SEMUT PUN BISA MENJADI GURU KITA

Semut Pun Bisa Menjadi Guru Kita
Oleh: Muhsin Hariyanto
Seringkali kita remehkan orang karena arogansi (kesombongan)
kita, kita pandang rendah siapa pun karena mereka tidak lebih baik
daripada diri kita dalam persepsi yang kita bangun karena kesombongan
yang melekat pada diri kita. Itulah sikap Iblis ketika berhadapan dengan
Adam. Dan tentu saja itu merupakan sikap tercela. nabi Sulaimana a.s..
Seorang Rasul, Nabi dan sekaligus Raja dari sebuah kerajaan yang
berwibawa. Kekuasaannya tak hanya diakui oleh umat manusia, karena
bangsa Jin dan Binatang pun menjadi pengikutnya. Namun, seiring
dengan kekuasaannya yang sangat kokoh, beliau adalah seorang yang
rendah hati, hingga beliau pun rela belajar pada semut – kumpulan
binatang kecil yang sering tak diperhitungkan peran kekuatannya oleh
umat manusia. Dan bukan tidak mungkin, kita pun akan bersikap sama
dengan kebanyakan manusia: "meremehkan Sang Semut, yang ternyata
cukup perkasa dalam pandangan nabi Sulaiman a.s.
Ada sebuah kisah yang meceriterakan bahwa suatu hari Nabi
Sulaiman a.s. memerhatikan dengan seksama aktivitas semut yang
sedang sibuk mengumpulkan biji-biji gandum. Satu sama lain terlihat
akrab, sesekali mereka saling tegur sapa, yang akhirnya menarik
perhatian Sang Nabi (Sulaiman a.s.) untuk berdialog dengan salah

seekor darinya.
Berikut ini simpulan dialognya:
Di ketika Sang Nabi bertanya: ''Wahai semut, saya lihat kalian
sangat rajin bergotong-royong untuk mencari makan.'' Ada yang bisa
anda jelaskan kepadaku? Sang Semut pun menjawab: ''Begitulah Tuan,
sebab hamba yang dha'if ini tidak akan pernah sanggup bekerja
sendirian, hamba harus selalu bekerjasama untuk mengangkat sesuatu
yang lebih berat daripada tubuh kami.'' Termasuk di dalamnya biji-biji
gandum yang harus kami peroleh untuk kebutuhan bangsa kami selama
setahun!
Dari hasil wawancara mendalam Sang Nabi dengan seekor semut
yang menjadi sampelnya, ternyata didapatkan satu keterangan yang
dipandang cukup valid bahwa untuk seekor semut – masing-masing –
rata-rata membutuhkan enam biji gandum per tahun.
Dari keterangan Sang Semut – yang cukup meyakinkan -- pun
Sang Nabi melakukan penelitian eksperimental. Dengan persetujuan
1

jamaah semut ketika itu, Nabi Sulaiman a.s. pun lalu mengambil salah
seekor semut – dari kumpulan semut yang dijumpainya – untuk

dijadikan sampel dalam penelitian eksperimentalnya.
Diambilnya salah seekor semut, dan diberi olehnya bekal enam
biji gandum, kemudian dimasukan ke dalam tempat tinggal (semut)
berupa kotak kecil dan dibiarkannya -- semut itu -- tidak diusik sama
sekali selam setahun.
Setelah setahun penuh, barulah tempat tinggal semut, yang
berupa kotak kecil, yang berisi seekor semut dan enam biji gandum tadi
dibuka olehnya, dengan disaksikan oleh beberapa orang pengikutnya.
Alangkah kagetnya Nabi Sulaiman a.s., sebab di kotak tersebut
”Sang Semut” yang dijadikan sampel dalam penelitian eksperimentalnya
tetap tegar, sehat wal afiat, dengantidak menghabiskan seluruh
persediaan makanannya (enam biji gandum, jatah makan setahunnya),
karena ia masih menyisakan "tiga biji gandum".
Nabi Sulaiman a.s. pun berkomentar, seraya bertanya: ''Wahai
semut,'' (tanya Nabi Sulaiman a.s. dengan penuh kekaguman). Sudah
setahun berlalu, anda masih segar-bugar dengan tanpa meninggalkan
bekas-bekas kesedihan. Dan yang lebih membuatku bertanya-tanya:.
"kenapa kamu hanya memakan tiga biji gandum saja dari persedian
enam biji gandum untuk jatahmu setahun? Kenapa kau sisakan gandumgandum pemberian ku itu?'' Kenapa anda tidak menggunakan hakmu
untuk mengonsumsi semua biji gandum itu?

Dari komentar dan pertanyaan Sang Nabi, Semut itu pun
menjawab lantang, dengan penuh keyakinan: ''Begini Tuan, di alam
bebas di mana hamba bebas mencari makan sendiri, memang hamba
terbiasa menghabiskan enam biji gandum pertahunnya. Namun,
bagaimana dengan keadaan hamba yang terbelenggu oleh penelitian
eksperimental Tuan saat ini? Lagi pula siapa yang bisa menjamin bahwa
dalam waktu satu tahun, tuan – Nabi Sulaiman a.s. -- tidak lupa untuk
membuka kotak-kecil ini? Untuk itu, hamba sengaja makan separuhnya
dan menyisakan lagi separuhnya yang lain untuk mengatisipasi masa
depan saya.'' Jawab Sang Semut dengan lugas.
Atas jawaban semut itu pun Nabi Sulaiman a.s. tersenyum, dan
memuji kehebatan Sang Semut, yang ternyata mampu menjadi "guru"
yang sangat berharga bagi diri Sang Nabi dan umatnya.

2

Kalau Nabi Sulaiman a.s. dan umatnya bisa mengambil pelajaran
dari Sang Semut, sesungguhnya kita pun bisa mengambil beberapa
pelajaran darinya, di ketika kesombongan yang ada di hati kita kita
singkirkan jauh-jauh, dan kita kita hadirkan pada diri kita sikap tawadhu'

(rendah-hati): Pertama, di saat Sang Semut bisa meraih sesuatu biji-biji
gandum yang sangat besar, bahkan melebihi besarnya tubuh mereka,
kita pun dengan kebersamaan kita bisa bekerjasama untuk meraih
sesuatu yang -- saat ini – kita pandang tidak mungkin kita raih karena
kita masih berjalan sendiri-sendiri. Dengan mengedepankan prinsip
ukhuwah yang berkesinambungan, Sang Semut selalu bisa meraih
kesuksesan. Sikap gotong-royong dan toleransi mereka telah
memberikan semua kontribusi positif bagi komunitas mereka. Dan tentu
saja ini teladan "ukhuwah" bagi kita. Kedua, kita perlu meneladani
kesederhanaan Sang Semut dalam kehidupannya. Semut tidak serakah,
hingga tak mau merampas hak semut lainnya. Haknya sendiri pun ia
ambil secara proporsional, hingga ia bisa mengantisipasi kebutuhannya
di masa depan. Ketiga, kita perlu bersikap rendah hati, tidak sombong
terhadap sesama hamba Allah. Sebagaimana sikap Sang Semut terhadap
semut-semut lainnya, yang dengan kerendahan hatinya selalu bersedia
untuk mengakui keberadaan semut yang lain, Dan tentu saja –
implikasinya – mereka selalu bisa bekerja sama dalam menyelesaikan
berbagai urusan kolektif (mereka) tanpa menyisakan kebencian, iri dan
dengki, apalagi "dendam" di antara mereka. Persahabatan mereka patut
menjadi contoh untuk para manusia cerdas dan peduli, yang hingga kini

masih harus terus belajar untuk bersikap rendah-hati, "belajar" pada
siapa pun, termasuk kepada Sang Semut yang bijak.
Andai kata kita ”benar-benar” bisa mengambil pelajaran dari
kisah semut di ini, tentulah kita akan memiliki ”akhlak mulia” di antara
kita, "Akhlak Sosial" yang serba mulia. Tidak terjebak pada egoisme dan
– juga -- altruisme, tetapi – lebih dari itu – untuk kepentingan bersama
"kita"
hidup rukun dan damai untuk saling-berbagi, demi
kemashlahatan bersama.
Jadilah manusia-manusia bijak, sebagaimana bangsa semut yang
berhasil menjadi teladan bagi kita semua.
Penulis adalah Dosen Tetap FAI-UMY dan Dosen Luar Biasa STIKES
'Aisyiyah Yogyakarta

3