AUDIT INVESTIGASI DENGAN MENGANALISIS UNSUR PERBUATAN MELAWAN HUKUM

BAB 16 AUDIT INVESTIGASI DENGAN MENGANALISIS UNSUR PERBUATAN MELAWAN HUKUM

  Akuntan forensik bekerja sama dengan praktisi hukum dalam menyelesaikan masalah hukum, oleh karenanya akuntan forensik perlu memahami hukum pembuktian sesuai masalah-masalah hukum yang dihadapi, dalam bab ini khususnya tindak pidana khusus yaitu korupsi. Dalam hal terkait korupsi biasanya tindakan melawan hukum diantaranya terdiri dari kegiatan memperkaya diri, penyalahgunaan wewenang, suap menyuap, gratifikasi, penggelapan dan pembiaran penggelapan, pengrusakkan bukti dan memalsukannya, pemerasan, penggunaan tanah negara oleh pegawai negeri, dan lain-lain. Untuk lebih jelasnya tersaji pada tabel 1, terkait 30 Jenis tindak pidana korupsi menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.

  1. Pasal 2: Memperkaya diri Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara taau perekonomian negara.

  2. Pasal 3: Penyalahgunaan wewenang Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau saranayang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara

  3. Pasal 5, ayat (1), a: Menyuap pegawai negeri Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya

  4. Pasal 5, ayat (1), b: Menyuap pegawai negeri Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara karena atau berhubungan dengan yang bertentangan dengan jabatannya, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya

  5. Pasal 13: Memberi hadiah kepada pegawai negeri Setiap orang memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya, atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukantersebut.

  6. Pasal 5, ayat (2): Pegawai negeri terima suap Bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian atau janji

  7. Pasal 12, a: Pegawai negeri terima suap Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakan atau melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya.

  8. Pasal 12, b: Pegawai negeri terima suap Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah, padahal diketahui hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya.

  9. Pasal 11: Pegawai negeri terima hadiah Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan secara jabatan.

  10. Pasal 6, ayat (1), a: Menyuap hakim memberi atau menanjanjikan sesuatu kepada hakim dengan maksud untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili.

  11. Pasal 6, ayat (1), b: Menyuap advokat memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundang- undangan ditentukan menjadi advocat untuk menghadiri sidang pengadilan dengan maksud untuk mempengaruhi nasehat atau pendengar yang akan diberikan berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili.

  12. Pasal 6, ayat (2): Hakim dan advokat terima suap bagi hakim yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksu pada ayat (1) huruf a atau advocad yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksu pada ayat (1) huruf b.

  13. Pasal 12, c: Hakim terima suap Hakim yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili.

  14. Pasal 12, d: Advokat terima suap Advokat untuk menghadiri sidang, menerima hadiah atau janji. Padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan.

  15. Pasal 8: Pegawai negeri menggelapkan uangmembiarkan penggelapan Pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja menggelapkan uang atau surat berharga yang disimpan karena jabatannya, atau membiarkan uang atau surat berharga tersebut diambil atau digelapkan oleh orang lain, atau membantu dalam melakukan perbuatan tersebut.

  16. Pasal 9: Pegawai negeri I memalsukan buku Pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja memalsukan buku-buku atau daftar-daftar yang khusus untuk pemeriksaan administrasi.

  17. Pasal 10, a: Pegawai negeri I merusakkan bukti Menggelapkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar yang digunakan untuk meyakinkan atau membuktikan di muka pejabat yang berwenang, yang dikuasai jabatannya.

  18. Pasal 10, b: Pegawai negeri membiarkan orang lain merusakkan bukti Membiarkan orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar tersebut.

  19. Pasal 10, c: Pegawai negeri membantu orang lain merusakkan bukti Membantu orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar tersebut.

  20. Pasal 12, e: Pegawai negeri memeras Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri.

  21. Pasal 12, f: Pegawai negeri memeras Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas, meminta, atau pekerjaan, atau penyerahan barang, seolah-olah merupakan utang kepada dirinya, padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan utang.

  22. Pasal 12, g: Pegawai negeri memeras Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas meminta, menerima, memotong pembayaran kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara yang lain atau kepada kas umum, seolah-olah pegawai negeri atau penyelenggaranegara yang lain atau kas umum tersebut mempunyai utang kepadanya, padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan utang.

  23. Pasal 7, ayat (1), a: Pemborong berbuat curang Pemborong, ahli bangunan yang pada waktu membuat bangunan, atau penjual bangunan yang pada waktu menyerahkan bahan bangunan, melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keamanan orang atau barang, atau keselamatan negara dalam keadaan perang.

  24. Pasal 7, ayat (1), b: Pengawas proyek membiarkan perbuatan curang Setiap orang yang bertugas mengawasi pembangunan atau peneyerahan bahan bangunan, sengaja membiarkan perbuatan curang.

  25. Pasal 7, ayat (1), c: Rekanan TNIPolri berbuat curang Setiap orang yang pada waktu menyerahkan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keselamatan dalam keadaan perang.

  26. Pasal 7, ayat (1), d: Pengawas rekanan TNIPolri berbuat curang Setiap orang yang bertugas mengawasi penyerahan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan sengaja membiarkan perbuatan curang.

  27. Pasal 7, ayat (2): Perima barang TNIPolri membiarkan perbuatan curang Bagi orang yang menerima penyerahan bahan bangunan atau orang yang menerima penyerahan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia dan membiarkan perbuatan curang.

  28. Pasal 12, h: Pegawai negeri menggunakan tanah negara Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas, telah menggunakan tanah negara yang diatasnya terdapat hak pakai, seolah-olah sesuai dengan peraturan perundang- undangan, telah merugikan orang yang berhak, paahal diketahuinya bahwa perbuatan tersebut bertentangann dengan peraturan perundang-undangan.

  29. Pasal 12, i: Pegawai negeri turut serta dalam pengadaan yang diurusnya Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud baik langsung maupun tidak langsung dengan sengaja turut serta dalam pemborongan, pengadaan, atau persewaan, yang pada saat dilakukan perbuatan, u ntuk seluruh atau sebagian ditugaskan untuk mengurus atau mengawasinya.

  30. Pasal 12B jo.12C: Pegawai negeri menerima gratifikasi dan tidak melapor ke KPK Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya

  Selain ke-30 tindak pidana tersebut juga terdapat tindak pidana lain yang terkait tidak pidana korupsi. Tindak pidana tersebut menurut Undang-Undang Tipikor sebagai berikut.

   Mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka, terdakwa, atau saksi dalam perkara korupsi.

   Tidak memberikan keterangan atau memberikan keterangan palsu  Melanggar KUHP Pasal 220 (mengadukan perbuatan pidana, padahal dia tahu perbuatan itu tidak

  dilakukan), Pasal 231 (menarik barang yang disita), Pasal 421 (pejabat menyalahgunakan wewenang, memaksa orang untuk melakukan atau tidak melakukan, atau membiarkan sesuatu), Pasal 422 (pejabat dilakukan), Pasal 231 (menarik barang yang disita), Pasal 421 (pejabat menyalahgunakan wewenang, memaksa orang untuk melakukan atau tidak melakukan, atau membiarkan sesuatu), Pasal 422 (pejabat

  Konsep dalam KUHP dan KUHAP

   Alat bukti yang sah Pengertian alat bukti yang sah, salah satunya menurut penjelasan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, yaitu bisa berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu tetapi tidak terbatas pada data penghubung elektronik, surat elektronik, telegram, teleks dan faksmile, dan dari dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca atau dikirim, dan atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas atau benda fisik apapun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik, yang berupa tulisansuara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memilii makna.

   Pembalikan beban pembuktian Pembalikan beban pembuktian adalah peletakan beban pembuktian yang tidak lagi pada diri Penuntut Umum, tetapi kepada terdakwa. Hal ini diberlakukan pada tindak pidana terkait gratifikasi dan tuntutan perampasan harta benda terdakwa yang diduga berasal dari salah satu tindak pidana.

   Gugatan perdata atas harta yang disembunyikan Gugatan perdata dapat dilakukan setelah adanya kekuatan hukum tetap oleh pengadilan. Gugatan dilakukan terhadap terpidana atau ahli warisnya apabila masih terdapat harta hasil rampasan atau korupsi.

   Perampasan harta benda yang disita Dalam hal terdakwa meninggal dunia sebelum putusan dijatuhkan dan terdapat bukti yang cukup kuat bahwa yang bersangkutan telah melakukan tindak pidana korupsi maka hakim atas tuntutan penuntut umum menetapkan perampasan barang-barang yang telah disita.

   Pemidanaan secara in absentia Karena seringnya koruptor yang melarikan diri dan tiak hadir selama persidangan, sehingga dalam proses hukumnya diberlakukan secara in absentia, yaitu proses mengadili seorang terdakwa tanpa dihadiri oleh terdakwa sendiri sejak mulai pemeriksaan sampai dijatuhkannya hukuman oleh pengadilan.

   Memperkaya vs menguntungkan

  Istilah tersebut dalam proses hukum berbeda. Memperkaya bermakna adanya tambahan kekayaan sedangkan menguntungkan bermakna keuntungan materiil dan immateriil. Pembuktian “memperkaya” lebih sulit daripada “menguntungkan”.

   Pidana mati Pidana mati merupakan sebuah proses eksekusi mati terhadap terdakwa yangdidasari atas putusan pengadilan. Pidana mati terkait koruptor salah satunya diatur pada pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, yaitu dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dikatakan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.

   Nullum delictum

  Maknanya tertuang dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP, intinya bahwa suatu perbuatan tidak dapat dipidana kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan-ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada.

   Concursus idealis dan concursus realis Concursus idealis (eendaadsche samenloop) yaitu suatu perbuatan yang masuk ke dalam lebih dari satu aturan pidana. Disebut juga sebagai gabungan berupa satu perbuatan yakni suatu perbuatan meliputi lebih dari satu pasal ketentuan hukum pidana. Sistem pemberian pidana yang dipakai dalam concursus idealis adalah sistem absorbsi, yaitu hanya dikenakan pidana pokok yang terberat. Concursus idealis diatur dalam Pasal 63 KUHP. Dalam KUHP bab II Pasal 63 tentang perbarengan peraturan.

   Concursus realis Concursus realis (meerdaadse samenloop) terjadi apabila seseorang melakukan beberapa perbuatan, dan masing-masing perbuatan itu berdiri sendiri sebagai suatu tindak pidana (tidak perlu sejenis dan tidak perlu berhubungan). Concursus realis diatur dalam Pasal 65-71 KUHP.

   Perbuatan berlanjut Perbuatan berlanjut terjadi jika beberapa perbuatan, meskipun masing-masing merupakan kejahatan atau pelanggaran, ada hubungannya sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai satu perbuatan berlanjut, sehingga diterapkan ancaman pidana pokok paling berat.

   “Lepas” vs “Bebas” dari tuntutan hukum Perbedaan dari istilah diatas adalah dalam hal putusan lepas dari segala tuntutan hukum, jaksa penuntut umum dapat melakukan kasasi, namun untuk putusan bebas murni, maka jaksa penuntut umum tidak dapat melakukan kasasi.