S umber-sumber kontemporer dari periode pemerintahan Inggris di

S umber-sumber kontemporer dari periode pemerintahan Inggris di

Jawa memberikan sejumlah petunjuk tentang perasaan pahit yang meletup di antara komunitas Tionghoa dan Jawa. Hal itu terjadi pada saat berlangsungnya serangan orang Inggris terhadap Keraton Yogyakarta pada 19–20 Juni 1812. Menulis di jurnal resminya, “Laporan-laporan tentang Pulau Jawa” (yaitu perjalanan penyelidikan)—yang meliputi periode

1811–1813—komandan pasukan zeni tempur Rafles yang mempunyai kemampuan luar biasa, Letnan Kolonel Colin Mackenzie (1753–1821),

menyatakan bahwa “pada Juni 1812 [...] semua bandar-bandar Tionghoa atau rumah bea cukai dihancurkan [dan] tempat tinggal luas milik orang- orang Tionghoa di Prambana[n], di mana kami pada waktu ini [Januari 1812] dengan ramah diterima untuk menginap selama tiga hari, dibakar

hingga rata dengan tanah.” 1

Dari laporan yang dibuatnya ini tidak jelas apakah Mackenzie merujuk hanya kepada gerbang tol utama yang terdapat di sepanjang jalan utama menuju ke Yogyakarta—yang ia tinjau menjelang kedatangan pasukan gerak cepat Inggris pada pertengahan Juni l812—atau seluruh gerbang tol utama Dari laporan yang dibuatnya ini tidak jelas apakah Mackenzie merujuk hanya kepada gerbang tol utama yang terdapat di sepanjang jalan utama menuju ke Yogyakarta—yang ia tinjau menjelang kedatangan pasukan gerak cepat Inggris pada pertengahan Juni l812—atau seluruh gerbang tol utama

perjalanan dari Surakarta ke

dokumen lain untuk memastikan apa sesungguhnya yang terjadi, kecuali

Yogyakarta selama kunjungan

dari sebuah referensi singkat di salah satu surat Crawfurd yang ditulis

pertamanya pada akhir Desember

hampir dua tahun setelah peristiwa tersebut. Surat itu menyinggung tentang

1811. 4 Kemudian sebuah

pertentangan mendalam yang ditunjukkan orang Tionghoa atas orang Jawa

sumber Jawa kontemporer

selama periode tersebut. 2 Akan tetapi, walaupun dapat disimpulkan bahwa

menggambarkan bagaimana suatu

Mackenzie hanya berbicara mengenai bandar yang terdapat di sepanjang

rombongan pasukan berkuda

jalan raya menuju ke ibu kota kerajaan, bukti yang dikemukakannya tetap

Inggris habis dicincang ketika

memberikan gambaran mengganggu tentang pertumpahan darah dan

mereka mencoba menyeberangi

penganiayaan. Hal itu membuat orang-orang Tionghoa dipilih menjadi

Kali Gajahwong di Jenu (dekat

sasaran pembalasan dendam rakyat untuk sementara waktu.

Ambarrukmo sekarang). Mereka

Lantas dapatkah kita perkirakan bahwa serangan pembakaran pada

dihabisi oleh pasukan infanteri

Juni 1812 itu dipandang sebagai pendahuluan dari segelintir peristiwa

keraton dan orang-orang desa

dahsyat pada Juli dan Agustus 1825? Sampai taraf tertentu jawabannya

yang dipersenjatai dengan

adalah tidak; sebab keadaan sejarah langsung yang meliputi kedua periode

tombak, bandul, serta batang-

tersebut sangat berbeda. Serangan Inggris terhadap Yogyakarta pada Juni

batang bambu yang diruncingkan

1812 terjadi 10 bulan setelah beberapa ketegangan politik yang timbul ujungnya. 5 Sketsa Keraton Yogyakarta Dilihat dari Alun-Alun Utara di antara Rafles dan Sultan Kedua yang suka membangkang. Situasi (Sumber: Sketsa karya A. de Nelly yang dibuat pada sekitar 1771, dari Selanjutnya, gerbang- Johanes Rach 1720–1783 Seniman di Indonesia dan Asia, 2002, hlm. 97,

keamanan di daerah pedesaan Jawa Tengah mengalami kemerosotan seizin Perpustakaan Nasional RI dan Rijkmuseum Amsterdam) gerbang tol tersebut sudah lama tajam, sebagai akibat dari kegiatan kelompok ”penjahat” serta para milisi

menjadi bahan perselisihan antara Sultan dan Inggris sejak ia menolak

menghormati persyaratan yang tercantum di dalam perjanjian 28 menghalangi operasi-operasi militer Inggris di daerah tersebut dengan

desa yang beroperasi di bawah perintah Sultan. 3 Tampaknya, ia berniat

Desember 1811. Perjanjian itu menetapkan bahwa bandar dan pasar di membuat jalan yang tersedia menjadi tidak dapat dilalui. Selain itu, tujuan

wilayah kerajaannya harus diserahkan kepada pemerintahan Eropa. 6 lainnya adalah untuk menembak mati kesatuan tentara Inggris yang

Oleh karena itu, pembakaran yang mereka lakukan pada Juni 1812 terisolasi dalam penjebakan yang dilakukan dengan sangat mahir—setelah

mungkin dapat dipandang sebagai suatu taktik yang diadopsi Sultan pecahnya permusuhan secara terbuka pada Juni 1812.

dalam menghalangi dan menghadapi tekanan militer lnggris yang semakin Mackenzie, misalnya, merujuk di dalam jurnalnya terhadap

bertambah. Tidak demikian halnya dengan kasus pada pertengahan 1825, “banyaknya orang-orang yang bersenjata” yang dijumpainya dalam

ketika bandar dan pos-pos pajak tanah (misalnya di Kedu) dipilih untuk ketika bandar dan pos-pos pajak tanah (misalnya di Kedu) dipilih untuk

sama, juga diperhitungkan bahwa orang-orang Tionghoa penyewa utama Di sisi lain, terdapat petunjuk bahwa sebelum berlangsungnya

gerbang tol tersebut berhasil mendapatkan keuntungan yang bagus, di perampasan gerbang-gerbang tol pada Juli 1812 oleh Inggris, gerbang tol

mana mencapai seperempat dari pemungut pajak kepada Sultan, melalui telah menjadi beban yang semakin meningkat bagi kehidupan pertanian di

transaksi usaha pribadi dan penyusutan nilai penyewaannya. 13 Jawa Tengah selatan. Hal itu terjadi terutama di daerah pusat Yogyakarta

Sangat mudah untuk memahami mengapa pemungut pajak terbukti (Pajang, Mataram, dan Kedu), daerah di mana gerbang-gerbang tol itu

menjadi pilihan menarik bagi para penguasa Yogyakarta yang selalu berada paling banyak didapatkan. Sudah menjadi kebiasaan untuk menyalahkan

dalam tekanan keuangan. Pertama, tindakan ini hanya perlu sedikit penyewaan gerbang-gerbang tol yang mencekik serta penyalahgunaan sosial

mengeluarkan uang, dan gerbang tol tersebut dibangun juga dipelihara yang menyertainya kepada pihak pemerintahan Eropa secara berturut-

oleh orang Tionghoa yang menyewanya. 14 Kedua, tindakan tersebut tidak turut setelah tahun 1812—khususnya pemerintahan Belanda pasca-1816,

memerlukan biaya birokrasi yang mahal karena para penjaga gerbang

tol itu harus membayar diri mereka sendiri beserta seluruh bawahannya jika melihat statistik maka akan menjadi jelas, paling tidak di Yogyakarta,

yang mengalami kondisi keuangan sangat menyedihkan. 8 Akan tetapi,

dari hasil keuntungan persewaan tersebut. Ketiga, sampai pengangkatan tentang individu yang utamanya bertanggung jawab atas meluasnya sistem

bekas Kapitan Cina, Tan Jin Sing, sebagai seorang bupati Yogyakarta pemungut pajak dengan cepat setelah 1755. Mereka adalah Sultan Pertama

pada Desember 1813 (lihat selanjutnya nanti), tidak seorang Tionghoa dan anak laki-lakinya [Sultan Hamengku Buwono II].

pun yang mempunyai basis politik di dalam masyarakat Jawa, di mana Satu hal yang mungkin bahwa dengan cara yang hampir sama, ada

ia dapat memengaruhi persaingan kekuasaan di istana. Keempat, dalam usaha menyaingi teknologi militer dan teknik perbentengan orang Eropa. 9 hal permasalahan politik dan ekonomi, orang Tionghoa penyewa tersebut

Mereka juga mendapatkan ilham dari sistem pemungut pajak VOC yang dapat dijadikan kambing hitam atas segala kegagalan administratif

efektif, yang telah mereka terapkan di pantai utara selama periode ini. 10 ataupun diserang sebagai cara mencari dukungan rakyat. 15

Telah diketahui, misalnya, bahwa tak lama setelah pengesahan Perjanjian Yang kelima dan terakhir, para Sultan tersebut dibebaskan dari Giyanti pada Februari 1755, Hamengku Buwono I menandatangani

kesibukan melakukan pengawasan umum terhadap pemungut pajak. Hal penyewaan pemungut pajak pertama untuk gerbang-gerbang tol di daerah

tersebut karena tugas itu pertama kali dipercayakan kepada Kapitan Cina kekuasaan kerajaannya (kecuali mancanagara timur) bersama dengan

dan selanjutnya (pasca-1764) kepada Residen Belanda di Yogyakarta, yang Kapitan Cina daerah Mataram, To In. Saat kematiannya pada 1792,

kemudian menyewakannya lagi kepada serangkaian kapitan di Yogyakarta. pembayaran pemungut pajak setiap tahunnya meningkat tiga kali lipat,

Untuk menyelamatkan kehormatan raja, seorang pejabat Yogyakarta

diangkat sebagai “Kepala Gerbang Tol” (wedana bandar), yang bertindak sebagaimana dicatat sebelumnya, penghasilan dari gerbang tol dan pasar

mencapai 46.000 rial bulat (f128.800). 11 Enam belas tahun kemudian,

sebagai wakil penguasa di segala permasalahan yang menyangkut soal sebagai wakil penguasa di segala permasalahan yang menyangkut soal

wilayah kekuasaan Sultan. 21 Sikap para penguasa Yogyakarta yang lebih ditimbulkan sistem apanase orang Jawa, sebagai akibat dari tidak adanya

agresif atas persewaan gerbang tol kemungkinan penanggung jawab atas daftar pendaftaran tanah yang tepat dan secara berkala diperbarui serta

keadaan ini. Walaupun demikian, faktor-faktor tambahan lainnya juga diperbaiki. Selain itu, tidak adanya sebuah korps mantri ukur pajak tanah

harus dipertimbangkan, seperti fakta bahwa Surakarta memiliki wilayah yang dapat diandalkan (abdi-Dalem priksa dhusun) dan cara mudah

apanase yang lebih baik, pendapatan dari tanah yang lebih makmur, dan untuk menyembunyikan tanah sawah yang baru dibuat dari perhatian

kontak-kontak perdagangan yang lebih ramai.

pejabat kerajaan, sama sekali tidak dapat mengikuti kecepatan laju inlasi Berbagai akibat sosial-ekonomi yang ditimbulkan oleh pengelolaan dan menarik kekayaan pertanian yang terus meningkat dari daerah pusat

gerbang tol yang lebih kasar di wilayah Kesultanan tampaknya sudah kerajaan. 17 Tidak adanya administrasi iskal yang efektif di dalam masalah

mulai memperlihatkan wujudnya di beberapa daerah pada awal abad tanah gaji kerajaan telah memaksa para penguasa Yogyakarta untuk lebih

ke-19. Pada 1804, Residen Yogyakarta, Matthias Waterloo (menjabat menyandarkan diri mereka kepada pemungut pajak agar dapat memenuhi

1803–1808), di dalam menjawab pertanyaan mendesak yang datang dari kebutuhan penghasilan yang semakin terus meningkat. 18 Gubernur Pantai Timur Laut Jawa tentang mengapa harga-harga beras

Seorang pengulas telah membandingkan hal itu dengan sebuah begitu tidak terkendali pada tahun itu, menyalahkan biaya pengangkutan “sisir”. Analoginya adalah pedesaan orang Jawa lebih banyak menangkap

dan bea cukai setempat yang harus dikeluarkan. Menurutnya, hal tersebut surplus pertanian yang dibawa ke pasar daripada memerasnya dari

mendorong harga-harga bahan makanan melonjak di daerah Yogyakarta— sumber yang tersedia, sebagaimana hasil dari pajak tanah yang dikelola

suatu daerah yang bergantung kepada impor bahan makanan dari Kedu

dengan baik. 19 Namun, dalam keadaan yang paling baik sekalipun, hal itu

untuk memberi makan penduduknya.

merupakan sebuah proses yang lebih boros dan diskriminatif. Sementara Ia mengemukakan kasus seorang pedagang setempat yang mengangkut orang Tionghoa penyewa pintu gerbang tol bertambah kaya, berbagai

beras dari Pasar Payaman (di sebelah utara Kedu) untuk dijual di ibu kota peraturan bea cukai tersebut dilaksanakan dengan cara lebih ringan

Kesultanan. Orang ini membeli satu muatan sepikul kuda (240 kati =

sekitar 148 kg) beras giling, beras putih, dengan harga f6 di pasar daerah di dalam masyarakat pedesaan Jawa, beban yang paling berat biasanya

oleh pedagang Tionghoa dibandingkan dengan orang Jawa. 20 Lagi pula

Kedu, dan akan menjual jumlah beras yang sama dengan harga f9,60 di akan jatuh di atas pundak mereka utamanya yang tidak mempunyai

Yogyakarta. Namun, sebelumnya ia harus membayar pajak pasar (sebesar kemampuan membayar; para pekerja yang tidak punya tanah, petani-

58 sen), bea gerbang tol (sebesar 98 sen), serta sewa kuda (sebesar f1,60). petani miskin, para pedagang kecil, dan para bakul.

Pedagang itu sendiri hanya mendapatkan keuntungan sebesar 34 sen, Hal itu juga menjelaskan bahwa keadaan mengenai gerbang tol di

hanya 3% dari nilai modal pokoknya, setelah melakukan perjalanan sulit Yogyakarta jauh lebih buruk daripada di Surakarta, yang pada 1812, hanya

11 jam di jalanan dengan kecemesan terus-menerus terhadap serangan

Isu yang menyangkut gerbang tol akan dibicarakan lagi nanti. Sekarang, kita perlu kembali pada serangan lnggris terhadap Yogyakarta dan warisan khususnya berupa kepahitan orang Tionghoa yang ada di beberapa lingkaran elite ibu kota Sultan. Terdapat karier yang termasuk luar biasa dari seorang laki-laki yang memainkan peran sangat menentukan dan

Rumah Bagian Belakang dari Tan Jin Sing pada 2012

membantu menguatkan perasaan

(Sumber: Foto koleksi pribadi karya Tjundaka Prabawa, Yogyakarta)

saling mencurigai dan tidak menenangkan antara kedua komunitas. Orang itu adalah Kapitan Cina dari Yogyakarta, Tan Jin Sing (menjabat 1803–

Rumah Bagian Depan dari Tan Jin Sing (Secodiningrat) pada 2012

1813; wafat 10 Mei 1831), yang terlibat secara langsung dalam persaingan

(Sumber: Foto koleksi pribadi karya Tjundaka Prabawa, Yogyakarta)

dan politik internal istana selama periode 1811–1812. Tan Jin Sing adalah bandit. Dengan demikian, berbagai gerbang tol, retribusi pasar, dan biaya

seorang keturunan keluarga peranakan Hokkian terkemuka yang telah pengangkutan telah menambah harga satu muatan beras lebih dari 50 kg

lama bermukim di Jawa Tengah selatan—pada awalnya di Banyumas. yang diangkut menempuh jarak sepanjang 60 kilometer. Dengan alasan

Pada awalnya, ia menggantikan ayahnya sebagai Kapitan Cina di ini, menurut keterangan Waterloo, maka beras jarang didatangkan dari

Kedu (1793–1803) dan kemudian sebagai Kapitan Cina di Yogyakarta daerah produktif lainnya yang letaknya lebih jauh lagi, seperti Banyumas,

pada September 1803. 24 Orang Eropa pada zaman itu menggambarkannya

sebagai “seorang laki-laki yang benar-benar cerdas dan terampil”, yang tinggi—seperti yang terjadi pada 1821–1825—membuat daerah Yogyakarta

Bagelen, Remo, dan Ledok. 22 Pada masa langka, harga-harga komoditi yang

memadukan “ketajaman” seorang Tionghoa dengan pengetahuan lokal dan menjadi lebih peka terhadap keresahan agraria dan kelaparan daripada

kecerdikan orang Jawa. 25 Lancar dalam menggunakan bahasa Hokkian, Surakarta. Di Surakarta, mereka dapat memenuhi kebutuhannya sendiri

Melayu, serta Jawa (kromo dan ngoko), ia juga belajar menggunakan sedikit lebih baik dari daerah pedalamannya atau dari impor yang murah dari

bahasa Belanda dan Inggris; hasilnya, ia dapat bertindak sebagai perantara sepanjang Bengawan Solo, serta harga bahan makanan pokok biasanya

antara para pejabat Eropa dan istana. Sebagaimana pendahulunya, ia benar-benar lebih rendah. 23

juga diberi tanggung jawab menyewakan kembali gerbang-gerbang tol juga diberi tanggung jawab menyewakan kembali gerbang-gerbang tol

keistimewaan kedudukan yang diberikan di dalam melakukan kegiatan milik VOC di Lowanu, daerah sebelah timur Bagelen. 30 Tidak lama

setelah pengangkatannya dan hibah tanah itu diresmikan pada 13 yang muncul dan tersebar di mana-mana itu bukanlah satu-satunya hal

perdagangan pribadinya. 26 Akan tetapi, kepentingan dagang Kapitan Cina

Desember 1813, bekas Kapitan Cina itu menjadi seorang ”muslim”. Ia yang menimbulkan keresahan pada kelompok elite orang Jawa. Terdapat

mengucapkan syahadat sebagai pengakuan diri sebagai muslim dan juga peran politik yang dimainkannya secara terbuka dalam berbagai

disunat (diislamaké). Ia pun menggunting kuncirnya dan memulai peristiwa dan mengakibatkan terjadinya penyerbuan keraton oleh Inggris

tugas-tugasnya sebagai pembantu khusus di kantor wedana bandar, pada 19–20 Juni 1812.

Kyai Tumenggung Reksonegoro. 31

Sebagai seorang teman, penerjemah, serta pembantu Putra Mahkota Sayangnya, persoalannya tidak berhenti di situ saja. Perihal kehadiran (kemudian menjadi Sultan Hamengku Buwono III, yang memerintah

seorang Tionghoa dalam jabatan tinggi birokrasi orang Jawa, walaupun pada 1812–1814), ia juga bertindak sebagai salah seorang utusan rahasia

hal itu lazim ditemukan di Jawa Timur dan di pantai utara, tetapi hal itu Putra Mahkota dalam berbagai perundingan dengan Inggris (yaitu

tidak ada sejarahnya di Yogyakarta. Oleh sebab itu, pengangatan Tan Jin Residen Crawfurd). Perundingan itu memunculkan perjanjian rahasia

Sing/Secodiningrat itu membangkitkan kemarahan beberapa kelompok. tanggal 12 Juni 1812, yang memberikan ia jaminan untuk mengambil

Salah satunya adalah Pakualam I (bertakhta 1812–1829), seorang yang

kecewa karena gagal menaiki singgasana kerajaan Yogyakarta. Ia yang kebanyakan orang Tionghoa di Yogyakarta menyisihkan serta menjauhkan

alih takhta kerajaan. 27 Selama berlangsungnya serangan itu—ketika

dilanda kepahitan itu lalu menjadi musuh bekas sang Kapitan Cina. Ia diri mereka dari kejadian itu (jika tidak secara terang-terangan bersikap

menyalahkannya karena telah mengambil alih takhta Putra Mahkota dan bermusuhan terhadap istana)—Tan Jin Sing menjamin persediaan beras

menghilangkan tanah warisannya di Kedu. 32 Sebagai contoh, terdapat dan persediaan-persediaan lainnya, seperti tangga panjang yang dibuat

sejumlah laporan pada Oktober 1812 bahwa Pakualam sedang merencanakan

untuk membongkar rata dengan tanah permukiman orang Tionghoa dan dan Putra Mahkota ditempatkan di bawah penjagaan Inggris, Kapitan

dari bambu, untuk pasukan serbu Inggris-lndia. 28 Ketika keraton jatuh

membunuh Tan Jin Sing. 33 Tentu saja hal itu membuat Tan Jin Sing hidup Cina yang setia itu memberikan perlindungan kepada para pengawal

dalam ketakutan bahwa sewaktu-waktu ia dapat dihilangkan nyawanya. Oleh pribadi Putra Mahkota. Mereka dilindungi di kediaman orang Tionghoa

sebab itu, dari akhir Juni 1812—setelah sebuah serangan membabibutakan (Kampung Cina), tepat di utara benteng orang Eropa. 29 rumahnya yang dilakukan oleh seorang petugas pangeran senior Yogyakarta

Sebagai imbalan atas pelayanannya, Sultan Ketiga yang baru diangkat lainnya yang merasa tidak puas—prajurit-prajurit Sepoy ditempatkan secara itu—kemungkinan berada di bawah tekanan Inggris—mengangkat Tan

tetap untuk menjaga tempat kediamannya. 34

Ketakutan Tan Jin Sing pun kian menghebat lantaran pelindungnya, (misalnya, para penasihat khusus Sri Sultan, bupati nayaka) duduk yaitu Hamengku Buwono III, meninggal dini pada 3 November 1814.

di lantai di gedung kongsinya, dan berbaur dengan tamu-tamu orang Saat itulah Tan Jin Sing benar-benar dalam posisi yang mudah diserang.

Tionghoa yang lain. 37 Akhirnya Tan Jin Sing juga dituduh memiliki Akan tetapi, ia terus melanjutkan tugasnya dengan penuh kesuksesan

rencana terhadap salah seorang istri tidak resmi (garwa ampéyan) Sultan sebagai perantara antara Keresidenan dan keraton selama bulan-bulan

Ketiga yang telah meninggal dunia, yang diharapkan dapat ia kawini, pertama sebelum Sultan Keempat cukup umur (bertahkta 1814–1822).

sehingga dengan demikian ia dapat mengkonsolidasikan kedudukannya Sebuah riwayat sejarah keraton kontemporer bahkan mengungkapkan

di kalangan masyarakat priayi Jawa. Sementara itu, disebar pula kabar bahwa banyak orang di keraton masih senang kepadanya (sami asih

bahwa ia telah mencabut hak atas sawah/ladang-ladang padi dari pegawai lulut), khususnya lbu Suri yang terkenal cakap. Perempuan inilah yang

keraton Yogyakarta yang diberhentikan. 38

tetap mengingat jasa Tan Jin Sing, yaitu bagaimana dia telah menolong Semua celaan yang dilontarkan tersebut adalah berbagai gejala dari suaminya untuk mendapatkan mahkota kerajaan pada Juni 1812. 35 sebuah perasaan tidak senang yang dapat ditemukan di kalangan atas Meskipun demikian, hubungannya dengan orang di istana tetap

keraton terhadap kedudukan bermakna ganda Tan Jin Sing sebagai saja renggang. Ia dinilai bersikap angkuh dan congkak oleh para pejabat

seorang ”Tumenggung” Tionghoa. Perasaan tidak senang itu diperkuat istana sebab mendapat perlakuan khusus dan istimewa; suatu hal yang

lagi dengan hubungannya yang luar biasa erat dengan residen-residen sesungguhnya tidak berhak untuk ia dapatkan menurut ketentuan adat

yang bertugas di Yogyakarta; 39 ditambah, hubungan yang tidak kalah istana. Tan Jin Sing dianggap telah menuntut sesuatu yang dianggap tak

akrabnya dengan Patih Yogyakarta yang baru diangkat, Raden Adipati pantas, seperti diperkenankan untuk memiliki serombongan penari bedoyo

Danurejo IV (menjabat 1813–1847). Patih ini adalah seorang laki-laki (bedhaya), duduk di atas kursi bersama-sama dengan para pangeran

yang dianggap tidak murni, bukan asli; ia berdarah Jawa Timur (Jipang) senior pada resepsi keraton, memberi gelar ”Raden Ayu” (perempuan

dan Bali. Sebagaimana halnya dengan bekas Kapitan Cina itu, maka ia bangsawan) kepada istrinya (seorang perempuan Jawa yang berasal dari

pun dianggap “orang luar” di mata kalangan atas Yogyakarta. 40 rakyat jelata), serta menuntut agar utusan keraton melaksanakan sikap

Pada waktu kedatangan Duta Besar Luar Biasa Belanda, Wouter menghormat (sembah) jika mereka datang menemuinya. 36 Hendrik van IJsseldijk (1755–1817), di Yogyakarta pada September 1816 Para kritisi keraton yang konservatif juga merasa sakit hati dan

untuk mengukur suhu politik istana, ia menemukan bahwa Tan Jin Sing murka. Sultan yang masih usianya masih muda itu bersama dengan

telah menjadi tokoh yang semakin diisolasi serta tidak disenangi dan Ratu dinilai berlebihan memberikan penghormatan kepada Tan Jin Sing.

dijauhi orang. Banyak para bupati istana menyatakan perasaan jijik Penilaian itu akibat Sultan dan Ratu mendatangi rumahnya di Kampung

dan mual secara terang-terangan jika harus berkumpul dengannya. Cina demi menghadiri perkawinan anak laki-laki bekas Kapitan Cina

Seorang kawan lama duta besar itu sendiri, Pakualam I, menulis sepucuk itu. Ditambah, saat pesta perkawinan itu, pegawai-pegawai tinggi istana

surat dengan nada penuh kegetiran kepadanya. Di surat itu termuat surat dengan nada penuh kegetiran kepadanya. Di surat itu termuat

sebuah pantun cerdik, yang diramu orang Yogyakarta dari zaman itu.

Cina itu sebagai seorang boneka

Bunyinya sebagai berikut: ”Cina wurung, Londo durung, Jawa tanggung”

Inggris. Lantas diingatkanlah

(bukan lagi Tionghoa, belum lagi menjadi orang Belanda, dan Jawa

kembali sebuah ramalan yang

pun masih tanggung). 43 Pada periode selanjutnya, satu kemungkinan

pernah diutarakan oleh Sultan

solusi kebuntuan tersebut adalah dengan mengajukan permohonan

Pertama; bahwa pengangkatan

asimilasi menurut hukum (gelijkgestelde; disamakan) dengan kelompok

seorang Tionghoa dalam

masyarakat Eropa, melalui suatu keputusan resmi yang dikeluarkan oleh

kedudukan serta jabatan yang

gubernur jenderal, serta mungkin juga untuk memeluk agama Nasrani. 44

berpengaruh di istana akan

Langkah tersebut pernah diambil beberapa orang Tionghoa (terutama

menimbulkan ketidakselarasan

golongan peranakan) dan orang Indonesia yang kaya-raya serta yang

serta malapetaka. Oleh karena

mengenyam pendidikan Belanda pada bagian akhir abad yang ke-19 dan

itu, didesak ke depannya agar Tan

awal abad ke-20. Namun, pada masa-masa yang lebih awal dari zaman

Jin Sing dibuang dari Yogyakarta

pemerintahan kolonial di Jawa, jalan yang demikian itu tidaklah mudah

selama-lamanya. 41 Akan tetapi,

didapatkan.

dengan penuh kebijaksanaan, Van

Demikianlah, Tan Jin Sing alias Secodiningrat terpaksa harus

IJsseldijk kemudian menyarankan

menghabiskan sisa hari tuanya di dalam suatu kehidupan kultural yang

kepada bekas Kapitan Cina itu

aneh, tidak menyenangkan, dan terasing. Ia dengan penuh kehinaan

agar mempertimbangkan pindah

ditolak oleh orang senegerinya; akibat penolakannya terhadap adat

ke tempat lain. Dengan sedih

Tionghoa. Ia pun dicurigai begitu rupa oleh kebanyakan orang Jawa

dari kalangan atas sebagai orang kaya baru yang penuh ambisi, Rumah Pengusaha Tionghoa pada Awal Abad ke-19 45 serta di Ketandan, Yogyakarta (Sumber: Foto koleksi pribadi karya Tjundaka Prabawa)

serta penuh keputusasaan, ia

menjawab bahwa ia sekarang

membuat dirinya sendiri digunakan oleh orang Eropa yang membutuhkan

jasanya sebagai informan politik. Di sisi lain, orang Eropa sendiri tidak kelompok masyarakat Tionghoa di Semarang dan Surakarta, sebagai

begitu dibenci oleh kelompok-

dapat menawarkan kepadanya sebuah keamanan serta jaminan hukum akibat kedudukan politiknya yang unik di Yogyakarta. Pilihan untuk

berupa asimilasi ke dalam kelompok masyarakat mereka.

pindah ke sana tidak terbuka lagi baginya. 42 Terbukti bahwa nasib tidaklah bersikap baik kepada bunglon politik Kedudukan Tan Jin Sing benar-benar sangat tidak menyenangkan.

yang cerdik ini. Pada akhir Perang Jawa tersebut, ia terpaksa harus Terkatung-katung di antara tiga dunia (dunia Tionghoa, dunia Eropa,

menjual kembali sebagian besar tanah-tanah yang diperolehnya kepada serta dunia Jawa). Hal itu secara singkat telah disimpulkan di dalam

Sultan agar ia dapat melunasi utang-utangnya. Akhirnya, pada 10 Mei 1831, Sultan agar ia dapat melunasi utang-utangnya. Akhirnya, pada 10 Mei 1831,

terjadi pada Juni 1812, dengan penjarahan yang terjadi atas Keraton meninggal pada 1857 dan tidak meninggalkan seorang ahli waris yang

Kartasura—tepat 70 tahun sebelumnya—selama berlangsungnya Geger sah. Oleh karena itu, tanah yang tersisa kembali lagi ke tangan Sultan

Pacinan, adalah saat di mana para perempuan ningrat Jawa diperkosa Keenam (bertakhta 1855–1877), berdasarkan sebuah akta notaris yang

oleh orang Tionghoa penyerbu tersebut. 47

dibuat tanggal 24 April 1861. Di dalam sebuah babad yang lain, yang mungkin sekali ditulis oleh Walaupun keluarga Tan Jin Sing tetap mendapatkan uang tunjangan

Pakualam I tak lama setelah tahun 1812, dinyatakan bahwa kematian sebesar f616 setiap bulan dari istana sampai 1901, toh mereka akhirnya

yang menimpa Putra Mahkota pertama dari Yogyakarta, Raden Mas menebus tanah itu dengan setumpukan uang oleh Sultan Ketujuh (bertakhta

Entho—anak laki-laki tertua Hamengku Buwono I—dianggap disebabkan

oleh inter alia (antara lain) oleh kelakuan buruk yang dilakukannya hampir seluruhnya sudah berasimilasi kembali ke dalam kelompok

1877–1921). 46 Saat itu keluarga bekas Kapitan Cina peranakan tersebut

bersama dengan perempuan Tionghoa. 48 Sejauh yang dapat diketahui, masyarakat Tionghoa Yogyakarta. Setelah berakhirnya Perang Jawa,

hal itu merupakan referensi yang pertama kali diketengahkan terhadap keluarga Tan Jin Sing dengan cepat menghilang dari ranah politik. Akan

berbagai akibat fatal yang ditimbulkan oleh keterlibatan seksual dengan tetapi, perjalanan hidup yang luar biasa dari bekas Kapitan Cina itu

orang Tionghoa. Hal ini secara menarik telah membayangi perkembangan dengan nyata menandai sebuah batas pemisah yang terdapat di dalam

yang kemudian terjadi selama berlangsungnya Perang Jawa (lihat Bab hubungan Tionghoa-Jawa.

1). Penting artinya untuk tidak terlalu banyak menarik kesimpulan dari Keterlibatan Tan Jin Sing secara langsung baik di dalam masalah

sumber-sumber literatur ini. Namun, bagaimanapun juga, semua itu serta peristiwa istana—sejak 1811 sampai 1812—maupun hubungan

memperkuat gambaran umum akan suatu kemerosotan hebat yang terjadi pribadinya dengan Sultan Ketiga telah membangkitkan kecurigaan yang

dalam hubungan Tionghoa–Jawa yang pada periode ini.

semakin membesar di kalangan orang Jawa golongan atas terhadap orang Gerbang tol yang terasa semakin membebani serta peranan aneh yang Tionghoa. Hubungan saling menguntungkan yang terjalin di antara kedua

dimainkan oleh bekas Kapitan Cina itu telah membentangkan jalan bagi kelompok masyarakat tersebut mulai dirusak dan hancur oleh perasaan

suatu pergeseran besar di dalam sikap rakyat terhadap orang Tionghoa saling tidak percaya. Benih perselisihan hari esok telah disemaikan.

di Yogyakarta. Sementara itu, makna dari penghinaan yang dialami oleh Literatur Jawa dari masa itu mencerminkan perkembangan yang demikian

orang Jawa, sebagai akibat perbuatan bangsa Inggris pada Juni 1812, ini. Para penulis sejarah Yogyakarta dari masa penyerbuan yang dilakukan

tidak begitu saja terlewat dari perhatian kelompok masyarakat peranakan oleh orang Inggris atas Keraton Yogyakarta tampaknya cukup menyenangi

setempat. Dengan pengetahuan politik mereka, yang lazimnya dapat serta bersikap baik terhadap Tan Jin Sing dalam menggambarkan. Namun,

mengetahui mengenai apa yang akan terjadi, mereka kini mulai menyadari riwayat yang ditulisnya itu mengandung suatu perbandingan yang tidak

bahwa kepentingan mereka kemungkinan akan dapat terpenuhi dengan bahwa kepentingan mereka kemungkinan akan dapat terpenuhi dengan

orang Eropa di Klaten dan keadaan keamanan di daerah Yogyakarta); Valck, “Overzigt”, f. akan menjadi nyata terlihat dalam waktu singkat.

106; De Haan, Priangan: De Preanger-Regentschappen onder het �ederlandsch Bestuur tot 1811, jilid 1 (Batavia: Landsdrukkerij 1910), Bagian 2, hlm. 98; dan J. Hageman Jcz.,

Catatan Belakang “De Engelschen op Java”, TBG 6 (1856): 414 (mengenai serangan atas rombongan Pieter 1. IOL Mack Pr. 14 Bagian 15, “Report & Journal of Lieutenant Colonel C. Mackenzie’s

Engelhard di Jambu di perbatasan antara Keresidenan Kedu dan Semarang, yang dilakukan Proceedings on the Island of Java from 1st October 1811 to 7th June 1813 transmited

para “perampok” yang berindak atas perintah Hamengku Buwono II pada akhir November to the Commander in Chief at Fort St. George and coninuaion aterwards to 18th July

1811 keika dia dalam perjalanan ke Semarang).

1813—Communicated with a Copy of the Former to the Government at Fort William of

4. Mack. Pr. 14 Bagian 15, Mackenzie, “Report & Journal”, hlm. 228.

[sic] the 14th December 1813”, hlm. 233 catatan kaki. 5. Carey (peny.), Briish in Java, hlm. 260 (XVI v. 23–26), hlm. 427–428 (catatan 138–139). 2. Dj. Br. 29 Crawfurd (Yogyakarta) kepada G.A. Addison (Batavia/Bogor), 18 Agustus 1814.

6. Lihat Carey (peny.), Archive, 1: hlm. 91 catatan 1.

3. Lihat M.L. van Deventer (peny.), M.L. van Deventer (peny.), De Opkomst van het �ederlandsch Gezag in Oost-Indië: 7. Carey (peny. dan penerj.), Babad Dipanagara, hlm. 266 catatan 123 (dan sumber-sumber Carey (peny. dan penerj.), catatan 123 (dan sumber-sumber n 123 (dan sumber-sumber Verzameling van onuitgegeven Stukken uit het Oud-koloniaal Archief, jilid 13 (Den Haag:

yang dikuip di dalamnya).

Nijhof, 1888), hlm. 547–548 (mengenai “jagoan” yang meneror jalan utama menuju 8. Lihat, misalnya, P.H. van der Kemp, “De Economische Oorzaken van den Oorlog op Java Surabaya dan Surakarta setelah kekalahan Gubernur Jenderal Jan Willem Janssens

van 1825–30”, BKI, 47 (1897): bagian 4, hlm. 42–48.

(menjabat 16 Mei–18 September 1811) di Jai Ngaleh oleh Inggris pada 16 September 9. M.C. Ricklefs, Jogjakarta under Sultan Mangkubumi 1749–1792. A History of the Divison of 1811 dan penjarahan Markas Besar militernya di Salaiga oleh mantan pasukan Jawa dari

Java (London: Oxford University Press, 1974), hlm. 282 (mengenai pembicaraan tentang kesatuan tentara kerajaan Jawa Tengah); IOL Eur. F 148/17 (Koleksi Rales-Minto, jilid

cara bagaimana perbentengan baru dibangun mengelilingi keraton Yogyakarta pada 1785 17), Kapten W. Robinson (Surakarta) kepada Lord Minto (Rijswijk), 26 September 1811

atas dorongan Putra Mahkota Yogyakarta (kemudian menjadi Hamengku Buwono II) dan (mengenai “bandii” yang memenuhi jalan dari Surakarta menuju Yogyakarta sehingga

yang dibuat contohnya dari arsitektur Markas Besar tentara Belanda di Weltevreden, yang jalan tersebut menjadi berbahaya bagi orang yang berpergian dalam rombongan kecil);

baru diselesaikan). Lihat juga Ricklefs, Mangkubumi, hlm. 258, 278; Rales, History, I: hlm. Dj. Br. 9ª, F.G. Valck, “Overzigt der voornaamste gebeurtenissen in het Djokjokartasche

296; dan W. Thorn, Memoir of the Conquest of Java with the Subsequent Operaions of the rijk sedert dezelfs siching in den jare 1755 tot aan het einde van den door den opstand

Briish Force in The Oriental Archipelago (London: Egerton, 1815), hlm. 388 (untuk referensi van den Pangeran Ario Dhipo-Negoro verwekten oorlog in den jaren 1825 tot en met

tentang penggunaan meriam buatan Eropa yang digunakan di Yogyakarta); dan H.G. Nahuys 1830”, f. 101 (mengenai perampokan bersenjata yang dilakukan terhadap orang Eropa

van Burgst private collecion, (Leiden University Library, Bibliotheca Publica Laina 616 yang inggal di Klaten dan perkebunan milik Willem Coops dekat Yogya); Dj. Br. 39, P.

[selanjutnya disebut �vB]) Port. 3 Bagian 1, W.H. van Ijsseldijk (Yogyakarta) kepada A. Engelhard (Yogyakarta) kepada Raden Adipai Danurejo II (Yogyakarta), 24 Puwasa A.J.

Schwenke (Gresik), 10 Desember, 1792 dan 22 Januari 1793 (mengenai pembelian meriam 1738 (12 Oktober 1811); dan Dj. Br. 24, P. Engelhard (Yogyakarta) kepada Kapten W.

dan amunisi oleh Hamengku Buwono II dari pabrik pembuatan senjata di Gresik).

10. Saya mengucapkan terima kasih kepada Profesor Ben Anderson untuk saran ini. Kemungkinan mengambil alih monopoli kerajaan, bahkan lebih menguntungkan atas sarang burung sekali, penguasa Jawa pertama yang mencoba menyaingi metode pemungutan pajak

yang dapat dimakan, yang diambil dari batu-batu karang daerah pantai selatan (bernilai layaknya VOC itu adalah Amangkurat II (bertakhta 1677–1703), yang berkesempatan

sekitar f35.000 per tahun), dan berindak sebagai pemberi pinjaman uang kepada Sultan mengamai dari dekat cara kerja bandar yang dikelola orang Tionghoa di daerah pantai

Pertama, lihat dK 145, M. Waterloo (Yogyakarta) kepada N. Engelhard (Semarang), 21 utara keika ia inggal di Japara pada 1677–1678, dan telah terdapat referensi untuk orang

Februari 1808. Baru pada 1806, pemungut pajak di Surakarta diambil alih oleh Residen Tionghoa sebagai penjaga gerbang tol dan sebagai orang yang menyewakan tanah di

tersebut, lihat S. Br. 55, B.F. von Liebeherr (Surakarta) kepada N. Engelhard (Semarang), Kerajaan Mataram pada awal abad ke-18, lihat catatan belakanh no. 25 Bab 2. Menurut

1 November 1806, terkait dengan kenyataan bahwa biaya administrasi yang sangat besar Anderson, dalam hubungan ini, dapat dilakukan perbandingan yang menarik dengan cara

sehingga ia hanya berhasil mendapatkan keuntungan nyata hanya dari sarang burung. bagaimana penguasa Thailand, Chulalongkorn (Rama V) (bertakhta 1868–1910), meniru

Untuk pembahasan lebih lanjut mengenai keidaksesuaian antara hasil pemungut pajak sistem pajak serta bea cukai seperi yang pernah dilihatnya dilaksanakan di Singapura dan

gerbang tol di Yogyakarta dan Surakarta, lihat selanjutnya. Mengenai sarang burung yang Batavia selama perjalanannya pada 1870-an.

dapat dimakan itu (dibentuk dari air liur burung layang-layang, bahasa Jawa: walét, lihat 11. Dj. Br. 86, M. Waterloo (Yogyakarta) kepada N. Engelhard (Semarang), 19 Januari 1805

Crawfurd, Descripive Dicionary, hlm. 54 sub: “Birds’-Nests.”

(yang memberikan laporan terperinci dan menarik tentang awal sejarah pemungut pajak 17. Pembahasan tentang sistem tanah gaji orang Jawa yang berlaku pada masa ini, lihat Peter di Yogyakarta pada 1755). Lihat juga Mack Pr. 21. Crawfurd, ”Sultan’s Country”, hlm. 113

Carey, “Waiing for the ‘Just King’: The Agrarian World of South-Central Java from Giyani (yang mengungkapkan bahwa terdapat orang yang hidup di Yogyakarta, pada 1811, yang

(1755) to the Java War (1825–30),” Modern Asian Studies, 20 (1986), hlm. 59–137. masih dapat mengingat periode sebelum dijalankannya pemungutan pajak di wilayah barat

18. Mengenai kebutuhan pajak yang terus meningkat dari para Sultan Yogyakarta, khususnya Kesultanan pada 1755).

pada periode pertama (1792–1810) pemerintahan Hamengku Buwono II, lihat Carey, Power 12. Lihat catatan belakang no. 20 Bab 3; dan Lampiran 3.

of Prophecy , hlm.56–66. Disamping biaya rumah tangga istana yang terus meningkat, 13. Mack Pr. 21, Crawfurd, ”Sultan’s Country”, hlm. 136.

sebagai akibat membengkaknya keluarga kerajaan, tampaknya Hamengku Buwono II mulai 14. S. Br. 170, Para Komisaris (Jawa Tengah) kepada G.A.G. Ph van der Capellen (Batavia), 24

melaksanakan suatu kebijakan yang disadari sepenuhnya untuk membangun kekayaan Oktober 1824.

keraton dengan cara melakukan tuntutan pembayaran upei yang lebih keras dan denda 15. Sebuah contoh yang menarik diberikan di dalam Ricklefs, Mangkubumi, hlm. 243 tentang

uang yang dijatuhkan atas pegawai-pegawainya. Di dalam indakannya ini, ia juga didukung serangan Putra Mahkota Yogyakarta (kelak menjadi Hamengku Buwono II) terhadap

oleh istri keiganya, Ratu Kencana Wulan, seorang yang tamak dan tak bermoral, yang gerbang tol yang dijalankan orang Tionghoa di Trayem, cabang Kali Progo, di daerah selatan

berhasil menguasai Sultan dan menggunakan kedudukannya untuk mengumpulkan koleksi Kedu yang dikendalikan Surakarta pada 1778.

pribadi dalam bentuk barang-barang berharga dan perhiasan yang cukup banyak. Pada 16. Dj. Br. 86, M. Waterloo (Yogyakarta) kepada N. Engelhard (Semarang), 19 Januari 1805.

1808, diperkirakan bahwa Hamengku Buwono II telah memiliki lebih dari 1 juta uang rial Residen Belanda pertama, yang menyelenggarakan pemungut pajak di Yogyakarta dan

bulat dalam perbendaharaannya, yang dapat dibandingkan dengan 270.000 rial bulat yang mendapatkan keuntungan dari usaha itu adalah Jan Lapro (menjabat 1764–1773). Ia juga

diwariskan oleh ayahnya, Hamengku Buwono I; lihat dK 145, M. Waterloo (Yogyakarta) diwariskan oleh ayahnya, Hamengku Buwono I; lihat dK 145, M. Waterloo (Yogyakarta)

sepanjang Bengawan Solo sekalipun, tampaknya perdagangan telah dipengaruhi oleh memperoleh kejayaan, dan nafsunya akan uang, membuat segala sesuatu menjadi sangat

banyaknya gerbang tol yang didirikan oleh para penguasa di sepanjang aliran sungai buruk,” lihat Dj. Br. 48, J.G. van den Berg (Yogyakarta) kepada N. Engelhard (Semarang), 8

tersebut pada 1796, lihat Carey (peny. dan penerj.), Babad Dipanagara , hlm. 42, 70, no. November 1801.

19. Dr. Leonard Blussé, komunikasi pribadi, Leiden, Juni 1983.

24. Carey (peny.), Briish in Java, hlm.483–486 (catatan 399).

20. Lihat S. Br. 170, Laporan dari H.G. Nahuys van Burgst (Residen Surakarta) tentang gerbang 25. NvB Port. 5 Bagian 5, Crawfurd (Yogyakarta) kepada H.G. Nahuys van Burgst (Batavia) 9 tol, 29 Mei 1830, yang menyatakan bahwa para pedagang Tionghoa berpura-pura terkena

Agustus, 1816; dan Koleksi Pribadi NA J.C. Baud [selanjutnya disebut Baud] 306, “Rapport pajak iga kali lebih banyak atas barang dagangan mereka, tetapi kenyataannya mereka

van W.H. van IJsseldijk omtrent de vorstenlanden”, 11 Desember, 1816.

mampu mendapatkan dengan pembayaran minimal akibat perlakuan isimewa yang mereka 26. Dj. Br. 86 Tan Jin Sing (Yogyakarta) kepada M Waterloo (Yogyakarta), 1 Mei 1808. dapatkan dari orang-orang senegerinya.

27. Carey (peny.), Briish in Java, hlm. 483–486 (catatan 399).

21. Lihat S. Br. 170, hlm. 127 yang memberikan daftar gerbang tol di Surakarta disertai 28. Carey (peny.), Briish in Java, hlm. 483–486 (catatan 399), mungkin pula Tan Jin Sing pengembalian pajak tahunannya dari 1816 sampai 1824. Bandar yang utama adalah:

membantu Mackenzie mengerahkan para tukang setempat untuk membuat tangga Ampel, Asem, Bagelen, Banyumas, Batur, Ganggeng, Jagaraga, Jambon, Kebumen, Kediri,

memanjat tembok, sebelum penyerbuan pasukan Inggris atas keraton, lihat Mack Pr. 14 Kleco, Pakis, Ponorogo, Prambanan, Sambi, Semen, Wonogiri. Untuk datar bandar di

Bagian 15, Mackenzie, “Report & Journal,” hlm. 252–253.

Yogyakarta, lihat Lampiran 3. Crawfurd (Mack Pr. 21 Bagian 4, “Sultan’s Country”, hlm.

29. Carey (peny.), Briish in Java, hlm.424–425 (catatan 126).

134) memperhitungkan bahwa jumlah gerbang tol yang lebih kecil (rangkah) membuat

30. Carey (peny.), Briish in Java, hlm.483–486 (catatan 399). Carey (peny.),

angka pos-pos bea cukai di Yogyakarta berjumlah 70 atau 80 pada 1811. 31. Carey (peny.), Briish in Java, hlm.483–486 (catatan 399); J. Meinsma, ”Een Anachronisme”, Carey (peny.), ; J. Meinsma, ”Een Anachronisme”, 22. Archief van Jogja (KITLV H 698 a-b, Roufaer coll.) [selanjutnya disebut AvJ], M. Waterloo

23 (1876): hlm. 132; dan P.J. Veth, Java. Geographisch, Ethnologisch, Historisch, Jilid (Yogyakarta) kepada N. Engelhard (Semarang), 29 Desember 1804. Mengenai perdagangan

TBG

2 (revisi kedua, J.F. Snelleman dan J.F. Niermeyer, peny.) (Haarlem: Erven F. Bohn, 1898), beras di Kedu, lihat juga NA Schneither 92, “Staisieke der Residenie Kadoe” (1822) sub:

hlm. 307.

“Rijst”; dan Mack Pr, 21 Bagian 8. Crawfurd, “Report upon the District of Kadoe,”, hlm. 32. Tan Jin Sing, yang sebelumnya pernah bertugas sebagai Kapitan Cina di Kedu (1793–1803), 287, yang mengutarakan: “Melimpahnya dan murahnya harga beras di Kedu memerlukan

menjelang pengangkatan sebagai kepala urusan pemungut pajak untuk sementara waktu pengangkutan sejauh seratus mil dan pembayaran yang banyak pada gerbang-gerbang tol,

di provinsi tersebut demi kepeningan pihak Inggris setelah berlangsungnya pencaplokan tetapi harganya idak menjadi terlalu mahal.” Pada 1832, provinsi menghasilkan 369.000

wilayah itu, berdasarkan syarat-syarat yang tercantum dalam perjanjian yang ditanda- amet (1 amet = 200 kai = 123,40 kg) gabah, sedangkan sebanyak 23.000 amet diekspor,

tangani pada tanggal 1 Agustus 1812 antara Rales dan istana Yogyakarta. Peranan bekas lihat NA MvK 3054, “Beschrijving en Staisieke rapport der Residenie Kadoe” (1836), hlm.

Kapitan Cina itu membangkitkan amarah Pakualam I , oleh karena ialah yang berharap 21.

akan mendapatkan anugerah atas pertolongan yang telah diberikannya kepada Inggris akan mendapatkan anugerah atas pertolongan yang telah diberikannya kepada Inggris

“Rapport”, 11 Desember 1816; NvB Port. 4 hlm. 5; dan Nahuys van Burgst, Herineringen di daerah itu. Sebaliknya, pasca-Oktober 1812 seluruh apanase di daerah itu dicabut

uit het Openbare en Bijzondere Leven (1799–1858) van Mr. H.G. Baron �ahuys van Burgst dari kekuasaannya, lihat Carey (peny.), Briish in Java , hlm. 453–454 (catatan 261), hlm.

(‘s-Hertogenbosch: Muller, 1858), hlm. 114–117. Sebagai penghargaan atas pelayanan 458–460 (catatan 286, 288, 292).

yang telah diberikannya dalam melaksanakan tugas yang disebutkan terakhir, Nahuys 33. Carey (peny.), Briish in Java , hlm. 458 (catatan 286).

menghadiahkannya sebuah jam tegak model lama (“grandfather clock”) dan sebuah patung 34. Carey (peny.), Briish in Java , hlm. 424–425 (catatan 126), hlm.483–486 (catatan 399).

yang terbuat dari batu pualam puih yang tentu saja semakin menambah keidakpantasan 35. Carey (peny.), Briish in Java , hlm. 391 (LX. 3). Kronik yang dibicarakan adalah versi Carey (peny.), Kronik yang dibicarakan adalah versi

budaya di kediamannya di Yogyakarta.

Pangeran Panular (sekitar 1772–1826) dari Babad Bedhah ing �gayogyakarta (”Riwayat

40. Lihat Carey (peny.), Briish in Java, hlm.498–499 (catatan 486).

Jatuhnya Yogyakarta”) yang telah disuning dalam Carey (peny.), Briish in Java, atas 41. A� Geheim Besluit Commissarissen-General, 12 Desember 1816, La A, Pakualam I dasar BL Add. MS, 12330; untuk lebih jauhnya lihat M.C. Ricklefs dan Pieter Voorhoeve,

(Yogyakarta) kepada W.H. van Ijsseldijk (Yogyakarta), 5 Dulkangidah AJ 1743 (30 September Indonesian Manuscripts in Great Britain. A Catalogue of Manuscripts in Indonesian A Catalogue of Manuscripts in Indonesian

Languages in Briish Public Collecions (London: Oxford University Press, 1977), hlm. 51

42. Baud 306, Van IJsseldijk, “Rapport”, 11 Desember 1816.

sub: “Add. 12330”.

43. Meinsma, “Anachronisme”, hlm. 132.

36. Carey (peny.), Briish in Java, hlm. 485 (catatan 399). 44. Untuk suatu pembahasan yang baik tentang proses ini pada akhir abad ke-19 di Jawa, 37. Carey (peny.), Briish in Java, hlm. 485 (catatan 399). Carey (peny.),

lihat Claude Guillot, “Un exemple d’assimilaion à Java: le photographe Kassian Cephas 38. Carey (peny.), Briish in Java, hlm. 485 (catatan 399). Istri yang idak resmi ( Carey (peny.), Istri yang idak resmi (garwa ampeyan)

(1844–1912)”, Archipel no. 22 (1981), hlm. 55–73. Bahaya dan perangkap yang terdapat yang dipermasalahkan adalah Raden Ayu Muriningrat, seorang bekas komandan (wedana)

di dalam proses asimilasi tersebut (paling idak bagi orang Indonesia) digambarkan Abdul dari ”Korps Srikandi” (prajurit èstri) Hamengku Buwono II dan kelak menjadi istri idak

Muis (1890–1959) secara sangat indah—seorang penulis berdarah campuran Jawa dan resmi Hamengku Buwono IV, lihat Carey (peny.), Briish in Java, hlm. 463–464 (catatan

Minangkabau, dalam novelnya yang amat bagus, Salah Asuhan (1928), lihat A. Teeuw, 309); dan Mandoyokusumo, Serat Raja Putra, hlm. 33, 38. Tuduhan tentang pencabutan

Modern Indonesian Literature, jilid 1 (Den Haag: Nijhof, 1979), hlm. 62–63. hak atas apanase dari Mas Tumenggung Mangundipuro (diberhenikan pada pertengahan

45. Bagaimanapun juga, dia sering dihubungkan dengan persekongkolan di lingkup ibu suri, 1815) dan lainnya, dinyatakan dalam AN Geheim Besluit Commissarissen-Generaal, 12

Ratu Ibu (pasca-Juli 1820 menjadi Ratu Ageng; meninggal pada 20 Juni 1826), ibu Hamengku Desember 1816, La A. Kyai Adipai Purwo (bekas Kyai Adipai Danurejo III) kepada W.H.

Buwono IV kelahiran Jawa Timur, dan anak kepercayaan poliiknya, Danurejo IV dan Raden van IJsseldijk, 11 Dulkangidah AJ 1743 (4 Oktober 1816).

Tumenggung Major Wironegoro, komandan (menjabat 1817–1829) pasukan pengawal 39. Utamanya ia menikmai sekali hubungan akrab dengan Crawfurd dan orang Belanda yang

pribadi Hamengku Buwono IV, seperi juga halnya dengan Danurejo, adalah seorang mengganikannya, Mayor Huibert Gerard Nahuys van Burgst (menjabat 1816–1822),

keturunan Bali dari petualang Bali yang terkenal pada akhir abad ke-17, Untung Surapai berindak sebagai informan poliik bagi mereka dan menemani Nahuys dengan komisi pada

(meninggal pada 1706), lihat Carey (peny. dan penerj.), Babad Dipanagara, hlm. 245 catatan

41, dan hlm. 378 catatan 178; dan J. Hageman, Jcz., Geschiedenis van den Oorlog op Java

BAB 5

van 1825 tot 1830 (Batavia: Lange, 1856), hlm. 35, 38–39. Namun, seperi itu lebih banyak merugikan dari pada menguntungkan bagi Tan Jin Sing di mata kebanyakan elite Yogyakarta, oleh karena kelompok kecil tersebut berhubungan dengan kebijakan perdagangan agresif

Pengelolaan Perdagangan Candu

(persewaan tanah) Residen Yogyakarta, Nahuys van Burgst, lihat Louw, Java-oorlog, I: Bab 5.

dan Gerbang Tol oleh Orang Eropa

(1812–1825) serta Dampak

46. Lihat Carey (peny.), Briish in Java, hlm.483–485. Adanya uang pensiun yang dibayarkan

oleh istana Yogyakarta ini juga sudah dipasikan penulis dalam sebuah wawancara dengan Dr. Onghokham (Oxford, Desember 1978), yang ibunya masih mempunyai pertalian dengan

Sosial-Ekonominya

keluarga Tan Jin Sing. 47. Carey (peny.), Briish in Java, hlm.238, 414–415 (catatan kaki 78 dan 84).

48. Ricklefs, Mangkubumi, hlm. 100. Kronik yang dibicarakan, yakni sebuah babad berbentuk afles telah menandatangani syarat perjanjian dengan pihak istana prosa di mana satu versinya terdapat di Perpustakaan Leiden University dengan nomor

R sebagai buah kesuksesan operasi militer Inggris terhadap Yogyakarta.

katalog LOr 5765, dibicarakan dalam M.C. Ricklefs, “On the Authorship of Leiden Cod. Or. Syarat tersebut adalah semua gerbang tol dan pasar di seluruh wilayah 2191. Babad Mangkubumi,” BKI 127 (1971): hlm. 265. Sebelumnya telah disuning dan

kerajaan itu diambil alih oleh pemerintahan Eropa dan langsung disewakan diterjemahkan oleh Carel Poensen, dengan judul, “Mangkubumi. Ngayogyakarta’s Eerste

kepada orang Tionghoa. 1 Hal ini membuka jalan yang lebih efektif bagi Sultan (Naar Aanleiding van een Javaansch Handschrit)”, BKI 52 (1901): hlm. 233–361.

eksploitasi pemungut pajak, di mana terdapat sebuah perkembangan yang menojol setelah Agustus 1816. Saat itu, pemerintahan kolonial Belanda yang berhasil dipulihkan kembali ke kedudukannya di tanah jajahan tengah menghadapi utang-utang besar dan pemasukan yang tidak

memadai akibat pengaturan penyewaan tanah yang dilimpahkan Rafles. Dari sana muncul niat untuk memanfaatkan gerbang-gerbang tol sebagai

sumber pemasukan untuk menutupi kekurangan pajak pemerintah. 2 Meskipun periode pemerintahan Inggris di Jawa (1811–1816) tidak sempat menjadi saksi naiknya keuntungan dari bandar tol tersebut, tetapi mereka mrnjadi seorang “bidan” bagi suatu perkembangan yang lain, yaitu perluasan yang cepat perdagangan eceran candu. Hal itu sebagai akibat dari kemudahan dalam pengimporan candu secara resmi dari

Bengal, setelah dihapuskannya blokade angkatan laut Inggris terhadap 1812 mengungkapkan begitu meluasnya pemakaian candu oleh anggota perairan Indonesia pada Agustus 1811 dan tekanan keuangan terhadap

perkumpulan pemikul barang (gladhag) dan para buruh menganggur

di kota tempat istana kerajaan berada. Ia juga menekankan bagaimana sebagai bandar candu dan pengecernya di wilayah kerajaan secara terus-

pemerintahan Raffles. 3 Orang Tionghoa sekali lagi menjadi terkenal

penyaluran candu via gerbang tol menyebabkan efektivitas penyebaran menerus. Inilah yang kemudian menjadi sasaran kebencian rakyat ketika

kebiasaan nyandu (mencandu) di lingkungan penduduk pedesaan. 9 keadaan ekonomi di Jawa Tengah selatan mulai menurun tajam akibat

Ketika ia pada suatu pagi berjalan melintasi Pasar Klaten yang sibuk, ia musim kemarau dan kegagalan panen pada 1821–1825. 4

menyaksikan betapa penuhnya sarang tempat pengisapan candu serta Statistik menunjukkan penjualan candu resmi dan pemakaian candu

betapa usangnya pakaian para penduduk; beberapa orang hampir tidak di wilayah kerajaan mengalami peningkatan di Yogyakarta selama tahun-

berpakaian, yang lainnya berpakaian kain lusuh. 10

tahun tersebut. Penjualan berlipat ganda antara 1802 dan 1814, saat nilai Dapat dipastikan bahwa kebiasaan memakai candu itu merupakan borongan satu peti candu (148 pon avoirdupois—suatu sistem pengukuran

suatu kemewahan bagi orang kebanyakan. Harga segumpal kecil tembakau berat 1 pon = 16 oz) juga mengalami kenaikan dua kali lipat terkait dengan

yang dibubuhi candu sebanyak 76 miligram (1/5 mata) saja berharga 1½ pengaruh inlasi dan pelaksanaan monopoli Inggris yang lebih keras. 5 sen. Saat itu harga 1½ sen setara dengan sekitar 15% penghasilan harian

Selama dekade berikutnya (1814–1824), pajak dari perdagangan candu seorang buruh pemikul barang. 11 Namun, bagi kebanyakan orang, candu di Yogyakarta menjadi lima kali lipat. Pada 1820, terdapat sebanyak 372

memberikan kesempatan satu-satunya melepaskan diri dari kesulitan tempat terpisah yang mendapat izin resmi untuk menjual secara eceran di

hidup yang tak pernah berhenti. Misalnya, di Pacitan, biasanya uang upah wilayah Sultan, yakni hampir di setiap gerbang-gerbang utama (bandar),

akan mereka gunakan untuk nyandu setelah selamatan besar-besaran subgerbang (rangkah), dan pasar di kesultanan. 6 yang diadakan untuk merayakan berakhirnya masa panen kopi. 12 Sulit untuk memastikan berapa jumlah pasti para pecandu itu. Atas

Candu secara luas juga digunakan sebagai stimulan dan menjadi dasar angka-angka pemakaian candu yang dikumpulkan pada akhir abad

bagian berharga ilmu obat-obatan orang Jawa dalam mengobati berbagai ke-19, seorang pejabat Pemerintah Belanda menyimpulkan bahwa ternyata

macam penyakit. 13 Selama Perang Jawa, misalnya, terdapat laporan

bahwa banyak anggota pasukan Diponegoro yang “jatuh sakit” karena pemakaian candu hampir dapat dikatakan jauh lebih tinggi jika melihat

sekitar 16% orang Jawa telah menjadi pemakai candu. 7 Akan tetapi, angka

kekurangan obat. Kemudian orang Tionghoa penjaja mendapatkan fakta merakyatnya pemakaian jenis-jenis candu yang disebut candu

keuntungan yang baik di garis belakang ketika perasaan anti-Tionghoa “orang-orang miskin”, seperti rokok yang dicelupkan ke dalam candu,

yang kejam pada bulan-bulan pertama peperangan tersebut mulai kopi yang dibumbui candu, dan buah pinang yang dibubuhi candu. 8

sedikit mereda. 14 Beberapa orang pangeran dari Yogyakarta dan Beberapa laporan impresionistis tersedia dari awal abad ke-19.

sejumlah pejabat tinggi juga terjerumus pada kegemaran mengisap Seorang pengembara Belanda yang mengunjungi wilayah kerajaan pada

candu bermutu tinggi. Tercatat pula bahwa ada kalangan pangeran candu bermutu tinggi. Tercatat pula bahwa ada kalangan pangeran

ditimbang dan diperiksa juru taksir Tionghoa dan kewajiban bea cukainya Jika kecanduan opium merupakan hiburan bagi orang kaya, bagi

ditetapkan sebelum hasil bumi tersebut (terutama yang berasal dari Kedu orang miskin itu adalah bencana. Bahkan kegemaran sekecil apa pun

dan Bagelen) dikirimkan ke daerah pesisir. 18 Pada periode yang sama, terhadap obat tersebut akan menghabiskan uang simpanan langka para

total pajak dari gerbang tol daerah Yogyakarta saja hampir tiga kali lipat. petani Jawa dan membuat keadaan ekonominya semakin genting. Jalan

Hal ini terjadi setelah kehilangan daerah Kedu (dengan bandarnya) pada menuju kemerosotan sosial serta kejahatan setiap saat terbuka lebar. Hal

Juli 1812 serta penghapusan gerbang tol di sepanjang Bengawan Solo atas itu sesuai dengan yang dikemukakan oleh Residen Yogyakarta, Nahuys

“Surat Perintah Rafles di dalam Dewan” pada 11 Februari 1814. 19 van Burgst, selama Perang Jawa. Ia memerintahkan untuk melakukan

Sebelum dilanjutkan dengan melakukan penilaian atas dampak penangkapan atas ribuan buruh serta gelandangan yang berkeliaran

ekonomi dan sosial dari perkembangan tersebut, penting kiranya untuk dan memenuhi daerah pedesaan Jawa. Mereka dijuluki “orang-orang

melihat ke tepi sekilas, menyaksikan bagaimana sebenarnya sistem gerbang yang tidak mempunyai sawah, dengan bahu serta telapak tangannya

tol utama dan gerbang tol yang lebih kecil itu bekerja. Menurut para halus, sama sekali tidak memperlihatkan tanda-tanda sebagai buruh,

Komisaris Belanda yang menyelidiki sistem tersebut pada 1824, gerbang- dan matanya serta warna bibirnya mengungkapkan kebiasaan mereka

gerbang tol asli negara Mataram didirikan di sepanjang jalan tempat menggunakan candu”. 16

pemberhentian (pesanggrahan) bagi pelancong yang menggunakan Berbagai akibat sosial dari kecanduan opium serta posisi yang semakin

jalur dagang utama. Setiap pesanggrahan yang berada di pinggir jalan penting yang dimainkan oleh orang Tionghoa sebagai pengecer candu

ini berjarak satu hari perjalanan dengan berjalan kaki. Tempat itu sering disejajarkan secara erat dengan pengaruh yang ditimbulkan oleh perluasan

dikunjungi antara lain oleh pedagang-pedagang Tionghoa. Beberapa yang cepat gerbang tol di wilayah kerajaan setelah 1816, khususnya di

dari mereka membeli hak dari Kapitan Cina setempat untuk memasang Yogyakarta. Telah diajukan banyak referensi mengenai sifat menindas

sejumlah kecil cukai kepada pelancong lainnya, sebagai pembayaran atas para pemungut pajak di kesultanan ini, jika dibandingkan dengan wilayah

jasanya memelihara barang-barang mereka.

yang berdekatan, seperti Kesunanan dan Mangkunegaran. Dalam waktu Secara berangsur, seiring berjalannya waktu, didirikanlah gerbang tol satu dekade (1811–1821), setelah orang Eropa melakukan perampasan

yang lengkap. Gerbang tol itu dikelola oleh orang Tionghoa yang kadang- perdagangan candu, jumlah gerbang tol di wilayah Yogyakarta bertambah,

kadang berkembang dari asalnya—yaitu warung-warung pinggir jalan— dari 34 buah bandar utama dan sekitar 70 buah untuk yang lebih kecil

yang selama ini melayani tempat penginapan. Kemudian, dengan semakin menjadi 45 gerbang tol ditambah dengan pasar, 106 subgerbang tol, akrabnya orang Tionghoa ini dengan daerah pedesaan di sekelilingnya dan

semakin besarnya tekanan yang diberikan Kapitan Cina kepada mereka tiga buah gudang tembakau utama (gedhong tembakau) di perbatasan

dan 187 pos pasar. 17 Sebagai tambahan, sampai tahun 1824, terdapat

untuk membayar sewa yang lebih tinggi lagi, pos-pos yang lebih kecil

(rangkah) disediakan oleh mereka pada jalan-jalan yang berdekatan. Hingga menjelang Perang Jawa, sesuai perkataan para komisaris tersebut, sejenis gerbang tol dapat ditemukan “pada hampir setiap jalan masuk ke setiap kampung dan dusun kecil” di Jawa Tengah. 20

Daerah bea cukai yang rumit, yang membatasi zona-zona yang disewakan oleh bandar Tionghoa, didirikan beserta pos pengamatan (salaran) pada semua jalur ke distrik yang terpisah. Adapun tujuan dari pendirian pos pengamatan itu adalah untuk memeriksa bahwa setiap pelancong telah membayar semua cukai yang diperlukan, sebelum mereka memasuki wilayah bea cukai yang lain. Tangan mereka akan dicap mengggunakan cat nila yang dapat menghilang secara perlahan-lahan, sebagai tanda terima cukai yang telah mereka bayar. Kewajiban membayar pajak penuh dikenakan kepada bandar barang dagang utama setiap zona bea cukai. Selanjutnya barang-barang ini tidak akan dikenakan pajak lagi, kecuali pembayaran upeti (“wang peniti”) pada gerbang tol yang lebih kecil di sebelahnya. Namun, jika suatu muatan hanya akan dibawa dalam jarak pendek saja dan hanya perlu melewati sebuah gerbang tol kecil, barang-

barang tersebut hanya dikenakan setengah dari besarnya pajak. 21 Tingkat tarif pajak untuk barang perdagangan pokok 22 ditentukan

Pengadilan Distrik (Landraad) di Pai, Jawa Tengah, dengan Kapitan Cina, Oei Hotam (Paling Kiri)

oleh para subpemungut pajak pada masing-masing gerbang tol setelah

(Sumber: Litograi dari foto karya Walter Woodbury dan James Page, 1865–1876, seizin Leiden Universiteits Bibliotheek)

dikonsultasikan dengan pemungut pajak utama dan residen setempat di daerah itu. Tingkat tarif pajak didasarkan pada kedudukan gerbang tol

Pacitan. Selain itu, para pedagang Tionghoa berpura-pura diharuskan serta tingkat kemakmuran rata-rata di distrik itu. Misalnya, sepikul (61,175

membayar bea cukai barang dagangannya tiga kali lebih banyak daripada kg) beras harus membayar pajak sebesar 44 sen di Ampel—sebuah gerbang

pedagang Jawa. Ditambah, semua kewajiban pajak harus tertera sehingga tol Surakarta yang telah lama didirikan pada jurusan Solo–Salatiga—tetapi

mudah dapat ditunjukkan pada pos-pos bea cukai. 23

hanya akan terkena pajak sebesar 15 sen pada gerbang tol utama di Jika berdasarkan teori, seperti itulah seharusnya sistem bekerja; Ponorogo di Jawa timur, 8 sen di bandar Pacitan di pantai selatan, dan

akan tetapi, pelaksanaannya biasanya sangat berbeda. Sering terjadi hanya ditarik pajak sebesar 2 sen saja di rangkah Pager Waru di daerah

kasus, misalnya, bahwa sebuah bandar dan subordinasi rangkah yang kasus, misalnya, bahwa sebuah bandar dan subordinasi rangkah yang

mengancam agar menyerahkan pembayaran persentase yang besar untuk hampir tidak pernah diperlihatkan dengan baik, oleh karena kebanyakan

masing-masing akan mengenakan pajak yang penuh. 24 Tingkat tarif

memperoleh hak melewati gerbang tol. Jika kondisinya sudah seperti itu, para petani dan pedagang-pedagang kecil Jawa buta huruf; mereka tidak

petani hanya bisa menyerahkan nasibnya kepada kemurahan hati penjaga dapat membacanya pada beberapa kasus. 25 gerbang tol, sambil memohon, “Ampun, Tuan. Keluarga saya miskin,

Sebagaimana yang sudah dicatat sebelumnya, bandar-bandar Tuan!” Akan tetapi, jika pada akhirnya ia menolak membayar maka ia Tionghoa selalu bersikap lebih toleran kepada orang senegerinya

menghadapi risiko seluruh barang bawaannya akan disita.

dibandingkan kepada orang-orang Jawa. Oleh karena itu, tingkat tarif Selama proses menunggu yang begitu lama, sering kali petani tergoda khusus yang seharusnya dikenakan kepada pedagang Tionghoa tidak

untuk menggunakan candu yang hampir selalu dijual eceran di gerbang-

gerbang tol. Jika petani tersebut harus menginap maka akan ditambah Jawa biasa adalah tidak terdapat ketentuan tetap mengenai pajak yang

pernah dilaksanakan. 26 Kelemahan terbesar yang dialami oleh para petani

dengan menghadapi tipu daya gadis penari desa/pelacur (ronggeng) dan harus dibayar untuk bahan pangan umum dan hasil pertanian setempat—

pesta judi yang tentu saja lebih menguras uang simpanannya yang sudah seperti buah-buahan dan sayur-sayuran yang ditanam di pekarangannya—

amat sedikit. Jika ia mengalami nasib sial di dalam permainan kartu termasuk barang yang sering diperdagangkan di pasar-pasar setempat.

tersebut, ia terpaksa harus berpisah dengan pakaian serta persediaan uang Retribusi yang dikenakan kepada barang-barang tersebut sepenuhnya

tunainya, yang oleh banyak petani dan pedagang desa didapat dengan diserahkan kepada pertimbangan penjaga gerbang tol. Di sini mereka

meminjam dari kepala desa (lurah) mereka untuk keperluan membayar mengenakan pajak persentase (unusan; pelayang) yang pada hakikatnya

kewajiban tol yang harus mereka penuhi. Dalam keadaan demikian, mereka menarik uang sebanyak mungkin. Para penjaga gerbang tol ini

bukanlah suatu hal yang luar biasa jika seorang petani lebih memilih kadang terpaksa untuk bertindak keras, oleh karena mereka sendiri

mengembara daripada harus menghadapi hinaan karena kembali lagi ke adalah subpenyewa gerbang tol dari beraneka ragam perantara dan sangat

desa dengan tangan hampa. 28

membutuhkan pula uang tersebut untuk mengganti pengeluarannya. 27 Tentu saja, hanya ada sedikit cara terbuka untuk memperbaiki Seorang pejabat Belanda menggolongkan gerbang-gerbang tol dan

keadaan itu bagi petani. Pengaduan kepada para pejabat Jawa tentang perkumpulan pengangkat barang sebagai dua lembaga yang paling

penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan oleh penjaga gerbang tol sering merugikan di dalam masyarakat petani Jawa. Pada awal abad ke-19,

kali sia-sia oleh karena para pejabatnya sendiri telah menerima berbagai ia memberikan laporan menyedihkan tentang suatu pemandangan

pemberian, berupa uang pelicin (douceurs) agar mereka menutup mata yang sudah terkenal pada gerbang-gerbang tol di seluruh Jawa Tengah

atas praktik-praktik pemerasan itu. Ditambah, lika-liku prosedur untuk pada periode ini. Ia menggambarkan bagaimana seseorang petani Jawa

mengajukan kasus ke pengadilan atau ke hadapan para penguasa adalah disuruh menunggu selama berjam-jam sebelum bawaannya diperiksa,

cara-cara yang berada di luar kemampuan rata-rata para petani. 29 Satu- cara-cara yang berada di luar kemampuan rata-rata para petani. 29 Satu-

negeri tersebut. Untuk mengganti kerugian yang dialami pemerintah atas setempat untuk menjarah gerbang tol atau membakarnya.

pajak yang hilang (diperkirakan sekitar satu juta gulden), disarankan Kasus pembakaran tersebut sering terjadi pada tahun-tahun

supaya merampas daerah-daerah terpencil bagian barat Provinsi Banyumas menjelang Perang Jawa. Banyak pula penjaga gerbang tol yang menemui

dan Bagelen.

Mereka juga mendesak agar semua orang Tionghoa di desa dan dusun seperti itu sering mengakibatkan bencana penduduk di desa tetangganya.

ajalnya dengan cara brutal. 30 Namun, pembalasan rakyat dengan cara

diperintahkan pindah ke ibu kota kerajaan. Setiap orang Tionghoa yang Berdasarkan ketentuan undang-undang pidana Jawa, desa tetangga yang

belum menikah yang berada di daerah kerajaan kurang dari dua tahun terkena imbas itu berkewajiban untuk membayar ganti rugi mencapai dua

harus diusir secepatnya, bersama dengan mereka yang tidak mempunyai pertiga dari nilai barang yang dicuri atau sebuah “harga darah” kepada

pekerjaan atau mereka yang bersalah melakukan pemerasan. Selain itu, keluarga laki-laki yang terbunuh, kalau kejahatan itu tidak berhasil

tidak ada lagi izin imigrasi untuk orang-orang Tionghoa baru. 34 Menurut

pendapat mereka, begitu lama berlangsungnya tindakan-tindakan ancaman serangan yang terus-menerus, para penjaga gerbang tol itu pun

diselesaikan dengan memuaskan. 31 Sementara itu, dihadapkan pada

pemerasan dan penindasan oleh sistem gerbang tol itu hanya mungkin mulai mengorganisasikan “tentara pribadi” mereka sendiri. Biasanya

terjadi karena “sifat baik dan kedamaian (!)” orang-orang Jawa. Tim itu terdiri dari tukang pukul dan pengawal yang diambil dari orang Jawa;

mengakhiri laporannya dengan suatu ramalan yang sangat mengerikan: sehingga menambah lagi alur ke dalam jalinan kekerasan di daerah pedesaan menjelang Perang Jawa. 32

Kami berharap agar mereka [orang Jawa] tidak akan sampai terbangun Pemerintahan kolonial Eropa sesungguhnya menyadari sepenuhnya

dari keadaan tidur nyenyaknya ini, oleh karena kami memperhitungkan, pengaruh buruk setempat dari gerbang tol. Mereka pun telah berupaya

sebagai sesuatu yang sudah pasti, bahwa kalau gerbang-gerbang tol tersebut untuk membatasi pengaruhnya sebelum 1825. Sebagaimana telah kita

tetap diizinkan melakukan terus kegiatannya, maka waktunya tidak akan lihat, Inggris telah menghapuskan bandar-bandar di sepanjang aliran

lama lagi, pada saat orang-orang Jawa itu akan bangkit dengan cara yang Bengawan Solo pada 1814 dan Belanda pun mengikuti jejak tersebut di

mengerikan. 35

Kedu pada 1824. Tindakan tersebut segera membawa efek meningkatnya

Kendati terdapat peringatan yang mengerikan tentang bahaya sama, gubernur jenderal mengangkat sebuah tim komisaris—dipimpin

jumlah pasar dan tingkat perdagangan di provinsi. 33 Pada tahun yang

keresahan para petani yang mengancam dari hampir setiap pejabat oleh Residen Surakarta dan Residen Yogyakarta—untuk melakukan

yang mempelajari masalah tersebut, pemerintahan Belanda pasca-1861 penyelidikan cara kerja gerbang tol di seluruh daerah kerajaan. Pada

tidak mau melepaskan berbagai pajak yang begitu menguntungkan dari Oktober 1824, tim itu melapor kembali kepada gubernur jenderal, dan

gerbang tol di daerah kerajaan. 36 Kenaikan keuntungan tahunan sebanyak gerbang tol di daerah kerajaan. 36 Kenaikan keuntungan tahunan sebanyak

sebuah wawancara dengan seorang pejabat Belanda, dengan muka tinggi kolonial di Batavia menjadi buta terhadap kenyataan bahwa para

masam mengutarakan bahwa ia merasa lebih berani terhadap harimau bandar tanpa dapat dikendalikan lagi telah melumpuhkan perdagangan

yang memenuhi hutan jati dalam perjalanan lintas alamnya ke ibu kota di wilayah kesultanan.

Kesunanan, daripada harus berhadapan dengan jagoan tak tahu malu yang Seorang Tionghoa penjaga gerbang tol menulis pada November 1824

menjaga gerbang tol sepanjang jalan raya Nganjuk–Surakarta. 40 Pegawai dan melaporkan tentang kebangkrutannya hanya dalam waktu dua bulan

lainnya, dengan kepahitan yang hampir tidak dapat disembunyikan lagi, setelah mengambil alih pengelolaan bandar yang selalu menguntungkan

mengutarakan prosedur asusila yang dilakukan oleh bandar Tionghoa di daerah Bantul dan Jatinom, selatan Yogyakarta. Musim kering yang

pendatang baru dari Tiongkok yang hampir tidak bisa berbahasa Melayu berkepanjangan sejak awal tahun tampaknya telah menghancurkan

dalam menggeledah isik para istri dan kaum perempuan untuk menjarah tanaman kapas dan bahan-bahan pangan pokok, seperti jarak, kacang

perhiasan mereka. 41

kedelai, dan jagung, sehingga persediannya sangat sedikit. Harga beras Peran orang Tionghoa yang semakin menonjol sebagai penyewa melambung tinggi, dan kegiatan perdagangan di pasar-pasar setempat

tanah di daerah kerajaan antara 1816 dan 1823 juga telah memperburuk hanya sedikit karena perdagangan secara efektif telah ambruk sama

perasaan rakyat terhadap mereka. 42 Utamanya bukan sebagai akibat dari sekali. 37 cara pertaniannya yang agresif secara komersial, tetapi sebagai akibat Pada bulan-bulan yang mengerikan sebelum meledaknya Perang

tingkah laku mereka yang sombong dalam berurusan dengan para petani Jawa, pedesaan di Jawa merupakan tempat di mana orang hidup saling

Jawa dan para pejabat setempat. Perubahan sikap mereka disinggung curiga dan saling meneror. Gerombolan bersenjata beroperasi dengan

dalam sebuah laporan oleh seorang pangeran Yogyakarta yang berjuang sangat bebas dari tuntutan hukum. Pembunuhan banyak terjadi dan

bersama dengan Diponegoro:

kegiatan harian para petani setempat berlangsung di bawah pengawasan ketat mata-mata para penjaga gerbang tol yang ditempatkan di setiap desa

Di antara orang desa yang memberikan bantuan kepada Diponegoro, terdapat dan setiap jalan desa untuk mencegah terjadinya penghindaran kewajiban

orang yang tidak mempunyai apa pun lagi untuk dimakan dan mereka

yang mata pencahariannya adalah melakukan kejahatan, perampokan, kuburan, akan terbebani pajak pula. Terlebih hanya melintasi sebuah

membayar pajak. 38 Bahkan orang mati sekalipun, ketika diantarkan ke

dan pencurian, membantunya berdasarkan rencana jahat mereka sendiri. gerbang tol saja, kendati tidak membawa suatu barang yang dikenai

Sedangkan mereka yang tidak terlibat di dalam kegiatan kejahatan, seperti pajak, akan menyebabkan seorang pelancong dikenakan apa yang secara

para pegawai desa [demang desa] dan para pengumpul pajak [Bekel],

(kebanyakan mengikutinya) sebagai akibat dari keluhannya terhadap Jawa yang berkedudukan tinggi pun tidak luput dari perlakuan ini.

kasar dinamakan oleh orang Jawa sebagai “pajak bokong”. 39 Para pegawai

orang Tionghoa yang tingkah lakunya menjadi sangat berbeda dengan orang Tionghoa yang tingkah lakunya menjadi sangat berbeda dengan

van het Indisch Genootschap, 5 (1858): hlm. 18–37.

duduk di atas (yaitu di atas kursi), sedangkan para Demang harus duduk

4. Lihat Carey, Power of Prophecy, hlm. 480–503.

(sambil bersila) di atas lantai, di hadapan mereka (mesti duduk seba ada

5. Lihat Lampiran 3, no. 6. dibawa). 43 6. Dj. Br. 64, “Extract uit de algemeenen staat der amioen kiten behoorende bij de resoluie

van den 29 Juli no. 11, aantoonende de plaatsen alwaar in deze Residenie (Yogyakarta) Selama berlangsungnya Perang Jawa, Pemerintah Belanda pada

door den Amioen Pachter in het klein zal mogen worden verkocht met aanwijzing van het akhirnya bertindak secara cepat memodifikasi kerja sistem gerbang

aantal kiten op elke plaats” (1821); dan lihat Lampiran 3.

tol di daerah kerajaan, dan membatasi masuknya penduduk Tionghoa 7. J.A.B. Wiselius, De Opium in �ederlandsch- en in Briish–Indië, economisch, criisch,

ke daerah pedesaan. 44 Akan tetapi, pada saat itu tindakan modiikasi

historisch (Den Haag: Nijhof, 1886), hlm. 6.

tersebut sudah sangat terlambat; perang telah meluluhlantakkan daerah 8. Lihat Rush, “Opium Farms”, hlm. 20; dan Raffles, History, 1: hlm. 102–103, yang pedesaan dan orang Tionghoa. Mereka pada masa itu dimaklumi di ranah

membedakaan antara candu masih mentah (manta) yang “dimakan” oleh penduduk di istana sebagai penasihat keuangan yang tidak ternilai, rekan dagang, dan

daerah pedalaman Jawa, khususnya di daerah-daerah kepangeranan, dan candu yang telah ahli perpajakan, tetapi sekarang telah menjadi sasaran-sasaran khusus

dimasak (madat/candu) dan banyak dihisap orang di sepanjang pantai utara. kebencian dan kejijikan rakyat.

9. KITLV H. 503, Van Sevenhoven, “Aanteekeningen”, hlm. 73.

10. KITLV H. 503, Van Sevenhoven, “Aanteekeningen”, hlm. 79–80. 11. Wiselius. De Opium, hlm. 6; Rush, “Opium Farms”, hlm. 27; dan Crawfurd. Descripive

Catatan Belakang Dicionary, hlm. 313, yang mengatakan bahwa pemakaian candu pertahunnya oleh orang 1. Lihat M.L. van Deventer (peny.), Nederlandsch Gezag, hlm. 322–323 (Pasal 4 dari perjanjian

dewasa di Jawa hanya sebanyak 40 grain (1 grain = 0,0468 gram), dibandingkan dengan antara Pemerintah Inggris dan Sultan Hamengku Buwono III, 1 Agustus 1812); hlm. 328

330 grain di Singapura akibat rendahnya upah yang mereka terima di pulau tersebut. (Pasal 4 dari perjanjian antara Pemerintah Inggris dan Sunan Pakubuwono IV, 1 Agustus,

Mengenai 10 sen (8 duit) sehari yang dibayarkan kepada para anggota serikat buruh 1812). Sebagai imbalan atas konsesi-konsesi ini, Sultan dan Sunan masing-masing mendapat

pengangkat barang, lihat KITLV H 503, Van Sevenhoven, “Aanteekeningen”, hlm. 49–50. persenan seiap tahun sebesar 100.000 dan 120.000 dollar Spanyol.

12. R.A. Kern, “Uit Oude Bescheiden (Geschiedenis van de Afdeeling Patjitan in de Eerste 2. Mengenai masalah keuangan yang dialami oleh pemerintahan Rales, lihat John Basin,

Helt der 19e Eeuw) met bijlage”, Tijdschrit van het Binnenlands Bestuur, 34 (1908): hlm. The �aive Policies of Sir Stamford Rales in Java and Sumatra; An Economic Interpretaion

(Oxford: Clarendon Press, 1957), hlm. 17–21; dan mengenai kebijakan Rales terhadap

13. Rush, “Opium Farms”, hlm. 25.

gerbang tol, lihat Clive Day, The Policy and Administraion of the Dutch in Java (Kuala 14. A.A.J. Payen, Voyage à Djocjacarta in 1825: The Outbreak of the Java War (1825–30) as Lumpur: Oxford University Press, 1972), hlm. 200–201.

seen by a painter. Peter Carey (peny.), (Paris: Associaion Archipel, 1988), catatan yang seen by a painter. Peter Carey (peny.), (Paris: Associaion Archipel, 1988), catatan yang

di Ampel, Ponorogo, dan Pacitan (1830).

15. Louw, Java-oorlog, I: hlm. 263, 450. Kecenderungan yang lebih besar untuk menggunakan 24. AvJ, A.H. Smissaert (Yogyakarta) kepada G.A.G. Ph. van der Capellen (Batavia), 24 Oktober candu di Keraton Yogyakarta, jika dibandingkan dengan di Keraton Surakarta, telah

disimpulkan di dalam sebuah ungkapan: “Pangeran Solo gemar akan anggur dan perempuan,

25. KITLV H 395, Chevallier, “Rapport”, 13 Juni 1824.

sedangkan Pangeran Yogyakarta lebih menyukai candu dan anak-anak laki-laki”, komunikasi

26. Lihat catatan belakang no. 20 Bab 4

pribadi dengan almarhum Profesor Hans Resink, Jakarta, Oktober, 1976. 27. KITLV H 503, Van Sevenhoven, ”Aanteekeningen”, hlm. 70–71; dan AvJ, J.I. van Sevenhoven 16. NvB Port. 9 Bagian 3. Nahuys van Burgst, “Onlusten op Java”, Maastricht (1826), tanpa

(Surakarta) kepada A.H. Smissaert (Yogyakarta), 9 Mei 1824.

penerbit (untuk terjemahan bahasa Inggris-nya, lihat NvB Port. 11 Bagian 13). 28. KITLV H 503, Van Sevenhoven, ”Aanteekeningen,” hlm. 70–77; lihat juga Mack. Pr. 21 17. Mack Pr. 21 Bagian 4. Crawfurd, “Sultan’s Country”, hlm. 134; Dj. Br. 64, “Extract uit de

Bagian 8, Crawfurd, ”Report upon the District of Cadoe”, hlm. 281, yang mengemukakan algemeenen staat der amioen kiten” (1812); dan lihat Lampiran 3.

“ketidaktahuan dan kesederhanaan dari [...] [orang [orang Jawa] yang telah diketahui itu, 18. AvJ. A.H. Smissaert (Yogyakarta) kepada G.A.G. Ph. van der Capellen (Batavia), 1 Januari

berlawanan dengan kecerdikan dari [...] [orang Tionghoa] dalam seni melakukan 1824; pada 1823, tahun saat Belanda menghapuskan gudang tembakau, yang dikatakan

pemerasan.” Mengenai basis tempat menghisap candu yang disediakan pada gerbang tol memberikan pemasukan rata-rata f40.000–50.000 per tahun, lihat Baud 91, P. Le Clercq,

dan pengeluaran obat tersebut dalam kotak mesiu, lihat catatan belakang no. 6 Bab 5; “Copie Verslag Kadoe” (1823).

dan Dj.Br. 37, Raden Adipai Danurejo II (Yogyakarta) kepada J.W. Moorrees (Yogyakarta), 19. Lihat Lampiran 3.

16 Mei 1810.

20. S. Br. 170, Para Komisaris (Jawa Tengah) kepada G.A.G. Ph van der Capellen (Batavia), 24 29. KITLV H 503, Van Sevenhoven, ”Aanteekeningen”, hlm. 77; AvJ, J.I. van Sevenhoven Oktober 1824.

(Surakarta) kepada A.H. Smissaert (Yogyakarta), 9 Mei 1824. Walaupun para penguasa 21. S. Br. 170, Para Komisaris (Jawa Tengah) kepada G.A.G. Ph van der Capellen (Batavia), 24

Yogyakarta sendiri menerima sejumlah besar pemberian uang tunai (bahasa Jawa, wang Oktober 1824; dan S. Br. 170, Laporan yang disusun oleh H.G. Nahuys van Burgst (Residen

beki; ari hariah: uang upei) dari para pembayar pemungut pajak tersebut, beberapa Surakarta) mengenai gerbang tol, 29 Mei 1830.

orang penjaga gerbang tol yang korup kadang-kadang diajukan juga ke muka pengadilan, 22. Lihat S. Br. 170, Laporan Nahuys van Burgst, 29 Mei 1830, yang memuat datar barang

lihat Dj. Br. 36, M. Waterloo (Yogyakarta) kepada N. Engelhard (Semarang), 10 Agustus perdagangan pokok sebagai berikut: (1) barang-barang yang dihasilkan sendiri: beras,

1804, yang melaporkan tentang bunuh diri di dalam penjara yang dilakukan oleh seorang kapas, benang, katun, bahan-bahan kain, tembakau, minyak kacang tanah (lisah kacang),

”bandar Cina”, Tan Toen dari Mapan (pasca-1838, Mojokerto).

nila, ikar dengan anyaman halus (klasa pesantren), dan kertas Jawa (dluwang); dan (2)

30. Lihat Carey, ”Origins of the Java War”, hlm. 67, catatan kaki no. 1.

barang-barang yang dimasukkan dari pantai utara dan daerah mancanagara imur: besi, 31. Soeripto, Ontwikkelingsgang, hlm. 88, 268; dan Carey (peny.), Archive, 1: hlm. 126–128, gambir (U. gambier Roxb, bahan campuran yang digunakan untuk mengunyah sirih), jahe,

130 catatan kaki no. 1.

kemenyan, rempah-rempah, candu, sutra, dan kain-kain luar negeri (teksil India). 32. Carey, (peny. dan penerj.), Babad Dipanagara, hlm. xlii–xliii, 243 (catatan 36).

33. Lihat Lampiran 3, nomor 5 (tentang penghapusan gerbang tol di sepanjang aliran Bengawan setagen (ikat pinggang) mereka, yang tentunya harus mereka lepaskan kalau dilakukan Solo atas perintah Rales); dan mengenai meningkat dengan cepatnya jumlah pasar di

pemeriksaan isik. Konvensi yang berlaku selama ini adalah bupai mancanagara dan Kedu pada 1824 setelah penghapusan gerbang tol pada Desember sebelumnya, lihat NA

bupai keraton lainnya serta para pengiringnya pada kesempatan seperi ini dapat dengan Schneither 92, Pieter le Clercq, “Algemeen Verslag der Residenie Kadoe over het jaar

bebas melewai gerbang tol tanpa dipungut bayaran, lihat Dj. Br. 48, Piagem Hamengku 1824”, 30 Mei 1825. Bandar di sepanjang aliran Sungai Brantas dan Sungai Madiun juga

Buwono II kepada Kyai Tumenggung Reksonegoro, 1 Sawal, AJ 1719 (12 Mei 1793); dan dihapuskan pada Desember 1823, lihat KITLV H 395, Chevallier, “Rapport”, 13 Juni 1824.

idem kepada idem, 1 Sawal AJ 1723 (8 Maret 1799).

Mengenai peningnya jaringan aliran sungai di Jawa Timur untuk perdagangan, lihat Rales, 42. Tentang peran orang Tionghoa sebagai penyewa tanah pada periode 1816–1823, lihat Louw, History , 1: hlm. 196.

Java-oorlog, I: Lampiran 5 dan 6. Staisik yang diberikan oleh Louw memberikan petunjuk 34. S. Br. 170, Para Komisaris (Jawa Tengah) kepada G.A.G.Ph. van der Capellen (Batavia), 24

bahwa dari sebanyak 384 jung tanah yang disewakan di Yogyakarta pada 1818 kepada orang Oktober 1824.

Eropa dan Tionghoa yang menjadi pemilik tanah, maka orang-orang Tionghoa itu memiliki 35. Br. 170, Para Komisaris (Jawa Tengah) kepada G.A.G.Ph. van der Capellen (Batavia), 24 Oktober

167 jung atau hanya 43%. Angka untuk daerah Surakarta pada 1823 memperlihatkan bahwa 1824. Harus dicatat bahwa penyataan para Komisaris mengenai orang Jawa yang “baik hai

orang Tionghoa mempunyai 319 jung dari seluruh 920 jung daerah yang disewakan, atau dan suka damai”, yang dapat mengamuk kalau digugah, merupakan ungkapan klasik (yang

sekitar 35%. Seluruh tanah yang disewakan hanya melipui 7% saja dari daerah-daerah menipu diri sendiri) dari pandangan Belanda kolonial tentang “De Javaan als de zachste volk

utama di sekitar Yogyakarta pada tahun 1823—sedikit lebih banyak daripada tanah yang ter aarde ” (“Orang Jawa sebagai bangsa yang paling lemah lembut di muka bumi”).

disewakan di Surakarta. Lagi pula, luas rata-rata tanah yang disewakan kepada orang 36. Lihat Van der Kemp, “De Economische Oorzaken”, hlm. 42–48 (khususnya hlm. 44–45).

Tionghoa jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan yang disewakan kepada orang Eropa, 37. Dj. Br. 59, Gan Hiang Sing (Bantul) kepada A.H. Smissaert (Yogyakarta), 9 November

dan mereka juga idak begitu menonjol dalam penanaman kopi, jenis tanaman yang 1824.

sangat dibenci oleh para petani Jawa setempat, oleh karena kopi tersebut harus ditanam 38. Carey, (peny. dan penerj.), Babad Dipanagara, hlm. xli–xliii.

di dataran inggi yang “tandus”, yang sering kali membawa dampak pengerahan penduduk 39. KITLV H 395, Chevallier, “Rapport,” 13 Juni 1824.

desa yang sudah mapan dari daerah-daerah lain sebagai buruhnya, lihat Carey, Power of 40. KITLV H 395, Chevallier, “Rapport”, 13 Juni 1824. Prophecy , hlm.466–467, 537–542.

41. KITLV H 395, Chevallier, “Rapport”, 13 Juni 1824; insiden itu tampaknya terjadi keika para 43. Dj. Br. 19 II , Anon. (Pangeran Mangkudiningrat II), “Laporan tentang penyebab pemberontakan Bupai yang berasal dari provinsi terpencil sebelah imur melakukan perjalanan menuju ibu

di Jawa 1826”. Untuk referensi lebih lanjut tentang pandangan Mangkudiningrat mengenai kota kerajaan dua kali dalam setahun, yaitu Garebeg Mulud (untuk merayakan hari lahir

orang Tionghoa, lihat NA Geheim en Kabinets Archief, 20 September 1830, no. 56k geheim, Rasulullah SAW) dan Garebeg Puwasa (untuk merayakan berakhirnya bulan puasa atau

“Verbaal”, wawancara dengan Mangkudiningrat, Yogyakarta, 13 April 1830. Lebaran). Biasanya kaum perempuannya akan membawa perhiasan yang dipakai dengan

44. Lihat NvB Port. 10 Bagian 6, Nahuys van Burgst, “Verslag over de tolpoorten en bazaars pakaian istana resminya, kadang-kadang juga membawa sedikit batu berharga yang akan

(pasar) in de Vorstenlanden”, 28 April 1828, merujuk kepada Besluit Komisaris Jenderal mereka jual, barang yang disebut belakangan itu sering kali mereka sembunyikan di dalam

L.P.J. du Bus de Gisignies (menjabat 1826–1829), 13 April 1827.

BAB 6

Rasa Antiasing dan Jati Diri:

Perubahan Sikap Orang Jawa Terhadap Orang Tionghoa selama Perang Jawa