Orang Cina Bandar Tol Candu dan Perang

PENGANTAR:

DIDI KWARTANADA

ORANG CINA, BANDAR TOL, CANDU, & PERANG JAWA Perubahan Persepsi Tentang Cina 1755–1825

PENGANTAR EDISI KE-2

Peter Carey Diterjemahkan dari “Changing Javanese Perceptions

Perang Jawa (1825–1830)

of the Chinese Communities in Central Java, 1755–1825”, dalam Indonesia (Cornell University) 37, April 1984, hlm. 1–47

dan Implikasinya pada

Penerjemah : Wasmi Alhaziri Wasmi Alhaziri Penyunting

Hubungan Tionghoa–Jawa

: Danang Wahansa S. Desainer sampul & isi : Sarifudin

Cetakan Pertama, Komunitas Bambu, Januari 2008 Cetakan Kedua, Komunitas Bambu, Juli 2015 © Komunitas Bambu

Komunitas Bambu

Didi Kwartanada

Jl. Taufiqurrahman No. 3, Beji Timur, Depok 16422

Telp./faks: 021-77200978 E-mail: [email protected] website: www.komunitasbambu.com

Penerbit Komunitas Bambu @KomunitasBambu 2B97826E / 5455B679 081385430505

Pendahuluan

Tulisan yang ada di tangan pembaca ini adalah terjemahan karya klasik

Gambar sampul depan: Mural “Batavia Tempo Doeloe (1820–1920)”

Peter Brian Ramsay Carey, “Changing Javanese Perceptions of the Chinese

karya Hariyadi Sumodidjojo, 1973–1974 di Museum Sejarah Jakarta

Communities in Central Java, 1755–1825”, terbit dalam jurnal Indonesia (Cornell University) 37, April 1984, hal.1–47. 2 Artikel tersebut segera

Katalog Dalam Terbitan

mendapat perhatian yang cukup besar di Indonesia. Goenawan Mohamad,

Orang Cina, Bandar Tol, Candu, & Perang Jawa Carey, Peter

salah satu esais terbesar kita, mengangkat tulisan Carey dalam kolomnya di

Depok: Komunitas Bambu, 2015

Tempo tanggal 7 Juli 1984. 3 Tahun berikutnya, versi terjemahan lengkapnya

(xxxiv+137 hlm; 19 x 20 cm) ISBN 978-602-9402-67-4

terbit sebagai Orang Jawa dan Masyarakat Cina 1755–1825 (Jakarta: Pustaka Azet, 1985). Namun, kualitas terjemahannya amat buruk, sehingga amatlah tepat apabila kali ini dilakukan penerjemahan ulang oleh sejarawan muda Wasmi Alhaziri di bawah supervisi pengarangnya. Analisis yang tajam serta didukung studi pustaka yang mengagumkan dari berbagai sumber, khususnya arsip Belanda dan Inggris dan babad berbahasa Jawa, terbit sebagai Orang Jawa dan Masyarakat Cina 1755–1825 (Jakarta: Pustaka Azet, 1985). Namun, kualitas terjemahannya amat buruk, sehingga amatlah tepat apabila kali ini dilakukan penerjemahan ulang oleh sejarawan muda Wasmi Alhaziri di bawah supervisi pengarangnya. Analisis yang tajam serta didukung studi pustaka yang mengagumkan dari berbagai sumber, khususnya arsip Belanda dan Inggris dan babad berbahasa Jawa,

ini, Carey memaparkan dua institusi pacht yang amat dibenci rakyat, yakni gerbang tol dan candu (opium). Akhirnya, golongan Tionghoa diposisikan

Golongan Perantara

menjadi minoritas perantara yang kedudukan ekonominya cukup mapan, Sejak lama golongan Tionghoa dimanfaatkan sebagai “perantara”

tetapi secara politis dibenci oleh rakyat.

sekaligus “mesin pencetak uang”, baik oleh raja-raja maupun oleh penguasa Kedudukan sebagai perantara inilah yang memang diinginkan oleh kolonial di Indonesia. Di zaman prakolonial, orang Tionghoa sudah bekerja

penguasa, yakni Tionghoa sebagai “perisai” atau “kambing hitam” di kepada raja-raja kerajaan maritim, misalnya, sebagai syahbandar. Di sini

saat terjadi kerusuhan menentang penguasa atau saat terjadi kevakuman Peter Carey memaparkan dengan detail, bagaimana golongan peranakan 4 pemerintahan. Pola ini muncul berkali-kali dalam sejarah Indonesia. 8 Dapat Tionghoa menjadi bagian penting dalam tatanan lama kolonial (old

disebutkan contoh antara lain: hancurnya Hindia Belanda dan kedatangan

colonial order) 5 di Jawa Tengah bagian selatan pada abad ke-18 hingga

Jepang (9 Maret 1942); kekalahan Jepang dan revolusi kemerdekaan (1945–

19. Berdirinya Kesultanan Yogyakarta menyusul perjanjian Giyanti (1755) 1950); Peraturan Pemerintah (PP) No.10/1959 (yang melarang pedagang membawa konsekuensi perlunya dana untuk mengisi kas Keraton yang

Tionghoa beroperasi di pedesaan); jatuhnya Presiden Sukarno (1966); baru saja berdiri ini. Rupanya di saat Yogyakarta berdiri, sudah terdapat

Peristiwa Malari (15–16 Januari 1974); Peristiwa Solo-Semarang (20–25 orang Tionghoa dalam jumlah yang cukup signiikan, sehingga diangkatlah

November 1980), Tanjung Priok (12 September 1984); Rengasdengklok (30

Januari 1997), Makassar (15–17 September 1997), dan Huru-hara Mei 1998. menjalankan tugas mereka dengan baik sebagai penarik pajak gerbang tol

To In sebagai Kapitan Cina pertama (1755–1764). 6 To In serta penerusnya

Bahkan di masa Reformasi ini masih terjadi pula beberapa kali kerusuhan dan di saat wafatnya Sultan Hamengku Buwono I (Maret 1792) jumlah pajak

anti-Tionghoa dengan berbagai alasan, tetapi skalanya jauh lebih kecil dan yang disetorkan berjumlah f128.000 atau naik tiga kali lipat dari jumlah

bersifat lokal.

pada tahun 1755 (lihat Lampiran 3). Dalam ilmu sosial, posisi “tengah” seperti golongan Tionghoa ini Belanda yang memiliki keterbatasan sumber daya manusia melihat

dikenal sebagai konsep “minoritas perantara” (middlemen minority). 9 bahwa Tionghoa bisa menjadi “perantara” antara mereka dengan golongan

Berikut ini adalah uraian detail mengenai “minoritas perantara”: pribumi. Oleh karena itu, Belanda menjual berbagai macam pacht (hak pengelolaan) bagi jalan tol, candu, rumah gadai, kepada pengusaha Tionghoa

Dalam masyarakat-masyarakat multietnis, kadang terdapat kelompok- (bandingkan dengan rezim Orde Baru, misalnya, Hak Pengusahaan Hutan

kelompok etnis tertentu yang menduduki status perantara [middle status] [HPH]). 7 Para pengusaha tersebut berani membeli pacht dengan harga

di antara kelompok dominan yang berada di puncak hierarki etnis dan tinggi, oleh karena mereka tahu bahwa keuntungan yang didapatkan akan

kelompok subordinat yang berada di bawah. Kelompok tersebut disebut berlipat ganda. Dengan dukungan penguasa, para pachter tersebut memeras

“minoritas perantara” [middlemen minorities] […] Minoritas perantara “minoritas perantara” [middlemen minorities] […] Minoritas perantara

Nasionalis-Islam menulis sebagai berikut:

niche] dalam sistem ekonomi [...] Mereka memainkan berbagai peran dalam mata pencaharian selaku pedagang, pemilik toko, pembunga uang [Jawa:

“[…] sebagian besar Tionghoa di Indonesia benar-benar tidak mempunyai mindring], dan profesional independen. Dengan demikian, minoritas

loyalitas [had no sense of loyalty]. Pada zaman Belanda, mereka bersikap perantara melayani baik kelompok dominan dan subordinat. Mereka

pro-Belanda. Pada saat Jepang menjadi tuan, mereka berkawan dengan melakukan tugas-tugas ekonomi yang bagi mereka yang berada di puncak

Jepang. Kemudian datanglah revolusi dan mereka bersikap baik kepada kita (elite) dianggap sebagai hal yang dibenci atau kurang bermartabat [...]

[…] Akhirnya yang bisa dikatakan hanyalah bahwa mereka ini adalah “kaum Sehubungan dengan posisi ekonomi perantara mereka, kelompok ini sangat

oportunis yang tidak bisa diperbaiki” [incorrigible opportunists]. 12 rentan [vulnerable] terhadap permusuhan dari luar kelompok etnisnya, baik yang muncul dari kelompok dominan maupun subordinat. Pada masa-

Pandangan serupa dengan Hanifah cukup populer di kalangan umum, masa tegang, mereka adalah [...] kambing hitam alami [natural scapegoat].

yang condong melihat keberadaan Tionghoa secara hitam-putih (pahlawan Mereka secara jumlah maupun secara politis tidak berdaya dan oleh karena

atau pengkhianat), tanpa memahami hakikat mereka sebagai “manusia itu harus memohon perlindungan kepada kelompok dominan, yang akan

dagang” atau “minoritas perantara”, yang muncul sebagai produk kolonial. memberikannya sejauh peran ekonomi mereka masih dibutuhkan. 10

Golongan perantara ini akan selalu merasa terancam dari pihak di luar kelompoknya (out-group hostility); siapa pun yang bisa memberi jaminan

Dari uraian di atas, masalah keamanan tampak amat penting bagi keamanan dan stabilitas, dialah yang akan mereka ikuti. Tidak ada pilihan golongan “minoritas perantara” karena posisi mereka yang lemah secara

lain yang tersedia, oleh karena ini adalah masalah “survival” dan tidak bisa politis. Ditegaskan oleh Carey, “[…] sebagai akibat dari peristiwa pada

ditafsirkan secara simplistis berdasarkan prasangka hitam-putih (loyal- 1810-an dan 1820-an, orang-orang Tionghoa sendiri menjadi semakin

tidak loyal). Intinya, posisi golongan Tionghoa akan selalu “serba salah”, sadar akan kedudukannya yang terbuka dan mudah diserang di dalam

seperti yang dilukiskan dengan bagus oleh seorang peneliti dari Australia, masyarakat Jawa” (lihat hlm. 110). Oleh karena itu, loyalitas total sukar

Charles Coppel:

sekali diharapkan dari “minoritas perantara”. Loyalitas akan mereka berikan kepada siapa pun yang bisa menjamin keselamatan mereka. Ironisnya,

“[…] Orang Tionghoa itu ibarat makan buah simalakama bila memikirkan bahkan apabila musuh mampu memberikan jaminan keamanan, mereka

kegiatan politik. Jika mereka terlibat dalam kalangan oposisi, mereka dicap pun tidak segan-segan mengalihkan “loyalitasnya” kepada sang musuh. 11

subversif. Apabila mereka mendukung penguasa waktu itu, mereka dicap Tanpa memahami hakikat etnis Tionghoa selaku “minoritas perantara”,

oportunis. Dan jika mereka menjauhi diri dari politik, mereka juga oportunis orang akan dengan mudah menuding dan menyalahkan mereka sebagai

sebab mereka itu dikatakan hanya berminat mencari untung belaka.” 13

Perang Jawa dan Implikasinya

apabila mereka tidak menganut agama

Membaca tulisan Carey yang sangat menarik ini, ada tiga komentar

Paduka Nabi Sinelir. 17

sehubungan dengan Perang Jawa dan implikasinya atas hubungan Tionghoa–Jawa.

Lebih khusus lagi, Diponegoro menjadikan pergaulan dengan perempuan Tionghoa sebagai penyebab kekalahannya serta iparnya,

1. Perang Jawa bukan hanya suatu watershed (garis batas)

Sosrodilogo, dalam dua pertempuran berbeda (lihat hlm. 19, 21 catatan 6).

dalam sejarah politik Jawa dan bahkan Indonesia, 14 tetapi

Malam sebelum pertempuran, mereka melakukan hubungan serong dengan

juga dalam hubungan Tionghoa–Jawa.

nyonya Cina. Tidak bisa menerima kekalahan, mereka mencari kambing hitam dan perempuan-perempuanTionghoa itu mudah sekali dijadikan

Di masa Kerajaan Mataram, golongan Tionghoa menempati posisi sasaran. Denys Lombard, sejarawan Prancis, memberikan komentarnya hukum yang istimewa dalam undang-undang (1798), seperti ditunjukkan

tentang “gagasan yang sepenuhnya rasialis itu” sebagai berikut: dalam jumlah diyat (uang darah; diat) yang harus dibayarkan apabila seorang Tionghoa terbunuh. Jumlah diat untuk orang Tionghoa (200 rial) adalah

Mungkin, yang lebih parah daripada pembantaian yang merupakan satu

di antara pembantaian yang pertama yang dilakukan orang Jawa terhadap Mesir, Abdullah bin Muhammad Al-Misri, melaporkan pada 1810-an dari

dua kali lipat diat bagi orang Jawa (lihat di hlm. 13–14). 15 Seorang pujangga

orang Tionghoa itu 18 adalah ideologi berbahaya yang mulai disebarluaskan Jawa Timur bahwa orang Jawa akan senang sekali apabila dapat menikah

oleh Diponegoro dan para pengikutnya: orang Tionghoa tidak sekadar

dimasukkan ke dalam kategori orang kair, tetapi pengikut Diponegoro orang Tionghoa dalam persoalan ekonomi sehari-hari rakyat Jawa perihal

dengan orang Tionghoa. 16 Namun, situasi berbalik total karena keterlibatan

juga secara resmi dilarang kawin dengan wanita Tionghoa maupun untuk penarikan pajak gerbang tol dan penjualan candu. Mereka dijadikan kambing

mengambil wanita peranakan sebagai selir. 19

hitam atas kemiskinan rakyat. Oleh karena itu, Diponegoro mengumumkan bahwa orang Tionghoa adalah salah satu target Perang Suci yang akan

Dengan demikian, gagasan idealnya tentang pernikahan campuran dikobarkannya. Mereka akan dibinasakan apabila tidak bersedia memeluk

Tionghoa-Jawa yang muncul 15 tahun sebelumnya di Jawa Timur (yang agama Islam, seperti terekam dalam Babad Diponegoro:

dilaporkan Al-Misri) menjadi musnah. Seperti yang diceritakan Carey dalam buku ini [hlm. 19], muncul mitos untuk membuat lelaki Jawa takut

Saya yang akan mempertahankan [mereka] dalam perang menikahi perempuan Tionghoa, dikarenakan “abu” orang Tionghoa lebih [dan] para ulama [akan memberi] semangat sebagai pendeta

tua, sehingga nanti anak-anak hasil percampuran itu akan lebih dominan untuk membinasakan Belanda dan Cina 20 sifat ke-Tionghoa-nya. Oleh karena itu, lingkungan sekitar orang Tionghoa

yang tinggal di Tanah Jawa, makin didorong untuk menjadi “orang asing” (outsider) dan hal ini makin yang tinggal di Tanah Jawa, makin didorong untuk menjadi “orang asing” (outsider) dan hal ini makin

Beschrijving in Poëzie” terbit dalam majalah akademik Bijdragen van het yang memisahkan satu masa yang dibangun atas dasar saling menghargai

Koninklijk Instituut voor het Taal-, Land en Volkenkunde (BKI) tahun 1893. menjadi saat-saat yang diwarnai dengan kecurigaan dan ketakutan.

Lima tahun kemudian, ia menerbitkan naskah cerita wayang orang Lara Adapun Peter Carey sendiri menyimpulkan dampak Perang Jawa atas

Mendut dalam aksara Jawa. Lie Djing Kim, seorang pedagang kaya yang golongan peranakan Tionghoa di Jawa Tengah bagian selatan sebagai

mencintai gamelan serta menjadi patron kelompok-kelompok karawitan. berikut [hlm. 72]:

Pada 1908, Lie mendirikan perkumpulan untuk memajukan seni dan kerajinan Jawa. Harga gamelan Lie ditaksir hingga puluhan ribu gulden.

Pilihan untuk melakukan asimilasi ke dalam dunia orang-orang Jawa Dewasa ini, dua orang pembatik peranakan dari Yogyakarta diakui secara kini tampaknya semakin tidak menarik bagi mereka [orang Tionghoa

internasional, yakni Ardiyanto Pranata (lahir 1944) serta KRT Daud Wiryo peranakan]. Tentu saja, perlakuan hak-hak hukum yang khusus diberikan

Hadinagoro (lahir 1961). 22

oleh Belanda kepada mereka dari pertengahan abad ke-19 dan seterusnya Masih ada lagi wayang Tionghoa-Jawa (wayang thithi), yang merupakan serta pemaksaan yang lebih keras tentang batasan-batasan “masyarakat

persilangan antara kedua budaya. Wayang ini diciptakan di Yogyakarta pada majemuk” cenderung menggiring orang-orang Tionghoa peranakan untuk

1925 oleh Gan Thwan Sing (1895–1967). Akhir-akhir ini hasil karyanya menyadari akan pengidentiikasian diri dengan komunitas Tionghoa di

kembali mendapatkan perhatian dan mengalami revitalisasi, termasuk Jawa [garis miring dari penulis, DK]

mendapatkan perhatian dari pemerintah. Pada November 2012, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI menganugerahkan Piagam Penghargaan

Kesimpulan ini menimbulkan dua paradoks: dan Bintang Satya Lencana Kebudayaan serta sejumlah uang kepada keluarga almarhum Gan. 23

2. Paradoks pertama: Walaupun Perang Jawa kental

Di dalam seni sastra Jawa, terdapat nama Tjoa Tjoe Koan (1861–1905)

mengandung unsur anti-Tionghoa, tetapi hal ini tidak

di Surakarta, yang pada 1896 menerbitkan buku dalam aksara Melayu dan

menghentikan kegiatan orang-orang Tionghoa di daerah

Jawa, Temboeng Tjinten hinkang halantoer kahangep hing ngakatah

Kerajaan Jawa selaku maestro dan/atau maesenas budaya

kahewokkaken temboeng Djawi, yang berisi kata-kata Tionghoa yang

Jawa pada masa-masa berikutnya.

sudah masuk ke dalam bahasa Jawa. Dikabarkan bahwa buku ini dipakai di sekolah untuk anak-anak Jawa. Pada 1903, Tjoa menerbitkan surat

Dari Yogyakarta muncul beberapa nama pelaku maupun pecinta kabar dwibahasa (Jawa–Melayu), Darmo Kondo. Kematiannya yang budaya Jawa. Pertama, Ko Mo An (wafat pada 1920-an) yang amat

mendadak dua tahun kemudian membuat surat kabarnya diambil alih

menguasai bahasa dan sastra Jawa. 21 Satu tulisannya dalam huruf Jawa

oleh Boedi Oetomo (1912), yang kemudian menjadikannya sebagai corong oleh Boedi Oetomo (1912), yang kemudian menjadikannya sebagai corong

1934), memiliki triman dari Sultan Hamengku Buwono VIII (bertakhta yang amat peduli dengan budaya Jawa, seperti Gan Kam (wafat pada 1928)

1921–1939), Raden Nganten Sumiyah selaku salah satu istrinya. 27 Oleh yang mempopulerkan wayang orang panggung Mangkunegaran, dan Dr.

karena itu, sinolog Maurice Freedman (1920–1975) menyimpulkan bahwa Tjan Tjoe Sim (1909–1978), ahli budaya dan susastra Jawa. Seseorang

di Jawa Tengah “Islam […] tidaklah selalu efektif sebagai penghalang yang dianggap paling paham mengenai seluk-beluk perkerisan maupun

terjadinya perkawinan antara perempuan Jawa dengan lelaki Tionghoa” perbatikan adalah Panembahan Hardjonagoro (Go Tik Swan, 1931–2008)

(“Islam [...] does not always effectively act as a barrier to the marriage

of Indonesian women to Chinese”). 28 Faktor lain adalah jemaah haji asal besar dan dimiliki oleh keluarga peranakan Tionghoa adalah Batik Keris,

yang juga mumpuni dalam budaya Jawa. 25 Pabrik batik cap yang cukup

Yogyakarta ternyata termasuk di urutan terendah dibandingkan jemaah yang juga terdapat di Surakarta.

dari daerah lainnya, 29 serta memiliki kehidupan keagamaan yang kurang Demikianlah kecintaan orang-orang peranakan Tionghoa di Yogyakarta-

kuat (disebut dengan abangan). Sayang sekali kita belum bisa mengetahui Surakarta terhadap kebudayaan Jawa tidak pernah berhenti.

apakah hasil percampuran kedua etnis tersebut terasimilasi ke dalam masyarakat Jawa atau sebaliknya. Sejauh pengamatan penulis, lebih banyak

3. Paradoks kedua: Diponegoro menggabungkan ke-Jawa-an

anak perkawinan campuran Tionghoa-Jawa yang dalam kehidupan sehari-

dengan radikalisme Islam dalam upayanya menghadapi kaum

harinya berbahasa Jawa atau Indonesia, dan hanya beberapa saja yang

kair (termasuk orang Tionghoa) dan akan membinasakan

masih menggunakan bahasa atau dialek Tionghoa.

mereka yang menolak memeluk Islam (lihat kutipan

Hingga hari ini, orang-orang Tionghoa peranakan tertentu masih

sebelumnya).

mendatangi Kantor urusan asal usul (Tepas Darah Dalem) di Keraton Yogyakarta untuk mengklaim hubungan darah dengan para Sultan. 30 Walaupun dalam butir pertama dikisahkan tentang ‘ideologi rasialis’ yang

Menurut informasi, Kesultanan Yogyakarta mempunyai tiga trah (paguyuban menentang perkawinan campuran Tionghoa-Jawa, kenyataan di lapangan

keluarga berdasarkan kesamaan nenek moyang) berketurunan Tionghoa, menunjukkan bahwa perkawinan Tionghoa-Jawa tetap berlangsung. Pasca-

yakni: Secadiningrat/Secodiningrat (berasal dari Tan Jin Sing yang akan Perang Jawa, angka pernikahan Tionghoa-Jawa tetaplah tinggi di daerah

dibahas selanjutnya), Honggodrono, dan Kartodirdjo. Trah Tionghoa kerajaan-kerajaan di Jawa Tengah (Vorstenlanden). Bahkan persentase

ternyata juga ada di Kesunanan Surakarta. 31

pernikahan campuran antara lelaki Tionghoa dengan perempuan lokal di Yogyakarta dan Surakarta menurut Sensus (Volkstelling) pada era terakhir

Tan Jin Sing dan Identitas Jamak

kolonial 1930 adalah tertinggi di Hindia Belanda, yakni masing-masing Buku karya Carey ini secara khusus juga menyoroti kehidupan seorang 9,30% dan 7,40%. Sedangkan persentase untuk Pulau Jawa sendiri adalah

tokoh unik dan luar biasa dari Yogyakarta, Tan Jin Sing alias Kanjeng Raden

Tumenggung (K.R.T) Secodiningrat (1760–1831). Karier dan karakter tokoh Budaya Tionghoa, Indonesia-Jawa, dan Belanda selanjutnya akan ini menyulut kecemburuan dari para lawan politiknya. Untuk mengolok-

menentukan kehidupan saya secara keseluruhan. Ketiga kutub itu olok Tan Jin Sing, para musuhnya menciptakan suatu peribahasa yang

berperan penting dalam menentukan cara berpikir dan bertindak. unik: “Cina wurung, Landa durung, Jawa tanggung (Tionghoa sudah

Sublimasi cara berpikir Tionghoa, Jawa, dan Belanda menghasilkan batal, Belanda masih belum, Jawa masih tanggung). Hal ini mengacu

kualitas lahiriah dan jasmaniah yang membuat saya menjadi seorang

peranakan [...] Campuran unik Tionghoa, Jawa, dan budaya Belanda ini muncul pandangan yang berbeda tentang identitas jamak (multiple

pada tiga dunia identitas di mana Tan Jin Sing hidup. 32 Namun, dewasa

telah membentuk saya seperti sekarang. Tionghoa dan Jawa ada dalam identities) seperti yang dilakoni Tan Jin Sing. Hal ini dilandasi pemikiran

darah saya, sementara Belanda terserap dari luar. Campuran tiga bahwa “[…] setiap individu memiliki lebih kurang suatu repertoar (daftar)

dunia itu menyebabkan reaksi kimia yang menghasilkan manusia yang yang luas dari pilihan-pilihan identitas yang akan mereka gunakan dalam

sangat kompleks. Namun, saya tidak merasa demikian. Saya justru konteks berbeda dan bagi tujuan yang berlainan” (“individuals have a more

merasa itu suatu keuntungan, oleh karena sebagai orang yang ’three in or less extensive repertoire of identity options which they call upon or

one’ [sic], dengan mudah saya bisa menghayati dunia yang sama sekali engage with in different context and for different purposes”). Perlu diingat

berlainan.

bahwa “identitas etnik bukanlah suatu kualitas individual yang pasti, yang bisa diduga atas dasar ciri-ciri isik, bahasa ibu, tempat lahir, ataupun asal

Mengapa identitas jamak dipandang rendah saat Perang Jawa? Salah usul etnis” (“ethnic identity is not a ixed individual quality which can be

satu jawabannya ada dalam tulisan Carey yang lain. Ternyata di awal predicted on the basis of physical characteristics, mother tongue, place of

abad ke-19, orang Jawa yang mapan makin sadar akan identitas ke-Jawa- birth, or ethnic origin”). 33 Dengan demikian, identitas jamak pada golongan annya dalam dunia yang berubah dengan cepat (‘well-born Javanese

peranakan di Jawa Tengah muncul “[…] bukannya karena mereka tidak were now more conscious than ever of their identity in a fast changing memiliki satu identitas tunggal dan [sehingga] ‘ada dalam krisis’, tetapi

world’) dan memandang rendah orang-orang yang hidup dalam dunia dikarenakan identitas jamak itu sendiri adalah suatu pilihan yang sehat”

hibrid (blasteran). Orang-orang peranakan Tionghoa, seperti Tan Jin (“not because they lack a single identity focus and are [therefore] ‘in crisis’,

Sing yang walaupun sudah memeluk Islam, menguasai bahasa dan but because multiple identity is itself a healthy choice.”). 34 adat Jawa dengan amat baik serta bergaul luas dengan elite pribumi,

Seorang peranakan yang juga keturunan Tan Jin Sing, Oei Hong Kian, dipandang tidak lebih sebagai ‘bunglon budaya’ (cultural chameleon) 36 dalam autobiograinya meneguhkan pernyataan-pernyataan sebelumnya.

atau produk ‘budaya banci’ (cultural transvestites) karena statusnya Secara bangga, Oei memandang dirinya sebagai produk “three in one” dan

sebagai ‘orang Tionghoa’ dan juga kedekatannya dengan golongan

Eropa. menikmati kemudahan dari identitas jamaknya tersebut, 37

Memoar Ko Ho Sing

pecah Perang Jawa dan Ko He Te harus mengungsi dari Bagelen ke Kedu, Sayangnya Peter Carey tidak menggunakan sumber-sumber dari

yang merupakan tempat pertahanan orang Tionghoa yang cukup kuat. kalangan Tionghoa padahal sumber itu telah tersedia dan diketahuinya.

Mereka harus bertempur menghadapi serbuan laskar Diponegoro, dan Salah satunya adalah Memoar Ko Ho Sing (1872) yang tersimpan dengan

tentunya juga berdoa kepada Yang Maha Kuasa:

kode Or. 409 di Perpustakaan KITLV Leiden. 38 Sebenarnya Peter Carey

sudah mengutip sumber ini di halaman 37 catatan 46, tetapi yang diambil

Suara-suara senjata

hanya bagian addendanya, bukan memoarnya. Berikut ini adalah ringkasan

mereka menembaki rumah-rumah Cina

memoar tersebut yang berhubungan dengan Perang Jawa.

orang-orang Cina berkumpul bersama

Naskah yang ditulis dalam bentuk macapat (tembang Jawa) ini memuat

berdoa pada Tuhan, mereka memohon pertolongannya.

sejarah keluarga Ko yang bermukim di Jawa Tengah, yang dimulai dari Ko

Banyak orang Cina melindungi [patung] Tuhan mereka

He Te mendarat di Jawa dari Fujian (Hokkian) pada sekitar 1804 untuk

sembari berdoa tanpa jeda [...] 42

menyusul saudaranya, Ko Si Yu, yang telah bermukim di Yogyakarta. Ko Si Yu memiliki pabrik gula, dan untuk membantu saudaranya yang baru datang dari

Beberapa hari kemudian pasukan Belanda datang dan musuh bisa Tiongkok, 39 dia menawarkan pekerjaan sebagai subkontraktor penarik pajak

dipukul mundur. Orang-orang Tionghoa memberikan bantuan bahan

makanan pada penyelamat mereka. Inilah konsekuensi suatu ‘minoritas dibenci oleh rakyat banyak, tetapi bagi pendatang seperti Ko He Te, posisi

di gerbang tol di Medono, Kedu Utara. 40 Pekerjaan ini amat rendah sehingga

perantara’—yang akan mengabdi pada sang penjamin keamanan hidupnya— itu adalah awal karier untuk kelangsungan hidupnya di ‘tanah harapan’ ini.

seperti yang telah dibahas sebelumnya.

Dalam pengamatan John Crawfurd—pejabat Inggris yang akan banyak Anda Sumber Tionghoa bisa membuat tulisan Carey lebih seimbang karena temui dalam buku ini—pemungut pajak Tionghoa lebih disukai daripada

menampilkan suara dari pihak ‘sana’, lebih tepatnya dari perspektif ‘korban’, orang Jawa, karena ‘keahlian, kehematan, dan pengisapan’ membuat mereka

seperti kutipan kisah Ko He Te sebelumnya. Dalam istilah Harry Benda, mampu membayar sewa gerbang tol lebih tinggi (‘their skill, frugality and

seorang ahli sejarah Asia Tenggara, hal ini adalah perspektif ‘from within’ extortion’ enabled them to pay higher rents). 41 (dari dalam).

Guna menghadapai gangguan perampok dan pengacau, Ko He Te dikawal seorang tukang pukul serta dipersenjatai dengan dua tombak yang

Ironi Sejarah?

tajam. Dia melakukan pekerjaan sebagai bandar tol hanya selama lima tahun. Penulis ingin menutup tulisan ini dengan satu episode dari pertengahan Barangkali ini suatu tanda bahwa Ko He Te pun tidak menyukai pekerjaan

abad ke-20. Seratus tiga puluh tahun setelah Diponegoro mendeklarasikan yang kontroversial ini. Dengan modal yang sudah dikumpulkannya, dia

jihadnya terhadap orang Tionghoa pada 15 Agustus 1825, percukongan memilih berdagang sebagai mata pencaharian. Sayang sekali, kemudian

Tionghoa-Jawa yang legendaris antara Liem Sioe Liong serta Bob Hasan (The

Kian Seng) dan Kolonel Soeharto terjadi di Divisi/Komando Daerah Militer

1107019142&view=body&content-type=pdf_1

3 ‘Baur dan Bandar’, diterbitkan ulang dalam Nirwan Ahmad Arsuka (ed), Kata, Waktu: Esai- kemudian membuat keluarga sang kolonel (yang kemudian mengangkat

(KODAM) yang memakai nama Sang Ratu Adil ini. 43 Hasil percukongan ini

esai Goenawan Mohamad, 1960–2001 (Jakarta: PDAT, 2001), hlm. 493–495. Terima kasih dirinya sendiri sebagai Jenderal Besar) sebagai salah satu keluarga terkaya

kepada Evelyne Yudiari atas sumber ini.

di negeri ini. Apakah ini suatu ironi sejarah? Atau suatu kesinambungan? 4 Isilah peranakan mengacu pada orang Tionghoa yang dilahirkan di Indonesia, memiliki Bukankah—menurut orang Belanda—setiap bupati memiliki (cukong)

darah campuran dari perempuan lokal dan kebanyakan sudah idak bisa lagi berbicara dalam

Bahasa Mandarin atau dialek Tionghoa. Dalam percapakan sehari-hari, mereka cenderung Atau ada yang lain?

Tionghoa-nya masing-masing (‘eigen regent heeft zijn elke Chineezen’) 44 ?

memakai bahasa lokal di mana mereka inggal.

Mungkin Diponegoro akan mengelus dada sambil berkata, “weleh […] 5 Isilah ini diambil dari Takashi Shiraishi, ‘Ani-Sinicism in Java’s New Order’, dalam Daniel weleh, saikine pancen jaman edan, sing ora edan ora keduman.”

Chirot dan Anthony Reid (peny.), Essenial Outsiders: Chinese and Jews in the Modern Transformaion of Southeast Asia and Central Europe (Seatle: University of Washington

Jakarta, 18 Mei 2015

Press, 1997), hlm.190 6 Keberadaan orang Tionghoa di awal berdirinya Kesultanan Yogyakarta meneguhkan fakta

bahwa mereka termasuk ‘pribumi’ (penduduk asli) daerah ini. Nenek moyang penulis dari pihak ayahanda telah inggal di Yogyakarta sejak 1798, lihat Didi Kwartanada, ‘Tionghoa-Jawa:

Catatan Belakang: A Peranakan Family History from the Javanese Principaliies’, Chinese Heritage Center Bullein 1 Seorang sejarawan yang bekerja di Yayasan Naion Building (Nabil), Jakarta. Fokus utamanya

4, December 2004, hlm. 41 (tersedia online). Justru ‘orang-orang seberang’ (Sumatra, Papua, pada sejarah etnis Tionghoa di Indonesia. Karyanya antara lain “The Tiong Hoa Hwee Koan

dll) baru datang jauh kemudian. Menjadi hal yang aneh, apabila orang Tionghoa peranakan School: A Transborder Project of Modernity in Batavia, c. 1900s”, dalam Siew Min-sai

tetap dianggap ‘nonpribumi’ (lihat hlm. xxix). Tentang Kapitan Cina To In, lihat juga Peter dan Chang Hau-Yoon, (peny.), Chinese Indonesians Reassessed (2013), dan “Compeiion,

Carey, Kuasa Ramalan, III, hlm. 927.

Patrioism and Collaboraion: The Chinese Businessmen of Yogyakarta between the 1930s- 7 Prakik ini berjalan terus hingga diambil alihnya sistem pacht oleh pemerintah pada akhir 1945”, Journal of Southeast Asian Studies (2002). Dia adalah editor-bersama dan kontributor

abad ke-19, yang sekaligus mengakhiri peran strategis pengusaha Tionghoa dalam tatanan ensiklopedia yang telah memenangi penghargaan: The Encyclopedia of Indonesia in the

lama kolonial (old colonial order). Lihat lebih lanjut pemaparan yang bagus sekali dari Takashi Paciic War (2011). Selain dalam bahasa Indonesia, hasil risetnya telah terbit dalam bahasa

Shiraishi, “Ani-Sinicism in Java’s New Order”, dalam Daniel Chirot dan Anthony Reid (peny.), Inggris, Jepang, Jerman, Belanda, dan Mandarin, yang secara bertahap bisa dibaca di htps://

Essenial Outsiders, hlm. 187–207.

independent.academia.edu/DidiKwartanada. Email: [email protected] 8 Benny G. Seiono, Tionghoa Dalam Pusaran Poliik (Jakarta: Elkasa, 2002), hlm. 611. 2 Artikel versi Inggris tersebut bisa diakses online pada link ini: http://cip.cornell.edu/

9 Isilah “middleman minority” pertama kali dipakai oleh sosiolog AS, Howard P. Becker (1940). DPubS?service=Repository&version=1.0&verb=Disseminate&handle=seap.indo/

Ada beberapa isilah lain yang dipakai, misalnya, “Trading Minoriies” (W.F. Wertheim) dan

“Minoriies in the Middle” (Walter P. Zenner). Untuk kajian lebih lanjut lihat Walter P. Zenner,

University (Leiden: Eduard Ijdo, 1929), hlm. 88, 277–278.

Minoriies in the Middle: A Cross-Cultural Analysis (New York: SUNY Press, 1991). Beberapa 16 Monique Zaini-Lajoubert, Abdullah bin Muhammad Al-Misri (Bandung: Angkasa-EFEO, 1987), ahli sudah mengkriik teori ini, lihat, misalnya, Mona Lohanda, Growing Pains: The Chinese

h. 28, 111. Edisi revisi: Karya Lengkap Abdullah bin Muhammad al-Misri: Bayan al-asma’, and the Dutch in Colonial Java, 1890–1942 (Jakarta: Cipta Loka Caraka, 2002), hlm. 19. Akan

Hikayat Mareskalek, ‘Arsy al-Muluk, Cerita Siam, Hikayat Tanah Bali (Jakarta: École Française tetapi, kami beranggapan teori ini bisa diterapkan bagi minoritas keturunan asing, misalnya,

d’Extrême-Orient & Komunitas Bambu, 2008.)

Tionghoa di Indonesia. 17 Peter Carey (penerj. dan peny.), Babad Dipanagara: An Account of the Outbreak of the Java 10 Dikuip dari Marin N. Marger, Race and Ethnic Relaions: American and Global Perspecives.

War (1825–1830): The Surakarta Court Version of the Babad Dipanagara with Translaions Edisi Kedua (Belmont: Wadsworth, 1994), hlm. 51–52. Terjemahan bebas dari penulis.

into English and Indonesian Malay. MBRAS Monograph No. 9 (Kuala Lumpur: Council of the 11 Hal ini terjadi pada masa Jepang, lihat tulisan-tulisan Didi Kwartanada: (1) “Compeiion,

MBRAS, 1981), hlm. 174

Patrioism and Collaboraion: The Chinese Businessmen of Yogyakarta Between the 1930s– 18 Dua belas tahun sebelum pecahnya Perang Jawa telah terjadi pembunuhan atas Han Tik Ko, 1945”, Journal of Southeast Asian Studies, Vol. 33, no. 2 (June 2002), hlm. 257–277; (2) “Die

seorang Mayor Cina sekaligus tuan tanah peranakan yang amat terpandang di Probolinggo. chinesische Minderheit und die japanische Besatzung: Java 1942–1945”, Internaionales

Orang Jawa mengenang perisiwa pembunuhan itu sebagai ‘keproek tjina’ (menghajar Asienforum (Internaional Quarterly for Asian Studies), Vol. 32, no. 1/2 (2001), hlm. 85–104;

Cina). Lihat Sri Margana, Java’s Last Fronier: The Struggle for Hegemony of Blambangan, c. (3) “Chinese Leadership and Organizaion in Yogyakarta during the Japanese Occupaion”,

1763–1813. Disertasi Ph.D Leiden University, 2007, Bab Tujuh. Versi Indonesia karya berjudul: dalam Paul Kratoska (peny.), Southeast Asian Minorities in Wartime Japanese Empire

Ujung Timur Jawa, 1763–1813: Perebutan Hegemoni Blambangan (Yogyakarta: Pustaka Ifada, (Richmond, Surrey: Curzon Press, 2001), Bab 5.

12 Abu Hanifah, Tales of a Revoluion (Sydney: Angus and Robertson, 1972), h. 253. Terjemahan 19 Denys Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya. Jilid 2 Jaringan Asia (Jakarta: Gramedia, 1996), bebas dari penulis.

hlm. 359

13 Charles A. Coppel, Tionghoa Indonesia dalam Krisis (Jakarta: Sinar Harapan, 1993), hlm. 20 Hal yang sama juga diyakini oleh masyarakat Madura. Lihat Ong Hok Ham, Riwayat Tionghoa 53.

Peranakan di Jawa (Jakarta: Komunitas Bambu, 2005), hlm. 25–26.

14 Peter Carey, The Power of Prophecy: Prince Dipanagara and the End of an Old Order in Java, 21 Ko Mo An adalah putra dari Ko Ho Sing, yang akan dibahas dalam bagian selanjutnya. 1785–1855 (Leiden: KITLV-Press, 2007), hlm. xi. Belum lama buku ini telah diterjemahkan

22 Didi Kwartanada dan Bernie Liem, “Sons of the Soil: The Chinese Community of Yogyakarta”, ke dalam bahasa Indonesia, dengan judul Kuasa Ramalan: Pangeran Diponegoro dan Akhir

Asian Geographic (Singapura) 9, Oktober 2007, hlm. 60

Tatanan Lama di Jawa, 1785–1855 (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2012). Namun, 23 Dwi Woro Retno Mastui, “Wayang Kulit Cina Jawa Yogyakarta” dalam Leo Suryadinata (ed.), karena keterbatasan waktu, di sini kami masih mengacu pada edisi aslinya. Versi ringkas

Tionghoa dalam Keindonesiaan: Peran dan Kontribusi bagi Pembangunan Bangsa (Jakarta: Kuasa Ramalan terbit sebagai Takdir: Riwayat Pangeran Diponegoro, 1785–1855 (Jakarta:

Yayasan Nabil, akan terbit).

Penerbit Buku Kompas, 2014) 24 Didi Kwartanada, ‘Tionghoa-Jawa: A Peranakan Family History from the Javanese Principaliies’, 15 Soeripto, Ontwikkelingsgang der Vorstenlandsche Wetboeken. Disertasi Ilmu Hukum Leiden

hlm. 42–43.

25 Lihat lebih lanjut sumbangan Tionghoa Surakarta pada seni panggung di Surakarta dalam 34 Dikuip dari Sandra Wallman, “Idenity Opions”, hlm. 74. Terjemahan bebas dari penulis. Rustopo, Menjadi Jawa: Orang-orang Tionghoa dan Kebudayaan Jawa di Surakarta 1895–

35 Oei Hong Kian, Dokter Gigi Soekarno: Peranakan yang Hidup dalam Tiga Budaya (Jakarta: 1998 (Yogyakarta/Jakarta: Ombak-NABIL, 2007). Terkait Go Tik Swan, lihat Neneng Iskandar,

Inisari, 2001), hlm. 4. Perhaikan subjudul buku tersebut, yang menegaskan kejamakan Baik Indonesia & Sang Empu: Go Tik Swan Panembahan Hardjonagoro (Jakarta, Indonesia:

idenitas penulisnya.

Tim Buku Srihana, 2008). 36 Isilah dari Peter Carey untuk Tan Jin Sing dalam resensinya atas buku T.S. Werdoyo, Tan Jin 26 Volkstelling 1930 Volume VII (Batavia: Departement van Economishe Zaken, 1935), hlm.

Sing: Dari Kapitan Cina sampai Bupai Yogyakarta, dalam Journal of Southeast Asian Studies 104; Maurice Freedman, “The Chinese in Southeast Asia”, dalam Andrew W. Lind (ed.), Race

23, 1 (1992), hlm. 141.

Relaions in World Perspecive (Honolulu: University of Hawaii Press, 1956), hlm. 403; Didi 37 Peter Carey, “The Briish in Java, 1811–1816: A Javanese Account”, dalam J. van Goor (peny.), Kwartanada dan Bernie Liem, “Sons of the Soil: The Chinese Community of Yogyakarta”, hlm.

Trading Companies in Asia 1600–1830 (Utrecht: HES, 1986), hlm. 148

59. 38 Lihat ringkasan isi memoar ini dalam Theodore G. Th. Pigeaud, Literature of Java Volume 27 Didi Kwartanada dan Bernie Liem, “Sons of the Soil: The Chinese Community of Yogyakarta”,

IV: Supplement (Leiden: Leiden University Press, 1980), hlm. 242–245. Baru-baru ini muncul hlm. 59

perhaian kembali terhadap naskah Ko Ho Sing, lihat Willem van der Molen, “Documents on 28 Freedman, “The Chinese”, hlm. 403.

the Life of Ko Ho Sing (1825–1900)”, dalam Teresa Liliana Wargaseia (peny.), Proceedings The 29 Peter Carey, “Yogyakarta: From Sultanate to Revoluionary Capital of Indonesia. The Poliics

2 nd Internaional Conference on Chinese Indonesian Studies (Bandung: Maranatha University of Cultural Survival”, Indonesia Circle, No. 39, Maret 1986, hlm. 19–29.

Press, 2015), hlm. 224–233.

30 Wawancara Budi Kho Djie Tjay (Magelang), September 2001. 39 Dalam kepustakaan, seorang migran seperi Ko He Te disebut sinkeh (di Jawa biasa dilafalkan 31 A. Hendrawai dan Budi Kho, “Trah Secodiningrat: Setangkai Sinergi Bangsa Indonesia”,

‘singkek’), yang berasal dari dialek Hokkian, yang berari ‘pendatang baru’.

manuskrip ketikan (Magelang: tanpa tahun), hlm. 18. Tiap paguyuban trah biasanya 40 Bagian berikut ini disarikan dari A.M. Djuliai Suroyo, “The Chinese in Javanese Rural Society memiliki buku silsilah. Untuk trah Secodiningrat, lihat Purwosugiyanto, Buku Silsilah Trah

in the Nineteenth Century”, makalah pada Second Internaional Symposium on Humaniies: RT Secodiningrat (Yogyakarta: diterbitkan sendiri, 1982), 33 halaman ketikan. Penulis

Linguisics and History, Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 26–27 April mengucapkan terima kasih pada Bapak Budi Kho atas sumber ini.

1993, hlm. 4–5.

32 Berlainan dengan apa yang ditulis para akademisi, termasuk Peter Carey, keturunan 41 Peter Carey, Power of Prophecy, hlm. 19. Walaupun Crawfurd dikenal sebagai seorang ani- Secodiningrat percaya bahwa Tan Jin Sing sebenarnya adalah seorang Jawa yang diadopsi

Tionghoa (sinophobe), tetapi penulis pengantar ini bisa menyetujui pengamatannya. Tentang oleh keluarga Tionghoa dan dibesarkan dalam dunia Tionghoa dan Jawa. Lihat lebih lanjut

kecenderungan ani-Tionghoa Crawfurd, lihat di hlm. 41.

A. Hendrawai dan Budi Kho, “Trah Secodiningrat: Setangkai Sinergi Bangsa Indonesia”.

42 Teks aslinya dalam Bahasa Jawa:

33 Dikuip dari Sandra Wallman, “Idenity Opions”, in C. Fried (peny.), Minoriies: Community

Ulun-ulun kang senjata

and Idenity. Dahlem Conference 1983 (Berlin: Springer Verlag, 1983), hlm. 70, 73. Terjemahan

nggoning Cina ingkang dipunbedhili

bebas dari penulis.

pra Cina sedaya guyup pra Cina sedaya guyup

PRAKATA

kang denandel pinundi sinuhun-nuhun jinaga mring Cina kathah

Edisi Kedua

tan pegat densembahyangi.

“Memoar Ko Ho Sing”, seperi dikuip oleh A.M. Djuliai Suroyo, “The Chinese in Javanese Rural Society”, hlm. 5. Berhubung penulis idak memiliki akses ke naskah aslinya, terjemahan bebas ke dalam Bahasa Indonesia dilakukan oleh penulis dari teks Djuliai (hanya tersedia dalam bahasa Jawa dan Inggris).

“Kalau sudah masuk dalam tataran politik, 43 Marleen Dieleman, “How Chinese are the Entrepreneurial Strategies of Ethnic Chinese semua dikondisikan menjadi abu-abu.

Business Groups in Southeast Asia? A Mulifaceted Analysis of the Salim Group of Indonesia”, Sejarah semestinya tidak demikian. Disertasi Ph.D Leiden University, 2007, hlm. 83, 175, disertasi ini kemudian terbit dengan

Sejarah adalah fakta-fakta yang menjadi saksi peradaban” judul: The Rhythm of Strategy: A Corporate Biography of the Salim Group of Indonesia.

(Eneng Rokajat Asura, penulis, Depok) (Amsterdam: Amsterdam University Press, 2007); Richard Robison, Indonesia: The Rise of

Capital (North Sydney: Allen & Unwin, 1987), h. 259–260, 296–297. Saya ikut senang atas penerbitan ulang sebagai edisi kedua terjemahan 44 Heather Sutherland, Terbentuknya Sebuah Elite Birokrasi (Jakarta: Sinar Harapan, 1983).

karya saya “Changing Javanese Perceptions of the Chinese Communities in Central Java, 1755–1825” yang semula dimuat dalam jurnal dari Cornell University, USA, Indonesia no. 37 (April 1984), hlm.1–47. Kali ini, penerbitan edisi kedua bersama Komunitas Bambu telah mengalami perbaikan yang menyeluruh dan saya pun ikut terlibat di dalamnya. Salah satu perbaikan adalah untuk menggantikan semua istilah “Cina” menjadi “Tionghoa”—kecuali dalam judul buku dan gelar seperti “Kapitan Cina” dan kutipan dari surat-surat asli—yang bisa dianggap lebih etis atau “politically correct” pada zaman Reformasi ini.

Selain itu, juga saya telah menambahkan kepustakaan pada penerbitan baru ini dengan buku saya yang baru, Kuasa Ramalan; Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa, 1785–1855 (Jakarta: KPG, 2012, tiga jilid), dan versi singkatnya, Takdir; Riwayat Pangeran Diponegoro, 1785–1855 (Jakarta: Buku Kompas, 2014).

Keduanya merupakan terjemahan biograi lengkap dari riwayat hidup pada masa kini—di mana jurang antara kaum kaya dan kaum miskin Pangeran Diponegoro serta zaman peralihan antara Kompeni Belanda

semakin melebar—tidak bisa djawab dengan kebijakan propribumi, karena (VOC, 1602–1799) dan pemerintah kolonial Hindia Belanda (1818–1942),

isunya memang bukan pribumi lawan nonpribumi. Isunya adalah sistem yang diterbitkan Koninklijk Instituut, Leiden, pada 19 Desember 2007

ekonomi yang sarat kolonialisme dan kapitalisme.

dengan judul, The Power of Prophecy: Prince Dipanagara and the End Kita juga patut menanyakan siapa yang “pribumi” dan siapa yang of an Old Order in Java, 1785–1855 (Leiden: KITLV Press).

“nonpribumi” dalam suatu masyarakyat majemuk Nusantara yang terdiri Rupanya ingatan sehat atas sejarah hubungan Jawa dan Tionghoa

dari gelombang pendatang. Pendatang tersebut berasal dari daerah lain selama berabad-abad sejak Majapahit (1293–1510-an) dan zaman wali

benua Asia (Yunnan, Tiongkok, India, Persia) dan Timur Tengah, di mana songo (1480–1600)—di mana seorang wali keturunan Tionghoa, Bun Ang

tidak kurang dari 12% dari asas-asas keturunan (gene pool) penduduk (Sunan Bonang) (lihat hlm.23), mengambil peran penting dalam proses

Pulau Bali, umpamanya, berasal dari India. 1 Mungkin salah satu “obat” meng-Islam-kan Jawa—sangat diperlukan sekarang. Dalam konteks ini,

manjur untuk menyumbuhkan pikiran yang dangkal mengenai pribumi saya ingin banyak berterima kasih kepada sejarawan dari Surakarta, Raden

dan nonpribumi adalah untuk mengunduh semua data dari Eijkman Mas Daradjadi Gondodiprodjo, yang telah melawan amnesia kebangsaan

Institut (Jakarta) tentang “genetic record” dari penduduk Indonesia dengan menuliskan kembali perang koalisi Jawa–Tionghoa menentang

supaya bisa dipelajari oleh mahasiswa dan rakyat kebanyakan. VOC pada 1740–1743 dalam bukunya, Geger Pacinan; Persekutuan Persekutuan

Tulisan pendek ini diharapkan berguna dengan mengingatkan kita Tionghoa–Jawa melawan VOC (Jakarta: Buku Kompas, 2013). Upaya Upaya

atas sejarah dan kemajemukan Nusantara, di mana semua etnis dan agama membenturkan antarkelompok, seperti membangun kecurigaan Jawa

telah mengambil peran yang penting. Semoga toleransi dan kesadaran dan Tionghoa, ditolak Daradjadi dengan menghidupkan kembali ingatan

tetap bisa menjadi rujukan bangsa. Sekali lagi saya berterima kasih pada sejarah hubungan perwira Tionghoa Kapitan Sepanjang dan saudara

teman-teman Komunitas Bambu (Depok), terutama Bang JJ Rizal dan seperjuangannya, Pangeran Samber Nyawa alias RM Said (KGPA

Mas Danang Wahansa, yang bertindak sebagai editor yang andal untuk Mangkunegara I, bertahkta 1757–1795) (lihat hlm. 23).

edisi baru ini. Juga untuk saudara Didi Kwartanada yang telah menuliskan Pada era yang serba berbahaya ini, di mana persetujuan perdagangan

pengantarnya untuk edisi pertama dan menambah bahan untuk edisi bebas dengan Tiongkok (ASEAN–China Trade Agreement) akan dimulai

kedua.

sepenuhnya pada Desember 2015, kita membutuhkan suatu pengertian Juga saya berutang budi kepada Ibu Enni Prihantini, Kepala Museum mendalam tentang sejarah bangsa sendiri. Masalah Jawa Tengah selatan

Sejarah Jakarta, atas kebaikan hati memberi fasilitas untuk memotret menjelang Perang Diponegoro (1825–1830)—di mana kaum Tionghoa

lukisan dinding (mural) “Batavia Tempo Doeloe (1973–1974)” yang luar dipakai sebagai ujung tombak sistem bandar tol pemerintah Hindia

biasa dari Hariyadi Sumodidjojo (1919–1997) yang dimuat di sampul Belanda yang menguras kekayaan pribumi (lihat Bab 5)—dan Indonesia

muka edisi ini. Terima kasih juga untuk asisten saya selama pameran “Aku

Diponegoro; Sang Pangeran dalam Ingatan Bangsa” di Galeri Nasional

DAFTAR ISI

(6 Februari–8 Maret 2015), Subianto (Mas Subi), yang telah memotret semua lukisan Hariyadi tersebut. Saya juga berterima kasih kepada Mas Tjundaka Prabawa, seorang ahli aristektur Pacinan dan sejarawan masyarakyat Tionghoa di Yogyakarta, atas foto-foto bekas kediaman Secodiningratan—yang dibangun K.R.T. Secodiningrat (Tan Jin Sing) saat

Pengantar Didi Kwartanada: Perang Jawa (1825–1830)

masih menjabat sebagai Kapitan Cina di Yogyakarta (1803–1813)—yang

v telah dimusnahkan oleh pemilik baru pada 2012 lalu.

dan Implikasinya pada Hubungan Tionghoa–Jawa

xxvii Last but not least, saya banyak belajar dari murid saya di Kelas

Prakata

Daftar Gambar

xxxiii

7 SMP Pelangi Kasih (Kelapa Gading) dengan penelitian sejarah lisan (wawancara) yang mereka buat dengan keluarga masing-masing tentang

1 pengalaman mereka saat kerusuhan Mei 1998 di Jakarta dan sebelumnya.

BAB 1 Pendahuluan

11 Kepada para pembaca, semoga edisi baru buku ini–layaknya sekapur sirih

BAB 2 Latar Belakang Historis (Sekitar Tahun l400–1800)

BAB 3 Orang Tionghoa di Berbagai Kerajaan Jawa Tengah

dari edisi pertama yang sudah lama habis terjual–bermanfaat.

Pasca-Giyanti (Referensi Khusus pada 1808–1812)

BAB 4 Serangan Inggris ke Yogyakarta

Peter Carey

pada 20 Juni 1812 dan Akibatnya

Serpong, 6 Juni 2015

BAB 5 Pengelolaan Perdagangan Candu dan Gerbang Tol

oleh Orang Eropa (1812–1825) serta Dampak Sosial-Ekonominya

81 BAB 6 Rasa Antiasing dan Jati Diri: Perubahan Sikap Orang Jawa

101 Catatan Belakang: 1. Taiana M. Karafet et al, “Balinese Y-Chromosome Perspecive on the Peopling of Indonesia:

terhadap Orang Tionghoa selama Perang Jawa

109 Geneic Contribuions from Pre-Neolithic Hunter-Gatherers, Austronesian Farmers, and

BAB 7 Kesimpulan

Indian Traders”, Human Biology 77.1 (February 2005), hlm.93-114.

Daftar Pustaka

Lampiran

Indeks

DAFTAR GAMBAR

1. Rumah Madat di Jawa pada Awal Abad Ke-19 (Sumber Java: Tooneelen Uit Het Leven, Karakterschetsen En Kleederdragten Van Java’s Bewoners...hlm. 27 [‘s-Gravenhage: Fuhri, 1853], dari KITLV, Leiden.)

2. Penjahit & Pembantunya Orang Jawa pada Awal Abad Ke-19 (Sumber: Koleksi A.A.J. Payen (Buku Sketsa E), dari Rijksmuseum voor Volkenkunde, Leiden)

3. Saron dengan Motif Singa Khas Tiongkok (Sumber: Foto karya Sue Devale pada 1977, dari Leiden Universiteits Bibliotheek)

4. Rumah Mayor Cina Be Biauw Tjoan di Semarang, 1867 (Sumber: Foto karya Walter Woodbury dan James Page, dari Leiden Universiteits Bibliotheek)

5. Letnan Cina Menggunakan Busana Gala (Galatenue) (Sumber: Foto karya A. Bierens de Haan pada 1890, dari Leiden Universiteits Bibliotheek)

6. Sketsa Keraton Yogyakarta Dilihat dari Alun-Alun Utara (Sumber: Sketsa karya A. de Nelly yang dibuat pada 6. Sketsa Keraton Yogyakarta Dilihat dari Alun-Alun Utara (Sumber: Sketsa karya A. de Nelly yang dibuat pada

BAB 1

di Indonesia dan Asia, 2002, hlm. 97, seizin Perpustakaan Nasional RI dan Rijkmuseum Amsterdam)

Pendahuluan

7. Rumah Bagian Depan dari Tan Jin Sing (Sumber: Foto koleksi pribadi karya Tjundaka Prabawa)

8. Rumah Bagian Belakang dari Tan Jin Sing (Sumber: Foto koleksi pribadi karya Tjundaka Prabawa)

9. Rumah Kapitan Cina di Ketandan, Yogyakarta (Sumber: Foto koleksi pribadi karya Tjundaka Prabawa)

P ada Senin, 17 September 1825, selama bulan-bulan pertama Perang

Jawa (1825–1830), suatu kesatuan kecil pasukan berkuda di bawah

10. Pengadilan Distrik di Pati, Jawa Tengah dengan Kapitan Cina pimpinan Raden Ayu Yudokusumo, putri Sultan Pertama Yogyakarta, di Pati, Oei Hotam, Berada Paling Kiri

melakukan penyerbuan ke Ngawi—sebuah pos perdagangan vital—yang (Sumber: Litograi karya Walter Woodbury dan James Page,

terletak di pertemuan Kali Madiun dan Bengawan Solo di Jawa Timur. Pos dari Leiden Universiteits Bibliotheek)

87 perdagangan tersebut merupakan tempat permukiman penduduk golongan Tionghoa. Mereka utamanya adalah para dalal (pedagang perantara) beras,

11. Orang Tionghoa di Jawa pada Awal Abad Ke-19 dengan pedagang-pedagang kecil, serta para kuli. Jumlah mereka membengkak Kucirnya dan Gaya Berpakaiannya yang Khas

untuk sementara waktu sebagai akibat masuknya para pengungsi yang (Sumber: Koleksi A.A.J. Payen (Buku Sketsa E), dari

berasal dari desa-desa di sekitarnya. 1 Mereka mencari perlindungan di Rijksmuseum voor Volkenkunde, Leiden)

dalam rumah-rumah para pedagang Tionghoa terkemuka yang mempunyai daun jendela dan pintu dari kayu jati yang kukuh dan kuat.

12. Penduduk Lokal di Ketandan Era Sekarang Meskipun tindakan membentengi diri itu dapat menahan berbagai (Sumber: Foto koleksi pribadi karya Tjundaka Prabawa)

perampokan yang dilakukan oleh gerombolan-gerombolan kecu (perampok, penyamun) yang mengembara dan memenuhi daerah pinggiran luar sebelah timur wilayah kerajaan yang terdapat di Jawa tengah selatan, tetapi mereka bukan tandingan kapak-kapak berat dan kuat serta tombak- perampokan yang dilakukan oleh gerombolan-gerombolan kecu (perampok, penyamun) yang mengembara dan memenuhi daerah pinggiran luar sebelah timur wilayah kerajaan yang terdapat di Jawa tengah selatan, tetapi mereka bukan tandingan kapak-kapak berat dan kuat serta tombak-

Diponegoro. Mereka menyediakan kebutuhan uang perak, senjata, serbuk begitu memilukan, 12 dari 40 orang Tionghoa di Ngawi dibantai dalam

mesiu, dan candu. Bahkan, sesekali orang-orang Tionghoa peranakan ini serangan pada jam tiga dini hari itu. Tubuh yang terpotong-potong

ikut pula bertempur, bahu-membahu dengan mereka. 4