6. Mekanisme penyaluran raskin di lapangan
Gambar 2.6. Mekanisme penyaluran raskin di lapangan
Selain bantuan beras untuk Rumah Tangga Miskin, Pemerintah juga setiap tahun mengalokasikan cadangan beras yang disebut Cadangan Beras Pemerintah (CBP) yang disimpan di gudang Bulog untuk tujuan memenuhi kebutuhan pangan dalam penanggulangan keadaan darurat bencana, penanganan kerawanan pangan pascabencana, kerjasama internasional bantuan sosial dan kepentingan lain yang terkait dengan bantuan sosial serta operasi pasar apabila terjadi gejolak harga di pasaran. Penggunaan cadangan beras pemerintah untuk bantuan sosial merupakan otoritas Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan diatur oleh Permenko Kesra Nomor 03 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Cadangan Beras Pemerintah untuk Bantuan Sosial.
Pemerintah Pusat dalam hal ini Menko Kesra/Menko PMK telah melimpahkan kewenangan kepada Bupati/Walikota untuk menyalurkan beras sebanyak 100 ton kepada masyarakat untuk penanganan tanggap darurat di daerahnya. Sedangkan
BAB 2: POTRET KONDISI PANGAN SAAT INI BAB 2: POTRET KONDISI PANGAN SAAT INI
2.6. KEBIJAKAN PANGAN SAAT INI
Berdasarkan data dan berbagai penelusuran informasi tentang kebijakan pangan maka yang tertera dalam program di Bappenas maupun Kementerian Pertanian difokuskan pada penyediaan beras, daging, kedelai, dan gula. Oleh sebab itu semua dokumen yang tertulis sampai pada tahun 2019 mengacu pada Nawacita yang telah ditentukan oleh Presiden. Program Nawacita Pemerintah No. 7 yaitu Mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi domestik.
Untuk melihat dari sisi dukungan kebijakan yang tergambar di arah kebijakan dan strategi Pembangunan Pertanian 2015 s/d 2019 adalah sebagai berikut:
1. Peningkatan Agroindustri yang terdiri dari:
a. Meningkatnya PDB industri pengolahan makanan dan minuman serta produksi komoditas andalan ekspor dan komoditas prospektif.
b. Meningkatnya jumlah sertifikasi untuk produk pertanian dan ekspor.
c. Berkembangnya agroindustri terutama di perdesaan.
2. Peningkatan kedaulatan pangan yang terdiri dari:
a. Peningkatan ketersediaan pangan melalui penguatan kapasitas produksi dalam negeri yang meliputi komoditas padi, jagung, kedelai, daging, gula, bawang merah, dan cabai (Pajele Babe).
b. Peningkatan kualitas distribusi konsumsi pangan dan gizi masyarakat
c. Mitigas gangguan terhadap ketahanan pangan untuk mengantisipasi bencana alam dan dampak perubahan iklim dan serangan organisme tanaman dan penyakit hewan.
d. Peningkatan kesejahteraan pelaku utama penghasil bahan pangan. Adapun sasaran strategis Kementerian Pertanian RI tahun 2015 s.d. 2019
adalah sebagai berikut: 52 DEPUTI BIDANG TEKNOLOGI AGROINDUSTRI DAN BIOTEKNOLOGI BADAN PENGKAJIAN DAN PENERAPAN TEKNOLOGI adalah sebagai berikut: 52 DEPUTI BIDANG TEKNOLOGI AGROINDUSTRI DAN BIOTEKNOLOGI BADAN PENGKAJIAN DAN PENERAPAN TEKNOLOGI
b. Peningkatan diversifikasi pangan.
c. Peningkatan nilai tambah, daya saing, ekspor dan subsitusi ekspor.
d. Penyediaan bahan baku dan bioenergi.
e. Peningkatan kesejahteraan petani. Terkait dengan pangan pokok lokal maka kegiatan pembuatan Outlook
Teknologi Pangan Diversifikasi Pangan Karbohidrat ini akan mendukung program besar tentang peningkatan diversifikasi pangan. Sejatinya sumber pangan pokok karbohidrat Indonesia cukup banyak dan secara kearifan lokal sudah teruji secara empiris. Oleh sebab itu, untuk mengangkat keberadaan sumber karbohidrat lokal tersebut perlu dukungan teknologi yang memadai.
2.7. DIVERSIFIKASI PANGAN
Keberhasilan swasembada beras pada 1994 dan program bantuan beras untuk keluarga miskin telah mengubah pola makan masyarakat kita menjadi pengonsumsi beras terbesar nomor 4 di dunia. Demikian juga dengan konsumsi terigu, yang 100 persen merupakan
kita memiliki
komoditas impor dan semakin meningkat dari tahun
sumber daya lokal
ke tahun. Sementara di sisi lain, kita memiliki sumber
spesifik lokasi
daya lokal spesifik lokasi yang berlimpah sedangkan
yang berlimpah
pemanfaatannya belum maksimal sebagai bahan pangan
sedangkan
nonberas dan nonterigu. Bahan pangan lokal, seperti:
pemanfaatannya
jagung, ubi kayu, sagu, dan berbagai jenis umbi-umbian
belum maksimal
merupakan sumber karbohidrat alternatif selain beras yang dapat dijadikan sumber pangan potensial dalam
sebagai bahan
pangan nonberas dan nonterigu
upaya mendukung program ketahanan pangan.
Dalam beberapa tahun ke depan produksi pangan, khususnya pangan karbohidrat tidak saja untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, tetapi juga diarahkan untuk program penganekaragaman pangan (diversifikasi pangan) dan pangan lokal. Hal tersebut sejalan dengan Rencana Strategis Kebijakan Pangan Nasional yang diarahkan pada terwujudnya sistem pertanian berkelanjutan yang menghasilkan beragam pangan sehat dan produk bernilai tambah tinggi berbasis sumber daya lokal untuk
BAB 2: POTRET KONDISI PANGAN SAAT INI BAB 2: POTRET KONDISI PANGAN SAAT INI
Saat ini masyarakat Indonesia masih mengonsumsi beras sebagai pangan pokok. Diversifikasi sumber pangan seperti; jagung, ubi jalar, dan ubi kayu sebagai sumber karbohidrat dikonsumsi masih sebatas sebagai panganan, sehingga konsumsinya masih jauh di bawah konsumsi beras.
Tingkat konsumsi ubi kayu dan jagung saat ini masih relatif rendah dibandingkan dengan konsumsi beras, masing-masing 9,6 kg/kapita/tahun dan 4,0 kg/kapita/tahun (BPS). Konsumsi tersebut dapat ditingkatkan, baik melalui penyediaan tepung pangan lokal sebagai produk industri hulu, maupun melalui penganekaragaman produk
pangan olahannya seperti beras, mie, dan makaroni yang
Diversifikasi sumber berbahan baku jagung atau singkong. Dengan demikian
pangan seperti;
ketergantungan terhadap beras akan dapat dikurangi.
jagung, ubi jalar, dan
Namun di dalam pelaksanaannya, program
ubi kayu sebagai
penganekaragaman pangan masih dihadapkan pada
sumber karbohidrat berbagai kendala; kendala teknis dan nonteknis. Berbagai
dikonsumsi masih
upaya pemerintah telah dilakukan untuk mengatasi
sebatas sebagai
permasalahan tersebut. Berbagai kebijakan pemerintah
panganan
telah dikeluarkan, di antaranya telah ditetapkannya Kebijakan Umum untuk mendukung Program Ketahanan
Pangan yang tertuang dalam UU-RI No. 18 tahun 2012 tentang Pangan, Perpres No.22 tahun 2009 dan Inpres No. 1 tahun 2010 tentang percepatan penganekaragaman pangan lokal. Bahkan untuk mendukung upaya tersebut pemerintah telah menetapkan Pedoman Gerakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan yang tertuang dalam Permentan No. 18/Permentan/HK.140/4/2015. Namun upaya- upaya tersebut masih belum mencapai hasil yang maksimal.
Kebijakan percepatan penganekaragaman pangan lokal ditujukan untuk memperkokoh Ketahanan Pangan Nasional guna menjamin ketersediaan dan konsumsi pangan yang cukup, aman, bermutu, dan sehat, baik pada tingkat nasional, daerah hingga rumah tangga. Beberapa tahun terakhir, pemerintah melalui Badan
54 DEPUTI BIDANG TEKNOLOGI AGROINDUSTRI DAN BIOTEKNOLOGI BADAN PENGKAJIAN DAN PENERAPAN TEKNOLOGI
Lokal (MP3L). Di pihak lain, pemerintah juga memiliki program untuk menurunkan konsumsi beras guna mengurangi konsumsi beras yang saat ini mencapai 124 kg/ kapita/tahun (Susenas 2011, BPS) .
Diversifikasi konsumsi pangan pokok tidak dimaksudkan untuk mengganti beras secara total tetapi mengubah pola konsumsi pangan masyarakat untuk mengonsumsi lebih banyak jenis pangan berbahan baku lokal tersebut secara beragam, bergizi, dan berimbang sebagaimana tertuang dalam PP No. 17 tahun 2015 tentang Kebijakan Pangan
pemerintah juga
dan Gizi. PP tersebut antara lain mengamanatkan
memiliki program
bahwa penganekaragaman pangan dilakukan melalui
untuk menurunkan
pengoptimalan pangan lokal, pengembangan teknologi
konsumsi beras
dan sistem insentif begi usaha pengolahan pangan
guna mengurangi
lokal, pengenalan jenis pangan baru dan pengembangan
konsumsi beras yang
industri pangan yang berbasis pangan lokal.
saat ini mencapai Salah satu langkah untuk mendukung program 124 kg/kapita/tahun
diversifikasi pangan yakni dengan melakukan Program
(Susenas 2011, BPS)
Reformasi Agraria. Program reformasi agraria adalah proses restrukturisasi penataan ulang kepemilikan, penguasaan, dan penggunaan sumber-sumber agraria, khususnya tanah. Hal ini dimaksudkan agar petani mempunyai lahannya sendiri. Sehingga hal ini akan mengurangi jumlah petani gurem atau buruh tani. Pemerintah menargetkan agar setiap petani memiliki 1 hektar lahan untuk digarap. Untuk mendukung hal tersebut, pemerintah mencanangkan program pembukaan satu juta hektar lahan pertanian di daerah Jawa dan Bali.
Program pembangunan agribisnis kerakyatan merupakan pembangunan fasilitas bisnis bagi sektor pertanian. Pembangunan agribisnis ini akan diwujudkan dalam bentuk pembangunan bank tani, koperasi, dan UKM. Program ini dimaksudkan untuk mendukung pengembangan sektor pertanian, terutama untuk membantu masalah petani di bidang permodalan.
Kebijakan Pemerintah yang tertuang dalam Program Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan (P2KP) yang salah satu implementasinya
BAB 2: POTRET KONDISI PANGAN SAAT INI BAB 2: POTRET KONDISI PANGAN SAAT INI
Tabel 2.9. Pelaksanaan Model Pengembangan Pangan Pokok Lokal Tahun 2012 No Kabupaten
Provinsi
Komoditas/Bahan Baku Produk
1 Aceh Singkil
Aceh
Sagu
Mie sagu
2 Indragiri Hilir
Riau
Sagu
Sagu rending
3 Lampung Selatan Lampung
Ubi kayu
Beras siger
4 Gunung Kidul
DIY
Ubi kayu
Tiwul instan
5 Jember
Jatim
Ubi kayu
Beras cerdas
6 Lombok Timur
NTB
Ubi kayu
Beras sasambo
Beras jagung
8 Minahasa Sela- Sulawesi Utara Jagung Beras milu tan
9 Muna
Sulawesi Teng- Jagung
Kagili kahtela (ber-
gara
as jagung)
10 Maluku Tengah Maluku
Sagu
Sagu kering dan mie
Sumber : Pusat Penganekaragaman Konsumsi dan Keamanan Pangan Badan Ketahanan Pangan
Sebagian besar hasil pertanian Indonesia yang dijual di pasar dalam negeri dan atau diekspor masih dalam bentuk produk primer. Hal ini menyebabkan nilai tambah yang jatuh di dalam negeri lebih kecil dari yang seharusnya. Karena nilai tambah juga merupakan bagian dari pendapatan pelaku usaha dan merupakan unsur utama pembentuk pendapatan nasional (PDB) dan pendapatan regional (PDRB), maka peningkatan nilai tambah melalui hilirisasi akan berdampak positif pada pertumbuhan perekonomian mikro pelaku usaha dan perekonomian nasional dan regional.
Salah satu kendala dalam pengembangan industri pengolahan hasil pertanian di Indonesia adalah kemampuan yang rendah di dalam melakukan transformasi produk. Hal ini terbukti dari mayoritas komoditas pertanian yang diekspor masih berupa bahan mentah dengan indeks retensi pengolahan sebesar 71-75%. Angka tersebut menunjukkan bahwa hanya 25-29% produk pertanian Indonesia yang diekspor dalam bentuk olahan. Kondisi ini menjadi faktor penyebab rendahnya nilai tambah produk ekspor pertanian. Karena itu, pengolahan lanjutan menjadi tuntutan
56 DEPUTI BIDANG TEKNOLOGI AGROINDUSTRI DAN BIOTEKNOLOGI BADAN PENGKAJIAN DAN PENERAPAN TEKNOLOGI
Perkembangan industri pengolahan hasil pertanian (agroindustri) yang salah satu di antaranya adalah pengolahan pangan, perlu terus didorong untuk menciptakan nilai tambah yang lebih besar. Dengan demikian, daya saing produk hasil pengolahan pangan dapat ditingkatkan. Untuk itu diperlukan kebijakan pemerintah untuk mendukung sektor hilir melalui pengembangan pasar produk pangan olahan, baik pasar domestik maupun ekspor.
Selain dari sisi konsumsi, pengembangan pangan olahan juga perlu didukung oleh pengembangan teknologi pengolahan. Teknologi yang digolongkan sebagai teknologi pengolahan pangan dibedakan menjadi dua tahapan; teknologi pengolahan tingkat menengah mencakup transformasi fisik antara lain meliputi fermentasi, oksidasi, ekstraksi buah, ekstraksi
Upaya untuk
rempah, distilasi dan lain-lain. Dan teknologi pengolahan
menghambat
lanjut meliputi transformasi fisik dan kimiawi bentuk asli
laju konsumsi
dan sifat kimiawi tekah mengalami perubahan secara
beras dan terigu
signifikan. Dengan demikian, teknologi pengolahan
dilakukan dengan
merupakan langkah strategis untuk meningkatkan nilai
menggunakan bahan
tambah.
baku lokal yang tersedia seperti
Perkembangan teknologi sangat berpengaruh
jagung, ubi kayu, dan
terhadap perubahan pola makan masyarakat. Masyarakat
sagu
Indonesia kini beralih mengonsumsi pangan karbohidrat beras ke pangan berbasis terigu yang mencapai rata- rata 21 kg per kapita per tahun pada tahun 2013. Konsumsi pangan berbasis terigu tersebut sebagian besar dalam bentuk mie, roti, dan aneka kue lainnya. Upaya untuk menghambat laju konsumsi beras dan terigu dilakukan dengan menggunakan bahan baku lokal yang tersedia seperti jagung, ubi kayu, dan sagu. Beberapa kreator pangan telah menciptakan kue atau roti berbahan tepung jagung, mocaf, bahkan berbahan tepung garut.
Masalah yang dihadapi dalam pengembangan pangan lokal tidak saja karena perubahan pola makan akibat pengembangan teknologi, permasalahan yang mendasar adalah mindset dan persepsi masyarakat terhadap pangan lokal. Sebagai contoh masyarakat Indonesia secara umum menganggap jagung dan singkong masih
BAB 2: POTRET KONDISI PANGAN SAAT INI BAB 2: POTRET KONDISI PANGAN SAAT INI
pangan telah dikembangkan. Teknologi pengolahan yang dikembangkan antara lain teknologi formulasi dan teknologi ekstrusi. Teknologi formulasi dilakukan dalam rangka mendapatkan formula yang tepat untuk memenuhi kualitas dan mutu produk sebagai pangan pokok sedangkan teknologi ekstrusi untuk mendapatkan bentuk produk yang tidak hanya menarik, tetapi juga efisien dam proses pengolahannya. Berbagai bahan baku pangan lokal seperti jagung, ubi kayu, dan sagu dibentuk mie dan beras analog serta produk lainnya. Berikut ditampilkan beberapa produk olahan makanan berbahan nonberas dan nonterigu:
Tabel 2.10. Pangan Olahan Berbahan Baku Lokal Menurut Kabupaten No
Kabupaten
Provinsi
Komoditas/Ba- Produk han baku
1 Kep Mentawai
Beras sagu, mie sagu 2 OKU Timur
Sumbar
Sagu
Rasbi (beras ubi) 3 Bandar Lampung
Sumsel
Ubi kayu
Beras siger 4 Serang
Lampung
Ubi kayu
Mie mocaf 5 Kebumen
Banten
Ubi kayu
Beras mutiara, mie, makaroni 6 Temanggung
Jateng
Ubi kayu
Beras jagung, mie, makaroni 7 Wonogiri
Jateng
Jagung
Beras sehat, mie, makaroni 8 Bangkalan
Jateng
Ubi kayu
Beras cerdas 9 Malang
Jatim
Jagung
Beras cerdas 10 Dompu
Jatim
Ubi kayu
Beras jagung 11 Minahasa
Beras milu, Sinduka (tepung jagung)
12 Wakatobi
Sultra
Ubi kayu
Kaopi
13 Konawe
Sinunggi 14 Jeneponto
Sultra
Sagu
Beras jagung 15 Donggala
Beras jagung talebe, mie ja- gung
16 Pahuwato
Balobinte 17 Maluku Tenggara
Gorontalo
Jagung
Embal instan Sumber: BKP 2015
Maluku
Ubi kayu
Permasalahan ini tidak mungkin hanya diselesaikan dengan aspek teknologi namun peran kebijakan untuk mengembangkan pangan lokal perlu diwujudkan
58 DEPUTI BIDANG TEKNOLOGI AGROINDUSTRI DAN BIOTEKNOLOGI BADAN PENGKAJIAN DAN PENERAPAN TEKNOLOGI 58 DEPUTI BIDANG TEKNOLOGI AGROINDUSTRI DAN BIOTEKNOLOGI BADAN PENGKAJIAN DAN PENERAPAN TEKNOLOGI
Sedangkan pemerintah belum memberikan perhatian yang maksimal terhadap pengembangan pangan berbahan baku lokal. Sehingga harga pangan barbahan baku lokal yang diperuntukan untuk mendukung program diversifikasi pangan dan sekaligus untuk menyubstitusi pangan karbohidrat berbahan beras atau terigu, masih relatif tinggi dibandingkan dengan harga beras.
2.8. SUBSIDI PANGAN
Kebijakan subsidi pemerintah merupakan suatu faktor penting dalam sebuah negara yang menunjukkan adanya tanggung jawab pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya. Namun, sayangnya di dalam implementasinya seringkali kurang tepat sasaran, sehingga mengakibatkan keadaan yang sebaliknya. Intervensi pemerintah melalui subsidi pertanian akan mempengaruhi mekanisme pasar yang secara normal menentukan harga komoditas, dan seringkali menyebabkan produksi tanaman pertanian berlebih dan diskriminasi pasar.
Subsidi komoditas yang diekspor pada umumnya akan mendorong penurunan harga komoditas, sehingga upaya menyediakan harga pangan murah bagi konsumen di negara berkembang ini tidak menguntungkan bagi petani yang tidak menerima subsidi. Jenis subsidi pemerintah yang terkait dengan ketahanan pangan, khususnya program diversifikasi pangan adalah subsidi pangan, subsidi pupuk, dan subsidi benih. Pada tahun 2014, pemerintah telah mengalokasikan anggaran untuk masing- masing subsidi tersebut seperti tabel berikut:
Tabel 2.11 Subsidi Pangan, Pupuk dan Benih Tahun 2013 dan 2014 Jenis Subsidi
Nilai Subsidi (Triliun Rp)
18,822 Pupuk
Pangan
21,048 Benih
Sumber: Badan Pusat Statistik (Diolah) 59
BAB 2: POTRET KONDISI PANGAN SAAT INI BAB 2: POTRET KONDISI PANGAN SAAT INI
Dalam mendukung program peningkatan produktivitas pertanian, sebelumnya Kementan melakukan dua langkah strategis yakni pemberian bantuan benih gratis dan subsidi. Namun dalam perjalanannya, pemerintah menemukan beberapa kendala dalam program bantuan benih gratis, baik dari segi varietas
maupun ketepatan waktu. Sehingga pola bantuan benih
pemerintah perlu
berubah dari Bantuan Langsung Benih Unggul (BLBU)
menyediakan dan
menjadi pola subsidi. Oleh sebab itu, untuk tahun 2013
lebih memperhatikan pemerintah lebih memfokuskan pada pemberian subsidi
keberadaan pangan benih kepada petani.
lokal ini agar
Subsidi benih bertujuan untuk menyediakan
ketergantungan
benih varietas unggul bersertifikat, seperti padi, jagung,
penyediaan pangan
dan kedelai dengan mutu yang terjamin dalam rangka
tidak hanya
pelaksanaan program pembangunan tanaman pangan
bergantung pada
(SL-PTT dan di luar SL-PTT), serta membantu petani dari
beras
sisi pembiayaan permodalan, khususnya berkurangnya biaya untuk pembelian benih, sehingga bebannya lebih
ringan. Pola pelaksanaan subsidi benih ini adalah “Pola Tertutup”, yakni benih bersubsidi tidak dijual di pasar bebas (kios), tetapi disalurkan langsung ke kelompok tani yang telah mengusulkan akan membeli benih.
Besaran Harga Benih (HB) bersubsidi, subsidi benih dan harga eceran tertinggi (HET) benih bersubsidi ditetapkan oleh Menteri Pertanian. Harga Benih bersubsidi sampai tingkat kelompok tani untuk masing-masing komoditas adalah sebagai berikut: padi inbrida (lahan sawah/lahan rawa/lahan kering/lahan pasang surut/lahan lebak) sebesar Rp 8.200,-/kg, padi hibrida sebesar Rp. 53.889,-/kg, jagung komposit sebesar Rp 10.435,-/kg, jagung hibrida sebesar Rp 37.700,-/kg, dan kedelai sebesar Rp13.125,-/kg. Pengadaan dan penyaluran subsidi pemerintah untuk benih TA 2013
60 DEPUTI BIDANG TEKNOLOGI AGROINDUSTRI DAN BIOTEKNOLOGI BADAN PENGKAJIAN DAN PENERAPAN TEKNOLOGI
° padi inbrida sebanyak 120.000.000 kg °
padi hibrida sebanyak 7.500.000 kg °
jagung komposit sebanyak 2.000.000 kg °
jagung hibrida sebanyak 7.500.000 kg °
kedelai sebanyak 15.000.000 kg Pada tahun 2015 pemerintah telah mengalokasikan anggaran untuk subsidi
sebesar 9,5 juta ton untuk pupuk senilai Rp28 triliun dan bantuan benih sebesar Rp2 triliun. Subsidi ini dikhususkan untuk produksi beras.
Ditinjau dari segi harga, bahan pangan karbohidrat dari sumber pangan lokal masih dirasa mahal. Oleh sebab itu, harapan ke depan, pemerintah perlu menyediakan dan lebih memperhatikan keberadaan pangan lokal ini agar ketergantungan penyediaan pangan tidak hanya bergantung pada beras. Dalam Undang-undang Pangan No 18 Tahun 2012 pada pasal 42 disebutkan bahwa pangan lokal perlu dikembangkan dengan berbagai bentuk insentif, sehingga industri skala UKM dapat tumbuh dan ketersediaan pangan lokal berbasis spesifikasi lokasi dapat berkembang, untuk menanggulangi terjadinya perubahan iklim maupun bercana alam lain yang sewaktu-waktu mengancam negeri ini. Insentif dapat diberikan dalam bentuk keringanan pajak atau bahkan dalam bentuk subsidi, baik di sektor hulu
maupun sektor hilir, seperti pascapanen dan pengolahan. []
BAB 2: POTRET KONDISI PANGAN SAAT INI
OUTLOOK TEKNOLOGI PANGAN DIVERSIFIKASI PANGAN KARBOHIDRAT 2016
BAB 3 KETERSEDIAAN TEKNOLOGI UNTUK DIVERSIFIKASI PANGAN
63
BAB 3: KETERSEDIAAN TEKNOLOGI UNTUK DIVERSIFIKASI PANGAN
64 DEPUTI BIDANG TEKNOLOGI AGROINDUSTRI DAN BIOTEKNOLOGI BADAN PENGKAJIAN DAN PENERAPAN TEKNOLOGI
BAB 3 KETERSEDIAAN TEKNOLOGI UNTUK DIVERSIFIKASI PANGAN
3.1. TEKNOLOGI ON FARM
3.1.1. Teknologi Estimasi Peramalan Produksi Pangan
Remote Sensing
TEKNOLOGI menjadi bagian yang tidak terpisahkan. Teknologi telah menjadi tren di setiap
Teknik remote lini kehidupan. Tak terkecuali teknologi untuk sensing mempunyai
mendukung sektor pangan. Dengan semakin maju dan
kemampuan unik
berkembangnya teknologi tersebut membuat teknik
dalam perekaman
pertanian menjadi lebih baik dan tentu menjadi lebih
data gelombang
efisien. Salah satu teknologi yang diaplikasikan yakni
cahaya tampak dan
remote sensing.
juga gelombang cahaya tak tampak
Teknik penginderaan jauh telah menjadi sangat populer dalam estimasi luas tanaman dan produktivitas selama beberapa dekade terakhir. Teknik remote sensing mempunyai kemampuan unik dalam perekaman data gelombang cahaya tampak dan juga gelombang cahaya tak tampak (ultraviolet, pantulan infra red, thermal infra red, radar dan lain-lain). Oleh
OUTLOOK TEKNOLOGI PANGAN DIVERSIFIKASI PANGAN KARBOHIDRAT 2016 OUTLOOK TEKNOLOGI PANGAN DIVERSIFIKASI PANGAN KARBOHIDRAT 2016
Pengembangan Sumber Daya Lahan Pertanian (BBSDLP- Kementan), secara aktif mengembangkan teknologi remote sensing dan GIS untuk monitoring fase tumbuh, estimasi luasan, dan prediksi produktivitas padi. Data yang digunakan bervariasi, mulai data optik seperti NOAA AVHRR, Landsat TM, SPOT, dan MODIS sampai dengan data radar, seperti ERS, JERS, dan RADARSAT.
Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) dengan proyek Satellite Asessment of Rice in Indonesia (SARI) pada tahun 1998-2000 telah mencoba menggunakan dua jenis data radar, yaitu ERS dan RADARSAT. Data radar mempunyai sensivitas yang baik
Berbagai literatur
terhadap perubahan permukaan lahan dan genangan
juga telah
air. Oleh sebab itu, tanaman padi yang mempunyai fase
menunjukkan
pertumbuhan relatif cepat dapat dimonitor dengan baik
keberhasilan
oleh data radar. Menggunakan data radar multiwaktu
pemanfaatan data
(multitemporal) memungkinkan untuk memonitor fase
remote sensing
tumbuh padi.
untuk memprediksi produktivitas
Beberapa parameter yang memungkinkan tanda-
tanaman pertanian
tanda yang dapat teridentifikasi adalah jenis tanaman, tingkat kematangan (fase tumbuh), kerapatan tanaman, geometri tanaman, kesuburan tanaman, kandungan air
tanaman, kandungan air tanah, temperatur tanah, dan lain-lain. Suatu analisis citra dapat mengorelasikan parameter spektral tertentu dengan satu dari sekian banyak karakter tanaman. Hal yang penting untuk diperhatikan adalah pemilihan sensor atau data satelit yang akan digunakan, termasuk kebutuhan skala dan resolusi agar hasilnya dapat optimal sesuai dengan tujuan survei pertanian.
Pada umumnya pemanfaatan data remote sensing yang digunakan untuk pemantauan luasan setiap fase pertumbuhan tanaman pertanian terutama tanaman setahun (annual crop) adalah sensor yang dibawa oleh satelit dengan tingkat kunjungan (revisit time) yang tinggi seperti NOAA, AVHRR, dan MODIS. Para ahli remote sensing menciptakan berbagai indeks vegetasi (vegetation index) yaitu
66 DEPUTI BIDANG TEKNOLOGI AGROINDUSTRI DAN BIOTEKNOLOGI BADAN PENGKAJIAN DAN PENERAPAN TEKNOLOGI 66 DEPUTI BIDANG TEKNOLOGI AGROINDUSTRI DAN BIOTEKNOLOGI BADAN PENGKAJIAN DAN PENERAPAN TEKNOLOGI
IR − R NDVI =
IR + R
Keterangan
Padi ditanam bulan Mei Padi ditanam bulan Juni
Padi ditanam bulan Juli
Gambar 3.1. Peta masa tanam padi dengan dengan data radar ERS-1
Nilai NDVI berkisar antara (-1) sampai dengan (+1), di mana kisaran umum untuk tanaman hijau antara 0,2 – 0,8. Pada fase awal tanam mempunyai nilai NDVI rendah (minus) karena keadaan sawah masih didominasi oleh air, kemudian mulai meningkat sampai dengan pembentukan bunga (heading time). Pada sawah, NDVI baru dapat diukur setelah tanaman padi mencapai umur 3-4 MST (Minggu Setelah Tanam), karena sebelum umur tersebut kenampakan tanaman padi di lahan sawah masih didominasi kenampakan genangan air (Malingreau, 1981). Nilai NDVI yang rendah berarti tingkat kehijauan tanamannya (aktivitas klorofil) juga rendah, sedangkan nilai yang semakin tinggi menunjukkan bahwa tanaman tersebut semakin lebat/hijau.
Berbagai literatur juga telah menunjukkan keberhasilan pemanfaatan data remote sensing untuk memprediksi produktivitas tanaman pertanian. Seperti yang dilaporkan oleh Mubekti et.al. (1991) dari hasil penelitiannya, terdapat korelasi yang tinggi (R= 97 %) antara produktivitas padi dengan hasil analisis kombinasi beberapa
BAB 3: KETERSEDIAAN TEKNOLOGI UNTUK DIVERSIFIKASI PANGAN BAB 3: KETERSEDIAAN TEKNOLOGI UNTUK DIVERSIFIKASI PANGAN
Muthi et.al. mengorelasikan antara NDVI dengan produktivitas pada berbagai fase pertumbuhan padi dengan menggunakan data Landsat TM. Mereka mendapatkan hasil korelasi yang paling tinggi (R= 94) pada saat tanaman padi pada fase pembungaan. Jadi, data remote sensing dapat dimanfaatkan untuk meramal produktivitas padi kira-kira 2 bulan sebelum panen dilakukan. Namun demikian, keberhasilan korelasi antara data remote sensing dan produktivitas padi masih bersifat lokal, artinya persamaan korelasi di suatu tempat belum tentu cocok untuk dimanfaatkan pada daerah yang lain.
Berdasarkan pola pengenalan karakter spektral dan karakter agronomis tanaman padi, klasifikasi fase pertumbuhan padi berdasarkan analisis citra dapat dilakukan. Kemudian luas dari masing-masing fase pertumbuhan dihitung berdasarkan pixel-count, yaitu menghitung jumlah pixel yang terklasifikasi sebagai fase pertumbuhan tertentu dikalikan dengan ukuran pixel. Untuk mengetahui tingkat akurasi hasil klasifikasi, pada umumnya dicek dengan data rujukan (reference data) hasil survei lapangan atau sumber lain. Praktisi remote sensing menggunakan matrik yang disebut confusion matrix untuk menghitung akurasi keseluruhan dan kesalahan komisi.
Faktor-faktor yang mempengaruhi akurasi adalah adanya mix-pixel, yaitu dalam satu pixel bisa saja terdiri dari beberapa tutupan lahan. Kemiripan karakter spektral antara tutupan lahan yang satu dengan tutupan lahan yang lain juga berpengaruh terhadap hasil klasifikasi.
68 DEPUTI BIDANG TEKNOLOGI AGROINDUSTRI DAN BIOTEKNOLOGI BADAN PENGKAJIAN DAN PENERAPAN TEKNOLOGI
Keterangan:
Merah: kurang dari 4,5 ton/ha Kuning: 4,5-5,5 ton/ha Biru : lebih besar dari 5,5 ton/ha Warna lain: false color composite (band hijau,
merah, dan infra merah)
Gambar 3.2 . Peta produktivitas padi dari data satelit Landsat TM
Data penginderaan jauh juga digunakan untuk estimasi produktivitas tanaman dengan mengorelasikan antara produktivitas dan indeks vegetasi yang dibangun dari data remote sensing, misalnya Landsat TM atau data AVHRR. Data AVHRR yang diperoleh dari satelit NOAA memiliki resolusi spasial jauh lebih rendah, tetapi frekuensi pengambilan data jauh lebih sering dari Landsat TM, sehingga dapat berguna terutama untuk memantau perilaku musiman tanaman pertanian.
3.1.2. Survei Pertanian Berdasarkan Kerangka Sampel
Indonesia dalam hal ini BPPT pada tahun 1998 mulai mengembangkan kerangka sampel area untuk estimasi luasan dan produktivitas padi melalui proyek Satellite Asessment of Rice in Indonesia (SARI). Sampel segmen berbentuk bujur sangkar yang sampai dengan tahun 2002 ukuran segmennya adalah 1 km x 1 km (100 ha). Kemudian pada tahun 2005 sampai dengan tahun 2007, ukuran segmen diperkecil menjadi 500 m x 500 m (25 ha). Beban kerja pemetaan sampel segmen yang besar dan pemrosesan data (penyekenan sampai pemrosesan secara GIS) relatif rumit, karena itu akhirnya dikembangkan kerangka area dengan pengamatan titik mulai tahun 2008.
Sejak tahun 2008, BPPT mulai mengembangkan kerangka sampel area dengan sampel titik (KSA) untuk estimasi luas padi dari sebelumnya yang menggunakan sampel segmen. Alasan utama pengembangan ini adalah, (1) memudahkan dan
BAB 3: KETERSEDIAAN TEKNOLOGI UNTUK DIVERSIFIKASI PANGAN BAB 3: KETERSEDIAAN TEKNOLOGI UNTUK DIVERSIFIKASI PANGAN
Salah satu contoh daerah yang menggunakan
Sejak tahun
teknologi ini adalah Provinsi Jawa Barat. Tahap awal
2008, BPPT mulai
pembangunan KSA adalah menstratifikasi wilayah Jawa
mengembangkan
Barat menjadi 4 strata, yaitu (1) Strata-1 (sawah irigasi), (2)
kerangka sampel
Strata-2 (sawah tadah hujan), (3) Strata-3 (tegalan), dan
area dengan sampel (4) Strata-0 (bukan areal pertanian). Strata-1, strata-2,
titik (KSA) untuk
dan strata-3 dialokasikan sampel segmen, sedangkan
estimasi luas padi
strata-4 tidak dialokasikan sampel segmen karena wilayah ini tidak terdapat areal persawahan. Proses penyampelan
memerlukan gridding berukuran 6000 m x 6000 m dan sub-gridding berukuran 300 m x 300 m. Segmen berukuran 300 m x 300 m, dan di dalamnya dialokasikan 9 sampel titik yang dipilih secara sistematis. Citra satelit resolusi tinggi diperlukan dalam survei lapangan untuk mencari lokasi titik-titik pengamatan.
Survei lapangan bertujuan mendatangi sampel segmen dan mengamati serta mencatat fase pertumbuhan padi pada setiap titik pengamatan. Fase pertumbuhan padi terdiri dari (1) vegetatif awal, (2) vegetatif akhir, (3) generatif, (4) panen, (5) pengolahan lahan, (6) puso/rusak, (7) sawah ditanami bukan padi, dan (8) bukan sawah.
Setelah selesai survei lapangan, surveyor dalam hal ini Mantri Tani atau Mantri Statistik mengirim data fase pertumbuhan padi melalui SMS. Data yang dikirim akan diterima oleh SMS server dan akan diolah secara otomatis oleh server. Analisis estimasi luas masing-masing fase pertumbuhan padi dilakukan dengan ekstrapolasi dari sampel ke populasi (direct expansion). Sepanjang umur tanaman padi diketahui, luasan fase vegetatif dan generatif diperoleh, peramalan luas panen padi untuk 2 bulan atau 4 bulan ke depan dapat diramalkan. Apabila data produktivitas dapat diperoleh dari hasil ubinan yang dilakukan oleh BPS, total produksi padi untuk level kecamatan dapat diestimasi dan diramalkan.
Hasil estimasi luasan dan produksi padi disajikan melalui situs yang sudah dibangun sehingga informasi yang disajikan bersifat ‘near real time’. Proses mulai pengiriman data lapangan, pengolahan, hingga penyajian lewat situs internet
70 DEPUTI BIDANG TEKNOLOGI AGROINDUSTRI DAN BIOTEKNOLOGI BADAN PENGKAJIAN DAN PENERAPAN TEKNOLOGI 70 DEPUTI BIDANG TEKNOLOGI AGROINDUSTRI DAN BIOTEKNOLOGI BADAN PENGKAJIAN DAN PENERAPAN TEKNOLOGI
Gambar 3.3. Kerangka Sampel Area
3.1.3 Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC)
Sebagai negara agraris yang terletak di daerah tropis, dampak negatif perubahan iklim seperti munculnya fenomena iklim ekstrim El-Nino dan La-Nina yang dapat mengakibatkan bencana kekeringan dan banjir, kerap menjadi faktor penyebab penurunan produksi pertanian yang mengganggu stabilitas ketahanan pangan di Indonesia.
Salah satu upaya untuk meminimalisasi dampak negatif yang dapat dipicu oleh faktor iklim dan cuaca terhadap program ketahanan pangan adalah melalui penerapan Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC). TMC pernah berkontribusi dalam program peningkatan produksi beras nasional
BAB 3: KETERSEDIAAN TEKNOLOGI UNTUK DIVERSIFIKASI PANGAN BAB 3: KETERSEDIAAN TEKNOLOGI UNTUK DIVERSIFIKASI PANGAN
Dengan perencanaan yang baik, jika aplikasi TMC dimanfaatkan di 10 provinsi sentra produksi beras dengan durasi sekitar 60 hari di masing-masing provinsi, tambahan air yang tertampung di sejumlah waduk strategis dari hasil pelaksanaan TMC berpotensi mampu meningkatkan produksi beras nasional sebanyak 0,94 juta ton atau sedikit di atas nilai rerata impor beras dalam 10 tahun terakhir yang mencapai 893.875 ton per tahun. Dengan demikian, jika TMC diimplementasikan dalam skema sistem produksi beras nasional maka Indonesia bisa mencapai kemandirian pangan, tanpa harus mengimpor beras dari luar negeri.
Proses TMC di Atmosfer
Penyemaian awan dengan media pesawat
3.1.4. Teknologi Budidaya Guna meningkatkan produktivitas tanaman budidaya, teknologi memegang
peranan penting. Potensi tanaman dimaksimalkan dengan teknik dan cara sesuai dengan ilmu pengetahuan. Di bawah ini diulas teknik budidaya beberapa jenis komoditas tanaman pangan.
72 DEPUTI BIDANG TEKNOLOGI AGROINDUSTRI DAN BIOTEKNOLOGI BADAN PENGKAJIAN DAN PENERAPAN TEKNOLOGI
Tanaman jagung (Zea mays L.) tergolong tanaman semusim yang dapat tumbuh dengan baik pada tanah-tanah yang gembur dengan tekstur tanah halus sampai sedang. Tingkat kemasaman tanah (pH) berkisar 5,8 – 7,8, suhu optimal 24 – 30 o C, berdrainase baik sampai agak terhambat, dengan curah hujan tahunan 500 – 1.200 mm, kelembaban udara di atas 42 %, kedalaman efektif tanah di atas 60 cm, tingkat kemiringan lereng di bawah 8 %, salinitas di bawah 4 ds/m, kandungan C-organik di atas 1 %, dan singkapan batuan di bawah 5 %. Selama pertumbuhan, tanaman ini memerlukan air berkisar antara 45 - 60 m 3 air. Ketinggian tempat tumbuh relatif lebar yaitu dari 0 m sampai 1.500 m di atas muka laut, bahkan sampai ketinggian 2.000 m masih dapat berproduksi dengan baik. Ketinggian tempat tumbuh optimal antara 50 - 600 m di atas permukaaan laut.
Penanaman jagung dilakukan dengan menanam biji jagung pada lubang tanam. Setiap lubang diisi dengan satu atau dua butir jagung tergantung dari jarak tanam. Pada umumnya jarak tanam yang digunakan terkait dengan jumlah populasi tanaman dalam satu hektar. Apabila digunakan jarak tanam 100 cm x 30 cm dengan dua butir biji per lubang akan didapat populasi sebanyak 66.000 tanaman. Sedangkan apabila digunakan jarak tanam 40 x 70 cm, dengan dua butir jagung per lubang akan diperoleh sekitar 70.000 tanaman.
Pada saat ini tanaman jagung yang banyak dibudidayakan adalah jagung hibrida yang memiliki produktivitas yang tinggi, sedangkan tanaman jagung komposit lebih banyak diusahakan pada lahan-lahan yang baru dibuka atau di daerah-daerah yang sulit untuk mendapatkan varietas jagung hibrida. Tanaman jagung hibrida memerlukan input pupuk yang banyak dibandingkan kebutuhan pupuk untuk jagung komposit. Pemupukan pertama dilakukan bersamaan pada saat tanam.
Ada dua cara pemberian pupuk yaitu dengan cara membuat lubang tunggal berdampingan dengan lubang tempat benih kemudian diisi pupuk atau dibuat alur sepajang lubang tanam, pupuk ditebar sepanjang alur lalu ditutup dengan tanah. Jumlah pupuk yang umum digunakan adalah 400 kg pupuk majemuk ponska per hektar yang telah dicampur dengan pupuk organik dengan perbandingan 1:1. Pemupukan kedua dilaksanakan pada saat tanaman berumur 25 - 30 hari setelah tanam (HST). Jenis pupuk yang digunakan yaitu pupuk tunggal urea dengan jumlah 200 kg per hektar, yang ditebar di antara batang tanaman jagung, kemudian dibumbun. Dalam
BAB 3: KETERSEDIAAN TEKNOLOGI UNTUK DIVERSIFIKASI PANGAN
Selain itu penyiraman perlu dilakukan apabila tidak ada hujan. Untuk lahan- lahan yang beririgasi teknis, penyiraman sebaiknya dilakukan setiap 3-4 hari sekali bergantung poros tidaknya tanah. Pemeliharaan lainnya dalah penanggulangan hama dan penyakit tanaman antara lain:
a. Penggerek batang jagung (Ostrinia furnacalis)
Pengendalian hama ini dengan cara pengaturan waktu tanam yang tepat, tumpang sari dengan tanaman kedelai atau kacang tanah. Pengendalian secara hayati dengan memanfaatkan musuh alami seperti parasit Trichogramma spp. Yang akan memarasit telur. Predator Euborellia annulata memangsa larva dan pupa O. furnacalis. Bakteri Bacilllus thuringiensis Kurstaki mengendalikan larva, sedangkan cendawan entomopatogenik yaitu Beauveria bassiana dan Metarhizium anisopliae mengendalikan larva. Pengendalian secara kimiawi bisa menggunakan insektisida sistemik seperti Furadan 3 G yang diletakkan pada pucuk tanaman jagung.
b. Ulat Grayak (Spodoptera litura F.)
Pengendalian hama ini dapat dilakukan dengan pembakaran tanaman dan pengolahan tanah intensif. Pengendalian secara hayati dapat menggunakan musuh alami seperti patogen SI-NPV (Spodoptera litura-Nuclear Polyhedrosis Virus), cendawan Cordiceps, Aspergilus flavus, Beauveria bassiana, Nomuraea rileyi, dan Metarhizium anisoplae, bakteri Bacillus thuringiensis, dan sebagainya. Pemberantasan secara kimia dapat menggunakan Furadan 3 G yang dimasukkan ke dalam pucuk tanaman jagung.
c. Penggerek tongkol jagung (Helicoverpa armigera)
Pengendalian hama ini dengan memanfaatkan musuh alami seperti halnya Trichogramma spp., yang menyerang telur cukup efektif. Sedangkan parasit pada larva muda adalah Eriborus argentiopilosa. Cendawan Metarhizium anisoplae, bakteri Bacillus thuringiensis, serta virus Helicoverpa armigera Nuclear Polyhedrosis Virus (HaNPV) menginfeksi larva. Penggunaan pestisida sistemik seperti Furadan 3 G pada pucuk tanaman cukup efektif untuk memberantas hama ini.
d. Kumbang bubuk Sitophilus zeamais (Motsch)
Penanggulangan hama di tempat penyimpanan dapat dihambat apabila kadar 74 DEPUTI BIDANG TEKNOLOGI AGROINDUSTRI DAN BIOTEKNOLOGI BADAN PENGKAJIAN DAN PENERAPAN TEKNOLOGI Penanggulangan hama di tempat penyimpanan dapat dihambat apabila kadar 74 DEPUTI BIDANG TEKNOLOGI AGROINDUSTRI DAN BIOTEKNOLOGI BADAN PENGKAJIAN DAN PENERAPAN TEKNOLOGI
Fumigasi di tempat penyimpanan dengan menggunakan phospine (PH 3 ) dan methyl bromida (CH 3 Br) dapat menghambat perkembangan kumbang bubuk.
e. Penyakit bulai (Peronosclerospora maydis)
Penyakit bulai atau downy mildew merupakan penyakit jagung yang mengakibatkan tanaman tidak dapat menghasilkan jagung. Pada saat ini seluruh varietas jagung hibrida yang diedarkan di Indonesia harus tahan terhadap penyakit ini.
f. Penyakit hawar daun (Helminthosporium turcicum)
Penyakit hawar daun menyerang daun dimana pada awal gejala berupa bercak kecil berbentuk oval yang kemudian bercak membentuk elips dan berkembang menjadi nekrotik. Pengendalian penyakit ini adalah dengan menggunakan varietas jagung yang tahan penyakit hawar daun seperti halnya Pioneer, Bisi, BR 2, dan BR 4.
g. Penyakit busuk pelepah (Rhizoctonia solani)
Penyakit busuk pelepah pada tanaman jagung umumnya terjadi pada pelepah daun yang ditandai dengan bercak berwarna kemerahan yang kemudian berubah menjadi abu-abu, yang pada perkembangan selanjutnya berubah menjadi coklat. Penanggulangan penyakit ini dnegan penggunaan varietas yang tahan penyakit busuk pelepah, perbaikan drainase, pergiliran tanaman, dan penggunaan fungisida dengan bahan aktif mancozeb dan carbendazim.
Ubi Kayu
Varietas unggul ubi kayu yang telah dirilis oleh Kementan hingga saat ini ada
9 varietas yaitu Adira 1, Adira 2, Adira 4, Malang 1, Malang 2, Malang 4, Malang 6, UJ
3 , dan UJ 5 (Kasetsart). Selain itu ada beberapa varitas yang sudah banyak ditanam oleh petani antara lain Litbang UK-II, Kaspro, Buto ijo, dan Cimanggu. Berikut disajikan tabel varietas ubi kayu di Indonesia:
BAB 3: KETERSEDIAAN TEKNOLOGI UNTUK DIVERSIFIKASI PANGAN
Varitas Umur
Keterangan (Bulan)
Hasil (t/ Kadar
HCN (ppm)
Adira 1 7-10
Agak tahan tungau merah Adira 2
Agak tahan tungau merah Adira 4
8-12
Agak tahan tungau merah Malang 1 9-10
10 35 18-22
Toleran tungau merah Malang 2 8-10
36 32-36
Agak peka tungau merah UJ 3
31 32-36
Agak tahan CBB UJ 5
Agak tahan CBB (Cassava Bacterial Blight)
Malang 4 9 39 25-32
Agak tahan tungau
Agak tahan tungau Sumber: Kementan
Malang 6 9 36 25-32
Pemilihan bibit yang baik sebaiknya berumur sekitar 9-12 bulan dan bebas dari serangga dan penyakit. Cara meletakkan bibit sebaiknya berdiri jangan direbahkan dan bertumpuk. Panjang potongan bibit 20 cm pada penanaman musim penghujan dan 25 cm penanaman pada musim kemarau. Pada umumnya ubi kayu ditanam pada lahan yang kekurangan zat Zn, sehingga sebaiknya sebelum tanam, bibit direndam selama 15 menit dalam larutan 2 % Zn (4 kg/200 ltr air). Jarak tanam (spacing) yang baik adalah 1 m x 1 m atau dengan populasi 10.000 tanaman per hektar. Namun demikian dapat dilakukan penanaman dengan jarak tanam 1 m x 0,8 m , atau dengan populasi menjadi 12.500.
Pemupukan I dilakukan pada umur tanaman 1 bulan (akhir bulan I atau awal bulan II) dengan cara dibenamkan berjarak 5 cm dari batang tanaman. Dilakukan setelah weeding I atau sebelumnya tergantung kondisi gulma di lapangan. Dosis pupuk N (Urea) , P (SP36) dan K (KCl) sesuai dengan kondisi dan jenis tanah. Dosis umum / anjuran setempat adalah 100 kg Urea/ha ; 100 kg SP36/ha dan 100 kg KCl/
ha untuk aplikasi pupuk I dan 50 kg Urea/ha; 50 kg SP36/ha dan 50 kg KCl/ha untuk aplikasi pupuk II.
Pemupukan II dilakukan pada saat umur tanaman 4 bulan, dengan cara yang sama seperti pada aplikasi pemupukan I. Dosis pupuk sesuai dengan kondisi dan jenis tanah, biasanya sebanyak sepertiga (1/3) dari dosis total pemupukan.
76 DEPUTI BIDANG TEKNOLOGI AGROINDUSTRI DAN BIOTEKNOLOGI BADAN PENGKAJIAN DAN PENERAPAN TEKNOLOGI
Sagu Sagu merupakan tanaman yang penyebarannya
Sembilan puluh
cukup merata di tanah air kita. Potensinya pun sungguh
persen tanaman sagu
luar biasa. Sembilan puluh persen tanaman sagu yang
yang ada di dunia
ada di dunia itu ada di negeri Indonesia. Prof. Masanori
itu ada di negeri
Okazaki, ilmuwan dari Rikko University Jepang dalam
Indonesia
sebuah simposium sampai mengatakan, “Apabila dunia
dilanda cuaca ekstrem, hanya tanaman sagu penghasil karbohidrat yang mampu bertahan. Penduduk dunia akan sangat berterima kasih kepada Indonesia ketika mau membagikan sagunya karena 1 juta hektar hutan sagu di Indonesia akan mampu menghidupi miliaran manusia penghuni planet bumi.”
Tanaman sagu dapat berkembang biak dengan anakan atau dengan biji. Anakan sagu tumbuh dari tunas-tunas pohon induk, dan mulai membentuk batang pada umur 3 tahun. Anakan sagu ini memperoleh unsur hara dari pohon induknya sampai akarnya mampu menyerap sendiri unsur hara, dan daunnya mampu melakukan fotosintesis sendiri. Anakan ini kemudian berkembang menjadi pohon sagu yang tingginya lebih dari 6 sampai 15 meter. Pohon sagu ini siap ditebang untuk diambil tepungnya pada umur sekitar 8 tahun. Pola pertumbuhan tanaman sagu dari anakan sampai pohon dewasa dapat dilihat pada Gambar 3.4.
Gambar 3.4. Pola pertumbuhan tanaman sagu dari anakan sampai pohon dewasa
BAB 3: KETERSEDIAAN TEKNOLOGI UNTUK DIVERSIFIKASI PANGAN
3.2. TEKNOLOGI OFF FARM