maka protein mengendap (Winarno, 1997).
Gambar 3 menyajikan perubahan struktur protein akibat denaturasi.

Gambar 3. Perubahan Struktur Protein Akibat Denaturasi (Mesier, 1991)
Denaturasi protein mungkin dapat balik dan mungkin juga tidak. Pada
denaturasi yang dapat balik, protein membentang karena senyawa pendenatur, tetapi
akan kembali melipat setelah senyawa tersebut tidak ada. Denaturasi yang dapat atau
tak dapat balik cukup beragam yang bergantung pada protein yang bereaksi dan
keadaan reaksi (Wilbraham dan Matta, 1992). Protein globular yang terdenaturasi
oleh panas atau pH ekstrim akan kembali ke struktur asli dan memperoleh kembali
aktivitas biologinya. Jika protein ini didinginkan atau dikembalikan ke pH normal
secara perlahan-lahan maka proses ini disebut renaturasi (Lehninger, 1982).
Kestabilan buih merupakan ukuran kemampuan struktur buih untuk bertahan
kokoh atau tidak mencair selama waktu tertentu. Kestabilan buih dicirikan oleh

banyak tirisan buih selama waktu tertentu dan dinyatakan dalam bobot, volume atau
derajat pencairan. Tirisan buih yang banyak menyatakan kestabilan buih yang rendah
sebaliknya tirisan buih yang sedikit mencirikan kestabilan buih yang tinggi
(Stadelman dan Cotterill, 1995).
Kestabilan buih merupakan faktor penting dalam adonan kue karena
mempengaruhi kekokohan struktur kue yang dihasilkan. Pemanasan adonan kue
mengakibatkan udara dalam sel memuai dan putih telur yang menyelubunginya
meregang. Dalam hal ini, buih yang tidak stabil tidak dapat mendukung
pengembangan kue secara maksimal (Stadelman dan Cotterill, 1995).
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Daya dan Kestabilan Buih
Daya dan kestabilan buih putih telur yang dikocok dipengaruhi oleh beberapa
faktor. Faktor-faktor yang mempengaruhinya adalah umur, suhu, pH putih telur dan
ada tidaknya zat yang ditambahkan ke dalam putih telur (Romanoff dan Romanoff,
1963).
Umur Telur
Telur akan mengalami beberapa perubahan selama penyimpanan antara lain
penguapan karbondioksida dan air, perubahan pH serta perubahan struktur serabut
protein. Penyimpanan telur pada suhu ruang selama dua minggu berakibat pada
peningkatan pH dari putih telur. Semakin meningkat umur telur, maka stabilitas buih
putih telur semakin menurun (Romanoff dan Romanoff, 1963).
Suhu
Pengocokan telur pada suhu 10-25oC tidak mempengaruhi pembentukan
busa. Pengocokan pada suhu ruang 20-28oC lebih mudah menghasilkan busa
daripada yang dilakukan pada suhu rendah (Winarno dan Koswara, 2002).
Pengaruh pH
Telur yang baru dihasilkan mempunyai pH antara 7,6-8,5. Selama
penyimpanan, pH akan meningkat dan mencapai maksimum 9,7. Peningkatan pH
disebabkan penguapan CO2 dari dalam telur melalui pori-pori kerabang (Winarno
dan Koswara, 2002). Peningkatan pH pada putih telur disebabkan penguapan H2O
dan CO2 pada putih telur. Penguapan CO2 dari dalam telur diakibatkan oleh senyawa

NaHCO3 yang terurai menjadi NaOH, kemudian NaOH ini akan terurai kembali
menjadi ion-ion Na+ dan OH- sehingga mengakibatkan pH putih telur meningkat
(Silverside dan Scott, 2000).
Volume putih telur yang dikocok akan tinggi apabila putih telur memiliki pH
sekitar 8,0; apabila pH putih telur di bawah 8,0 maka akan menghasilkan buih yang
stabil. Buih yang stabil didapatkan dari putih telur yang memiliki pH relatif rendah
daripada putih telur yang memiliki pH yang tinggi (Romanoff dan Romanoff, 1963).
Pengocokan
Gerakan dan jenis pengocokan akan mempengaruhi pengikatan udara dalam
buih. Pengocokan dengan menggunakan pengocok elektrik ternyata membutuhkan
waktu yang lebih singkat untuk membuat buih putih telur (Kurniawan, 1991). Lama
pengocokan putih telur akan berakibat pada volume dan stabilitas dari buih putih
telur (Romanoff dan Romanoff, 1963). Homogenisasi sebelum pengocokan akan
mengurangi waktu pengocokan (Stadelman dan Cotterill, 1995).
Asam Asetat (CH3COOH)
Asam asetat dikenal dalam kehidupan sehari-hari dengan sebutan asam cuka
atau asam etanoat (CH3COOH). Asam asetat berbentuk larutan yang berwarna putih
bening. Konsentrasi asam asetat yang umum dijual di pasar adalah 5%-25%. Asam
asetat murni mempunyai konsentrasi 96% yang sering digunakan untuk analisis
laboratorium (Kurniawan, 1991). Asam asetat ini termasuk asam organik lemah yang
berupa cairan tak berwarna dan berbau sangit (Pudjaatmaka dan Qudratillah, 1999).
Ikatan rantai hidrogen dalam asam asetat mampu untuk mencegah ikatan H2O
terbentuk dalam putih telur setelah dilakukan pengocokan dan didiamkan beberapa
saat (Cuningham, 1976)
Badan Standardisasi Nasional (1995) menyatakan bahwa asam asetat glasial
merupakan salah satu zat aditif makanan yang telah diizinkan oleh pemerintah
Indonesia. Asam asetat dimasukkan sebagai zat pengatur keasaman pada suatu
produk pangan. Penggunaan asam asetat untuk konsumsi makanan dan farmasi
biasanya dalam bentuk produk cuka yang diperoleh dengan cara mengencerkan
asam asetat glasial.

Winarno (1982) menerangkan bahwa penambahan asam asetat pada produk
makanan biasanya dilakukan secara sengaja sehingga asam cuka biasa disebut zat
aditif sengaja. Penambahan asam asetat memiliki tujuan tertentu seperti
meningkatkan konsistensi, nilai gizi, cita rasa, untuk mengendalikan keasaman dan
kebasaan serta memantapkan bentuk dan rupa dari produk pangan.

METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu
Penelitian ini dilaksanakan di Bagian Ilmu Produksi Ternak Unggas, Fakultas
Peternakan Institut Pertanian Bogor. Penelitian berlangsung selama enam bulan
dimulai pada bulan Mei hingga Oktober 2005.
Materi
Bahan utama yang dibutuhkan adalah telur itik Tegal berumur simpan 0, 7,
14 dan 21 hari. Telur yang digunakan diperoleh dari itik Tegal yang dipelihara di
Bagian Ilmu Produksi Ternak Unggas. Bahan lain yang digunakan adalah asam
asetat 5% dan akuades. Peralatan yang digunakan adalah hand mixer electric Philips
tipe HR 1500, spatula, meja kaca, gelas ukur 500 ml, stopwatch, kertas label, pensil,
timbangan elektrik 120 g, pH meter, egg tray, tissue.
Rancangan
Perlakuan
Perlakuan yang diberikan terhadap putih telur itik adalah dengan
menambahkan asam asetat. Telur itik yang digunakan adalah telur itik yang telah
disimpan selama 0, 7, 14 dan 21 hari pada suhu ruang. Putih telur itik ditambah asam
asetat dengan taraf 0%; 0,8%; 1,6%; 2,4% dan 3,2%. Penambahan asam asetat pada
putih telur itik dilakukan sesaat sebelum telur dikocok.
Model
Rancangan percobaan yang digunakan untuk melihat pengaruh perlakuan
penyimpanan telur pada suhu ruang dan penambahan asam asetat adalah rancangan
acak kelompok (RAK) faktorial 4 x 5. Faktor pertama adalah umur telur 0, 7, 14 dan
21 hari. Faktor kedua adalah taraf penambahan asam asetat 0%; 0,8%; 1,6%; 2,4%
dan 3,2%.
Analisis Data
Data yang didapatkan dianalisis dengan menggunakan metode deskriptif.

Peubah yang Diamati
Peubah yang diamati dalam penelitian ini meliputi daya dan kestabilan buih
putih telut itik Tegal.
Daya Buih Putih Telur. Daya buih dihitung berdasarkan rumus yang dinyatakan
oleh Stadelman dan Cotteril (1995) sebagai berikut:
Daya Buih

= volume
Volumebuih
buihyang
yangterbentuk
terbentuk x 100%
volume
putih
telur
Volume putih telur

Kestabilan Buih Putih Telur. Kestabilan buih dihitung berdasarkan rumus yang
dinyatakan oleh Stadelman dan Cotteril (1995) sebagai berikut:
volumetirisan
tirisanbuih
buihyang
yangterbentuk
terbentuk x 100%
Tirisan Buih = Volume
volume
putih
telur
Volume
putih
telur
Prosedur
Tahap Persiapan Kandang
Persiapan kandang diawali dengan melakukan pembersihan empat kandang
dari sekam dan sarang laba-laba, kemudian dibersihkan dengan sabun dan disikat
pada bagian dalam kandang. Kandang dibiarkan hingga kering. Setelah kandang
kering dilakukan pengapuran pada seluruh bagian kandang kemudian dilakukan
fumigasi dengan menggunakan desinfektan (destan) dengan dosis 60 ml/10 liter.
Kandang yang telah difumigasi dibiarkan selama satu minggu.
Kandang yang telah dibersihkan ditempati oleh itik sebanyak empat kandang.
Setiap kandang ditempatkan 15 cage. Cage yang diperlukan untuk itik sebanyak 60
buah karena setiap cage dapat ditempati oleh satu ekor itik. Cage yang telah siap
ditempati dipasang tempat makan dan tempat minum yang telah bersih.
Itik dimasukkan ke individual cage secara acak. Cage berukuran panjang 30
cm, lebar 51 cm dan tinggi 53 cm. Tempat minum yang digunakan pada kandang itik
sebanyak 20 buah yang dibuat dari pipa paralon dengan panjang 90 cm. Tempat
pakan untuk yang digunakan untuk memelihara itik sebanyak 60 buah.
Tahap Pemeliharaan
Alat yang digunakan dalam pemeliharaan adalah sikat, kuas, skop, sprayer,
lampu, tempat pakan, tempat minum, individual cage, kaki cage, serokan, spatula,

takaran pakan, timbangan lima kg, timbangan 120 g, sapu lidi, plastik, meteran,
karung, ember, selang, drum plastik, termometer, pensil dan kandang.
Bahan yang diperlukan untuk pemeliharaan itik Tegal meliputi sabun, kapur,
destan (desinfektan), vitamin, obat cacing, pakan dan air gula 10%. Pakan yang
diberikan merupakan pakan komersial Par-L berbentuk tepung yang diproduksi oleh
PT. Japfa Comfeed Indonesia. Vitamin yang digunakan adalah Turbo dan obat
cacing Triworm.
Itik yang baru datang diberi larutan gula 10 untuk mengganti energi yang
hilang selama perjalanan dan mengurangi stres. Selain itu pada hari kedua
pemeliharaan ternak itik juga diberi obat cacing. Pemeliharaan itik meliputi
pemberian pakan, air minum, vitamin, perangsang produksi telur, pembersihan
kandang dan pengukuran suhu dalam kandang. Pakan dan minuman diberikan tiga
kali dalam sehari ad libitum. Pada itik pemberian vitamin perangsang produksi telur
(Turbo) dicampurkan dengan pakan yang diberikan. Air minum pada itik diganti satu
kali sehari. Pembersihan kandang dilakukan tiga kali sehari, sedangkan untuk tempat
pakan dan minum setiap satu minggu. Pengukuran suhu dilakukan tiga kali sehari
untuk mengetahui suhu pagi, siang dan sore dalam kandang.
Penyimpanan Telur
Pengumpulan telur dilakukan sehari sekali pada pukul 08.00 WIB. Telur
tersebut dicatat sesuai nomor itik dan diberi tanggal, kemudian ditimbang bobot
awalnya dengan menggunakan timbangan elektrik 120 g. Hasil pengukuran telur
dicatat pada tabel produksi telur harian setiap individu, kemudian telur disimpan
pada egg tray selama 0, 7, 14 dan 21 hari pada suhu ruang. Suhu dan kelembaban
pada ruang penyimpanan telur diukur tiga kali sehari.
Pengukuran Daya dan Kestabilan Buih
Telur itik Tegal yang berumur 0, 7, 14 dan 21 hari dipecah di atas meja kaca,
kuning dan putih telur dipisahkan. Putih telur dimasukkan ke dalam gelas ukur dan
diukur volumenya, kemudian ditambahkan dengan asam asetat dengan penambahan
asam asetat sesuai perlakuan.
Langkah selanjutnya adalah pengocokan putih telur itik Tegal yang telah
dicampur dengan asam asetat. Pengocokan dilakukan pada gelas ukur 500 ml dengan

menggunakan hand mixer electric selama lima menit pada kecepatan maksimal
(skala tiga pada hand mixer electric) hingga terbentuk buih. Buih yang terbentuk
dalam gelas ukur diratakan dan diukur volumenya. Buih tersebut dibiarkan selama
satu jam, dan tirisan buih yang terbentuk diukur volumenya.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Daya Buih Putih Telur Itik Tegal
Daya buih putih telur itik Tegal yang terbentuk ditunjukkan pada Tabel 3.
Tabel 3 menyajikan daya buih telur itik segar dengan tanpa penambahan asam asetat
menghasilkan daya buih paling tinggi dibandingkan daya buih telur itik pada umur 7,
14 dan 21 hari. Semakin lama umur telur, daya buih yang dihasilkan semakin
menurun. Hal ini disebabkan semakin lama umur telur, pH putih telur akan semakin
meningkat. pH putih telur itik umur 0, 7, 14 dan 21 hari berturut-turut 8,00; 9,36;
9,13 dan 9,32. Peningkatan pH pada putih telur disebabkan oleh penguapan H2O dan
CO2 pada putih telur. Menurut Silverside dan Scott (2000) penguapan CO2 dari
dalam telur diakibatkan oleh senyawa NaHCO3 yang terurai menjadi NaOH,
kemudian NaOH ini akan terurai kembali menjadi ion-ion Na+ dan OH- sehingga
mengakibatkan meningkatnya pH putih telur
Tabel 3. Daya Buih Putih Telur Itik Tegal yang Ditambah Asam Asetat pada
Lama Penyimpanan yang Berbeda
Penambahan
Asam Asetat
------(%)----0,00

0,80

1,60

2,40

3,20

0

Lama Penyimpanan (hari)
7
14

21

------------------------------------------(%)-----------------------------------------451,79 + 122,22

423,42 +129,00

405,25 + 104,40

374,48 + 72,73

n = 12

n = 20

n = 28

n = 40

408,33 + 137,69

442,35 + 93,43

405,45 + 50,48

419,51 + 58,24

n= 3

n=5

n=7

n = 10

389,04 + 96,48

416,03 + 28,29

430,73 + 68,37

435,31 + 83,77

n= 3

n=5

n=7

n = 10

331,25 + 75,78

425,25 + 35,04

418,54 + 41,90

427,43 + 62,72

n= 3

n=5

n=7

n = 10

388,89 + 71,85

416,09 + 43,90

455,33 + 98,80

409,32 + 55,86

n= 3

n=5

n=7

n = 10

Daya buih telur itik segar tertinggi (451,79 + 122,22%) diperoleh pada telur
yang tidak ditambah asam asetat. Hal tersebut terjadi karena menurut Stadelman dan
Cotterill (1995) telur segar masih memiliki kandungan ovalbumin, ovomucin dan
globulin yang sempurna karena belum terjadi proses penguapan pada isi telur.

Ovalbumin merupakan protein utama pada putih telur yang berperan penting dalam
pembentukan busa, sedangkan ovomucin merupakan protein yang mempengaruhi
kekentalan putih telur dan mampu mencegah buih mencair kembali.
Daya buih telur itik umur tujuh hari tertinggi (442,35 + 93,43%) diperoleh pada
telur yang ditambahkan asam asetat sebanyak 0,8% dibandingkan dengan telur itik
tanpa penambahan asam asetat. Pada telur umur tujuh hari telah terjadi penguapan
CO2 dan H2O dan mengakibatkan terjadinya transformasi ovalbumin menjadi sovalbumin akibat adanya penurunan pH. Hal ini yang menyebabkan daya buih telur
umur tujuh hari lebih rendah dari pada telur segar karena ovalbumin sangat berperan
pada proses pembentukan buih telah mengalami transformasi menjadi s-ovalbumin.
Peningkatan pH yang terjadi akibat penyimpanan selama tujuh hari dapat
diperbaiki dengan penambahan asam asetat 0,8%; sehingga pH putih telur menurun
mencapai pH telur segar. Penambahan asam asetat 0,8% diduga dapat menyebabkan
renaturasi protein, sehingga protein yang terbuka akibat proses penyimpanan akan
kembali menjadi native protein, sehingga daya buih yang dihasilkan dapat kembali
meningkat. Hal ini sesuai dengan pendapat Lehninger (1992) bahwa protein globular
yang terdenaturasi oleh panas atau pH ekstrim akan kembali ke struktur aslinya dan
memperoleh kembali aktivitas biologinya, jika protein ini dikembalikan ke pH
normalnya secara perlahan-lahan. Penambahan asam asetat yang semakin meningkat
akan mengakibatkan pH putih telur menurun sehingga daya buih yang dihasilkan
semakin menurun, karena menurut Winarno (1997) penambahan asam yang terlalu
banyak akan menimbulkan denaturasi pada protein putih telur.
Umur simpan 14 hari menghasilkan daya buih yang semakin menurun karena
penguapan CO2 dalam telur semakin tinggi. Selain itu selama proses penyimpanan
ovalbumin akan berikatan dengan lisozym yang mengakibatkan putih telur menjadi
encer dan ovalbumin juga berubah menjadi s-ovalbumin yang mengakibatkan daya
buih yang dihasilkan menurun. Daya buih pada telur umur 14 hari dapat diperbaiki
dengan menambahkan asam asetat sebanyak 1,6% pada putih telur. Hal ini
menunjukkan bahwa semakin lama umur telur maka pH putih telur akan semakin
tinggi, sehingga penambahan asam asetat yang semakin banyak untuk mendekati pH
telur segar.

Telur itik umur simpan 21 hari tanpa penambahan asam asetat menghasilkan
daya buih yang rendah karena pH putih telur semakin meningkat akibat adanya
proses penyimpanan. Pada umur telur 21 hari juga telah terjadi pengenceran pada
putih telur bahkan sebagian air dalam putih telur akan pindah menuju kuning telur
melalui membran vitelin. Akibat proses perpindahan air maka akan sangat
mempengaruhi terhadap daya buih yang dihasilkan, untuk mendapatkan pH seperti
telur segar, telur umur 21 hari perlu ditambahkan asam asetat sebanyak 1,6% untuk
menghasilkan daya buih yang mendekati daya buih telur itik segar.
Perbedaan daya buih pada umur telur 0, 7, 14 dan 21 dengan penambahan asam
asetat pada taraf 0%; 0,8%; 1,6%; 2,4% dan 3,2% disajikan pada Gambar 4. Pada
Gambar 4 menyajikan secara lebih jelas perbedaan daya buih putih telur itik dengan

Daya Buih (%)

penambahan asam asetat yang berbeda.
500
450
400
350
300
250
200
150
100
50
0
0

7

14

21

Umur Telur (hari)

Keterangan :

0.0%

0.8%

1.6%

2.4%

3.2%

Gambar 4. Grafik Daya Buih Putih Telur Itik Tegal dengan Penambahan Asam
Asetat
Kestabilan Putih Telur Itik Tegal
Tabel 4 menunjukkan nilai tirisan buih. Telur segar menghasilkan tirisan yang
sedikit jika dibandingkan dengan telur itik yang telah disimpan pada umur 7, 14 dan
21 hari. Menurut Silverside dan Budgell (2004) pada telur segar putih telur masih
kental, sehingga tirisan buih yang dihasilkan rendah, sedangkan telur yang telah

mengalami penyimpanan memiliki putih telur yang encer maka tirisan buih yang
dihasilkan semakin tinggi.
Tabel 4. Tirisan Buih Putih Telur Itik Tegal yang Ditambah Asam Asetat pada
Lama Penyimpanan yang Berbeda
Penambahan
Asam Asetat
------(%)----0,00

0,80

1,60

2,40

3,20

Lama Penyimpanan
0

7

14

21

--------------------------------------(%)----------------------------------5,20 + 2,08

5,68 + 4,90

5,08 + 4,68

6,33 + 3,77

n = 12

n = 20

n = 28

n = 40

6,75 + 2,81

2,92 + 2,27

4,02 + 1,94

3,58 + 1,21

n= 3

n=5

n=7

n = 10

7,79 + 0,19

4,94 + 1,28

4,15 + 1,23

3,69 + 2,17

n= 3

n=5

n=7

n = 10

11,77 + 9,30

4,62 + 1,11

4,60 + 1,35

4,47 + 1,59

n= 3

n=5

n=7

n = 10

9,25 + 5,33

5,30 + 0,57

4,98 + 2,40

5,58 + 1,94

n= 3

n=5

n=7

n = 10

Kestabilan buih akan mengalami penurunan seiring lama umur penyimpanan
telur yang diperlihatkan dengan tingginya tirisan buih yang dihasilkan, seperti
pendapat Romanoff dan Romanoff (1963) bahwa umur telur semakin meningkat
maka stabilitas buih putih telur semakin menurun. Kestabilan buih berbanding
terbalik dengan tirisan buih, semakin sedikit tirisan yang dihasilkan maka kestabilan
buihnya tinggi, sebaliknya semakin banyak tirisan buih yang terbentuk maka
semakin rendah kestabilan buih yang dihasilkan. Selama penyimpanan terjadi
penguapan H2O dan CO2 yang mengakibatkan peningkatan pH putih telur,
peningkatan pH akan menyebabkan serabut protein yang membentuk jala di dalam
putih telur yaitu ovomucin akan rusak dan pecah, sehingga terjadi pembentukan
ikatan kompleks ovomucin-lysozym, sehingga air dari protein putih telur akan keluar
dan putih telur menjadi encer, sesuai dengan pendapat Heath (1977).
Pada telur itik segar kestabilan yang baik diperoleh dari putih telur tanpa
penambahan asam asetat. Pada telur umur tujuh hari, tirisan buih terendah diperoleh
dengan penambahan asam asetat sebanyak 0,8%. Hal ini disebabkan ikatan rantai

hidrogen dalam asam asetat mampu mencegah terbentuknya ikatan H2O dalam putih
telur setelah dilakukan pengocokan dan didiamkan beberapa saat, sehingga tirisan
yang terbentuk lebih sedikit atau buih lebih stabil, sesuai dengan pendapat
Cuningham (1976)
Tirisan buih yang rendah pada putih telur itik umur 14 hari didapatkan pada
penambahan asam asetat sebanyak 0, 8% dan 1,6%, demikian pula telur itik umur 21
hari. Setelah dibandingkan dengan nilai daya buih pada penambahan asam asetat
0,8% dan 1,6%, telur itik umur 14 dan 21 hari menghasilkan daya dan tirisan buih
yang baik pada penambahan asam asetat 1,6%; karena buih yang terbentuk lebih
tinggi dibandingkan dengan penambahan asam asetat 0,8%. Penambahan asam asetat
akan berpengaruh terhadap protein globulin dan ovomucin putih telur. Kedua protein
itu sangat menentukan kekentalan dari putih telur dan menstabilkan srtuktur buih.
Perbedaan tirisan buih pada umur telur 0, 7, 14 dan 21 dengan penambahan
asam asetat pada taraf 0%; 0,8%; 1,6%; 2,4% dan 3,2% disajikan pada Gambar 5.
Pada Gambar 5 menyajikan secara lebih jelas perbedaan tirisan buih putih telur itik
dengan penambahan asam asetat yang berbeda.
14.00
Tirisan Buih (%)

12.00
10.00
8.00
6.00
4.00
2.00
0.00
0

7

14

21

Umur Telur (hari)

Keterangan :

0.0%

0.8%

1.6%

2.4%

3.2%

Gambar 5. Grafik Tirisan Buih Putih Telur Itik Tegal dengan Penambahan
Asam Asetat

KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Daya dan kestabilan buih telur itik segar paling tinggi jika dibandingkan
dengan telur itik yang telah disimpan selama 7, 14 dan 21 hari. Telur itik segar
menghasilkan daya dan kestabilan buih tertinggi pada telur itik tanpa penambahan
asam asetat. Daya dan kestabilan buih telur itik umur tujuh hari dapat ditingkatkan
dengan penambahan asam asetat sebanyak 0,8%; sedangkan pada telur itik umur 14
dan 21 hari perlu ditambahkan asam asetat sebanyak 1,6%. Daya dan kestabilan buih
putih telur itik dengan penambahan asam asetat belum bisa mencapai daya dan
kestabilan buih yang tinggi seperti pada telur ayam.
Saran
Perlu penelitian lebih lanjut untuk meningkatkan daya dan kestabilan buih
putih telur itik dengan penambahan bahan kimia lainnya.

UCAPAN TERIMA KASIH
Puji syukur Penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, Tuhan seluruh alam yang
menguasai ilmu pengetahuan atas bumi dan langit-Nya. Shalawat dan salam penulis
haturkan kepada Nabi Muhammad SAW, yang telah membawa cahaya kebenaran
bagi seluruh umat manusia.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan juga kepada ibu Ir. Rukmiasih, MS
dan ibu Ir. Rini H. Mulyono, MSi yang telah banyak membimbing penulis dari
pembuatan proposal penelitian hingga tahap terakhir pada