Sistem pengawasan hakim konstitusi yang ideal untuk mewujudkan prinsip independensi kekuasaan kehakiman

UNTUK MEWUJUDKAN PRINSIP INDEPENDENSI KEKUASAAN KEHAKIMAN

Oleh :

Penulisan Hukum

(Skripsi)

Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Sebagai Persyaratan Guna Memperoleh Derajat Sarjana S1 dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta

Oleh : TRISNA DELNIASARI NIM E 0008250 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2012

commit to user

ii

commit to user

iii

commit to user

iv

Nama

: Trisna Delniasari

NIM

: E 0008250

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penulisan hukum (skripsi) berjudul :

SISTEM PENGAWASAN HAKIM KONSTITUSI YANG IDEAL UNTUK MEWUJUDKAN PRINSIP INDEPENDENSI KEKUASAAN KEHAKIMAN

adalah betul-betul karya sendiri. Hal-hal yang bukan karya saya dalam penulisan hukum (skripsi) ini diberi tanda citasi dan ditunjukkan dalam daftar pustaka. Apabila dikemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan penulisan hukum (skripsi) dan gelar yang saya peroleh dari penulisan hukum (skipsi) ini.

Surakarta, Mei 2012 Yang membuat pernyataan

Trisna Delniasari NIM.E0008250

commit to user

Jadikanlah sabar dan sholat sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah beserta orang-

orang yang sabar (QS. Al-Baqarah:153).

Manusia tidak dituntut kesempurnaan dalam hidupnya, tetapi dituntut agar kehidupannya hari ini lebih baik daripada kehidupannya kemarin (Firmansyah Adilah).

Perhatikan masa lalu dan masa depanmu. Hidup adalah ujian yang datang silih berganti, seseorang hendaknya mampu keluar dari ujian itu sebagai pemenang

(DR. Aidh al-Qarni).

Kesuksesan bukan dilihat dari hasil melainkan dari proses menuju kesuksesan itu (Penulis).

commit to user

vi

Dengan mengucapkan syukur, Penulis mempersembahkan karya ini kepada :

Allah SWT yang memberikan hidup dan jalan penerang bagi setiap umat yang beriman dan bertakwa.

Bapak Roesbandi dan Ibu Titiek Purwiati, tak pernah lelah memberikan cinta dan kasih sayang yang selalu tercurah kepada Penulis.

Keluarga besarku, Mbak Desi Erisandy, Mas Ade Kurniawan, Mas Agus Wijanarko, Mbak Septina Dewi, dan adik-adik kecilku Agnes, Agni, Omar dan Asqhar. Semoga

keluarga kita selalu diberkahi Allah SWT. Amin.

Almamater Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret tercinta.

commit to user

vii

Trisna Delniasari. E 0008250. SISTEM PENGAWASAN HAKIM

KONSTITUSI YANG IDEAL UNTUK MEWUJUDKAN PRINSIP INDEPENDENSI KEKUASAAN KEHAKIMAN. Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perlunya pengawasan terhadap hakim konstitusi dikaitkan dengan prinsip independensi kekuasaan kehakiman serta untuk mengetahui sistem pengawasan hakim konstitusi yang ideal untuk mewujudkan prinsip independensi kekuasaan kehakiman.

Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normatif. Penelitian hukum ini bersifat preskriptif. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perundang- undangan, pendekatan konseptual dan pendekatan perbandingan. Sumber bahan hukum menggunakan bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang berkaitan dengan isu hukum yang dikaji. Bahan hukum primer berupa peraturan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim sedangkan bahan hukum sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan dokumen resmi. Teknik pengumpulan data menggunakan studi pustaka baik dari media cetak maupun media elektronik (internet) serta teknik analisis yang digunakan adalah logika deduktif,

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dihasilkan kesimpulan bahwa diperlukan pengawasan terhadap hakim konstitusi karena kewenangan yang diberikan UUD 1945 kepada Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia menyangkut masalah konstitusional bangsa dan negara Indonesia. Untuk menghindari pengaruh-pengaruh atan ancaman-ancaman yang dapat mengganggu kemandirian atau independensi kekuasaan kehakiman Mahkamah Konstitusi maka sistem pengawasan hakim konstitusi menjadi perhatian dan agenda utama untuk menyelenggarakan proses peradilan yang berwibawa dan bermartabat. Selain itu, diperlukan sistem pengawasan hakim konstitusi yang ideal untuk mewujudkan prinsip independensi kekuasaan kehakiman. Sistem pengawasan hakim konstitusi selain menggunakan mekanisme secara internal yakni Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi juga dengan pengawasan secara eksternal yang dilakukan oleh lembaga pengawas eksternal yakni Komisi Yudisial. Keduanya berdasarkan Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi. Hal ini dimaknai bahwa penguatan prinsip independensi kekuasaan kehakiman dapat dilakukan jika pengawasan terhadap hakim konstitusi lebih baik, komprehensif dan terpadu.

Kata Kunci: Pengawasan, Hakim Konstitusi, Independensi Kekuasaan Kehakiman.

commit to user

viii

Trisna Delniasari, E 0008250, THE IDEAL CONTROL SYSTEM OF CONSTITUTIONAL JUDGES TO REALIZE THE PRINCIPLE OF JUDICIAL INDEPENDENCE. Faculty Of Law Of Sebelas Maret University Surakarta.

This legal research aims to find out the need for oversight of constitutional judges that is associated with the principle of judicial independence and to find out the ideal control system of constitutional judges for realizing the principle of independence.

This type of legal research is a normative, prescriptive nature of research. The approach used is a statute, conceptual and comparative approach. The sources of legal materials using primary law secondary legal materials that is relating to the legal issues that were examined. The legal research source from primary law material consisted of legislation and judge’s verdicts as well as secondary law material constituting all publications about the law not belonging to official document. The collection techniques using literature study and the used of analytical techniques is deductive logic.

Based on the results of research and discussion that the constitution required the control of constitutional judges because of the authority given to the UUD 1945 to the Constitutional Court of the Republic of Indonesia concerning the constitutional problems of public interest in Indonesia. To avoid the effects or threats that may interfere with the judicial independence especially for the Constitutional Court, so constitutional judges control system becoming urgent to organize the process of judicial authority and dignity. In addition, it is needed for the ideal control system of constitutional judges for realizing the principle of judicial independence. The system of constitutional judges control using the internal mechanism of the Honorary Council of the Constitutional Court and should external oversight by an external regulatory agency that is the Judicial Commission. Both of them are based on the Code of Ethics and Code of Conduct. It is understood that the strengthening of the principle of judicial independence can be implemented if the control of the constitutional judges is better, comprehensive and integrated.

Keywords: the Control System, Constututional Judges, Judicial Independence.

commit to user

ix

Assalamualaikum Wr. Wb.

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat dan karuniaNya, serta sholawat dan salam senantiasa penulis haturkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW beserta keluarga dan sahabat-sahabatnya karena bimbingan dan suri tauladan dari Beliau kita mendapatkan pencerahan dalam kehidupan ini, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul :

SISTEM PENGAWASAN HAKIM KONSTITUSI YANG IDEAL UNTUK MEWUJUDKAN PRINSIP INDEPENDENSI KEKUASAAN KEHAKIMAN.

Penyusunan skripsi ini bertujuan untuk memenuhi syarat memperoleh gelar kesarjanaan dalam ilmu hukum di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Penyusunan skripsi ini dapat terselesaikan karena adanya bantuan, bimbingan, dorongan, saran dan nasehat dari berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada :

1. Ibu Prof. Dr Hartiwiningsih, S.H.,M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.

2. Ibu Madalina, S.H.,M.Hum selaku Ketua Bagian Hukum Tata Negara, Pembimbing I skripsi ini sekaligus Pembimbing Akademik, yang telah membantu Penulis untuk menyelesaikan masa studi di FH UNS.

3. Bapak Isharyanto S.H,M.Hum selaku Dosen Pembimbing II yang telah membantu Penulis untuk menyempurnakan skripsi ini.

4. Bapak Muhammad Rustamaji S.H.,M.H selaku pembimbing KSP “Principium” yang telah memberikan bantuan untuk membimbing mengenai penulisan dan penelitian hukum selama menjadi keluarga di KSP “Principium”.

commit to user

penulis sehingga penulis dapat tegar dalam menjalani hidup serta kakak-kakak penulis, Mbak Desy Erisandi, Mas Ade Kurniawan, Mas Agus Wijanarko, Mbak Septina dan sahabat-sahabat kecilku Agnes, Agni, Omar dan Asqhar yang memberikan kebahagiaan dan canda tawanya kepada Penulis.

6. Teman-teman satu perjuangan Nur Salmi, Wulan (Sapong), Helena Irma, kalian memberikan arti persahabatan yang sesungguhnya bagi Penulis.

7. Keluarga besar KSP “Principium” FH UNS, Mas Yovi, Mbak Aya, Mbak Citra Debi, Mas Beni, Mas Tejo, Mas Rian, Mbak Aryani, Mas Aji, teman-teman seangkatan Dyah NA, Maya, Ardani, Ifah, Atika, serta adik-adikku Miqdad, Citra Widi, Mia, Dina, Indra dan teman-teman lainnya yang tidak bisa disebutkan satu per satu, kalian memberikan pengalaman dan pembelajaran yang berharga bagi penulis.

8. Teman-teman magang satu tim di Mahkamah Konstitusi, Dwi Murni, Kharisma Ratu, Raditya, Asri Triaji, Rio Satriawan, Yusuf, Mas Gegana, lanjutkan perjuangan kawan.

9. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah memberikan bantuannya bagi penulis dalam penyelesaian penulisan hukum ini. Penulis menyadari bahwa dalam skripsi ini masih jauh dari sempurna, untuk itu penulis berharap kritik dan saran dari pembaca. Akhirnya penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak, khususnya bagi penulis dan para pembaca pada umumnya. Akhir kata, penulis mengucapkan terima kasih dan semoga apa yang penulis susun dalam skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Amin.

Surakarta, Mei 2012 Penulis,

Trisna Delniasari

commit to user

xii

A. Perlunya Pengawasan Hakim Konstitusi dikaitkan dengan Prinsip Independensi Kekuasaan Kehakiman ...................................................... 37

B. Sistem Pengawasan Hakim Konstitusi yang Ideal untuk Mewujudkan Prinsip Independensi Kekuasaan Kehakiman .......................................... 59

BAB IV PENUTUP .......................................................................................... 76

A. Kesimpulan ............................................................................................. 76

B. Saran ........................................................................................................ 79

DAFTAR PUSTAKA

commit to user

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) telah merubah sistem ketatanegaraan Indonesia. Munculnya lembaga-lembaga negara hasil perubahan tersebut menegaskan bahwa Negara Indonesia ingin memperbaiki struktur dan fungsi kelembagaan secara keseluruhan. Lembaga-lembaga negara tersebut mencerminkan kekuasaan yang dibagi menjadi tiga, yakni kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif.

Salah satu cabang kekuasaan yang sangat signifikan terkait penegakan hukum di Indonesia ialah kekuasaan yudikatif. Menurut Montesquieu, organ- organ negara secara struktural harus dibedakan dan dipisahkan agar tidak saling mencampuri urusan masing-masing sehingga untuk kekuasaan yudikatif hanya dilakukan oleh lembaga yudikatif (Jimmly Asshiddiqie, 2006:15). Berdasarkan Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 disebutkan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.

Hal utama yang menjadi pioneer dalam tegaknya konstitusi adalah Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Konstitusi adalah lembaga pelaksana kekuasaan kehakiman disamping Mahkamah Agung, yang khusus menangani peradilan ketatanegaraan atau peradilan politik sebagaimana kewenangannya diatur dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, yakni menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Kemudian dalam ayat (2) tersebut bahwa Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan

commit to user

Dasar. UUD 1945 menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum, salah

satu prinsip pentingnya adalah jaminan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka, bebas dari pengaruh kekuasaan lainnya untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan (Kuntoro Basuki, 2008:47). Disebutkan dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.

Kekuasaan kehakiman tentunya dilaksanakan oleh hakim-hakim yang memiliki kapabilitas serta moral yang tinggi dan kebebasannya dijamin oleh konstitusi. Namun, Sudikno Mertokusumo menyatakan bahwa kebebasan hakim dalam menjalankan wewenang yudisialnya tidaklah bersifat mutlak karena tugas hakim adalah menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, sehingga putusannya mencerminkan keadilan dalam masyarakat sehingga kebebasan hakim dibatasi oleh kepentingan para pihak dan ketertiban umum (Kunthoro Basuki, 2008:48). Hal demikian harus diimplementasikan agar penyelenggaraan proses peradilan dapat mewujudkan nilai-nilai fundamental yakni proses peradilan yang terselenggara secara wajar, efisiensi, aksesibilitas, kepercayaan masyarakat terhadap pengadilan serta independensi kekuasaan kehakiman (Susi Dwi Harijanti, 2008:32).

Berkaitan dengan Mahkamah Konstitusi sebagai pelaksana kekuasaaan kehakiman, maka Mahkamah Konstitusi harus pula mewujudkan proses peradilan yang bebas dan merdeka. Mengingat identitas kelembagaan Mahkamah Konstitusi sebagai pengadilan tunggal, tidak ada pertingkatan di dalamnya yang dapat digunakan sebagai mekanisme banding (Muchammad Ali Safaat, 2010:32). Oleh karena itu, proses penyelenggaraan kekuasaan kehakiman di Mahkamah

commit to user

atau kekuasaan. Untuk mendukung Mahkamah Konstitusi yang bebas dan merdeka guna

menegakkan hukum dan keadilan, haruslah memiliki figur hakim konstitusi yang bersih, independen dan imparsial. Sehingga mekanisme pengawasan terhadap hakim konstitusi diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, dan diatur pula dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Mekanisme pengawasan tersebut dilakukan secara internal oleh Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi berdasarkan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Konstitusi. Hal tersebut disebabkan hakim konstitusi dituntut harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan, serta tidak merangkap sebagai pejabat negara sebagaimana diatur dalam Pasal 24C ayat (5) UUD 1945.

Terdapat dua putusan Mahkamah Konstitusi yang berkaitan dengan pengawasan hakim konstitusi yang membatalkan pasal dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial dan membatalkan beberapa pasal dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang- Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang dimohonkan judicial review . Pertama, putusan perkara Nomor 005/PUU-IV/2006 menyatakan bahwa kewenangan Komisi Yudisial (KY) dalam pengawasan hanyalah sebatas perilaku hakim tidak pada teknik yustisial ataupun administratif peradilan maupun dengan mengawasi putusan dan hakim konstitusi bukanlah obyek pengawasan Komisi Yudisial. Putusan ini didaasarkan pada tiga pendapat utama, yakni : penafsiran sistematis dan original intent bahwa perumusan dalam UUD 1945 tidak memasukkan hakim konstitusi sebagai salah satu obyek pengawasan Komisi Yudisial dan ketentuan tentang KY diletakkan sesudah ketentuan tentang MA dan sebelum MK; hakim konstitusi bukan merupakan hakim biasa melainkan dipilih oleh DPR, Presiden dan Mahkamah Agung dan tidak melibatkan KY; dan apabila

commit to user

kewenangan lembaga negara yang melibatkan KY, MK tidak mungkin memutus. Kedua, putusan perkara Nomor 49/PUU-IX/2011 menyatakan bahwa salah satunya membatalkan pasal yang terkait dengan pengisian anggota Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi yang merupakan unsur dari DPR, Pemerintah, Komisi Yudisial, hakim agung dan hakim konstitusi. Pertimbangan hukum dalam putusan ini adalah agar Mahkamah Konstitusi tetap menjaga sifat independensinya. Akibat adanya kedua putusan tersebut maka sistem pengawasan hakim konstitusi tetap pada sistem pengawasan secara internal tanpa melibatkan unsur lembaga pengawas eksternal, yakni Komisi Yudisial.

Namun kembali lagi, hakim konstitusi juga harus tetap mengedepankan independensi meskipun pengisian jabatannya dipilih oleh Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Mahkamah Agung (MA). Untuk dapat mewujudkannya, pengawasan terhadap hakim konstitusi perlu dilakukan agar tetap menjamin hak konstitusional warga negara yang dilanggar. Menurut A. Irmanputra Sidin (2008:78) bahwa pengawasan hakim menjadi keniscayaan untuk dilakukan dan hal ini diakui secara universal oleh UN Basic Principles On Independence of the Judiciary 1985 dan The Bangalore Principles of Judicial Conduct 2002.

Mengingat bahwa salah satu proses peradilan Mahkamah Konstitusi objectum litis -nya adalah masalah konstitusionalitas undang-undang yang lebih menyangkut kepentingan publik yang dijamin oleh konstitusi sebagai hukum tertinggi (supreme law), bukan semata-mata kepentingan individual sehingga dibutuhkan pertanggungjawaban yang begitu besar. Begitu pula, terhadap kewenangan untuk menyelesaikan sengketa pemilihan umum kepala daerah yang rentan terhadap praktik judicial corruption. Sebagaimana peristiwa yang pernah menggemparkan Mahkamah Konstitusi tahun 2011 yang lalu yakni terjadinya praktik suap terhadap hakim konstitusi sehingga menimbulkan pertanyaan apakah Mahkamah Konstitusi masih bersih? Perlu diketahui pula bahwa di komunitas pegiat hukum sudah muncul kecemasan bahwa Mahkamah Konstitusi seakan-

commit to user

dalam bidang konstitusi karena posisi konstitusional putusan-putusannya yang final dan banding. Oleh karena itu, pengawasan dilakukan juga terhadap perilaku hakim konstitusi agar martabat kehormatan dan kenegarawanannya senantiasa terjaga.

Berdasarkan pemaparan di atas, maka penulis bermaksud untuk mengkaji lebih mendalam mengenai pengawasan hakim konstitusi dikaitkan dengan independensi kekuasaan kehakiman di Indonesia melalui penulisan hukum yang

berjudul “SISTEM PENGAWASAN HAKIM KONSTITUSI YANG IDEAL UNTUK MEWUJUDKAN PRINSIP INDEPENDENSI KEKUASAAN

KEHAKIMAN”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan sebelumnya, penulis merumuskan permasalahan untuk dikaji lebih mendalam. Adapun beberapa permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah :

1. Mengapa diperlukan pengawasan terhadap hakim konstitusi dikaitkan dengan prinsip independensi kekuasaan kehakiman ?

2. Bagaimana sistem pengawasan hakim konstitusi yang ideal untuk mewujudkan prinsip independensi kekuasaan kehakiman ?

C. Tujuan Penelitian

Dalam suatu penelitian pada dasarnya memiliki suatu tujuan tertentu yang hendak dicapai. Tujuan penelitian juga harus jelas sehingga dapat memberikan arah dalam pelaksanaan penelitian tersebut. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Tujuan Obyektif

a. Untuk menjelaskan perlunya pengawasan terhadap hakim konstitusi dikaitkan dengan prinsip independensi kekuasaan kehakiman.

commit to user

mewujudkan prinsip independensi kekuasaan kehakiman.

2. Tujuan Subyektif

a. Untuk memperluas wawasan, pengetahuan dan kemampuan penulis dalam mengkaji masalah di bidang hukum tata negara khususnya terkait pengawasan hakim konstitusi di Mahkamah Konstitusi.

b. Untuk memenuhi persyaratan akademis guna memperoleh gelar S1 dalam bidang Ilmu Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret.

D. Manfaat Penelitian

Penulis berharap bahwa kegiatan penelitian dalam penulisan hukum ini akan bermanfaat bagi penulis maupun orang lain. Adapun manfaat yang dapat diperoleh dari penulisan hukum ini adalah :

1. Manfaat Teoritis

a. Memberikan sumbangan pemikiran bagi pengembangan ilmu hukum pada umumnya dan hukum tata negara pada khususnya dalam kaitannya dengan pengawasan hakim konstitusi.

b. Memperkaya referensi dan literatur kepustakaan tentang hukum tata negara.

2. Manfaat Praktis

a. Mengembangkan penalaran, membentuk pola pikir dinamis, sekaligus untuk mengetahui kemampuan penulis dalam menerapkan ilmu yang diperoleh.

b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu dan memberi masukan serta tambahan pengetahuan bagi para pihak yang terkait dengan masalah yang diteliti, dan berguna bagi para pihak yang pada kesempatan lain mempunyai minat untuk mengkaji permasalahan yang sejenis.

E. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian Jenis penelitian dalam penulisan hukum ini adalah penelitian hukum doktrinal. Hutchinson memberikan definisi penelitian hukum doktrinal

commit to user

the rules governing a particular legal category, analyses the relationship between rules, explain areas of difficulty and perhaps, predicts future development . Penelitian hukum dilakukan untuk menghasilkan argumentasi, teori atau konsep baru sebagai preskripsi dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi (Peter Mahmud Marzuki, 2006:32).

Dalam hal ini peneliti akan melakukan penelitian hukum atas permasalahan mengenai perlunya sistem pengawasan terhadap hakim konstitusi berdasarkan Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman, Undang- Undang Mahkamah Konstitusi serta Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006 dan Nomor 049/PUU-IX/2011 serta keterkaitan sistem pengawasan hakim konstitusi untuk menjaga prinsip independensi kekuasaan kehakiman.

2. Sifat Penelitian Ilmu hukum mempunyai karakteristik sebagai ilmu yang bersifat preskriptif dan terapan (Peter Mahmud Marzuki, 2006:22). Dari hasil telaah dapat dibuat opini atau pendapat hukum. Opini atau pendapat hukum yang dikemukakan oleh ahli hukum merupakan suatu preskripsi. Begitu juga tuntutan jaksa, petitum atau eksepsi atau dalam pokok perkara di litigasi berisi preskripsi. Untuk dapat memberikan preskripsi itulah guna praktik penelitian hukum (Peter Mahmud Marzuki, 2006:37). Berdasarkan definisi tersebut karakter preskriptif akan dikaji adalah pada sistem pengawasan hakim konstitusi yang ideal di Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.

3. Pendekatan Penelitian Menurut pandangan Peter Mahmud Marzuki (2006:93) bahwa di dalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan. Dengan pendekatan tersebut maka akan mendapatkan informasi dari berbagai aspek untuk menjawab mengenai isu hukum. Pendekatan - pendekatan dimaksud meliputi : pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan kasus (case

commit to user

perbandingan (comparative approach), dan pendekatan konseptual (conceptual approach ).

Berkenaan dengan pandangan Peter Mahmud Marzuki tersebut, penulis menggunakan beberapa pendekatan yang relevan dengan permasalahan penelitian yang dihadapi, diantaranya adalah pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan konseptual (conceptual approach) dan pendekatan perbandingan (comparative approach).

Pendekatan perundang-undangan ini dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani (Peter Mahmud Marzuki, 2006:93). Penelitian ini menggunakan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.

Pendekatan konseptual beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum. Dengan mempelajari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin dalam ilmu hukum, peneliti akan menemukan ide-ide yang melahirkan pengertian-pengertian hukum, konsep- konsep hukum dan asas-asas hukum yang relevan dengan isu hukum yang dihadapi (Peter Mahmud Marzuki, 2006:95). Penelitian ini akan menguraikan permasalahan mengenai teori independensi kekuasaan kehakiman terkait dengan pengawasan hakim konstitusi ditinjau dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin hukum terkait.

Selain itu, penelitian ini menggunakan pula pendekatan perbandingan. Pendekatan ini dilakukan dengan cara membandingkan undang-undang suatu negara dengan undang-undang dari satu atau lebih negara lain mengenai hal yang sama. Selain itu, dapat diperbandingkan juga putusan pengadilan di beberapa negara untuk kasus yang sama (Peter Mahmud Marzuki. 2006:95). Penelitian ini mengkaji pula undang-undang ataupun putusan-putusan tentang Mahkamah Konstitusi di Negara Jerman yang berkaitan dengan pengawasan hakim konstitusi.

commit to user

Penulisan hukum ini menggunakan bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Menurut Peter Mahmud Marzuki (2006:141), bahan hukum primer adalah bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya mempunyai otoritas sedangkan bahan hukum sekunder adalah semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

a. Bahan hukum primer yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu :

1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman

3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-

Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi;

4) Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006 pada tanggal

23 Agustus 2006;

5) Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 049/PUU-IX/2011 pada tanggal

18 Oktober 2011;

6) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 07/PMK/2005 tentang Pemberlakuan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Konstitusi; dan

7) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 10/PMK/2006 tentang Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi.

b. Bahan hukum sekunder yang digunakan buku-buku teks, jurnal-jurnal hukum, kamus-kamus hukum, komentar-komentar atas putusan pengadilan, artikel internet dan artikel media massa yang berkaitan dengan topik yang dibahas.

5. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Teknik pengumpulan bahan hukum dalam penulisan hukum ini adalah menggunakan teknik studi pustaka. Pengumpulan bahan hukum primer, bahan hukum sekunder diiventarisasi dan diklasifikasikan dengan menyesuaikan masalah yang dibahas. Bahan hukum yang berhubungan dengan masalah yang

commit to user

mengintepretasikan hukum yang berlaku (Johnny Ibrahim, 2008:296).

6. Teknik Analisis Bahan Hukum Teknik analisis bahan hukum yang penulis gunakan adalah logika deduktif. Menurut Robert E. Rodes, logika deduktif digunakan untuk menarik kesimpulan dari hal yang bersifat umum menjadi kasus yang bersifat individual (Johnny Ibrahim, 2008:249). Hal senada dipaparkan pula oleh Peter Mahmud Marzuki (2006:47) bahwa penggunaan logika dalam penelitian hukum dapat digunakan metode deduksi. Metode deduksi ini berpangkal dari pengajuan premis mayor, kemudian diajukan premis minor dan dari kedua premis tersebut ditarik suatu kesimpulan atau conclusion.

Dalam penelitian hukum ini peneliti menyajikan teori-teori ilmu hukum yang bersifat umum yakni terkait independensi kekuasaan kehakiman kemudian menarik kesimpulan dari kasus faktual yang diteliti dan dianalisa yakni sistem pengawasan hakim konstitusi.

F. Sistematika Penulisan Hukum

Sistematika penulisan hukum ini digunakan untuk mendapatkan gambaran yang menyeluruh mengenai bahasan mengenai penulisan hukum yang sesuai dengan aturan atau kaidah baku penulisan suatu karya ilmiah. Adapun sistematika penulisan hukum ini terdiri dari 4 (empat) bab yaitu :

BAB I PENDAHULUAN Dalam penulisan ini penulis akan menguraikan mengenai :

A. Latar Belakang Masalah Putusan yang dijatuhkan oleh hakim-hakim konstitusi berpengaruh besar terhadap bangsa Indonesia karena salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi mengenai pengujian undang-undang berlaku untuk seluruh rakyat Indonesia. Begitu pula, terhadap kewenangan untuk menyelesaikan sengketa pemilihan umum kepala daerah

commit to user

perlu dikaji lebih mendalam mengenai pengawasan terhadap hakim konstitusi agar martabat kehormatan dan kenegarawanannya senantiasa terjaga sebagaimana diterapkannya prinsip independensi kekuasaan kehakiman.

B. Rumusan Masalah Menguraikan tentang sistem pengawasan hakim konstitusi dan sistem pengawasan tersebut apakah sesuai dengan prinsip independensi kekuasaan kehakiman.

C. Tujuan Penelitian

D. Manfaat Penelitian

E. Metode Penelitian

F. Jadwal Penelitian

G. Sistematika Penelitian

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Kerangka Teori

1. Tinjauan tentang Negara Hukum

2. Tinjauan tentang Pemisahan Kekuasaan dan Chekcs and Balances

3. Tinjauan tentang Independensi Kekuasaan Kehakiman

4. Tinjauan tentang Pengawasan

B. Kerangka Pemikiran

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Dalam pembahasan, diuraikan mengenai mengapa diperlukan sistem pengawasan terhadap hakim konstitusi yang kemudian menelaah peraturan perundang-undangan terkait yakni Undang-Undang Nomor

48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi serta Putusan Mahkamah Konstitusi yang khusus terkait mengenai pengawasan

commit to user

049/PUU-IX/2011. Selain itu juga, dianalisis mengenai sistem pengawasan hakim konstitusi yang ideal dalam mewujudkan prinsip independensi kekuasaan kehakiman dengan mengunakan teori-teori dan doktrin-doktrin ilmu hukum.

BAB IV PENUTUP Dalam bab ini, penulis menguraikan kesimpulan yang diperoleh dari hasil pembahasan dan proses meneliti, serta saran-saran yang penulis kemukakan kepada para pihak yang terkait dengan bahasan penulisan hukum ini.

DAFTAR PUSTAKA

commit to user

13

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kerangka Teori

1. Tinjauan tentang Negara Hukum

Menurut Soepomo bahwa konsepsi negara hukum merupakan gagasan yang muncul untuk menentang konsep absolutisme yang telah melahirkan negara kekuasaan. Pada pokoknya kekuasaan penguasa (raja) harus dibatasi agar jangan memperlakukan rakyat dengan sewenang- wenang. Pembatasan itu dilakukan dengan jalan adanya supremasi hukum, yaitu bahwa segala tindakan penguasa tidak boleh sekehendak hatinya, tetapi harus berdasar dan berakar pada hukum dan undang-undang yang berlaku dan untuk itu juga harus ada pembagian kekuasaan negara, khususnya kekuasaan yudikatif harus dipisahkan dari penguasa (Mukhtie Fadjar, 2004:7).

Secara umum, dalam teori negara hukum, terdiri dari konsep negara hukum dalam arti rechtsstaat, dan negara hukum dalam pengertian sebagai the rule of law . Konsep rechtsstaat dikembangkan di negara Eropa Kontinental sedangkan konsep rule of law dikembangkan di negara Anglo Saxon.

Konsep rechtstaat bersumber dari rasio manusia, liberalistik individualistik, humanisme yang antroprosentrik, serta pemisahan negara dan agama secara mutlak-ateisme dimungkinkan. Adapun unsur-unsur utama menurut F.J. Stahl terdapat empat unsur dari negara hukum, yakni (Sirajudin dan Zulkarnain, 2006:15) :

a. Adanya jaminan terhadap hak asasi manusia;

b. Adanya pembagian kekuasaan;

c. Pemerintah haruslah berdasarkan peraturan-peraturan hukum; dan

d. Adanya peradilan administrasi. Dari keempat unsur utama negara hukum tersebut dapat ditarik

kesimpulan bahwa menurut Stahl negara hukum bertujuan untuk melindungi

commit to user

langkah dan kekuasaan negara dengan undang-undang. Jadi hanya mengedepankan aspek formalnya saja, sehingga hak asasi dan kebebasan individu terlindungi secara formal. Hasilnya hanya membawa persamaan dalam aspek hukum dan politik saja. Konsep Stahl ini merupakan

penyempurnaan terhadap konsep negara hukum liberal (Ni‟matul Huda, 2011:7).

Konsep rechsstaat lahir dari perjuangan menentang absolutisme sehingga sifatnya revolusioner, sebaliknya konsep the rule of law berkembang secara evolusioner. Hal ini nampak dari isi atau kriteria rechsstaat dan kriteria the rule of law .

Konsep rechtsstaat bertumpu atas sistem hukum konstinental yang disebut civil law, sedangkan konsep the rule of law bertumpu atas sistem hukum yang disebut common law. Karakteristik civil law adalah administratif, sedangkan karakteristik common law adalah judicial. Adapun ciri-ciri rechsstaat adalah:

a. Adanya undang-undang dasar atau konstitusi yang memuat ketentuan tertulis tentang hubungan antara penguasa dan rakyat;

b. Adanya pembagian kekuasaan negara; dan

c. Diakui dan dilindunginya hak-hak kebebasan rakyat (Ni‟matul Huda, 2011:10).

Ciri di atas dengan jelas menunjukkan bahwa ide sentral daripada rechsstaat adalah pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia yang bertumpu atas prinsip kebebasan dan persamaan. Adanya undang-undang dasar akan memberikan jaminan konstitusional terhadap asas kebebasan dan persamaan. Adanya pembagian kekuasaan untuk menghindarkan penumpukan kekuasaan dalam satu tangan yang sangat cenderung kepada penyalahgunaan kekuasaan, berarti pemerkosaan terhadap kebebasan dan persamaan (Ni‟matul Huda,2011:11).

commit to user

dengan konsep rechstaat. Adapun unsur-unsur utamanya mencakup:

a. Supremasi aturan-aturan hukum. Tidak adanya kekuasaan sewenang- wenang dalam arti bahwa seseorang boleh dihukum jika melanggar hukum;

b. Kedudukan yang sama di hadapan hukum. Dalil ini berlaku, baik bagi mereka rakyat kebanyakan maupun pejabat; dan

c. Terjaminnya hak asasi manusia oleh undang-undang serta keputusan- keputusan pengadilan (Sirajudin dan Zulkarnain, 2006:16).

Dicey mengemukakan bahwa supremasi hukum berarti warga negara diatur oleh hukum, dan dengan hukum itu sendiri seseorang dapat dihukum karena melanggar hukum, bukan dihukum karena sesuatu alasan yang lain. Tentang persamaan di depan hukum, semua kelompok masyarakat memiliki ketertundukan yang sama di mata hukum umum negara, yang dijalankan oleh peradilan umum. The rule of law tidak mengenal adanya pengecualian bagi pejabat pemerintah atau orang-orang tertentu terhadap hukum yang mengatur warga negara secara keseluruhan, seperti halnya pada pengadilan administratif (droit administratif). Kaitannya dengan due process of law, jaminan atas hak- hak pribadi adalah hasil dari keputusan pengadilan, dan parlemen sebagai simbolisasi raja dan demos-warga, khusus mengenai mekanisme pelaksanaan kekuasaan. Jadi konstitusi yang berisikan jaminan hak-hak pribadi warga negara merupakan hasil dari hukum umum negara (Wahyudi Djafar, 2010:153).

Menurut Wirjono Projodikoro, negara hukum berarti suatu negara yang didalam wilayahnya:

a. semua alat-alat perlengkapan dari negara, khususnya alat-alat perlengkapan dari Pemerintah dalam tindakannya baik terhadap para warga negara maupun dalam saling berhubungan masing-masing tidak boleh sewenang- wenang, melainkan harus memperhatikan peraturan-peraturan hukum yang berlaku;

commit to user

pada peraturan- peraturan hukum yang berlaku (Ni‟matul Huda,2011:11). International Commission of Jurists , dalam konferensinya di

Bangkok, pada tahun 1965, mencirikan konsepsi negara hukum adalah yang memenuhi unsur-unsur sebagai berikut.

a. Perlindungan konstitusional, artinya selain menjamin hak-hak individu, konstitusi juga mengatur prosedur untuk mengakses perlindungan atas hak- hak tersebut;

b. Peradilan yang bebas dan tidak memihak;

c. Kebebasan untuk mengeluarkan pendapat;

d. Kebebasan untuk berserikat dan beroposisi; dan

e. Pendidikan kewarganegaraan (Wahyudi Djafar, 2010:153-154).

Sementara Utrecht membedakan antara negara hukum formil atau negara hukum klasik dan negara hukum materiel atau negara hukum modern. Negara hukum formil menyangkut pengertian hukum yang bersifat formil dan sempit, yaitu dalam arti peraturan perundang-undangan tertulis. Sedangkan yang kedua, yaitu negara hukum materiel yang lebih mutakhir mencakup pula pengertian keadilan di dalamnya (Jimmly Asshiddiqie, 2006:153).

Sedangkan Wolfgang Friedman, dalam Law is a Changing Society, membagi negara hukum dalam pengertian the rule of law menjadi negara hukum formal dan negara hukum material. Secara formal the rule of law berarti organized public power , atau kekuasaan umum yang terorganisasi. Sedangkan dalam arti material, the rule of law didefinisikan sebagai rule of just law, artinya dalam konsep the rule of law, di dalamnya tercakup pula keadilan yang sifatnya lebih substantif dan esensial, tidak sekedar memfungsikan bunyi dari undang-undang tertulis (Wahyudi Djafar. 2010:154).

Menurut Jimmly Asshiddiqie (2006:154-161) yang mendasarkan pada beragam pemikiran tentang negara hukum, menyebutkan terdapat dua belas prinsip pokok yang merupakan pilar-pilar utama yang menyangga berdiri tegaknya satu negara modern sehingga dapat disebut sebagai negara hukum

commit to user

hukum sebagai berikut.

a. Supremasi hukum (supremacy of law) Adanya pengakuan nomatif dan empirik akan prinsip supremasi hukum, yaitu bahwa semua masalah diselesaikan dengan hukum sebagai pedoman tertinggi.

b. Persamaan dalam hukum (equality before the law) Adanya persamaan kedudukan setiap orang dalam hukum dan pemerintahan, yang diakui secara normatif dan dilaksanakan secara empirik.

c. Asas legalitas (due process of law) Setiap negara hukum, dipersyaratkan berlakunya asas legalitas dalam segala bentuknya (due process of law), yaitu bahwa segala tindakan pemerintahan harus didasarkan atas peraturan perundang-undangan yang sah dan tertulis.

d. Pembatasan kekuasaan Adanya pembatasan kekuasaan negara dan organ-organ negara dengan cara menerapkan prinsip pembagian kekuasaan secara vertikal atau pemisahan kekuasaan secara horizontal bertujuan agar kekuasaan tidak tersentralisasi dan terkonsentrasi dalam satu organ atau satu tangan yang memungkinkan terjadinya kesewenang-wenangan.

e. Organ-organ eksekutif independen Independensi lembaga dianggap sangat penting untuk menjamin prinsip negara hukum dan demokrasi.

f. Peradilan yang bebas dan tidak memihak Peradilan bebas dan tidak memihak ini mutlak harus ada dalam setiap negara hukum. Dalam menjalankan tugas judisialnya, hakim tidak boleh dipengaruhi oleh siapapun juga, baik karena kepentingan jabatan (politik) maupun kepentingan uang (ekonomi).

g. Peradilan Tata Usaha Negara

commit to user

warga negara untuk menggugat keputusan pejabat administrasi negara dan dijalankannya putusan hakim tata usaha negara oleh pejabat administrasi negara.

h. Peradilan Tata Negara (constitutional court) Pentingnya mahkamah konstitusi (constitutional court) ini adalah upaya memperkuat sistem checks and balances antara cabang-cabang kekuasaan yang sengaja dipisah-pisahkan untuk menjamin demokrasi.

i. Perlindungan hak asasi manusia Adanya perlindungan konstitusional terhadap hak asasi manusia dengan jaminan hukum bagi tuntutan penegakannya melalui proses yang adil. Perlindungan terhadap hak asasi manusia tersebut dimasyarakatkan secara luas dalam rangka mempromosikan penghormatan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia sebagai ciri yang penting dari suatu negara hukum yang demokratis.

j. Bersifat demokratis (democratische rechtsstaat) Dianut dan dipraktekannya prinsip demokrasi atau kedaulatan rakyat yang menjamin peran serta masyarakat dalam proses pengambilan keputusan kenegaraan, sehingga setiap peraturan perundang-undangan yang ditetapkan dan ditegakkan mencerminkan perasaan keadilan yang hidup di tengah masyarakat.

k. Berfungsi sebagai sarana mewujudkan tujuan bernegara (welfare rechtsstaat ) Cita-cita hukum, baik yang dilembagakan melalui gagasan negara demokrasi (democracy) maupun yang diwujudkan melalui gagasan negara hukum (nomocracy) dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan umum.

l. Transparansi dan kontrol sosial Adanya transparansi dan kontrol sosial yang terbuka terhadap setiap proses pembuatan dan penegakan hukum, sehingga kelemahan dan kekurangan yang terdapat dalam mekanisme kelembagaan resmi dapat

commit to user

langsung (partisipasi langsung) dalam rangka menjamin keadilan dan kebenaran.

Indonesia adalah negara hukum, hal ini secara normatif dirumuskan dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Konsekuensi dari ketentuan ini adalah bahwa setiap sikap, pikiran, perilaku, dan kebijakan pemerintahan negara dan penduduknya harus didasarkan atau sesuai dengan hukum. Dengan ketentuan demikian dimaksudkan untuk mencegah terjadinya kesewenang-wenangan dan arogansi kekuasaan. Hukumlah yang memegang kekuasaan dan memimpin penyelenggaraan negara, sebagaimana konsep nomocratie, yaitu kekuasaan dijalankan oleh hukum (nomos).

Mahfud MD menyatakan bahwa sejak perubahan tahap ketiga UUD 1945, konstitusi kita sudah mengarahkan agar penegakan hukum di Indonesia secara prinsip menganut secara seimbang segi-segi baik dari konsepsi rechsstaat dan the rule of law sekaligus yakni menjamin kepastian hukum dan

menegakkan keadilan substansial (Ni‟matul Huda, 2011:18). Penegasan bahwa Indonesia merupakan negara hukum, serta pernyataan

bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka, mengandung spirit untuk tidak menjadikan hukum sebagai alat kekuasaan, menegakkan prinsip persamaan di depan hukum dan melindungi campur tangan baik yang bersifat internal maupun eksternal terhadap kekuasaan kehakiman dalam rangka mencegah dan menghindari kegagalan pencapaian keadilan (Ni‟matul Huda, 2011:18).

Secara mendasar, gerakan reformasi harus diinterpretasikan sebagai suatu upaya yang terorganisir dan sistematis dari bangsa Indonesia untuk mengaktualisasikan nilai-nilai dasar demokrasi, yang disepanjang kekuasaan rezim Orde Baru terlanjur telah dimanipulasi dan diselewengkan. Berdasarkan interpretasi reformasi tersebut, maka agenda nasional harus difokuskan pada upaya pengembangan yang terus „indeks demokrasi‟ (indices of democracy).

commit to user

dan bernegara. Pertama, keberadaan sistem pemiliha umum yang bebas dan adil. Kedua, keberadaan pemerintahan yang terbuka, akuntabel dan responsif. Ketiga, pemajuan dan perlindungan hak-hak sipil dan politik seluruh warga tanpa kecuali. Keempat, keberadaan masyarakat yang memiliki rasa percaya

diri yang penuh (Ni‟matul Huda, 2011:18). Dalam hubungannya dengan reformasi hukum dalam kerangka empat

aspek dasar demokrasi di atas, pemerintah harus secara sistematis menerapkan reformasi yang didasarkan kepada elemen-elemen konsep sistem hukum yaitu; (1) struktur hukum; (2) elemen substansi hukum; (3) elemen budaya hukum. Lawrence M. Friedman menegaskan, bagaimanapun baiknya norma hukum, suatu undang-undang tanpa didukung penegak hukum yang handal dan dipercaya, hukum tidak akan efektif mencapai tujuannya. Hukum dengan norma yang baik dan didukung dengan aparat penegak hukum yang handal dan dipercaya juga akan kurang efektif tanpa didukung budaya hukum masyarakat yang bersangkutan (Ni‟matul Huda, 2011:19).

2. Tinjauan tentang Pemisahan Kekuasaan dan Checks and Balances

a. Teori Pemisahan Kekuasaan Pada umumnya, doktrin pemisahan kekuasaan dianggap berasal

dari Montesquieu dengan trias politica-nya. Trias Politica dari Montesquieu ialah kekuasaan negara yang dibagi atau tegasnya dipisahkan menjadi tiga dan masing-masing kekuasaan dilakukan oleh suatu badan yang berdiri sendiri, yaitu:

1) Kekuasaan perundang-undangan (legislatif);

2) Kekuasaan melaksanakan pemerintahan (eksekutif); dan

3) Kekuasaan kehakiman (yudikatif) (Soehino, 2000:117) . Sebenarnya, konsep awal mengenai hal ini dapat ditelusuri kembali

dalam tulisan John Locke, “Second Treaties of Civil Government” yang

commit to user

dipegang sendiri oleh mereka yang menerapkannya. Oleh Montesquieu, pemikiran John Locke itu diteruskannya dengan mengembangkan konsep trias politica yang membagi kekuasan negara menjadi tiga cabang kekuasaan tersebut. Pandangan Montesquieu inilah yang kemudian dijadikan rujukan doktrin separation of power di zaman sesudahnya (Jimmly Asshiddiqie, 2006:15).

Istilah pemisahan kekuasaan dalam bahasa Indonesia merupakan terjemahan perkataan separation of power berdasarkan teori trias politica atau tiga fungsi kekuasaan, yang dalam pandangan Montesquieu, harus dibedakan dan dipisahkan secara struktural dalam organ-organ yang tidak saling mencampuri urusan masing-masing. Kekuasaan legislatif hanya dilakukan oleh lembaga legislatif, kekuasaan eksekutif hanya dilakukan oleh lembaga eksekutif, dan demikian pula yudikatif hanya dilakukan oleh cabang kekuasaan yudisial. Sehingga pada intinya, satu organ hanya dapat memiliki satu fungsi, atau sebaliknya satu fungsi hanya dapat dijalankan oleh satu organ (Jimmly Asshiddiqie, 2006:16).

Untuk membatasi pengertian separation of powers itu, G. Marshall dalam bukunya “Constitutional Theory” yang dikutip oleh Jimmly

Asshiddiqie (2006:21-22), membedakan ciri-ciri doktrin pemisahan kekuasaan ke dalam 5 (lima) aspek, yaitu :

1) Differentiation Doktrin pemisahan kekuasaan itu bersifat membedakan fungsi- fungsi kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudisial. Legislator membuat aturan, eksekutor melaksanakannya, sedangkan pengadilan menilai konflik atau perselisihan yang terjadi dalam pelaksanaan aturan itu dan menerapkan norma aturan itu untuk menyelesaikan konflik atau perselisihan.

2) Legal incompatibility of office holding

commit to user

menduduki jabatan di lembaga legislatif tidak boleh merangkap pada jabatan di luar cabang legislatif.

3) Isolation, immunity, independence Doktrin pemisahan kekuasaan menentukan bahwa masing-masing organ tidak boleh turut campur atau melakukan intervensi terhadap kegiatan organ yang lain. Dengan demikian, independensi masing- masing cabang kekuasaan dapat terjamin dengan sebaik-baiknya.

4) Checks and balances Doktrin pemisahan kekuasaan dianggap paling penting adalah adanya prinsip checks and balances, di mana setiap cabang mengendalikan dan mengimbangi kekuatan cabang-cabang kekuasaan yang lain. Adanya perimbangan yang saling mengendalikan tersebut, diharapkan tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan di masing-masing organ yang bersifat independen itu.

5) Co-ordinate status and lack of accountability Prinsip koordinasi dan kesederajatan, yaitu semua organ atau lembaga negara yang menjalankan fungsi legislatif, eksekutif dan yudisial mempunyai kedudukan yang sederajat dan mempunyai hubungan yang bersifat co-ordinatif, tidak bersifat sub-ordinatif satu dengan yang lain.

Dokumen yang terkait

PENGARUH PERIODE CEKAMAN AIR TERHADAP PERTUMBUHAN DAN KANDUNGAN METABOLIT SEKUNDER ROSELA MERAH DAN ROSELA UNGU SKRIPSI untuk memenuhi sebagian persyaratan guna memperoleh derajat Sarjana Pertanian

0 0 47

PenulisanHukum (Skripsi) Disusun dan Diajukan untuk

0 0 48

Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Berat Badan Bayi Saat Lahir di Kota Surakarta Menggunakan Metode Pohon Regresi

1 1 62

PENGEMBANGAN MODEL PERANGKAT PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN KOMUNIKASI MATEMATIS DI SMA Zakaria Pendidikan Matematika, FIKP Untan, Pontianak Email: zakariajkggmail.com Abstrak:Tujuan penelitin ini untuk mengembangkan Model Perangkat

0 1 10

Ika Puji Astuti, Agus Sastrawan Noor, Izhar Salim Program Studi Pendidikan Sosiologi FKIP Untan Pontianak Email :ika pujiastuti888gmail.com Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kontribusi PT Darmex Agro

0 0 13

EFEKTIFITAS PENGGUNAAN MEDIA PEMBELAJARAN LKS PADA MATA PELAJARAN AKUNTANSI KELAS XII IPS SMA Fitri Salpiah, Herkulana, okianna Program Studi Pendidikan Ekonomi FKIP Untan, Pontianak Email :salpiahfitrigmaill.com Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk me

0 0 11

INTERAKSI KERJASAMA REMAJA SANGGAR BORNEO TARIGAS KOTA PONTIANAK Rahmi Sapariyanti, Yohanes Bahari, Nuraini Asriati Program studi pendidikan sosiologi FKIP Untan Pontianak Email : rahmi.sapariyantigmail.com Abstrak : Penelitian ini bertujuan untuk mengeta

0 0 13

Firgiawan Yuda Sajati, Busri Endang, Sri Lestari Program Studi Bimbingan dan Konseling FKIP Untan Pontianak Email : firgiawan.yudagmail.com Abstrak: Bimbingan karir merupakan membantu pribadi untuk mengembangkan

0 0 11

Experts Review yang dijalankan Secara

0 0 8

TUGAS AKHIR - Analisis prinsip 5c dan 7p pada penyaluran kredit di pt. bpr antar rumeksa arta Karanganyar

2 7 73