Model Pengendalian Konversi Lahan Sawah Di Dalam Das Citarum

MODEL PENGENDALIAN KONVERSI LAHAN SAWAH
DI DALAM DAS CITARUM

IRMAN FIRMANSYAH

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER
INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Model Pengendalian
Konversi Lahan Sawah Di Dalam DAS Citarum adalah benar karya saya dengan
arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2016

Irman Firmansyah
NIM P062110161

RINGKASAN
IRMAN FIRMANSYAH. Model Pengendalian Konversi Lahan Sawah Di Dalam
DAS Citarum. Dibimbing oleh WIDIATMAKA, BAMBANG PRAMUDYA dan
SUGENG BUDIHARSONO.
Lahan sawah merupakan penghasil bahan makanan pokok beras bagi
masyarakat Indonesia. Luasan lahan sawah terus berkurang, baik karena tekanan
penggunaan lahan non pertanian maupun oleh tekanan kebutuhan dasar ekonomi
petani. Selain sebagai penghasil pangan pokok, lahan sawah juga memiliki
multifungsi manfaat seperti menjaga stabilitas fungsi hidrologis Daerah Aliran
Sungai (DAS), memperlambat aliran permukaan penyebab banjir, menurunkan
erosi, ketahanan pangan, penyediaan unsur hara, perbaikan iklim, menjadi habitat
flora dan fauna, menyerap tenaga kerja, memberikan keunikan dan daya tarik
pedesaan serta mempertahankan nilai-nilai budaya pedesaan.
Pulau Jawa memiliki lahan sawah yang paling luas, yaitu 3.231.377 ha atau
39,83 % dari seluruh luas lahan sawah di Indonesia yang seluas 8.112.103 ha.
Jawa Barat memiliki luas ketiga (11,40 % atau seluas 925.042 ha) setelah Jawa
Timur dan Jawa Tengah. Diantara berbagai provinsi, Jawa Barat berkontribusi

terbesar terhadap produksi beras, yaitu 16,95 % produksi beras nasional.
Kontribusi yang tinggi terhadap produksi nasional tersebut saat ini mulai terancam
karena Jawa Barat memiliki alih fungsi lahan sawah tertinggi, rata-rata sebesar
4.994,7 ha per tahun. Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum yang merupakan salah
satu sentra produksi di Jawa Barat juga mengalami tekanan terhadap penggunaan
lahan sawah. Pada tahun 2000 luas sawah di DAS ini adalah 161.028,89 ha, telah
berkurang menjadi 145.903,98 ha pada tahun 2012. Selain pengaruh terhadap
penyediaan beras, dalam konteks daerah aliran sungai, fenomena ini juga akan
berpengaruh pada supplai air yang akan menurun.
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan utama merancang model
pengendalian konversi lahan sawah di DAS Citarum. Metode yang digunakan
adalah analisis multidimensional scaling (MDS) untuk melihat status
keberlanjutan lahan sawah, analisis spasial dinamik untuk memvisualisasikan
prediksi penggunaan lahan pada beberapa tahun mendatang analisis desain
kebijakan menggunakan Analytical Hierarchy Process (AHP) untuk melihat
prioritas alternatif kebijakan dan analisis Interpretative Structural Modelling
(ISM) untuk menstrukturkan kendala bagi pengendalian konversi lahan sawah.
Hasil analisis MDS menunjukkan bahwa nilai keberlanjutan lahan sawah di
lokasi penelitian masuk pada kategori cukup berkelanjutan dengan nilai
keberlanjutan sebesar 61,61. Intervensi kebijakan prioritas akan dapat

meningkatkan status keberlanjutan menjadi 71,73. Faktor pengungkit utama
keberlanjutan adalah penyuluhan pertanian, bantuan pemerintah, pemanfaatan
limbah, penyediaan industri pengolah hasil dan penegakan hukum.
Hasil simulasi sistem dinamik menunjukkan bahwa laju konversi lahan
sawah masih akan tetap tinggi jika tidak ada kebijakan khusus dalam
perlindungannya. Pada skenario optimis, lahan sawah akan berkurang sebanyak
29.047,61 ha dari tahun 2009 sampai tahun 2030. Pada skenario moderat,
pengurangannya adalah 30.751,03 ha dari tahun 2009 sampai tahun 2030.

Melihat kondisi tersebut, maka lahan sawah perlu secara khusus dilindungi atau
dimiliki oleh pemerintah.
Berdasarkan hasil analisis dinamika spasial, lahan sawah di wilayah
penelitian yang berpotensi terkonversi berada di Kabupaten Karawang dan
Kabupaten Bandung. Kabupaten Karawang yang dilalui jalan utama pantai utara
Pulau Jawa dan Kabupaten Bandung yang merupakan jalur wisata menjadi
penyebab. Berdasarkan hasil analisis dinamika spasial tersebut, lahan sawah di
lokasi penelitian mengalami penurunan sebesar 38.330,61 ha pada tahun 2030.
Sebaliknya, luas permukiman meningkat menjadi 95.035,69 ha atau mengalami
peningkatan sebesar 40.465,70 ha dari tahun 2009 sampai tahun 2030.
Alternatif strategi kebijakan utama yang dihasilkan dari penelitian ini adalah

pembelian lahan sawah oleh pemerintah dan penerapan land banking system atau
zonasi lahan sawah milik pemerintah berbasis pemberdayaan masyarakat. Lahan
Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B) diarahkan untuk dibeli pemerintah
secara bertahap, agar perlindungan dapat lebih optimal. Kendala dalam penerapan
kebijakan LP2B pemerintah berbasis masyarakat adalah adanya rencana
pemanfaatan lahan untuk kepentingan non-pertanian oleh pemerintah, kebutuhan
pemenuhan ekonomi petani, penyusutan kepemilikan dan fragmentasi lahan
karena sistem pewarisan, persepsi bahwa usaha pertanian kurang menjanjikan
secara ekonomi, lemahnya dukungan pemerintah dalam orientasi jangka panjang,
kurangnya pemahaman petani tentang kawasan LP2B, dan belum terbentuknya
rasa memiliki lahan sawah. Pengendalian konversi lahan sawah ini mendesak
dilakukan untuk menjaga kedaulatan pangan.
Kata kunci : Sawah, Konversi, Keberlanjutan, Model, Sistem Dinamik, Spasial.

SUMMARY
IRMAN FIRMANSYAH. Control Model of Rice Field Conversion in Citarum
Watershed. Supervised by WIDIATMAKA, BAMBANG PRAMUDYA and
SUGENG BUDIHARSONO.
Rice fields are the producers of staple food – rice, for Indonesian. The width
of rice fields has been decreasing continuously, because the pressure of nonagriculture land usage or the pressure of the farmers’ economy basic need. Other

than as a producer of staple food, rice fields have multifunction benefits, like
maintaining the stability of the hydrological functions Watershed (DAS), slow the
rate of flow runoff causing flooding, decrease the erosion, food security, provision
of nutrients, improvement of the climate, the habitat of flora and fauna, provide
employment, providing a uniqueness and maintain the value -the value of rural
culture.
Java Island had the widest field for paddy, i.e. 3.231.377 ha or 39,83 % as
width as of the whole size of rice fields in Indonesia, which is 8.112.103 ha. West
Java is in the third area width (11,40 % or as width as 925.042 ha) after East Java
and Central Java. Among the various provinces, West Java contributed the most to
rice production result, namely 16,95 % of the national rice production. On the
other hand, from the perspective of rice field extention, West Java has the highest
conversion of rice field with the average of 4.994,7 ha per year. Citarum
watershed one of the production center in West Java which has the pressure. In
2000, width in this watershed is 161.028,89 ha, turned into 145.903,98 ha in 2012.
This can also affect the water supply as the factor needed by the rice field.
The main purpose of this research was to design a control model of rice
field converstion in Citarum watershed. The method used was multidimensional
scaling analysis to see the status of sustainability rice fields, a dynamic spatial
approah visualized prediction of land use in the future, a policy analysis design by

using Analytical Hierarchy Process (AHP) to prioritize the alternative policy and
Interpretative Structural Modelling (ISM) analysis to organize the problems and
obstacles in controlling the rice field conversion.
The result of MDS analysis showed that the sustainability value of rice
fields in the location of the research belonged to the sustainability enough
category with the value of sustainability 61,61 ha. Intervention of the priority
policy, the status became 71,73. Main sustainability factors are farmer counseling,
government aid, the usage of waste, industry provision of result processing and
law enforcement.
Sistem Dinamik simulation result, show that the rate of paddy conversion is
still high, if there is no special policy to protect it. The optimistic scenario showed
that the rice fields decreased into 29.047,61 ha from 2009 to 2030. The moderate
scenario became as much as 30.751,03 ha from 2009 to 2030. With this condition,
the rice fields must be protected specifically, or they must be owned by the
governement.
Based on dynamical spatial analysis, rice fields in study area which are
potential to converse in Karawang and Bandung Regencies. This is because
Karawang Regency is the northern coast of the island of Java road in which many
types of land transportation pass the road, while Bandung Regency is a travel


lane. The width change based on the dynamic spatial result of paddy field in the
research location will become 107.573,37 ha in 2030, or it will turn into 38.330,61
ha. Otherwise, the settlement areas that will become 95.035,69 ha, or will go up
40.465,70 ha from 2009 to 2030.
The main alternative policy strategy is to purchase the paddy fields which
must be performed by the government; furthermore, land banking system or
paddy field zoning owned by the government based on the community
empowerment must be applied. Sustainable food agricultural land (LP2B) must
be directed and bought by the governemnt so that the existence can be protected
optimally. The obstacles in applying the government LP2B policy based on the
society factor, namely, the non agricultural land usage to fulfill the government’s
need, fulfillment of economic needs of farmers, onwership depreciation due to the
heir system (land fragmentation), perception the agriculture business is less
promising economically, the weak support from the government in the long term
orientation, the lack of knowledge about LP2B areas, and no sense of paddy field
belonging. The conversion control of paddy field is urgently needed for food
sovereignty.
Keywords: rice fields, conversion, sustainability, model, dynamic system, spatial.

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

MODEL PENGENDALIAN KONVERSI LAHAN SAWAH
DI DALAM DAS CITARUM

IRMAN FIRMANSYAH

Disertasi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor
pada
Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan


SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tertutup :
1. Prof. Dr. Ir. Kukuh Murtilaksono, MS
2. Dr. Dra. Khursatul Munibah, M.Sc
Penguji Luar Komisi pada Sidang Promosi :
1. Prof. Dr. Ir. Kukuh Murtilaksono, MS
2. Prof. Dr. Ir. I Wayan Rusastra, MS

PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Subhanahu wa ta’ala atas
segala Rahmat dan Karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyusun disertasi yang
berjudul “Model Pengendalian Konversi Lahan Sawah di dalam DAS Citarum”.
Penelitian disertasi ini membahas serangkaian penelitian yang terdiri dari
beberapa topik yaitu : (1) Menganalisis status keberlanjutan lahan sawah di DAS
Citarum, (2) Membangun model pengendalian konversi lahan sawah, (3)
Menganalisis kecenderungan perubahan penggunaan lahan di DAS Citarum, (4)

Menyusun arahan kebijakan dan strategi pengendalian konversi lahan sawah.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr. Ir. Widiatmaka, DEA, Prof. Dr. Ir.
Bambang Pramudya, M.Eng dan Dr. Ir. Sugeng Budiharsono selaku pembimbing
yang telah mengarahkan penelitian disertasi ini sehingga lebih sistematik dan
terarah. Terima kasih juga kepada penguji disertasi, Prof. Dr. Ir. Kukuh
Murtilaksono, MS, Dr. Dra. Khursatul Munibah, M.Sc dan Prof. Dr. Ir. I Wayan
Rusastra, MS yang telah memperkaya dalam memberi masukan penyempurnaan
hasil kajian Disertasi ini. Disamping itu, penulis berterima kasih kepada segenap
staff PT. Triwala Mitra Bestari, yang telah membantu dalam kelancaran studi.
Ungkapan terima kasih sebesar-besarnya juga disampaikan kepada Ayah, Ibu,
Istri dan Anak-anakku serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih
sayangnya.
Bogor, Agustus 2016

Irman Firmansyah

DAFTAR ISI
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR

DAFTAR LAMPIRAN
1. PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Kerangka Pemikiran
Kebaruan

xiii
xiv
xv
xvi
1
5
6
6
7
8

2. TINJAUAN PUSTAKA
Daerah Aliran Sungai (DAS)
Lahan Sawah
Konversi Lahan Sawah
Mutidimensional Scalling (MDS)
Sistem Dinamik
Analisis Hirarki Proses (AHP)
Interpretative Structural Modelling (ISM)
Hasil Penelitian Terdahulu

10
11
13
14
15
16
17
18

3. METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian
Rancangan Penelitian
Jenis dan Sumber Data
Teknik Pengambilan Sampel

22
23
25
26

4. STATUS KEBERLANJUTAN LAHAN SAWAH DI DAS CITARUM
Pendahuluan
Bahan dan Metode
Hasil dan Pembahasan
Simpulan

28
31
36
52

5. MODEL DINAMIK PENGENDALIAN KONVERSI LAHAN SAWAH
Pendahuluan
Bahan dan Metode
Hasil dan Pembahasan
Simpulan

53
55
58
87

6. DINAMIKA KERUANGAN (SPATIAL DYNAMIC) KONVERSI LAHAN
SAWAH
Pendahuluan
88
Bahan dan Metode
89
Hasil dan Pembahasan
94
Simpulan
104

7. ALTERNATIF STRATEGI KEBIJAKAN DAN IMPLEMENTASINYA
Pendahuluan
Bahan dan Metode
Hasil dan Pembahasan
Simpulan
8. ARAHAN STRATEGI KEBIJAKAN DALAM MINIMALISASI
KONVERSI LAHAN SAWAH
Pengembangan Model Kebijakan Berdasarkan Faktor Penting
Strategi Pengendalian Konversi Lahan Sawah dengan LP2B
Berbasis Pemberdayaan Masyarakat
9. SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
DAFTARPUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP

105
107
115
123
LAJU
124
127

136
137
138

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34

Penelitian yang berhubungan dengan konversi lahan sawah
Matrik rancangan penelitian
Jenis dan sumber data yang digunakan dalam penelitian
Jumlah responden dalam penelitian
Kategori status keberlanjutan fungsi-fungsi sumberdaya
lahan sawah berdasarkan nilai indeks
Indeks keberlanjutan lahan sawah dan validasi
Faktor pengungkit dimensi
Perbandingan nilai status antar intervensi
Sensitivitas kinerja antar skenario
Strategi kebijakan peningkatan keberlanjutan lahan sawah
Matriks kebutuhan sistem
Formulasi dalam sub model sosial
Validasi kinerja sub model sosial
Formulasi dalam sub model ekonomi
Validasi kinerja sub model ekonomi
Nilai ekonomi multifungsi lahan pertanian di DAS Citarum
Berdasarkan metode RCM
Formulasi dalam sub model lingkungan
Validasi konerja sub model lingkungan
Formulasi dalam sub model penggunaan lahan
Validasi kinerja sub model penggunaan lahan
Skenario kondisi
Sensitivitas variabel dalam skenario
Ilustrasi matriks transisi area/probabilitas
Matriks perubahan penggunaan lahan di empat lokasi penelitian
Periode tahun 2000-2012
Validasi penggunaan lahan tahun 2012 dan Proyeksi Tahun 2030
Validasi spatial dynamic
Rasio land rent
Sensivitas perubahan Penggunaan Lahan
Penilaian skor AHP untuk prioritas strategi
Kendala dalam pencapaian tujuan
Kendala dalam penerapan alternatif pengelolaan
di lokasi penelitian
Faktor penting dalam pengendalian konversi lahan sawah
Nilai indikator dalam pengendalian konversi lahan sawah
Strategi kebijakan pengendalian konversi lahan sawah Di dalam
DAS Citarum

18
23
26
27
35
48
48
50
50
51
58
65
65
70
71
72
76
77
80
80
82
86
93
97
100
100
102
103
109
119
121
124
125
132

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
36
37
38
39
40
41
42
43
44
45

Kerangka pemikiran penelitian
Peta wilayah penelitian
Keterkaitan antar analisis
Hubungan antar dimensi keberlanjutan
Tahapan analisis multidimensional scalling
Hubungan dimensi dalam diagram layang
Status keberlanjutan dimensi sosial
Faktor-faktor pada dimensi sosial
Status keberlanjutan dimensi ekonomi
Faktor-faktor pada dimensi ekonomi
Status keberlajutan dimensi lingkungan
Faktor-faktor pada dimensi lingkungan
Status keberlanjutan dimensi infrastruktur dan teknologi
Faktor-faktor pada dimensi infrastruktur dan teknologi
Status keberlanjutan dimensi hukum dan kelembagaan
Faktor-faktor pada dimensi hukum dan kelembagaan
Indeks dimensi keberlanjutan lahan sawah di DAS Citarum
Nilai status dimensi antar intervensi skenario
Tahapan sistem dinamik
Variabel-variabel yang mempengaruhi kinerja sistem
Diagram lingkar sebab-akibat (Causal loop)
Stock flow diagram sub model sosial
Pertumbuhan jumlah penduduk
perkembangan jumlah petani
Jumlah penduduk bekerja dan peningkatan lapangan kerja
Perkembangan persentase pengangguran
Stock flow diagram sub model ekonomi
Simulasi kebutuhan beras dan padi
Simulasi pendapatan petani
Pertumbuhan kontribusi PDRB pertanian pangan
Stock flow diagram sub model lingkungan
Perbandingan nilai jasa lingkungan
Nilai jasa lingkungan dan ekonomi produk
Nilai ekonomi lahan sawah
Total kerugian nilai lingkungan
Simulasi penggunaan lahan
Stock flow diagram sub model lahan
Perbandingan luas lahan sawah antar skenario
Simulasi jumlah petani
Simulasi pendapatan petani
Simulasi nilai ekonomi manfaat limbah
Simulasi kebutuhan beras dan produksi beras
Tahapan analisis spasial dinamik
Diagram alir simulasi model prediksi penggunaan lahan 2030
Perubahan penggunaan lahan di empat lokasi penelitian tahun 2000

9
22
24
29
32
35
36
37
38
39
41
42
43
43
45
45
47
49
56
60
61
62
63
63
64
64
67
68
69
69
73
74
74
75
75
78
79
83
84
84
85
85
90
95
96

46
47
48
49
50
51
52
53
54
55
56
57
58
59
60
61
62
63

2003, 2006, 2009, 2012.
Perubahan penggunaan lahan
Validasi penggunaan lahan di empat lokasi penelitian Tahun 2012
Dan proyeksi Tahun 2030
Tahapan analisis hirarki proses untuk prioritas strategi
Tahapan analisis ISM dalam strukturisasi kendala penerapan strategi
Diagram alir deskriptif teknik ISM pada analisis sistem pengendalian
Konversi lahan sawah di lokasi penelitian
Tingkat pengaruh dan ketergantungan antar faktor
Diagram hirarki AHP dalam desain kebijakan pengendalian
Konversi lahan sawah di lokasi penelitian
Nilai prioritas stakeholders (aktor) di lokasi penelitian
Nilai prioritas faktor di lokasi penelitian
Jumlah petani gurem dan non gurem
Nilai prioritas tujuan di lokasi penelitian
Nilai prioritas alternatif kebijakan di lokasi penelitian
Matriks driver power-dependence untuk elemen permasalahan
Dan kendala dalam pencapaian tujuan penerapan strategi
Diagram model ISM dari elemen kendala tujuan di lokasi penelitian
Matriks driver power-dependence elemen kendala dalam alternatif
Strategi yang dipilih di lokasi penelitian
Diagram model ISM dari elemen kendala dalam alternatif strategi
Model pengendalian konversi lahan sawah
Pohon industri padi dalam penerapan blue economy

98
99
106
111
112
113
114
115
116
116
117
118
119
120
122
122
126
129

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4

Kuisioner Multidimensional Scaling
Glossary
Tampilan Software
Peta-peta

153
161
167
168

1. PENDAHULUAN
Latar Belakang
Lahan sawah merupakan penghasil bahan pangan pokok beras bagi
masyarakat Indonesia, sehingga harus dipelihara dan dimanfaatkan sebesarbesarnya untuk kesejahteraan masyarakat. Selain berfungsi sebagai penghasil
gabah, lahan sawah mempunyai fungsi yang lebih luas, diantaranya menjaga
stabilitas fungsi hidrologis Daerah Aliran Sungai (DAS), menurunkan erosi,
ketahanan pangan, penyediaan unsur hara, perbaikan iklim, menjadi habitat flora
dan fauna, menyerap tenaga kerja, memberikan keunikan dan daya tarik pedesaan
serta mempertahankan nilai-nilai budaya pedesaan (Suradisastra et al. 2010).
Permasalahan pangan telah menjadi salah satu fokus bagi dunia, termasuk
Indonesia. Salah satu tujuan Millenium Development Goals (MDGs) ialah
berupaya mengurangi jumlah orang kelaparan di dunia. Dalam upaya mengatasi
kelaparan, World Food Summit (WFS) 1996 mengeluarkan berbagai pandangan
dan rencana kerja yang harus di implementasikan seluruh negara-negara yang
menjadi anggotanya. Diantara program tersebut adalah dikeluarkannya resolusi
nomor 176 tahun 1996 yang isinya menjadikan hari kelahiran FAO pada tanggal
16 Oktober sebagai “Hari Pangan Sedunia”, dan dijalankannya suatu konsep
Ketahanan Pangan (Food Security) sebagai suatu upaya untuk mengatasi bencana
kelaparan yang menimpa dunia. Hal inipun masuk menjadi Visi Kedaulatan
Pangan Indonesia 2014-2024 dimana salah satunya adalah meningkatnya produksi
pangan nasional untuk mewujudkan kedaulatan pangan terutama untuk
mengurangi ketergantungan impor (Serikat Petani Indonesia 2014).
Cara pandang terhadap ketahanan pangan tentu berimplikasi pada
pembentukan kebijakan yang terkait dengan pertanian dan penyediaan pangan.
Dengan cara pandang seperti di atas, kebijakan pertanian pangan kemudian lebih
banyak diarahkan pada kegiatan produksi pangan secara massal dan tersedianya
akses orang per orang, keluarga per keluarga, dan masyarakat secara keseluruhan
atas produk pangan yang dikembangkan melalui perdagangan (pangan didistribusi
melalui mekanisme perdagangan). Mekanisme perdagangan menjadi cara utama
untuk dapat mengakses pangan yang layak (Bernstein dan Bachriadi 2014).
Disisi lain diperlukan suatu kedaulatan pangan, berdasarkan UU No. 18
Tahun 2012 yaitu keadaan dimana negara secara mandiri menentukan kebijakan
pangan yang menjamin hak atas pangan bagi rakyat dan yang memberikan hak
bagi masyarakat untuk menentukan sistem pangan yang sesuai dengan potensi
sumberdaya lokal. Selain sebagai hak asasi manusia, pangan juga memiliki peran
strategis bagi suatu negara karena dapat mempengaruhi kondisi sosial, ekonomi
dan politik negara tersebut (Ika 2014). Pemerintah juga perlu memperkuat
ketahanan pangan agar tercapai kondisi terpenuhinya pangan bagi negara sampai
dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik
jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta
tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk
dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan (UU No. 18 Tahun
2012).
Kedaulatan pangan dan ketahanan pangan menjadi prioritas dalam sektor
pertanian dan menjadi isu utama dalam bidang pertanian (Bernstein dan Bachriadi

2

2014). Upaya menjaga kedaulatan pangan tersebut tidak terlepas dari upaya
menjaga keberadaan lahan sawah. Selama masih ada ketimpangan penguasaan
tanah, maka tidak pernah akan ada kedaulatan pangan–sebagaimana dinyatakan
oleh SPI (Serikat Petani Indonesia) dan La Via Campesina (Gerakan Petani
Internasional) serta para penyokong kedaulatan pangan lainnya. Reforma agraria
adalah prasyarat penting bagi kedaulatan pangan (Wittman et al. 2010). Menurut
Borras dan Franco (2012) hak dan akses yang efektif untuk menggunakan dan
menguasai tanah serta kemaslahatan yang dapat diperoleh oleh masyarakat dari
penguasaan dan penggunaan tanah tersebut adalah pilar penting bagi kedaulatan
pangan.
Kekurangan pangan berpengaruh pada gizi buruk, kesehatan, dan sekaligus
menurunkan kualitas sumberdaya manusia. Oleh karena itu, pemerintah senantiasa
terus berupaya untuk memiliki serta memelihara ketahanan pangan khususnya
beras. Namun seiring dengan usaha tersebut di dalam operasionalnya, masalah
vital yang dihadapi saat ini adalah adanya alih fungsi lahan sawah (Santosa et al.
2011). Pada saat ini dan dalam jangka panjang kedepannya, lahan sawah semakin
mengalami tekanan dari berbagai faktor seperti pertambahan penduduk, dan
tekanan kebutuhan hidup petani yang menyebabkan lahan sawah diperjual
belikan. Nilai land rent lahan sawah yang lebih rendah dan kontrol tata ruang
yang belum optimal turut meningkatkan tekanan.
Angka konversi lahan sawah di Indonesia relatif besar. Sebagai gambaran
dalam periode antara tahun 1981 sampai tahun 1999 (Irawan 2001), konversi yang
terjadi di Indonesia adalah sekitar 90,417 ha per tahun. Adanya pencetakan
(ekstensifikasi) lahan sawah seluas 178,954 ha per tahun dalam periode tersebut
memang menyebabkan rata-rata neraca lahan sawah masih bertambah sekitar
88,536 ha per tahun, namun diperkirakan angka itu belum cukup mengimbangi
laju pertumbuhan penduduk. Sementara itu, dalam periode antara tahun 1999
sampai tahun 2002, terjadi penurunan lahan baku sawah di Indonesia seluas
423,857 ha (Sutono 2004). Pada tahun 2013 konversi lahan persawahan di DAS
Citarum mencapai 2.600 ha per tahun (Yuwono 2013).
Dibandingkan pulau-pulau lain di Indonesia, Pulau Jawa memiliki lahan
sawah yang paling luas yaitu 39,83 % atau seluas 3.231.377 ha dari seluruh luas
lahan sawah di Indonesia yang seluas 8.112.103 ha (BPS 2015a). Di Pulau Jawa,
Provinsi Jawa Barat memiliki luas sawah ketiga terbesar yaitu 11,40 % (atau
seluas 925.042 ha) setelah Jawa Timur (13,60 % atau seluas 1.102.863 ha) dan
Jawa Tengah (11,74 % atau seluas 952.525 ha). Berdasarkan kontribusi
produksinya, Provinsi Jawa Barat adalah yang terbesar yaitu sebanyak 12.083.162
ton (16,95 %), disusul oleh Jawa Timur sebanyak 12.049.342 ton (16,90 %) dan
Jawa Tengah sebanyak 10.344.816 ton (14,51 %), sehingga total kontribusi padi
nasional dari Pulau Jawa sebesar 52,60 % termasuk Banten, D.I Yogyakarta dan
DKI Jakarta. Disisi lain dilihat dari perkembangan luas lahan sawah, Jawa Barat
memiliki alih fungsi lahan sawah tertinggi dengan rata-rata pengurangan sebesar
4.994,7 ha per tahun. Alih fungsi sawah banyak terjadi di wilayah pinggiran kota,
khususnya di sepanjang pantai utara Pulau Jawa. Hal ini terjadi karena
perkembangan kota dan sawah existing berada pada wilayah tersebut (Santosa et
al. 2014).
DAS Citarum memiliki luas Satuan Wilayah Pengelolaan DAS seluas
1.448.654,50 ha, dengan panjang 269 km (BPDAS Citarum-Ciliwung 2015).

3

DAS Citarum memiliki peranan yang strategis karena merupakan DAS terbesar di
Jawa Barat dan paling dieksploitasi di Indonesia. DAS Citarum memiliki banyak
fungsi pemanfaatan (Kurniasih 2002) antara lain pemanfaatan untuk pertanian,
sumber air baku air minum, sumber air baku untuk industri, sumber air untuk
perikanan, pembangkit listrik tenaga air, badan penerima limbah cair. Pertanian di
DAS Citarum meliputi tanaman pangan, hortikultur dan perkebunan. Dilihat dari
sisi ini, sektor pertanian merupakan pengguna air terbesar (89%) dari seluruh air
yang dikeluarkan dari waduk Jatiluhur maupun suplai sumber air setempat.
Sebagai contoh Kabupaten Karawang yang merupakan bagian hilir DAS Citarum
yang memiliki potensi produksi padi sebanyak 1.122.603,96 ton (BPS 2015b).
Terjadinya perubahan tutupan lahan menjadi terbangun khususnya di daerah hulu
akan berpengaruh juga pada suplai air sebagai faktor yang dibutuhkan pada lahan
sawah dibagian hilir. Menurut Lenggana (2014) dalam penelitiannya di Desa
Cibeusi, setiap penambahan lahan terbangun maka berbanding terbalik dengan
cadangan air tanah, demikian pula hasil penelitian Marwah (2014) perubahan
penggunaan lahan hutan menjadi terbangun telah mempengaruhi penurunan debit
maksimum dan minimum sehingga ketersediaan air khususnya distribusi bulanan
yang tidak merata, yakni pada musim hujan akan terjadi debit berlebihan,
sedangkan pada musim kemarau debit aliran sungai minimum rendah sehingga
defisit air.
Tingginya pemanfaatan lahan telah menyebabkan tekanan terhadap lahan
sawah yang semakin tinggi di DAS Citarum. Sebagai gambaran di Kabupaten
Karawang, Purwakarta, Bandung Barat dan Bandung, luas lahan sawah semakin
berkurang dari tahun ketahun. Luas lahan sawah di keempat kabupaten tersebut
telah berkurang dari 161.028,89 ha pada tahun 2000 menjadi 145.903,98 ha pada
tahun 2012. Lahan sawah tersebut umumnya dikonversikan ke penggunaan lahan
di luar pertanian. Sementara itu, perluasan lahan sawah melalui kegiatan
percetakan sawah sangat terbatas karena keterbatasan anggaran pembangunan,
disamping sumberdaya lahannya yang juga semakin terbatas. Menurut penelitian
(Maria dan Lestiana 2014), perubahan lahan aktual pada kawasan sub DAS
Cikapundung, DAS Citarum, didominasi oleh pergeseran kawasan perkebunan
menjadi ladang, kawasan ladang menjadi permukiman dan sawah yang berubah
menjadi lahan terbangun. Perubahan terbesar terjadi pada kawasan perkebunan
yang berubah menjadi ladang sedangkan perubahan terkecil terjadi pada sawah
yang berubah menjadi lahan terbangun. Alih fungsi lahan sawah di DAS Citarum
ini merupakan ancaman bagi stabilitas ketahanan pangan pada masa mendatang
karena DAS Citarum selama ini merupakan sentra produksi beras.
Apabila tidak segera dilakukan antisipasi, dikhawatirkan pada suatu saat
DAS Citarum selain cadangan air juga akan kehilangan fungsinya sebagai sentra
produksi padi nasional. Maria dan Lestiana (2014) menambahkan wilayah
tersebut juga akan menurunkan nilai konservasi kawasan secara keseluruhan.
Berbagai peraturan memang telah dikeluarkan oleh Pemerintah untuk membatasi
konversi lahan sawah. Pengintegrasian UU 41 tahun 2009 beserta peraturan
turunannya kedalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah dan Jangka
Pendek Provinsi, kabupaten dan kota belum sepenuhnya dilakukan. Implementasi
PP No. 1 Tahun 2011 tentang Penetapan dan Alih Fungsi Lahan Pertanian Pangan
Berkelanjutan masih belum didasarkan pada kajian secara biofisik, sosial,
ekonomi infrastruktur dan kelembagaan. PP 12 tahun 2012 tentang Insentif

4

Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan belum mengakomodir
kebutuhan dasar petani untuk tidak menjual lahan sawahnya. Disisi lain, pada saat
lahan sawah dijual dengan tetap berfungsi sebagai lahan sawah, tetapi pengelola
baru belum benar-benar menguasai pengelolaan lahan sawah tersebut, sehingga
lahan sawah akan tetap terkonversi karena tidak produktif.
Banyak potensi penyebab konversi lahan sawah. Beberapa penyebab
menurut Irawan et al. (2001) antara lain: (1) Kemudahan untuk merubah kondisi
fisik lahan sawah dan siap pakai (Barokah, 2012); (2) Peraturan yang ditujukan
untuk mengendalikan konversi lahan sawah baru bersifat himbauan dan tidak
dilengkapi sanksi yang jelas; dan (3) Izin konversi merupakan keputusan kolektif,
sehingga sulit ditelusuri pihak mana yang bertanggung jawab atas pemberian izin
konversi lahan sawah. Beberapa faktor lain yang menentukan konversi lahan
sawah antara lain: (1) Rendahnya nilai persewaan (land rent) lahan sawah yang
berada di sekitar pusat pembangunan dibandingkan dengan nilai persewaan untuk
pemukimam dan industri; (2) Lemahnya fungsi kontrol dan pemberlakuan
peraturan oleh lembaga terkait; (3) Prioritas tujuan jangka pendek yaitu
memperbesar Pendapatan Asli Daerah (PAD) tanpa mempertimbangkan
kelestarian sumberdaya alam pada era otonomi ini. Menurut Nurliani dan Rosada
(2015) penyebab tersebut antara lain: (1) Rendahnya produktifitas padi; (2)
Kualitas hasil padi yang kurang baik; (3) Tercemarnya air pada lahan sawah serta
(4) Nilai land rent penggunaan lahan lain yang lebih tinggi.
Faktor-faktor yang mempengaruhi konversi lahan sawah tidak hanya berasal
dari sisi internal (dari dalam kawasan sendiri) termasuk dari petani, tetapi juga
tergantung dari perubahan-perubahan yang terjadi di luar kawasan itu (akibat
interaksi dengan kawasan dan atau pusat pertumbuhan di sekitarnya). Sejalan
dengan penelitian Barokah et al. (2012) menyatakan bahwa faktor eksternal yang
mendorong percepatan proses konversi yaitu gencarnya pembangunan sektor non
pertanian untuk memperoleh lahan yang siap pakai, terutama ditinjau dari
karakteristik biofisik dan aksesibilitas, yaitu (1) Program Pemerintah (Proyek
Jalan Lingkar/Ring Road) dan (2) Pihak Swasta/Investor (industri). Dalam hal ini
dibutuhkan cara untuk membantu memahami proses terjadinya konversi lahan
sawah agar pengelola mampu mengantisipasi terjadinya perubahan. Kebutuhan
sarana dan prasarana ekonomi, sosial dan lingkungan serta adanya perubahan di
luar wilayahnya secara langsung atau tidak langsung turut mempengaruhi
perkembangan luas lahan sawah yang ada.
Mempertahankan sistem persawahan bukanlah hal yang mudah dilakukan
mengingat adanya benturan kepentingan, antara individu yang ingin
memanfaatkan sawah untuk tujuan yang dianggap mempunyai nilai ekonomi yang
lebih tinggi dengan kepentingan masyarakat atau bangsa untuk mempertahankan
keberlanjutan eksistensi sistem persawahan yang ada (Pasandaran 2006). Alih
fungsi lahan sawah memang terus berlangsung. Ironi memang disatu pihak negara
harus memiliki ketahanan pangan bahkan kedaulan pangan, namun disisi lain alih
fungsi lahan lahan sawah terus berlangsung. Situasi ini jelas dapat mengancam
ketahanan pangan sekaligus kedaulatan pangan beras. Oleh karena itu memang
sangat perlu adanya regulasi untuk melindungi lahan sawah sehingga ada lahan
sawah abadi untuk menghasilkan beras secara berkelanjutan (Santosa et al. 2011).
Melihat kompleksitas permasalahan tersebut, upaya mempertahankan lahan
sawah tampaknya tidak sederhana. Banyaknya pihak yang terlibat dalam

5

pelaksanaan konversi lahan sawah, sehingga perlu dilakukan penelitian secara
menyeluruh. Pendekatan sistem dinamik, yang dapat melihat kecenderungan
perubahan baik dari segi keberadaan lahan sawah, kesejahteraan petani, nilai
lingkungan dan dampak yang kemungkinan terjadi dimasa yang akan datang,
tampaknya dapat menjawab tantangan itu. Dengan pendekatan tersebut,
diharapkan desain kebijakan akan lebih terarah dan dapat diimplementasikan.
Semua itu dalam rangka meningkatkan nilai keberlanjutan lahan sawah.
Perumusan Masalah
Masalah utama dalam upaya mempertahankan dan mengembangkan lahan
pertanian adalah penurunan kualitas lahan dan air. Lahan dan air merupakan
sumber daya pertanian yang memiliki peran sentral dalam kehidupan masyarakat
petani di Indonesia, bahkan bagi kelompok masyarakat tertentu, lahan dan air juga
memiliki makna religius. Akan tetapi pembangunan infrastruktur dan
pertambahan jumlah penduduk yang pesat menyebabkan peningkatan alih guna
(konversi) lahan pertanian, menjadi permukiman dan peruntukan lain. Dalam
proses ini, lahan sawah merupakan lahan yang paling banyak mengalami
konversi, terutama di sekitar pusat pembangunan perkotaan dan permukiman.
Perubahan fungsi lahan tersebut bersifat irreversible, yaitu tidak dapat kembali ke
kondisi semula. Perubahan tersebut secara dramatis menyebabkan penurunan
kualitas lingkungan dan mengancam ketahanan dan kedaulatan pangan nasional
(Suradisastra et al. 2010).
Demikian juga permasalahan utama lahan sawah di Indonesia, khususnya di
DAS Citarum adalah tingginya laju konversi. Konversi lahan sawah di DAS
Citarum pada tahun 2012 mencapai 2.600 ha per tahun, sebagian besar terkonversi
menjadi permukiman (Yuwono 2013). Jawa Barat merupakan salah satu provinsi
dengan laju alih fungsi lahan sawah tertinggi, rata-rata mencapai 4.994,7 ha per
tahun (BPS 2015b). Peraturan dan perundangan untuk mencegah konversi lahan
sawah ke penggunaan lain kurang implementatif dan memiliki banyak kelemahan
dan belum mengakomodasi berbagai kepentingan. Hal ini mengakibatkan lahan
sawah kurang berkelanjutan.
Lahan pertanian (agriculture) terbentuk melalui proses yang lama (Santosa
et al. 2011) karena merupakan bagian dari sistem budaya. Keberlanjutan fungsifungsi sumberdaya lahan sawah di DAS Citarum dewasa ini semakin menurun,
sejalan dengan makin meningkatnya konversi ke penggunaan non pertanian.
Pengendalian konversi lahan sawah sudah ada, baik dari aspek hukum maupun
aspek teknis, namun aturan tersebut berbenturan dengan pertimbangan ekonomi
pemilik/petani, khususnya petani yang penguasaan dan pemilikannya di bawah
skala ekonomi. Banyak faktor penyebab konversi baik dari sisi karakteristik
petani sebagai faktor internal maupun dari tekanan lingkungan sebagai faktor
eksternal. Pengendalian lahan sawah perlu diimplementasikan dengan baik agar
laju konversi dapat diperlambat dan diminimalkan.
Lahan sawah memiliki nilai jasa lingkungan, sehingga apabila lahan
terkonversi tentu nilai tersebut akan hilang. Nilai ekonomi yang diperoleh pasca
konversi bisa lebih kecil dibandingkan dengan nilai manfaat jangka panjangnya.
Untuk mengetahui nilai pada masa yang akan datang, dibutuhkan pengetahuan

6

tentang keterkaitan sistem dari nilai jasa lingkungan sehingga nilai manfaat jangka
panjang dapat diperkirakan (Shivakoti dan Bastakoti 2010; Santosa et al. 2011).
Konversi lahan sawah tidak dapat dilihat secara parsial, tetapi perlu secara
holistik dari berbagai aspek pembangunan, baik sosial, ekonomi, ekologi dan
penggunaan lahan termasuk aksesibilitas yang mempengaruhi perubahan
penggunaan lahan. Lokasi-lokasi lahan sawah yang potensial terkonversi perlu
diketahui, untuk dapat meminimalisasi laju konversi. Kebijakan pengendalian
konversi telah banyak dilakukan, namun sejauh ini belum optimal karena belum
mempertimbangkan gap antar stakeholder. Desain alternatif strategi kebijakan
perlu dibangun bersama-sama oleh seluruh stakeholder yang terlibat.
Berdasarkan permasalahan di atas maka masalah yang ada dapat
dirumuskan sebagai berikut:
1. Belum diketahuinya status dan kondisi keberlanjutan lahan sawah
2. Belum diketahuinya kondisi lahan sawah dimasa yang akan datang dari aspek
sosial, ekonomi, lingkungan dan perubahan penggunaan lahan
3. Lokasi-lokasi lahan sawah yang kemungkinan besar dikonversi belum
seluruhnya diketahui secara pasti
4. Kebijakan yang diterapkan belum optimal dalam merangkul kebutuhan dasar
petani serta seluruh stakeholder yang terlibat secara langsung.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan utama merancang model pengendalian
konversi lahan sawah di dalam DAS Citarum. Untuk mencapai tujuan utama
tersebut, tujuan khusus penelitian ini adalah:
1. Menganalisis status keberlanjutan lahan sawah di dalam DAS Citarum
2. Membangun model dinamik pengendalian konversi lahan sawah
3. Menganalisis kecenderungan perubahan penggunaan lahan di dalam DAS
Citarum
4. Menyusun arahan strategi kebijakan pengendalian konversi lahan sawah
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada pemerintah,
petani, masyarakat, praktisi bisnis atau pengusaha dan kalangan akademisi selaku
stakeholder yang terlibat dalam memanfaatkan lahan sawah. Secara spesifik
manfaat penelitian adalah:
1. Manfaat ilmiah ilmu lingkungan: ditemukannya model alternatif kebijakan
pengendalian konversi lahan sawah sebagai kebijakan publik yang didasari
metode ilmiah dan dapat dipertanggungjawabkan secara akademik, terutama
pendekatan kesisteman dan model dinamika keruangan (spatial dynamic)
dalam menentukan kebijakan.
2. Manfaat praktis, yaitu: dihasilkannya formulasi kebijakan dari hasil kajian ini,
yang dapat menjadi saran konkrit dan operasional bagi pengambil keputusan
untuk menentukan kebijakan mengenai pengendalian konversi lahan sawah.

7

Kerangka Pemikiran
Upaya pengendalian konversi lahan sawah tidak efektif jika hanya
menggunakan pendekatan kelembagaan berupa penerapan berbagai peraturan.
Namun diperlukan upaya minimalisasi konflik kepentingan antar stakeholder.
Minimalisasi konflik dapat dilakukan baik melalui upaya pertimbangan kebutuhan
ekonomi petani maupun kepentingan ekonomi pembangunan wilayah agar sawah
produktif seminimal mungkin terkorbankan.
Belum terintegrasinya kebijakan mengenai konversi lahan sawah dan
lemahnya penerapan hukum (law enforcement) atas pelanggaran peraturan dan
perundangan yang ada telah menyebabkan laju konversi lahan sawah semakin
tinggi dan cenderung tidak terkendali. Konversi lahan dapat menyebabkan petani
sebagai pemilik maupun penggarap kehilangan sumber pendapatan, sehingga
kesenjangan ekonomi semakin lebar
Pengelolaan terhadap faktor-faktor internal dan eksternal penyebab konversi
lahan sawah sangatlah penting. Faktor internal dapat berupa karakteristik petani,
sedangkan faktor eksternal dapat berupa tekanan dari kegiatan ekonomi
penggunaan lahan lain. Lahan sawah yang mengalami tekanan tidak terlepas dari
nilai land rent yang rendah dibandingkan penggunaan lahan lain.
Dari sisi jasa lingkungan, lahan sawah memiliki nilai jasa lingkungan
(intangible) yang tinggi (Shivakoti dan Bastakoti 2010; Santosa et al. 2011). Jasa
lingkungan tersebut misalnya adalah pencegah erosi dan sedimentasi, estetika,
budaya, maupun pengendali banjir. Lahan sawah perlu dipertahankan dengan
melihat faktor-faktor serta perilaku perubahannya termasuk kemungkinan areal
lahan sawah yang mengalami tekanan dimasa mendatang. Hasil penelitian Agus et
al. (2003) di Sub DAS Citarik dan Kaligarang menunjukkan bahwa alih fungsi
lahan terutama dari hutan dan kebun campuran menjadi tegalan, dan dari berbagai
penggunaan pertanian ke permukiman/perkotaan menurunkan daya sangga air di
Sub DAS Citarik, Jawa Barat dan DAS Kaligarang, Jawa Tengah. Hal ini telah
menyebabkan peningkatan intensitas dan frekuensi banjir di Kedua DAS. Karena
itu, kuantifikasi daya sangga air dan nilai biaya penggantinya di DAS Citarum
perlu perlu dilihat agar kontribusinya terhadap waduk Saguling, Cirata, Jatiluhur,
dan daerah sekitarnya dapat diperkirakan, karena penggunaan air terbesar adalah
sektor pertanian yang mencapai 89% (Kurniasih 2002).
Faktor-faktor yang menentukan keberadaan lahan sawah sangatlah komplek
baik dari segi ekonomi, sosial, ekologi, infrastruktur dan teknologi serta hukum
dan kelembagaan. Rendahnya penerapan teknik-teknik konservasi bukan
disebabkan oleh kurangnya teknologi konservasi, namun lebih disebabkan oleh
hambatan yang lebih besar, yaitu masalah politik, sosial, dan ekonomi. Menurut
Priyono (2011) faktor sosial yang merupakan pendorong alih fungsi lahan antara
lain: perubahan perilaku, konversi dan pemecahan lahan, sedangkan sebagai
penghambat alih fungsi lahan adalah hubungan pemilik lahan dengan lahan dan
penggarap. Faktor Politik dapat dilihat dari dinamika perkembangan masyarakat
sebagai efek adanya otonomi daerah dan dinamika perkembangan masyarakat
dunia, tentunya ingin menuntut hak pengelolaan tanah yang lebih luas dan nyata
(mandiri), sehingga di sini dapat timbul keinginan adanya upaya perubahan tanah
pertanian (alih fungsi lahan pertanian). Efek sampingannya dapat menimbulkan
adanya perebutan hak milik/hak menguasai untuk merubah tanah, sehingga

8

akhirnya dapat menjadi sumber terjadinya konflik antar pihak. Hambatan tersebut
menyebabkan penerapan teknik-teknik konservasi tanah belum berhasil baik, dan
proses degradasi terus berlangsung (Adimihardja 2006).
Kebijakan-kebijakan serta strategi untuk mempertahankan keberadaan lahan
sawah perlu disesuaikan dengan kebutuhan dari semua stakeholder. Desain
kebijakan dan strategi yang mengakomodir perubahan pada masa yang akan
datang diperlukan dalam penanganan konversi lahan sawah. Kerangka pemikiran
penelitian disajikan pada Gambar 1.
Kebaruan
Penelitian terdahulu yang telah dilakukan terkait konversi lahan sawah
adalah dengan valuasi ekonomi (Sutrisno 2011; Harini et al. 2013), analisis
regresi (Prabawa 2012, Sutrisno et al. 2013), structural equation model (Prabawa
2012), ordinary least square (Trisnasari et al. 2015), analisis komponen utama
yang bersifat model statis (Suhadak 1995), evaluasi multikriteria (Santosa et al.
2014), analisis statistik (Nurliani dan Rosada 2015) serta analisis spasial
(Widiatmaka et al. 2013c, Kurniasari dan Ariastita 2014, Zhang et al. 2015b).
Penelitian menggunakan analisis sistem dinamik yang sudah dilakukan lebih pada
supply dan demand ketersediaan stok pangan (Widiatmaka et al. 2014a).
Sistem dinamik merupakan analisis yang dapat digunakan untuk jangka
panjang. Penggabungan analisis sistem dinamik dan analisis spasial, dapat melihat
perubahan perilaku dimasa yang akan datang secara spasial. Kebaruan dalam
penelitian ini adalah pengembangan skenario sistem dinamik dengan input
(integrasi) dari faktor-faktor pengungkit hasil analisis MDS (multidimensional
scaling).

9

Peningkatan
Kebutuhan
Lahan

Kebutuhan
Hidup
Petani

Peraturan Konversi
Lahan Sawah

Karakteristik
Petani

Kontribusi Lahan
Sawah Terhadap
Daerah

Rencana Penggunaan
Lahan

Lahan
Sawah

Nilai
Lingkungan
Dinamika Lahan
Sawah

Perubahan
Penggunaan
Lahan

Konversi
Lahan Sawah

Kecenderungan
Penggunaan
Lahan
Ekonomi
Ekologi
Keberlanjutan Lahan
Sawah

Sosial
Teknologi
Kelembagaan

Faktor Penggerak
Sistem
Tidak
Kendala
Kebijakan

Strategi Kebijakan

Ya

Skenario
Kebijakan

Tidak

Ya
Model Pengendalian Konversi Lahan Sawah

Keterangan :
Data

Proses

Dokumen

Keputusan

Data
Tersimpan

Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian

Dokumen
Hasil

2. TINJAUAN PUSTAKA
Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum
Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah suatu wilayah daratan yang secara
topografi dibatasi oleh punggung-punggung gunung yang menampung dan
menyimpan air hujan untuk kemudian menyalurkannya ke laut melalui sungai
utama. DAS dibagi menjadi daerah hulu dan hilir. Secara biogeofisik, daerah hulu
DAS dicirikan oleh hal-hal sebagai berikut: merupakan daerah konservasi,
mempunyai kerapatan drainase lebih tinggi, merupakan daerah dengan kemiringan
lereng besar (lebih besar dari 15%), bukan merupakan daerah banjir, pengaturan
pemakaian air ditentukan oleh pola drainase, dan jenis vegetasi umumnya
merupakan tegakan. Sementara daerah hilir DAS dicirikan oleh hal-hal sebagai
berikut: merupakan daerah pemanfaatan, kerapatan drainase lebih kecil,
merupakan daerah dengan kemiringan lereng kecil sampai dengan sangat kecil
(kurang dari 8%), pada beberapa tempat merupakan daerah banjir (genangan),
pengaturan pemakaian air ditentukan oleh bangunan irigasi, dan jenis vegetasi
didominasi tanaman pertanian kecuali daerah estuaria yang didominasi hutan
bakau/gambut (Asdak 2010).
Keterbatasan lahan akibat semakin meluasnya permukiman dan
berkembangnya sektor industri menyebabkan pertanian menjadi sektor yang
dianggap kurang menjanjikan. Kondisi ini juga dialami sebagian besar petani di
Jawa Barat termasuk petani-petani di kawasan hulu Sungai Citarum. Saat ini
kondisi hulu Sungai (Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian 2015).
Citarum yang semakin kritis dalam beberapa kurun waktu terakhir ini telah
menimbulkan permasalahan penurunan kondisi lingkungan terutama tingginya
angka erosi yang dianggap menjadi salah satu faktor penyebab sedimentasi sungai
dan memicu terjadinya bencana banjir.
Menurut Rohmat (2009) beban DAS Citarum dimasa yang akan datang akan
semakin besar. Hasil studi proyeksi pemanfaatan air permukaan menunjukkan
bahwa pada tahun 2020, potensi air Sungai Citarum sekitar 12.925 juta m 3, untuk
irigasi 6.526 juta m3, industri 1.292 juta m3, air minum 431 juta m3,
penggelontoran 1.766 juta m3, tambak ikan 85 juta m3, peternakan 17 juta m3 dan
listrik (Gwh) 6.456 juta m3, sehingga total pemanfaatan 10.190 juta m 3. Irigasi
untuk pertanian mencapai 50,49%.
Sungai Citarum termasuk salah satu sungai besar dan strategis di Indonesia
kondisinya dalam keadaan sangat kritis. Pertumbuhan ekonomi (RCMU 2013) di
sekitar daerah aliran Sungai Citarum tinggi (6,9 % di Jawa Barat, dan 6,2 % di
DKI Jakarta), dimana sektor-sektor ekonomi utama adalah pertanian (12,6 %),
industri (37,7 %) dan perdagangan (22,4 %). Pertumbuhan ekonomi tinggi diukur
dalam Kabupaten Karawang (8,9 %) dan Kota Bandung (8,5 %), sedangkan
PDRB per kapita tertinggi di Kabupaten Bekasi (Rp. 36,8 juta) dan Kota Bandung
(Rp. 34,2 juta). Berbagai aktifitas dengan kurang terkendalinya limbah yang
dibuang ke sungai menyebabkan Sungai Citarum menghadapi berbagai
permasalahan yang berdampak pada berkurangnya suplai air baku bagi penduduk
sekitar DAS.
Sementara itu, pertumbuhan penduduk mendorong meningkatnya kebutuhan
air baku untuk keperluan air domestik, pertanian, dan industri. Kondisi ini

11

memicu terjadinya persaingan penggunaan sumberdaya air yang kemudian dapat
berdampak pada terjadinya kemiskinan air di DAS Citarum Hulu. Hasil kajian
indeks kemiskinan air (Maulani et al. 2013) wilayah Citarum bagian hulu
(Kabupaten Bandung, Kota Bandung dan Kota Cimahi) berada dalam kondisi
kemiskinan air cukup tinggi dengan masing-masing nilai WPI 38,79; 42,69; dan
38,13 (skala 100). Artinya, ketiga wilayah tersebut masuk dalam kategori tidak
aman. Padahal Citarum mensuplai 89% dari seluruh air yang dikeluarkan dari
waduk Jatiluhur disamping suplesi sumber air setempat (Kurniasih 2002).
Lahan Sawah
Lahan sawah adalah lahan pertanian yang berpetak-petak dan dibatasi oleh
pematang (galengan), saluran untuk menahan/menyalurkan air, yang biasanya
ditanami padi sawah tanpa memandang dari mana diperolehnya atau status tanah
tersebut (Ditjen Tanaman Pangan 2005). Lebih lanjut dinyatakan bahwa lahan
sawah yang sudah tidak berfungsi sebagai lahan sawah lagi, dimasukkan dalam
bukan lahan sawah.
Perkembangan kepemilikan dan penguasaan lahan di pedesaan, khususnya
di wilayah agroekosistem lahan pertanian bergerak dinamis serta ada
kecenderungan ke arah kepemilikan yang semakin sempit, terutama di desa-desa
yang dominan padi sawah. Hal yang demikian tentu berimplikasi terhadap pola
kepemilikan maupun penguasaan lahan itu sendiri yang cenderung semakin
beragam. Implikasi lainnya ialah pendapatan petani yang cenderung mengikuti
pola kepemilikan maupun penguasaan lahan itu sendiri. Semakin meningkatnya
petani tuna kisma (petani non lahan) dan petani gurem (petani berlahan sempit)
akan membawa dampak sosial maupun ekonomi bagi keluarga petani tersebut.
Sistem waris tidak bisa dibendung, dan transaksi jual-beli lahan tidak bisa di
cegah. Hal utama yang perlu mendapat perhatian ialah kesejahteraan masyarakat
desa khususnya masyarakat lapisan bawah. Hal tersebut karena justru lapisan
inilah yang sangat rentan terhadap gejolak sosial maupun ekonomi (Winarso
2012).
Nilai Ekologi Lahan Sawah
Dari aspek ekologi, alih fungsi sumber daya pertanian menimbulkan dampak
serius terhadap keberlanjutan usahatani. Dari sisi kualitas, alih fungsi lahan juga
mengubah secara drastis keragaman dan kuantitas biota yang hidup dalam
ekosistem lahan pertanian, terutama di lahan sawah (Suradisastra et a