TINJAUAN PUSTAKA

3. Tinjauan tentang Independensi Kekuasaan Kehakiman

Doktrin terpenting guna tercapainya independensi kekuasaan kehakiman adalah doktrin pemisahan kekuasaan (separation of powers) yang

commit to user

organ negara, melainkan tercipta melalui sistem checks and balances (Susi Dwi Harijanti, 2008:32).

Kekuasaan kehakiman dalam sebuah negara hukum yang demoktratis haruslah mandiri dan terlepas dari campur tangan apa pun dan dari mana pun. Montesquieu menekankan pentingnya kekuasaan yudikatif karena kekuasaan kehakiman yang independen akan menjamin kebebasan individu dan hak asasi manusia. Mengenai perlunya pemisahan kekuasaan kehakiman dari cabang- cabang kekuasaan negara lainnya, Montesquieu mengemukakan bahwa,

kebebasan pun tidak ada jika kekuasaan kehakiman tidak dipisahkan dari kekuasaan legislatif dan kekuasaan eksekutif. Jika kekuasaan kehakiman disatukan dengan kekuasaan legislatif, kekuasaan atas kehidupan dan kebebasan warga negara akan dijalankan sewenang-wenang karena hakim akan menjadi pembuat hukum. Jika kekuasaan kehakiman disatukan dengan kekuasaan eksekutif, hakim bisa menjadi penindas (Sirajudin dan Zulkarnain, 2006:31).

Lebih lanjut oleh Montesquieu menjelaskan pula mengenai independensi peradilan, adalah : bahwa peradilan tidak lain merupakan mulut undang-undang,

sehingga putusan hakim merupakan suatu putusan hukum, bukan dipandang sebagai putusan politik. Putusan pengadilan semata merupakan konkretisasi apa yang dimuat dalam undang-undang, bukan lahir dari tekanan atau lobi politik (Muhammad Nasrun yang dikutip oleh Iriyanto A. Baso Ence, 2008:129).

Independensi peradilan bukanlah sesuatu yang otomatis terjadi karena kekuasaan-kekuasaan di luar pengadilan memiliki potensi mencampuri pelaksanaan fungsi peradilan. Hal ini terlihat pada pemerintahan di Perancis sebelum revolusi Perancis 1789, yakni peradilan merupakan bagian dari kekuasaan yang absolut. Oleh karena itu, peradilan yang tidak independen sangat berbahaya, karena proses peradilan akan secara mudah dimanipulasi untuk mencegah pengadilan mempertanyakan legalitas tindakan-tindakan illegal atau semena-mena oleh para pelaksana kekuasaan negara (Iriyanto A. Baso Ence, 2008:127).

commit to user

mengenai independensi kekuasaan kehakiman yakni: “judicial independence is independence from any external

influence on a judge’s decisions in judicial matters, ensuring [for] the citizens impartial trial according to law. This means that the judge must be protected against the possibility of pressure and other influence by the executive and legislative powers of [the] state as well as by the media, business enterprises, passing popular opinion etc. But it also implies guarantees against influence from within the judiciary itself ” (Jaan Ginter,2010:109).

Berdasarkan prinsip independensi kekuasaan kehakiman yang ada di Negara Amerika Serikat, Charles G. Geyh (2003:159) menjelaskan sebagai berikut:

“Independence” literally means the absence of dependence, which is to say complete autonomy and insusceptibility to external guidance, influence, or control. If we think of judicial independence in literal terms, however, federal judges are not “independent,” at least not as dictionaries define the word. They are not autonomous, because Congress retains ultimate control over their budget, jurisdiction, structure, size, administration, and rulemaking. Moreover, they are susceptible to outside influence; if judges engage in behavior (on or off the bench) that the political branches characterize as criminal, they may be prosecuted and imprisoned; if they make politically unacceptable decisions, the President and Senate may decline to appoint them to higher judicial office; if they commit “high crimes and misdemeanors,” they may be impeached and removed from office; if they make decisions with which higher courts disagree, their decisions may be reversed; and if they engage in behavior that judicial councils regard as misconduct,

they may be disciplined.”

Menurut Jimmly Asshiddiqie ada tiga pengertian independensi, yaitu :

a. Struktural Independence yaitu independensi kelembagaan negara, disini dapat dilihat dari bagan organisasi yang terpisah dari organisasi lain seperti eksekutif dan yudikatif;

b. Functional Independence yaitu independensi yang dilihat dari segi jaminan pelaksanaan fungsi-fungsi kekuasaan kehakiman dari intervensi ekstra yudisial; dan

c. Financial Independence yaitu dilihat dari kemandiriannya menentukan sendiri anggaran yang dapat dijamin kemandiriannya dalam mejalankan

commit to user

IMAN%20YANG%20MERDEKA%20DAN%20MASA%20DEPAN%20P ERADILAN%20AGAMA.pdf).

Kekuasaan kehakiman harus independen dalam arti dapat melaksanakan fungsi kontrol dan menjadi penyeimbang bagi kekuasaan eksekutif dan legislatif. Hal ini sesuai dengan pendapat Shimon Shetreet sebagaimana dikutip oleh Djatmiko Anom Husodo (2011:5) :

the judicial branch will so far as possible avoid intervence with the process of the legislative branch, and, in the absence of spesific authority to do so, will not intervence with legislation. In addition, the judicial branch will exercise self restraints in its intervence with the activities of the executive branch. In return, the executive branch is abliged to act according to the decisions of the judicial branch. In parallel, it is required that the responsibility for court administration will be held jointly by the judicial and executive branch. It is also clear that legislative branch must avoid interfering by way of legislation with the work of the judicial branch and its authority.

Oleh Shimon Shetreet yang dikutip oleh Djatmiko Anom Husodo (2011:6) bahwa secara teoritis, konsep independensi dapat dikategorikan menjadi dua bagian yaitu :

a. The independence of the individual judges

1) Substantive independence, yaitu dalam membuat keputusan dan menjalankan tugasnya, hakim hanya tunduk pada hukum. Hakim harus bebas dari encroachment (gangguan) dari lembaga eksekutif dan legislatif.

2) Personal independence, yaitu bahwa undang-undang, tradisi-tradisi peradilan serta kebiasaan-kebiasaan untuk meningkatkan independensi individu hakim dalam masa jabatan dan kedudukannya yang bersifat tetap.

b. The collective independence of the judiciary as a body Independensi badan yudisial, yaitu sejauhmana pengadilan secara keseluruhan ditopang dengan administrasi pengadilan yang mampu menegakkan independensinya.

commit to user

mempunyai dua arti penting, yakni pertama, penerapan prinsip keadilan tanpa memandang status para pihak yang berperkara. Kedua, prinsip independensi ini menjadi penting manakala pemerintah merupakan salah satu pihak yang berperkara. Dengan berdasarkan pada kedua hal tersebut maka dua karakteristik dapat ditemukan dalam independensi kehakiman, yakni impartiality dan political insularity (Susi Dwi Harijanti, 2008 :33).

Berdasarkan dari dua karakteristik di atas, Christopher M. Larkins bahwa independensi kehakiman adalah (a)The degree to which judges ... decide [ cases ] consistent with ...

their interpretation of the law, (b) in opposition to what others who are perceived to have political or judicial power, think about or desire in like matters, and (c) particularly when a decision averse to the beliefs or desires of those with political or judicial power may bring some retribution on the judges personally or on the power of the court (Becker yang dikutip oleh Susi Dwi Harijanti, 2008:33).

Oleh karena itu, Christopher M. Larkins mendefinisikan independensi kehakiman sebagai ... the existence of judges who are not manipulated for political gain,

who are impartial towards parties of a dispute, and who form a judicial branch which has the power as an institution to regulate yhe legality of government behavior, enact neutral justice, and determine significant constitutional and legal values (Susi Dwi Harijanti, 2008:34).

Kemudian oleh Alexis de Tocqueville memberi tiga ciri pelaksanaan kekuasaan kehakiman yang independen. Pertama, kekuasaan kehakiman di semua negara merupakan

pelaksana fungsi peradilan, dan pengadilan hanya bekerja bila ada pelanggaran hukum atau hak warga negara tanpa ada satu kekuasaan lainnya dapat melakukan intervensi.

Kedua, fungsi peradilan hanya berlangsung kalau ada kasus pelanggaran hukum yang khusus. Hakim masih dalam koridor pelaksanaan tugasnya, jika memutus suatu perkara menolak menerapkan prinsip yang berlaku umum. Akan tetapi, jika hakim menolak menaati prinsip-prinsip yang berlaku umum dan tidak dalam kondisi memeriksa suatu perkara, hakim dapat dihukum atas dasar pelanggaran tersebut.

commit to user

adanya sengketa yang diatur dalam hukum. Jika suatu putusan berujung pada terbuktinya suatu kejahatan yang keji, pelakunya dapat dihukum (Iriyanto A. Baso Ence, 2008:127).

Kekuasaan kehakiman yang independen seharusnya tetap terjaga, sehingga badan-badan peradilan diyakini dapat mandiri menegakkan hukum dan keadilan di Indonesia. Berkenaan dengan independen badan peradilan ini, R Subekti berpandangan :

bahwa kebebasan hakim yang menjadi sendi peradilan yang baik tidak saja dalam hal larangan untuk mempengaruhi kekuasaan kehakiman oleh pihak lain, tetapi Mahkamah Agung juga dilarang campur tangan terhadap pengadilan di bawahnya yang sedang memeriksa dan memutus suatu perkara (Iriyanto A. Baso Ence, 2008 : 128).

Muhammad Nasrun mendeskripsikan realitas bahwa tekanan kepada para hakim dapat berupa intimidasi atau ancaman fisik maupun tekanan melalui media massa. Tekanan ini datang dari kelompok politik maupun pihak-pihak yang diperiksa di persidangan. Adanya tekanan kepada hakim tersebut membuka peluang bagi ketidaknetralan hakim dalam memeriksa suatu perkara (Iriyanto. A. Baso. Ence, 2008:130).

Oleh karena itu, menurut Shimon Shetreet yang dikutip oleh Susi Dwi Harijanti (2008:32) bahwa proses peradilan yang baik akan sangat bergantung pada beberapa nilai fundamental, yaitu proses penyelenggaraan pengadilan yang wajar (procedural fairnes), efisiensi, aksesibilitas, kepercayaan masyarakat terhadap pengadilan serta independensi kekuasaan kehakiman. Prinsip tentang independensi kekuasaan kehakiman merupakan salah satu sentral dalam proses peradilan.

Prinsip atas jaminan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka pada dasarnya adalah menempatkan kekuasaan kehakiman yang lepas dan bebas dari pengaruh kekuasaan lainnya untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Mengacu pada teori trias politica yang dikemukakan oleh Monstesquieu, bahwa agar tidak terjadi pemusatan

commit to user

dalam fungsi legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Oleh karena itu, masing- masing lembaga negara yang menjalankan fungsi di atas tidak boleh saling mempengaruhi dan mengintervensi. Masing-masing lembaga tersebut di atas berinteraksi dalam hubungan yang dikembangkan secara seimbang melalui mekanisme checks and balances. Melalui mekanisme checks and balances tersebut, ketiga cabang kekuasaan legislatif, eksekutif dan judisial yang tercermin dalam tiga lembaga tersebut dapat saling mengendalikan dan saling mengimbangi, sehingga tidak terjadi kesewenang-wenangan di antara satu sama lain (Djatmiko Anom Husodo, 2011:8).

4. Tinjauan tentang Pengawasan

Secara teoritik, istilah pengawasan dikenal dan dikembangkan dalam ilmu manajemen karena pengawasan merupakan salah satu unsur dalam kegiatan pengelolaan.

Dalam kaitannya dengan pengertian pengawasan terdapat berbagai macam pengertian. Syafiie sebagaimana dikutip oleh W. Riawan Tjandra (2006:131) mengidentifikasikan pengertian pengawasan menurut dari beberapa ahli sebagai berikut:

a) Lyndal F. Urwick, pengawasan adalah upaya agar sesuatu dilaksanakan sesuai dengan peraturan yang telah ditetapkan dan instruksi yang dikeluarkan.

b) Sondang Siagian, pengawasan adalah proses pengamatan pelaksanaan seluruh kegiatan organisasi untuk menjamin agar semua pekerjaan yang dilaksanakan sesuai dengan rencana yang telah ditemukan sebelumnya.

c) George R Terry, pengawasan adalah proses penentuan apa yang harus dicapai yaitu standar, apa yang sedang dilakukan, yaitu menilai pelaksanaan dan bila perlu melakukan perbaikan-perbaikan sehingga pelaksanaan sesuai dengan rencana yaitu selaras dengan standar.

commit to user

kegiatan untuk menjamin (to ensure ) jalannya pekerjaan dengan demikian, dapat selesai secara sempurna (accomplished) sebagaimana yang direncanakan sebelumnya dengan pengoreksian beberapa pemikiran yang saling berhubungan.

e) David Granick, pengawasan pada dasarnya memiliki tiga fase yaitu; fase legislatif, fase administratif, dan fase dukungan.

f) Abdurrahman, menguraikan ada beberapa faktor yang membantu pengawasan dan mencegah berbagai kasus penyelewengan serta penyalahgunaan wewenang, yaitu filsafat yang dianut suatu bangsa tertentu, agama yang mendasari seorang tersebut, kebijakan yang dijalankan, anggaran pembiayaan yang mendukung, penempatan pegawai dan prosedur kerjanya, serta kemantapan koordinasi dalam organisasi.

Sementara oleh Henry Fayol menyatakan bahwa control consists in veryvying wether everything occur in conformity with the plan adopted, the instruction issued, and principle established. It has for object to point out weaknesses in error in order to rectivy then and prevent recurrence (Sirajuddin dan Zulkarnain, 2006:88).

Dari pengertian ini dapat dilihat bahwa pengawasan hakikatnya merupakan suatu tindakan menilai apakah sesuatu telah berjalan sesuai dengan yang telah ditentukan. Dengan pengawasan tersebut akan dapat ditemukan kesalahan-kesalahan. Kesalahan-kesalahan tersebut akan dapat diperbaiki dan yang terpenting jangan sampai kesalahan tersebut terulang kembali.

Pengawasan pada dasarnya diarahkan sepenuhnya untuk menghindari adanya kemungkinan penyelewengan atau penyimpangan atas tujuan yang akan dicapai. Melalui pengawasan diharapkan dapat membantu melaksanakan kebijakan yang telah ditetapkan untuk mencapai tujuan yang telah direncanakan secara efektif dan efisien. Bahkan, melalui pengawasan tercipta suatu aktivitas yang berkaitan erat dengan penentuan atau evaluasi mengenai sejauhmana pelaksanaan kerja sudah dilaksanakan. Pengawasan juga dapat

commit to user

penyimpangan yang terjadi dalam pelaksanaan kerja tersebut (Dian Puji N. Simatupang, 2004:1).

Sementara itu, Newman berpendapat bahwa control is assurance that the performance conform to plan . Ini berarti bahwa titik berat pengawasan adalah suatu usaha untuk menjamin agar pelaksanaan suatu tugas dapat sesuai dengan rencana. Dengan demikian, menurut Newman, pengawasan adalah suatu tindakan yang dilakukan selama proses suatu kegiatan sedang berjalan, bahkan setelah akhir proses tersebut (Sirajuddin dan Zulkarnain, 2006:89).

Menurut Stephen Robein dalam bukunya The Adminstration Process, Dalam suatu negara terutama negara yang sedang berkembang atau membangun, kontrol atau pengawasan sangat penting, yang dalam pelaksanaannya pengawasan dilakukan secara vertikal, horizontal, eksternal, internal, preventif maupun refresif agar maksud dan tujuan yang telah ditetapkan tercapai dan tepat sasaran. Oleh karena itu, untuk mencapai tujuan negara atau organisasi, maka dalam hal pengawasan dapat pula diklasifikasikan macam-macam pengawasan berdasarkan berbagai hal, yakni :

a. Pengawasan Langsung dan Pengawasan Tidak Langsung

1) Pengawasan Langsung Pengawasan langsung adalah pengawasan yang dilakukan secara pribadi oleh pimpinan atau pengawas dengan mengamati, meneliti, memeriksa, mengecek sendiri secara langsung di tempat pekerjaan dan menerima laporan-laporan secara langsung pula dari pelaksanaan.

2) Pengawasan Tidak Langsung Pengawasan tidak langsung yaitu diadakan dengan mempelajari laporan- laporan yang diterima dari pelaksana baik lisan maupun tulisan, mempelajari pendapat-pendapat masyarakat dan sebagainya. Tanpa pengawasan di tempat pekerjaan

commit to user

b. Pengawasan Preventif dan Represif

1) Pengawasan Preventif Pengawasan preventif dilakukan melalui preaudit sebelum pekerjaan dimulai. Misalnya, dengan melakukan pengawasan terhadap persiapan- persiapan, rencana kerja, rencana anggaran, rencana penggunaan tenaga dan sumber-sumber lainnya.

2) Pengawasan Represif Pengawasan represif dilakukan melalui post audit, dengan pemeriksaan terhadap pelaksanaan di tempat (inspeksi), meminta laporan pelaksanaan dan sebagainya.

c. Pengawasan Intern dan Ekstern

1) Pengawasan Intern Pengawasan intern adalah pengawasan yang dilakukan oleh aparat dalam organisasi itu sendiri. Pada dasarnya pengawasan harus dilakukan oleh kepala pimpinan sendiri. Akan tetapi, didalam kenyataannya hal ini tidak selalu dilakukan oleh pimpinan pusat. Oleh karena itu, setiap pimpinan unit dalam organisasi pada dasarnya berkewajiban membantu kepala pimpinan pusat mengadakan pengawasan secara fungsional sesuai dengan bidang tugasnya masing-masing. Pengawasan sebagai fungsi organik, built-in pada setiap jabatan pimpinan mereka harus mengawasi unit khusus yang membantu dan atas nama kepala pimpinan melakukan pengawasan terhadap keseluruhan aparat dalam organisasi tersebut.

2) Pengawasan Ekstern Pengawasan ekstern adalah pengawasan oleh aparat dari luar organisasi sendiri, seperti halnya pengawasan terhadap kinerja pemerintah oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) (http://elib.unikom.ac.id/download .php?id=6322 diakses pada tanggal 30 April 2012 pukul 20:48 WIB).

commit to user

dipilah dalam dua kategori, yaitu kontrol internal dan kontrol eksternal. Menurut Deny B.C. Harindja menyatakan bahwa dalam mekanisme internal, pengawasan dilakukan oleh perangkat-perangkat dalam organisasi yang berfungsi pengawasan. Dalam hal ini, pengawasan dilakukan seorang atasan kepada bawahan (pengawasan melekat) dikategorikan sebagai pengawasan melalui mekanisme internal. Adapun dalam mekanisme eksternal, pengawasan dilakukan oleh organ-organ dengan fungsi pengawasan yang kedudukannya terlepas dari anggota atau organisasi yang diawasi (Anthon F. Susanto, 2004:52).

Pendapat lebih rinci dikemukakan Cristine, Meininger, dan Lebreton bahwa tinjauan/laporan tentang cara administrasi (administration review of proceedings ), peran inspektorat pemerintah (the role of government inspectorats ), dengan kontrol keuangan (financial control) sebagai mekanisme internal yang dapat disarankan adalah kontrol lembaga peradilan (judicial control ), kontrol parlementer (parlementery control), dan pengawasan oleh anggota-anggota masyarakat terhadap administrasi (supervisory control of administration by members of the public ) (Anthon F. Susanto, 2004:52-53).

commit to user

B. Kerangka Pemikiran

Gambar 1. Kerangka Pemikiran

Keterangan : Melalui kerangka pemikiran di atas, maka penulis akan

memberikan jawaban atas permasalahan dalam penulisan hukum ini. Alur berpikir dimulai dari amanat konstitusi Negara Indonesia, yakni Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Pasal

24 ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Berdasarkan pasal tersebut

PASAL 24 C

Peraturan Perundang-Undangan

MAHKAMAH KONSTITUSI

Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Konstitusi

Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Independensi Kekuasaan Kehakiman

PENGAWASAN HAKIM

KONSTITUSI

PASAL 24 AYAT (1)

commit to user

sifat independen, imparsial dan akuntabel. Salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman di Indonesia sesuai

amanat amandemen ketiga UUD 1945 ialah Mahkamah Konstitusi. Untuk menjalankan tugas dan fungsinya, MK sebagai lembaga pengawal dan penjaga konstitusi harus didukung oleh pondasi hakim konstitusi yang kokoh sebagaimana termaktub dalam Pasal 24 C ayat (5) UUD 1945 bahwa hakim konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan serta tidak merangkap merangkap sebagai pejabat negara.

Terkait dengan hakim konstitusi dalam menjalankan kewenangannya, berbagai peraturan perundang-undangan seperti Undang- Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan khususnya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi mengatur mengenai pengawasan terhadap hakim konstitusi. Pengawasan secara internal pun dibentuk dengan adanya Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Konstitusi dan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi.

Untuk membentuk badan peradilan yang independen, diperlukan adanya suatu sistem pengawasan hakim konstitusi sehingga dalam menjalankan kewenangannya sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan di dalam masyarakat, mengingat Mahkamah Konstitusi adalah lembaga peradilan satu-satunya yang menguji undang-undang terhadap Undang- Undang Dasar yang putusannya bersifat final dan mengikat. Dari hal tersebut, akan dikaji secara lebih mendalam sistem pengawasan hakim konstitusi saat ini berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan bagaimana yang ideal sehingga dalam proses penyelenggaraan persidangan di Mahkamah Konstitusi dapat mewujudkan prinsip independensi kekuasaan kehakiman.

commit to user

37

Dokumen yang terkait

PENGARUH PERIODE CEKAMAN AIR TERHADAP PERTUMBUHAN DAN KANDUNGAN METABOLIT SEKUNDER ROSELA MERAH DAN ROSELA UNGU SKRIPSI untuk memenuhi sebagian persyaratan guna memperoleh derajat Sarjana Pertanian

0 0 47

PenulisanHukum (Skripsi) Disusun dan Diajukan untuk

0 0 48

Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Berat Badan Bayi Saat Lahir di Kota Surakarta Menggunakan Metode Pohon Regresi

1 1 62

PENGEMBANGAN MODEL PERANGKAT PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN KOMUNIKASI MATEMATIS DI SMA Zakaria Pendidikan Matematika, FIKP Untan, Pontianak Email: zakariajkggmail.com Abstrak:Tujuan penelitin ini untuk mengembangkan Model Perangkat

0 1 10

Ika Puji Astuti, Agus Sastrawan Noor, Izhar Salim Program Studi Pendidikan Sosiologi FKIP Untan Pontianak Email :ika pujiastuti888gmail.com Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kontribusi PT Darmex Agro

0 0 13

EFEKTIFITAS PENGGUNAAN MEDIA PEMBELAJARAN LKS PADA MATA PELAJARAN AKUNTANSI KELAS XII IPS SMA Fitri Salpiah, Herkulana, okianna Program Studi Pendidikan Ekonomi FKIP Untan, Pontianak Email :salpiahfitrigmaill.com Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk me

0 0 11

INTERAKSI KERJASAMA REMAJA SANGGAR BORNEO TARIGAS KOTA PONTIANAK Rahmi Sapariyanti, Yohanes Bahari, Nuraini Asriati Program studi pendidikan sosiologi FKIP Untan Pontianak Email : rahmi.sapariyantigmail.com Abstrak : Penelitian ini bertujuan untuk mengeta

0 0 13

Firgiawan Yuda Sajati, Busri Endang, Sri Lestari Program Studi Bimbingan dan Konseling FKIP Untan Pontianak Email : firgiawan.yudagmail.com Abstrak: Bimbingan karir merupakan membantu pribadi untuk mengembangkan

0 0 11

Experts Review yang dijalankan Secara

0 0 8

TUGAS AKHIR - Analisis prinsip 5c dan 7p pada penyaluran kredit di pt. bpr antar rumeksa arta Karanganyar

2 7 73