Bahan PA 03 November 2015

Bahan PA FTh UKDW, 3 November 2015
Antara Hukuman dan Hari Tuhan
(Yoel 1:1-2:11)
Pendahuluan
Siapa yang senang ketika menghadapi bencana? Saya yakin satu pun di antara kita
pasti tidak pernah mengharapkan kedatangan bencana apapun. Buktinya dalam doa-doa
yang sering kali terdengar (setidaknya menurut saya) terungkap permohonan agar
diberikan berkat, atau sederhananya selalu meminta yang baik-baik dalam hidup. Dalam
hal ini tidak berarti bahwa saya mau menyerukan Yuk, kita rame-rame berdoa memohon
bencana lekas datang! Sebab, jika saya berkata seperti itu pasti saya dipikir gak waras.
Dalam hal ini, saya hanya mau mengajak kita untuk mulai membuka cakrawala berpikir
kita terhadap teks Yoel 1:1-2:11.
Yoel termasuk dalam kategori nabi-nabi kecil, seperti Hosea yang sudah kita bahas
kurang lebih selama 2 bulan terakhir ini. Jika minggu lalu, kita melihat bagaimana kasih
Allah yang tiada duanya dinyatakan kepada umat Israel yang sering kali berbalik
meninggalkan Allah, maka saat ini kita diajak untuk melihat bagaimana sisi lain dari sifat
Allah, yakni adil. Keadilan Allah dinyatakan dalam bentuk penghukuman. Dalam bagian
pertama dari kitab yang ditulis sesudah masa pembuangan (Collins 2014, 436) ini, kita
mau menyaksikan bagaimana Allah mengadili umat pilihan-Nya dengan bencana dahsyat
yang belum pernah terjadi sebelumnya (lih. 1:2). Pembagian kitab Yoel sendiri memiliki
banyak versi. David Prior dalam bukunya yang berjudul The Message of Joel, Micah &

Habakkuk membaginya menjadi empat bagian: 1) ratapan kepada Allah (1:1-20), 2)
berbalik kepada Allah (2:1-17), 3) bersukacita dalam Allah (2:18-32), dan 4) takut akan
Allah (3:1-21). Adapun Don Fleming (2005:372) lebih memilih untuk membagi kitab ini
menjadi tiga bagian, yakni 1:1-2:11 (bencana besar belalang), 2:12-32 (rakhmat Allah
terhadap pertobatan), 3:1-21 (hukuman terakhir dan berkat).
Dari pertimbangan atas beberapa pembagian tersebut, saya cenderung melihat
bagian teks Yoel 1:1-2:11 merupakan bagian yang berbicara tentang bencana belalang
sebagai hukuman Tuhan sekaligus tanda dari hari Tuhan. Dengan demikian saya pun
tertarik untuk membagi teks ini menjadi tiga subbagian: 1) Pemberitahuan tentang
bencana belalang (ayat 1-4). 2) Perintah untuk meratap dan berkabung (ayat 5-14). 3)
Peringatan akan hari Tuhan sebagai pemusnahan (1:15-2:11).
Bencana Sebagai Hukuman & Tanda akan Hari Tuhan
Yoel sebagai seorang nabi memikul tanggung jawab, sebagaimana arti namanya
Tuhan adalah Allah, maka ia harus membenarkan pengakuan ini dalam kehidupannya
(Pilon 1974,10). Hal ini terlihat jelas dari nubuat Yoel, ketika arti nama ini merupakan
dasar dari pemberitahuannya (2:27; 3:17). Pemberitahuan tentang bencana belalang
bukanlah sebuah pemberitahuan yang sepeleh, sebagaimana yang dikatakan Pilon
(1974:25-26) bahwa hal yang terjadi dan yang akan terjadi itu tidak dapat dibandingkan

dengan, bahkan melebihi semua malapetaka masa lampau. Menurut Prior (1998:17),

bencana itu tentu menjadi suatu peristiwa yang mengerikan, menghancurkan, dan luar
biasa. Serentetan serangan belalang mengakibatkan mereka yang hidup pada masa
sesudah pembuangan itu harus mengalami penderitaan yang bertubi-tubi. Dalam kitab
Perjanjian Lama, bencana belalang sering ditafsirkan sebagai bentuk penghukuman dari
Allah (lih. Kel 10:1-20; Ul 28:38; Am 7:1). Namun ternyata dalam menafsirkan bencana
belalang itu sendiri masih banyak spekulasi. Pilon (1974:16-17) sendiri mencatat bahwa
setidaknya ada tiga perspektif dalam menafsirkan bencana belalang yang dialami.
Pertama, bencana belalang harus ditafsirkan sebagai suatu serangan dari pihak tentara
musuh. Kedua, bencana belalang bukanlah bencana biasa, tetapi satu malapetaka yang
mendahului hari Tuhan. Ketiga, bencana belalang itu dialami oleh umat Tuhan sebagai
realitas dan sekaligus menjadi tanda kedatangan hari Tuhan. Apapun perspektif terhadap
bencana belalang, saya rasa hal penting yang mau ditegaskan oleh Yoel yaitu tentang
kedatangan hari Tuhan. Proklamasi kedatangan hari Tuhan yang semakin dekat itu
dikumandangkan sebanyak 3 kali dalam bagian teks PA kita pada hari ini (lih. 1:15; 2:1;
2:11). Namun yang cukup mengesankan di sini adalah tanda dari hari Tuhan adalah suatu
malapetaka yang tak terduga sebelumnya.
Karena itu, tidak heran jika Yoel memerintahkan bangsa itu untuk meratap dan
berkabung. Ratapan sudah menjadi hal yang biasa di Israel. Roberts dan Greene
(2005:169) menjelaskan makna ratapan merupakan sebuah respon iman ketika
penderitaan berat begitu menghimpit, ketika umat harus mendefinisikan ulang arti tetap

beriman kendati kesusahan melanda. Penderitaan umat Allah merupakan dampak yang
tak terelakkan dari serangan tulah belalang. Dampak dari bencana itu seolah-olah
menghancurkan totalitas kelangsungan hidup umat; bukan hanya kegagalan hasil
pertanian (anggur, ara, gandum, korma, apel, dll) yang menunjang kesejahteraan mereka,
melainkan juga mengancam hubungan mereka dengan Allah dalam pemberian
persembahan. Korban sajian (bahasa Ibrani: minhah) yaitu persembahan dari hasil
tanaman dan korban curahan (bahasa Ibrani: nesek) yang biasa adalah anggur kini
menjadi lenyap akibat serangan belalang yang jumlahnya tidak terkira. Jadi, tidak heran
jika umat patut untuk berbalik kepada Allah dengan meratap dan berkabung sebagai
respon iman umat Allah, agar dipulihkan oleh Sang Pencipta.
Saya jadi teringat spiritualitas yang coba dipraktekkan oleh seorang mistikus
bernama Ignatius Loyola, yang bisa menangis enam atau tujuh kali sehari. Johnston
(2001:342) menuliskan bahwa Ignatius membuat persembahan total seluruh dirinya
dengan banyak air mata, isak tangis dan kesahnya. Sebagaimana kisah tentang bencana
belalang ini, Yoel tidak membiarkan umat itu untuk berdiam diri saja. Namun Yoel dengan
tegas memerintahkan mereka untuk segera bangun (lih. 1:5a,), meratap (lih.
1:5b:8a:11b:13b) dan berkabung (lih. 1:9b:13a). Dengan kata lain, kesadaran atas
realitas itulah yang mendorong umat untuk meratap dan berkabung. Ratapan dan
perkabungan itu mengandung dimensi penyesalan akan dosa, permohonan kasih dan
pengampunan, serta pengharapan akan pemulihan.


Dengan demikian, dapat terlihat bahwa perintah untuk meratap dan berkabung
ternyata bukan hanya karena hukuman Tuhan lewat bencana belalang saja, melainkan
juga karena Yoel hendak memberitakan suatu berita yang lebih besar dari sekadar
penghukuman, yakni hari kedatangan Tuhan yang semakin dekat. Ironisnya, tanda-tanda
dari hari kedatangan Yang Mahakuasa itu justru sebagai sebuah pemusnahan (lih. 1:15).
Pemusnahan ini bukan hanya akibat bencana belalang seperti yang coba diuraikan di
bagian-bagian sebelumnya, melainkan juga ada indikasi akan bencana agresi yang akan
dilakukan oleh tentara musuh, yang khusus mendatangi Yerusalem, sebagaimana yang
ditulis oleh Pilon (1974:44). Seluruh penduduk Yerusalem tentunya harus bersiap-siap
untuk menghadapi serangan ini. Tetapi beberapa penafsir lain melihat pasal 2:1-11
sebagai kelanjutan dari pasal sebelumnya yang masih menjelaskan tentang bencana
belalang itu sendiri dalam bahasa metafor. Apapun tafsiran itu, yang hendak ditegaskan
sekali lagi dari pemberitaan Yoel yaitu hari Tuhan yang semakin dekat. Singkatnya,
bencana belalang yang menimpa penduduk di Yerusalem dan Yehuda merupakan bagian
dari penghukuman Tuhan yang dahsyat, sekaligus tanda dari hari Tuhan yang semakin
dekat, yang tidak dapat ditahan oleh seorang pun (lih 2:11).
Penutup
Pemberitaan Yoel pada bagian awal ini harus diakui terkesan sangat mengerikan,
sebab bencana besar yang terjadi serta dampaknya bagi kehidupan umat Allah. Betapa

pun umat itu dikasihi Allah, ia tetap menegakkan keadilan di kala kasih-Nya hanya
ditanggapi dengan sebelah mata, sekalipun Yoel tidak menyebutkan secara jelas dosa apa
yang dilakukan oleh mereka. Namun di balik berita penghukuman tersebut, ada berita
besar yang hendak ditekankan oleh anak Petuel ini. Berita tentang hari Tuhan yang sudah
dekat. Suatu hari yang hebat dan sangat dahsyat, yang tidak dapat ditahan atau dihindari
oleh siapa pun. Karena itu, semua umat yang berada di Yerusalem dan Yehuda tanpa
terkecuali dipanggil untuk segera bangun dari ketidaksadaran, meratap dan berkabung
dengan sungguh-sungguh, serta berteriak kepada sang Mahakuasa.
Pada akhirnya, saya pun mau mengajak kita untuk menyadari satu hal penting ini
sebagai kelanjutan untuk pertanyaan diskusi kita. Akhir-akhir ini, isi berita dari bangsa
tercinta kita marak dengan berita tentang bencana, di antaranya yaitu kabut asap dan
kekeringan. Pertanyaannya ialah sebagai berikut: Bagaimana kita sebagai orang Kristen
secara umum, dan para teolog maupun hamba Tuhan secara khusus melihat peristiwaperistiwa tersebut? Lantas, Apa jawaban teologis yang dapat diberikan ketika orang
bertanya, Inikah kehendak Tuhan? Masih relevan kah jika kita cukup meratap dan
berteriak kepada Tuhan, agar situasi negara ini menjadi kondusif?
Baciro, 28 Oktober 2015
Rina Lawalata

Daftar Pustaka:
Assis, E., The Book of Joel A Prophet Between Calamity and Hope, London: Bloomsbury T&T

Clark, 2013.
Collins, J.J., Introduction to the Hebrew Bible: Second Edtion, Fortress, 2014.
Johnston, W., Teologi Mistik Ilmu Cinta, Yogyakarta: Kanisius, 2001.
Pilon, P.K., Tafsiran Yoel, Jakarta: Gunung Mulia, 1974.
Prior, D., The Message of Joel, Micah, & Habakkuk, Inggris: Inter-Varsity Press, 1998.
Roberts, A.R. dan G.J. Greene, Bunga Rampai Teologi Perjanjian Lama, Jakarta: Gunung
Mulia, 2005.