Selain Ilmu, Ada Rasa dalam Mengenal Gunung Api

Selain Ilmu, Ada Rasa dalam Mengenal Gunung Api

Terdengar gemuruh yang menderu. Asap Demikian sekelumit kejadian letusan Merapi 1994 kecoklatan berputar menggulung ke atas dengan

yang disampaikan Supriyati Andreastuti atau biasa cepat. Jam sepuluh pagi November 1994, Gunung

dipanggil Empi (E dibaca seperti e dalam kata Merapi meletus, persis saat tim, termasuk Supriyati

emas) saat ditemui Tim Warta Geologi (WG) di Andreastuti, berada di puncak. Inilah pertama

ruangan kerjanya. Saat ini Empi menjabat sebagai kali baginya menyaksikan letusan gunung api

Kepala Sub Bidang Evaluasi Bencana Gunung Api yang sangat aktif dari jarak yang amat dekat. Tim

di Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi berjumlah 13 orang itu sedang berada di tepi

(PVMBG), Badan Geologi. Beliau merupakan kawah bagian utara. Mereka adalah R. Sukhyar

wanita pertama Indonesia yang bergelar doktor (sekarang Kepala Badan Geologi), tiga orang

dalam bidang gunung api. Melalui tulisan ini kita perempuan, Supriyati Andreastuti, Sri Sumarti,

akan mengikuti perjalanan hidup seorang ahli dan Dewi Sri Sayudi, serta beberapa surveyor.

Gunung Api berkaitan dengan Gunung Merapi. Untung letusan Merapi mengarah ke bagian yang terbuka, ke arah selatan. Ini merupakan kebesaran

Empi kembali bertutur mengenai letusan Tuhan. Angin bertiup dengan sangat kencang ke

Merapi 1994. Saat itu secara kebetulan, dirinya arah selatan, sehingga tim selamat dari sergapan

sedang berlibur musim panas dari kampusnya di awan panas.

Auckland University, Selandia Baru. Kesempatan ini dimanfaatkannya untuk pulang ke tanah air

Segera setelah itu panggilan melalui radio melakukan pemetaan gunung api. Mengetahui komunikasi Handy Talky datang terus-menerus,

keberadaan Empi di Yogyakarta, atasannya mengintruksikan agar tim segera turun. Panggilan

menugaskan Empi untuk naik ke puncak Merapi. itu datang dari Atje Purbawinata, Kepala Seksi

Empi menjawab, “Pekerjaan saya belum selesai, Gunung Merapi (sekarang BPPTK). Melalui radio

Pak.” Namun, atasannya tetap menugaskan Empi komunikasi itu pula dikabarkan, bahwa di bawah,

agar ikut dalam tim yang akan naik ke Puncak Kampung Turgo terkena awan panas (belakangan

Merapi tengah malam.

diketahui jumlah penduduk tewas 66 orang). Tim pun bergegas turun.

Profil Profil 49 49

PROFIL

Status Gunung Merapi saat itu masih ”waspada” sudah siang, tim memutuskan untuk beristirahat (Tingkatan aktivitas atau status gunung api

dan makan siang.

itu adalah ”normal”, ”waspada”, ”siaga”, dan ”awas”). Dalam tingkatan itu pendakian masih

Salah seorang rekan Empi bertanya, “Mbak Empi, diizinkan, sehingga tim mendaki untuk melakukan

mau makan di mana?” “Masuk ke hutan!” Empi pengukuran-pengukuran dan mengamati Gunung

menjawab sambil berjalan bergegas mendaki Merapi secara visual dari dekat. Tiba-tiba aktivitas

masuk hutan. “Kita makan di sini, di lereng Bukit vulkanik berubah begitu cepat, Merapi meletus.

Jengger saja, terlindung,” rekan tadi menyarankan. Memang karakter gunung api itu amat susah

Begitu tim naik, batu panas raksasa sebesar rumah ditebak. Pagi hari masih berstatus waspada,

meluncur begitu kencangnya, tepat melindas malam harinya bisa saja meletus. Sangat cepat

tempat yang baru saja mereka tinggalkan. perubahannya, Empi menambahkan. “Jadi waktu itu saya hanya feeling saja, saya ingin Pengalaman dengan Merapi 1992 dan 1990

naik. Saya tidak tahu, saya hanya bilang, saya ingin Melalui pengamatan, penelitian yang terus-

naik, dan ternyata selamat,” Empi menjelaskan menerus terhadap satu gunung api, secara

alasan keputusannya. Tuhan telah menyelamatkan bertahap karakter dan perilaku suatu gunung

Empi dari dua peristiwa di Gunung Merapi. api akan dapat dipahami. Pemahaman itu bukan saja bersumber dari ilmu kegunungapian, tetapi

Dua tahun sebelumnya, tahun 1990, saat Empi juga ada rasa (intuisi) yang berperan memberikan

masih termasuk orang baru di Vulkanologi, ada pertimbangan. Empi mengaitkan hal ini dengan

kejadian yang cukup unik dialaminya. Waktu itu pengalaman dirinya tahun 1992 di Merapi. Waktu

Wimpy S. Tjetjep sebagai Direktur Vulkanologi itu Empi menjadi bagian dari tim yang dikepalai

menelepon Kantor Seksi Merapi di Yogyakarta oleh Sutikno Bronto dan sedang mengadakan

tempat Empi bekerja guna meminta informasi survei di hulu Kali Senowo. Sutikno memintanya

perkembangan Gunung Merapi yang saat itu melakukan observasi sebaran guguran dan

sedang aktif. Empi mengakui diminta teman- pengambilan sample. ”Waktu sample diambil,

temannya untuk menerima telepon itu. “Empi keadaannya masih sangat panas, sehingga plastik

saja yang menerima,” kata teman-temannya. tempat sample meleleh seketika”, ujarnya. Saat hari

Lalu data disiapkan di dekat meja telepon. “Saya 50 Warta Geologi September 2010

Profil 51

mau menerima telepon, tapi data-data seismik, deformasi, dan visual harus lengkap,” kata Empi mengajukan syarat.

“Pak Wimpy itu, kalau bertanya ‘kan konsisten dan diulang-ulang, kayak polisi. Mungkin agar kita mengatakan apa yang sesungguhnya,” Demikian Empi mengenang saat-saat paling krisis dalam sebuah pengamatan gunung api. “Empi, tremornya berapa?” pertanyaan terus bertubi-tubi, berulang-ulang. “Empi, ininya berapa, itunya berapa?” pertanyaan terus datang beruntun. Waduh…, bersama teman-temannya, Empi menjadi sibuk. “Sekarang cek visualnya!” pinta Wimpy dari kejauhan. “Asapnya

putih

agak

kecoklatan,” Empi melaporkan. “Putih kecoklatan atau putih?” tanya Wimpy menyelidik. “Benar, pak, putih kecoklatan”. “Coba sekarang cek visualnya!” Empi mengadakan hubungan langsung dengan petugas Pos PGA (Pos Pengamatan Gunung Api) Kaliurang melalui SSB (Single Side Band). Setelah mendapatkan jawaban dari petugas Pos, Empi segera melanjutkan menjawab pertanyaan atasannya. “Jawaban dari mereka benar, pak, putih kecoklatan”.

Sebagai karyawan baru, Empi mengaku tegang menerima pertanyaan yang bertubi-tubi dan berulang-ulang. ”Waktu itu, saya berpikir bagaimana menghentikan pertanyaan-pertanyaan Pak Wimpy. Pak Wimpy ‘kan kalau bertanya sering terselip kata-kata bahasa Sunda. Lalu saya menjawab dengan bahasa Jawa. Ketika Pak Wimpy bertanya lagi, saya jawab dalem, Pak…. Akhirnya Pak Wimpy berkata, ”Ya OK, deh, Empi, sudah cukup…. Saya menjawab, “matur nuwun…”. “Terima kasih,” Akhirnya Pak Wimpy mengakhiri pembicaraan teleponnya, demikian Empi menuturkan. Sorenya Wimpy datang ke Yogyakarta. Dalam rapat, Wimpy menyampaikan, “Wah, baru pertama kali ada orang yang menghentikan telepon saya dengan bahasa Jawa.”

Pertanyaan Wimpy melalui telepon mengenai, “Apakah warna asapnya putih atau coklat?” ternyata begitu tertanam dalam benak Empi. Empi menjelaskan, pertanyaan itu pula yang terlontar secara spontan kepada R. Sukhyar di puncak Merapi tahun 1994, waktu Merapi menunjukkan aktivitasnya. “Pak, kok warnanya coklat?” tanya Empi waktu itu. Pengalaman menjawab telepon dari Wimpy itu merupakan pelajaran yang sangat berharga bagi dirinya yang baru masuk beberapa bulan, Empi mengakui.

Salah seorang ahli gunung api lain yang ditemui terpisah, Syamsul Rizal Wittiri menjelaskan bahwa seorang pimpinan memerlukan data yang akurat ketika dia akan memutuskan status suatu gunung api. ”Tugas paling berat saat menghadapi krisis gunung api adalah ketika seorang pimpinan harus meningkatkan status menjadi ”Awas”, karena itu merupakan sesuatu yang tidak pasti. Kalau tersedia data, maka data itu mempunyai tingkat kebenaran tidak lebih dari 30 % selebihnya feeling dan intuisi”, ujar Syamsul.

Syamsul melanjutkan, “Taruhannya sangat besar, nama baik pribadi, nama baik institusi, dan karir. Untuk menaikkan status kegiatan gunung api dari ”normal” menjadi ”waspada”, atau dari ”waspada” menjadi ”siaga”, itu tidak terlalu masalah. Tetapi ketika meningkatkan status menjadi ”awas”, persoalannya menjadi sangat berat karena menyangkut orang banyak. Suasana batinnya berbeda, oleh karena itu bisa dimaklumi kalau pimpinan bertanya sangat mendetail. Apalagi kalau pertanyaannya dilakukan melalui telepon.”

Ketika WG menanyakan sudah sejauh mana Empi memahami gunung api atau Gunung Merapi, Empi tidak langsung menjawab. Setelah merenung sesaat Empi menjawab, “Demikian seringnya Merapi meletus, sekali setiap 2 - 7 tahun, logikanya tentu sudah banyak yang saya ketahui, tetapi ternyata karakter Merapi amat sulit dipahami”. Menurut Empi ini adalah tantangan dan hal ini pula yang mendorongnya melanjutkan studinya hingga jenjang S3.

Empi menjelaskan tentang karakter letusan Merapi bahwa produk awan panas Merapi itu dua macam, yaitu produk guguran dari awan panas dan produk awan panas yang diawali oleh guguran. “Saya berkeinginan memahami awan panas, khususnya

52 Warta Geologi September 2010

PROFIL

Merapi, lebih detail. Ternyata awan panas itu hanya bagian kecil dari proses suatu letusan. Yang lebih menarik adalah memahami tipe setiap letusan dari siklus yang pendek, siklus menengah dan tipe dari sikus yang panjang. Saya sampai pada satu kesimpulan, saya sudah mempelajari banyak hal dari satu gunung api, dan saya belum tahu apapun tentang gunung itu”.

Ketika WG menanyakan apakah memang masyarakat lereng Merapi susah diatur, terutama bila disuruh mengungsi. Empi menjawab, “Katanya demikian, tetapi kita harus pahami duduk perkaranya. Sebagai contoh, ketika saya mewawancarai penduduk Desa Turgo, yang mengalami terjangan awan panas Merapi 1994. Semula sulit saya mendapatkan informasi, setelah memahami secara psikologis, orang itu ternyata bisa mengungkapkan kembali peristiwa alam yang ada di hadapan matanya. Suara yang muncul ketika awan panas meluncur menderu, kemudian suasananya. Itu semua membuat saya merasa sangat beruntung. Jadi saya memahami permasalahan secara psikologis dan secara manajemen kemasyarakatan. Kemudian problem tentang bahaya yang sesungguhnya akan muncul. Hidup di gunung api itu berat, apalagi untuk menghadapi bencananya. Oleh karena itu jangan pernah memerintahkan orang mengungsi sebelum meyakinkan bahwa mereka dalam ancaman bahaya.”

Dari kejadian letusan Merapi tahun 1994, Empi mengaku sempat mengalami masa trauma. ”Saya menyaksikan korban yang tersapu awan panas, dan mereka masih hidup dengan penderitaan yang berat. Kulitnya yang terpanggang itu setelah sembuh menjadi tidak berpori-pori, kulit menjadi tidak dapat bernapas, sehingga menjadi sangat panas. Ibaratnya, kulitnya seperti plastik yang terbakar. Atau ada pula yang sebagian tubuh hingga kepalanya terbakar, sehingga sebelah kepalanya rusak, termasuk pendengarannya.” Hal ini dapat dimengerti, karena awan panas yang

tidak begitu panas pun suhunya minimal 150 0

C. Rata-ratanya antara 200-300 0 C. Jadi rentang panasnya antara 150 0 -300 0 an C. Ini awan panas

guguran (collapse). Sedangkan suhu awan panas

letusan bisa mencapai 700 0 -an C.

Ketika Profesor Barry Voght dari Pensylvania University, USA datang untuk membuat film dokumenter mengenai Gunung Merapi, salah satu objeknya adalah mewawancarai masyarakat yang terkena awan panas dan Empi yang menjadi pewawancara

sekaligus penerjemah. Empi menuturkan, “Saya pernah mengalami letusan dari jarak yang sangat dekat, dan melihat kenyataan korban yang mengenaskan, saya bisa memahami perasaan mereka. Ada korban yang bagian kanan kepalanya terkena awan panas, pendengaran sebelah kanannya rusak. Dia mengungkapkan rasa traumatiknya bila udara mendung, kemudian diikuti hujan rintik-rintik. Mereka teringat peristiwa yang sangat mengerikan itu”.

Saat melakukan wawancara dengan para korban, Empi mencapai titik kulminasi ketidaktegaannya dan menghentikan wawancara. “Stop dulu kameranya,” lalu Empi katakan kepada professor itu, “Saya tidak mau meneruskan kalau yang ditanyakan adalah perasan mereka. Saya punya cara lain untuk mengetahui bagaimana mereka menghadapi musibah.”

Dengan peristiwa itu Empi tertarik untuk memahami bencana secara psikologis. Waktu pelaksanaan relokasi korban letusan Merapi di Kampung Sudimoro, misalnya, para korban itu meminta untuk ditempatkan di lokasi baru dengan tata letak rumah-rumah yang sama, persis bertetangga seperti di kampung asalnya.

“Waktu itu saya tidak habis pikir, mengapa mereka berkeinginan seperti itu. Saya berkonsultasi dengan psikolog, ternyata jawabannya, bahwa penyembuhan traumatis itu harus berada di lingkungan yang dikenalnya. Lalu saya mengevaluasi dari sisi teknis, dan kemudian dari sisi masyarakatnya. Kita ternyata harus memasukkan faktor psikologis selain pertimbangan sains gunung api”, ujar Empi.

Berdasar pada pengalaman lapangannya itu, Empi membuat makalah, bagaimana menghadapi tantangan pada masyarakat yang tinggal di gunung api dengan masalah berat seperti Gunung Merapi. Makalah itu dipresentasikan di Hawaii. Ada satu komentar dari pendengar yang membuat Empi tersentuh, “Kok, kamu sebagai seorang vulkanologis mau menyadari kekurangan kamu?” Empi menjawab, “Kalau kita ingin meningkatkan kapasitas masyarakat, maka kita harus memahami mereka. Apa yang mereka harapkan dan apa yang dapat diberikan. Jadi ada timbal balik seperti itu”.

Menjawab pertanyaan WG, mengenai apakah memang kampung Mbah Maridjan aman dari bahaya letusan Merapi, Empi menjawab. “Pada waktu Letusan 2006, menurut perhitungan

“..Sering terpikirkan oleh saya, apakah keputusan saya ini benar atau tidak. Dan teman- teman sangat mendukung

saya...”

sebetulnya kampung Mbah Maridjan sangat berpotensi tersapu awan panas, karena berada di balik Gegerboyo (Gegerbuaya, salah satu pematang yang menjadi dinding antara titik letusan dengan lembah kampung Mbah Maridjan, red). Ada dinding pembatas yang secara morfologi akan berpotensi jebol, karena sifat awan panas itu kecepatannya tinggi, kemudian dia akan menggerus atau meloncat. Jadi menurut perhitungan ada kemungkinan dinding itu akan jebol. Dan ternyata memang jebol. Kalau sudah begitu, tidak ada penghalang lagi. Seperti jalan tol untuk meluncurnya awan panas. Awan panas itu menyebabkan dua orang relawan meninggal dunia tidak jauh dari rumah Mbah Maridjan. Beruntung, volume material yang lolos tidak cukup banyak untuk sampai ke tempat Mbah Maridjan, tetapi apapun adanya wilayah itu masuk dalam Kawasan Rawan Bencana III, artinya

adalah memanfaatkan kearifan lokal, seperti tidak boleh dihuni. Cepat atau lambat Kampung

memanfaatkan tokoh-tokoh masyarakat untuk Kinarejo, kampung Mbah Marijan akan terlanda

mengembangkan dan meningkatkan kewaspadaan awan panas bila Merapi meletus lebih besar dari

masyarakat, sehingga dapat mengurangi korban. tahun 2006”.

Ya, syukur-syukur kalau nol, kalau tidak ada korban, tetapi yang penting dapat mengurangi

Kearifan Lokal korban. Kemudian parameter penting lainnya Empi mempunyai kisah menarik tentang kerifan

adalah melibatkan masyarakat. Karena semakin lokal. Ternyata kerifan lokal itu tidak hanya

banyak masyarakat yang terlibat, akan semakin terdapat di Merapi atau di Indonesia. Suatu

mudah untuk melakukan upaya mitigasi. Salah ketika Empi mengunjungi Mountserrat, gunung

satu bentuknya adalah memberikan peran serta api di Kepulauan Karibia. Empi berbicara dengan

kepada masyarakat. Dan berusaha menjelaskan banyak orang, dengan polisi, dengan penduduk,

tentang mitigasi itu dengan cara yang sederhana. dengan pengusaha, dengan saintis. Dari situ ada

Sebab, masyarakat di lereng Merapi itu sangat beberapa hal yang muncul. Ketika suatu hal yang

banyak jumlahnya. Ada kampung di puncak penting ditanyakan kepada masyarakat, mereka

Merapi yang jaraknya hanya 4,5 km, di lereng mengatakan, “Saya tidak tahu”, tetapi sebenarnya

sebelah barat”.

belum tentu ia tidak tahu. Ketika seseorang ditanyakan apakah tahu cara menghindari

Mengenai kiprah PVMBG, Badan Geologi dalam bahaya gunung api? Bila mereka menjawab tahu,

melakukan mitigasi bencana Empi menjawab, sesungguhnya belum tentu jawaban mereka itu

“PVMBG sudah berusaha sangat keras dan semua benar-benar mengetahui. ”Jadi, mungkin dia

dilakukan itu untuk melakukan penyelamatan paham prosedurnya tapi belum paham maknanya.

penduduk yang berada di lereng gunung api. Peta Dalam wawancara itu seorang penduduk

KRB (Kawasan Rawan Bencana, red.), misalnya, menawarkan kepada saya untuk bertandang ke

memberikan gambaran tingkat kerawanan bencana rumahnya dan saya menerima ajakan itu. Saya

gunung api. Peta ini dibuat sebagai acuan dalam duduk dan ditawari apel olehnya dan saya terima,

pengambilan keputusan, seperti tata ruang, relokasi, kemudian saya ditawari minuman dan saya terima.

upaya penyelamatan, dan lain-lain. Peta KRB pun Kami berbincang-bincang, dari sana tumbuh

bermanfaat bagi masyarakat, karena masyarakat kepercayaan. Mereka menjadi berani menyatakan

dapat mengetahui kawasan bahaya, tempat apa adanya setelah muncul saling percaya”, ujar

tinggal mereka di mana, dan bagaimana respon Empi.

masyarakat yang diharapkan. Jadi, dalam setiap tingkat aktivitas gunung api, ada kewaspadaan

Lebih jauh, Empi menjelaskan, “Bagaimana masyarakat. Bersama masyarakat perlu dilakukan kita

diskusi, sarasehan dan lokakarya. Kegiatan ini kepentingan masyarakat, untuk mitigasi bencana.

menggunakan kearifan

lokal

untuk

bisa dilakukan melalui pelatihan kebencanaan. Salah satu parameter yang harus diterapkan

Di sini, selain meningkatkan pemahaman Profil 53

54 Warta Geologi September 2010

masyarakat dan pemberdayaan masyarakat, juga didiskusikan, misalnya, masyarakat memiliki permasalahan dalam evakuasi, lalu didiskusikan bagaimana penyelesaiannya. Dengan memahami peta itu secara bersama-sama dibuatkan jalur- jalur evakuasinya. Dalam setiap pembuatan jalur evakuasi itu diberikan pemahaman aspek-aspek bahayanya. Misalnya mengapa kita tidak boleh melewati sungai pada saat terjadi bencana”.

Empi juga menyampaikan bahwa, pelatihan itu diberikan agar masyarakat terbiasa memecahkan permasalahan dalam kondisi darurat. ”Yang dilatih itu bukan hanya masyarakat, tetapi juga dari kalangan LSM dan aparat pelaksana penanggulangan bencana gunung api. Mereka dilatih untuk mengetahui letak rumahnya di mana dalam hubungannya dengan arah bahaya. Posisi rumah terhadap sumber bencana, misalnya, terhadap bencana awan panas. Di mana sumber bahayanya dan bagaimana, ke mana melakukan evakuasi, di mana titik berkumpul, dimana tempat evakuasi yang aman. Dan ini dilakukan di daerah kawasan rawan bencana gunung api”, imbuhnya.

Lebih lanjut Empi menjelaskan bahwa salah satu pemberdayaan masyarakat di Merapi adalah wajib latih, yang bukan hanya penyuluhan, tapi sudah ada penugasan, pelatihan. Wajib latih ini diikuti minimum satu orang dari setiap keluarga, sehingga dalam keluarga itu ada yang memahami tentang mitigasi bencana Merapi. Demikian juga antar intansi terkait didiskusikan bagaimana melakukan koordinasi, kemudian bagaimana cara

memberikan pemahaman secara langsung kepada masyarakat. Masyarakat secara bersama-sama memahami jalur evakuasi, misalnya. Dari peta KRB itu ditunjukkan jalur-jalur evakuasi, apa yang harus dilakukan, apa yang harus dihindari, dan tindakan apa yang tepat untuk menghadapi jenis bahaya itu. “Sekarang kami sedang menyiapkan Permen (Peraturan Menteri) tentang Mitigasi Bencana. Dalam rancangan itu tercantum adanya pelatihan, penyuluhan, dan pemahaman terhadap informasi kebencanaan, dan daerah-daerah yang bahayanya”, tambah Empi.

Saat ini, skala peta KRB masih besar sehingga tidak rinci. Untuk melatih masyarakat di tingkat yang lebih kecil, diperlukan peta dengan skala yang lebih kecil, misalnya skala 1:10.000. “Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi – Badan Geologi, sudah membuat peta yang standar, kemudian untuk skala yang lebih kecil sehingga lebih rinci, masyarakatlah (baca Pemda, red) yang membuatnya dan itu sesuai dengan aturan yang ada”, ujar Empi.

Merapi dan Borobudur Tentang kepercayaan yang dianut selama ini, bahwa Candi Borobudur pernah tertutup endapan letusan Gunung Merapi, Empi memiliki pendapat yang berbeda. Empi pernah mengadakan penelitian dan hasilnya mematahkan teori atau pendapat itu, seperti banyak ditulis bahwa pada tahun 1006 terjadi letusan besar dan mengubur candi. Menurut Empi, tidak ada letusan besar Gunung Merapi dalam tahun itu. Berdasarkan penelitian

PROFIL

Profil 55

stratigrafi dan pentarihannya, dan menganalisisnya dari berbagai disiplin ilmu, dari sisi sains gunung api, petrografi dan arkeologi, bahwa letusan paling besar tahun 1006 itu tidak pernah terjadi, sehingga pendapat yang mengatakan tahun itu Candi Borobudur terkubur dan menjadi penyebab kepindahan kerajaan menjadi terbantahkan. “Saya memang pernah melihat dokumentasinya, bahwa memang Candi Borobudur itu pernah tertutup endapan. Hanya mungkin, endapan tersebut bukan endapan abu letusan. Sebab kalau sebuah candi seukuran Borobudur tertutup oleh abu gunung api, berarti telah terjadi letusan yang luar biasa besarnya. Merapi dan Borbudur itu jaraknya lebih dari 30 km. Itu bisa saya perkirakan tentang besaran letusan gunung api dengan berbagai indeksnya, dan kemampuannya mengubur sebuah candi”, papar Empi.

Untuk mendukung penelitiannya, Empi harus mengetahui kapan candi pertama dibangun. “Untuk membuktikan bahwa Gunung Merapi tidak meletus pada tahun 1006, saya juga mempelajari arkeologi selain stratigrafi. Ada pendapat, terdapat endapan yang mengubur Candi Borobudur. Saya berhubungan dengan ahli arkeologi, kemudian mempelajari Candi Kedulan, kemudian Kadisoka, Sawentar, dll. Pada penelitian di Candi Kedulan, tim penelitinya selain ahli gunung api, juga melibatkan banyak orang, ada dari teknik sipil, biologi, psikologi. Candi itu telah rusak karena tertutup oleh endapan lahar, harus ditemukan jejak, bagaimana kejadiannya. Ternyata saat candi itu berdiri, di seberangnya ada sungai. Kami menjadi tahu bagaimana posisi candinya, arah arus sungainya, dan pola-polanya.

Dari endapan itu diketahui arah arusnya dari posisi batu candinya, dan sebagainya. Kemudian perubahan endapannya bagaimana. Lalu saya mempelajari Gunung Kelud dan hubungannya dengan candi di sekitarnya. Ternyata candi di sekitar Gunung Kelud itu berpindah-pindah ketika terjadi bencana. Dari situ saya beritahukan kepada ahli arkelologi, bahwa gunung api ada siklusnya. Kita tidak bisa mengatakan kalau di situ tidak terkena dampak, di tempat lain terkena. Ada lapisan budaya, ada manusia yang bermukim. Kemudian di atas lapisan budaya, ada endapan piroklastik, ada lahar. Saya mencoba melakukan komunikasi dengan masyarakat, dengan bidang keahlian lain. Ternyata agak susah, karena mereka dari aspek sosial, tidak seperti orang teknis. Jadi saya harus punya alasan mengapa arusnya datang dari sana, misalnya. Jadi saya menunjukkan bahwa ada indikasi, kemudian perubahan tipe endapan. Ini saya coba jelaskan kepada mereka dan ternyata mereka sangat antusias. Oh, ternyata asyik juga. Ada kaitannya antara arkeologi dengan bencana gunung api”.

Ketika ditanyakan apa pengalaman yang menyenangkan

selama

bekerja di Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi. Menurutnya terutama saat krisis gunung api, semua bahu-membahu saling mendukung. Itu yang membuatnya merasa nyaman. Selama bekerja di PVMBG, Empi pernah menjadi ketua tim tanggap darurat saat Gunung Soputan mengalami krisis dan meningkat pada tahun 2009. Sebagai ketua tim, Empi bertanggung jawab dalam memberikan rekomendasi dalam menurunkan status gunung api. ”Sering terpikirkan oleh saya, apakah keputusan saya ini benar atau tidak. Dan teman-temannya sangat mendukung saya”. Inilah yang membuat saling percaya, dan itu yang membuat ia menjadi kuat. Saling percaya pada kemampuan orang lain dalam berbagai bidang, seperti geologi, geofisika, dll., merupakan kunci penting sebelum mengambil keputusan. Waktu itu Empi menurunkan status dari siaga ke waspada. Dari situ ia belajar tentang arti mempercayai orang lain dalam satu tim. Itu pelajaran yang sangat berharga. Bagaimana mempercayai orang yang bekerja sama. Jadi, harus mempercayai orang lain, agar mereka bisa memberikan yang terbaik.

Pengalaman menarik lainnya ketika sedang menyusun

tesis

dan

berdebat dengan pembimbingnya. “Waktu itu saya mengatakan, bahwa endapan ini sama dengan yang dimaksud dalam paper saya. Waktu itu pembimbing saya mengatakan, kalau kamu yakin itu, harus ada buktinya. Lalu saya naik-turun Merapi sampai 3 kali untuk membuktikan pernyataan tersebut. Di sini saya mengambil pelajaran berharga, bahwa pernyataan itu harus didukung fakta dan untuk mendapatkan fakta itu berat. Fakta yang saya kumpulkan itu benar-benar berat secara fisik maupun secara pikiran. Dan ternyata pendapat saya betul. Tapi mungkin, superviser saya hanya ngompori untuk memberikan saya motivasi. Dia tahu bahwa saya benar, tetapi dia menyuruh saya untuk membuktikannya.”

Seorang manusia tidak akan luput dari perasaan takut. Menghadapi bencana letusan Merapi perempuan yang mengaku kakek leluhurnya tinggal di lereng Merapi ini menegaskan, “Vulkanologis itu pelayan bagi masyarakat yang harus dilakoni dengan sepenuh hati. Saya berprinsip, kalau bermaksud baik, maka akan dilindungi oleh Tuhan. Vulkanologis itu manusia, pastilah mengalami rasa takut. Kalau berpikiran baik, punya maksud baik, dan berserah diri kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, maka saya berharap keputusan yang saya ambil adalah benar.”n

(TIM PROFIL WG)

Resensi Buku

Judul Buku

Fundamentals of Physical Volcanology

Penulis

Elisabeth A. Parfitt & Lionel Wilson

Penerbit

Blackwell Publishing Ltd.

Tahun Terbit

Jumlah halaman

Oleh: D. Wahyudin uku yang berjudul Fundamentals of

Serikat. Keduanya memfokuskan risetnya pada Physical Volcanology ini terbit tahun

vulkanologi fisik, yang melengkapi buku sejenis B Para penulisnya mencoba menerangkan secara

proses fisika yang mengontrol erupsi gunungapi. 2008, merupakan buku literatur bidang

yang sudah terbit sebelumnya. detil bagaimana proses vulkanisme, dan melihat gunungapi sebagai sistem yang ditentukan oleh

Penulisnya, Dr. Elisabeth A Perfitt dan Prof. beberapa prinsip fisika dasar. Menurutnya, proses Lionel Wilson, adalah pengajar ilmu kebumian

fisika itu mengontrol pembentukan, gerakan dan di beberapa universitas di Inggris dan Amerika

erupsi magma, dimulai dari daerah sumber dan 56 Warta Geologi September 2010 erupsi magma, dimulai dari daerah sumber dan 56 Warta Geologi September 2010

Secara umum, buku ini

sentuhan fisika dasar, dapat diterangkan bagaimana suatu gunung api berakivitas. Ketika

menggambarkan secara

menyaksikan rentetan letusan gunung api dan

komprehensif mengenai proses

banyak orang melihatnya berbeda antara satu letusan dengan letusan berikutnya, dengan

yang mengontrol kapan dan

kacamata fisika letusan-letusan itu tidak ada bedanya.

bagaimana terjadinya letusan

Buku Dasar-dasar Fisik Vulkanologi ini terdiri dari

gunungapi. Memahami tentang

13 bab. Setiap bab diawali dengan pendahuluan, kesimpulan, daftar bacaan, dan pertanyaan yang

proses yang melibatkan dan

berkaitan dengan bahasan pada tiap bab. Buku setebal 230 halaman ini menampilkan Daftar

menyatukan berbagai disiplin

Peristilahan (glossary) yang berisi 225 istilah (8,5

ilmu, meliputi cabang geologi,

halaman) yang menjelaskan arti dari peristilahan yang terdapat dalam buku ini.

seperti petrologi dan geokimia,

dan beberapa aspek fisika

Secara umum, buku ini menggambarkan secara

komprehensif mengenai proses yang mengontrol kapan dan bagaimana

seperti dinamika fluida dan

terjadinya letusan

gunungapi. Memahami tentang proses yang melibatkan dan menyatukan berbagai disiplin

termodinamika.

ilmu, meliputi cabang geologi, seperti petrologi dan geokimia, dan beberapa aspek fisika seperti dinamika fluida dan termodinamika.

pengaruh erupsi gunung api terhadap cuaca, perubahan cuaca

diperlihatkan

bukti-bukti

Buku ini menjelaskan bagaimana perbedaan setelah erupsi gunung api dengan menggunakan keilmuan diakses dan dikombinasikan untuk pengamatan satelit. Pada bab terakhir membahas mencapai tingkat pengetahuan tentang sistem mengenai kemungkinan terjadinya vulkanisme di vulkanik. Materi yang dibahasnya meliputi: Planet lain seperti di Bulan, Mars, Venus, Mercury jenis letusan (efusif, hawaian, basalt, plinian,

dan lainnya.

pembentukan ignimbrit, strombolian, vulkanian, hidromagmatik dan lain-lain) dan garis besar

Buku koleksi Perpustakaan Pusat Vulkanologi perkembangan vulkanologi fisik. Selanjutnya dan Mitigasi Bencana Geologi, Badan Geologi dibahas pula gambaran tentang proses di bawah ini merupakan buku referensi yang sangat permukaan (tentang generasi, segregasi, migrasi bermanfaat bagi pembaca, khususnya bagi para dan penyimpanan magma serta peranan volatil ahli ilmu kebumian dan vulkanologi, karena dapat dalam magma), mekanisme erupsi, sifat dari menambah wawasan tentang kegunungapian.n erupsi vulkanik (tipe, skala dan frekuensi erupsi)

dan produknya (piroklastik dan lava). Dibahas Penulis adalah Penyelidik Bumi Madya, juga tentang pemantauan, prediksi dan prakiraan Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, bahaya gunung api serta mitigasi bencananya.

Badan Geologi.

Selain itu. Terdapat tinjauan mengenai pengaruh gunung api terhadap lingkungan, seperti

Resensi Buku Geologi 57

Seputar Geologi