Sistem Pengawasan Hakim Konstitusi yang Ideal untuk Mewujudkan Prinsip Independensi Kekuasaan Kehakiman

B. Sistem Pengawasan Hakim Konstitusi yang Ideal untuk Mewujudkan Prinsip Independensi Kekuasaan Kehakiman

Sistem pengawasan hakim konstitusi saat ini menggunakan mekanisme pengawasan internal tanpa adanya pengawasan eksternal secara eksplisit oleh Komisi Yudisial. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi mengarahkan bahwa pengawasan untuk hakim konstitusi hanya dilakukan secara internal atau dari Mahkamah Konstitusi itu sendiri dengan dibentuknya Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi dan berdasarkan Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi.

Sistem pengawasan terhadap hakim konstitusi yang telah dipaparkan sebelumnya yakni berdasarkan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi serta adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006 dan Nomor 049/PUU-IX/2011 berimplikasi terhadap penyelenggaraan kekuasaan kehakiman di Indonesia. Seperti halnya pula yang telah dijelaskan bahwa prinsip utama dari pelaksanaan kekuasaan kehakiman adalah prinsip independensi. Berkaitan dengan hal tersebut, makna independensi pada hakim konstitusi sangat melekat pada sistem pengawasannya.

Sistem pengawasan hakim konstitusi saat ini belum mampu secara tegas mengakomodir prinsip independensi kekuasaan kehakiman yang ada pada Mahkamah Konstitusi. Mekanisme pengawasan yang hanya dijalankan secara internal oleh Mahkamah Konstitusi dalam bentuk Majelis

commit to user

apabila terjadi penyimpangan atau pelanggaran Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi oleh hakim konstitusi itu sendiri. Ketidakberdayaan pola pengawasan yang dikekang oleh positivistik secara tidak sadar menggeser pemikiran independensi kekuasaan kehakiman yang sesungguhnya.

Dituliskan dalam Cetak Biru Mahkamah Konstitusi Tahun 2005- 2009 bahwa Mahkamah Konstitusi memiliki peran strategis dalam sistem ketatanegaraan, yang tercermin pada kewenangan-kewenangan yang dimilikinya. Untuk mengimbangi dan menjaga agar Mahkamah Konstitusi tetap menjalankan fungsinya secara bertanggung jawab, perlu ada mekanisme pengawasan terpadu terhadap Mahkamah Konstitusi. Menjadi penting bagi Mahkamah Konstitusi, untuk memberikan pengawasan terhadap integritas dan perilaku hakim kepada pihak eksternal yang memiliki kewenangan untuk itu. Komisi Yudisial, secara yuridis memiliki kewenangan untuk mengawasi hakim, baik di lingkungan peradilan umum maupun Mahkamah Konstitusi (Mahkamah Konstitusi, 2009:121).

Semangat tersebut menjadi bertentangan dengan adanya putusan terkait pengawasan hakim konstitusi. Khususnya Putusan Nomor 005/PUU- IV/2006 terkait pengujian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial dan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang diajukan oleh 31 (tiga puluh satu) hakim agung.

Pertimbangan oleh Mahkamah Konstitusi bahwa untuk mewujudkan peradilan yang independen dan imparsial maka diselenggarakan pengawasan secara internal di dalam tubuh Mahkamah Konstitusi dengan dibentuk Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi dan penyusunan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Konstitusi. Namun, pengawasan eksternal secara eksplisit yang dilakukan oleh Komisi Yudisial sebagaimana mempunyai fungsi dan kewenangan yakni menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim

commit to user

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006 yang intinya bahwa hakim konstitusi bukan merupakan obyek pengawasan dari Komisi Yudisial.

Menurut Iwan Satriawan (2008:8), hal ini menyebabkan Mahkamah Konstitusi mengalami kecenderungan menjadi super body yang hegemonik dan karenanya dapat mengancam keseimbangan konsep separation of powers dan prinsip checks and balances yang sebenarnya menjadi ide dasar munculnya Mahkamah Konstitusi itu sendiri, yaitu mencegah terjadinya dominasi kekuasaan di satu organ tertentu. Hal senada dikemukakan pula oleh A. Irmanputra Sidin yang menyatakan bahwa benar ketika melihat secara pragmatisasi perilaku politik kekuasaan, terkesan memang putusan Mahkamah Konstitusi ini hendak berlari dari mekanisme pengawasan hakim oleh Komisi Yudisial. Dalam konteks pengawasan tehadap hakim, maka Komisi Yudisial merupakan lembaga pengawas yang ekstern dan bersifat mandiri.

Berkaitan dengan hal tersebut, pertimbangan putusan Mahkamah Konstitusi menyatakan dirinya bukanlah obyek pengawasan Komisi Yudisial. Beberapa argumentasi yang dibangun oleh Mahkamah Konstitusi diantaranya :

1. Alasan sistematis dan original intent perumusan ketentuan UUD 1945, ketentuan Komisi Yudisial dalam Pasal 24B UUD 1945 tidak berkaitan dengan ketentuan Mahkamah Konstitusi dalam Pasal 24C UUD 1945. Dari sistematika penempatan Komisi Yudisial sesudah pasal tentang Mahkamah Agung yaitu Pasal 24A dan sebelum pasal tentang Mahkamah Konstitusi (Pasal 24C), sudah dapat dipahami bahwa ketentuan mengenai Komisi Yudisial pada Pasal 24B UUD 1945 itu tidak dimaksudkan untuk mencakup pula objek perilaku hakim konstitusi sebagaimana diatur dalam Pasal 24C UUD 1945.

commit to user

pada dasarnya bukanlah hakim sebagai profesi tetap, melainkan hakim karena jabatannya lima tahun.

3. Dengan menjadikan perilaku hakim konstitusi sebagai obyek pengawasan Komisi Yudisial, maka kewenangan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga pemutus sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara menjadi terganggu dan terjebak ke dalam anggapan sebagai pihak yang tidak dapat bersikap imparsial, khususnya apabila dalam praktik timbul persengketaan kewenangan antara Komisi Yudisial dengan lembaga negara lain, seperti halnya dalam kasus persengketaan antara Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial yang terkait dengan perkara a quo.

Kritik yang terlontar atas Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut menjadi perhatian utama atas keprihatinan para ahli hukum tata negara salah satunya adalah Muchammad Ali Safaat (2010:34-35). Terhadap putusan tersebut, beliau memberikan argumentasinya sebagai berikut:

1. Penafsiran yang digunakan adalah penafsiran sistematis. Namun jika yang digunakan adalah penafsiran yang lebih luas dalam kerangka untuk menegakkan peradilan yang terpercaya tentu diperlukan adanya pengawasan terhadap perilaku hakim konstitusi, terutama agar sifat kenegarawanan hakim konstitusi tetap terjaga. Sedangkan penafsiran menggunakan oroginal intent dalam persidangan tersebut juga didengar keterangan dari saksi pemerintah dan DPR bahwa pengawasan Komisi Yudisial juga dimaksudkan berlaku bagi hakim konstitusi.

2. Status hakim konstitusi sebagai hakim karena jabatan yang dipilih untuk masa lima tahun tentu bukan menjadi alasan yang cukup kuat untuk mengeluarkannya dari pengertian “hakim” yang akan diawasi oleh

Komisi Yudisial. Terhadap hakim agung non karier pun Komisi Yudisial dapat melakukan pengawasan. Cara pengisian jabatan hakim tentu kurang signifikan untuk dijadikan sebagai dasar pembedaan pengawasan.

3. Pada saat Komisi Yudisial memiliki wewenang pengawasan terhadap perilaku hakim konstitusi, tidak menempatkan Komisi Yudisial berada di

commit to user

wewenang peradilan yang dijalankan oleh Mahkamah Konstitusi. Oleh karena itu pada saat Komisi Yudisial menjalankan wewenang pengawasan terhadap perilaku hakim konstitusi, Mahkamah Konstitusi tidak perlu kemerdekaan dan imparsialitas mengadili dan memutus perkara sengketa kewenangan yang melibatkan Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu pihak.

Dengan demikian, sistem pengawasan hakim konstitusi saat ini merupakan pengawasan internal yang dilakukan oleh Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi berdasarkan Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi yang salah satu anggotanya berisikan unsur lembaga eksternal yakni Komisi Yudisial. Hal demikian memunculkan konsep pengawasan yang sebenarnya sebagai celah ketika pengawasan eksternal secara eksplisit oleh lembaga negara Komisi Yudisial tidak diperbolehkan. Namun, pemantauan dan pengawasan terhadap hakim konstitusi tidak dapat dilakukan secara berkelanjutan karena pengawasan secara tegas oleh Komisi Yudisial tidak dilibatkan. Selain itu, secara social responsibility, mekanisme pengawasan hakim konstitusi oleh Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi komposisinya hendaknya juga melibatkan masyarakat yang diwakili oleh perguruan tinggi sebagai pihak yang netral dalam penyelenggaraan proses peradilan. Dalam hal ini diatur dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi yang masih dalam bentuk rancangan.

Menurut hemat penulis bahwa idealnya, pengawasan kekuasaan kehakiman terbagi menjadi dua yakni pengawasan internal dan pengawasan eksternal. Hal demikian untuk menjamin independensi kekuasaan kehakiman yang berarti terhindar dari segala bentuk intervensi atau pengaruh-pengaruh dari berbagai pihak luar (extra judicial). UUD 1945 menempatkan Komisi Yudisial sebagai lembaga independen yang berfungsi mengawasi perilaku hakim sebagaimana Pasal 24B yakni berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain

commit to user

serta perilaku hakim. Komisi Yudisial adalah sebagai lembaga pelengkap kekuasaan kehakiman (auxiliary state organ) mempunyai tugas untuk mengawasi perilaku hakim yang mana bertujuan untuk menciptakan keutuhan prinsip independensi tanpa meninggalkan akuntabilitas dari hakim masing-masing. Hendaknya hal tersebut menjadi penunjang untuk memperbaharui sistem pengawasan hakim konstitusi yang saat ini hanya dilakukan secara internal.

Untuk melandasi cita-cita di atas, pendapat Jakob Tobing, mantan Ketua PAH I BP MPR, yang ikut mempersiapkan materi amandemen UUD 1945 menyatakan bahwa :

“Semula Komisi Yudisial diusulkan untuk dibentuk di tiap tingkat peradilan, pengadilan negeri, pengadilan tinggi dan pengadilan kasasi. Anggota Komisi Yudisial adalah pakar hukum, tokoh praktisi hukum, dan tokoh masyarakat setempat untuk masa jabatan tertentu dengan tugas dan kewenangan untuk mengusulkan calon hakim sesuai tingkatannya dan menjadi badan kehormatan eksternal untuk mengawasi perilaku hakim, termasuk di tingkat nasional hakim agung dan hakim konstitusi, tanpa ada pengecualian ... Komisi Yudisial akan mencermati perilaku para hakim guna mencegah terjadinya penyalahgunaan kemerdekaan hakim. Sementara itu Komisi Yudisial tidak dapat masuk ke dalam proses peradilan hakim. Sementara itu Komisi Yudisial tidak dapat masuk ke dalam proses peradilan itu sendiri. Dalam pemikiran itu Komisi Yudisial jelas diposisikan berdiri di luar kewenangan hakim yang merdeka. Karena itu pula Komisi Yudisial tidak berada dalam posisi checks and balances terhadap Mahkamah Agung. PAH I MPR akhirnya menyepakati Komisi Yudisial hanya dibentuk di tingkat nasional dengan tugas mengusulkan calon hakim agung (anggota Mahkamah Agung) kepada DPR. Tetapi semangat Komisi Yudisial tetap, yaitu untuk mengawasi para hakim, semuanya, termasuk hakim konstitusi dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim sebagai bagian dari kekuasaan kehakiman

yang merdeka ... “ (Ni‟matul Huda,2011:67). Sejalan dengan itu, arah perbaikan yang diinginkan oleh DPR

sebagai lembaga negara yang mempunyai fungsi legislasi, ketika itu ingin merubah konsep pengawasan terhadap hakim konstitusi yang diwujudkan

commit to user

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Berdasarkan Pasal 27A ayat (2) undang-undang tersebut, salah satu pengisian anggota Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi adalah anggota dari Komisi Yudisial.

Komisi Yudisial yang notebene lembaga pengawas eksternal kekuasaan kehakiman yang mempunyai wewenang untuk menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim dimasukkan menjadi salah satu anggota Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi. Hal ini dipertegas pula dengan adanya Putusan Nomor 049/PUU-IX/2011 yang menguji Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi khususnya pada Pasal 27A ayat (2) bahwa Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi keanggotaannya terdiri dari satu orang hakim konstitusi dan satu orang anggota Komisi Yudisial, yang sebelumnya ditambah dari unsur DPR, Pemerintah dan hakim agung. Ketiganya dihapus oleh Mahkamah Konstitusi karena akan mencederai dan mengancam kemandirian atau independensi dari hakim konstitusi yang dapat menimbulkan nuansa politisasi dalam penyelenggaraan proses peradilan di Mahkamah Konstitusi.

Wacana untuk memasukkan Komisi Yudisial sebagai salah satu unsur yang mengawasi Mahkamah Konstitusi adalah konsep pengawasan yang diinginkan. Berbagai macam konsep yang dapat ditawarkan jika Komisi Yudisial hendak dibangun dan disepakati menjadi institusi pelaksana sistem kekuasaan kehakiman, terutama hakim konstitusi, antara lain:

1. Memasukkan gagasan Komisi Yudisial sebagai pengawas dalam revisi Undang-Undang Mahkamah Konstitusi dan Undang-Undang Komisi Yudisial;

commit to user

Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi;

3. Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial membuat Memorandum of Understanding (MoU) untuk menyepakati lingkup pengawasannya yang dapat dilakukan Komisi Yudisial;

4. Mengkondisikan agar para hakim konstitusi memiliki sifat untuk terbuka atau membuka diri untuk diawasi; dan

5. Melakukan Amandemen UUD 1945 yang menegaskan secara eksplisit adanya kewenangan atau kekuasaan konstitusional Komisi Yudisial untuk mengawasi hakim-hakim baik Mahkamah Agung dan Mahkamah Kontitusi(sumber: http://master.law.uii.ac.id/index.php?option=com_content &task=view&id=4&Itemid=50 diakses pada tanggal 16 April 2012 pukul 12:43 WIB).

Konsep yang ditawarkan tersebut, salah satunya telah terpenuhi dengan adanya Komisi Yudisial menjadi salah satu anggota dari Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi. Selain dalam Undang-Undang, ketentuan ini diatur lebih lanjut oleh Peraturan Mahkamah Konstitusi yang sampai saat ini masih dalam bentuk rancangan.

Oleh karena itu, sistem pengawasan terhadap hakim konstitusi yang ideal demi mewujudkan prinsip independensi kekuasaan kehakiman dilakukan dari dua sisi yakni pengawasan secara internal maupun pengawasan secara eksternal. Ruang lingkup dari kedua mekanisme pengawasan tersebut terletak pada etika dan perilaku hakim. Mekanisme pengawasan hakim konstitusi secara internal dilakukan oleh Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi berdasarkan Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi sebagaimana tercantum dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 07/PMK/2005. Sedangkan mekanisme pengawasan secara eksternal dilakukan oleh lembaga fungsional-eksternal yakni Komisi Yudisial yang salah satunya memiliki wewenang untuk mengawasi perilaku hakim, yang mengandung pengertian bahwa “menjaga” kehormatan,

commit to user

dilakukan berlandaskan Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi, tentunya mengupayakan kesejahteraan serta kapasitas hakim konstitusi, menindaklanjuti apabila hakim konstitusi melanggar Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi, serta dapat memantau proses peradilan di Mahkamah

Konstitusi. Sedangkan “menegakkan” kehormatan, keluhuran, martabat serta perilaku hakim sebagai tindakan represif yang tentunya berlandaskan

pula pada Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi. Hal ini dapat dilakukan dengan upaya pemeriksaan hingga tahap pemberian sanksi apabila terbukti melanggar Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi dan melakukan upaya hukum untuk menjaga apabila ada pihak luar yang ingin mengganggu kewibawaan hakim konstitusi.

Berdasarkan mekanisme tersebut, pengawasan internal yang dilakukan oleh Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi dan pengawasan eksternal yang dilakukan oleh Komisi Yudisial dapat bersinergi serta hubungan kedua lembaga tersebut bukan tidak mungkin akan menjadi hubungan kemitraan (partnership) tanpa mengganggu kemandirian masing- masing atau dapat dikatakan bersifat mandiri tetapi saling berkait (independent but interrelated).

Begitu pula, diperlukan dukungan masyarakat sebagai social control namun tanpa mempengaruhi kemandirian seorang hakim dalam memutus suatu perkara. Hal demikian mengingat bahwa kewenangan yang diberikan kepada Mahkamah Konstitusi oleh UUD 1945 bersifat sangat strategis karena menyangkut masalah konstitusional bangsa dan negara Indonesia.

Namun mencermati pula bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006 yang menyatakan bahwa hakim konstitusi tidak diawasi oleh Komisi Yudisial secara eksternal dan putusan tersebut bersifat final dan mengikat yang dalam arti tidak dapat diganggu gugat, menurut hemat penulis bahwa membangun sebuah idealitas mengenai sistem

commit to user

pengawasan terhadap hakim konstitusi baik dari sudut pandang ekstern maupun intern dari Mahkamah Konstitusi sendiri merupakan suatu kewajiban utama agar tetap tegaknya independensi Mahkamah Konstitusi. Kewajiban tersebut mewujudkan kemanfaatan bagi jalannya proses peradilan di Mahkamah Konstitusi sebagai peradilan yang berwenang untuk mengadili masalah ketatanegaraan di Indonesia.

Untuk memahami lebih mendalam mengenai eksistensi Mahkamah Konstitusi di negara lain yang berkaitan dengan independensi kekuasaan kehakiman dan sebagai bahan pembanding dengan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, berikut akan diuraikan tentang Mahkamah Konstitusi Republik Federal Negara Jerman.

Mahkamah Konstitusi Republik Federal Jerman diadopsi bersamaan dengan ditetapkannya Basic Law pada tahun 1949. Dalam Basic Law 1949 Mahkamah Konstitusi Federal Jerman diberi kewenangan besar yang sebelumnya tidak pernah terbayangkan. Oleh karenanya, tidak begitu mengherankan jika Mahkamah Jerman menjadi pusat perhatian ahli-ahli hukum di seluruh penjuru dunia.

Sebagai starting point, penting untuk mengakui dan mengatakan bahwa secara organisasional Mahkamah Konstitusi Federal Jerman memang memiliki distingsi struktural dengan organisasi Mahkamah Konstitusi yang terdapat di negara-negara lain. Oleh karena itu, Mahkamah Federal pada hakikatnya mengalami pembelahan ke dalam dua cabang (twin-court). Dengan perkataan lain, terdapat dua Senat yang masing-masing bekerja secara independen. Oleh karenanya, Senat yang terdapat dalam organisasi Mahkamah Konstitusi Jerman memiliki relasi sederajat dan di antara mereka yurisdiksi disalurkan secara seimbang.

Komposisi Mahkamah Konstitusi Federal Jerman terdiri dari 16 (enam belas) hakim. Delapan hakim mengisi panel pertama, dan delapan hakim lainnya menempati panel kedua. Secara umum, dapat dikatakan

commit to user

mendasar (basic right). Sedangkan Senat Kedua menurut asumsi beberapa pakar adalah Senat yang menangani masalah-masalah politik (political senate). Artinya, Senat Kedua menyelesaikan sengketa konstitusional (constitutional review) dan menguji undang-undang secara abstrak. Putusan yang dibuat oleh kedua Senat itu secara institusional adalah putusan final dan mengikat. Dalam prosedur acara yang berlaku, untuk memutus suatu perkara harus dihadiri oleh seluruh hakim (Plenum) yang terdiri dari 16 hakim. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga konsistensi putusan-putusan seperti yang telah dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi Federal Jerman.

Melalui penelitian Sri Soemantri, pakar hukum tata negara ini berpandangan bahwa pemecahan Mahkamah Konstitusi Federal menjadi dua Senat dilatarbelakangi oleh dua alasan, yaitu : Pertama, sebagai hasil kompromi antara pendapat yang menginginkan agar sidang-sidang Majelis dibagi ke dalam kelompok dan para hakim bergantian dalam sidang kelompok tersebut (flind system). Di pihak lain, ada keinginan agar semua hakim merupakan satu Majelis seperti yang terdapat pada Mahkamah Agung Amerika Serikat. Kedua, sebagai kompromi antara mereka yang memandang Mahkamah Konstitusi dalam arti hukum semata, dan yang melihat Mahkamah Konstitusi dalam pengertian politik. Atas dasar itu, maka pada permulaan pembentukannya, tradisi yang berkembang dalam tubuh Mahkamah adalah Senat Pertama akan menangai kasus-kasus hukum dan Senat Kedua diserahi tugas yang berkenaan dengan masalah politik, tepatnya menguji penggunaan kekuasaan politik oleh organ kenegaraan.

Keputusan-keputusan yang mantap dan baik dari kedua Senat yang terdapat dalam struktur Mahkamah Konstitusi Federal sangat bergantung kepada keyakinan masing-masing hakim. Oleh karena itu, kualitas putusan Mahkamah mungkin saja dipengaruhi oleh latar

commit to user

konstitusional kelayakan untuk dipilih sebagai hakim Mahkamah diatur dalam Pasal 94 ayat (1) dari Basic Law. Namun, pasal ini hanya menentukan syarat-syarat umum. Mahkamah terdiri dari hakim-hakim federal maupun kelompok masyarakat lainnya. Keberadaan hakim federal dalam Mahkamah, menandakan bahwa organ penjamin konstitusi itu memiliki anggota yang berpengetahuan hukum khusus (specialist). Seiring dengan itu, keberadaan hakim yang lain menandaskan pula eksistensi elemen-elemen politik dalam organ tersebut (Jimmly Asshiddiqie,dkk, 2006:46).

Melalui Federal Constitutional Court Act, ditentukan bahwa tiga dari delapan anggota masing-masing Senat harus berasal dari pengadilan-pengadilan tertinggi federal. Disamping itu, Bundestag dan Bundesrat masing-masing memiliki kewenangan untuk menentukan delapan dari 16 hakim mahkamah. Durasi masa jabatan seorang hakim adalah satu kali untuk dua belas tahun masa jabatan. Oleh karena itu, hakim tidak dapat dipilih kembali. Dari sejumlah pemerhati hukum di Jerman dikatakan, bahwa prosedur pemilihan hakim yang melibatkan parlemen diprediksi dapat mempertebal legitimasi demokratik para hakim. Secara pararel hal itu akan memperkuat eksistensi komponen- komponen federal yang dipancarkan melalui komposisi mahkamah. Karena dalam praktik, dapat saja terjadi bahwa putusan mahkamah yang final dan mengikat (res judicata) itu kurang berkenan di hati pihak-pihak lain, sehingga dapat dibayangkan apa yang terjadi jika mahkamah dalam menjalankan kekuasaannya tidak memiliki legitimasi yang cukup memadai guna menopang putusan final dan mengikat itu. Di Republik Federal Jerman, misalnya, secara tegas dikatakan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi berlaku sebagai hukum positif.

Kewenangan Mahkamah Konstitusi Federal Jerman diatur secara rinci dan jelas dalam Article 93 dari Basic Law tahun 1949.

commit to user

memiliki aneka kompetensi, antara lain adalah sebagai berikut :

a. Istilah pengujian konstitusional (constitutional review) digunakan untuk menyelesaikan perselisihan yang dihadapi oleh lembaga- lembaga tinggi negara. Kategori ini termasuk kewenangan untuk menyelesaikan sengketa kewenangan antara Pemerintah Federasi dengan negara bagian (federal states) atau perselisihan yang

melibatkan organ-organ tinggi dalam pemerintah federal saja.

b. Adapun terminologi judicial review, masing-masing digunakan ketika mahkamah melaksanakan pengujian norma hukum secara konkret (concrete norm control), atau pada saat organ tersebut melakukan pengujian undang-undang secara umum (abstract norm control ). Khusus terhadap pengujian norma hukum secara abstrak, permohonan model ini biasanya sudah harus diajukan kepada Mahkamah Konstitusi paling lambat 30 hari setelah rancangan undang-undang diadopsi secara final oleh parlemen, namun belum diundangkan.

c. Permohonan konstitusional (constitutional complaint) adalah hak mengajukan petisi yang dimiliki secara perorangan ataupun kelompok, ketika pemohon mendalilkan bahwa hak konstitusional yang bersangkutan, seperti tercantum dalam Basic Law tahun 1949 telah dilanggar oleh aneka produk hukum atau putusan peradilan umum (ordinary judges).

d. Menyelesaikan sengketa hasil pemilihan umum, seperti ditentukan dalam Article 41 II Basic Law.

Berkaitan dengan konsep independensi kekuasaan kehakiman (judicial independence) dinyatakan bahwa : Judicial independence constitutes one of the fundamental

principles of the German Constitution . The status and structure of the judiciary is elaborated in Chapter XI (Articles 92-104) of the Constitution, the so-called Basic Law

commit to user

(“Grundgezetz”). Article 97 guarantees the independences of judges. It reads : (1) Judges shall be independent and subject only to the law. (2) Judges appointed permanently to full-time positions may

be involuntarily dismissed, permanently or temporarily suspended, transferred, or retired before the expiration of their term of office only by virtue of judicial decision and only for the reasons and in the manner specified by the laws (Anja Seibert-Fohr, 2006:1).

Independensi kekuasaan kehakiman yang dianut oleh Negara Jerman dibagi menjadi tiga elemen, yakni : substantive independence, structural independence, dan personal independence. Ketiga elemen tersebut dijelaskan sebagai berikut:

a) Substantive independence . It requires that the judge in her or his decision-making process is only bound by the law, not by any determination or other means of influence by other parties.

b) Structural independence of the judiciary requires a structural separation from the other branches of government and is guaranteed by the second sentence of Article 20 (2) Basic Law. Pursuant to 4 Federal Judges Act, judges are not allowed to exercise legislative or executive functions silmutaneously with judicial functions excluding tasks of court administration. c)Personal independence further supplements substantine independence by protecting the judges as a person against external interventions. This concerns to access to the profession, as well as the working and living conditions of judges (Anja Seibert-Fohr, 2006:1).

Berdasarkan prinsip independensi kekuasaan yang telah diuraikan, maka diperlukan adanya sistem pengawasan yang memadai. Sistem pengawasan kehakiman di Jerman memperlihatkan adanya konsep-konsep sebagai berikut:

a. Kode Etik Hakim Mahkamah Konstitusi Jerman hanya diatur dalam Undang-Undang Kehakiman Jerman dan tidak diatur secara khusus dalam aturan mengenai kode etik hakim.

b. Secara kelembagaan, institusi pengawas kekuasaan kehakimaan dilakukan oleh internal. Sementara di pengadilan di tingkat bawah

commit to user

pengawasan.

c. Secara kultural, hakim di Jerman sudah terbangun suatu budaya hukum yang mengkondisikan mereka untuk memiliki etos kerja sebagai hakim yang mandiri dan profesional sehingga kode etik hakim sudah melekat secara interen di diri hakim (sumber: http://master .law.uii.ac.id/index.php?option=com_content&task=view&id=4&Itemid=50 diakses pada tanggal 16 April 2012 pukul 12:43 WIB).

Untuk memahami keberadaan hakim Mahkamah Konstitusi Federal Jerman, dijelaskan hal-hal yang berkaitan mengenai aturan kedisiplinan bagi hakim tersebut.

a. Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi Federal (UU MK – BverGG) tanggal 11 Agustus 1993, khusus dalam Pasal 3 ayat (3) dan

4 mengatur mengenai jabatan yang tidak boleh dirangkap saat menjadi hakim MK Federal. Hakim Mahkamah Konstitusi Federal Jerman, tidak boleh menjadi bagian dari Parlemen Jerman, Majelis Jerman, pemerintah federal maupun salah satu instansi terkait di suatu negara bagian. Ini bagian pertama dari aturan tersebut, sebagai bentuk khusus dari larangan profesional dan komersial/perdagangan dalam arti luas. Pengecualiannya hakim MK Federal masih dapat meneruskan pekerjaannya sebagai dosen atau pendidik di tingkat perguruan tinggi.

b. Pasal 18 mengatur diskualifikasi seorang hakim dalam menjalankan fungsinya sebagai hakim, jika ia terlibat dalam suatu kasus atau menikah dengan pihak yang terlibat kasus itu atau pernah telah bekerja dalam kasus yang sama secara profesional atau inisiatif sendiri. Hal ini jelas bahwa menjadi seorang hakim Mahkamah Konstitusi Federal Jerman berdasarkan pengalaman khusus yang bukan hanya memiliki kualifikasi prefesional yang luar biasa, tetapi juga kualifikasi ilmiah.

commit to user

Mahkamah Konstitusi Federal Jerman. Misalnya, apabila hakim telah melakukan perbuatan memalukan atau dihukum dengan hukuman tetap penjara lebih dari enam bulan atau apabila hakim telah melakukan pelanggaran hukum berat sehingga yang bersangkutan tidak diperkenankan tetap dalam tugasnya sebagai hakim MK Federal Jerman. Untuk menjalankan proses ini berlandaskan pada keputusan pleno (Pasal 105 Paragraf 2) (Siegberg Bross, 2011:8-9).

Mencermati lembaga pengadilan tersebut yakni Mahkamah Konstitusi Republik Federal Negara Jerman bahwa pembentukan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia sebagian telah mengadopsi dari negara-negara tersebut. Dapat dilihat dari kewenangan yang diberikan kepada Mahkamah Konstitusi yaitu untuk menjunjung tinggi konstitusi yang putusannya bersifat final dan konsep independensi kekuasaan kehakiman demi menegakkan hukum dan keadilan.

Konsep kekuasaan kehakiman yang merdeka negara tersebut terhadap lembaga peradilan Mahkamah Konstitusi begitu dijunjung tinggi. Oleh karena, jalur hukum terakhir adalah di badan peradilan, sistem peradilan perlu diberi kedudukan yang mandiri. Seiring dengan ini, kebebasan hakim tak luput dari sisi gelap karena ada dugaan ajaran independensi justru digunakan sebagai benteng pertahanan mutakhir untuk menutupi potensi kejanggalan-kejanggalan yang menyertai putusan peradilan. Oleh karena itu, adanya akuntabilitas, transparansi, integritas moral dan etika serta sistem pengawasan atau kontrol diupayakan akan menjamin independensi kekuasaan kehakiman yang sesungguhnya.

Sistem pengawasan hakim konstitusi pada Mahkamah Konstitusi Republik Federal Negara Jerman dilakukan secara internal, namun untuk tingkat bawah atau negara bagian dilakukan oleh institusi atau lembaga tersendiri. Meskipun, pengawasannya hanya secara internal, hal ini tidak menjadi persoalan karena secara sosiologis, masyarakat menaruh

commit to user

tinggi yang melekat pada diri hakim menjadi hal yang luar biasa dalam membangun proses peradilan yang adil serta mampu menjunjung prinsip independensi kekuasaan kehakiman.

Dari beberapa hal menarik di Mahkamah Konstitusi Jerman, salah satunya dapat diambil pelajaran bahwa, perlunya sistem pengawasan yang bertujuan untuk menjaga independensi dan imparsialitas hakim konstitusi, harus didukung dengan adanya budaya hakim konstitusi dalam menciptakan suasana atau etos kerja yang tinggi, tentunya mengutamakan tingkat keprofesionalan hakim konstitusi dalam mengemban tugasnya. Di Negara Indonesia yang selalu menuntut perubahan ke arah yang lebih baik, memanglah sangat penting untuk menumbuhkan budaya tersebut.

commit to user

76

Dokumen yang terkait

PENGARUH PERIODE CEKAMAN AIR TERHADAP PERTUMBUHAN DAN KANDUNGAN METABOLIT SEKUNDER ROSELA MERAH DAN ROSELA UNGU SKRIPSI untuk memenuhi sebagian persyaratan guna memperoleh derajat Sarjana Pertanian

0 0 47

PenulisanHukum (Skripsi) Disusun dan Diajukan untuk

0 0 48

Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Berat Badan Bayi Saat Lahir di Kota Surakarta Menggunakan Metode Pohon Regresi

1 1 62

PENGEMBANGAN MODEL PERANGKAT PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN KOMUNIKASI MATEMATIS DI SMA Zakaria Pendidikan Matematika, FIKP Untan, Pontianak Email: zakariajkggmail.com Abstrak:Tujuan penelitin ini untuk mengembangkan Model Perangkat

0 1 10

Ika Puji Astuti, Agus Sastrawan Noor, Izhar Salim Program Studi Pendidikan Sosiologi FKIP Untan Pontianak Email :ika pujiastuti888gmail.com Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kontribusi PT Darmex Agro

0 0 13

EFEKTIFITAS PENGGUNAAN MEDIA PEMBELAJARAN LKS PADA MATA PELAJARAN AKUNTANSI KELAS XII IPS SMA Fitri Salpiah, Herkulana, okianna Program Studi Pendidikan Ekonomi FKIP Untan, Pontianak Email :salpiahfitrigmaill.com Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk me

0 0 11

INTERAKSI KERJASAMA REMAJA SANGGAR BORNEO TARIGAS KOTA PONTIANAK Rahmi Sapariyanti, Yohanes Bahari, Nuraini Asriati Program studi pendidikan sosiologi FKIP Untan Pontianak Email : rahmi.sapariyantigmail.com Abstrak : Penelitian ini bertujuan untuk mengeta

0 0 13

Firgiawan Yuda Sajati, Busri Endang, Sri Lestari Program Studi Bimbingan dan Konseling FKIP Untan Pontianak Email : firgiawan.yudagmail.com Abstrak: Bimbingan karir merupakan membantu pribadi untuk mengembangkan

0 0 11

Experts Review yang dijalankan Secara

0 0 8

TUGAS AKHIR - Analisis prinsip 5c dan 7p pada penyaluran kredit di pt. bpr antar rumeksa arta Karanganyar

2 7 73