PENDAHULUAN Kokultur rizobakteri secara in vitro pada planlet pisang untuk meningkatkan mutu planlet dan pengendaliaan penyakit layu fusarium

5 Gambar 1.1 Kerangka studi kokultur rizobakteri-eksplan pisang Bahan tanam Sucker: Jumlah sedikit, waktu lama, tidak seragam, membawa Foc seed borne Perbanyakan in vitro aseptik: cepat dalam waktu singkat, jumlah banyak, true to type, dan seragam Teknik mikropropagasi, Spesifik kultivar, ZPT, Frekuensi subkultur Permasalahan: Proliferasi Pisang Tanduk lebih menghasilkan tunas berukuran kecil, nodul, tunas tidak sempurna. Eksplan pisang Rajabulu sedikitsusah menghasilkan tunas multiplikasi rendah dan di lapangan tidak tahan Foc Permasalahan terjadi kompetisi kebutuhan nutrisi antara eksplan dengan rizobakteri Asosiasi tanaman kultur jaringan aseptikrentan Foc+Rizobakteri agen hayati in vitro Bahan tanam konvensional: dengan anakan sucker Kendala patogen Fusarium oxysporum f.sp cubense Foc Peningkatan devisa negara melalui pengembangan luas lahan program ekstensifikasi pisang dengan peningkatan kualitas produksi pisang Rajabulu dan Tanduk di Indonesia, perlu bahan tanam bermutu Teknik bakterisasi: Karakter eksplan dan bakteri, modifikasi nutrisi eksplan dan bakteri, kondisistadia eksplan dan waktu aplikasi Pengujian Inkorporasi Tanaman dengan Rizobakteri: • Persentase tanaman hidup • Peningkatan pertumbuhan PGPR • Penurunan keparahan serangan Foc antagonis Bahan tanam bermutu true to type dan terbakterisasi antagonis 6 Melalui kokultur rizobakteri-planlet pisang secara in vitro,diharapkan rizobakteri mampu berpoliferasi mengikuti multiplikasi tunas pisang. Selain itu keberadaan rizobakteri diharapkan mampu meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan tanaman dan pada akhirnya mampu menekan serangan patogen. Frommel et al. 1991 dan Nowak 1988 menyatakan bahwa induksi bakterisasi pada eksplan kentang mampu meningkatkan bobot basah tunas, bobot basah akar per tunas dan planlet lebih vigor. Menurut Frommel et al. 1991 dan Barka et al. 2002, populasi mikroba endofitik tersebut mampu bertahan dan mengikuti multiplikasi klonal planlet tanpa perlu inokulasi ulang. Adanya kontak langsung rizobakteri dengan tanaman dapat meningkatkan aktivitas enzim sebagai katalisator sintesis hormon tumbuh, memfiksasi nitrogen atau melarutkan fosfat Wei et al. 1991; Thakuria et al. 2004. Isolat Serratia spp dilaporkan mampu mensintesis Indol Acetic AcidIAA Maunuksela 2004. Bacillus spp mampu mensintesis IAA Thakuria et al. 2004, giberellin Joo et al. 2004 dan sitokinin Timmusk 2003. P fluorescens mampu menghasilkan IAA Thakuria et al. 2004; Egamberdieva 2008, giberellin Ping dan Boland 2004 dan sitokinin Salamone et al. 2004. Mekanisme pengendalian hayati terhadap patogen yang menginfeksi tanaman dapat terjadi secara langsung maupun tidak langsung. Pengendalian secara langsung umumnya terjadi melalui mekanisme antibiosis, kompetisi, parasitisme dan lisis Zhang 2004. Senyawa antibiotik yang dihasilkan agens antagonis menghambat pertumbuhan patogen melalui kontak langsung antara agens antagonis tersebut dengan patogen. Kompetisi merupakan pengendalian patogen dengan mekanisme yang terjadi karena keterbatasan salah satu faktor yang dibutuhkan untuk pertumbuhan dan perkembangan agens pengendali atau patogen, seperti unsur esensial tertentu. P. fluorescens memproduksi senyawa siderofor yang mampu mengkelat Fe, sehingga menghambat pertumbuhan patogen. Agens antagonis mampu memparasit patogen dengan cara mensekresikan enzim ekstraseluler kitinase, protease, selulase yang dapat melisis atau mendegradasi dinding sel patogen sehingga perkembangan patogen menjadi terhambat. Di samping itu beberapa agens antagonis mampu menghasilkan hidrogen sianida HCN yang bersifat 7 toksik terhadap sejumlah patogen tanaman Wei et al. 1996; Baker dan Cook. 1974; Silva et al.2004, Barka et al. 2002 dan Frommel et al. 1991. Pengendalian secara tidak langsung agens antagonis terhadap patogen dapat melalui mekanisme induksi resistensi tanaman. Agens antagonis mampu memicu pengaktifan enzim peroksidase atau metabolit sekunder senyawa fitoaleksin pada tanaman yang berhubungan dengan pertahanan terhadap infeksi patogen Silva et al. 2004, Barka et al. 2002 dan Frommel et al. 1991. Tujuan Penelitian Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan teknologi perbanyakan pisang melalui teknik kultur jaringan dengan mengkokulturkan rizobakteri dan eksplan pisang secara in vitro, sehingga mendapatkan bahan tanam pisang yang bermutu dalam jumlah massal, true to type, dan mampu menekan serangan layu fusarium di lapangan. Secara khusus penelitian ini bertujuan: 1. Mempelajari kemampuan induksi dan multiplikasi pisang Rajabulu dan pisang Tanduk untuk menghasilkan planlet. 2. Mempelajari kemampuan inkorporasi antara eksplan-rizobkteri non patogen. 3. Mempelajari kemampuan rizobakteri meningkatkan pertumbuhan pisang in vitro multiplikasi tunas dan in vivo stadia aklimatisasi-siap tanam. 4. Mempelajari kemampuan rizobakteri menekan serangan penyakit layu Fusarium. Hasil yang Ditargetkan: 1. Mendapatkan metode bakterisasi melalui kokultur dual cultures planlet pisang dan rizobakteri, yang meliputi komposisi media kokultur, jenis bakteri, dan cara aplikasi, serta waktu introduksi rizobakteri yang tepat. 2. Mendapatkan paket teknologi komersial perbanyakan tanaman pisang yang true to type secara masal yang dapat menekan perkembangan Fusarium di lapangan. 8 Hipotesis 1. Terdapat perbedaan komposisi zat pengatur tumbuh sitokinin dan auksin yang perlu ditambahkan pada stadia induksi dan stadia multiplikasi berdasarkan karakter kultivar pisang. 2. Terdapat interaksi antara jenis rizobakteri dengan teknik aplikasi dan waktu aplikasi rizobakteri yang dapat berasosiasi dan bersimbiosis dengan planlet pisang sejak pertumbuhan in vitro. 3. Inkorporasi rizobakteri dengan planlet pisang secara in vitro mampu berperan sebagai rizobakteri pendukung pertumbuhan tanaman Plant Growth Promoting RhizobakteriaPGPR dalam meningkatkan multiplikasi tunas in vitro dan meningkatkan pertumbuhan bibit saat aklimatisasi di rumah kaca in vivo. 4. Inkorporasi rizobakteri mampu menekan tingkat keparahan penyakit layu Fusarium Fusarium oxysporum f.sp cubense. Ruang Lingkup Penelitian Untuk mendukung pencapaian target penelitian dalam mempelajari kemampuan rizobakteri berasosiasi dengan tanaman pisang sejak in vitro, antara lain dalam meningkatkan multiplikasi tunas, meningkatkan pertumbuhan tanaman, dan menghambat penyakit layu Fusarium, maka disertasi ini disusun dalam beberapa percobaan yang saling berhubungan satu dengan yang lain. Percobaan pertama terdiri dari sub-sub percobaan antara lain mempelajari pola pertumbuhan dan media yang optimal terhadap spesifikasi proliferasi dan multiplikasi tunas pisang Rajabulu dan pisang Tanduk, untuk menghasilkan tunas bermutu yang dapat digambarkan dengan penampilan fisik yang vigor tegap, kokoh, ukuran seragam, warna hijau cerah, planlet normal memiliki akar, batang, dan daun, true to type sifat sama dengan induk sehingga dapat mempertahankan mutu genetik, viabel memenuhi mutu fisiologis, mampu tumbuh dan berkembang menjadi tanaman normal. Seri percobaan yang berhubungan dengan induksi tunas aksilar disajikan pada Bab 3 dengan judul Pengaruh TDZ terhadap Induksi Tunas Aksilar pada Mother Plant Pisang Rajabulu AAB dan Pisang Tanduk AAB dalam Kultur In Vitro. Tulisan ini 9 telah diterbitkan pada jurnal ilmiah nasional Agriplus volume 20 nomor 01 tahun 2010, Universitas Haluoleo, Kendari. Topik tersebut telah disampaikan sebagai makalah oral pada Simposium dan Kongres PERIPI VI pada tanggal 18-19 November 2009. Seri percobaan berikutnya adalah untuk melihat kemampuan multiplikasi tunas yang disajikan pada Bab 4 dengan judul Pengaruh Media Induksi terhadap Multiplikasi Pisang Rajabulu AAB dan Pisang Tanduk AAB pada Berbagai Media In Vitro . Tulisan ini sudah diajukan dan siap terbit pada Jurnal Agronomi Indonesia, volume XXXIX, nomor 1 April tahun 2011. Percobaan kedua dilakukan untuk mencari optimasi bakterisasi terhadap eksplan pisang dalam mempelajari pengaruh eksudat eksplan terhadap eksistensi rizobakteri pada kondisi kokultur dan menentukan cara dan waktu aplikasi yang aman terhadap tanaman target. Hasil percobaan ini disajikan pada Bab 5 dengan judul: Kokultur Rizobakteri dengan Eksplan Pisang Rajabulu AAB dan Pisang Tanduk AAB serta Pengaruhnya terhadap Multiplikasi Tunas Secara In Vitro. Bagian hasil dari perobaan ini telah diterbitkan pada jurnal ilmiah nasional Agriplus, volume 20 nomor 03 tahun 2010, Universitas Haluoleo, Kendari. Percobaan ketiga, dilakukan untuk mempelajari kemampuan rizobakteri yang diaplikasikan secara in vitro dalam pendukung pertumbuhan tanaman. Hasil percobaan ini disajikan pada Bab 6 dengan judul: Pengaruh Waktu Bakterisasi In Vitro dan Macam Rizobakteri terhadap Pertumbuhan Bibit Pisang Rajabulu AAB dan Pisang Tanduk AAB di Rumah Kaca. Percobaan keempat dilakukan untuk mempelajari kemampuan rizobakteri yang diaplikasi sejak in vitro untuk memenuhi mutu saniter bibit mampu menekan serangan Fusarium oxysporum f.sp cubense Foc penyebab penyakit layu pada tanaman pisang. Hasil percobaan disajikan pada Bab 7 dengan judul: E fektivitas Aplikasi Rizobakteri In Vitro sebagai Pendukung Pertumbuhan dan Agen Antagonis Layu Fusarium pada Pisang Rajabulu AAB dan Pisang Tanduk AAB di Rumah Kaca. Materi dari bab ini telah disampaikan sebagai makalah oral pada Seminar Nasional Hortikultura Indonesia 2010 Bali, 25-26 November 2010. Tulisan ini sudah diajukan pada Jurnal Hortikultura proses. Strategi penelitian disajikan dalam diagram alir seperti tertera pada Gambar 1.2. 10 Gambar 1.2 Diagram alir strategi pelaksanaan penelitian Percobaan 1. Mikro propagasi pisang • Pengaruh TDZ terhadap induksi eksplan Bab 3 • Multiplikasi tunas dan morfogenesis Bab 4 Percobaan 2. Bab 5 Kokultur rizobakteri-eksplan • Efektivitas eksudat eksplan terhadap kolonisasi bakteri • Aplikasi rizobakteri macam bakteri, cara dan stadia eksplan dan modifikasi media kokultur MS+TSB • Efektivitas rizobakteri sebagai pemacu multiplikasi tunas Persiapan biakan rizobakteri P. fluorecens-ES32 dan B. subtilis-SB3 Persiapan: biakan Fusarium oxysporum f.sp cubense Foc Klamidospora 10 3 Percobaan 3. Bab 6 Efektifitas aplikasi rizobakteri secara in vitro sebagai pemacu pertumbuhan bibit di rumah kaca Percobaan 4. Bab 7 Efektifitas aplikasi rizobakteri secara in vitro sebagai agen antagonis penyakit layu Fusarium di rumah kaca TARGET Bibit bermutu Persiapan inisiasi eksplan dari sucker Kokultur rizobakteri secara in vitro pada planlet pisang untuk meningkatkan mutu planlet dan pengendaliaan penyakit layu Fusarium

II. TINJAUAN PUSTAKA

Spesifikasi Tanaman Pisang Tanaman pisang termasuk monokotil herba, tumbuh baik di daerah tropika pada ketinggian 0-1300 m dpl tetapi lebih cocok pada dataran rendah yang beriklim lembab dan panas. Persyaratan tumbuh penting lain adalah temperatur rata-rata 30ºC dan curah hujan minimal 100 mmbulan Sunarjono 1989. Pisang merupakan buah yang menduduki urutan pertama di Indonesia, area produksi tersebar di seluruh kepulauan, 70 dari total produksi berada di pulau Jawa diikuti Sumatra, Sulawesi, Bali-Nusa Tenggara, Kalimantan dan Maluku-Irian Jaya berturut-turut 11.8, 9.7, 5.6, 4.2 dan 1.3 Hasan dan Pantastico 1990. Pisang Musa sp. termasuk dalam famili Musaceae, ordo Scitaminaceae. Musaceae memiliki 2 genus yaitu Ensete dan Musa. Genus Musa dibagi menjadi 4 kelompok yaitu Australimusa, Callimusa, Eumusa dan Rodochlamys. Hanya kelompok Australimusa dan Eumusa saja yang dapat dikonsumsi sebagai buah Stover dan Simmond, 1987. Genus Musa mempunyai banyak anggota yang mempunyai taksonomi sangat komplek. Kultivar pisang yang dapat dimakan merupakan hibrid interspesifik dari dua spesies liar Musa balbisiana BB dan Musa acuminata AA Hasan dan Pantastico 1990; Hirimburegama dan Gamage 1997. Variasi group genom yang terbentuk: AAAAA, AB, AAB, ABB, ABBB, BBBBB tergantung pada apakah klon tersebut murni acuminata atau balbisiana, derivat diploid atau triploid atau apakah group genom tersebut merupakan hibrid diploid, triploid, tetraploid dari dua spesies liar. Umumnya karakteristik kultivar yang ada adalah triploid dengan vigor yang besar dan bijinya steril Hasan dan Pantastico 1990; Stover dan Simmond 1987. Oleh karena itu para peneliti mengalami kesulitan dalam mendapatkan dan mengembangkan pisang dengan sifat unggul. Tanaman pisang secara umum diperbanyak secara vegetatif dengan menggunakan anakan sucker. Kultivar pisang yang tersebar di seluruh dunia berjumlah 300-500 jenis Hirimburegama dan Gamage 1997, lebih dari 100 jenis berada di Indonesia 12 Megia et al. 2001. Stover dan Simmond 1987 mengelompokan pisang yang dapat dimakan ke dalam 3 kelompok, yaitu 1 Pisang buah meja yang dimakan segar terdiri dari kelompok AA dan AAA, 2 Pisang yang dimakan setelah diolah yaitu kelompok AAB, 3 Pisang berbiji yaitu kelompok ABBBB. Di antara 100 kultivar pisang yang berada di Indonesia, 16 kultivar diketahui mempunyai potensi pasar, antara lain yang termasuk pisang meja adalah Pisang Mas AA, Pisang Ambon Putih AAA, Pisang Ambon Lumut AAA, Pisang Ambon Jepang AAA, Pisang Badak AAA, Pisang Lampung AA, Pisang Raja Sere AAA, Pisang Barangan AAA, Pisang Susu AAA. Sedangkan yang termasuk pisang olahan diantaranya, Pisang Raja Bulu AAB, Pisang Raja Uli AAB, Pisang Tanduk AAB, Pisang Nangka AAB, Pisang Siem ABB, Pisang Kepok ABB, Pisang Kapas AA Hasan dan Pantastico 1990, di samping itu masih banyak jenis kultivar yang lain. Kultivar-kultivar pisang sesuai spesifik kultivar berbeda ukuran tanaman dan buah, warna dan rasa daging buah, serta jumlah anakan. Kultur Jaringan Pisang Tanduk dan Pisang Rajabulu Teknik kultur jaringan merupakan usaha untuk mengisolasi sel, sekelompok sel jaringan atau organ tanaman, menumbuhkannya dalam keadaan aseptik sehingga dapat menghasilkan tanaman baru yang dapat ditanam dalam media non aseptik, tidak terbatas pada perubahan iklim dan musim Gunawan. 1988. Jadi perbanyakan pisang dengan kultur jaringan merupakan pembiakan vegetatif, bahan tanam yang diperoleh selain mempunyai keuntungan sifat true to type, juga relatif dapat menghambat penyebaran penyakit, pertumbuhan seragam sehingga memberi jaminan pada perkebunan pisang yang diharapkan. Keuntungan lainnya dengan kultur jaringan dapat tersedia bahan tanam dalam waktu cepat serta distribusi yang mudah dan relatif murah Hwang et al. 1984; Lee dan Hwang 1993; Thorpe 1990. Damasco dan Barba 1985 mengatakan bahwa selain dapat mempercepat propagasi spesies yang sulit, kultur jaringan sangat mendukung pengembangan perkebunan pisang, memperpendek siklus seleksi, mempercepat multiplikasi dan penyebaran varietas baru. 13 Berdasarkan beberapa penelitian yang dilaporkan Zaffari et al. 2000, perbanyakan pisang dengan kultur jaringan menunjukkan variasi multiplikasi yang tinggi, atau laju multiplikasi dapat berbeda di antara spesies dengan genom sama walaupun dikulturkan dalam kondisi yang sama. Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi pertumbuhan dan morfogenesis kultur in-vitro, yaitu: genotipe eksplan sifatkarakter eksplan, substrat media dan zat pengatur tumbuh, kondisi kultur dan faktor internal eksplan seperti umur fisiologis, umur ontogenik dan bagian tanaman yang digunakan Gamborg dan Shyluk 1981; George dan Sherrington 1988; Hartman dan Kester 1983; Yusnita 2003. Gambar 2.1 Tahapan perbanyakan planlet pisang secara kultur jaringan Perbanyakan planlet pisang secara kultur jaringan meliputi Gambar 2.1: persiapan eksplan untuk mendapatkan material tumbuh yang sehat dan secara 14 fisiologis baik, kemudian masuk ketingkatan inisisasi untuk mendapatkan tunas awal yang dapat diandalkan dan aseptik, selanjutnya induksi dan multlipikasi di mana pada tingkatan ini tunas dirangsang dengan sitokinin untuk berkembang biak berproliferasi, kemudian masuk ketingkatan pemanjangan tunas dan pengakaran morfogenesis dan tingkat yang terakhir adalah aklimatisasi Werbrouck dan Debergh 1994; Israeli et al. 1995; Yusnita 2003. Karakteristik Eksplan Pemilihan eksplan yang tepat atau karakteristik eksplan sangat menentukan keberhasilan kultur jaringan. Prinsip penting, sel-sel yang telah mengalami perubahan bentuk dan kekhususan fungsi lanjut diferensiasi lebih sukar ditumbuhkan dibanding dengan sel-sel yang masih bersifat meristematik Gunawan 1988. Jaringan tanaman yang masih muda secara fisiologis juvenil lebih mudah berproliferasi daripada jaringan tanaman yang tua atau dengan kata lain eksplan dari tanaman juvenil mempunyai daya regenerasi lebih tinggi daripada tanaman dewasa Yusnita 2003. Menurut Stover dan Simmond 1987, ada beberapa macam tipe anakan pada pisang yakni anakan yang belum berdaun dan masih pada awal pembentukan peeper leaf sucker, anakan dengan bakal daun mulai keluar swords leaf sucker, anakan yang telah menghasilkan daun pertama water leaf sucker, dan anakan yang telah berdaun lebih dari dua helai maiden leaf sucker. Swords leaf sucker umumnya dianjurkan sebagai bahan eksplan Hirimburegama dan Gamage 1997. Keberhasilan terbentuknya tunas baru secara in-vitro berbeda untuk setiap jenis pisang. Hirimburegama dan Gamage 1997 menyatakan bahwa multiplikasi dipengaruhi oleh spesifik kultivar selain beberapa faktor lingkungan kultur. Perbedaan genom juga dapat menentukan kecepatan tumbuh dan jumlah tunas yang dihasilkan. Nampaknya genom ‘B’ bersifat menghambat multiplikasi. Kultivar pisang yang mempunyai semakin banyak genom ‘B’ laju multiplikasinya semakin rendah. Kultivar bergenom AAA memperlihatkan laju multiplikasi tertinggi. Kecepatan membentuk rumpun Musa balbisiana BB di lapangan lebih rendah dan periode vegetatifnya bertahan lama, tapi batang yang dihasilkan sangat vigor. 15 Sifat pencoklatan browning eksplan menentukan keberhasilan kultur jaringan terutama di awal inisiasi. Meskipun eksplan semua kultivar pisang umumnya memperlihatkan pencoklatan tetapi variasinya sangat luas. Berdasar penelitian Hirimburegama dan Gamage 1997, jaringan eksplan kultivar pisang dengan genom B lebih mudah terjadi browning bila dibanding yang bergenom A. Hal tersebut sejalan dengan hasil yang diperoleh Banerje et al. 1986, bahwa proliferasi tunas ‘balbisiana’ menunjukkan tingkat browning yang tinggi pada proliferasi tunas pisang secara in vitro.. Ukuran eksplan menentukan keberhasilan pembiakan. Menurut Gunawan 1988, eksplan dengan ukuran besar lebih mudah terkontaminasi, dan eksplan yang berukuran kecil mempunyai persentase kematian jaringan lebih tinggi. Menurut Bhojwani dan Razdan 1983 makin besar ukuran eksplan jumlah sel lebih banyak, sehingga kemungkinan keberhasilan lebih besar, namun terdapat kelemahan yaitu kemungkinan terjadi aberasi genetik lebih besar. Yusnita et al. 1997 menggunakan ukuran eksplan pisang berbentuk kubus 0.5 x 0.5 x 0.5 cm dan memberikan hasil pertumbuhan yang baik, ukuran tersebut juga dianjurkan oleh Israeli et al. 1995 Media Tumbuh dan Zat Pengatur Tumbuh Berbagai media kultur in-vitro pisang telah dikembangkan oleh para peneliti. Media yang dipakai secara umum untuk kultur jaringan adalah media Murashige dan Skoog 1962, terutama untuk morfogenesis, kultur meristem dan regenerasi. Media MS ini mengandung garam-garam mineral dalam konsentrasi tinggi Gamborg dan Shyluk 1981. Menurut Gunawan 1988, pada prinsipnya media dalam kultur jaringan terdiri dari sumber karbon dan energi, vitamin dan zat pengatur tumbuh ZPT. Memanipulasi komposisi media dan ZPT banyak dilakukan oleh para peneliti untuk menyesuaikan kebutuhan pertumbuhan bahan tanam. Menurut Weaver 1972, ZPT memegang peranan sangat penting dalam sel tumbuhan dan yang umum digunakan dalam kultur jaringan adalah berasal dari golongan sitokinin dan auksin. Menurut Zaffari et al. 2000, walaupun level hormon endogen pada pembentukan dan perkembangan tunas sangat penting baik secara