TINJAUAN PUSTAKA Kokultur rizobakteri secara in vitro pada planlet pisang untuk meningkatkan mutu planlet dan pengendaliaan penyakit layu fusarium
15 Sifat pencoklatan browning eksplan menentukan keberhasilan kultur
jaringan terutama di awal inisiasi. Meskipun eksplan semua kultivar pisang umumnya memperlihatkan pencoklatan tetapi variasinya sangat luas. Berdasar
penelitian Hirimburegama dan Gamage 1997, jaringan eksplan kultivar pisang dengan genom B lebih mudah terjadi browning bila dibanding yang bergenom A.
Hal tersebut sejalan dengan hasil yang diperoleh Banerje et al. 1986, bahwa proliferasi tunas ‘balbisiana’ menunjukkan tingkat browning yang tinggi pada
proliferasi tunas pisang secara in vitro.. Ukuran eksplan menentukan keberhasilan pembiakan. Menurut Gunawan
1988, eksplan dengan ukuran besar lebih mudah terkontaminasi, dan eksplan yang berukuran kecil mempunyai persentase kematian jaringan lebih tinggi.
Menurut Bhojwani dan Razdan 1983 makin besar ukuran eksplan jumlah sel lebih banyak, sehingga kemungkinan keberhasilan lebih besar, namun terdapat
kelemahan yaitu kemungkinan terjadi aberasi genetik lebih besar. Yusnita et al. 1997 menggunakan ukuran eksplan pisang berbentuk kubus 0.5 x 0.5 x 0.5 cm
dan memberikan hasil pertumbuhan yang baik, ukuran tersebut juga dianjurkan oleh Israeli et al. 1995
Media Tumbuh dan Zat Pengatur Tumbuh
Berbagai media kultur in-vitro pisang telah dikembangkan oleh para peneliti. Media yang dipakai secara umum untuk kultur jaringan adalah media
Murashige dan Skoog 1962, terutama untuk morfogenesis, kultur meristem dan regenerasi. Media MS ini mengandung garam-garam mineral dalam konsentrasi
tinggi Gamborg dan Shyluk 1981. Menurut Gunawan 1988, pada prinsipnya media dalam kultur jaringan terdiri dari sumber karbon dan energi, vitamin dan
zat pengatur tumbuh ZPT. Memanipulasi komposisi media dan ZPT banyak dilakukan oleh para
peneliti untuk menyesuaikan kebutuhan pertumbuhan bahan tanam. Menurut Weaver 1972, ZPT memegang peranan sangat penting dalam sel tumbuhan dan
yang umum digunakan dalam kultur jaringan adalah berasal dari golongan sitokinin dan auksin. Menurut Zaffari et al. 2000, walaupun level hormon
endogen pada pembentukan dan perkembangan tunas sangat penting baik secara
16 in-vitro dan ex-vitro, tetapi masih sangat sedikit studi tentang hormon eksogen
dilaporkan dalam kasus mikropropagasi pisang. Dalam kultur jaringan, auksin digunakan untuk merangsang pertumbuhan
kalus, pemanjangan sel dan pembentukan akar Pierik 1987. Secara alami tanaman memiliki auksin endogen yang disebut IAA Indole Acetic Acid yang
dihasilkan di meristem pucuk pada tajuk dan meristem pucuk akar Salisbury dan Ross 1995. ZPT golongan sitokinin berperan penting dalam pembelahan sel dan
morfogenesis Gunawan 1988; Salisbury dan Ross 1995. Interaksi dan perimbangan antara ZPT yang diberikan dalam media dan
yang diproduksi oleh sel secara endogen menentukan arah perkembangan suatu kultur Gunawan 1988. Pemberian sitokinin yang cukup tinggi antara 0 sampai
10 mgl mampu menginduksi merangsang pembentukan tunas, namun biasanya makin tinggi sitokinin dapat menghambat pembentukan akar Prawiranata et al.
1994; Pierik 1987. IAA eksogen dengan konsentrasi rendah sering digunakan dalam media kultur jaringan dengan tujuan untuk memperbaiki kualitas tunas
mengimbangi pengaruh BAP 6 Benzyl Amino Purin terhadap pengandaan tunas Pierik 1987.
Weaver 1972 dan Salisbury dan Ross 1995, mengemukakan rasio sitokininauksin penting untuk mengendalikan dominasi apikal penekanan tunas
lateral. Level rasio sitokininauksin yang tinggi mendorong perkembangan tunas lateral dan rasio yang rendah mendukung dominasi apikal. Penelitian Zaffari et
al. 2000 pada pertunasan Musa sub group AAA ‘ Grande Naine’ secara in-vitro, menunjukkan pentingnya level IAA endogen dan rasio auksinsitokinin dalam
menentukan arah pertunasan pisang. Sitokinin endogen meningkat di bagian basal eksplan dan menurun di bagian apikal pada pembentukan tunas, hal tersebut
nampak pada subkultur pada medium proliferasi 65 sampai 75 hari yang ditambah dengan 11.1
µ M BAP. Level IAA endogen dan rasio IAAsitokinin
menurun setelah periode kultur 65 hari. Dari analisis jaringan, ternyata pembentukan primordia tunas pada bagian basal daun, meliputi jaringan sub
epidermal dan epidermal pada periode kultur 65 hari. Manipulasi hormon pada media tumbuh untuk kultur pisang harus
disesuaikan dengan spesifikasi kultivar pisang. Meldia et al. 1992 melaporkan
17 bahwa pisang yang bergenom ABB pisang batu pada pemberian BAP dari
konsentrasi 3.0 ppm sampai 5.0 ppm memberikan respon peningkatan jumlah tunas per eksplan yang masih relatif rendah sedikit. Hutabarat 1997
mendapatkan bahwa pada kultivar-kultivar pisang bergenom BB jumlah tunas terbanyak dihasilkan pada BAP taraf konsentrasi 7.0 mgl pisang Klutuk Susu
dan Batu serta 10.5 mgl pisang Klutuk Wulung dan Klutuk Susu, bergenom BB. Penambahan IAA pada kombinasi 7.0 mgl BAP dengan 1.5 mgl IAA
dihasilkan tunas lebih banyak dibandingkan dengan media yang hanya diberi 7.0 mgl BAP pada pisang Kepok SoboABB.
Ernawati et al. 1994, melaporkan bahwa jumlah tunas maksimum pada pisang RajabuluAAB sebesar 7.2 buah terjadi pada kombinasi perlakuan IAA
3.0 ppm dengan BAP 7.0 ppm. Rosjidi 1992 melaporkan hasil penelitian pada pisang TandukAAB dengan perlakuan BAP 0, 3, 6, 8 mgl dan IAA 0,2,4,6
mgl. Makin tinggi BAP tunas yang dihasilkan makin banyak walaupun pertumbuhan dan perkembangan tunas makin tidak sempurna.
Pisang Tanduk AAB responsif terhadap sitokinin pada media BAP 2 mgl dan IAA 3 mgl menghasilkan 4 tunas kecil-kecil dan nodul-nodul, pada
konsentrasi BAP makin tinggi, tunas-tunas yang dihasilkan makin banyak tetapi makin tidak sempurna roset. Makin dilakukan subkultur tunas abnormal makin
meningkat. Pisang Rajabulu AAB dengan BAP 5 mgl dan IAA 3 mgl memberikan 5 tunas ukuran sedang 2-3 cm Kasutjianingati 2004. GA3
mempunyai respon fisiologis berperan dalam proses pemanjangan sel dan dapat menyebabkan perpanjangan tunasruas Salisbury dan Ross 1995.
Berdasarkan struktur kimia ada dua kelompok sitokinin yaitu turunan adenin BAP, kinetin, zeatin dan turunan fenilurea ThidiazuronTDZ. BAP dan
TDZ mempunyai respon fisiologis yang sama yaitu berperan dalam regulasi pembelahan sel, deferensiasi pertumbuhan jaringan dan organ serta biosintesa
klorofil Murthy et al. 1995. Pengaruh penggunaan TDZ dalam perbanyakan in vitro di antaranya adalah meningkatkan biosintesis atau akumulasi sitokinin dan
auksin endogen, menginduksi embrio somatik tanpa dikombinasikan dengan zat pengatur tumbuh lainnya, merangsang proliferasi tunas dan regenerasi organ
adventif Huetteman dan Preece 1993
18
Layu
Penyakit layu Fusarium penyakit yang disebabkan ol
cubense E.F. SmithFoc me menurunkan produksi secara
1994. Klamidosporanya mam ada sekresi akar atau eksud
berkecambah. Dalam memper epifit pada akar gulma atau tan
2001.
Gambar 2.2 Gejala kuning d Fusarium oxysp
yu Fusarium pada Pisang
ium yang dikenal dengan Panama disease, merupa oleh cendawan Fusarium oxysporum Schlecht
merupakan salah satu patogen tular tanah yang d ra nyata di daerah tropis Stover 1990; Seman
ampu bertahan lama dalam tanah 30 tahun, samp sudat akar yang merupakan sumber nutrisi u
mpertahankan hidupnya, patogen ini dapat hidup seb tanaman yang mempunyai kekerabatan dekat Ne
g daun A dan daun kering B yang ditimbulkan ysporum f.sp. cubense Foc
upakan ht f.sp
dapat mangun
sampai untuk
sebagai Nelson
n
Gambar 2.3 Gejala ber bonggol d
cubense Penyakit tersebu
berhubungan dengan sp dapat juga melalui penye
air pada permukaan ta Cendawan menyebar de
lubang-lubang alami len yang lambat laun masu
cepat ke jaringan pembu jaringan parenkhim, sel
konidia yang dapat tera Polisakarida dan enzim
pada sel-sel jaringan xil dan menyebabkan peny
bercak coklat batang semu Ploetz 2000 A; berc l dan akar B yang ditimbulkan Fusarium oxyspo
Foc ebut dapat menular karena perakaran tanama
spora yang dilepaskan oleh tanaman sakit di nyebaran bahan tanam, alat atau tanah yang terinfe
tanah serta sisa-sisa tanaman sakit Hutagalu dengan cepat, setelah spora masuk ke dalam ak
lenti sel atau luka, berkecambah menghasilkan masuk ke bonggol, selanjutnya patogen berkemba
mbuluh. Miselium akan meluas dari jaringan pemb selanjutnya patogen membentuk makro konidia d
angkut melalui arus transportasi xilem Wardl m yang dihasilkan patogen dapat menyebabkan
xilem tanaman membentuk gel dan gum massa enyumbatan pembuluh. Sekresi berupa massa
19
ercak pada porum f.sp.
aman sehat sekitarnya,
nfeksi, aliran alung 2002.
akar melalui n miselium
mbang sangat pembuluh ke
ia dan mikro rdlaw 1972.
an kerusakan ssa koloidal
ssa koloidal
20 tersebut dan mengkerutnya sel-sel pembuluh menyebabkan aliran zat air
mengalami proses penurunan laju sehingga menimbulkan kelayuan Agrios 1997. Tanaman yang terinfeksi Foc menunjukkan gejala awal berupa
penguningan tepi daun-daun tua daun 1 dan 2 dari bawah menyebar dari tepi ke arah tulang daun kemudian kecoklatan dan mengering, gejala menguning dari
daun tua menuju daun-daun muda. Daun yang terserang berangsur-angsur layu pada tangkainya atau dasar ibu tulang daun menggantung ke bawah menutupi
batang semu Gambar 2.2. Beberapa menunjukkan gejala daun berwarna sangat hijau tangkai daun rebah dan layu. Pertumbuhan tidak terhenti, daun baru
berkurang, abnormal berdiri tegak, berkerut dan rusak. Gejala khas lain adanya retakan batang semu dimulai dari permukaan tanah Ploetz dan Pegg 2000.
Gejala paling khas penyakit layu yang disebabkan Foc adalah gejala dalam yaitu apabila pangkal batang semu dibelah membujur atau melintang Gambar
2.3A akan terlihat garis-garis coklat atau hitam melalui jaringan pembuluh Ploetz 2000, demikian juga pada bonggol dan akar Gambar 2.3B.
Pengetahuan keragaman genetik dan karakter Foc saat ini telah berkembang pesat. Forma spesialis Foc berdasar geografis dan patogeniknya
pada kultivar yang berbeda dibagi ke dalam ras. Setiap kultivar pisang mempunyai tanggapan yang berbeda terhadap ras Foc, oleh karena itu perlu
dilakukan pengujian sifat-sifat patogen dan ras pada populasi secara lokal Ploetz, 1998. Ras Foc baru dapat muncul apabila suatu kultivar tahan, ditanam secara
monokultur pada areal yang luas secara terus menerus. Untuk saat ini dikenal ada ras 1 sd ras 4, di mana ras 4 merupakan ras Foc yang paling virulen dan ganas,
karena dapat menyerang semua kultivar pisang dan penyebarannya sangat luas hampir di seluruh daerah penghasil pisang di dunia. Bahkan sampai saat ini Foc
ras 4 masih terus menjadi permasalahan di semua daerah pisang termasuk Indonesia Jones 1995; Muharam et al. 1994; Ploetz 1998. Meluasnya serangan
dapat juga disebabkan karena kultur budidaya pisang yang tidak menerapkan konsep pertanian berkelanjutan sehingga merangsang munculnya ras-ras Foc yang
lebih virulen, misalnya penggunaan fungisida yang berlebihan, penggunaan kultivar yang rentan, penyebaran melalui bahan tanam atau bibit yang terinfestasi.
21
Pengendalian Hayati
Keberhasilan budidaya tanaman bergantung pada banyak faktor, salah satu faktor penting adalah serangan mikroorganisme patogen tumbuhan. Tanaman
pisang yang dikembangkan di seluruh dunia mempunyai keragaman genetik yang luar biasa dan umumnya rentan terhadap penyakit layu yang disebabkan oleh
Fusarium oysporum f. sp cubense. Fusarium oxysporium merupakan salah satu patogen tular tanah yang menurut beberapa laporan dapat menurunkan produksi
secara nyata Stover 1990. Beberapa perlakuan untuk mengontrol penyebaran penyakit telah banyak
dilakukan seperti sanitasi lapang, fumigasi tanah dan pengapuran, tetapi belum memberikan hasil yang maksimum. Rotasi tanaman dengan padi dapat
mengontrol penyakit tetapi efektif hanya bertahan satu sampai dua tahun kemudian terjadi peningkatan penyakit ke level kerusakan epidemi. Para ahli
pemuliaan tanaman telah banyak meneliti untuk mendapatkan sifat ketahanan baik secara konvensional maupun bioteknologi, serta tidak sedikit penelitian ahli
patologi yang mengarah pada usaha induksi resistensi Agrios 1997; Gowen 1995; Hwang et al. 1984
Kendala utama bagi ahli pemuliaan tanaman sebenarnya adalah sifat triploid pada pisang sehingga sulit untuk mendapatkan tanaman hasil silangan.
Selain itu, pemulia tanaman membutuhkan waktu dan biaya yang sangat mahal dan genotipe baru yang dihasilkan harus dievaluasi dengan mengadakan
percobaan lapang yang memerlukan waktu lama. Hwang 1998, melakukan screening terhadap 20.000 planlet, diperoleh 6 klon yang mempunyai resistensi
tinggi terhadap patogen namun memiliki sifat agronomi yang tidak ideal untuk tanaman pisang seperti tanaman sangat tinggi, periode pertumbuhan lebih
panjang, bentuk daun tidak normal, produktivitas dan kualitas buah tidak memenuhi standar pasar.
Pada saat ini terdapat kecenderungan perubahan orientasi dalam bidang pertanian untuk memanfaatkan mikroorganisme sebagai agen pengendali hayati
untuk mempertahankan produksi pertanian yang berkelanjutan. Berdasar pada trend tersebut sudah selayaknya mikroorganisme yang dapat hidup berdampingan
dengan tanaman perlu mendapat kajian yang serius. Biologi kontrol atau
22 pengendalian hayati dapat didifinisikan sebagai kemampuan mengelola komponen
ekosistem untuk melindungi tanaman dari pengaruh yang tidak menguntungkan, dengan kata lain pengendalian hayati bisa disebut sebagai teknik pengelolaan
pertanian yang berkelanjutan sehingga kualitas lingkungan dapat dipertahankan dengan mengurangi input kimia, membatasi pertumbuhan dan aktivitas patogen
tumbuhan di sekitar permukaan tanaman udara dan tanah dengan menggunakan strain bakteri antagonis Reinntjes et al 1992.
Dalam pengendalian penyakit secara terpadu, pengendalian hayati merupakan salah satu komponen di mana kepadatan inokulum patogen dan
aktivitas patogen dikurangi dengan memanipulasi lingkungan; inang dan antagonis atau dengan memasukkan satu atau lebih antagonis Baker dan Cook
1974. Pengendalian hayati akhir-akhir ini banyak diminati karena pengendalian ini aman bagi lingkungan, tidak perlu dilakukan berulang-ulang dan aplikasinya
cukup sederhana, meskipun cara tersebut membutuhkan waktu lama. Hemming 1990, menyatakan bahwa penggunaan bakteri dalam pengendalian hayati
penyakit tumbuhan cukup menguntungkan terutama untuk mengendalikan penyakit yang disebabkan oleh patogen tular tanah.
Bakteri Antagonistik Memperbaiki Pertumbuhan dan Perkembangan Tanaman
Populasi bakteri dalam tanah merupakan populasi yang terbesar dibandingkan dengan mikroorganisme lainnya, kepadatan bakteri dilaporkan
1 x 10
6
sampai 9 x 10
9
sel bakteri per gram tanah. Populasi yang tinggi dan kecepatan dalam mempergunakan nutrisi memungkinkan bakteri menjadi
kelompok besar yang penting sebagai pesaing dalam memperoleh nutrisi, terutama pada rizosfer dan daerah sekitar tanaman. Dengan memberi lingkungan
fisik yang tepat, bakteri dapat tumbuh dengan cepat dan mencapai jumlah yang tinggi kurang dari 48 jam sejak tersedianya nutrisi. Selama pertumbuhan
diperkirakan waktu yang dibutuhkan bakteri untuk memperbanyak diri dan beregenerasi sekitar 20 menit. Penambahan air pada tanah yang kering akan
menambah jumlah bakteri dalam kelipatan sepuluh selama 12-24 jam, tidak adanya substrat organik baik lignin, selulosa, hemiselulosa, protein, gula
23 sederhana, asam amino maupun kitin dalam tanah dapat menyebabkan bakteri
hilang atau berkurang Baker dan Cook 1974. Mikroorganisme berdasar pengaruhnya terhadap pertumbuhan dan
perkembangan tanaman dibagi dalam dua kelompok yaitu mikroorganisme yang menghambat dan yang mendorong pertumbuhan dan perkembangan tanaman.
Mikroorganisme yang mendorong pertumbuhan dan perkembangan tanaman di antaranya adalah rhizobia, mikroorganisme pemfiksasi N
2
, mikroorganisme yang dapat menambah unsur-unsur seperti S, P, N dan Fe untuk perkembangan
tanaman, mikroorganisme antagonis yang dapat melawan patogen tanah dan mikroorganisme lain dalam tanah. Mikroorganisme yang dapat menghambat
pertumbuhan dan perkembangan tanaman, yaitu patogen yang memparasit jaringan tanaman dan menyebabkan gejala penyakit, patogen yang memparasit sel
akar dan mikroorganisme yang tidak memparasit tetapi aktivitas metabolismenya berbahaya terhadap perkembangan akar dan pertumbuhan tanaman Schipper
1986. Pada saat agen bakteri diintroduksikan ada tiga macam pengaruh yang
ditimbulkan terhadap tanaman yaitu perusakan, netral dan menguntungkan. Introduksi bakteri yang menguntungkan dapat menanggulangi ketidakseimbangan
biologi tanaman, seperti bakteri rizosfer yang dapat memacu pertumbuhan Plant Growth-Promoting RhizobacteriaPGPR Kloepper 1991.
Pseudomonas kelompok fluorescens, Bacillus spp dan Serratia sp mendapat perhatian utama sebagai agen pengendali hayati. Pseudomonas
kelompok fluorescens dapat mengendalikan penyakit dengan berkompetisi dalam penggunaan besi, nutrisi dan antibiosis yang dihasilkan sebagai senyawa anti
cendawan Bakker et al. 1990. Kesuksesan inokulum bakteri sebagai agen pengendali hayati bergantung
pada kemampuan kompetisi in situ dengan mikroflora asli yang sudah ada dan ekspresi gen penting dari pengendali hayati Bakker et al. 1990. Pseudomonas
fluorescens diketahui dapat menghasilkan beberapa senyawa yang dapat menghambat pertumbuhan fungi Oku 1994. Mekanisme kerja dari P.
fluorescens adalah dengan sistem yang dapat mengkelat Fe, sehingga Fe tidak tersedia untuk pertumbuhan fungi. Beberapa strain juga dapat memproduksi
24 sianida Alstrom dan Burn 1989; Leyns et al.1990; Siddiqui 2006, atau antibiotik
seperti pyrrolnitrin dan pyoluterin Cho et al. 2003; Tsuge et al. 2005; Mizumoto dan Shoda 2007. Beberapa isolat dari Bacillus subtillis dapat memproduksi
antibiotik iturin A, di samping itu dapat membentuk iturin lain mycosubtilins, bacillomycin, fenhymicin, mycobacillin dan mycocerein dimana senyawa-
senyawa tersebut sangat efektif melawan fungi Duitman et al. 1999; Siddiqui 2006.
Beberapa bakteri mempunyai pengaruh positif terhadap pertumbuhan tanaman secara in vitro. Pada penelitian Suaria et al. 2001 perlakuan isolat
bakteri memberi pengaruh positif pada hampir semua peubah yang diamati pada kultur in vitro Dendrobium, dikatakan bahwa isolat bakteri memiliki triptofan
deaminase yang dapat mempengaruhi regulasi sitesis indole- 3-acetic acid IAA. Selanjutnya IAA mempengaruhi perkembangan kultur in vitro Dendrobium
dengan merangsang aktivitas sel sehingga pembelahan dan pertumbuhan sel meningkat. Meningkatnya aktivitas sel akan menyebabkan pembentukan organ
tanaman seperti akar, batang dan daun meningkat. Glick et al. 1999 dan Wilkinson et al. 1994 menyatakan beberapa bakteri tertentu dapat merangsang
pertumbuhan langsung melalui sintesa senyawa yang membantu penyerapan nutrien dari lingkungannya, sintesa indol asetat dan giberelin.
25