S erangan terhadap masyarakat Tionghoa di Ngawi, 17 September 1825
S erangan terhadap masyarakat Tionghoa di Ngawi, 17 September 1825
(lihat Bab 1), menegaskan begitu mendalamnya sikap xenophobia menegaskan begitu mendalamnya sikap xenophobia (antiorang asing) yang mencengkeram banyak pengikut Pangeran Diponegoro pada bulan-bulan awal perang. Hal ini terungkap gamblang dalam sikap Diponegoro terhadap orang Tionghoa dan perlakuannya dan perlakuannya terhadap para tawanan perang berkebangsaan Belanda. Mengingat peran serbasalah yang diberikan penguasa Belanda kepada penduduk asal Tiongkok itu di masa sebelum Perang Jawa, dapat dimengerti mengapa mereka begitu dimusuhi. Diperkirakan, setidaknya 25.000 penduduk Tionghoa berdarah campuran (peranakan) berada dalam berdarah campuran (peranakan) berada dalam
bahaya. 1 Saat menyerbu dan mengepung Yogyakarta, seorang seniman- arsitek—pasca-1830 berkebangsaan Belgia—Antoine Auguste Joseph Payen (1792–1853), menulis dalam buku hariannya bertanggal 10 Agustus bahwa “di mana-mana orang-orang Tionghoa dibantai, tidak dibantai, tidak
peduli wanita dan anak-anak”.. 2
Nasib malang komunitas-komunitas Tionghoa di Bagelen pantas di Bagelen pantas mendapat perhatian di sini. Saat pusat-pusat kerajinan tenun kaum Nasib malang komunitas-komunitas Tionghoa di Bagelen pantas di Bagelen pantas mendapat perhatian di sini. Saat pusat-pusat kerajinan tenun kaum
yakni agar jangan mengizinkan etnis Tionghoa berhubungan terlalu berhubungan terlalu
dekat dengan Keraton Yogyakarta karena dikhawatirkan dapat merusak seluruh masyarakat itu—yang terdiri dari 147 pria, 138 wanita, dan 185
pertahanan dibantu pasukan polisi setempat. 3 Namun, pada medio 1827, medio 1827, 1827,
kerukunan keraton. 9 Seperti kita sudah lihat sebelumnya (Bab 4), Pakualam
juga mengingatkan lagi seruan ini menyusul pengangkatan Tan Jin Sing kemudian meminta mereka kembali, dengan alasan keterampilan bisnis
anak-anak—harus diungsikan ke Wonosobo. 4 Penduduk Jawa setempat
sebagai bupati keraton. 10
etnis Tionghoa itu diperlukan agar penduduk dapat memasarkan produk itu diperlukan agar penduduk dapat memasarkan produk Seperti yang kita sudah lihat, Diponegoro bergerak lebih jauh lagi. Ia
memerintahkan para komandan lapangannya agar menghentikan segala kembali. Nasib etnis Tionghoa di Bagelen agaknya ditiru di banyak
kapas mereka. 5 Namun, komunitas itu tidak pernah dapat dibangun
bentuk hubungan seksual dengan perempuan peranakan; dengan alasan daerah lain di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Akan tetapi, prang sabil
hubungan itu nanti dapat membawa sial. Larangan semacam ini tidak Diponegoro bukanlah peristiwa pembantaian anti-Tionghoa saja.
pernah diberlakukan secara ketat di keraton sebelum masa perang, di Meskipun ada beberapa tokoh antiorang asing garis keras seperti Kiai
mana hubungan intim antara penguasa Jawa dan perempuan peranakan Mojo, 6 kemajuan jalannya perang memunculkan gambaran yang sangat
Tionghoa dianggap normal. Satu contohnya adalah kakek Pangeran bervariasi. Kaum pedagang Tionghoa tidak hanya memasok tidak hanya memasok Diponegoro
sendiri, Hamengku Buwono II, yang istri tidak resmi tetapi merupakan istri
kesayangannya, Mas Ayu Sumarsonowati, sebagian berdarah Tionghoa.. 11 di pihak Pangeran.
dengan senjata, opium, dan uang, 7 beberapa bahkan juga ikut berperang
Putranya, Pangeran Joyokusumo (sekitar 1785–1829; pasca-Agustus 1825 Itulah kasus yang terjadi di Tuban dan Lasem daerah pantai utara. Di
menjadi Pangeran Ngabehi), kemudian menjadi salah satu panglima sana, warga Tionghoa lokal hampir semua masuk Islam, dan keturunan dari lokal hampir semua masuk Islam, dan keturunan dari
tertinggi bala tentara Diponegoro dan dikenal oleh sebab kulit langseb keluarga peranakan yang sudah lama bermukim di sana yang berhubungan
putih miliknya yang merupakan warisan ibunda .
dekat dengan pasukan Sosrodilogo terancam pembalasan langsung dari Mengapa sikap Pangeran bisa mendadak berubah radikal? Banyak
hal dapat dijelaskan oleh masa-masa sebelum Perang Jawa, terutama yang jauh dari pantai utara, kerja sama Jawa–Tionghoa ini jarang terjadi.
Belanda setelah kekalahannya pada Januari 1828. 8 Akan tetapi, di tempat
peran etnis Tionghoa dalam kegiatan pemungutan pajak. Di samping itu, dalam kegiatan pemungutan pajak. Di samping itu, Insiden berdarah sepanjang Juli–September 1825 telah membuat orang
Pangeran sendiri boleh jadi punya alasan pribadi. Dalam babad, Pangeran Tionghoa mengalami trauma mendalam dan menaruh curiga terhadap mengalami trauma mendalam dan menaruh curiga terhadap
mengisahkan bahwa dirinya telah tergoda oleh pesona seorang perempuan maksud-maksud tersembunyi orang Jawa. Sikap curiga juga dimiliki orang
(“nyonya”) Cina , yang dibawa kepadanya sebagai tawanan, lalu dikaryakan Jawa terhadap orang Tionghoa. Diponegoro melarang para panglima dan
menjadi juru pijat persis sebelum pertempuran Gawok yang dahsyat itu, komandan tempurnya menjalin relasi politik dengan kaum etnis Tionghoa.
pertengahan Oktober 1826: 12
XXXVIII 13. Di Kedaren
disebabkan proses “menjadi seorang muslim”
pada waktu malam, yang disuruh memijit
bagi mereka sangat sederhana: memotong kucir
adalah boyongan nyonyah Cina.
rambut, disunat, dan mengucapkan dua kalimat
Kanjeng Sultan salah bertindak.
syahadat, “Aku bersaksi tiada Tuhan selain
Rasa rindu pada istri tercinta [Raden Ayu Maduretno]
Allah, dan Muhammad adalah utusan Allah”.. 15
maka terjadilah itu [hubungan seks] untuk penglipur hati.
Di awal abad ke-17, Sultan Agung (bertakhta 1613–1646)—yang oleh Diponegoro digunakan
Diponegoro menyesalkan perilaku “bersenang-senang dengan nyonya
sebagai teladan dalam banyak hal—berusaha
Cina ini” sebagai biang keladi kekalahan pasukannya. Dua luka yang
agar para tawanan Belanda itu pun disunat. 16
ia dapat di medan tempur, menurut pandangannya, juga merupakan
Akan tetapi, tuntutan Pangeran agar mereka
petunjuk bahwa kekuatan spiritual yang biasa membuat dirinya kebal telah
mengenakan busana Jawa dan berbicara bahasa
hilang untuk sementara. Pangeran akan kembali ke tema ini lagi dalam
Jawa mungkin agak berlebihan. Barangkali ini
babad ketika menyalahkan kekalahan saudara iparnya, Sosrodilogo, pada
merupakan reaksi atas pengaruh Eropa yang
Januari 1828 karena mengabaikan perintah dan larangannya untuk tidak
begitu melanda Jawa Tengah bagian selatan
berhubungan seks dengan perempuan Tionghoa. Menurut Diponegoro,
dalam dekade sebelum perang. 17
tentulah Sosrodilogo telah “memperkosa” (anjamahi) seorang perempuan
Laporan seorang peranakan Belanda-Jawa,
peranakan di Lasem, setelah kota di pantai utara itu sempat diduduki
Paulus Daniel Portier (sekitar 1790–1844),
Orang Tionghoa di Jawa pada Awal
pada 31 Desember 1827. 13
seorang inspektur sarang burung di batu karang
Abad Ke-19 dengan Kucirnya dan Gaya Berpakaiannya yang Khas
Tema lain yang menjadi dasar anggapan bahwa hubungan seksual
pantai selatan—setelah ia ditawan selama dua
(Sumber: Koleksi A.A.J. Payen (Buku Sketsa E), dari
18 lintas ras merupakan hal yang berbahaya barangkali adalah perihal yang Rijksmuseum voor Volkenkunde, Leiden) bulan dari Agustus sampai September 1826 — oleh pengamat Belanda disebut “rasa nasionalitas [orang Jawa]”. Hal
memberi wawasan tentang tekanan yang dialami tahanan Belanda untuk ini terlihat jelas dalam perlakuan Diponegoro terhadap para tawanan
menganut budaya Jawa dan norma agama Islam. Ketika diancam dengan perang Belanda yang sangat ia tuntut untuk berbicara dalam bahasa Jawa
“masuk Islam atau nyawa melayang”, inspektur itu mendapat jaminan tinggi (kromo) dan bukan bahasa Melayu, yang menurut Pangeran adalah
bahwa jika ia mau masuk Islam, ia akan diangkat menjadi komandan “basa pitik (bahasa anak ayam)”. Selain itu, mereka wajib berbusana
pasukan dengan bayaran memadai dan hak-hak istimewa. Oleh karena ia gaya Jawa bukan gaya Eropa, serta wajib mempertimbangkan untuk
sudah disunat, proses “pertobatannya” tidak begitu rumit. Setelah diberi
nama muslim, yakni Nur Samidin, ia langsung diberi “simbol jabatan”, juga pada kaum etnis Tionghoa yang memihak perjuangannya. Hal itu
masuk Islam. 14 Hal terakhir itulah yang diharapkan Pangeran terjadi
yaitu seekor kuda, sebilah keris dengan sarung bersepuh emas, dan busana
Jawa dari kain lurik. Saat memikirkan penampilannya yang berubah ini,
8. Louw, Java-oorlog, III: hlm. 444–445. Louw,
inspektur itu menulis, “aku [sekarang] sudah seperti orang Jawa bahkan
Carey (peny.), Briish in Java, hlm. 462 catatan 304; Power of Prophecy, hlm. 399. sampai ke busanaku.” 19
Carey, Power of Prophecy, hlm. 618.
Kita tentu memerlukan lebih banyak cerita seperti ini untuk 11 . Van den Broek (peny. dan penerj.), ”Geschiedenis van het Vorstenhuis Madoera”, hlm. 87; (peny. dan penerj.), ”Geschiedenis van het Vorstenhuis Madoera”, hlm. 87; membangun gambaran yang valid tentang bagaimana para tawanan
Mandoyokusumo, Serat Raja Putra, hlm. 21 no. 30.
Louw, Java-oorlog, II: hlm. 517 catatan 1; Carey (peny. dan penerj.), Babad Dipanagara, tidak selalu wajib dikenakan. Setelah menyerah pada pertengahan Oktober
Belanda dan Tionghoa itu diperlakukan. Berbusana ala Jawa itu, misalnya,
hlm. 260 catatan 106; Carey, Power of Prophecy, hlm. 619.
1829, Sentot melarang pasukannya untuk mengenakan busana Jawa,
13.. Carey, Power of Prophecy, hlm. 619.
tetapi tetap menuntut mereka mempertahankan busana perang suci,
KITLV H 263, “Verklaring van Paulus Daniel Portier houdende een verhaal van zijn
gevangenschap bij de muitelingen”, tanpa tahun (September 1826 ?); Carey, “Javanese dibangkitkan oleh para komandan senior Belanda untuk membujuk Sentot
yaitu jubah dan serban. 20 Memang, berkembang juga “perang mode” yang
histories of Dipanagara; The Buku Kedhuŋ Kebo, its Authorship and Historical Importance”, memakai lagi “busana nasional”—terutama blangkon—dan menyingkirkan
BKI 130 (1974): hlm. 285, 287 .
jauh-jauh serban yang mereka anggap “telah ketinggalan mode”.. 21
Louw, Java-oorlog, III: hlm. 465; Carey (peny. dan penerj.), Babad Dipanagara, hlm. 259 catatan 106.
De Graaf, “Regering van Sultan Agung”, hlm. 102.
Catatan Belakang
Carey, Power of Prophecy, hlm. 459. 1. Peter Carey, (peny. dan penerj.), Babad Dipanagara, hlm. 260 catatan 106. 18 . KITLV H 263, Porier, “Verklaring”, t.t. (September 1826 ?).
Payen, Voyage à Yogyakarta, hlm. 62, 116 catatan 141.
19. Carey, Power of Prophecy, hlm. 589.
Payen, Voyage à Yogyakarta, hlm.74, 131–132 catatan 215.
Van den Broek (peny. dan penerj.), ”Geschiedenis van het Vorstenhuis Madoera”, hlm.
Louw, Java-oorlog, III: hlm. 86, 108–109.
De Klerck, Java-oorlog, V: 433.
21. Carey, Power of Prophecy, hlm. 621.
F.V.H.A. de Stuers, Mémoires sur la guerre de l’île de Java, (Leiden: Luchtmans, 1833), hlm. F.V.H.A. de Stuers,
15; Carey, “Aspects of Javanese History in the Nineteenth Century”, dalam Harry Aveling (peny.), The Development of Indonesian Society from the coming of Islam to the present day (St Lucia: Queensland UP, 1979), hlm.73; Carey (peny. dan penerj.), Babad Dipanagara, hlm. 260 catatan 106.
7. Van den Broek (peny. dan penerj.), ”Geschiedenis van het Vorstenhuis Madoera”, hlm. 561.
BAB 7
Kesimpulan