TINJAUAN PUSTAKA Kokultur rizobakteri secara in vitro pada planlet pisang untuk meningkatkan mutu planlet dan pengendaliaan penyakit layu fusarium

15 Sifat pencoklatan browning eksplan menentukan keberhasilan kultur jaringan terutama di awal inisiasi. Meskipun eksplan semua kultivar pisang umumnya memperlihatkan pencoklatan tetapi variasinya sangat luas. Berdasar penelitian Hirimburegama dan Gamage 1997, jaringan eksplan kultivar pisang dengan genom B lebih mudah terjadi browning bila dibanding yang bergenom A. Hal tersebut sejalan dengan hasil yang diperoleh Banerje et al. 1986, bahwa proliferasi tunas ‘balbisiana’ menunjukkan tingkat browning yang tinggi pada proliferasi tunas pisang secara in vitro.. Ukuran eksplan menentukan keberhasilan pembiakan. Menurut Gunawan 1988, eksplan dengan ukuran besar lebih mudah terkontaminasi, dan eksplan yang berukuran kecil mempunyai persentase kematian jaringan lebih tinggi. Menurut Bhojwani dan Razdan 1983 makin besar ukuran eksplan jumlah sel lebih banyak, sehingga kemungkinan keberhasilan lebih besar, namun terdapat kelemahan yaitu kemungkinan terjadi aberasi genetik lebih besar. Yusnita et al. 1997 menggunakan ukuran eksplan pisang berbentuk kubus 0.5 x 0.5 x 0.5 cm dan memberikan hasil pertumbuhan yang baik, ukuran tersebut juga dianjurkan oleh Israeli et al. 1995 Media Tumbuh dan Zat Pengatur Tumbuh Berbagai media kultur in-vitro pisang telah dikembangkan oleh para peneliti. Media yang dipakai secara umum untuk kultur jaringan adalah media Murashige dan Skoog 1962, terutama untuk morfogenesis, kultur meristem dan regenerasi. Media MS ini mengandung garam-garam mineral dalam konsentrasi tinggi Gamborg dan Shyluk 1981. Menurut Gunawan 1988, pada prinsipnya media dalam kultur jaringan terdiri dari sumber karbon dan energi, vitamin dan zat pengatur tumbuh ZPT. Memanipulasi komposisi media dan ZPT banyak dilakukan oleh para peneliti untuk menyesuaikan kebutuhan pertumbuhan bahan tanam. Menurut Weaver 1972, ZPT memegang peranan sangat penting dalam sel tumbuhan dan yang umum digunakan dalam kultur jaringan adalah berasal dari golongan sitokinin dan auksin. Menurut Zaffari et al. 2000, walaupun level hormon endogen pada pembentukan dan perkembangan tunas sangat penting baik secara 16 in-vitro dan ex-vitro, tetapi masih sangat sedikit studi tentang hormon eksogen dilaporkan dalam kasus mikropropagasi pisang. Dalam kultur jaringan, auksin digunakan untuk merangsang pertumbuhan kalus, pemanjangan sel dan pembentukan akar Pierik 1987. Secara alami tanaman memiliki auksin endogen yang disebut IAA Indole Acetic Acid yang dihasilkan di meristem pucuk pada tajuk dan meristem pucuk akar Salisbury dan Ross 1995. ZPT golongan sitokinin berperan penting dalam pembelahan sel dan morfogenesis Gunawan 1988; Salisbury dan Ross 1995. Interaksi dan perimbangan antara ZPT yang diberikan dalam media dan yang diproduksi oleh sel secara endogen menentukan arah perkembangan suatu kultur Gunawan 1988. Pemberian sitokinin yang cukup tinggi antara 0 sampai 10 mgl mampu menginduksi merangsang pembentukan tunas, namun biasanya makin tinggi sitokinin dapat menghambat pembentukan akar Prawiranata et al. 1994; Pierik 1987. IAA eksogen dengan konsentrasi rendah sering digunakan dalam media kultur jaringan dengan tujuan untuk memperbaiki kualitas tunas mengimbangi pengaruh BAP 6 Benzyl Amino Purin terhadap pengandaan tunas Pierik 1987. Weaver 1972 dan Salisbury dan Ross 1995, mengemukakan rasio sitokininauksin penting untuk mengendalikan dominasi apikal penekanan tunas lateral. Level rasio sitokininauksin yang tinggi mendorong perkembangan tunas lateral dan rasio yang rendah mendukung dominasi apikal. Penelitian Zaffari et al. 2000 pada pertunasan Musa sub group AAA ‘ Grande Naine’ secara in-vitro, menunjukkan pentingnya level IAA endogen dan rasio auksinsitokinin dalam menentukan arah pertunasan pisang. Sitokinin endogen meningkat di bagian basal eksplan dan menurun di bagian apikal pada pembentukan tunas, hal tersebut nampak pada subkultur pada medium proliferasi 65 sampai 75 hari yang ditambah dengan 11.1 µ M BAP. Level IAA endogen dan rasio IAAsitokinin menurun setelah periode kultur 65 hari. Dari analisis jaringan, ternyata pembentukan primordia tunas pada bagian basal daun, meliputi jaringan sub epidermal dan epidermal pada periode kultur 65 hari. Manipulasi hormon pada media tumbuh untuk kultur pisang harus disesuaikan dengan spesifikasi kultivar pisang. Meldia et al. 1992 melaporkan 17 bahwa pisang yang bergenom ABB pisang batu pada pemberian BAP dari konsentrasi 3.0 ppm sampai 5.0 ppm memberikan respon peningkatan jumlah tunas per eksplan yang masih relatif rendah sedikit. Hutabarat 1997 mendapatkan bahwa pada kultivar-kultivar pisang bergenom BB jumlah tunas terbanyak dihasilkan pada BAP taraf konsentrasi 7.0 mgl pisang Klutuk Susu dan Batu serta 10.5 mgl pisang Klutuk Wulung dan Klutuk Susu, bergenom BB. Penambahan IAA pada kombinasi 7.0 mgl BAP dengan 1.5 mgl IAA dihasilkan tunas lebih banyak dibandingkan dengan media yang hanya diberi 7.0 mgl BAP pada pisang Kepok SoboABB. Ernawati et al. 1994, melaporkan bahwa jumlah tunas maksimum pada pisang RajabuluAAB sebesar 7.2 buah terjadi pada kombinasi perlakuan IAA 3.0 ppm dengan BAP 7.0 ppm. Rosjidi 1992 melaporkan hasil penelitian pada pisang TandukAAB dengan perlakuan BAP 0, 3, 6, 8 mgl dan IAA 0,2,4,6 mgl. Makin tinggi BAP tunas yang dihasilkan makin banyak walaupun pertumbuhan dan perkembangan tunas makin tidak sempurna. Pisang Tanduk AAB responsif terhadap sitokinin pada media BAP 2 mgl dan IAA 3 mgl menghasilkan 4 tunas kecil-kecil dan nodul-nodul, pada konsentrasi BAP makin tinggi, tunas-tunas yang dihasilkan makin banyak tetapi makin tidak sempurna roset. Makin dilakukan subkultur tunas abnormal makin meningkat. Pisang Rajabulu AAB dengan BAP 5 mgl dan IAA 3 mgl memberikan 5 tunas ukuran sedang 2-3 cm Kasutjianingati 2004. GA3 mempunyai respon fisiologis berperan dalam proses pemanjangan sel dan dapat menyebabkan perpanjangan tunasruas Salisbury dan Ross 1995. Berdasarkan struktur kimia ada dua kelompok sitokinin yaitu turunan adenin BAP, kinetin, zeatin dan turunan fenilurea ThidiazuronTDZ. BAP dan TDZ mempunyai respon fisiologis yang sama yaitu berperan dalam regulasi pembelahan sel, deferensiasi pertumbuhan jaringan dan organ serta biosintesa klorofil Murthy et al. 1995. Pengaruh penggunaan TDZ dalam perbanyakan in vitro di antaranya adalah meningkatkan biosintesis atau akumulasi sitokinin dan auksin endogen, menginduksi embrio somatik tanpa dikombinasikan dengan zat pengatur tumbuh lainnya, merangsang proliferasi tunas dan regenerasi organ adventif Huetteman dan Preece 1993 18 Layu Penyakit layu Fusarium penyakit yang disebabkan ol cubense E.F. SmithFoc me menurunkan produksi secara 1994. Klamidosporanya mam ada sekresi akar atau eksud berkecambah. Dalam memper epifit pada akar gulma atau tan 2001. Gambar 2.2 Gejala kuning d Fusarium oxysp yu Fusarium pada Pisang ium yang dikenal dengan Panama disease, merupa oleh cendawan Fusarium oxysporum Schlecht merupakan salah satu patogen tular tanah yang d ra nyata di daerah tropis Stover 1990; Seman ampu bertahan lama dalam tanah 30 tahun, samp sudat akar yang merupakan sumber nutrisi u mpertahankan hidupnya, patogen ini dapat hidup seb tanaman yang mempunyai kekerabatan dekat Ne g daun A dan daun kering B yang ditimbulkan ysporum f.sp. cubense Foc upakan ht f.sp dapat mangun sampai untuk sebagai Nelson n Gambar 2.3 Gejala ber bonggol d cubense Penyakit tersebu berhubungan dengan sp dapat juga melalui penye air pada permukaan ta Cendawan menyebar de lubang-lubang alami len yang lambat laun masu cepat ke jaringan pembu jaringan parenkhim, sel konidia yang dapat tera Polisakarida dan enzim pada sel-sel jaringan xil dan menyebabkan peny bercak coklat batang semu Ploetz 2000 A; berc l dan akar B yang ditimbulkan Fusarium oxyspo Foc ebut dapat menular karena perakaran tanama spora yang dilepaskan oleh tanaman sakit di nyebaran bahan tanam, alat atau tanah yang terinfe tanah serta sisa-sisa tanaman sakit Hutagalu dengan cepat, setelah spora masuk ke dalam ak lenti sel atau luka, berkecambah menghasilkan masuk ke bonggol, selanjutnya patogen berkemba mbuluh. Miselium akan meluas dari jaringan pemb selanjutnya patogen membentuk makro konidia d angkut melalui arus transportasi xilem Wardl m yang dihasilkan patogen dapat menyebabkan xilem tanaman membentuk gel dan gum massa enyumbatan pembuluh. Sekresi berupa massa 19 ercak pada porum f.sp. aman sehat sekitarnya, nfeksi, aliran alung 2002. akar melalui n miselium mbang sangat pembuluh ke ia dan mikro rdlaw 1972. an kerusakan ssa koloidal ssa koloidal 20 tersebut dan mengkerutnya sel-sel pembuluh menyebabkan aliran zat air mengalami proses penurunan laju sehingga menimbulkan kelayuan Agrios 1997. Tanaman yang terinfeksi Foc menunjukkan gejala awal berupa penguningan tepi daun-daun tua daun 1 dan 2 dari bawah menyebar dari tepi ke arah tulang daun kemudian kecoklatan dan mengering, gejala menguning dari daun tua menuju daun-daun muda. Daun yang terserang berangsur-angsur layu pada tangkainya atau dasar ibu tulang daun menggantung ke bawah menutupi batang semu Gambar 2.2. Beberapa menunjukkan gejala daun berwarna sangat hijau tangkai daun rebah dan layu. Pertumbuhan tidak terhenti, daun baru berkurang, abnormal berdiri tegak, berkerut dan rusak. Gejala khas lain adanya retakan batang semu dimulai dari permukaan tanah Ploetz dan Pegg 2000. Gejala paling khas penyakit layu yang disebabkan Foc adalah gejala dalam yaitu apabila pangkal batang semu dibelah membujur atau melintang Gambar 2.3A akan terlihat garis-garis coklat atau hitam melalui jaringan pembuluh Ploetz 2000, demikian juga pada bonggol dan akar Gambar 2.3B. Pengetahuan keragaman genetik dan karakter Foc saat ini telah berkembang pesat. Forma spesialis Foc berdasar geografis dan patogeniknya pada kultivar yang berbeda dibagi ke dalam ras. Setiap kultivar pisang mempunyai tanggapan yang berbeda terhadap ras Foc, oleh karena itu perlu dilakukan pengujian sifat-sifat patogen dan ras pada populasi secara lokal Ploetz, 1998. Ras Foc baru dapat muncul apabila suatu kultivar tahan, ditanam secara monokultur pada areal yang luas secara terus menerus. Untuk saat ini dikenal ada ras 1 sd ras 4, di mana ras 4 merupakan ras Foc yang paling virulen dan ganas, karena dapat menyerang semua kultivar pisang dan penyebarannya sangat luas hampir di seluruh daerah penghasil pisang di dunia. Bahkan sampai saat ini Foc ras 4 masih terus menjadi permasalahan di semua daerah pisang termasuk Indonesia Jones 1995; Muharam et al. 1994; Ploetz 1998. Meluasnya serangan dapat juga disebabkan karena kultur budidaya pisang yang tidak menerapkan konsep pertanian berkelanjutan sehingga merangsang munculnya ras-ras Foc yang lebih virulen, misalnya penggunaan fungisida yang berlebihan, penggunaan kultivar yang rentan, penyebaran melalui bahan tanam atau bibit yang terinfestasi. 21 Pengendalian Hayati Keberhasilan budidaya tanaman bergantung pada banyak faktor, salah satu faktor penting adalah serangan mikroorganisme patogen tumbuhan. Tanaman pisang yang dikembangkan di seluruh dunia mempunyai keragaman genetik yang luar biasa dan umumnya rentan terhadap penyakit layu yang disebabkan oleh Fusarium oysporum f. sp cubense. Fusarium oxysporium merupakan salah satu patogen tular tanah yang menurut beberapa laporan dapat menurunkan produksi secara nyata Stover 1990. Beberapa perlakuan untuk mengontrol penyebaran penyakit telah banyak dilakukan seperti sanitasi lapang, fumigasi tanah dan pengapuran, tetapi belum memberikan hasil yang maksimum. Rotasi tanaman dengan padi dapat mengontrol penyakit tetapi efektif hanya bertahan satu sampai dua tahun kemudian terjadi peningkatan penyakit ke level kerusakan epidemi. Para ahli pemuliaan tanaman telah banyak meneliti untuk mendapatkan sifat ketahanan baik secara konvensional maupun bioteknologi, serta tidak sedikit penelitian ahli patologi yang mengarah pada usaha induksi resistensi Agrios 1997; Gowen 1995; Hwang et al. 1984 Kendala utama bagi ahli pemuliaan tanaman sebenarnya adalah sifat triploid pada pisang sehingga sulit untuk mendapatkan tanaman hasil silangan. Selain itu, pemulia tanaman membutuhkan waktu dan biaya yang sangat mahal dan genotipe baru yang dihasilkan harus dievaluasi dengan mengadakan percobaan lapang yang memerlukan waktu lama. Hwang 1998, melakukan screening terhadap 20.000 planlet, diperoleh 6 klon yang mempunyai resistensi tinggi terhadap patogen namun memiliki sifat agronomi yang tidak ideal untuk tanaman pisang seperti tanaman sangat tinggi, periode pertumbuhan lebih panjang, bentuk daun tidak normal, produktivitas dan kualitas buah tidak memenuhi standar pasar. Pada saat ini terdapat kecenderungan perubahan orientasi dalam bidang pertanian untuk memanfaatkan mikroorganisme sebagai agen pengendali hayati untuk mempertahankan produksi pertanian yang berkelanjutan. Berdasar pada trend tersebut sudah selayaknya mikroorganisme yang dapat hidup berdampingan dengan tanaman perlu mendapat kajian yang serius. Biologi kontrol atau 22 pengendalian hayati dapat didifinisikan sebagai kemampuan mengelola komponen ekosistem untuk melindungi tanaman dari pengaruh yang tidak menguntungkan, dengan kata lain pengendalian hayati bisa disebut sebagai teknik pengelolaan pertanian yang berkelanjutan sehingga kualitas lingkungan dapat dipertahankan dengan mengurangi input kimia, membatasi pertumbuhan dan aktivitas patogen tumbuhan di sekitar permukaan tanaman udara dan tanah dengan menggunakan strain bakteri antagonis Reinntjes et al 1992. Dalam pengendalian penyakit secara terpadu, pengendalian hayati merupakan salah satu komponen di mana kepadatan inokulum patogen dan aktivitas patogen dikurangi dengan memanipulasi lingkungan; inang dan antagonis atau dengan memasukkan satu atau lebih antagonis Baker dan Cook 1974. Pengendalian hayati akhir-akhir ini banyak diminati karena pengendalian ini aman bagi lingkungan, tidak perlu dilakukan berulang-ulang dan aplikasinya cukup sederhana, meskipun cara tersebut membutuhkan waktu lama. Hemming 1990, menyatakan bahwa penggunaan bakteri dalam pengendalian hayati penyakit tumbuhan cukup menguntungkan terutama untuk mengendalikan penyakit yang disebabkan oleh patogen tular tanah. Bakteri Antagonistik Memperbaiki Pertumbuhan dan Perkembangan Tanaman Populasi bakteri dalam tanah merupakan populasi yang terbesar dibandingkan dengan mikroorganisme lainnya, kepadatan bakteri dilaporkan 1 x 10 6 sampai 9 x 10 9 sel bakteri per gram tanah. Populasi yang tinggi dan kecepatan dalam mempergunakan nutrisi memungkinkan bakteri menjadi kelompok besar yang penting sebagai pesaing dalam memperoleh nutrisi, terutama pada rizosfer dan daerah sekitar tanaman. Dengan memberi lingkungan fisik yang tepat, bakteri dapat tumbuh dengan cepat dan mencapai jumlah yang tinggi kurang dari 48 jam sejak tersedianya nutrisi. Selama pertumbuhan diperkirakan waktu yang dibutuhkan bakteri untuk memperbanyak diri dan beregenerasi sekitar 20 menit. Penambahan air pada tanah yang kering akan menambah jumlah bakteri dalam kelipatan sepuluh selama 12-24 jam, tidak adanya substrat organik baik lignin, selulosa, hemiselulosa, protein, gula 23 sederhana, asam amino maupun kitin dalam tanah dapat menyebabkan bakteri hilang atau berkurang Baker dan Cook 1974. Mikroorganisme berdasar pengaruhnya terhadap pertumbuhan dan perkembangan tanaman dibagi dalam dua kelompok yaitu mikroorganisme yang menghambat dan yang mendorong pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Mikroorganisme yang mendorong pertumbuhan dan perkembangan tanaman di antaranya adalah rhizobia, mikroorganisme pemfiksasi N 2 , mikroorganisme yang dapat menambah unsur-unsur seperti S, P, N dan Fe untuk perkembangan tanaman, mikroorganisme antagonis yang dapat melawan patogen tanah dan mikroorganisme lain dalam tanah. Mikroorganisme yang dapat menghambat pertumbuhan dan perkembangan tanaman, yaitu patogen yang memparasit jaringan tanaman dan menyebabkan gejala penyakit, patogen yang memparasit sel akar dan mikroorganisme yang tidak memparasit tetapi aktivitas metabolismenya berbahaya terhadap perkembangan akar dan pertumbuhan tanaman Schipper 1986. Pada saat agen bakteri diintroduksikan ada tiga macam pengaruh yang ditimbulkan terhadap tanaman yaitu perusakan, netral dan menguntungkan. Introduksi bakteri yang menguntungkan dapat menanggulangi ketidakseimbangan biologi tanaman, seperti bakteri rizosfer yang dapat memacu pertumbuhan Plant Growth-Promoting RhizobacteriaPGPR Kloepper 1991. Pseudomonas kelompok fluorescens, Bacillus spp dan Serratia sp mendapat perhatian utama sebagai agen pengendali hayati. Pseudomonas kelompok fluorescens dapat mengendalikan penyakit dengan berkompetisi dalam penggunaan besi, nutrisi dan antibiosis yang dihasilkan sebagai senyawa anti cendawan Bakker et al. 1990. Kesuksesan inokulum bakteri sebagai agen pengendali hayati bergantung pada kemampuan kompetisi in situ dengan mikroflora asli yang sudah ada dan ekspresi gen penting dari pengendali hayati Bakker et al. 1990. Pseudomonas fluorescens diketahui dapat menghasilkan beberapa senyawa yang dapat menghambat pertumbuhan fungi Oku 1994. Mekanisme kerja dari P. fluorescens adalah dengan sistem yang dapat mengkelat Fe, sehingga Fe tidak tersedia untuk pertumbuhan fungi. Beberapa strain juga dapat memproduksi 24 sianida Alstrom dan Burn 1989; Leyns et al.1990; Siddiqui 2006, atau antibiotik seperti pyrrolnitrin dan pyoluterin Cho et al. 2003; Tsuge et al. 2005; Mizumoto dan Shoda 2007. Beberapa isolat dari Bacillus subtillis dapat memproduksi antibiotik iturin A, di samping itu dapat membentuk iturin lain mycosubtilins, bacillomycin, fenhymicin, mycobacillin dan mycocerein dimana senyawa- senyawa tersebut sangat efektif melawan fungi Duitman et al. 1999; Siddiqui 2006. Beberapa bakteri mempunyai pengaruh positif terhadap pertumbuhan tanaman secara in vitro. Pada penelitian Suaria et al. 2001 perlakuan isolat bakteri memberi pengaruh positif pada hampir semua peubah yang diamati pada kultur in vitro Dendrobium, dikatakan bahwa isolat bakteri memiliki triptofan deaminase yang dapat mempengaruhi regulasi sitesis indole- 3-acetic acid IAA. Selanjutnya IAA mempengaruhi perkembangan kultur in vitro Dendrobium dengan merangsang aktivitas sel sehingga pembelahan dan pertumbuhan sel meningkat. Meningkatnya aktivitas sel akan menyebabkan pembentukan organ tanaman seperti akar, batang dan daun meningkat. Glick et al. 1999 dan Wilkinson et al. 1994 menyatakan beberapa bakteri tertentu dapat merangsang pertumbuhan langsung melalui sintesa senyawa yang membantu penyerapan nutrien dari lingkungannya, sintesa indol asetat dan giberelin. 25

III. PENGARUH TDZ TERHADAP INDUKSI TUNAS AKSILAR PADA MOTHER PLANT

PISANG RAJABULU AAB DAN PISANG TANDUK AAB DALAM KULTUR IN VITRO The Effect of TDZ to Induce of Axilar Shoot of Plantain Mother Plant cv Rajabulu AAB and cv Tanduk AAB on In Vitro Culture Abstract This research was conducted to observe the effect of TDZ on induction of axilar shoot of Rajabulu and Tanduk plantain AAB genome mother plants. The experiment was designed with Completely Randomized Design. The induction medium used in this experiment was MS + BA 2 mgl + IAA 3 mgl, supplemented with 30 g sucrosel. The experiment being studied concentration of two different TDZ of medium MS. The first is medium without TDZ 0 mgl I1: and the other is medium + TDZ 0.09 mgl I2. The results of this experiment showed that the capacity of explants to form shoots depend upon cultivars. Addition of TDZ into the media had significant effects on the number of shoots cormletexplant. The induction media with TDZ I2 could induce lateral shoot of Rajabulu explants at 3 month after planted, one month faster than the induction media without TDZ I1= 4 month after planted. The induction media with TDZ I2 could induce lateral shoot of Tanduk explants at 1 month after planted, 3 month faster than the induction media without TDZ I1= 4 month after planted. The Rajabulu showed a low rate of shoot multiplication, while Tanduk showed a high rate of shoot cormlet multiplication and tended to form nodules. This lead to a conclusion that media I2 is significant to stimulate the shoot break for both cultivars. The best result for Rajabulu is up to subculture 5-6 by 6.5-18.3 shootsexplants medium I2, 6.3-11.1 shootsexplants medium I1 while for Tanduk up to subculture 5-6 by 9.6-30.1 shootexplant on Induction medium I1; and up to subculture 5-6 by 32.5-109.3 shootexplant on Induction medium I2. Key word: Multiplication, lateral shoot, subculture, cormlet 26 Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh TDZ pada media induksi terhadap pertumbuhan tunas aksilar dan multiplikasi tunas dari eksplan pisang Rajabulu dan pisang Tanduk yang sama-sama bergenom AAB. Percobaan menggunakan Rancangan Acak Lengkap RAL dengan perlakuan pemberian konsentrasi TDZ pada media induksi MS + BA 2 mgl+IAA 3 mgl, yaitu TDZ 0 mgl I1 dan 0.09 mgl I2. Hasil menunjukkan bahwa respon proliferasi eksplan terhadap penambahan TDZ bergantung pada karakter kultivar. Tunas aksilar pisang Rajabulu pada media+TDZ I2 mulai dihasilkan pada 3 bulan setelah tanam, 1 bulan lebih cepat dibandingkan dengan pertumbuhan tunas aksilar pada media tanpa TDZ I1= 4 bulan setelah tanam. Tunas aksilar pisang Tanduk mulai dihasilkan pada 1 bulan setelah tanam, 3 bulan lebih cepat dibandingkan pertumbuhan tunas aksilar pada media tanpa TDZ I1= 4 bulan setelah tanam. Komposisi TDZ pada media induksi secara nyata menambah jumlah tunaseksplan. Rasio multiplikasi eksplan pisang Rajabulu rendah, sampai subkultur 5-6 pada media +TDZ I2 dihasilkan 6.5-18.3 tunaseksplan; dari media tanpa TDZ dihasilkan 6.3-11.1 tunaseksplan, tunas-tunas berukuran kecil. Sebaliknya multiplikasi pisang Tanduk sangat responsif sitokinin, sampai subkultur 5-6 pada media tanpa TDZ I1 dihasilkan 9.6-30.1 tunaseksplan tunas berukuran kecil; subkultur 5-6 pada media+TDZ I2 dihasilkan 32.5-109.3 tunaseksplan terdiri dari tunas kecil, tunas roset, vitrous. Kata Kunci: Multiplikasi, tunas lateral, subkultur, cormlet. 27 Pendahuluan Pisang Tanduk AAB dan pisang Rajabulu AAB termasuk ke dalam golongan tanaman buah-buahan tropika, di mana buahnya mempunyai potensi pasar cukup baik, hasil buahnya selain dapat dikonsumsi sebagai buah segar dapat juga bermanfaat sebagai bahan olahan Damasco dan Barba 1985. Pisang tersebut termasuk ke dalam jenis tanaman yang mempunyai sifat triploid, bijinya bersifat steril sehingga perbanyakan tanaman tidak mungkin melalui biji Stover dan Simmonds 1987; Hasan dan Pantastico 1990. Secara konvensional penggunaan anakan sucker sebagai bahan tanam, selain tidak mampu memenuhi kebutuhan bibit dalam jumlah banyak, juga berpotensi sebagai penyebar patogen terutama yang bersifat tular tanah. Sucker yang berasal dari mother plant dengan kriteria terpilih dapat digunakan sebagai eksplan dalam perbanyakan in vitro. Pisang Rajabulu dan pisang Tanduk walaupun bergenom sama AAB, keduanya mempunyai kemampuan proliferasi dan multiplikasi berbeda Kasutjianingati 2004. Menurut George dan Sherrington 1988 dan Zaffari et al. 2000 kemampuan multiplikasi dapat berbeda di antara spesies dengan genom yang sama. Ernawati et al. 2000 menyatakan, bahwa dominansi apikal pisang Rajabulu AAB lebih kuat dan memerlukan waktu induksi lebih lama dibanding pisang Mas AA, pisang Ambon Kuning AAA dan pisang Barangan AAA. Cepat lambatnya kemampuan tumbuh terinduksi tunas lateral eksplan, mempengaruhi cepat lambatnya waktu multiplikasi eksplan. Induksi dan dinamika multiplikasi tunas sangat dipengaruhi oleh banyak faktor, di antaranya adalah perbedaan karakteristik fisiologi masing-masing kultivar seperti umur fisiologis, keseragaman tipe sucker sebagai bahan eksplan, lokasi sucker pada induknya, kemampuan tanaman berbiak di lapangan in-vivo serta faktor lingkungan kultur fisik dan kimia Gamborg dan Shyluk 1981; Hartman dan Kester 1983; George dan Sherrington 1988; Hirimburegama dan Gamage 1997. Proliferasi dan multiplikasi eksplan pisang Tanduk dan pisang Rajabulu kurang mampu menghasilkan tunas viabel tunas yang berukuran besar dengan morfologi tunas sempurna bila dibandingkan dengan pisang Mas atau pisang Ambon yang bergenom AA atau AAA. Perbanyakan in vitro pada eksplan 28 Rajabulu memerlukan konsentrasi BA yang tinggi 5 mgl dan tunas yang dihasilkan berukuran sedang 2-3 cm, kurang viabel. Sebaliknya eksplan pisang Tanduk sangat responsif terhadap sitokinin, pada konsentrasi BA 2 mgl, menghasilkan tunaseksplan berukuran kecil kurang dari 2 cm, kurang viabel Kasutjianingati 2004. Permasalah tersebut merupakan kendala pada perbanyakan pisang Tanduk dan pisang Rajabulu, sehingga perlu dikaji secara khusus. Komposisi zat pengatur tumbuh sangat menentukan arah pertumbuhan dan perkembangan kultur in vitro. Proliferasi dan multiplikasi eksplan dipengaruhi oleh tipe sitokinin yang digunakan, konsentrasi dan karakter kultivar pisang Arinaitwe et al. 2000. Konsentrasi dan tipe sitokinin berpengaruh pada pembelahan sel dan morfogenesis sel George and Sherrington 1988; Salisbury dan Ross 1995. Selama ini sitokinin yang umum dipakai pada multiplikasi pisang adalah BAP 6-Benzyl amino purin, selain efektif BAP juga lebih murah dibanding sitokinin jenis lain Damasco dan Barba 1985; Yusnita et al.1997; Arinaitwe et al. 2000. Thidiazuron TDZ, termasuk golongan sitokinin turunan fenilurea yang mempunyai kemampuan aktivitas sangat tinggi, artinya dalam konsentrasi yang sangat rendah 0.002 - 2.0 mgl sudah mampu mendorong proliferasi tunas adventif pisang Lee 2005. Seiring dengan peningkatan konsentrasi TDZ yang digunakan mulai dari 0.045, 0.23, 1.14, 5.68, 6.81 dan 9.1 µM, TDZ mampu meningkatkan aktivitas proliferasi tunas pisang Ndiziwemiti ABB, sampai 9.5 tunas per eksplan. Laju proliferasi tunas pisang Kibuzi AAA meningkat dari 2 tunas sampai 5.4 tunaseksplan pada konsentrasi TDZ 0.045 - 5.68 µM Arinaitwe et al. 2000. Berdasarkan permasalahan tersebut di atas maka disusun suatu percobaan untuk mempelajari pengaruh penambahan TDZ dalam konsentrasi rendah 0.09 mgl terhadap dominansi tunas apikal pisang, dengan tujuan merangsang pertumbuhan tunas aksilar eksplan pisang khususnya pisang Rajabulu yang kurang respon terhadap sitokinin. 29 Bahan dan Metode Percobaan dilaksanakan di Laboratorium Kultur Jaringan Pusat Kajian Buah-buahan Tropika PKBT Baranangsiang, Institut Pertanian Bogor. Percobaan dilakukan terhadap pisang Tanduk AAB dan pisang Rajabulu AAB. Persiapan awal kultur jaringan, yaitu tahap inisiasi tunascormlet merupakan stadia untuk mendapatkan eksplan yang mapan established dan steril. Persiapan Eksplan Bahan tanam eksplan berupa tunas apikal anakan pisang swords leaf sucker yang bebas patogen, diambil dari Kebun Percobaan Tajur-PKBT. Dua jenis pisang yang digunakan dalam penelitian ini yaitu pisang Tanduk dan pisang Rajabulu. Anakan pisang dikupas sampai bagian yang bermata tunas berukuran 5 x 5 x 5 cm, kemudian dicuci dengan deterjen di air mengalir. Sterilisasi eksplan dilanjutkan dengan menggunakan fungisida Benlate dan bakterisida Agrept, kemudian dicuci dengan akuades steril. Sterilisasi dilanjutkan di dalam laminar air flow cabinet dengan larutan NaOCl yang ditambah beberapa tetes Tween 20, dikupas lagi sampai ukuran 3 x 3 x 3 cm, kemudian direndam dalam NaOCl lagi dan dicuci dengan akuades steril 3 kali. Kemudian eksplan direndam dalam larutan 100 mgl asam askorbat dan 100 mgl asam sitrat. Eksplan tersebut terakhir dipotong hingga berukuran 0.5 x 0.5 x 0.5 cm, lalu direndam kocok lagi dalam larutan NaOCl 5 selama 5 menit. Setelah eksplan steril kemudian ditanam pada media MS0 selama ± 3 minggu, sebelum dipindah ke media perlakuan. Persiapan tersebut bertujuan untuk mendapatkan bahan tanam yang aseptik dan asenik. Media dasar yang digunakan dalam penelitian ini adalah MS Murashige dan Skoog, 1962 diperkaya dengan 0.5 mgl tiamin-HCl, 0.5 mgl asam nikotinat, 0.5 mgl piridoksin- HCl 100 mgl mio-inositol dan 30 gl sukrosa. Sebagai bahan pemadat digunakan agar 7 gl. pH media dipertahankan 5.7 dengan menggunakan KOH atau HCl. Volume media kultur 20 ml per botol dan disterilkan dengan autoklaf pada tekanan 21 psi, pada suhu 121ºC selama 20 menit.