Bahan PA 10 November 2015

Bahan PA Fak. Teologi

10 November 2015

Bukan Berbalik 90˚ atau 360˚, Tetapi 180˚
(Yoel 2: 12-17)
Olivia M. D. Tulaseket

Pada minggu kemarin, kita telah mendapat banyak keterangan mengenai kitab Yoel ini sendiri.
Dari keterangan itu, ada dua suasana yang digambarkan di sana hukuman dan Hari Tuhan. Namun saya
melihat ada yang menarik dari kitab ini, bahwa jika Hosea dan beberapa kitab dalam PL, yang pernah
kita bahas dalam PA bersama memberikan gambaran yang rinci dan jelas tentang kesalahan apa yang
diperbuat umat sehingga Allah marah kepada mereka dan hendak memberikan hukuman, sedangkan
Yoel tidak sama sekali. Alur berpikir logis manusia selalu adalah adanya hubungan sebab-akibat,
sehingga tidak akan ada argumen yang panjang ketika kesalahan kita disampaikan, namun sebaliknya,
ketika kesalahan kita tidak jelas, tetapi kita diminta untuk mengaku salah. Misalnya, kita sebagai
mahasiswa kadang merasa galau saat dimarahi dosen, tetapi tidak ketahuan dimana salah kita, dan
apalagi itu berdampak pada keberlangsungan hidup kita sampai akhir semester (alias nilai). Apa
kesalahan para balita sehingga mereka menjadi korban dari bencana Asap di Indonesia? Mari kita
biarkan ini tetap menjadi pertanyaan dan dilema, yang semoga terjawab setelah melihat perikop ini
lebih lanjut.

Hal lain yang sepanjang beberapa minggu ini coba saya pahami adalah,”apa orang Israel ini
orang bodoh atau apa?” ketika para ahli masih memiliki banyak argumen tentang peristiwa belalang ini
sudah terjadi atau belum, seperti Pilon (1974:16-17) yang telah disampaikan minggu kemari, atau
apakah benar belalang (pasal 1) ataukah hanya metafor dari para prajurit yang akan menyerang Israel
(pasal 2:1-11). Namun paling tidak mereka sepakat untuk mengakui bahwa Yoel ada pada masa setelah
pembuangan (Prior, 1998:17 & Collins, 2014: 436), seharusnya umat telah memiliki banyak pelajaran
dari sebuah penderitaan akibat hukuman (Pembuangan) dari Allah, atau bahkan lebih lagi jika kisah
dipasal 1 itu sudah terjadi, maka mengapa mesti ada “Seruan untuk bertobat”? harusnya pertobatan
merupakan sebuah respons spontan, bukan lagi sebuah ajakan yang bernuansa mendorong untuk ayo
bertobat. Kecurigaan saya bahwa orang Israel sebenarnya telah melakukan proses bertobat baik dengan
ratapan, puasa dan berkabung, sebagai respons dari perikop sebelumnya yang juga mengandung nada
yang kurang lebih sama (Yl. 1: 8, 13-14) dengan yang disuarakan Yoel pada bagian ini, oleh sebab itu
mungkin disana-sini akan ada sedikit kemiripan dengan suara pada PA sebelumnya yang juga
menekankan pada meratap, puasa dan berkabung. Argumen saya ialah bahwa perikop ini hadir karena
Yoel melihat respons umat dalam hal ini pertobatan (puasa, meratap dana berkabung) hanya dijalankan
sebagai sebuah ritual dan bukan sebuah bentuk penyesalan yang melahirkan perubahan. Hal ini terbukti
dengan diserukan lagi pertobatan, mengapa saya katakan lagi, sebab perikop sebelumnya juga telah ada
ajakan untuk umat bertobat, tetapi mungkin bukan pertobatan itu yang Yoel maksudkan. Ayat 12
menggemakan kembali ajakan Allah kepada umatNya melalui Yoel untuk kembali mencari Dia dengan
puasa, meratap, menangis dan berkabung. Sindiran Yoel bagi umat, menurut saya sangat nampak pada

ayat 13. Kita ketahui bersama dalam tradisi orang Yahudi ketika orang berkabung, tandanya adalah
dengan mengoyakkan bajunya dan menaruh debu di atas kepala mereka sebagai tanda berkabung (2
Sam. 1:2; Ezr. 9:5). Yoel menyindir ketika itu menjadi ritual dan kebiasaan belaka dan tidak diikuti
dengan penghayatan dari dalam hati. Hal itu nampak jelas ketika ajakan untuk melakukan pertobatan
dengan memberi penekanan pada “dengan segenap hati” dan makin ditekankan “koyaklah hatimu” dan
bukan pakaianmu (ay. 12-13) sebagai kata kunci dari pertobatan yang dimaksud Yoel. Sebab ini
bukanlah sesuatu yang baru, orang Israel sangat akrap dengan ritual ini, demikian dikatakan Durkheim
yang dikutip oleh Hess (Israelite Religion, 2007:30-31). Jadi bagi Yoel, sebuah pertobatan, butuh

Bahan PA Fak. Teologi

10 November 2015

sebuah penghayatan yang membawa umat menyadari kesalahannya, menyesal dan memperbaiki diri
dengan berubah.
Selanjutnya ay. 14 Yoel juga mengutarakan sifat kasih dari Allah dan sifat lain bahwa bukan
hanya manusia, Allah juga dapat menyesal dengan keputusan yang diambil-Nya, karena itu kembalilah,
bujuk Dia agar paling tidak Ia meninggalkan = wehis’iyr dari kata sa’ar = to be left, berkat untuk
menjadi korban sajian & curahan sebagai respons dari kenyataan krisis yang terjadi pasal 1: 9 (krisis
pangan). Ini meyakinkan umat, bahwa bukan tidak mungkin Allah akan mengampuni mereka dan

memberkati mereka lagi, tetapi tetap meminta dalam kesungguhan hati.
Ay. 15-17, kebanyakan dilihat sebagai sebuah bagian yang utuh oleh para ahli, karena menurut
mereka klimaksnya ada pada ay. 17. Pengelompokan ini dijelaskan oleh Braaten (Horizons In Biblical
Theology, 2006, 122), sekali lagi panggilan ditujukan pada para majelis/ tua-tua untuk mengumpulkan
umat dan mengadakan doa puasa, menangis, meratap dan berkabung, sehingga “mungkin Allah akan
merasa iba atau berbelas kasih kepada umatNya sebagai milikNya (ibr. Nakhalah= heritage, ay. 17b)”.
Seperti yang sebelumnya saya sampaikan bahwa ada seperti pengulangan ajakan untuk berpuasa,
meratap dan berkabung dari perikop sebelumnya, dan ini ditunjukkan oleh ayat 1a dengan 15 yang
memberi penekanan pada pokok yang hampir sama, yaitu perintah untuk membunyikan sangkakala
sebagai tanda ada sebuah hal besar, yang akan terjadi (ay. 1 = Hari Tuhan & ay. 15 = ajakan untuk
berkumpul bagi semua umat tanpa terkecuali ay. 16), membaca ini saya teringat dengan peristiwa rusuh
Maluku. Untuk mengumumkan adanya bahaya dalam hal ini serangan bagi kampung kami atau akan
dimulainya sebuah upacara adat, (Liliboy, salah satu desa di pesisir Maluku selatan) maka akan
dibunyikan “Kerang” (korno). Sehingga ketika terdengar bunyinya, semua orang akan mulai ketakutan
jika sebelumnya tidak ada pemberitahuan akan ada perkumpulan adat, atau jika ada seruan atau
pengumuman sebelumnya bahwa akan ada perkumpulan adat, maka kami akan secara spontan
berkumpul ketika mendengar suara kerang yang ditiup. Saya mencoba memahami ayat 1, 15-16 ini
dengan kearifan lokal yang kami hidupi, tentang bagaimana bunyi sangkakala menjadi pertanda Hari
Tuhan yang mencekam (dalam Yoel=bencana/ bahaya) dan juga undangan bagi umat seperti orang
Maluku menghayati bunyi kerang yang ditiup. Ay. 17 oleh Braaten (2006:122) mengandung nuansa

tawar-menawar antara umat yang diwakili oleh para imam dan pelayan-pelayan Tuhan dengan Tuhan
sendiri. Negosiasi yang dimulai oleh umat dengan Allah atas kehilangan hasil ladang, dengan harapan,
penawaran dalam bentuk pertobatan, akan merubah keputusan Allah. Umat dengan diwakili para imam
dan pelayan dalam permohonan menjadikan penderitaan yang mereka alami sebagai masalah yang
mengancam reputasi Allah, sebab dengan sendirinya mereka menyerahkan hak milik mereka atas tanah
dan diri mereka sendiri sebagai umat, menjadi milik Allah “milik-MU”, sehingga, jika ada sindiran dari
bangsa-bangsa sekitar yang melihat penderitaan mereka, akan langsung mempertanyakan Allah Israel
sendiri. Sebab kepercayaan kepada YHWH yang menjamin keberlangsungan hidup umat pilihan-Nya
telah menjadi sebuah identitas yang menempel pada orang Israel itu sendiri, sehingga pertanyaan “Di
mana Allah mereka?” memang ditanyakan kepada umat tetapi secara tidak langsung itu di ajukan
kepada YHWH sendiri (kredibilitas YHWH dalam menjaga dan memelihara umat). Ibarat kesalahan
anak, orang tua akan kena juga, jika saya nakal, maka orang akan bertanya “siapa mamanya? Tidak
pernahkah diajari?, atau sebaliknya, saat saya berprestasi, akan ditanyakan juga “anak siapa itu? Hebat
ya orang tuanya?” atau mungkin saat mahasiswa salah, yang ditanya lebih dulu mungkin “anak
perwalian siapa? (dosen wali kena lagi)”, jadi identitas yang saling melekat dan mempengaruhi citra
masing-masing.
Saya sudah barang tentu tidak akan dapat menuangkan semua hal tentang Yoel 2:12-17 dalam
PA kali ini, tetapi beberapa hal penting yang bisa disimpulkan dari penjelasan di atas sekaligus menjadi
pertanyaan bagi kita semua:


Bahan PA Fak. Teologi

10 November 2015

1. Yoel memang tidak menjelaskan apa kesalahan umat secara langsung sehingga mereka di hukum.
Tetapi bukan tanpa alasan Tuhan bertindak untuk penghukuman, namun dari hal itu yang diharapkan
ialah umat semakin berbenah diri dan melihat hidupnya secara keseluruhan. Menjelaskan hal ini
sehingga saya tidak terkesan menghakimi, saya melihat lirik lagu dari ebid, ketika kita mungkin
merasa, tak memiliki salah tetapi mengalami hukuman, baik bencana ataupun infasi dari bangsa lain
seperti dalam Yoel,
Ini bukan hukuman, hanya satu isyarat
Bahwa kita mesti banyak berbenah
Memang, bila kita kaji lebih jauh
Dalam kekalutan, masih banyak tangan
Yang tega berbuat nista... oh
Barangkali di sana ada jawabnya mengapa di tanahku terjadi bencana
Mungkin Tuhan mulai bosan melihat tingkah kita
yang selalu salah dan bangga dengan dosa-dosa
atau alam mulai enggan bersahabat dengan kita
Coba kita bertanya pada rumput yang bergoyang


Hal ini mungkin dapat menolong kita untuk melihat secara utuh kedalam diri kita, bahwa mungkin,
tanpa sadar kita menyumbang sebab dari bencana alam yang bangsa kita hadapi, yang menjadikan
balita tak bersalah meninggal dunia, seperti alam yang bersalah tapi karena dosa manusia, alam jadi
korban (dihancurkan Tuhan lewat bencana belalang). Seperti alam yang rusak oleh bencana belalang
karena dosa manusia, mungkin asap dan kemarau panjang yang kita alami, adalah gejala alam yang
tak lagi dapat diprediksi, oleh karena Global warming dan isu ekologis lainnya yang katanya manusia
juga menjadi penyumbang sebab, benarkah gereja dan umat beragama tidak memiliki andil di
dalamnya? Jika ya, bagaimana gereja bisa memperbaikinya dan menjalankan peran kenabian
ditengah krisis yang ada?
2. Di mana-mana semua umat beragama mulai berbondong-bondong menjadikan bencana Asap dan
Kekeringan yang panjang ini sebagai isi dari doa-doa mereka kepada Tuhan. Bahkan ada ibadah atau
sahalat khusus yang diadakan untuk meminta belaskasihan Tuhan agar bencana ini berakhir. Semoga
saya tidak terkesan memaksakan konteks pada teks, tetapi umat dimana Yoel bernubuat, menurut
saya juga meratap, berpuasa dan berkabung untuk memohon hal yang sama, yaitu belas kasih Allah
dalam melalukan bencana. Tetapi perikop ini berkata bahwa lakukan dengan sepenuh hati, artinya
dengan kesadaran penuh bahwa pertobatan bukan sekedar sikap ritus dalam pengakuan dosa ditiap
ritus ibadah, tetapi sikap hidup yang berubah dari berbuat salah kebada hal sebaliknya, perubahan
180˚ bukan 360˚ yang kembali lagi pada sikap awal atau 90˚ dalam artian pertobatan setengahsetengah. Umat Israel memohon pemulihan terhadap situasi mereka, lewat pemulihan pada alam
(hasil tani) yang musnah karena bencana, ini menjelaskan jika alam pulih maka umat akan pulih

dengan sendirinya dari krisis mereka. Relasi saling ketergantungan ini jelas menjadi suara Yoel pada
kita juga, bahwa saat alam rusak, bukankah kita juga yang akan dirugikan, sebab Allah memelihara
kita juga lewat alam. Apa pola hidup yang tepat oleh gereja saat ini baik organisasi maupun orangnya
dalam memaknai pertobatan jika dihubungkan dengan bencana yang bangsa ini hadapi sekarang?
Apakah setelah hujan datang, karena sudah terjadi rabu malam, walau sebentar, setelah itu gereja
hanya bersyukur lalu lupa tanpa terus berbenah.