Perlunya Pengawasan Hakim Konstitusi dikaitkan dengan Prinsip Independensi Kekuasaan Kehakiman

A. Perlunya Pengawasan Hakim Konstitusi dikaitkan dengan Prinsip Independensi Kekuasaan Kehakiman

Amanah Pasal 24 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) menyatakan bahwa Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Hal demikian berimplikasi pada kedudukan kekuasaan kehakiman yang kuat dan berwibawa yang diharapkan mampu menyelesaikan semua perkara, sengketa dan pelanggaran hukum antar sesama warga negara maupun antar warga negara dengan penguasa secara obyektif, tidak memihak (impartial) dan tidak di bawah pengaruh pemerintah serta pengaruh-pengaruh lainnya yang bersifat ekstra judisil maupun intra judisil (Darius Mauritsius, 2009:59).

Jaminan kemandirian kekuasaan kehakiman tersebut diatur pula dalam Pasal 3 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yakni:

(1) Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, hakim dan Hakim Konstitusi wajib menjaga kemandirian peradilan. (2) Segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak lain di luar kekuasaan kehakiman dilarang, kecuali dalam hal-hal sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang.

Termasuk pula dalam Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, diatur mengenai jaminan kemandirian kekuasaan kehakiman yakni dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang menyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu lembaga negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Dalam penjelasan umum dikatakan bahwa kedudukannya sebagai bagian kekuasaan

commit to user

umum penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka, bebas dari pengaruh kekuasaan lembaga lainnya.

Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman di Indonesia yang berfungsi sebagai pengawal konstitusi (the guardian of the constitution ) memiliki wewenang dan kewajiban yang putusannya bersifat final dan mengikat sebagaimana termaktub dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945. Konsekuensi dari putusan MK yang bersifat final dan mengikat adalah tidak adanya upaya hukum lain baik mekanisme banding maupun peninjauan kembali. Hal ini juga berkaitan dengan kepercayaan publik terhadap perilaku dan martabat hakim konstitusi dalam memberikan putusan-putusan yang dihasilkan. Sehingga dalam menyelenggarakan proses peradilan, Mahkamah Konstitusi wajib mengutamakan independensi dan imparsialitasnya.

Adapun menurut Mahfud MD bahwa kewibawaan hakim merupakan sakral dan fundamental yang bukan hanya menentukan terhadap sakralitas dan progresifitas jati diri dunia peradilan, tetapi juga dalam mengonstruksi kredibilitas pencari keadilan terhadap implementasi konstitusi (Abdul Wahid, 2011:68). Kewenangan yang diberikan kepada hakim konstitusi oleh UUD 1945 merupakan kewenangan untuk menjaga tetap tegaknya nilai-nilai konstitusi sebagai landasan kehidupan bangsa dan negara Indonesia karena putusan yang dihasilkan oleh Mahkamah Konstitusi amat besar mempengaruhi sendi-sendi ketatanegaraan terutama dalam hal pengujian undang-undang terhadap UUD 1945.

Menurut Suparman Marzuki (2011:5), kekuasaan kehakiman dengan kekuasaan final dan mengikat adalah kekuasaan konstitusional absolut yang punya peluang salah, tidak adil, tidak fair, tidak objektif dan tidak profesional. Hakim-hakim konstitusi mempunyai peluang melakukan kesalahan sengaja atau kelalaian manusiawi.

commit to user

hakim konstitusi menjadi polemik bagi eksistensi Mahkamah Konstitusi pada waktu satu tahun yang lalu. Tulisan salah seorang staff ahli Mahkamah Konstitusi Tahun 2003-2007, Refly Harun, mengungkapkan bahwa adanya tiga isu utama. Pertama, pengalamannya ketika berkunjung ke Papua. Para kandidat tidak hanya habis biaya banyak dalam Pemilukada, melainkan juga akan habis untuk bersengketa di Mahkamah Konstitusi. Ada yang habis 10 milliar rupiah sampai 12 milliar rupiah untuk Mahkamah Konstitusi. Kedua, Refly mendengar negosiasi yang gagal untuk memenangi perkara. Menurutnya, ada orang yang bercerita bahwa seorang hakim konstitusi meminta uang satu milliar rupiah kepada Pemohon. Oleh karena ditunggu hingga sore tidak cair, negosiasi itu gagal. Kemudian permohonan dicabut. Ketiga, Refly mengaku pernah melihat dengan mata kepala sendiri uang dollar Amerika senilai satu milliar rupiah, yang menurut pemiliknya akan diserahkan ke salah satu hakim konstitusi (sumber: http://nasional.kompas .com/read/2010/10/25/09201736/MK.Masih.Bersih diakses pada tanggal 16 April 2012 pukul 7:17 WIB). Hal demikian menjadi salah satu benih-benih mafia peradilan apabila tidak dideteksi secara dini. Meskipun, setelah dibentuk tim investigasi oleh Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud MD, tidak ada indikasi suap atau tidak terbukti, hal ini tidak serta merta mengesampingkan pengawasan terhadap hakim konstitusi. Ancaman- ancaman terhadap independensi Mahkamah Konstitusi dapat terjadi kapan saja. Apabila tidak menjadi perhatian utama, dapat menimbulkan judicial corruption di lingkungan Mahkamah Konstitusi.

Selanjutnya, berdasarkan Pasal 24C ayat (3) UUD 1945 menyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi mempunyai sembilan orang anggota hakim konstitusi yang ditetapkan oleh Presiden, yang diajukan masing-masing tiga orang oleh Mahkamah Agung, tiga orang oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dan tiga orang oleh Presiden. Pasal tersebut berimplikasi pada pola pengisian jabatan hakim konstitusi yang justru

commit to user

politik lima tahunan. Ketiga pengaruh turbulensi ini terhadap pola pengisian jabatan

hakim konstitusi oleh Darius Mauritsius (2009:65-66) diutarakan sebagai berikut :

a. Pengaruh turbulensi adalah dari kalangan DPR karena merupakan lembaga representasi politik yang menjadi salah satu constitutional actor, yang menguat kedudukan dan peranannya dalam era pasca reformasi. Hal ini berbeda dengan kondisi parlemen di Inggris dewasa ini. Lembaga tua itu justru hanya menjadi semacam constitutional actor yang cenderung simbolis karena implementasi kewenangannya hanya bersifat rutin.

b. Turbulensi kedua cenderung datang dari kalangan pemerintah. Sejak terjadi proses reformasi politik, pemerintah bermetamorfosis menjadi semacam kumpulan dewan menteri (kabinet) yang berkaki lebih dari satu, mulai kabinet dua kaki semasa Presiden BJ Habibie; kabinet empat kaki semasa Presiden Abdurrahman Wahid, hingga kabiner berkaki-kaki pada periode kepresidenan berikutnya termasuk kabinet Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

c. Turbulensi ketiga datang dari Mahkamah Agung. Pada awal masa reformasi, Mahkamah Agung terlihat cukup didominasi figur-figur dari kalangan partai politik, terutama yang masuk melalui jalur non-karier. Hal ini secara langsung atau tidak langsung masih terasa hingga kini. Dengan adanya proses pemilihan hakim agung yang harus melalui DPR di pintu terakhir, mau tidak mau para calon hakim agung dari mana pun asalnya, baik karier maupun non-karier harus mempunyai koneksi politik.

Mencermati hal tersebut, dapat dilihat adanya kecenderungan pengaruh politik pada ketiga lembaga yang berwenang mengusulkan hakim konstitusi itu, sangat jelas besar kemungkinan para hakim konstitusi yang dihasilkan berpotensi terkena pengaruh turbulensi politik. Pengaruh itu

commit to user

maupun individu atau elite politik lain. Atas dasar pernyataan tersebut, maka diperlukan adanya suatu

pengawasan terhadap hakim konstitusi. Hal ini bertujuan untuk menghindari terjadinya penyalahgunaan kekuasaan dan agar kekuasaan penegakan hukum selalu dijalankan dengan baik dan benar supaya terwujud kepastian hukum dan keadilan yang secara yuridis, sosial dan moral mendapat penilaian dan penerimaan yang dipercaya. Selain itu, pengawasan hakim konstitusi sebagai bagian dari akuntabilitas yang harus dilakukan badan pelaksana kekuasaan kehakiman, agar independensi dapat dibatasi sehingga tidak menimbulkan tirani kekuasaan dan menghindari adagium yang menyatakan the power tend to corrupt.

Perlu diketahui bahwa pengawasan atau kontrol sejatinya mekanisme normal, positif dan konstitusional dalam negara hukum dan negara demokratis agar kekuasaan politik atau kekuasaan hukum tidak menyimpang atau disalahgunakan baik secara sengaja, tidak sengaja atau karena kelalaian sehingga disediakanlah norma dan institusi pengujian, kontrol atau verifikasi (Suparman Marzuki, 2011:1). Profesi hakim konstitusi merupakan profesi yang sangat rentan dalam proses penegakan hukum saat ini. Kewenangan yang diberikan oleh UUD 1945 kepada hakim konstitusi sangat memerlukan sikap integritas yang tinggi sehingga dalam memeriksa dan mengadili suatu perkara dapat benar-benar mencerminkan rasa keadilan masyarakat tanpa meninggalkan unsur penting yakni kepastian hukum.

Menurut Adi Sulistiyono, dalam rangka penegakan hukum di Indonesia, tugas hakim adalah menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila melalui perkara-perkara yang dihadapkan kepadanya, sehingga keputusan yang diambilnya mencerminkan rasa keadilan bangsa dan masyarakat Indonesia. Dalam realitas empiris, patut disadari bahwa hakim adalah manusia biasa ciptaan Tuhan yang mempunyai resistensi

commit to user

sosiologis, pelaksanaan peran hakim tersebut tidak berlangsung dalam wilayah normatif yang steril, yang mudah dicapai, tetapi selalu dalam konteks adanya perjuangan untuk melepaskan diri dari pengaruh sosial, kooptasi kekuasaan permainan lobi politik, atau arus ekonomi yang kuat. Pengaruh atau tekanan dari luar yang memengaruhi inilah yang sering menjadi penyebab hakim kehilangan kejujuran mengorbankan kewibawaan dan profesionalitasnya untuk penyelesaian sengketa sehingga seringkali menghasilkan putusan yang tidak selaras dengan nilai keadilan masyarakat (Kelik Pramudya,dkk, 2010:17-18).

Pengawasan merupakan unsur penting dan menentukan dalam lembaga kekuasaan kehakiman dalam hal ini adalah Mahkamah Konstitusi, untuk menjamin terlaksananya penyelenggaraan kelembagaan Mahkamah Konstitusi sesuai dengan visi dan misinya. Pengawasan juga diperlukan untuk menjaga integritas dan mempertahankan performa Mahkamah Konstitusi yang lebih baik.

Sebagaimana yang tertera dalam Cetak Biru Membangun Mahkamah Konstitusi Tahun 2005-2009 (2005:90-91) bahwa adanya sistem pengawasan internal dan eksternal yang memadai, jalannya organisasi Mahkamah Konstitusi akan terhindar dari munculnya penyimpangan- penyimpangan yang bertentangan dengan peraturan dan merugikan Mahkamah Konstitusi. Adanya sistem pengawasan internal dan eksternal yang berjalan baik membuat setiap indikasi terjadinya penyimpangan akan terdeteksi secara dini. Dengan demikian, maka akan dapat diambil langkah- langkah antisipasi untuk menanggulanginya agar tidak bergulir menjadi penyimpangan yang lebih besar dan luas. Terhadap indikasi penyimpangan itu dapat segera diambil tindakan yang sesuai dengan peraturan yang berlaku. Selain itu, sistem pengawasan internal dan eksternal bermanfaat untuk mendeteksi kekurangan dan kelemahan yang ada dalam organisasi Mahkamah Konstitusi sehingga langkah-langkah perbaikan dan peningkatan

commit to user

menciptakan organisasi Mahkamah Konstitusi yang sesuai dengan prinsip clean government dan good governance.

Mencermati pentingnya pengawasan terhadap hakim konstitusi yang memiliki peran penting dalam penegakan proses peradilan ketatanegaraan di Indonesia, maka hal berikut mengkaji tentang peraturan perundangan-undangan yang berlaku yang menjadi satu-kesatuan terpadu terkait konsep pengawasan hakim konstitusi sebagai alasan yuridis perlunya pengawasan hakim konstitusi di Indonesia.

Pertama, Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Secara keseluruhan materi yang terkandung dalam Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman ini lebih komprehensif, lebih lengkap dan lebih terstruktur demi terwujudnya integrated justice system atau sistem peradilan terpadu di Indonesia. Adanya konsep pengawasan dalam undang-undang ini menjadi agenda utama dalam menyelenggarakan kekuasaan kehakiman. Undang-Undang ini juga mengelaborasikan konsep pengawasan yang terdiri dari dua, yakni pengawasan internal dan pengawasan eksternal. Pengawasan internal diserahkan kepada lembaga itu sendiri sedangkan pengawasan eksternal berada pada Komisi Yudisial yang sebatas hanya mengawasi perilaku hakim.

Menelaah Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman ini terdapat dua model pengawasan yaitu pengawasan yang membedakan antara hakim dan hakim konstitusi. Hal tersebut termaktub pada Bab VI Pasal 39 sampai dengan Pasal 44. Mahkamah Agung diberikan kewenangan untuk mengawasi secara internal terhadap penyelenggaraan peradilan pada semua badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung dalam menyelenggarakan kekuasaan kehakiman oleh Mahkamah Agung, selain itu juga terhadap pelaksanaan tugas administrasi dan keuangan. Pengawasan eksternal dilakukan oleh Komisi Yudisial sebatas dalam rangka menjaga

commit to user

Pedoman Perilaku Hakim. Sedangkan untuk Mahkamah Konstitusi, menurut Pasal 44 ayat (1)

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan bahwa pengawasan hakim konstitusi dilakukan oleh Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi. Ketentuan ini menegaskan bahwa mekanisme atau sistem yang dilaksanakan melalui pengawasan internal. Mekanisme yang dijalankan untuk mengawasi hakim konstitusi dilakukan dari dalam Mahkamah Konstitusi itu sendiri.

Untuk memahami lembaga negara yang ada di bidang kekuasaan kehakiman dijelaskan bahwa lembaga pelaksana atau pelaku kekuasaan kehakiman adalah Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi, disamping itu terdapat lembaga pengawas martabat, kehormatan, dan perilaku hakim yakni Komisi Yudisial. Keberadaan Komisi Yudisial ini bersifat mandiri sebagai auxiliary organ. Komisi Yudisial merupakan supporting element dalam rangka mendukung kekuasaan kehakiman yang merdeka, bersih dan berwibawa. Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi memiliki pengawasan internal sendiri sedangkan Komisi Yudisial adalah lembaga penegak etik kehakiman yang menggunakan mekanisme pengawasan eksternal kekuasaan kehakiman. Komisi Yudisial diberikan kewenangan untuk melakukan pengawasan terhadap perilaku-perilaku hakim dan bukan untuk hakim pada Mahkamah Konstitusi.

Untuk memahami keberadaan Komisi Yudisial maka dijelaskan oleh A. Ahsin Thohari (2004:10-11) bahwa terdapat beberapa asumsi dasar yang dapat diajukan sebagai argumen utama bagi sebab wujudnya (raison

d’etre) Komisi Yudisial di dalam suatu negara hukum baik dalam tradisi Rechtsstaat maupun Rule of Law, yaitu

a. Komisi Yudisial dibentuk agar dapat melakukan monitoring yang intensif terhadap kekuasaan kehakiman dengan melibatkan unsur-unsur

commit to user

monitoring secara internal saja;

b. Komisi Yudisial menjadi perantara (mediator) atau penghubung antara kekuasaan pemerintah (executive power) dan kekuasaan kehakiman (judicial power) yang tujuan utamanya adalah untuk menjamin kemandirian kekuasaan kehakiman dari pengaruh kekuasaan apa pun juga khususnya kekuasaan pemerintah;

c. Dengan adanya Komisi Yudisial, tingkat efisiensi dan efektivitas kekuasaan kehakiman (judicial power) akan semakin tinggi dalam banyak hal, baik yang menyangkut rekruitmen dan monitoring hakim agung maupun pengelolaan keuangan kekuasaan kehakiman;

d. Terjaganya konsistensi putusan lembaga peradilan, karena setiap putusan selalu memperoleh penilaian dan pengawasan yang ketat dari sebuah lembaga khusus (Komisi Yudisial); dan

e. Dengan adanya Komisi Yudisial, kemandirian kekuasaan kehakiman (judicial power) dapat terus terjaga, karena politisasi terhadap perekrutan hakim agung dapat diminimalisasi dengan adanya Komisi Yudisial yang bukan merupakan lembaga politik, sehingga diasumsikan tidak mempunyai kepentingan politik.

Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman ini salah satunya dibentuk untuk memenuhi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006 terkait dengan pengawasan hakim konstitusi, yang pada intinya adalah pengawasan terhadap hakim konstitusi dilakukan secara internal berdasarkan Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi sebagai tolok ukur atau parameter penilaian terhadap hakim konstitusi.

Sebagaimana Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyebutkan bahwa pengawasan hakim konstitusi dilakukan oleh Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi, maka dengan tegas bahwa pengawasan secara eksternal oleh lembaga pengawas kehakiman yang mandiri yakni Komisi Yudisial tidak dilibatkan seperti

commit to user

Hanya saja ketentuan Undang-Undang Mahkamah Konstitusi menyebutkan bahwa salah satu anggota Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi adalah salah satu anggota dari Komisi Yudisial.

Kedua, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Dalam rangka mewujudkan Mahkamah Konstitusi yang independen dan terpercaya, Undang-Undang Mahkamah Konstitusi ini menegaskan pengawasan hakim konstitusi dengan menerapkan Kode Etik Pedoman Perilaku Hakim Konstitusi serta membentuk sebuah Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi.

Berdasarkan Pasal 27A ayat (1) menyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi wajb menyusun Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Konstitusi yang berisi norma yang harus dipatuhi oleh setiap hakim konstitusi dalam menjalankan tugasnya untuk menjaga integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, dan negarawan. Undang-undang tersebut memerintahkan Mahkamah Konstitusi untuk menetapkan kode etik dan perilaku hakim konstitusi sebagai rujukan untuk dipedomani dan dijadikan tolok ukur guna menilai perilaku hakim konstitusi serta membentuk Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi sebagai badan pengawas internal.

Sebelum Undang-Undang Mahkamah Konstitusi yang baru ini berlaku, Mahkamah Konstitusi telah menetapkan Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi yang diatur dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 07/PMK/2005 tentang Pemberlakuan Deklarasi Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi. Penyusunan Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi ini merujuk pada The Bangalore Principles of Judicial Conduct 2002 yang telah diterima baik oleh negara-negara yang menganut sistem Civil Law maupun Common Law serta disesuaikan dengan sistem hukum dan peradilan Indonesia dan etika kehidupan berbangsa sebagaimana

commit to user

kehidupan Berbangsa yang masih tetap berlaku. Sehingga saat ini Mahkamah Konstitusi memiliki pedoman untuk para hakim konstitusi dalam menciptakan peradilan yang independen, imparsial dan akuntabel.

Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi ini disebut dengan Sapta Karsa Hutama, yang terdiri dari tujuh prinsip yang wajib dipahami dan diterapkan oleh hakim konstitusi. Ketujuh prinsip tersebut adalah sebagai berikut :

a. Prinsip Independensi Independensi hakim merupakan prasyarat yang pokok bagi terwujudnya cita negara hukum, dan merupakan jaminan bagi tegaknya hukum dan keadilan. Prinsip ini melekat sangat dalam dan harus tercermin dalam proses pemeriksaan dan pengambilan keputusan atas setiap perkara, dan terkait erat dengan independensi pengadilan sebagai institusi peradilan yang berwibawa, bermartabat, dan terpercaya. Independensi hakim dan dan pengadilan terwujud dalam kemandirian dan kemerdekaan hakim, baik sendiri-sendiri maupun sebagai institusi dari pelbagai pengaruh yang berasal dari luar diri hakim berupa intervensi yang bersifat memengaruhi secara langsung atau tidak langsung berupa bujuk rayu, tekanan, paksaan, ancaman, atau tindakan balasan karena kepentingan politik, atau ekonomi tertentu dari pemerintah atau kekuatan politik yang berkuasa, kelompok atau golongan tertentu, dengan imbalan atau janji imbalan berupa keuntungan jabatan, keuntungan ekonomi, atau bentuk lainnya.

b. Prinsip Ketakberpihakan Ketakberpihakan merupakan prinsip yang melekat dalam hakikat fungsi hakim sebagai pihak yang diharapkan memberikan pemecahan terhadap setiap perkara yang diajukan kepadanya. Ketakberpihakan mencakup sikap netral, disertai penghayatan yang mendalam akan pentingnya keseimbangan antar kepentingan yang terkait dengan perkara. Prinsip ini melekat dan harus tercermin dalam tahapan proses pemeriksaan perkara

commit to user

pengadilan dapat benar-benar diterima sebagai solusi hukum yang adil bagi semua pihak yang berperkara dan oleh masyarakat luas pada umumnya.

c. Prinsip Integritas Integritas hakim merupakan sikap batin yang mencerminkan keutuhan dan keseimbangan kepribadian setiap hakim sebagai pribadi dan sebagai pejabat negara dalam menjalankan tugas jabatannya. Keutuhan kepribadian mencakup sikap jujur, setia, dan tulus dalam menjalankan tugas profesionalnya, disertai ketangguhan batin untuk menepis dan menolak segala bujuk rayu, godaaan jabatan, kekayaan, popularitas, ataupun godaan-godaan lainnya. Sedangkan keseimbangan kepribadian mencakup keseimbangan ruhaniyah, dan jasmaniyah, atau mental dan fisik, serta keseimbangan antara kecerdasan spiritual, kecerdasan emosional, dan kecerdasan intelektual dalam pelaksanaan tugasnya.

d. Prinsip Kepantasan dan Kesopanan Kepantasan dan kesopanan merupakan norma kesusilaan pribadi dan kesusilaan antar pribadi yang tercermin dalam perilaku setiap hakim, baik sebagai pribadi maupun sebagai pejabat negara dalam menjalankan tugas profesionalnya, yang menimbulkan rasa hormat, kewibawaan, dan kepercayaan. Kepantasan tercermin dalam penampilan dan perilaku pribadi yang berhubungan dengan kemampuan menempatkan diri dengan tepat, baik mengenai tempat, waktu, penampilan, ucapan, atau gerak tertentu; sedangkan kesopanan terwujud dalam perilaku hormat dan tidak merendahkan orang lain dalam pergaulan antar pribadi, baik dalam tutur kata lisan atau tulisan; dalam bertindak, bekerja, dan bertingkah laku; dalam bergaul dengan sesama hakim, dengan karyawan, atau pegawai pengadilan, dengan tamu, dengan pihak-pihak dalam persidangan, atau pihak-pihak lain yang terkait dengan perkara.

e. Prinsip Kesetaraan

commit to user

(equal treatment) terhadap semua orang berdasarkan kemanusiaan yang adil dan beradab, tanpa membeda-bedakan satu dengan yang lain atas dasar perbedaan agama, suku, ras, warna kulit, jenis kelamin, kondisi fisik, status sosial ekonomi, umur, pandangan politi ataupun alasan- alasan lain yang serupa (diskriminasi). Prinsip kesetaraan ini secara hakiki melekat dalam sikap setiap hakim untuk senantiasa memperlakukan semua pihak dalam persidangan secara sama sesuai dengan kedudukannya masing-masing dalam proses peradilan.

f. Prinsip Kecakapan dan Keseksamaan Kecakapan dan keseksamaan hakim merupakan prasyarat yang penting dalam pelaksanaan peradilanyang baik dan terpercaya. Kecakapan tercermin dalam kemampuan profesional hakim yang diperoleh dari pendidikan, pelatihan, dan/atau pengalaman dalam pelaksanaa tugas; sedangkan keseksamaan merupakan sikap pribadi hakim yang menggambarkan kecermatan, kehati-hatian, ketelitian, ketekunan, dan kesungguhan dalam pelaksanaan tugas profesional hakim tanpa menunda-nunda pengambilan keputusan.

g. Prinsip Kearifan dan Kebijaksanaan Kearifan dan kebijaksanaan menuntut hakim untuk bersikap dan bertindak sesuai dengan norma-norma yang hidup dalam masyarakat dengan memperhatikan situasi dan kondisi pada saat itu serta mampu memperhitungkan akibat dari tindakannya, sabar tetapi tegas dan lugas.

Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi yang sudah dibentuk ini menjadi tolok ukur bagi para hakim konstitusi untuk bersikap dan menjaga kredibilitasnya sebagai penegak hukum yang mulia (officium nobile). Sedangkan organ atau badan yang berhak mengawasi hakim konstitusi adalah Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi.

Sebagaimana dalam Pasal 1 Angka 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun

commit to user

Konstitusi adalah perangkat yang dibentuk oleh Mahkamah Konstitusi untuk memantau, memeriksa dan merekomendasikan tindakan terhadap hakim konstitusi, yang diduga melanggar Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi.

Sebelum adanya pengajuan judicial review terhadap undang- undang ini, pengisian keanggotaan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi terdiri dari : satu orang hakim konstitusi, satu orang anggota Komisi Yudisial, satu orang dari unsur DPR, satu orang dari unsur pemerintah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum, dan satu orang hakim agung. Hal demikian termaktub dalam Pasal 27 A ayat (2). Namun setelah diproses, Mahkamah Konstitusi akhirnya menjatuhkan putusannya dalam Nomor 49/PUU-IX/2011 yang salah satunya mengenai pengisian keanggotaan tersebut dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Atas putusan tersebut, Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa mekanisme pemilihan hakim konstitusi diajukan oleh tiga lembaga negara masing-masing tiga orang sebagaimana dalam Pasal 24C ayat (3) UUD 1945, yaitu masing-masing oleh Mahkamah Agung, DPR dan Presiden, dan selanjutnya ditetapkan oleh Presiden. Setelah ditetapkan dan mengucapkan sumpah sebagai hakim konstitusi maka selama yang bersangkutan menjadi hakim konstitusi harus independen dan imparsial serta bebas dari segala pengaruh lembaga negara termasuk lembaga negara yang mengajukannya. Oleh karena itu, dengan masuknya unsur DPR, unsur pemerintah dan satu orang hakim agung dalam Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi yang bersifat permanen justru mengancam dan mengganggu baik secara langsung maupun tidak langsung kemandirian hakim konstitusi dalam menjalankan tugas dan kewenangannya. Adanya unsur DPR, unsur pemerintah dan hakim agung berpotensi menimbulkan konflik kepentingan karena DPR,

commit to user

pihak yang berperkara di Mahkamah Konstitusi. Dengan demikian, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

049/PUU-IX/2011 menegaskan dalam Pasal 27A ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi bahwa keanggotaan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi terdiri dari satu orang hakim konstitusi dan satu orang anggota Komisi Yudisial.

Setelah adanya putusan tersebut, maka Mahkamah Konstitusi menyesuaikan norma positif yang ada. Perubahan Peraturan Mahkamah Konstitusi tentang Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi ini telah memperhatikan Pasal 1 Angka 1, Pasal 1 Angka 4, Pasal 27A ayat (1), Pasal 27A ayat (2), Pasal 27A ayat (3), Pasal 27A ayat (4), Pasal 27A ayat (5) dan Pasal 27B huruf b Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Termuat dalam Daftar Inventaris Permasalahan Perubahan Peraturan Mahkamah Konstitusi khususnya mengenai Perubahan Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 10/PMK/2006 tentang Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi pada Bab II tentang Susunan dan Kedudukan menyatakan antara lain :

a. Keanggotaan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi terdiri atas satu orang hakim konstitusi dan satu orang anggota Komisi Yudisial. Dalam pembahasan sebelumnya, diusulkan bahwa anggota Majelis Kehormatan dapat dari praktisi hukum dan perguruan tinggi. Keanggotan Majelis Kehormatan lebih banyak dari eksternal Mahkamah Konstitusi.

b. Pengaturan bahwa Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi bersifat ad hoc yang dibentuk jika terdapat pelanggaran terhadap Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi. Alasannya apabila dibentuk secara permanen akan menimbulkan permasalahan secara terus-menerus.

commit to user

sementara dari tugasnya sebagai hakim konstitusi. Selanjutnya, mekanisme pembentukan Majelis Kehormatan

Mahkamah Konstitusi dalam rancangan perubahan Peraturan Mahkamah Konstitusi dituangkan pula dalam Bab II, yakni sebagai berikut :

a. Jika Rapat Pleno Hakim memutuskan untuk membentuk Majelis Kehormatan, maka Mahkamah Konstitusi mengirim surat kepada Komisi Yudisial untuk menunjuk satu orang anggota Komisi Yudisial sebagai anggota Majelis Kehormatan.

b. Mekanisme pemilihan anggota Majelis Kehormatan, melalui mekanisme internal atau diserahkan kepada pihak luar (eksternal) dengan menetapkan terlebih dahulu, persyaratannya, kemudian disetujui oleh Ketua Mahkamah Konstitusi.

c. Pembentukan Panel Etik ditiadakan karena proses awal pembentukan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi ditentukan dalam Rapat Pleno Hakim.

Hal-hal lain yang akan diatur lebih lanjut terkait Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi antara lain:

a. Penyempurnaan wewenang dan tugas Majelis Kehormatan yang dituangkan dalam Bab III Peraturan Mahkamah Konstitusi, yakni Majelis Kehormatan berhak memanggil para pihak, baik internal maupun eksternal, guna kelancaran proses pembuktian benar atau tidaknya pelanggaran kode etik.

b. Perubahan Bab V yang mengatur pelaporan dan informasi pelanggaran perlu disempurnakan, dengan tidak membatasi sumber-sumber pelaporan, karena sumber informasi bisa diperoleh dari mana saja asalkan dapat dipercaya kebenarannya. Sumber informasi ini dibahas dalam Rapat Pleno Hakim.

c. Penyempurnaan metode pemeriksaan Majelis Kehormatan, sebagai berikut :

commit to user

2) Jangka waktu pemeriksaan terhadap hakim terlapor. Pencantuman masa kerja Majelis Kehormatan, misalnya enam puluh hari kerja. Apabila dipandang tidak cukup maka masa kerja Majelis Kehormatan dapat diperpanjang tiga puluh hari kerja.

3) Pembelaan diri bagi hakim terlapor, sehingga hakim terlapor diberi kesempatan menanggapi pemeriksaan dan bukti-bukti yang diajukan.

d. Penyempurnaan keputusan Majelis Kehormatan, sebagai berikut :

1) Penjatuhan sanksi jika pelanggaan terbukti, atau pemulihan nama baik jika pelanggaran tidak terbukti.

2) Teguran tertulis oleh Ketua Mahkamah Konstitusi.

3) Pemberhentian tidak dengan hormat oleh Presiden. Pemberhentian dengan hormat dihapuskan karena pemberhentian dilakukan atas dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh hakim.

Mencermati dan memahami Pasal 44 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Pasal 27A Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi menunjukkan bahwa sistem pengawasan yang diterapkan untuk hakim konstitusi adalah pengawasan secara internal yang dibentuk sendiri oleh Mahkamah Konstitusi yang diatur lebih lanjut dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi. Hal tersebut juga dipertegas dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 05/PUU-IV/2006, yang pada pokoknya menyatakan bahwa hakim konstitusi bukan merupakan obyek pengawasan Komisi Yudisial yang berarti Mahkamah Konstitusi tidak memiliki pengawasan secara eksternal. Salah satu butir putusan Mahkamah Konstitusi tersebut menyebutkan :

hakim konstitusi tak termasuk pengertian hakim yang harus diawasi Komisi Yudisial karena masa jabatannya lima tahun dan setelah itu kembali ke profesi semula. Hakim konstitusi juga tidak diawasi Komisi Yudisial karena dalam keseluruhan mekanisme pemilihan dan pengangkatan para hakim konstitusi yang diatur UUD 1945 tak melibatkan Komisi Yudisial. Argumen lain, hakim konstitusi tidak

commit to user

imparsialitas hakim konstitusi dalam sengketa kewenangan antarlembaga negara.

Berdasarkan alasan yuridis dalam peraturan perundang-undangan yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa mekanisme pengawasan hakim konstitusi memanglah diperlukan. Meskipun pengawasan yang dilakukan hanya sebatas mekanisme internal yang dirasa kurang namun pengawasan terhadap hakim konstitusi tetaplah dibutuhkan demi menjaga tegaknya kemandirian kekuasaan kehakiman.

Perlu diketahui juga bahwa seorang hakim konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan, serta tidak merangkap sebagai pejabat negara sebagaimana termaktub dalam Pasal 24C ayat (5) UUD 1945. Isi pasal ini juga disebutkan dalam Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dan Pasal 33 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Hal demikian lah yang menjadi tolok ukur bagi hakim konstitusi untuk menyelenggarakan proses peradilan demi menegakkan hukum dan keadilan begitu juga terkait proses rekrutmen dan seleksinya. Dengan diwajibkannya karakter dan sikap yang melekat pada hakim konstitusi tersebut, maka sangat penting untuk dilakukannya penjagaan terhadap kewibawaan hakim konstitusi.

Mencermati sisi lain dari pentingnya pengawasan hakim konstitusi terkait independensi kekuasaan kehakiman di Mahkamah Konstitusi. Telah dijelaskan sebelumnya, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum maka salah satu prinsip paling penting dalam negara hukum adalah adanya jaminan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka, bebas dari pengaruh kekuasaan lainnya untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Hal ini berarti kekuasaan kehakiman yang merdeka atau

commit to user

tercantum dalam Pasal 24 UUD 1945. Independensi kekuasaan kehakiman merupakan prasyarat yang pokok

bagi terwujudnya cita negara hukum dan merupakan jaminan bagi tegaknya hukum dan keadilan. Prinsip ini melekat sangat dalam dan harus tercermin dalam proses pemeriksaan dan pengambilan keputusan atas setiap perkara dan terkait erat dengan independensi kekuasaan kehakiman sebagai institusi peradilan yang berwibawa, bermartabat, dan terpercaya. Independensi hakim dan pengadilan terwujud dalam kemerdekaan hakim, baik sendiri-sendiri maupun sebagai institusi, dari pelbagai pengaruh yang berasal dari luar diri hakim berupa intervensi yang bersifat mempengaruhi secara langsung berupa bujuk rayu, tekanan, paksaan, ancaman, atau tindakan balasan karena kepentingan politik atau ekonomi tertentu dari pemerintah atau kekuatan politik yang berkuasa, kelompok atau golongan tertentu, dengan imbalan atau janji imbalan berupa keuntungan jabatan, keuntungan ekonomi, atau bentuk lainnya.

Independensi kekuasaan kehakiman atau badan-badan kehakiman atau peradilan merupakan salah satu dasar untuk terselenggaranya pemerintah yang demokratis dibawah Rule of Law sebagaimana pemikiran mengenai negara hukum modern yang pernah dicetuskan dalam konferensi oleh International Commission of Jurists di Bangkok pada tahun 1965. Namun, hakekat independensi tidak serta merta berarti sebebas-bebasnya tanpa ada batasnya secara absolut. Hal ini dipahami bahwa kekuasaan kehakiman dikatakan independensi atau mandiri itu dibatasi oleh rambu-rambu tertentu. Dalam Konferensi Internasional Commission of Jurists dikatakan bahwa : “Independence does not mean that the judge is entitled to act in an arbitrary manner ” (Independensi atau kemerdekaan tidak berarti bahwa hakim berhak untuk bertindak secara sewenang-wenang) (Mariyadi, 2011:36-37).

commit to user

yang ditandangani oleh tiga puluh lima Chief Justices of Asia and the Pacific, bahwa independensi kekuasaan kehakiman menghendaki :

a) The judiciary shall decide matters before it in accordance with its impartial assesment of the facts and its understanding of the law without improper influences, direct or indirect, from any source; and

b) The judiciary has jurisdiction, directly or by the way of review, over all issues of a justiciable nature (J. Clifford Wallace, 2005:88-89). (Pengadilan wajib memutus berbagai perkara berdasarkan fakta yang tidak memihak dan pemahaman hukum tanpa pengaruh buruk, baik langsung maupun tidak langsung, dari sumber manapun dan pengadilan mempunyai yurisdiksi secara langsung atau dengan cara menguji terhadap masalah yang berkaitan dengan keadilan).

Batasan atau rambu-rambu yang harus diingat dan diperhatikan dalam implementasi kebebasan itu adalah terutama aturan-aturan hukum itu sendiri. Ketentuan-ketentuan hukum, baik segi prosedural maupun substansial atau materiil, itu sendiri sudah merupakan batasan bagi kekuasaan kehakiman agar dalam melakukan independensinya tidak melanggar hukum, dan bertindak sewenang-wenang. Hakim adalah subordinated pada hukum dan tidak dapat bertindak contra legem (Paulus E. Lotulung, 2003:6). Sedangkan menurut Burhanuddin bahwa batasan kemandirian ini bukan dimaksudkan untuk membatasi atau menghilangkan kebebasan hakim, tetapi mengawal kebebasan hakim supaya tidak terjadi tirani peradilan (Mariyadi,2011:37).

Kemandirian hakim atau independensinya tak terlepas dari pertanggungjawaban atau akuntabilitas. Sehingga hakim dapat benar-benar menegakkan hukum dan keadilan serta mencari kebenaran. Independensi kekuasaan kehakiman tidak diartikan secara mutlak namun tetap berada pada kondisi yang diwujudkan dalam aspek akuntabilitas, integritas, transparansi dan pengawasan atau kontrol. Senada dengan Paulus E. Lotulung (2003:9) bahwa dalam hubungan dengan tugasnya sebagai hakim, maka independensi hakim masih harus dilengkapi lagi dengan sikap imparsialitas dan profesionalisme dalam bidangnya. Oleh karenanya kebebasan hakim sebagai

commit to user

etika, transparansi, pengawasan (kontrol), dan profesionalisme serta impartialitas.

Begitu pula pada hakim konstitusi yang pada dasarnya adalah seorang hakim yang tugas dan kewajibannya menegakkan hukum dan keadilan. Kewenangan yang diberikan oleh hakim konstitusi adalah terkait masalah konstitusionalitas yang menyangkut kepentingan umum bangsa Indonesia. Demi menciptakan prinsip independensi kekuasaan kehakiman yang bertanggung jawab maka harus didukung dengan adanya sistem pengawasan yang terpadu. Mahkamah Konstitusi muncul sebagai lembaga negara yang mewujudkan checks and balances dalam sistem ketatanegaraan. Prinsip checks and balances ini dapat saling mengawasi antar lembaga lainnya dan dapat saling menyeimbangkan satu sama lain. Namun, penekanan yang paling utama untuk sistem pengawasan terhadap Mahkamah Konstitusi terletak pada individual seorang hakim konstitusi.

Hakim konstitusi pada hakikatnya adalah hakim. Seorang hakim tidak saja harus mengurangi bicara, menjaga tingkah laku, tetapi yang terpenting juga menjaga independensi dan imparsialitasnya. Artinya, Mahkamah Konstitusi dalam menjalankan tugas dan wewenang tak terpengaruh siapa pun, lembaga lain, dan dengan cara apapun.

Makna independensi hakim konstitusi adalah terbebas dari campur tangan, tekanan atau paksaan, baik langsung maupun tidak langsung dari kekuasaan lembaga lain, teman ataupun sejawat, atasan serta pihak-pihak lain di luar peradilan. Sehingga hakim konstitusi dalam memutus perkara hanya demi keadilan berdasarkan hukum dan hati nurani. Dalam pandangan Hakim Agung Artidjo Alkostar, tidak ada bangsa yang beradab tanpa adanya pengadilan yang merdeka dan bermartabat. Fungsi pengadilan merupakan salah satu tiang tegaknya negara yang berdaulat. Salah satu elemen pengadilan adalah menyangkut faktor adanya pengadilan yang merdeka (Joko Riyanto, 2011:107).

commit to user

Pasal 24 UUD 1945. Namun, pelaksanaannya diperlukan adanya suatu sistem pengawasan yang baik agar independensi hakim konstitusi tidak tergoyahkan begitu pula dengan sikap hakim yang tidak memihak atau imparsial. Kemerdekaan atau independensi harus dimaknai tetap dalam batas-batas yang ditentukan oleh hukum dan dalam rangka menerapkan hukum secara adil (fair). Kemerdekaan hakim juga berjalan seiring dengan akuntabilitas yang diwujudkan dengan pengawasan. Tetapi tingkat sensivitas kemerdekaan hakim tersebut sangat tinggi karena adanya dua pihak yang secara berlawanan membela hak dan kepentingan pihak-pihak yang bersengketa. Sehingga kemerdekaan hakim disamping merupakan hak yang melekat pada hakim sekaligus juga merupakan prasyarat untuk terciptanya sikap tidak berpihak (impartial) hakim dalam menjalankan tugas peradilan.

Menekankan kembali bahwa independensi kekuasaan kehakiman tidaklah bersifat mutlak, melainkan bentuk akuntabilitas menjadi tuntutan untuk mewujudkan pengawasan yang baik dan bersinergi. Sehingga dapat dikatakan, independensi merupakan hak dan akuntabilitas merupakan kewajiban untuk menyelenggarakan kekuasaan kehakiman yang ideal. Dengan adanya penjagaan terhadap independensi Mahkamah Konstitusi dan kewajibannya untuk melaksanakan akuntabilitas maka memanglah sangat diperlukan pola pengawasan yang komprehensif dan terpadu demi terwujudnya Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga negara modern dan terpercaya.

Untuk mendukung kemandirian dan independensi MK, harus didukung oleh kewenangan untuk mengatur sendiri organisasi, personalia, administrasi dan keuangan yang juga secara mandiri. Kemandirian bersifat struktural dan terutama fungsional, adalah untuk menciptakan kondisi yang memberi kemungkinan yang seluas-luasnya bagi hakim konstitusi melakukan tugas secara imparsial atau netral, yaitu yang disebut prinsip ketidakberpihakan. Prinsip ini merupakan sifat dan sikap yang harus melekat dalam hakikat fungsi hakim pada umumnya dan hakim konstitusi pada

commit to user

perselisihan atau sengketa ketatanegaraan (Maruarar Siahaan, 2008:29).

Dokumen yang terkait

PENGARUH PERIODE CEKAMAN AIR TERHADAP PERTUMBUHAN DAN KANDUNGAN METABOLIT SEKUNDER ROSELA MERAH DAN ROSELA UNGU SKRIPSI untuk memenuhi sebagian persyaratan guna memperoleh derajat Sarjana Pertanian

0 0 47

PenulisanHukum (Skripsi) Disusun dan Diajukan untuk

0 0 48

Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Berat Badan Bayi Saat Lahir di Kota Surakarta Menggunakan Metode Pohon Regresi

1 1 62

PENGEMBANGAN MODEL PERANGKAT PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN KOMUNIKASI MATEMATIS DI SMA Zakaria Pendidikan Matematika, FIKP Untan, Pontianak Email: zakariajkggmail.com Abstrak:Tujuan penelitin ini untuk mengembangkan Model Perangkat

0 1 10

Ika Puji Astuti, Agus Sastrawan Noor, Izhar Salim Program Studi Pendidikan Sosiologi FKIP Untan Pontianak Email :ika pujiastuti888gmail.com Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kontribusi PT Darmex Agro

0 0 13

EFEKTIFITAS PENGGUNAAN MEDIA PEMBELAJARAN LKS PADA MATA PELAJARAN AKUNTANSI KELAS XII IPS SMA Fitri Salpiah, Herkulana, okianna Program Studi Pendidikan Ekonomi FKIP Untan, Pontianak Email :salpiahfitrigmaill.com Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk me

0 0 11

INTERAKSI KERJASAMA REMAJA SANGGAR BORNEO TARIGAS KOTA PONTIANAK Rahmi Sapariyanti, Yohanes Bahari, Nuraini Asriati Program studi pendidikan sosiologi FKIP Untan Pontianak Email : rahmi.sapariyantigmail.com Abstrak : Penelitian ini bertujuan untuk mengeta

0 0 13

Firgiawan Yuda Sajati, Busri Endang, Sri Lestari Program Studi Bimbingan dan Konseling FKIP Untan Pontianak Email : firgiawan.yudagmail.com Abstrak: Bimbingan karir merupakan membantu pribadi untuk mengembangkan

0 0 11

Experts Review yang dijalankan Secara

0 0 8

TUGAS AKHIR - Analisis prinsip 5c dan 7p pada penyaluran kredit di pt. bpr antar rumeksa arta Karanganyar

2 7 73