BPPT OUTLOOK TEKNOLOGI PANGAN 2016

OUTLOOK TEKNOLOGI PANGAN 2016 Diversifikasi Pangan Karbohidrat

Edisi 2016

EDITOR

Dr. Ir. Hardaning Pranamuda, M.Sc. Dr. Aton Yulianto, S.Si, M.Eng. Ir. Arif Arianto, M.Sc.

DEPUTI BIDANG TEKNOLOGI AGROINDUSTRI DAN BIOTEKNOLOGI BADAN PENGKAJIAN DAN PENERAPAN TEKNOLOGI

www.bppt.go.id

OUTLOOK TEKNOLOGI PANGAN DIVERSIFIKASI PANGAN KARBOHIDRAT 2016

OUTLOOK TEKNOLOGI PANGAN DIVERSIFIKASI PANGAN KARBOHIDRAT 2016

SAMBUTAN KEPALA BPPT

KAMI panjatkan puji syukur ke hadirat Allah SWT bahwa buku Outlook Teknologi Pangan Diversifikasi Pangan Karbohidrat 2016 ini dapat diselesaikan. Buku Outlook Teknologi Pangan 2016 ini adalah terbitan pertama Program Pangan dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT). Buku ini memberikan gambaran ringkas mengenai permasalahan teknologi untuk menunjang diversifikasi (penganekaragaman) pangan saat ini, serta proyeksi kebutuhan dan pasokan pangan lokal untuk kurun waktu 2016-2045.

Pengembangan diversifikasi (penganekaragaman) pangan selalu terkait dengan pengembangan ekonomi. Dalam buku ini dibahas skenario pengembangan diversifikasi pangan sejalan dengan pertumbuhan ekonomi. Isu penting dalam pertumbuhan ekonomi adalah upaya untuk melepaskan diri dari ketergantungan impor pangan yang saat ini sudah mencapai 70%. Padahal, potensi sumber daya alam Indonesia sangat besar, namun belum dimanfaatkan secara optimal. Di samping itu, Outlook Teknologi Pangan 2016 juga membahas berbagai aspek dalam pengembangan pangan nasional di masa mendatang, khususnya pengembangan pangan lokal (jagung, ubi kayu, dan sagu) untuk mendukung program ketahanan dan kedaulatan pangan nasional.

Edisi pertama Outlook Teknologi Pangan ini mengangkat tema diversifikasi pangan karbohidrat, karena menjadi kunci penting keberhasilan dalam mewujudkan ketahanan pangan. Sebagai wujud upaya untuk mendorong masyarakat menganekaragamkan pangan yang dikonsumsi agar tidak terfokus pada satu jenis

OUTLOOK TEKNOLOGI PANGAN DIVERSIFIKASI PANGAN KARBOHIDRAT 2016 OUTLOOK TEKNOLOGI PANGAN DIVERSIFIKASI PANGAN KARBOHIDRAT 2016

sumber daya lokal salah satunya adalah untuk mendukung substitusi impor pangan nonberas dan nonterigu, juga dengan memanfaatkan tanaman sagu yang potensi luasannya nomor satu di dunia, jagung, dan ubi kayu sesuai dengan kearifan lokal daerah. Peran teknologi dalam program diversifikasi (penganekaragaman) pangan sangat penting dan dibutuhkan untuk meningkatkan produktivitas, menghasilkan produk pangan yang berkualitas, dan efisiensi produksi. Sehingga dapat dihasilkan produk pangan lokal yang sehat, rasanya enak, praktis, dengan harga terjangkau sehingga dapat diterima oleh masyarakat.

Buku Outlook Teknologi Pangan 2016 ini diharapkan dapat menjadi sumber informasi dan acuan bagi instansi pemerintah, swasta, industri, akademisi dan masyarakat pada umumnya dalam pengembangan teknologi untuk mendukung diversifikasi pangan nasional jangka panjang.

Kami menghargai dan berterima kasih kepada Tim Penyusun serta semua pihak yang telah memberi dukungan dan bantuan sehingga buku ini bisa diterbitkan. Buku ini masih belum sempurna dan masih banyak kekurangannya, namun dengan segala kerendahan hati kami mohon masukan yang bersifat konstruktif untuk penyempurnaan buku berikutnya.

Jakarta, Juli 2016

Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi

Dr. Ir. Unggul Priyanto, M.Sc.

8 DEPUTI BIDANG TEKNOLOGI AGROINDUSTRI DAN BIOTEKNOLOGI BADAN PENGKAJIAN DAN PENERAPAN TEKNOLOGI

SAMBUTAN MENTERI RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI

Assalamu’alaikum wa Rahmatullaahi wa Barakatuh PERMASALAHAN global yang melanda dunia termasuk Indonesia adalah

masalah energi dan pangan. Sama halnya dengan masalah di bidang energi maka masalah pangan merupakan tantangan yang harus disikapi dengan serius karena terkait dengan beberapa faktor yang saling terkait secara kompleks, antara lain ketergantungan impor pangan yang semakin besar (mencapai 70%), pertambahan penduduk (1,49% per-tahun), iklim dan bencana alam, alih fungsi lahan, kondisi sosekbud masyarakat termasuk perubahan pola makan, masalah keamanan pangan sampai pada kondisi belum optimalnya implementasi kebijakan pemerintah di bidang diversifikasi yang kemudian kesemuanya itu terakumalasi menjadi semakin rendahnya ketahanan pangan Indonesia.

Hak atas pangan adalah hak asasi manusia. Negara berkewajiban menjamin hak atas warganya dengan melaksanakan amanat konstitusi UUD 1945 yang secara gamblang disampaikan pada pasal 33. Indonesia berupaya keras membangun perekonomian nasional guna meningkatkan daya saing dalam kancah pasar internasional. Salah satu upaya yang dilakukan dalam pembangunan ekonomi nasional adalah upaya menjamin penyediaan pangan berkelanjutan bagi masyarakat Indonesia.

OUTLOOK TEKNOLOGI PANGAN DIVERSIFIKASI PANGAN KARBOHIDRAT 2016 OUTLOOK TEKNOLOGI PANGAN DIVERSIFIKASI PANGAN KARBOHIDRAT 2016

Peran pangan lokal dalam program diversifikasi pangan semakin penting untuk ditingkatkan, karena memiliki nilai tambah sebagai komoditas bisnis dalam penyediaan pangan daerah, serta mempunyai peranan sosial, ekonomi dan budaya karena sebenarnya masyarakat telah mengenal produk-produk pangan lokal sejak dahulu.

Saat ini telah terjadi penurunan konsumsi pangan lokal, termasuk di wilayah yang sebelumnya mempunyai pola pangan pokok berbasis pangan lokal, sebaliknya telah terjadi peningkatan konsumsi terigu dan turunannya. Pengembangan diversifikasi pangan sebagai bagian untuk mewujudkan kedaulatan pangan hendaknya dilakukan oleh semua kalangan. Upaya tersebut dapat dilakukan dengan menyusun dan implementasi strategi kebijakan terkait optimalisasi pemanfaatan potensi lahan dan kebiasaan mengonsumsi pangan lokal, serta pengembangan produksi, industri, dan konsumsi pangan lokal, penciptaan pasar pangan lokal di tingkat nasional dan wilayah, diikuti penyediaan produk pangan lokal yang mampu bersaing dengan produk asing.

Untuk itu, buku Outlook Teknologi Pangan - Diversifikasi Karbohidrat yang membahas skenario pengembangan diversifikasi pangan sejalan dengan pertumbuhan ekonomi, juga membahas berbagai aspek dalam pengembangan pangan nasional di masa mendatang, khususnya pengembangan pangan lokal (jagung, ubi kayu, dan sagu) untuk mendukung program ketahanan dan kedaulatan pangan nasional. Buku Outlook Teknologi Pangan ini memberikan gambaran ringkas mengenai permasalahan teknologi untuk menunjang diversifikasi pangan saat ini. Selain itu juga menjelaskan proyeksi kebutuhan dan pasokan teknologi pangan 25 tahun ke depan.

Kami berharap semoga buku ini bermanfaat bagi penyusun dan penentu

10 DEPUTI BIDANG TEKNOLOGI AGROINDUSTRI DAN BIOTEKNOLOGI BADAN PENGKAJIAN DAN PENERAPAN TEKNOLOGI 10 DEPUTI BIDANG TEKNOLOGI AGROINDUSTRI DAN BIOTEKNOLOGI BADAN PENGKAJIAN DAN PENERAPAN TEKNOLOGI

Buku Outlook Teknologi Pangan 2016 ini diharapkan dapat menjadi sumber informasi dan acuan bagi instansi pemerintah, swasta, akademisi, dan masyarakat pada umumnya dalam pengembangan teknologi untuk mendukung diversifikasi pangan nasional jangka panjang.

Kami mengimbau baik kepada seluruh jajaran pemerintah pusat dan kepala daerah serta masyarakat agar dapat turut serta menyukseskan program diversifikasi pangan menuju Indonesia yang sehat dan berdaulat.

Kepada para perekayasa dan peneliti BPPT, kami sampaikan terima kasih atas komitmen akademik dalam upaya mendorong implementasi kebijakan pembangunan pangan secara konsisten.

Wassalamu’alaikum wa Rahmatullaahi wa Barakatuh

Jakarta, Juli 2016

Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi

Prof. H. Mohamad Nasir, Ph.D., Ak.

DEPUTI BIDANG TEKNOLOGI AGROINDUSTRI DAN BIOTEKNOLOGI BADAN PENGKAJIAN DAN PENERAPAN TEKNOLOGI

OUTLOOK TEKNOLOGI PANGAN DIVERSIFIKASI PANGAN KARBOHIDRAT 2016

UCAPAN TERIMA KASIH

Pada kesempatan ini, kami Tim Penyusun Outlook mengucapkan terima kasih kepada para profesional di bawah ini yang telah membagi waktu dan informasi yang berharga sehingga buku Outlook Teknologi Pangan Diversifikasi Pangan Karbohidrat 2016 ini dapat diterbitkan. Terima kasih ditujukan kepada:

• Ir. Sri Sulihanti M.Sc, Kepala Pusat Penganekaragaman Pangan dan Keamanan Pangan, Badan Ketahanan Pangan (BKP) Kementerian Pertanian Republik Indonesia

• Dr. Ir. Nur Mahmudi Isma’il, M.Sc., Penggagas dan Penggerak Program One Day No Rice (ODNR) • Dr. Ageng S. Heriyanto, National Program Officer FAO Indonesia Jakarta • Ir. Adhi S. Lukman Ketua Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman

Indonesia (GAPMMI) Jakarta • Dr. Dwi Asmono, Direktur Riset dan Pengembangan PT. Sampurna Agro Jakarta • Prof. Dr. M. Husein Sawit, Pakar Beras dan Advisor Bulog • Drs. Puguh Suharso, Peneliti dan Praktisi Ekonomi Bisnis • Dr. Risnarto, Praktisi Kebijakan Publik

Semoga masukan dan pemikiran dari berbagai pihak di atas dapat memberi warna dalam penyusunan Outlook Teknologi Pangan guna menunjang Diversifikasi Pangan Karbohidrat.

Serpong, Juli 2016

OUTLOOK TEKNOLOGI PANGAN DIVERSIFIKASI PANGAN KARBOHIDRAT 2016

14

OUTLOOK TEKNOLOGI PANGAN DIVERSIFIKASI PANGAN KARBOHIDRAT 2016

BAB 1 PENDAHULUAN

Dusun sagu di Kabupaten Sorong Selatan – Papua Barat

21

DEPUTI BIDANG TEKNOLOGI AGROINDUSTRI DAN BIOTEKNOLOGI BADAN PENGKAJIAN DAN PENERAPAN TEKNOLOGI

22 DEPUTI BIDANG TEKNOLOGI AGROINDUSTRI DAN BIOTEKNOLOGI BADAN PENGKAJIAN DAN PENERAPAN TEKNOLOGI

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

PANGAN merupakan kebutuhan dasar kehidupan manusia. Oleh sebab itu, ketersediaan pangan menjadi keharusan sesuai dengan amanat Undang-Undang Republik Indonesia No. 18 tahun 2012 tentang Pangan. Dalam Undang-undang Pangan tersebut disebutkan bahwa penyelenggaraan penyediaan pangan dilakukan untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia yang memberikan manfaat secara adil, merata, dan berkelanjutan berdasarkan kedaulatan pangan, kemandirian pangan, dan ketahanan pangan.

Penyediaan pangan untuk masyarakat Indonesia akan terus menghadapi masalah karena berbagai hal, di antaranya; pertumbuhan penduduk sebesar 1,49 %/tahun, adanya gangguan iklim,

"Peran pangan lokal

sering terjadinya bencana serta menyempitnya lahan

dengan program

produktif di Pulau Jawa, serta produktivitas padi yang

diversifikasi pangan

terus melandai.

sangat strategis

Kondisi ini tidak lepas dari kebijakan pemerintah

untuk masa sekarang

sebelumnya bahwa pangan pokok adalah beras. Dengan

dan masa yang akan

demikian, keberadaan pangan lokal seperti jagung,

datang"

ubi kayu, dan sagu makin berkurang dan sedikit sekali mendapat perhatian. Secara psikologis, mengonsumsi pangan nonberas terutama yang berbahan pangan lokal seringkali memberikan pandangan atau menunjukkan status perekonomian yang rendah (inferior).

BAB 1: PENDAHULUAN

Sedangkan di pihak lain, peran pangan lokal dengan program diversifikasi pangan sangat strategis untuk masa sekarang dan masa yang akan datang.

Kita menyadari bahwa ketergantungan pangan pada satu jenis pangan pokok saja dalam hal ini beras akan membahayakan, ditinjau dari segi ketahanan pangan, sosial, maupun politik. Di sisi lain, penyediaan pangan dalam bentuk beras semakin lama semakin berat dan mahal karena produktivitas tanaman padi yang sudah

maksimal, menyempitnya lahan subur sebagai akibat beralihnya fungsi lahan pertanian ke nonpertanian,

Masyarakat

kerusakan saluran irigasi, mengecilnya sumber air untuk

Indonesia kini

penanaman padi, timbulnya kekeringan dan banjir akibat

beralih mengonsumsi perubahan iklim dan sebagainya. Alih fungsi lahan setiap

pangan karbohidrat tahun mencapai 140 ribu ha sedangkan pertambahan

beras ke pangan

lahan untuk pertanian hanya 100 ribu ha sehingga terjadi

berbasis terigu yang selisih 40 ribu ha luas lahan pertanian.

mencapai rata-rata

21 kg per kapita per Perkembangan ilmu pengetahuan dan tahun pada tahun teknologi (iptek) berpengaruh terhadap pola makan

2015 bangsa Indonesia. Masyarakat Indonesia kini beralih

mengonsumsi pangan karbohidrat beras ke pangan berbasis terigu yang mencapai rata-rata 21 kg per kapita

per tahun pada tahun 2015. Konsumsi pangan berbasis terigu tersebut sebagian besar dalam bentuk mie, roti, dan aneka kue lainnya.

Upaya untuk menghambat laju konsumsi pangan beras dan terigu diusahakan menggunakan bahan baku lokal yang telah tersedia di antaranya; jagung, ubi kayu, dan sagu. Dua sumber karbohidrat yakni jagung dan ubi kayu sudah biasa digunakan sebagai bahan pangan. Demikian juga sagu banyak dikonsumsi sebagai pangan pokok di Indonesia bagian timur seperti pada masyarakat Papua, Maluku, Riau, dan sebagian Kalimantan Barat.

Untuk mengoptimalkan peran karbohidrat lokal seperti jagung, ubi kayu, dan sagu sebagai penyediaan pangan dalam mendukung program diversifikasi pangan, konsep penyediaannya disajikan pada Gambar 1.

24 DEPUTI BIDANG TEKNOLOGI AGROINDUSTRI DAN BIOTEKNOLOGI BADAN PENGKAJIAN DAN PENERAPAN TEKNOLOGI

Konversi lahan produktif 110

Mie, Beras Sagu ribu ha/th

Diversifikasi

Pangan

Terbatasnya Pangan Lokal

sumber air

Penyediaan

(Jagung, Ubu

KayuSagu, dll) Pertambahan

Pangan

Karbohidrat

Penduduk Beras, Terigu

Impor Produktivitas

Intensifikasi dan

padi terus

Gambar 1. Alur pikir penyediaan pangan karbohidrat dan solusi penyediaannya

Penyediaan pangan nasional dalam bentuk beras dilakukan melalui program intensifikasi dan ekstensifikasi. Sedangkan pangan lokal nonberas dapat dimanfaatkan dalam program diversifikasi. Program intensifikasi padi dipengaruhi oleh ketersediaan lahan subur, ketersediaan air untuk irigasi, sarana produksi (bibit, pupuk) dan produktivitas yang terus melandai. Apabila terjadi kekurangan beras di dalam negeri, pemerintah

Peran jagung, ubi

merespons dengan segera melakukan impor. Hal ini

kayu, dan sagu

menunjukkan ketergantungan terhadap beras sangat

menjadi sangat

tinggi. Peran jagung, ubi kayu, dan sagu menjadi sangat

penting guna

penting guna mengurangi impor beras.

mengurangi impor

Dalam mengembangkan sumber karbohidrat

beras

nonberas seperti jagung, ubi kayu, dan sagu terdapat persepsi bahwa mengonsumsi pangan karbohidrat nonberas memiliki status sosial yang rendah atau inferior. Selain itu terdapat imej bahwa yang dimaksudkan makan adalah makan nasi. Meski sudah mengonsumsi jagung, ubi kayu, sagu, atau roti sekalipun belum dianggap makan. Kondisi demikian merupakan hambatan sendiri untuk mengurangi konsumsi beras.

Dibutuhkan teknologi sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan pemanfaatan sumber pangan karbohidrat lokal agar berbagai bahan pangan

BAB 1: PENDAHULUAN BAB 1: PENDAHULUAN

Dibutuhkan

tersedia di Indonesia.

teknologi sebagai

Outlook teknologi pangan 2016 disusun dengan

salah satu upaya

tujuan agar menjadi sumber informasi dan acuan bagi

untuk meningkatkan instansi pemerintah, dunia usaha, akademisi, dan pemanfaatan sumber masyarakat pada umumnya dalam pengembangan

pangan karbohidrat teknologi untuk mendukung diversifikasi pangan

lokal

nasional jangka panjang. Selain itu dapat digunakan oleh pihak pemangku kepentingan untuk menyusun pola dan

strategi pembangunan pemenuhan pangan secara komprehensif guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

1.2. Urgensi Pengembangan Pangan Sumber Karbohidrat Nonberas

Ketersediaan pangan pokok yang mengandalkan beras saja tidak pernah akan mencukupi kebutuhan jumlah penduduk yang terus bertambah setiap tahun 1,49%. Kondisi ini akibat upaya peningkatan produksi beras selalu tertinggal saat mengimbangi populasi penduduk Indonesia. Pertumbuhan penduduk selalu mengikuti pola deret ukur, sedangkan peningkatan produksi pangan mengikuti pola deret hitung.

Sesuai dengan Nawacita No. 7 tentang Kemandirian Ekonomi, sudah selayaknya bangsa Indonesia harus mandiri dalam penyediaan pangan dan sedapat mungkin menghindari impor beras apabila terjadi gagal panen padi, akibat gangguan cuaca, maupun serangan hama. Data impor beras tahun 2015 periode Januari sampai dengan Agustus 2015 mencapai 225.028 ton dengan nilai sebesar 97 juta dolar Amerika.

Impor beras Indonesia dari Thailand terbesar mencapai 88,6 ribu ton, disusul Pakistan sebesar 78,6 ribu ton dan diikuti India, Vietnam, lalu Myamar. Impor dilakukan oleh pemerintah guna mengisi stok cadangan pangan dalam bentuk beras di Indonesia. Namun perlu disadari bahwa saat ini beras yang beredar di dunia jumlahnya terbatas dan negara-negara yang surplus beras juga mencoba menahan

26 DEPUTI BIDANG TEKNOLOGI AGROINDUSTRI DAN BIOTEKNOLOGI BADAN PENGKAJIAN DAN PENERAPAN TEKNOLOGI 26 DEPUTI BIDANG TEKNOLOGI AGROINDUSTRI DAN BIOTEKNOLOGI BADAN PENGKAJIAN DAN PENERAPAN TEKNOLOGI

Upaya penyediaan pangan melalui program diversifikasi dengan menyubstitusi pangan pokok dilakukan dengan memanfaatkan karbohidrat dari jagung, ubi kayu, dan sagu. Tetapi sejauh ini masalah ketersediaan pangan pokok belum terpecahkan dengan baik. Substitusi pangan

Upaya penyediaan

pokok dengan terigu justru menimbulkan masalah baru

pangan melalui

karena masyarakat beralih mengonsumsi roti yang

program

terbuat dari terigu. Kita pahami bahwa mindset orang

diversifikasi dengan

Indonesia untuk makanan pokok itu hanya berkutat di

menyubstitusi

tiga komoditas; beras, mie, dan roti. Umumnya mie dan

pangan pokok

roti yang di-display di toko itu hampir 99% dari terigu.

dilakukan dengan

Padahal negara kita sama sekali tidak memiliki potensi

memanfaatkan

terigu. Inilah yang menimbulkan masalah. Karenanya,

karbohidrat dari impor terigu akan terus meningkat seirama dengan jagung, ubi kayu, dan

pertambahan penduduk. Hal tersebut tentu akan

sagu

membahayakan kedaulatan pangan nasional. Ketergantungan Indonesia pada gandum mengakibatkan pemborosan devisa

sekaligus mematikan kehidupan petani penghasil pangan pokok dalam negeri. Kecenderungan semakin menguatnya ketergantungan pada terigu dan semakin mengecilnya (bahkan hilang) peranan pangan sumber karbohidrat jenis umbi- umbian dari kekayaan hayati dari bumi sendiri. Keberadaan sumber karbohidrat Indonesia seperti jagung, ubi kayu, dan sagu membutuhkan perhatian yang serius dan pelaksanaan yang lebih intensif untuk pengembangan pangan sumber karbohidrat nonberas dan nonterigu.

Dahrul Syah (2009) menyebutkan, pangan pokok mempunyai peran strategis dalam membangun konsumsi pangan masyarakat, terutama karena: 1) rata-rata kuantitas konsumsi pangan pokok sekitar 60% dari total bahan pangan yang dikonsumsi penduduk setiap hari; 2) rata-rata pengeluaran penduduk untuk pangan pokok adalah sekitar 50% belanja pangan total; 3) perubahan harga pangan pokok

BAB 1: PENDAHULUAN BAB 1: PENDAHULUAN

Sejarah menunjukkan bahwa awalnya kehidupan bangsa Indonesia biasa mengonsumsi makanan yang beragam dari aneka jenis sumber karbohidrat yang tersedia di Tanah Air sendiri sebagai pangan pokok. Saat ini, pangan pokok berubah dan cenderung monokultur, yaitu jenis padi-padian saja. Kesadaran mengonsumsi pangan pokok yang beragam menjadikan menu makanan harian lebih sehat dan bervariasi, perlu dihidupkan kembali menjadi gerakan bersama, sebab “Sumber pangan karbohidrat dari kekayaan hayati sendiri yang dijadikan makanan pokok merupakan fondasi kemandirian, keanekaragaman, dan pendukung ketahanan pangan bangsa, dengan tidak menafikkan sumber pangan lainnya di dunia.”

Dalam pertemuan para ahli pangan dan gizi dunia di Bangkok 1989 yang diselenggarakan oleh Food and Agriculture Organization (FAO/Badan Pangan Dunia) merumuskan perihal kebutuhan karbohidrat, protein, dan lemak untuk kecukupan asupan gizi seseorang agar produktif dan sehat. Dinyatakan bahwa kebutuhan pangan karbohidrat sebesar 57-68%; protein 10-13%; dan lemak 20-30%. Perumusan yang dinyatakan FAO yakni pangan karbohidrat >60% tersebut, menunjukkan bahwa kebutuhan pangan pokok (utama), yaitu kandungan karbohidratlah yang paling dominan. Pangan sumber karbohidrat adalah sumber tenaga bagi tubuh manusia.

Dengan demikian, kita menyadari bahwa pentingnya kita mengembangkan pangan sumber karbohidrat yang berbasis kekayaan hayati sendiri yang beragam dan dapat tumbuh di masing-masing daerah di bumi Indonesia ini menjadi keharusan agar ketergantungan pada pangan pokok beras dapat dihindari. Menjaga kearifan pangan lokal adalah sebuah kebiasaan yang harus membudaya bagi bangsa Indonesia.

1.3. Ruang Lingkup

Potret kondisi pangan saat ini di negara kita tentu menjadi sebuah catatan dan perhitungan bagi pemerintah. Bagaimana superiornya beras yang menjadi makanan utama bangsa Indonesia. Padahal selain beras banyak ragam pangan yang bisa dijadikan makanan utama dari Sabang sampai Merauke. Ada jagung, ubi kayu, kentang, talas, gembili, hingga sagu.

28 DEPUTI BIDANG TEKNOLOGI AGROINDUSTRI DAN BIOTEKNOLOGI BADAN PENGKAJIAN DAN PENERAPAN TEKNOLOGI 28 DEPUTI BIDANG TEKNOLOGI AGROINDUSTRI DAN BIOTEKNOLOGI BADAN PENGKAJIAN DAN PENERAPAN TEKNOLOGI

Buku ini mencoba mengulas peran teknologi dalam mengolah pangan lokal menjadi makanan pokok yang dapat menyubstitusi beras dan terigu. Pembahasan dimulai sejak hulu hingga hilir. Proyeksi konsumsi, produksi, dan distribusi hingga tahun 2045 menjadi bagian yang dipaparkan. Sedangkan karbohidrat yang dipilih adalah jagung, ubi kayu, dan sagu dipilih sebagai langkah diversifikasi pangan lokal dengan pertimbangan bahwa pangan lokal tersebut sudah dikenal sejak lama oleh bangsa kita.

1.4. Pengertian dan Batasan

Secara umum pengertian diversifikasi adalah sebuah program yang mendorong masyarakat untuk memvariasikan makanan pokok yang dikonsumsinya sehingga tidak terfokus pada satu jenis. Indonesia memiliki beragam sumber karbohidrat dan tercatat sebanyak 77

Definisi diversifikasi

jenis tanaman sumber karbohidrat dapat dimanfaatkan.

pangan tertuang

Beberapa jenis sumber karbohidrat tersebut antara lain

dalam Peraturan

jagung, ubi kayu, sagu, ubi jalar, sukun, talas, sorghum,

Pemerintah No. 68

dan sebagainya yang dapat menjadi faktor pendukung

tahun 2002 tentang

utama diversifikasi pangan.

Ketahanan Pangan

Diversifikasi pangan pada pemerintahan Indonesia menjadi salah satu cara untuk menuju swasembada beras dengan minimalisasi konsumsi beras sehingga total konsumsi tidak melebihi produksi. Definisi diversifikasi pangan tertuang dalam Peraturan Pemerintah No. 68 tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan. Diversifikasi pangan juga berperan dalam pemenuhan kebutuhan gizi masyarakat sehingga nutrisi yang diterima oleh tubuh dapat bervariasi dan seimbang.

1.5. Metodologi

Menyadari akan berbagai keterbatasan sumber data terutama tentang sumber karbohidrat yang berasal dari lokal maka metodologi yang digunakan

BAB 1: PENDAHULUAN BAB 1: PENDAHULUAN

Data jagung dan ubi kayu banyak diperoleh dari Pusat data di Kementerian Pertanian RI melalui buku outlook komoditas. Namun, untuk data sagu sampai saat ini masih tersedia secara acak dan tersebar. Keterbatasan data ini menyebabkan Tim Penyusun Outlook ini dalam menganalisis tren menggunakan beberapa asumsi dan didekati dengan menggunakan persamaan regresi. Selain itu, berbagai informasi dan data diperoleh melalui diskusi kecil maupun melalui Focus Group Discussion (FGD)

terhadap pemangku kepentingan yang memiliki akses data yang dibutuhkan. []

30 DEPUTI BIDANG TEKNOLOGI AGROINDUSTRI DAN BIOTEKNOLOGI BADAN PENGKAJIAN DAN PENERAPAN TEKNOLOGI

BAB 2 POTRET KONDISI PANGAN SAAT INI

31

BAB 2: POTRET KONDISI PANGAN SAAT INI

32 DEPUTI BIDANG TEKNOLOGI AGROINDUSTRI DAN BIOTEKNOLOGI BADAN PENGKAJIAN DAN PENERAPAN TEKNOLOGI

BAB 2 POTRET KONDISI PANGAN SAAT INI

2.1. KONSUMSI

2.1.1. Produksi dan Kebutuhan Pangan Penduduk Indonesia SEBAGAI negara kepulauan, Indonesia mempunyai luas wilayah 5.193.252 km 2

2 2 yang terdiri dari daratan 1.904.569 km (36,67%) dan lautan 3.288.683 km (63,33%). Daratan terdiri dari gugus pegunungan dan gunung-gunung berapi, hutan, dan tanah

dataran tinggi dan rendah yang banyak terdapat sungai dan tanahnya subur serta memiliki kekayaan tanaman pangan yang beragam.

Saat ini penduduk Indonesia sebagian besar makanan pokoknya adalah beras. Indonesia terdiri atas pulau-pulau yang memiliki berbagai sumber daya alam serta kebiasaan makan pokok dan budaya penduduknya. Dengan demikian, di Indonesia terdapat beberapa provinsi yang mengalami defisit neraca berasnya seperti Provinsi Riau, Kepulauan Riau, Bangka Belitung, Kalimantan Timur, Maluku, Papua, dan Papua Barat. Pada tahun 2015 neraca produksi dan kebutuhan beras beberapa provinsi mengalami defisit, dengan jumlah total defisit kebutuhan beras sebesar 1.719.439 Ton. Data disajikan pada Tabel 2.1. di bawah ini:

OUTLOOK TEKNOLOGI PANGAN DIVERSIFIKASI PANGAN KARBOHIDRAT 2016

No

Provinsi

Produksi (Ton)2) Kebutuhan (Ton)2) Defisit (Ton)3)

421,514 81,786 3 Kepulauan Babel

158,533 140,901 4 Kepulauan Riau

645,466 594,983 6 Kalimantan Timur

48,814 220,411 7 Kalimantan Utara

- - 8 Maluku

22,301 45,434 9 Maluku Utara

480,545 469,158 11 Papua Barat

Sumber: 1) BPS 2015; 2) Hasil olahan dari jumlah penduduk (Kemendagri, 2015) dan rata-konsumsi nasional 124 kg/orang/tahun; 3) Hasil olahan produksi-kebutuhan

2.1.2. Pangan Pokok Dalam Undang-Undang No. 18 tahun 2012 tentang Pangan, pengertian

pangan pokok adalah pangan yang diperuntukkan sebagai makanan utama sehari- hari sesuai dengan potensi sumber daya dan kearifan lokal. Sedangkan pangan lokal adalah makanan yang dikonsumsi oleh masyarakat setempat sesuai dengan potensi dan kearifan lokal. Jenis makanan pokok pada umumnya adalah beras, jagung, ubi kayu, sagu, ubi jalar, dan umbi lainnya.

Pada saat ini, telah terjadi pergeseran pola pangan pokok yang ditunjukkan dengan perubahan pangsa energi dari masing-masing jenis pangan pokok yang dikonsumsi oleh masyarakat. Pada tahun 1950-an, walaupun beras sudah menjadi pangan pokok, pangan lokal seperti umbi-umbian dan jagung masih berperan juga menjadi pangan pokok. Namun, peran pangan lokal semakin lama semakin berkurang dan tergantikan dengan beras sebagai pangan pokok, bahkan terigu sebagai bahan pangan utama. Padahal, upaya peningkatan produksi beras dihadapkan pada banyak kendala, sehingga kemampuan memenuhi permintaan beras untuk konsumsi ke depan menjadi potensi masalah yang kritikal. Selain itu dari sisi kesehatan, beras tergolong pangan yang indeks glikemiksnya tinggi yang menjadi salah satu penyebab timbulnya penyakit degeneratif.

Kendala yang dihadapi dalam peningkatan ketersediaan produksi pangan per 34 DEPUTI BIDANG TEKNOLOGI AGROINDUSTRI DAN BIOTEKNOLOGI BADAN PENGKAJIAN DAN PENERAPAN TEKNOLOGI Kendala yang dihadapi dalam peningkatan ketersediaan produksi pangan per 34 DEPUTI BIDANG TEKNOLOGI AGROINDUSTRI DAN BIOTEKNOLOGI BADAN PENGKAJIAN DAN PENERAPAN TEKNOLOGI

Beras adalah salah satu pangan strategis di dunia yang dikonsumsi oleh sekitar

3 miliar orang setiap harinya. Di Asia, beras merupakan makanan pokok bagi sekitar 600 juta penduduk. Lebih dari 60 persen penduduk dunia atau satu miliar orang yang tinggal di Asia bergantung

Pangan lokal adalah

pada beras sebagai makanan pokok termasuk di

makanan yang

Indonesia.

dikonsumsi oleh

Gambaran konsumsi beras per kapita negara-

masyarakat setempat

negara di Asia adalah sebagai berikut: Indonesia 124 kg/

sesuai dengan potensi

kapita/tahun, Korea 40 kg/kapita/tahun, Jepang 50 kg/

dan kearifan lokal

kapita/tahun, Malaysia 80 kg/kapita/tahun, Thailand 70 kg/kapita/tahun dan rata- rata konsumsi beras dunia sebesar 60 kg/kapita/tahun. Tingginya konsumsi beras bangsa Indonesia tersebut memunculkan sebuah ungkapan di negeri ini yang menyebutkan bahwa belum makan kalau belum makan nasi itu ada benarnya. Sesuatu yang kontras dengan potensi 77 jenis sumber karbohidrat yang tumbuh subur di negeri yang bergelar zamrud khatuliswa ini.

Berdasarkan gambaran konsumsi beras di Asia, Indonesia termasuk konsumen beras terbesar di Asia. Beberapa upaya untuk mengurangi konsumsi beras sudah dilakukan sejak tahun 1950-an dan gambaran perkembangan konsumsi pangan pokok masyarakat Indonesia sejak tahun 1954 sampai saat ini disajikan pada tabel

2.2 di bawah ini:

Tabel 2.2 Perkembangan Pola Konsumsi Pangan Pokok di Indonesia 1954–2014 Tahun

Pola Konsumsi Pangan Pokok

1954 Konsumsi beras (53,5%), ubi kayu (22,6%), jagung (18,9%) 1987

Pergeseran konsumsi beras (81,1%), ubi kayu (10,0%), jagung (7,8%) Pergeseran berlanjut, jagung hanya 3,1%, dan ubi kayu 8,8%

1999 Pangsa nonberas (ubi kayu, jagung, sagu, dll) ‘’hampir tidak ada’’, diganti oleh 2010-2014 terigu (naik 500% dalam waktu 30 tahun)

Konsumsi (kg/kapita/tahun): beras 114 , terigu 14,5 , sagu 0,41 , jagung 2,05, ubi kayu

Sumber: BKP ‘13, BPS ’14 (diolah) 35

BAB 2: POTRET KONDISI PANGAN SAAT INI BAB 2: POTRET KONDISI PANGAN SAAT INI

Kebijakan impor gandum yang dilakukan secara masif dan berkelanjutan berbeda dengan kebijakan pengembangan pangan lokal

Tindak lanjut dari

yang dilakukan secara parsial. Hal tersebut mengakibatkan

Peraturan Presiden

konsumsi terigu dan turunannya (mie basah, mie instan,

(Perpres) No.

dan aneka kue) terus mengalami peningkatan yang

22 Tahun 2009

tajam. Gandum sebagai bahan baku utamanya, 100%

tentang Kebijakan

didatangkan dari luar negeri melalui mekanisme impor.

Percepatan

Penduduk Indonesia mengonsumsi mie instan per orang

Penganekaragaman sebesar 63 bungkus/tahun. Sedangkan Korea Selatan

Konsumsi Pangan

mengonsumsi 69 bungkus/orang/tahun, Jepang 39,9

Berbasis Sumber

bungkus /orang/ tahun, dan Cina konsumsi per kapita

Daya Lokal

hanya 32 bungkus /orang/tahun (Yahoo Indonesia, 2013).

2.1.3. Diversifikasi Konsumsi Pangan Bicara diversifikasi pangan, tentu tak lepas dari peran pemerintah terkait

dengan ketahanan pangan negara. Untuk itu, diversifikasi pangan menjadi bagian penting untuk menjaga agar ketahanan dan kedaulatan pangan tetap kokoh terjaga. Implementasinya adalah dengan kebijakan yang digulirkan oleh pemerintah mulai Perpres hingga Perbup atau Perwal yang mendukung percepatan penganekaragaman pangan lokal.

Berdasarkan kebijakan dari pemerintah tersebut, Program Diversifikasi Pangan menjadi salah satu kontrak kerja antara Menteri Pertanian dengan Presiden dengan tujuan untuk meningkatkan keanekaragaman pangan sesuai dengan karakteristik

36 DEPUTI BIDANG TEKNOLOGI AGROINDUSTRI DAN BIOTEKNOLOGI BADAN PENGKAJIAN DAN PENERAPAN TEKNOLOGI

(Perpres) No. 22 Tahun 2009 tentang Kebijakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis Sumber Daya Lokal yang ditindaklanjuti oleh Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) No. 43 Tahun 2009 tentang Gerakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan (P2KP) Berbasis Sumber Daya Lokal.

Peraturan tersebut menjadi acuan yang dapat mendorong percepatan penganekaragaman konsumsi pangan berbasis sumber daya lokal melalui kerja sama sinergis antara pemerintah dan pemerintah daerah. Di tingkat provinsi, kebijakan tersebut ditindaklanjuti dengan Peraturan Gubernur (Pergub) dan di kabupaten/kota ditindaklanjuti dengan Peraturan Bupati/Walikota (Perbup/Perwal).

Diversifikasi konsumsi pangan secara sederhana dapat dikatakan sebagai upaya peningkatan keanekaragaman konsumsi pangan ke arah yang sesuai prinsip atau kaidah gizi seimbang sehingga kualitas pangan menjadi semakin baik. Oleh karena itu, salah satu ukuran untuk mengetahui tingkat diversifikasi konsumsi pangan dikenal dengan konsep Pola Pangan Harapan (PPH). Semakin tinggi skor PPH mengindikasikan konsumsi pangan semakin beragam dan bergizi seimbang (maksimal 100).

Skor PPH sebetulnya meningkat dari tahun ke tahun, pada tahun 2007 dan 2008 mencapai skor 80-an, namun untuk tahun-tahun berikutnya skor PPH mengalami penurunan. Capaian skor PPH semakin jauh dari target yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Padahal pemerintah telah menetapkan kebijakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis Sumber Daya Lokal yang ditindaklanjuti dengan Gerakan Percepatan Penganekaragaman Pangan. Konsumsi Pangan berbasis Sumber daya Lokal oleh Kementerian Pertanian, dengan target terjadi penurunan konsumsi beras sebesar 1,5% /tahun dan kenaikan skor PPH sebesar 1%/tahun.

Dalam upaya mengoperasionalkan konsep diversifikasi konsumsi pangan, FAO RAPA (Regional office for Asia and the Pacific) pada tahun 1998 mengadakan pertemuan para ahli pangan dan gizi di Bangkok dengan merumuskan komposisi pangan yang ideal terdiri dari 56- 68% karbohidrat, 10-13% dari protein dan 20-30% dari lemak. Rumusan ini kemudian diimplementasikan dalam bentuk energi dalam sembilan kelompok pangan yang dikenal dengan istilah Pola Pangan Harapan. Pada

BAB 2: POTRET KONDISI PANGAN SAAT INI BAB 2: POTRET KONDISI PANGAN SAAT INI

Secara detail, persentase energi dari masing-masing kelompok pangan, pembobotan (bobot) yang digunakan dan skor dari masing-masing kelompok. PPH merupakan manifestasi konsep gizi seimbang yang didasarkan pada konsep Triguna Makanan. Keseimbangan jumlah antarkelompok pangan merupakan syarat terwujudnya keseimbangan gizi. Dalam PPH, pangan dikelompokkan menjadi sembilan kelompok pangan, yaitu kelompok: (a) padi-padian, (b) umbi-umbian, (c) pangan hewani, (d) minyak dan lemak, (e) buah dan biji berminyak, (f) kacang- kacangan, (g) gula, (h) sayuran dan buah-buahan, (i) lain-lain.

Konsep Pola Pangan Harapan (PPH) Sesuai dengan kegunaannya, makanan dikelompokkan dalam tiga kelompok

(Tri Guna Makanan) yaitu makanan sebagai sumber zat tenaga, zat pembangunan dan zat pengatur. Oleh karena itu, pangan yang

Konsep PPH

dikonsumsi sehari-hari harus dapat memenuhi fungsi

mencerminkan

makanan tersebut. Semua zat gizi yang diperlukan oleh

susunan konsumsi

tubuh dapat diperoleh dengan mengonsumsi pangan

pangan anjuran

yang beraneka ragam dalam jumlah yang cukup dan

untuk hidup sehat,

seimbang. Hal ini disebabkan karena tidak ada satu jenis

aktif, dan produktif

bahan makanan yang dapat menyediakan zat gizi secara lengkap.

Pola Pangan Harapan (PPH) atau desirable dietary pattern (DDP) adalah susunan beragam pangan atau kelompok pangan yang didasarkan atas sumbangan energinya dan zat gizi pada komposisi yang seimbang, baik secara absolut maupun relatif, terhadap total energi baik dalam hal ketersediaan maupun konsumsi pangan yang mampu mencukupi kebutuhan dengan mempertimbangkan aspek-aspek sosial, ekonomi, budaya, agama, cita rasa.

Konsep PPH mencerminkan susunan konsumsi pangan anjuran untuk hidup sehat, aktif, dan produktif. Dengan pendekatan PPH, mutu pangan dapat dinilai berdasarkan skor pangan dari 9 bahan pangan. PPH dapat digunakan untuk

38 DEPUTI BIDANG TEKNOLOGI AGROINDUSTRI DAN BIOTEKNOLOGI BADAN PENGKAJIAN DAN PENERAPAN TEKNOLOGI 38 DEPUTI BIDANG TEKNOLOGI AGROINDUSTRI DAN BIOTEKNOLOGI BADAN PENGKAJIAN DAN PENERAPAN TEKNOLOGI

Dengan terpenuhinya kebutuhan energi dari berbagai kelompok pangan sesuai dengan PPH, secara implisit kebutuhan zat gizi lainnya juga terpenuhi. Oleh karena itu, skor PPH mencerminkan mutu gizi konsumsi pangan dan tingkat keragaman konsumsi pangan. Untuk tingkat nasional telah disepakati susunan Pola Pangan Harapan (PPH) berdasarkan hasil Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi (WKNPG) VIII tahun 2004 sebagai acuan dalam pembangunan pangan dan gizi. Angka Kecukupan Energi (AKE) di tingkat konsumsi sebesar 2.000 Kkal/kap/hari, dan 2.200 Kkal/kap/hari di tingkat ketersediaan. Sedangkan Angka Kecukupan Protein (AKP) di tingkat konsumsi adalah sebesar 52 gram/kap/hari, dan 57 gram/kap/hari di tingkat ketersediaan. Perhatikan tabel di bawah ini:

Tabel 2.3. Pola Pangan Harapan Tahun 2010-2014 TAHUN

Sumber : Renstra Kementan Tahun 2015-1019

Konsumsi pangan ideal adalah jika proporsi jumlah asupan karbohidrat dari serealia (termasuk gandum) maksimum 50 %. Target skor PPH Indonesia pada tahun 2015 sesuai dengan Perpres 22 tahun 2009 sebesar 95. Perkembangan skor PPH pada periode 2010–2014 (Tabel 2.3.) menunjukkan peningkatan skor PPH sebesar 1,42 per tahun, dengan capaian skor PPH pada tahun 2013 sebesar 81,4. Ini menujukkan bahwa capaian diversifikasi konsumsi pangan masyarakat belum mencapai sasaran yang diharapkan (PPH = 91,5 pada tahun 2013).

BAB 2: POTRET KONDISI PANGAN SAAT INI BAB 2: POTRET KONDISI PANGAN SAAT INI

energi penduduk. Beras masih mendominasi konsumsi

Pada tahun 2014,

pangan masyarakat yang bersumber dari karbohidrat.

konsumsi pangan bersumber dari padi-

Pola pangan masyarakat yang mengacu pada

padian mencapai

Pola Pangan Harapan dijadikan sebagai tolok ukur

59,48% dari total

keberhasilan pelaksanaan program diversifikasi pangan.

konsumsi energi

Diversifikasi pangan adalah suatu proses pemanfaatan

penduduk

dan pengembangan suatu bahan pangan sehingga penyediaannya semakin beragam. Program diversifikasi

bukan bertujuan untuk mengganti bahan pangan pokok beras dengan sumber karbohidrat lain, tetapi untuk mendorong peningkatan sumber zat gizi yang cukup kualitas dan kuantitas, baik komponen gizi makro maupun gizi mikro.

Latar belakang pengupayaan diversifikasi pangan adalah melihat potensi negara kita yang sangat besar dalam sumber daya hayati. Diversifikasi pangan merupakan solusi untuk mengatasi ketergantungan masyarakat di Indonesia terhadap beberapa jenis bahan pangan yakni beras atau terigu.

2.2. Ketersediaan Pangan Karbohidrat

Indonesia merupakan negara terbesar nomor 2 yang memiliki keanekaragaman hayati termasuk sumber karbohidrat. Badan Ketahanan Pangan (2016) mencatat bahwa Indonesia memiliki 77 jenis tanaman sebagai sumber karbohidrat, 75 jenis tanaman sumber lemak, 26 jenis tanaman penghasil kacang-kacangan, 389 jenis tanaman penghasil buah-buahan sebagai sumber mineral yang dibutuhkan tubuh. Selanjutnya terdapat 228 jenis tanaman sayuran sebagai sumber serat serta 110 jenis rempah-rempah dan bumbu. Sumber-sumber tersebut belum dimanfaatkan secara optimal dan menjadi peluang untuk pengembangan penganekaragaman konsumsi pangan.

Indonesia yang terdiri dari berbagai suku bangsa dan memiliki keanekaragaman kearifan lokal memiliki sumber karbohidrat untuk memasok energi tubuh yang

40 DEPUTI BIDANG TEKNOLOGI AGROINDUSTRI DAN BIOTEKNOLOGI BADAN PENGKAJIAN DAN PENERAPAN TEKNOLOGI 40 DEPUTI BIDANG TEKNOLOGI AGROINDUSTRI DAN BIOTEKNOLOGI BADAN PENGKAJIAN DAN PENERAPAN TEKNOLOGI

Gambar 2.1. Bentuk aneka sumber karbohidrat yang telah dimanfaatkan oleh

masyarakat secara turun-temurun

Meski jumlah karbohidrat yang digunakan masyarakat mencapai 77 jenis sebagai sumber energi dalam menu konsumsinya namun dalam kenyataannya yang relatif masih bertahan terdapat beberapa jenis sumber karbohidrat yang memang dikenal sebagai pangan lokal. Komoditas tersebut meliputi; jagung, ubi kayu, dan sagu.

Sumber pangan jagung tersebar di Jawa Tengah, Jawa timur, Nusa Tenggara Timur, Gorontalo, dan Sulawesi Utara. Peta provinsi yang daerahnya menggunakan jagung sebagai pangan pokok disajikan pada Gambar 2.2

BAB 2: POTRET KONDISI PANGAN SAAT INI

GORONTALO (643.512 Ton )

Sulawesi Utara, Tengah, Tenggara,

Selatan

Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sumatera Selatan (2.410.963 Ton )

LAMPUNG 1.502.800

N T T - NTB

Kab. Lembata, Kab. Flores Timur , Kab.

JAWA TENGAH

JAWA TIMUR TTS, Kab. TTU Kab. Alor, Kab. Ende (1.645.054 Ton )

Kab. Magelang, Kab. Temanggung, Kab.

Semarang, Kab. Boyolali, Kab. Batang Kab. Kediri, Kab. Bangkalan, Kab. (3.212.391 Ton) Tulung Agung, Kab. Lumajang, Kab. Ponorogo (6.131.163 Ton )

Gambar 2.2. Peta distribusi jagung

Sedangkan sumber pangan ubi kayu terkonsentrasi di Sumatera Utara, Bangka Belitung, Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa timur, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Nusa tenggara Barat, Sulawesi Tenggara dan Maluku seperti yang ditampilkan pada gambar di bawah ini:

KALTENG - KALBAR

MALUKU Kab. Maluku Tenggara Barat,

BANGKA BELITUNG Kab. Bangka Barat, Kab.

Bangka, Kab. Belitung,

(219.151 Ton) Kab. Maluku Tenggara

Belitung Timur (35.024 Ton)

(254.944 Ton)

(124.717 Ton) Kab. Serdang

KALTIM - KALSEL

SUMATERA UTARA

1.619.495 Ton) Bedaga

Kab. Lampung Timur, Kab LAMPUNG Lampung Utara, Kab. Lampung

(7.387.084 Ton) Tengah, Kab. Tulang Bawang SULTRA - SULSEL DIY (741.053 Ton)

Gn. Kidull Kulon Progo, kab. Kab. Bantul, Kab. JAWA BARAT

(2.000.224 Ton)

(873.362 ton)

Kab. Lombok Barat, Kab. Lombok NTB - NTT

Kab. Banjarnegara, Kab. Boyolali, JAWA TENGAH JAWA TIMUR

Tengah, Kab. Lombok Timur, Kab. Sumbawa Barat Malang, Kab. Pacitan Kab. Trenggalek, Kab. (744.569 Ton)

Kab. Kebumen, Kab. Wonogiri

(3.571.594 Ton)

(3.161.573 Ton).

Gambar 2.3. Peta distribusi ubi kayu

Kemudian sumber pangan sagu yang potensinya terbesar di dunia ini terkonsentrasi di Riau, Kepulauan Riau, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, Maluku, Papua, dan Papua

42 DEPUTI BIDANG TEKNOLOGI AGROINDUSTRI DAN BIOTEKNOLOGI BADAN PENGKAJIAN DAN PENERAPAN TEKNOLOGI

Kab. Karimun, Kab. Kab. Pontianak SULAWESI TENGAH SULAWESI BARAT

KEP. RIAU KALBAR

Natuna (29.580 Ton) Kab. Parigi Moutong,

(36.040 Ton)

(114.400 Ton) Kota Poso (141.900 Ton)

PAPUA Kab. Keerom, Kab. Jayapura

( 56.078.800 Ton)

Kab. Pekanbaru RIAU (124.320 Ton)

KALSEL 107.060 (

Ton)

SULTRA PAPUA BARAT (99.020 Ton) Kota Kendari MALUKU Kab. Sorong selatan Kota Ambon, Kab. ( 7.387.640 Ton) Maluku tengah Seram bag timur, Kab. ( 34.300 Ton)

Gambar 2.4. Peta distribusi sagu

2.3. Produksi Pangan Utama

Menyadari pangan pokok bangsa Indonesia ini mayoritas adalah beras, upaya pemerintah dalam penyediaan pangan pokok sangat fokus terhadap penyediaan beras. Berbagai program baik di tingkat perencanaan nasional seperti di Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) program penyediaan pangan terutama dari tanaman padi sangat dominan. Selanjutnya untuk mendukung ketersediaan jagung sebagai penyedia pakan ternak prioritas kedua, dan prioritas ketiga adalah kedelai. Oleh sebab itu, program Kabinet 2015-2019 adalah “Pajale” (Padi, Jagung, dan Kedelai).

Selain Pajale, ketersediaan bawang merah dan cabe juga sering mengalami gangguan pasokan, dengan demikian program fokus yang dikerjar adalah padi, jagung, daging sapi, kedelai, bawag merah dan cabe dan disingkat menjadi “Pajale Babe”.

Gambaran tentang produksi karbohidrat dalam bentuk padi, 5 tahun terakhir disajikan pada tabel di bawah ini:

BAB 2: POTRET KONDISI PANGAN SAAT INI

Rerata Pertumbuhan

No Komoditas

(ribu ton)

Luar Jawa 30.094 31.352 32.529 33.787

0,81 2 Jagung Luar Jawa

0,37 3 Kedelai Luar Jawa

Sedangkan gambaran produktivitas berbagai komoditas pangan utama tahun 2010 sampai tahun 2014 disajikan pada Tabel 2.5.

Tabel 2.5. Perkembangan Produktivitas Beberapa Komoditas Pangan Utama

Tahun 2002-2014

Pertumbuhan No

Produktivitas (Kuintal/Ha)

Komoditas 2002-2007 2007-2012

(%) 1 Padi sawah

18,56 33,82 3 Ubi Kayu

4,45 15,03 5 Kacang Tanah

7,66 6,61 6 Ubi Jalar

6,52 30,76 Sumber: Badan Pusat Statistik, 2008 dan 2015 (diolah).

Jika dibanding dengan negara produsen pangan lain di dunia khususnya beras, produktivitas padi di Indonesia berada pada peringkat ke-29. Australia memiliki produktivitas rata-rata 9,5 ton/ha, Jepang 6,65 ton/ha, dan Cina 6,35 ton/ha ( FAO, 1993). Untuk mengatasi permasalahan teknis yang mendasar tersebut telah dilakukan berbagai upaya khusus dalam pembangunan pertanian pangan khususnya dalam kerangka program ketahanan pangan nasional.

44 DEPUTI BIDANG TEKNOLOGI AGROINDUSTRI DAN BIOTEKNOLOGI BADAN PENGKAJIAN DAN PENERAPAN TEKNOLOGI

2.4. Impor Pangan Utama

Pangan merupakan kebutuhan yang paling mendasar dari suatu bangsa. Tidak sedikit negara yang memiliki sumber daya alam dan sumber ekonomi yang cukup memadai namun mengalami kehancuran karena tidak mampu memenuhi kebutuhan pangan bagi rakyatnya. Di samping sebagai kebutuhan dasar masyarakat, pangan juga merupakan “komoditas politik”. Dengan adanya ketergantungan impor pangan, suatu bangsa akan sulit lepas dari cengkeraman negara pengekspor pangan yang dikenal dengan istilah “food trap”. Sehingga upaya untuk mencapai kemandirian dalam pemenuhan pangan

Saat ini Indonesia

nasional harus dipandang sebagai bagian dari kedaulatan

menjadi salah

dan ketahanan nasional.

satu negara yang

menggantungkan

Berdasarkan data Susenas 2014 dan 2015, Badan

kebutuhan

Pusat Statistik (BPS) melaporkan, jumlah penduduk

pangannya dari

Indonesia mencapai 254,9 juta jiwa. Jumlah tersebut naik

impor seperti beras, akan menuntut besarnya bahan pangan yang harus jagung, kedelai, gula,

dari 2014 yang berjumlah 252 juta jiwa. Hal ini tentunya

kacang tanah, dan

tersedia. Beberapa upaya telah dilakukan pemerintah

lainnya

antara lain dengan meningkatkan produksi pangan

nasional. Namun pada kenyataannya upaya tersebut masih dihadapkan pada beberapa kendala, antara lain: rendahnya laju peningkatan produksi pangan di Indonesia yang disebabkan oleh masih rendahnya produktivitas tanaman pangan serta penurunan luas areal penanaman dan panen yang stagnan, khususnya lahan pertanian di Pulau Jawa.

Penetapan kebijakan impor oleh pemerintah, lebih ditujukan dalam penyelamatan perekonomian nasional melalui pengendalian harga dan ketersediaan komoditas untuk menekan inflasi sebagai upaya untuk mencapai perekonomian nasional yang stabil melalui stabilitas konsumsi. Pemerintah mengharapkan agar ketersedian pangan tetap terjaga, harga terkendali, stabilitas harga tercapai, dan inflasi bisa ditekan karena konsumsi atau daya beli tetap tinggi dengan cara tetap memperlancar arus impor.

Namun pada kenyataannya, kebijakan impor yang telah ditetapkan pemerintah tidak selalu sesuai dengan harapan. Harga bahan makanan pokok naik, pasar dipenuhi

BAB 2: POTRET KONDISI PANGAN SAAT INI BAB 2: POTRET KONDISI PANGAN SAAT INI

Saat ini Indonesia menjadi salah satu negara yang menggantungkan kebutuhan pangannya dari impor seperti beras, jagung, kedelai, gula, kacang tanah, dan lainnya. Hal tersebut akan berlanjut terus apabila tidak ada “revolusi” dalam bidang pertanian. Di bawah ini ditampilkan data impor pangan Januari hingga Agustus 2015.

Tabel 2.6. Impor Pangan Indonesia Per Januari-Agustus 2015

Nilai Komoditas

719.800.000 Biji gandum dan meslin

1.300.000.000 Tepung terigu

22.300.000 Gula pasir

19.500.000 Gula tebu (Raw sugar)

Sumber: Badan Pusat Statistik (Diolah)

Total nilai impor 8 komoditas pangan Indonesia sepanjang Januari sampai dengan Agustus tahun 2015 mencapai US$ 3,5 miliar atau sekitar 51 triliun rupiah. Tabel di atas menunjukkan bahwa sepanjang Januari-Agustus 2015, Indonesia mengimpor beras sebanyak 225.029 ton dengan nilai US$ 97,8 juta. Jumlah tersebut berkurang 13% bila dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya yaitu 259.108 ton dengan nilai US$ 122,5 juta. Negara paling banyak mengekspor beras ke Indonesia adalah Thailand dengan jumlah mencapai lebih dari 88 ribu ton atau senilai lebih dari 47 juta US$ selama periode Januari-Agustus 2015.

46 DEPUTI BIDANG TEKNOLOGI AGROINDUSTRI DAN BIOTEKNOLOGI BADAN PENGKAJIAN DAN PENERAPAN TEKNOLOGI

Agustus 2015

Tabel 2.7. Impor Beras Indonesia Periode Januari-Agustus 2015

Nilai Negara Asal

Jumlah

(Ton)

(US$)

Thailand

47.700.000 Pakistan

27.100.000 India

10.100.000 Vietnam

9.600.000 Myanmar

1.800.000 Lainnya

Sumber: Badan Pusat Statistik (Diolah)

Impor jagung Indonesia periode Januari-Agustus 2015 mencapai 2,385 juta ton dengan nilai US$ 522,9 juta atau sekitar 7,3 triliun rupiah. Jumlah tersebut meningkat 23% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Argentina merupakan negara pengekspor jagung terbesar ke Indonesia dengan total 1,464 juta atau senilai US$ 310,1 juta. Berikut ditampilkan impor jagung Indonesia periode Januari-Agustus 2015:

Tabel 2.8. Impor Jagung Indonesia Periode Januari-Agustus 2015

Negara Importir Nilai

Jumlah

(Ton)

(US$)

Argentina

310.100.000 Brasil

171.900.000 India

24.200.000 Amerika Serikat

8.330.000 Thailand

Sumber: Badan Pusat Statistik (Diolah 2015)

Sampai dengan saat ini pun Indonesia masih bergantung pada impor kedelai. Dari Januari-Agustus tahun 2015 total kedelai yang diimpor mencapai 1,525 juta ton dengan nilai US$ 719 juta. Jumlah ini turun sekitar 2% dibanding periode yang sama

BAB 2: POTRET KONDISI PANGAN SAAT INI

2015, impor kedelai mencapai 1.525.748 ton dengan nilai US$ 719.807.624. Jumlah ini turun tipis. Periode yang sama di 2014 yang mencapai 1.564.163 dengan nilai US$ 947.245.608. Negara pengekspor kedelai terbesar ke Indonesia adalah Amerika Serikat (AS), Kanada, Malaysia, Cina, dan Uruguay.

2.5. Distribusi Pangan

Aksesbilitas merupakan salah satu subsistem ketahanan pangan yang berfungsi untuk mewujudkan distribusi pangan yang efektif dan efisien agar seluruh rumah tangga dapat memperoleh pangan dalam jumlah dan kualitas yang cukup sepanjang waktu dengan harga yang terjangkau. Dengan demikian, aksesbilitas pangan adalah kemampuan rumah tangga untuk dapat menjangkau/mendapatkan pemenuhan

kebutuhan pangan sepanjang waktu; jumlah, mutu,

Distribusi pangan

aman, serta keragaman guna menunjang hidup yang

merupakan salah

aktif, sehat, dan produktif.

satu aspek strategis

Distribusi pangan merupakan salah satu aspek

dalam subsistem

strategis dalam subsistem aksesbilitas pangan. Apabila

aksesbilitas pangan tidak dapat terselenggara secara baik dan lancar,

bahan pangan yang dibutuhkan masyarakat tidak akan terpenuhi. Distribusi pangan ini diharapkan dapat terlaksana secara efektif, efisien, dan merata di setiap lokasi berlangsungnya transaksi bahan pangan. Distribusi pangan harus mampu menjamin tersedianya pangan dan pasokannya secara merata sepanjang waktu baik jumlah, mutu yang aman dan beragam untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakat.

Beberapa masalah pangan yang umum dihadapi adalah keadaan kelebihan pangan, kekurangan pangan, dan ketidakmampuan rumah tangga dalam memenuhi kebutuhan pangan. Masih adanya penduduk miskin, daerah rawan pangan, produksi pangan yang dihasilkan tidak merata antarwilayah dan sepanjang waktu, dan potensi SDA yang berbeda di masing-masing daerah akan berpengaruh terhadap distribusi dan pasokan bahan pangan. Distribusi pangan semakin penting peranannya karena adanya kesenjangan antara produksi dan kebutuhan pangan di setiap wilayah yang tidak semua wilayah tersebut mampu berswasembada pangan.

48 DEPUTI BIDANG TEKNOLOGI AGROINDUSTRI DAN BIOTEKNOLOGI BADAN PENGKAJIAN DAN PENERAPAN TEKNOLOGI 48 DEPUTI BIDANG TEKNOLOGI AGROINDUSTRI DAN BIOTEKNOLOGI BADAN PENGKAJIAN DAN PENERAPAN TEKNOLOGI