Analisis Sosio Agraria Dan Konversi Lahan Serta Strategi Perlindungan Lahan Sawah Di Kota Sukabumi

ANALISIS SOSIO-AGRARIA DAN KONVERSI LAHAN
SERTA STRATEGI PERLINDUNGAN LAHAN SAWAH
DI KOTA SUKABUMI

YUDA HIDAYAT MANSUR

SEKOLAH PASCA SARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Analisis Sosio-Agraria
dan Konversi Lahan serta Strategi Perlindungan Lahan Sawah di Kota Sukabumi
adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Januari 2015

Yuda Hidayat Mansur
NRP A156130124

RINGKASAN
YUDA HIDAYAT MANSUR. Analisis Sosio-Agraria dan Konversi Lahan serta
Strategi Perlindungan Lahan Sawah di Kota Sukabumi. Dibimbing oleh
ENDRIATMO SOETARTO dan KHURSATUL MUNIBAH.
Padi akan selalu menjadi salah satu komoditi pertanian terpenting dalam
kehidupan manusia. Namun demikian, kondisi yang kontradiktif terjadi ketika
konversi lahan pertanian menjadi lahan nonpertanian seperti permukiman, industri
atau fungsi lahan lainnya menjadi gerakan yang sangat masif ketika kelayakan
ekonomi menjadi dasar pertimbangan tata guna lahan. Lahan pertanian yang tidak
terlindungi akan rentan untuk beralih fungsi, terutama di wilayah perkotaan, atau
kota yang sedang berkembang. Dampak konversi lahan pertanian bukan hanya
terhadap hilangnya potensi produksi hasil pertanian dan mengancam kedaulatan

pangan, tetapi juga hilangnya sumber agraria petani dan hilangnya kelembagaan
sosio-agraria yang sudah berlangsung lama. Tujuan penelitian untuk: (1)
menganalisis kondisi sosio-agraria pada lahan sawah di Kota Sukabumi, (2)
menganalisis pola konversi lahan pada lahan sawah di Kota Sukabumi dan (3)
merumuskan strategi perlindungan lahan sawah di Kota Sukabumi.
Strategi penelitian ini menggunakan mixed method dengan cara
menggabungkan metode penelitian kuantitatif dengan metode penelitian kualitatif.
Penelitian di lapangan dimulai dengan menemui informan kunci yang mengetahui
tentang pokok permasalahan penelitian. Tahap selanjutnya, dilakukan wawancara
kualitatif secara terbuka agar dapat mengumpulkan pandangan-pandangan dari
informan. Pemilihan informan dilakukan secara purposive snowball sampling.
Teknik pengumpulan data menggunakan metode observasi, wawancara, dan studi
dokumen. Pengumpulkan data kualitatif dan kuantitatif dilakukan dalam satu
waktu, kemudian menggabungkannya menjadi satu informasi dalam interpretasi
hasil. Analisis data menggunakan analisis kuantitatif yaitu Cluster Analysis, LQ
dan SSA, dan analisis kualitatif yang digunakan secara berdampingan untuk
memberikan penguatan analisis satu sama lain.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa gambaran social quality petani lahan
sawah di Kota Sukabumi dengan empat pendekatan konfigurasi, yaitu konfigurasi
socio-economic security, konfigurasi social cohesion, konfigurasi social inclusion

dan konfigurasi social empowerment. Tipologi wilayah secara agregat
menghasilkan dua klaster yaitu: klaster 1 terdiri atas 5 kecamatan yaitu
Kecamatan Cikole, Gunungpuyuh, Warudoyong, Citamiang dan Baros, sedangkan
klaster 2 terdiri dari 2 kecamatan yaitu Kecamatan Lembursitu dan Cibeureum.
Klaster 2 merupakan wilayah yang dipertahankan atau prioritas utama lahan
sawah dan keberadaan petani secara social quality-nya tetap dipertahankan.
Variabel yang nyata membedakan karakteristik klaster yaitu pembiayaan, pemilik
lahan, penyakap, buruh tani dan kelompok tani. Kelompok relasi agraria petani
dengan mekanisme makaya terbentuk enam jenis komunitas, yaitu (1) petani
pemilik, (2). petani pemilik juga penggarap, (3) petani pemilik merangkap
pengepul (tengkulak), (4) petani penggarap (5) petani penggarap juga buruh tani,
dan (6) buruh tani.

Hasil analisis LQ, lokasi pemusatan penggunaan lahan sawah tahun 2002
berada di wilayah Warudoyong, Baros dan Cibeureum, sedangkan pada tahun
2012 berada di wilayah Kecamatan Baros, Cibeureum dan Lembursitu.
Berdasarkan SSA, nilai komponen proportional shift penggunaan lahan yang
mengalami pergeseran secara agregat berupa penambahan luas terdiri atas lahan
terbangun dan kolam, sedangkan yang mengalami pengurangan luas adalah kebun
campuran, lahan terbuka dan sawah.

Hasil analisis perubahan penggunaan lahan menunjukan bahwa lahan
sawah mengalami penurunan sebesar 2.23 persen sedangkan lahan terbangun telah
meningkat sebesar 3.35 persen dalam waktu 10 tahun (2002-2012). Pola
perubahan lahan yang terjadi meliputi: (1) lahan terbuka menjadi kebun
campuran, (2) sawah menjadi kebun campuran, (3) kebun campuran menjadi
kolam, (4) lahan terbuka menjadi kolam, (5) sawah menjadi kolam, (6) kebun
campuran menjadi lahan terbangun, (7) kolam menjadi lahan terbangun, (8) lahan
terbuka menjadi lahan terbangun, (9) sawah menjadi lahan terbangun, (10) kebun
campuran menjadi lahan terbuka, (11) lahan terbangun menjadi lahan terbuka dan
(12) sawah menjadi lahan terbukaKonversi lahan yang terbesar terjadi pada pola
lahan terbuka menjadi lahan terbangun mencapai 57.06 ha, sawah menjadi lahan
terbangun 53.75 ha, kebun campuran menjadi lahan terbangun 52.44 ha, dan
sawah menjadi kebun campuran 28.38 ha. Faktor pendorong konversi lahan
dipengaruhi oleh tenaga kerja, regenerasi petani, fragmentasi penguasaan lahan
dan kepadatan penduduk serta secara fisik dipengaruhi oleh jalan dan lereng.
Alternatif strategi perlindungan lahan sawah di Kota Sukabumi dapat
dilakukan dengan: (1) peningkatan kapasitas agribisnis petani, (2) mengendalian
perizinan perubahan penggunaan lahan, (3) Pembelian sawah produktif oleh
Pemerintah Kota Sukabumi. Dalam konteks kewilayahan, pemerintah daerah
sangat perlu untuk menetapkan lahan sawah eksisting menjadi kawasan

agropolitan yang bersinergi dengan sistem internal perkotaan dan jaringan
prasarana dan sarana perkotaan serta membuat peraturan zonasi.
Penelitian lanjutan yang bisa dilakukan yaitu dengan melakukan studi
tentang Kota Sukabumi sebagai Agropolis dan Studi kelayakan Wisata
Pendidikan Agro (Agroedutourism) di Kota Sukabumi.
Kata kunci: konversi lahan, perlindungan lahan sawah, pertanian urban, sosioagraria

SUMMARY
YUDA HIDAYAT MANSUR. Socio-agrarian Analysis and Land Conversion,
and The Protection Strategies of Paddy Fields in Sukabumi City. Supervised by
ENDRIATMO SOETARTO and KHURSATUL MUNIBAH.
Paddy field, the paddy planted area, is a very important land since it
produces staple food – rice. Nevertheless, the contradictory condition occurs when
agricultural land converted into non-agricultural land. Agricultural land that is not
protected is proned to the land conversion, especially in urban areas or the
growing city. The study aimed to analyze socio-agrarian condition of paddy field,
to analyze land use change pattern and to figure out the strategies for protecting
Paddy field.
The research methodology used mixed method with qualitative and
quantitative analysis approach. The collecting data methods used observation, in

depth interview and literature study. Purposive snowball sampling was used to get
the participants. Data was analized by cluster analysis, LQ, SSA and qualitative
analysis. Cluster analysis used in order to show the farmer similarity
characteristics of each sub-districts. The results showed two regional clusters of
sub-district. the farmers’s agrarian relations group goes on in six communities
form, namely: (1) the farmer owners, (2) the farmers owner also tenant, (3) the
farmer owners concurrent collector (middlemen), (4) peasant (5) peasant also farm
laborer, and (6) a laborer.
Identifying land conversion pattern was analized by SSA. It was
indicated that paddy fields has decreased by 2.23 percent while developed land
has increased by 3.35 percent within 10 years (from 2002 to 2012). The land use
change was influenced by labor, farmers regeneration, land tenure fragmentation
and population density. Physically, it also was influenced by the length of the road
and slope. The strategies can be implemented to protect paddy fields in Sukabumi,
namely: (1) by increasing the farmer’s agribusiness capacity, (2) by controlling
the permission regarded to change of land use by zoning regulation, (3) Sukabumi
municipal buys the productive paddyfields. For further, It seem should be
conducted assessment on studying of the agropolis and agroedutourism concept in
Sukabumi.
Key word:


land conversion, paddy field protection strategy, sosio-agrarian,
urban agriculture

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

ANALISIS SOSIO-AGRARIA DAN KONVERSI LAHAN
SERTA STRATEGI PERLINDUNGAN LAHAN SAWAH
DI KOTA SUKABUMI

YUDA HIDAYAT MANSUR


Tesis
sebagai salah satu syarat memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah

SEKOLAH PASCA SARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr Ir Setia Hadi, MS.

Judul Tesis
Nama
NRP

: Analisis Sosio-Agraria dan Konversi Lahan serta Strategi
Perlindungan Lahan Sawah di Kota Sukabumi
: Yuda Hidayat Mansur

: A156130124

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Prof. Dr Drs Endriatmo Soetarto, MA
Ketua

Dr Khursatul Munibah, MSc.
Anggota

Diketahui oleh
Ketua Program Studi
Ilmu Perencanaan Wilayah

Dekan Sekolah Pascasarjana IPB

Prof. Dr Ir Santun RP Sitorus

Dr Ir Dahrul Syah, MscAgr.


Tanggal Ujian : 13 Januari 2015

Tanggal Lulus :

PRAKATA
Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT, berkat rahmat
dan hidayah-Nya, penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis berjudul “Analisis
Sosio-agraria dan Konversi Lahan serta Strategi Perlindungan Lahan Sawah di
Kota Sukabumi” yang dilaksanakan sejak bulan April – Oktober 2014. Penulisan
tesis yang disadari sepenuhnya masih jauh dari kesempurnaan, menjadi proses
pembelajaran yang sangat berharga bagi penulis agar “tidak buta” agraria,
mengetahui pemetaan, memahami tata guna lahan dan perencanaan wilayah yang
berkelanjutan.
Penulisan tesis ini tidak lepas dari arahan dan bimbingan Bapak Prof. Dr
Endriatmo Soetarto, MA. dan Ibu Dr Khursatul Munibah, M.Sc, kepada beliau
berdua penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang tinggi atas
dukungan, diskusi dan bimbingan serta membuka cakrawala akademik bagi
penulis. Tidak lupa disampaikan do’a untuk Bapak Dr Komarsa Gandasasmita,
M.Sc. (alm) selaku komisi pembimbing terdahulu yang telah memberikan

pandangan dan pendapat dalam perspektif filosofis yang “berbeda” dalam
perencanaan wilayah. Semoga Allah SWT mengampuni segala dosa dan
memberikan tempat yang terbaik di sisi-Nya. Di samping itu, penghargaan dan
terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Dr Ir Setia Hadi, MS. selaku
penguji luar komisi yang telah memberikan koreksi dan masukan bagi
penyempurnaan tesis ini.
Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya saya sampaikan kepada:
1. Bapak Prof. Dr Ir Santun RP. Sitorus selaku Ketua Program Studi Ilmu
Perencanaan Wilayah beserta segenap pengajar, manajemen dan unsur
sekretariat Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah IPB
2. Kepala Pusbindiklatren Bappenas beserta jajarannya atas kesempatan
beasiswa yang diberikan kepada penulis.
3. Seluruh jajaran Dinas Pertanian, Perikanan dan Ketahanan Pangan Kota
Sukabumi yang telah memberikan bantuan dalam pengumpulan data.
4. Para informan dan partisipan yang telah memberikan informasi yang
berharga untuk penulisan tesis ini.
5. Rekan-rekan PWL Kelas Bappenas Angkatan 2013 atas segala
kebersamaannya selama proses belajar hingga selesai.
6. Semua pihak lain yang tidak bisa disebutkan satu persatu yang telah
membantu dalam penyelesaian tesis ini.
7. Akhirnya ucapan terima kasih yang setinggi-tinginya juga disampaikan
kepada ibunda, kakak, isteriku tersayang Retno Widayani dan ketiga
anakku Mas Ilyas, Kaka Ishaq dan Adek Azalea serta seluruh keluarga,
atas segala do’a, dukungan, pengertian dan kasih sayangnya.
Semoga Bermanfaat.
Bogor, Januari 2015

Yuda Hidayat Mansur

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pendekatan pembangunan selama ini mengedepankan pada pembangunan
yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi dengan mengesampingkan faktorfaktor sosial dan hal yang mendasar. Wiradi (2000) menyatakan bahwa
pembangunan yang menganut paradigma modernisasi bertumpu pada pandangan
bahwa secara global, pembangunan itu terdiri dari: (1) penanaman modal, (2)
proses alih teknologi, (3) munculnya negara-negara, dan organisasi-organisasi
politik dan ekonomi skala besar, dan (4) urbanisasi. Selain itu, Wiradi (2000)
mengidentifikasi (merujuk pada Shepherd, 1998) bahwa praktik pembangunan
atas dasar paradigma modernisasi menonjolkan ciri-ciri: (1) pertumbuhan
ekonomi, (2) pemerintah yang otoriter dan represif, (3) peranan negara/pemerintah
sangat besar, dan (4) perencanaan yang sifatnya top-down.
Pseudo pembangunan seperti ini telah berlangsung selama tiga dasawarsa
menghasilkan pembangunan yang tidak menyeluruh dan menimbulkan
ketimpangan baik ketimpangan wilayah maupun ketidakmerataan kesejahteraan
rakyat. Wiradi (2000) mengatakan bahwa terdapat 3 kesalahan fundamental dalam
strategi pembangunan tersebut, yaitu: (1) kekeliruan menafsirkan makna masalah
agraria, (2) tidak meletakkan masalah reforma agraria sebagai dasar
pembangunan, dan (3) jika diasumsikan sadar bahwa tujuan pembangunan adalah
mengubah susunan masyarakat, maka ternyata tidak ada kejelasan ke arah
manakah sebenarnya tujuan perubahan itu. Lebih lanjut Winoto (2007)
berpendapat bahwa reforma agraria sebagai dasar strategi dasar pembangunan
telah ditempuh oleh hampir semua negara yang mempunyai struktur politik,
ekonomi dan sosial yang baik. Lebih lanjut dikatakan bahwa jawaban atas
masalah ketimpangan struktur agraria, kemiskinan dan ketahanan pangan, dan
pembangunan wilayah adalah reforma agraria. Winoto (2007) secara ringkas
memaknai reforma agraria sebagai penataan atas penguasaan, pemilikan,
penggunaan dan pemanfaatan tanah (P4T).
Pembangunan yang tidak mendasarkan pada reforma agraria akan berimbas
pada terjadinya konversi lahan pertanian secara masif dan sporadis. Konversi
lahan pertanian menjadi lahan nonpertanian seperti permukiman, industri atau
fungsi lahan lainnya menjadi gerakan yang sangat masif ketika kelayakan
ekonomi menjadi dasar pertimbangan tata guna lahan khususnya di wilayah
suburban dan wilayah yang sedang berkembang. Rustiadi dan Wafda (2005)
berpendapat bahwa pada daerah-daerah seputar perkotaan ekspansi aktivitas urban
(suburbanisasi) merupakan faktor utama terjadi alih fungsi lahan-lahan pertanian
ke aktivitas urban. Sebagian besar magnitude proses alih fungsi lahan berlangsung
di kawasan perdesaan, khususnya pada kawasan-kawasan perbatasan kota-desa
dan perbatasan kawasan budidaya-nonbudidaya. Winoto (2005) berpendapat
bahwa faktor penyebab cepatnya konversi lahan pertanian menjadi non-pertanian
antara lain: (1) faktor kependudukan, (2) faktor ekonomi: tingginya tingkat
keuntungan (landrent) dan rendahnya insentif untuk berusaha tani, (3) faktor
sosial budaya antara lain keberadaan hukum waris yang dapat menyebabkan
terfragmentasinya tanah pertanian, (4) perilaku myopic, yaitu mencari keuntungan
jangka pendek, dan (5) lemahnya sistem perundang-undangan dan penegakan

2
hukum dari peraturan-peratuan yang ada. Peraturan-peraturan tersebut belum
mampu mengendalikan konversi tanah sawah secara efektif. Dengan demikian,
lahan pertanian yang tidak terlindungi akan rentan untuk terkonversi, terutama di
wilayah perkotaan dan perlu diingat bahwa beralih fungsinya lahan pertanian akan
secara langsung maupun tidak langsung berpengaruh pada kestabilan ketahanan
pangan dan akan mengancam kedaulatan pangan. Salah satu lahan pertanian yang
terkena dampak langsung dari konversi lahan tersebut yaitu lahan sawah. Lahan
sawah sebagai media tanam padi merupakan salah satu sumber daya lahan yang
akan semakin menipis dan langka akibat dari pembangunan.
Irawan (2007) menyatakan bahwa dampak konversi lahan pertanian bukan
hanya terhadap hilangnya potensi produksi hasil-hasil pertanian, tetapi juga
hilangnya kesempatan kerja, menurunnya ketahanan pangan regional atau
nasional dan kualitas lingkungan hidup. Hal yang perlu dicermati adalah dampak
negatif konversi lahan tersebut bersifat tidak balik (irreversible) atau permanen,
kumulatif, dan progresif. Lebih lanjut Irawan (2007) menyatakan bahwa fungsi
pengendali banjir, erosi dan sedimentasi dari hamparan lahan sawah yang
dikonversi pada suatu wilayah tidak bisa diganti dengan mencetak dan
mengembangkan lahan sawah baru di tempat lain. Penggantian fungsi-fungsi
lingkungan tersebut secara artifisial mungkin saja dapat dilakukan dengan biaya
tertentu yang jika diperhitungkan secara finansial akan berakibat berubah atau
berkurangnya kelayakan investasi yang menyebabkan terjadinya alih fungsi lahan
sawah tersebut menjadi lahan non-pertanian. Besaran hilangnya potensi hasil padi
dan palawija, serta kesempatan kerja akibat konversi lahan sawah bersifat
kumulatif dan progresif dengan laju pertumbuhannya seperti pola eksponensial
positif.
Berdasarkan data Kota Sukabumi Dalam Angka Tahun 2007–2013, terjadi
penurunan luas lahan sawah di Kota Sukabumi dengan laju perubahan rata-rata
antara 2006-2012 sebesar 5.23 persen per tahun. Konversi yang paling besar
berada di Kecamatan Cikole sebesar 57.63 persen. Luas lahan sawah di Kota
Sukabumi yang mencapai 1,589 ha atau 33.10 persen dari luas Kota Sukabumi
menjadi potensi tersendiri bagi Kota Sukabumi. BPS Provinsi Jawa Barat (2012)
mencatat bahwa Kota Sukabumi merupakan kabupaten/kota yang memiliki
tingkat produktivitas padi tertinggi se-Jawa Barat. Penurunan luas lahan sawah di
Kota Sukabumi, berakibat pada penurunan rata-rata produktivitas padi sawah
gabah kering panen (GKP) pada tahun 2012 hanya mencapai 67.49 kwintal/hektar
dari 76.2 kwintal/hektar pada tahun 2008. Dugaan sementara, bahwa
berkurangnya produktivitas padi tersebut diakibatkan terkonversinya lahan-lahan
produktif di wilayah Kota Sukabumi, sedangkan lahan sawah yang masih tersisa
merupakan lahan dengan produktivitas di bawah lahan sawah yang terkonversi.
Dengan semakin menurunnya produktivitas padi dan berkurangnya luas lahan
sawah mengakibatkan penurunan produksi padi sawah per tahun yang hanya
mencapai 22.979,27 ton GKP pada tahun 2012. Produksi padi sejak tahun 2008
yang mencapai 28.012,94 ton mengalami penurunan drastis pada periode tahun
2011-2012 dari 27.652 ton GKP menjadi 22.979,27 ton GKP. Sebaran kawasan
persawahan di Kota Sukabumi dapat dilihat pada Gambar 1.1.

3

Gambar 1.1 Kawasan Persawahan di Kota Sukabumi
Berdasarkan Hasil Sensus Pertanian Tahun 2013, di Kota Sukabumi ratarata luas lahan sawah yang dikuasai hanya mencapai 2353.31 m2 atau sekitar 0.23
ha. Luas tersebut berarti masih termasuk kategori luas garapan lahan pertanian
petani gurem. BPS Kota Sukabumi (2014) mencatat besaran petani gurem
mencapai 4,521 rumah tangga dari 5,586 rumah tangga usaha pertanian pengguna
lahan yang ada atau mencapai 81 persen. Selain itu, jumlah petani utama yang
berusia 45 tahun ke atas mencapai 81.5 persen. Kondisi ini menandakan bahwa
sektor pertanian di daerah perkotaan tidak menjadi mata pencaharian utama bagi
generasi muda. Fakta ini sejalan dengan pernyataan Winoto (2005) bahwa
cepatnya konversi tanah pertanian menjadi non-pertanian dapat mempengaruhi
berbagai aspek kehidupan manusia seperti: (1) menurunnya produksi pangan yang
mengancam ketahanan pangan, (2) hilangnya mata pencaharian petani yang
menimbulkan pengangguran, dan pada akhirnya memicu masalah sosial, dan (3)
hilangnya investasi infrastruktur pertanian (irigasi) yang telah dibangun dengan
biaya yang sangat tinggi.
Selanjutnya, menurut Tjondronegoro (1999) mengutip Lipton (1968) bahwa
ketidakberhasilan pembangunan untuk mengangkat kesejahteraan petani di dunia
ketiga terutama disebabkan oleh bias perkotaan, karena itu dijumpai dua gejala
berdampingan yaitu kemiskinan dan pembangunan. Kecederungan tidak
berminatnya generasi muda perkotaan pada sektor pertanian disebabkan karena

4
sektor pertanian tidak menjanjikan kesejahteraan bagi mereka. selain itu, imingiming pembangunan dan pengembangan wilayah yang mendorong terjadinya alih
profesi dan alih fungsi lahan menjadi faktor pendorong kondisi tersebut. Oleh
karena itu, berkaitan dengan konversi lahan pada kawasan perkotaan Sitorus
(2005) berpendapat bahwa konversi lahan di Indonesia harus dibaca dalam
konteks krisis paradigma pertanahan. Jika konversi lahan dipahami sebagai alih
fungsi yang untuk sebagaian diikuti dengan alih penguasaan, maka untuk sebagian
ia adalah bagian dari sengketa pertanahan itu sendiri.
Tjondronegoro (1999) menyatakan bahwa pemecahan masalah-masalah
tanah bila ditinjau dari sudut pandang sosiologis berarti pemecahan yang dimulai
dengan menganalisis hubungan antargolongan atau lapisan masyarakat yang
menguasai tanah dan aset atau modal lain. Lebih lanjut Tjondronegoro (1999)
berpendapat bahwa tinjauan sosiologis memang sukar dilepaskan dari tinjauan
politik, ekonomi dan kependudukan. Sekian banyak sudut pandang tersebut
seakan-akan mencapai konvergensi dalam suatu tinjauan sosiologi. Tujuan
pemecahan permasalahan tanah yang antara lain dengan landreform seyogyanya
bukan saja dibatasi pada usaha redistribusi tanah. Satu sama lain hal itu perlu
mencakup juga usaha-usaha yang memperbaiki keserasian hubungan-hubungan
yang berlaku di daerah pedesaan akibat ketimpangan struktur agraria.
(Tjondronegoro 1999). Menurut Sitorus (2005) bahwa sosiologi agraria menyoroti
hubungan-hubungan agraria yang mewujudkan struktur agraria tertentu yang
mencakup tiga unsur pokok yang saling terkait yaitu subyek agraria, obyek agraria
dan hubungan agraria itu sendiri. Oleh karenanya diperlukan pendekatan
pemetaan sosiologi agraria untuk melindungi lahan sawah. Hal ini sejalan dengan
Laporan Interim tentang Masalah Pertanahan (Menteri Negara Riset 1978), yang
mengidentifikasi masalah kunci pertanahan yaitu: (1) pemilikan, penguasaan dan
penggarapan tanah pertanian dan (2) sewa-menyewa, sakap-menyakap tanah dan
hubungan kerja di bidang pertanian padi sawah di Jawa. (Tjondronegoro 1999).
Di dalam konteks lokal, sebagaimana diamanatkan Undang-undang 41
Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Berkelanjutan dan
memperhatikan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Sukabumi 2011-2031, Kota
Sukabumi telah menetapkan Rencana Kawasan Budi Daya pertanian sebagai
kawasan pertanian tanaman pangan, pengembangan kawasan pertanian tanaman
pangan yang berada di Kecamatan Baros, Kecamatan Lembursitu, dan Kecamatan
Cibeureum yang ditetapkan menjadi lahan pertanian pangan berkelanjutan atau
lahan abadi. Oleh karena itu, Pemerintah Kota Sukabumi bekerja sama dengan
Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan (PSP3) LPPM IPB telah
melakukan pemetaan kawasan perlindungan lahan pertanian pangan secara
berkelanjutan yang diperoleh alternatif untuk lahan dan kawasan pertanian pangan
berkelanjutan. Hasil kajian DPPKP dan PSP3 IPB pada tahun 2013 telah
memetakan lahan pertanian pangan berkelanjutan di Kota Sukabumi seluas 321 ha
dan lahan cadangan hingga mencapai 1,559 ha. Hasil kajian ini menjadi arahan
bagi pemerintah daerah untuk bisa melindungi lahan pertanian khususnya sawah.
Pemetaan hasil kajian tersebut dapat dilihat pada Gambar 1.2.

5

Sumber: DPPKP dan PSP3 IPB, (2013)

Gambar 1.2 Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan di Kota Sukabumi
Secara formal, Pemerintah Kota Sukabumi telah berkomitmen untuk
memajukan pertanian di Kota Sukabumi. Sekalipun dalam Visi dan Misi Kota
Sukabumi tidak secara eksplisit sebagai kota pertanian namun dalam tujuan misi
ke-4 dalam RPJMD Kota Sukabumi tahun 2013-2018 menyatakan untuk
meningkatkan ketahanan pangan daerah dan mengembangkan agribisnis
perkotaan berbasis sumber daya lokal. Dukungan finansial dari APBD Kota
Sukabumi dalam kurun waktu 5 tahun terakhir menunjukkan tren positif.
Anggaran untuk pertanian meningkat hingga 22.62 persen sejak tahun 2008
sampai dengan tahun 2013.Anggaran pada tahun 2008 hanya Rp.5,435,330,000
sedangkan pada tahun 2013 anggaran pertanian mencapai Rp.6,664,731,800.
Filosofi yang dibangun adalah komitmen yang kuat untuk mewujudkan sistem
agribisnis terbuka yang terintegrasi dan harmonis dari hulu hingga hilir yang
bertumpu pada keunggulan sumber daya yang tersedia dalam rangka
menghasilkan produk dan jasa yang berdaya saing tinggi secara
berkesinambungan serta untuk mewujudkan kondisi ketahanan pangan daerah
yang kokoh berbasis sumber daya dan kearifan lokal, yang selaras dan sinergis
dengan pertumbuhan dan perkembangan Kota Sukabumi.
Perumusan Masalah
Proses konversi lahan sawah menjadi penggunaan lahan nonpertanian
seperti pemukiman dan industri merupakan kondisi yang sulit dihindari sebagai
akibat dari pertambahan jumlah penduduk dan pertumbuhan sektor ekonomi yang
pesat. Ketersediaan lahan yang terbatas sementara permintaan terhadap lahan
terus meningkat menuntut realokasi penggunaan lahan ke arah yang secara

6
ekonomis paling menguntungkan. Permasalahan lahan pertanian khususnya lahan
sawah di Kota Sukabumi ditandai dengan tingginya alih fungsi atau berkurangnya
lahan sawah dan kepemilikan/penguasaan lahan sawah yang relatif sempit oleh
petani. Dengan demikian, perlu diuraikan kondisi sosioagraria dan pola konversi
lahan sawah untuk membangun strategi perlindungan lahan sawah agar terbangun
sistem yang efektif untuk mengendalikan dan mengawasi lahan sawah.
Berdasarkan uraian permasalahan di atas, pertanyaan penelitian yang akan
dijawab melalui penelitian ini adalah:
1. Bagaimana kondisi sosio-agraria petani lahan sawah di Kota Sukabumi?
2. Bagaimana pola konversi lahan sawah di Kota Sukabumi?
3. Bagaimana strategi perlindungan lahan sawah di Kota Sukabumi?
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
1. Menganalisis kondisi sosio-agraria pada lahan sawah.
2. Menganalisis pola konversi lahan pada lahan sawah.
3. Merumuskan strategi perlindungan lahan sawah.
Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah:
1. Gambaran dan informasi mengenai kondisi sosio-agraria lahan sawah di Kota
Sukabumi yang dituangkan dalam informasi spasial;
2. Upaya membangun strategi perlindungan lahan sawah berbasis aspek sosioagraria dan pola konversi lahan.
Kerangka Pemikiran
Perlindungan lahan sawah sebagai lahan pertanian berkelanjutan tentunya
harus dilakukan langkah strategis. Sebuah strategi dibangun dengan beberapa
pendekatan, baik itu pendekatan fisik, ekonomi maupun sosial. Penelitian ini
bertujuan akhir untuk membangun strategi perlindungan lahan sawah dengan
pendekatan sosiologi agraria dengan mengidentifikasi dan memetakan struktur
agraria yang berlaku pada lahan sawah lokasi penelitian. Pendekatan ini akan
cukup efektif karena akan melihat pada aras makro, aras meso dan aras mikro
serta pola relasi agraria pada lahan sawah. Sumaryanto (2005:24) berpendapat
bahwa pola konversi lahan sawah dapat terjadi dengan diawali alih fungsi
penguasaan. Pemilik menjual kepada pihak lain yang akan memanfaatkannya
untuk usaha nonsawah atau kepada makelar. Oleh karena itu, Konversi lahan tidak
akan terlepas dari subjek agraria, baik pemanfaat lahan sawah maupun peran
pemerintah yang membuat regulasi pengaturan sebuah kawasan dan regulasi
keagrariaan. Selain itu, peran dan relasi antarsubyek agraria serta relasi antara
subyek agraria dengan obyek agraria menjadi kajian dalam penelitian ini.
Pemetaan sosial agraria sebagai upaya untuk memetakan kondisi sosial
agraria pada lahan sawah di Kota Sukabumi diukur berdasarkan preferensi subyek
agraria dengan pendekatan Social Quality yang meliputi 4 aspek yaitu: (1) Socioeconomi security, (2)Social Cohesion, (3) Social Inclusion, dan (4)Social
Empowerment. Untuk pola konversi lahan dianalisis berdasarkan pergeseran
penggunaan lahan pada dua titik tahun, yaitu penggunaan lahan tahun 2002 dan

7
tahun 2012. Hasil pemetaan sosial agraria dan identifikasi pola konversi lahan
tersebut digunakan untuk membangun strategi perlindungan lahan sawah agar
tidak terkonversi dan tetap menjadi lahan abadi dan diharapkan dapat terwujud
keadilan agraria untuk mencapai kesejahteraan petani dan warga yang
termarginalisasikan.

Gambar 1.3 Kerangka Pemikiran Penelitian

2 TINJAUAN PUSTAKA
Sosiologi Agraria
Untuk memahami sosiologi agraria, beberapa pakar telah memberikan
gambaran dan ulasan mengenai hal tersebut. Sitorus dan Wiradi (1999) dalam
Tjondronegoro (1999) berpendapat bahwa sosiologi agraria sebenarnya hanyalah

8
satu dari sejumlah sudut pandang dalam mengkaji hubungan antara manusia dan
tanah (land) serta hubungan antarmanusia berkaitan dengan tanah.
Tanah (land) dalam penelitian ini dipahami sebagai lahan sawah yang
memiliki hubungan agraria dan hubungan sosial yang menjadi sebuah
konvergensi fungsi lainnya seperti ekonomi, demografi, politik dan
pengembangan wilayah (administrasi pemerintahan). Hal ini sejalan dengan
Sitorus dan Wiradi dalam Tjondronegoro (1999) yang menyatakan bahwa
peubah-peubah ekonomi, kependudukan, hukum dan politik menyatu dalam
tinjauan sosiologi agraria dan secara bersama-sama membentuk struktur agraria.
Dengan demikian, terdapat hubungan konseptual antara struktur agraria dengan
sosiologi agraria.
Lebih mendalam Sitorus (2005) menjelaskan bahwa sosiologi agraria
menyoroti hubungan-hubungan agraria yang mewujudkan struktur agraria
tertentu. Struktur agraria mencakup tiga unsur pokok yang saling terkait yaitu
subyek agraria, obyek agraria dan hubungan agraria itu sendiri. Dalam konteks
kerangka sosiologi agraria, aktor pertanahan dipilah ke dalam tiga kelompok
yaitu: negara, pemodal dan komunitas. Pola-pola hubungan sosial agraris antara
ketiga subyek sangat ditentukan oleh konteks struktur agraria di suatu negeri
(Sitorus 2002) . Dengan mengesampingkan tipe struktur naturalistis dan feodalis
yang merupakan tipe-tipe awal, terdapat tiga tipe-tipe ideal struktur agraria yaitu:
(a) Tipe Kapitalis: sumber-sumber agraria dikuasai oleh non-penggarap
(perusahaan); (b) Tipe Sosialis: sumber agraria dikuasai oleh negara/kelompok
pekerja; dan (c) Tipe Populis/Neo-Populis: sumber agraria dikuasai oleh
keluarga/rumah tangga pengguna. (Wiradi, 1998 dalam Sitorus 2002).
Dominasi penguasaan sumber-sumber agraria itu pada satu pihak subyek,
yaitu pada swasta (tipe kapitalis), atau rumah tangga komunitas (tipe populis/neo
populis), atau pemerintah (tipe sosialis) kemudian memunculkan hubunganhubungan sosial agraris yang berbeda antara satu dan lain tipe struktur agraria.
Pada tipe kapitalis misalnya, hubungan nonpenggarap dengan anggota komunitas
menjadi hubungan majikan-buruh. Pada tipe sosialis, hubungan pemerintah dan
anggota komunitas menjadi hubungan “ketua-anggota”. Sementara pada tipe
populis/neo-populis keluarga-keluarga penguasa/pemanfaat sumber-sumber
agraria boleh dikatakan berdaulat. (Wiradi, 1998 dalam Sitorus 2002)
Obyek Agraria: Sumber-sumber Agraria, dan
Subyek Agraria: Pemanfaat Sumber-sumber Agraria
Sitorus (2002) memberikan batasan sumber agraria menurut UUPA 1960
(UU No.5/1960) sesuai dengan pengertian dasar agraria yaitu “seluruh bumi, air
dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya...”
(Pasal 1 ayat 2). “Dalam pengertian bumi selain permukaan bumi, termasuk pula
tubuh bumi bawahnya serta yang berada di bawah laut” (Pasal 1 ayat 4). “Dalam
pengertian air termasuk baik perairan pedalaman maupun laut wilayah Indonesia”
(Pasal 1 ayat 5). “Yang dimaksud dengan ruang angkasa ialah ruang di atas bumi
dan air tersebut…” (Pasal 1 ayat 6).
Lebih lanjut, Sitorus (2002) menjelaskan dengan merujuk pada Pasal 1
(ayat 2,4,5,6) UUPA 1960 itu, ditarik kesimpulan perihal jenis-jenis sumber
agraria sebagai berikut:

9
a.

Tanah, atau permukaan bumi. Jenis sumber agraria ini adalah modal alami
utama dalam kegiatan pertanian dan peternakan. Petani memerlukan tanah
untuk lahan usaha tani. Sementara peternak memerlukan tanah untuk padang
rumput.
b. Perairan. Jenis sumber agraria ini adalah modal alami utama dalam kegiatan
perikanan; baik perikanan sungai maupun perikanan danau dan laut. Pada
dasarnya perairan merupakan arena penangkapan ikan (fishing ground) bagi
komunitas nelayan.
c. Hutan. Inti pengertian “hutan” di sini adalah kesatuan flora dan fauna yang
hidup dalam suatu wilayah (kawasan) di luar kategori tanah pertanian. Jenis
sumber agraria ini secara historis adalah modal alami utama dalam kegiatan
ekonomi komunitas-komunitas perhutanan, yang hidup dari pemanfaatan
beragam hasil hutan menurut tata kearifan lokal.
d. Bahan tambang. Jenis sumber agraria ini meliputi ragam bahan
tambang/mineral yang terkandung di dalam “tubuh bumi” (di bawah
permukaan dan di bawah laut) seperti minyak, gas, emas, bijih besi, timah,
intan, batu-batu mulia, fosfat, pasir, batu, dan lain-lain.
e. Udara. Jenis sumber agraria ini tidak saja merujuk pada “ruang di atas bumi
dan air” tetapi juga materi “udara” (CO2) itu sendiri. Arti penting materi
“udara” sebagai sumber agraria baru semakin terasa belakangan ini, setelah
polusi asap mesin atau kebakaran hutan mengganggu kenyamanan,
keamanan, dan kesehatan manusia.
Selanjutnya, berkaitan dengan subyek agraria, Sitorus (2002) menjelaskan
secara kategoris bahwa subyek agraria dapat dibedakan menjadi tiga yaitu
komunitas (sebagai kesatuan dari unit-unit rumah tangga), pemerintah (sebagai
representasi negara), dan swasta (private sector). Ketiga kategori sosial tersebut
adalah pemanfaat sumber-sumber agraria, yang memiliki ikatan dengan sumbersumber agraria tersebut melalui institusi penguasaan/pemilikan (tenure
institutions). Hubungan pemanfaatan tersebut menunjuk pada dimensi teknis, atau
lebih spesifik dimensi kerja, dalam hubungan-hubungan agraria. Sekaligus
dimensi kerja itu menunjuk pada artikulasi kepentingan-kepentingan sosial
ekonomi masing-masing subyek berkenaan dengan penguasaan/ pemilikan dan
pemanfaatan
sumber-sumber
agraria
tersebut.
Hubungan
penguasaan/pemilikan/pemanfaatan seperti sumber-sumber agraria menunjuk
pada dimensi sosial dalam hubungan-hubungan agraria. Hubungan
penguasaan/pemilikan/pemanfaatan membawa implikasi terbentuknya ragam
hubungan sosial, sekaligus interaksi sosial, antara ketiga kategori subyek agraria.
Hubungan sosial agraris tersebut dan hubungan teknis agraris, dapat digambarkan
sebagai hubungan segitiga sebagaimana terlihat pada Gambar 2.1. Intinya adalah
satu dan lain subyek saling berhubungan secara sosial dalam kaitan hubungan
teknis masing-masing subyek dengan sumber-sumber agraria.

10

Gambar 2.1 Struktur Agraria
Menurut Soetarto dan Shohibuddin (2005) bahwa struktur agraria yang
digambarkan dalam bagan Gambar 2.1 secara konseptual, mengandung potensi
konflik ataupun kerjasama. Kerjasama akan terjadi apabila para subyek agraria
bersedia dan mampu merumuskan suatu kesepakatan perihal kepentingan dan
klaim yang berbeda-beda menyangkut akses terhadap obyek agraria.
Kemungkinan sebaliknya, konflik agraria yang akan terjadi apabila terdapat
benturan kepentingan intra dan antar subyek agraria ataupun tumpang tindih klaim
akses terhadap obyek agraria. Bagaimanapun, fakta empiris membuktikan bahwa
hubungan-hubungan agraria intra dan antar ketiga subyek tadi cenderung diwarnai
oleh gejala konflik agraria, baik yang bersifat laten maupun yang bersifat manifes.
Berkaitan dengan konflik agraria tesebut, Wiradi (2000) menunjukan
ketidakselarasan atau incompatibilities di Indonesia yaitu:
1. Ketimpangan dalam hal struktur kepemilikan dan penguasaan tanah.
2. Ketimpangan dalam hal peruntukan tanah, dan
3. Ketimpangan dalam hal persepsi dan konsepsi mengenai agraria.
Tjondronegoro (1999) berpendapat bahwa pemecahan masalah-masalah
tanah bila ditinjau dari sudut pandang sosiologis berarti pemecahan yang dimulai
dengan menganalisa hubungan antargolongan atau lapisan masyarakat yang
menguasai tanah dan aset atau modal lain.
Didasarkan pada pernyataan Winoto (2007) kriteria penerima manfaat
agraria berdasarkan pendekatan hak-hak dasar rakyat (basic rights approach)
yang diperoleh variabel pokok yaitu: kependudukan, sosial-ekonomi dan
penguasaan tanah. Berdasarkan variabel tersebut ditetapkan kriteria umum,
kriteria khusus dan urutan prioritas. Di dalam konteks penelitian ini, variabel dan
kriteria ini menjadi pendekatan untuk penyusunan strategi perlindungan lahan.
Penguasaan Tanah
Menurut Wiradi (2009) terdapat dua tema besar dalam pembahasan
mengenai penguasaan tanah. Pertama, mengenai land tenure pattern atau pola
pemilikan tanah. Ini mencakup data tentang jenis status hak pemilikan, jenis
penggunaan tanah dan sebaran (distribusi) pemilikan tanah. Kedua mengenai land
tenancy pattern atau pola hubungan penggarapan tanah. Artinya mengenai

11
masalah kelembagaan atau aturan-aturan setempat mengenai penggarapan tanah
yang bukan milik penggarapnya (sewa, gadai, bagi-hasil, dan lainnya). Lebih
lanjut Wiradi menjelaskan bahwa pemilikan formal tidak selalu mencerminkan
penguasaan nyata atas tanah. Penguasaan atas tanah dapat dilakaukan dengan
beberapa cara, yakni melalui sewa-menyewa, penyakapan, dan bahkan gadaimenggadai, walaupun yang gadai menggadai sebenarnya telah dilarang menurut
ketentuan UUPA 1960.
Sebagian rumah tangga yang tidak memiliki tanah tetap dapat memperoleh
tanah garapan dan sebaliknya ada sebagian pemilik tanah yang tidak menggarap
sama sekali. Petani bukan pemilik dan juga tidak mempunyai tanah garapan,
mereka ini disebut sebagai tunakisma mutlak.
Berkaitan dengan lapisan penguasaan tanah yang terbangun Wiradi dan
Makali (2009) menjelaskan tentang lapisan-lapisan yang berdasarkan atas
perbedaan hak atas tanah serta kewajibannya yang menyertainya:
1. Lapisan pertama terdiri dari penduduk inti yaitu mereka yang nenek
moyangnya dulu merupakan pemukim pertama di daerah itu atau
pembuka tanah di situ, karena itu mereka umum mempunyai tanah
yasan, mempunyai pekarangan dan rumah sendiri, sehingga mereka
juga disebut sebagai sebagai gogol, kuli kenceng, kuli baku, atau sikep
ngarep.
2. Lapisan kedua ialah mereka yang mempunyai rumah dan pekarangan
sendiri tetapi belum atau tidak mempunyai sawah. Mereka disebut
kuli-kendo yaitu calon menjadi kuli kenceng.
3. Lapisan ketiga disebut magersari, yaitu mereka yang tidak mempunyai
tanah dan tidak mempunyai pekarangan, tetapi mempunyai rumah
sendiri. Rumah mereka di atas pekarangan orang lain. Mereka
biasanya bekerja sebagai buruh tani atau sebagai penyakap.
4. Lapisan keempat atau lapisan terbawah terdiri dari mereka sama sekali
tidak mempunyai apa-apa kecuali tenaganya. Karena tidak mempunyai
rumah, mereka tinggal mondok di rumah orang lain dan menjadi buruh
tani dari tuan tanahnya yang biasanya pemiliki sawah. Mereka ini
disebut sebagai mondok-empok, bujang atau tlosor.
Kelembagaan yang terbentuk menurut Wiradi dan Makali (2009) terdiri
atas:
1. Sistem gogolan, dengan berlakunya UUPA secara hukum status tanah
gogolan sudah tidak diakui lagi, karena hak atas tanah itu diberikan
kepada penggarapnya yang terakhir.
2. Sistem Gadai, menurut Iman Sudiyat yang dikutip oleh Wiradi dan
Makali (2009) ialah menyerahkan tanah untuk menerima pembayaran
sejumlah uang secara tunai, dengan ketentuan si penjual tetap berhak
atas pengembalian tanahnya dengan jalan menebusnya kembali.
Kebiasaan gadai menggadai tanah dianggap oleh pemerintah
merugikan pemiliki tanah, oleh karenanya pemerintah mengeluarkan
undang-undang yang melarang penyerahan hak penguasaan dengan
cara gadai (UU No.56 tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah
Pertanian, pasal 7).

12
3. Sistem Sewa, adalah penyerahan sementara hak penguasaan tanah
kepada orang lain, sesuai dengan perjanjian yang dibuat bersama oleh
pemilik dan penyewa.
4. Sistem Bagi Hasil, ialah penyerahan sementara hak atas atanah kepada
orang lain untuk diusahakan dengan perjanjian si penggarap akan
menanggung beban tenaga kerja keseluruhan, dan menerima sebagian
dari hasil tanahnya. Dengan cara bagi hasil ini maka si pemilik tanah
turut menanggung resiko kegagalan. Inilah yang membedakannya dari
sistem sewa-menyewa. Besar kecilnya bagian hasil yang harus
diterima oleh masing-masing pihak pada umumnya telah disepakati
bersama oleh pemilik dan penggarap sebelum penggarap mulai
mengusahakan tanahnya.
Konversi Lahan
Konversi lahan dalam konteks spasial dapat dipahami sebagai perubahan
penggunaan lahan tertentu ke penggunaan yang lain. Perlu dicermati bahwa
penggunaan term konversi dalam konteks UUPA 1960 merupakan alih status hak
atas tanah. Oleh sebab itu, konversi lahan dimaksud adalah konversi dalam
konteks spasial. Konversi lahan pada umumnya adalah perubahan atau alih fungsi
lahan dari pertanian ke nonpertanian, atau dapat pula sebaliknya.
Menurut Sihaloho et al. (2007) bahwa faktor yang menyebabkan konversi
lahan dapat dibagi dua kategori yaitu: (1) aras makro meliputi kebijakan
pemerintah (kebijakan spasial dan agraria) dan pertumbuhan penduduk; dan (2)
aras mikro yang terdiri dari pola nafkah rumah tangga (struktur ekonomi rumah
tangga), kesejahteraan rumah tangga (orientasi nilai ekonomi rumah tangga) dan
strategi bertahan hidup rumah tangga (tindakan ekonomi rumah tangga). Lain
halnya dengan Rustiadi dan Wafda (2005) yang berpendapat bahwa masalah
konversi timbul karena nilai landrent di dalam mekanisme pasar tidak
mencerminkan seluruh nilai barang, jasa dan biaya-biaya yang ditransaksikan di
pasar. Derajat kualitas lahan dibeda-bedakan menurut mutunya yang dicerminkan
oleh tingkatan nilai lebih (surplus) yang disebut rent, yaitu sejumlah keuntungan
yang harus kembali kepada pemilik lahan, diluar biaya-biaya produksi dan
manajemen (Rustiadi dan Wafda 2005). Namun demikian, Rustiadi dan Wafda
(2005) mengingatkan bahwa konversi atau pergeseran penggunaan lahan
berlangsung hukum pergeseran secara searah dan bersifat irreversible (tidak dapat
balik). Lahan sawah yang terkonversi menjadi perumahan atau kawasan terbangun
lainnya hampir tidak mungkin kembali menjadi sawah.
Winoto (2005) berpendapat bahwa faktor penyebab cepatnya konversi
lahan pertanian menjadi non-pertanian antara lain:
1. Faktor kependudukan: pesatnya peningkatan jumlah penduduk telah
meningkatkan permintaan tanah untuk perumahan, jasa, industri, dan
fasilitas umum lainnya.
2. Faktor ekonomi: tingginya tingkat keuntungan (landrent) yang diperoleh
sektor non-pertanian dan rendahnya landrent dari sektor pertanian itu
sendiri. Rendahnya insentif untuk berusahatani disebabakan oleh tingginya
biaya produksi, sementara harga hasil pertanian relatif rendah dan
berfluktuatif. Selain itu, faktor kebutuhan keluarga petani yang terdesak

13
oleh kebutuhan modal usaha atau keperluan keluarga lainnya (pendidikan.
Keehatan atau lainnya)
3. Faktor sosial budaya antara lain keberadaan hukum waris yang dapat
menyebabkan terfragmentasinya tanah pertanian sehingga tidak memenuhi
skala ekonomi usaha yang menguntungkan
4. Perilaku Myopic, yaitu mencari keuntungan jangka pendek namun kurang
memperhatikan kepentingan jangka panjang dan kepentingan nasional
secara keseluruhan. RTRW yang cenderung mendorong konversi tanah
pertanian untuk penggunaan tanah nonpertanian.
5. Lemahnya sistem perundang-undangan dan penegakan hukum dari
peraturan-peratuan yang ada. Peraturan-peraturan tersebut belum mampu
mengendalikan konversi tanah sawah secara efektif.
Hasil penelitian Sihaloho et al. (2007) di Kelurahan Mulyaharja
Kecamatan Bogor Selatan Kota Bogor dapat dijadikan salah satu referensi untuk
mengetahui pola konversi lahan di perkotaan dapat diidentifikasi sebagai berikut:.
1. Konversi gradual-berpola sporadis
Pola ini diakibatkan oleh dua faktor penggerak utama yaitu lahan yang
tidak/kurang produktif (bermanfaat secara ekonomi) dan keterdesakan
ekonomi pelaku konversi. Setelah menjual tanahnya, warga membeli tanah
lain dan ada juga yang tidak dapat membeli lagi karena uang hasil penjualan
tanah diamnfaatkan oleh keluarga untuk kebutuhan mendesak.
2. Konversi sistematik berpola enclave
Konversi tanah berpola enclave yang dimaksud adalah sehamparan tanah yang
terkonversi secara serentak. Pemilik tanah dapat terdiri dari beberapa orang.
Setelah dialihfungsikan, nilai manfaat dapat dirasakan oleh masyarakat.
3. Konversi lahan sebagai respon atas pertumbuhan penduduk (population
growth driven land conversion)
Konversi dalam suatu wilayah tertentu karena lahan akan terkonversi untuk
memenuhi tempat tinggal dikarenakan pertumbuhan penduduk atau disebut
juga konversi adaptasi demografi.
4. Konversi disebabkan oleh masalah sosial (social problems driven land
conversion)
Keterdesakan ekonomi dan perubahan kesejahteraan adalah dua faktor utama
penggerak melakukan konversi lahan. Lahan dijual kepada pendatang, pelaku
pindah ke daerah/perkampungan lain. Alasan menjual adalah perubahan
kesejahteraan, ingin menikmati fasilitas yang relatif lebih baik semisal fasilitas
listrik, air, akses ke jalan, dekat ke sekolah anak-anak, dan dekat ke tempat
pekerjaan.
5. Konversi „tanpa beban”
Konversi yang dilakukan untuk mengubah nasib hidup yang lebih baik dari
keadaan saat ini dan ingin ke luar dari kampung. Pola konversi ini terkait
dengen pola konversi masalah sosial dalam hal keinginan untuk berubah,
namun pola konversi tanpa beban lebih pada warga menjual tanahnya dan
sekaligus ke luar dari sekotr pertanian ke nonpertanian. Hal lain yang
menyebabkan pola konversi tanpa beban adalah kondisi sarana dan prasarana

14
di wilayah perkampungan. Dengan demikian aras rumahtangga terjadi
perubahan aset tanah ke pihak luar desa.
6. Konversi adaptasi agraris
Pola konversi adaptasi agraris terjadi karena dorongan untuk memiliki tanah
yang relatif lebih baik (kelas 1 atau 2) dari tanah yang dimiliki yang relatif
kurang baik (kelas 3-5) dengan tujuan untuk meningkatkan hasil pertanian
dengan cara menjual tanah yang kurang produktif tersebut. Hasil penjualan
tanah tidak selalu dapat penggantikan luasan tanah yang dijual. Dengan kata
lain, lahan yang dibeli dapat lebih sempit dengan kualitas yang lebih baik, atau
lebih luas, tetapi lebih baik dari perkampungan.
7. Konversi multibentuk atau tanpa bentuk/pola
Pola konversi ini merupakan konversi yang diakibatkan berbagai faktor,
namun secara khusus faktor yang dimaksud adalah faktor peruntukan untuk
perkantoran, sekolah, koperasi, perdagangan termasuk sistem waris yang tidak
spesifik dijelaskan dalam konversi adaptasi demografi.
Hubungan antara konversi lahan dengan penguasaan tanah menurut Irawan
(1997) dalam Nasoetion (2003) bahwa perubahan penggunaan tanah tersebut pada
umumnya didahului oleh proses alih status penguasaan tanah. Selanjutnya,
Nasoetion (2003) menjelaskan bahwa perubahan penggunaan tanah baik yang
direncanakan maupun tidak diinginkan dari sudut pandang kebijakan tanah
nasional pada dasarnya akan ditentukan oleh dua kelompok faktor, yakni yang
berhubungan dengan mekanisme alamiah kompetisi penggunaan tanah atau
mekanisme pasar dan yang berhubungan dengan kelembagaan yang diintroduksi
oleh pemerintah maupun yang berkembang dalam masyarakat. Dalam konteks
kelembagaan, maka aspek hukum pertanahan menjadi bagian yang sangat
strategis untuk dikaji sehingga dapat diformulasikan kebijakan-kebijakan di
bidang pertanahan yang mampu menciptakan struktur penggunaan dan
penguasaan tanah yang secara sosial dan ekonomi lebih dikehendaki.
Pemetaan Sosial
Dalam konteks pemetaan sosial, term sosial dimaksudkan segala sesuatu
yang dipakai sebagai acuan dalam berinteraksi antarmanusia dalam konteks
masyarakat atau komunitas (Rudito dan Famiola 2008). Dengan demikian, term
sosial tersebut mencakup lebih dari seorang individu yang terikat pada satu
kesatuan interaksi (Rudito dan Famiola 2008). Untuk membuat sebuah
pemahaman yang utuh dan dalam perspektif yang sama, pemetaan sosial menurut
Rudito dan Famiola (2008) sebagai usaha untuk menggambarkan,
mendeskripsikan, mengidentifikasi norma-norma, moral, nilai dan aturan yang
digunakan oleh manusia sebagai anggota mansyarakat untuk mengatur hubungan
interaksi yang terjadi di dalamnya.
Selanjutnya, Rudito dan Famiola (2008) menjelaskan bahwa untuk
melakukan pemetaan sosial dapat dilakukan dengan berbagai cara atau metode
penjaringan data atas gejala yang tampak, yaitu bisa dengan cara kuantitatif atau
juga dengan kualitatif. Lebih lanjut Rudito dan Famiola (2008) menyarankan agar
gejala sosial tersebut teridentifikasi dengan gambaran yang jelas lebih baik
menggunakan metode kualitatif yang berisi kualitas dari data yang diperoleh.
Menurut Suharto (2012) pemetaan sosial (social mapping) didefinisikan
sebagai proses penggambaran masyarakat yang sistematik serta melibatkan

15
pengumpulan data dan informasi mengenai masyarakat termasuk di dalamnya
profile dan masalah sosial yang ada pada masyarakat tersebut. Suharto mengutip
Netting, Kettner dan McMurtry (1993), menyatakan bahwa pemetaan sosial dapat
disebut juga sebagai social profiling atau “pembuatan profile suatu masyarakat”.
Twelvetrees (1991) dalam Suharto (2012) berpendapat bahwa Pemetaan sosial
sebagai “the process of assisting ordinary people to improve their own
communities by undertaking collective actions.”
Sebagai sebuah pendekatan, pemetaan sosial sangat dipengaruhi oleh ilmu
penelitian sosial dan geografi. Salah satu bentuk atau hasil akhir pemetaan sosial
biasanya berupa suatu peta wilayah yang sudah diformat sedemikian rupa
sehingga menghasilkan suatu image mengenai pemusatan karakteristik
masyarakat atau masalah sosial, misalnya jumlah orang miskin, rumah kumuh,
anak terlantar, yang ditandai dengan warna tertentu ses