semakin menurunkan harga dan meluaskan penggunaan teknologi video, bagi kebanyakan orang Indonesia, alat ini masih relatif mahal. Ariani
Djalal dari Ragam mengatakan bahwa “Dalam konteks video komunitas, perkembangannya juga dibatasi oleh teknologi itu sendiri yang masih
terlalu mahal buat masyarakat akar-rumput. Ini jelas berbeda dengan yang terjadi di radio komunitas, mereka bisa sustain karena biaya operasionalnya
rendah.” Maruli juga menyebutkan hal yang sama sebagai alasan keberhati- hatian UPC untuk menggunakan video dalam kerja mereka di masyarakat
akar-rumput karena potensinya untuk menimbulkan konflik kelas baru pembuat video di komunitas visavis anggota komunitas lain.
Menukik lebih dalam lagi, untuk menurunkan konsep ‘video sebagai media yang menumbuhkan kritisisme’—yang menjadi landasan kerja para
aktivis video dalam penelitian ini di tingkat lokal dan mengubahnya menjadi alat pendidikan kritis yang membebaskan ternyata tetap menuntut kerja-
kerja lanjutan seperti pendidikan melek media. Kentaranya kesenjangan teknologi yang hadir di lapis-lapis masyarakat tempat seluruh kerja gerakan
sosial ini berasal dan ditujukan, membuat proses pendidikan melek media menjadi sesuatu yang tidak mudah. Kamera, bagi sebagian masyarakat kelas
sosial-ekonomi bawah, masih dinilai sebagai barang mewah, menimbulkan kekaguman, bayangan prestisius, serta memunculkan ilusi bahwa teknologi
mahal itu akan memberi sesuatu yang menguntungkan bagi mereka. Untuk konteks Indonesia, pengaruh berbagai macam reality show yang sebagian
besar mengambil konsep ‘orang miskin itu harus dibantu dan ditolong’ seperti tampak dalam program televisi seperti Toloong, Bedah Rumah, atau
Uang Kaget, sangat kuat dalam mengisi psikologi publik dan malah semakin meminggirkan komunitas-komunitas marjinal.
C. Tantangan Berjejaring dan Kerangka Tindakan Kolektif
Dari gambaran tentang posisi para penggiat video di Indonesia di atas, kami membaca
berbagai persinggungan yang dinamis, baik oleh konteks ideologi, isu, sasaran audiens, maupun
metode dan strategi intervensi. Penggerak video akar-rumput punya wilayah intevensi yang jelas,
yaitu di lokasi komunitas dampingan mereka tinggal dan berinteraksi, sementara dua kerja
kelompok lainnya cenderung lebih leluasa dalam melaksanakan kerjanya. Meskipun kelompok-
kelompok yang mengadopsi pendekatan berbasis video adalah entitas yang mandiri, beberapa dari
mereka melekat dengan gerakan sosial lain yang punya irisan visi dan agenda. Misalnya, seperti
yang ditempuh Gekko Studio dengan beberapa LSM lingkungan, Etnoreflika dengan lembaga-
lembaga pendamping kelompok marjinal seperti anak jalanan, pekerja seks, dll.
Beberapa perbedaan politik yang tegas juga dapat dilihat dari pendekatan yang
diterapkan masing-masing kelompok. Dalam diskusi kami dengan para penggiat video di
Jakarta misalnya, Maruli dari UPC menyampaikan
33
bahwa ia merasa maraknya praktik video komunitas adalah semacam ’kegenitan media
baru’. Maruli menuturkan bahwa opininya tersebut lahir dari kekecewaannya pada pilihan
salah satu penyelenggara video komunitas yang melakukan advokasi di suatu komunitas
tradisi di Jawa di tengah ancaman perusakan sumber daya alam dari rencana pembangunan
pabrik semen di daerah tersebut. Strategi organisasi tersebut adalah dengan bekerjasama
dengan komunitas dalam pembuatan video mengenai isu lingkungan setempat. Proses
inilah, yang menurut Maruli tidak tepat karena dianggap memakan waktu terlalu lama
kalau dibandingkan dengan urgensi persoalan yang dihadapi. Kejadian ini lantas mendorong
Maruli untuk terjun langsung ke lapangan dan membuat video yang mengkampanyekan isu
tersebut agar informasinya segera tersebar dan advokasi publik terhadap kasus ini dapat
diberlangsungkan. Video ini bisa dilihat di: http:www.engagemedia.orgMembersmaruli
videosgunungkendheng1.aviview
Bacaan kami pada langkah-langkah yang ditempuh Maruli dan penggiat video akar-
rumput yang bersangkutan tidak harus dilihat dalam konteks yang berlawanan. Friksi di antara
mereka justru membentuk satu momentum yang bergerak ke arah sasaran yang sama, yaitu
melancarkan tandingan terhadap informasi yang disebarkan pemerintah daerah dan perusahaan yang mengoperasikan pabrik
semen tersebut. Dilakukan secara serentak, kegiatan-kegiatan seperti proses fasilitasi
video di tingkat komunitas, pembuatan karya-karya video bermuatan isu sosial politik, dan upaya mempopulerkan teknologi berbasis video itu
sendiri, turut membentuk suatu konfigurasi baru di mana video digunakan sebagai medium bersama untuk transformasi sosial. Pertanyaan selanjutnya
adalah apakah pelaku tindakan kolektif di ranah ini juga menempuh pola interaksi strategis antara satu dengan yang lain untuk mengarah pada
terbukanya kesempatan politik yang lebih besar; apakah aktivisme berbasis video di Indonesia membentuk jaringan yang lebih mendukung dan koheren?
Apakah peranan perangkat online dalam formasi tersebut?
Sebagian besar narasumber kami menunjukkan keraguan, kalau bukan penolakan, tentang kapasitas untuk bergerak dalam jaringan. Alasan
utama yang diajukan biasanya merujuk pada keterbatasan kapasitas masing-masing kelompok dalam berfungsi sebagai jaringan, terutama
dikaitkan dengan keterbatasan sumber daya. Sebagai contoh, Yoga Atmaja dari Kawanusa mengeluhkan tentang minimnya tenaga untuk membuka
dan memertahankan kerja jaringan mengingat komitmen mereka dengan komunitas sudah menyerap banyak sumber daya. Yang tidak kalah relevan
adalah perbedaan politik antarkelompok. Organisasi-organisasi yang didiskusikan di sini sama sekali tidak homogen. Mulai dari perbedaan asas
dan bentuknya sebagai usaha komersial alternatif, LSM berskala sedang, sampai dengan kelompok aktivis radikal yang berbasis sukarela. Selain itu
hadir pula isu persaingan atau bahkan konflik kepentingan, baik di level kelompok maupun individu, yang kerap menandai bentuk-bentuk jejaring
yang sudah ada atau menyebabkan bubarnya formasi jaringan yang terbentuk sebelumnya. Pada akhirnya, bentuk jaringan senantiasa gagal jika
tidak didasari oleh visi politik bersama tentang tujuan yang mau dicapainya. Kedekatan pada medium video dan komitmen menuju perubahan sosial
saja tidak cukup kuat bagi pembentukan jaringan yang dapat melahirkan
Aktivisme Video dan Distribusi Video di Indonesia
34