Laju Dekomposisi Serasah Daun Ceriops tagal Perr pada Berbagai Tingkat Salinitas di Kampung Nipah Desa Sei Naga Lawan Kecamatan Perbaungan

LAMPIRAN

Universitas Sumatera Utara

1

Lampiran 1. Bobot kering (g) sisa serasah daun C. tagal tiap ulangan pada
berbagai salinitas
Salinitas

Lama masa dekomposisi

Ulangan
Kontrol
1

0-10 ppt

30

45


60

75

90

35,58

32,88

24,05

50

35,25

20,35

2


50

43,94

38,02

34,83

38,77

25,95

13,77

3

50

34


37,05

36,58

36,62

19,5

16,17

150

116

110,65

104,29

110,64


65,8

53,99

Total
rata-rata

11-20 ppt

15
37,72

50

38,55

36,88

34,76


36,88

21,93

18,00

1

50

35,48

27,81

28,01

24,45

22,61


16,41

2

50

37,08

30,28

28,6

23,8

19,51

11,51

3


50

36,91

28,19

28,65

26,03

24,38

17,02

150

109,47

86,28


85,26

74,28

66,5

44,94

Total
rata-rata

50

36,49

28,76

28,42


24,76

22,17

14,98

1

50

35,6

28,4

32,46

25,48

21,23


20,94

2

50

30,96

27,48

30,82

27,08

21,99

24,55

3


50

34,13

29,38

29,28

28,86

24,03

21,58

Total

150

100,69

85,26

92,56

81,42

67,25

67,07

rata-rata

50

33,56

28,42

30,85

27,14

22,42

22,36

21-30 ppt

Lampiran 2. Persentase bobot sisa serasah daun C. tagal tiap ulangan pada
berbagai salinitas
Salinitas

Ulangan
A1

0-10 ppt

A2
A3

B1
B2
B3

60

75

90

65,76

70,5

40,7

48,1

100

87,88

76,04

69,66

77,54

51,9

27,54

100

68

74,1

73,16

73,24

39

32,34

231

221,3

208,58

221,28

131,6

C1
C2
C3

107,98

77,11

73,77

69,53

73,76

43,87

35,99

100

70,96

55,62

56,02

48,9

45,22

32,82

100

74,16

60,56

57,2

47,6

39,02

23,02

100

73,82

56,38

57,3

52,06

24,38

34,04

218,94

172,56

170,52

148,56

108,62

89,88

100

Rata-rata

Rata-rata

45

71,16

300

Sub Total

Sub Total

30

75,44

100

Rata-rata

21-30 ppt

15

100

300

Sub Total

11-20 ppt

kontrol

72,98

57,52

56,84

49,52

36,21

29,96

100

71,2

56,8

64,92

50,96

42,46

41,88

100

61,92

54,96

61,64

54,16

43,98

49,1

100

68,26

58,76

58,56

57,72

48,06

43,16

201,38

170,52

185,12

162,84

134,5

134,14

67,13

56,84

61,71

54,28

44,83

44,71

300
100

Universitas Sumatera Utara

2

Lampiran 3. Perhitungan Laju Dekomposisi Metode Oslon (Oslon, 1963
dalam Subhkan, 1991) :

Dimana

: Xt = Berat serasah setelah periode pengamatan ke-t
X0 = Berat serasah awal
e = Bilangan logaritma (2,72)
t

= Periode pengamatan

k = Laju dekomposisi
A. Salinitas 0-10 ppt
Xt = 17,99 gr
X0 = 50 gr

B. Salinitas 11-20 ppt
Xt = 14,98 gr
X0 = 50 gr

Universitas Sumatera Utara

3

Lampiran 3. Lanjutan

C. Salinitas 21-30 ppt
Xt = 22,36 gr
X0 = 50 gr

Lampiran 4. Laju rata-rata dekomposisi serasah daun C. tagal
Laju Dekomposisi

Salinitas 0-10 ppt

Salinitas 11-20 ppt

Salinitas 21-30 ppt

Hari ke 15

0,011

0,013

0,016

Hari ke 30

0,025

0,045

0,046

Hari ke 45

0,045

0,070

0,060

Hari ke 60

0,050

0,116

0,100

Hari ke 75

0,169

0,167

0,165

Hari ke 90

0,252

0,297

0,198

Universitas Sumatera Utara

4

Lampiran 5. Makrobentos yang terdapat dalam kantong serasah daun C. tagal
Salinitas

Ulangan

Hari ke-

U1
0-10 ppt

11-20 ppt

21-30 ppt

0-10 ppt

11-20 ppt

21-30 ppt

0-10 ppt

U2

Siput
15

-

U1

Kepiting, siput,

U2

15

0-10 ppt

11-20 ppt

21-30 ppt

Cacing, siput

U3

cacing, siput

U1

Kepiting

U2

15

-

U3

Cacing

U1

Kepiting, Cacing

U2

30

Kepiting, siput

U3

Siput

U1

Cacing, Siput

U2

30

Kepiting

U3

Cacing, Siput

U1

Siput, Cacing

U2

30

kepiting

U3

Kepiting, Cacing

U1

Siput, Cacing, Kepiting

U2

45

U2

Cacing, siput
Siput, Kepiting

U1

21-30 ppt

Cacing, Kepiting

U3

U3

11-20 ppt

Organisme

Kepiting, Siput
45

Kepiting, Cacing, Cacing

U3

Siput, Cacing

U1

Kepiting, Siput

U2

45

Cacing, Siput

U3

Cacing, Kepiting

U1

Siput, kepiting

U2

60

Cacing, Kepiting

U3

Kepiting, Siput, cacing

U1

Kepiting, Cacing

U2

60

Kepiting, Cacing

U3

Cacing, Siput

U1

Siput, Cacing, kepiting

U2
U3

60

Cacing, siput
Cacing, Siput, Kepiting

Jumlah

2
4
2
4
4
2
3
4
3
3
4
5
4
4
2
5
3
6
5
4
6
2
6
8
5
3
6
4
6
7
5
4
6
6
3
5

Universitas Sumatera Utara

5

Lampiran 5. Lanjutan
Salinitas

Ulang
an

Hari ke-

Organisme

U1
0-10 ppt

11-20 ppt

21-30 ppt

0-10 ppt

11-20 ppt

21-30 ppt

U2

Kepiting, Cacing
75

Siput, Cacing

U3

Siput, Kepiting

U1

Siput, Kepiting

U2

Cacing, Kepiting, Siput

75

U3

Siput, Cacing

U1

Siput, Kepiting

U2

Cacing, Siput

75

U3

Cacing, Siput

U1

Kepiting, Siput, Cacing

U2

90

Siput, Cacing,

U3

Cacing,

U1

Siput, Cacing

U2

Kepiting, Cacing,

90

U3

Siput, Cacing

U1

Cacing, Kepiting

U2

Cacing, Siput,

90

U3

Cacing, Siput,

Salinitas

Organisme

Jumlah

6
7
6
4
7
4
5
5
5
5
6
4
6
5
8
3
4
4
Jumlah

0-10 ppt

Kepiting, Cacing, , siput

80

11-20 ppt

Cacing, kepiting, siput

86

21-30 ppt

Siput, , cacing, kepiting

78

Total

244

Universitas Sumatera Utara

6

Lampiran 6. Kandungan unsur hara serasah C. tagal
Kadar Unsur Hara Karbon
Salinitas
15
60
16,53
16,53
Kontrol
15,7
14,19
0-10 ppt
14,76
10,57
11-20 ppt
13,03
12,87
21-30 ppt
60,02
54,16
Total
15
13,54
Rata-rata
Kadar Unsur Hara Nitrogen
Salinitas
15
60
2,6
2,6
Kontrol
2,7
2,7
0-10 ppt
2,5
2,6
11-20 ppt
2,5
2,7
21-30 ppt
10,3
10,6
Total
2,57
2,65
Rata-rata
Kadar Unsur Hara Fosfor
Salinitas
15
60
0,19
0,19
Kontrol
0,18
0,19
0-10 ppt
0,18
0,16
11-20 ppt
0,19
0,17
21-30 ppt
0,74
0,71
Total
0,24
0,23
Rata-rata
C/N Ratio
Salinitas

15

60

90
16,53
13,36
9,8
12,2
51,89
12,97

90
2,6
2,5
2,5
2,6
10,2
2,55

90
0,19
0,19
0,20
0,18
0,76
0,25

90

Kontrol

6,36

6,36

6,36

0-10 ppt

5,81

5,26

5,34

11-20 ppt

5,90

4,07

3,92

21-30 ppt

5,21
23,29

4,77
20,45

4,69
20,31

5,82

5,11

5,07

Total
Rata-rata

Universitas Sumatera Utara

DAFTAR PUSTAKA
Allo, M. P. R., Fahruddin, Eva, J. 2014. Pengaruh Jenis Bioaktivator pada Laju
Dekomposisi Sampah Daun Ki Hujan Samanea Saman dari Wilayah
Kampus unhas. UNHAS Press. Makassar.
Alrasjid, H. 1986. Jalur Hijau Pengelolaan Hutan Mangrove Pamanukan, Jawa
Barat. Bul. Pen. Hutan 475 : 29 - 65.
Ansori, S. 1998. Studi Sifat Fisik dan Pasang Surut Air Laut Terhadap
Penyebaran Jenis Rhizophora Hutan Mangrove Pantai Tempora Jatim.
Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Malang. Malang.
Anwar, E.K. 2007. Pengaruh inokulan cacing tanah dan pemberian bahan organik
terhadap kesuburan dan produktivitas Tanah Ultisol. J. Tanah Trop. 12
(2) : 121-130
Aprianis, Y. 2011. Produksi dan Laju Dekomposisi Serasah Acacia Crassicarpa
A. Cunn di PT.ARARA ABADI. Balai Penelitian Hutan Penghasil Serat.
Riau.
Azis, Nurdiana. 2006. Analisis Ekonomi Alternatif Pengelolaan Ekosistem
Mangrove Kecamatan Barru Kabupaten Barru. Bogor: Institut Pertanian
Bogor.
Bengen, D.G. 2002. Pedoman Teknis Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem
Mangrove. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Institut Pertanian
Bogor, Bogor.
Dahuri, R. 2003. Keanekaragaman Hayati Laut Aset Pembangunan Berkelanjutan
Indonesia. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Darkuni, M. N. 2001. Mikrobiologi (Bakteriologi, Virologi, dan Mikologi).
Universitas Negeri Malang.
Dedi, S. 2008. Ekosistem Mangrove. Ekologi Laut Tropis. Institut Pertanian Bogor.

Dewi, N. 2010. Laju Dekomposisi Serasah Daun Avicennia marina Pada Berbagai
Tingkat Salinitas di Kawasan Hutan Mangrove Sicanang Belawan Medan.
[Skripsi]. USU. Medan.
Dita, F. L. 2007. Pendugaan Laju Dekomposisi Serasah Daun Shorea balangeran
(Korth.) Burck Dan Hopea bancana (Boerl.) Van Slooten Di Hutan
Penelitian Dramaga, Bogor, Jawa Barat. Institut Pertanian Bogor.

Universitas Sumatera Utara

Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumberdaya dan
Lingkungan Perairan. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.
Emma, L.S. 2009. Jenis-jenis Fungi Yang Terdapat Pada Serasah Daun
Rhizophora Mucronata Yang Mengalami Dekomposisi Pada Berbagai
Tingakt Salinitas [Skripsi]. USU Press. Medan.
Ghufron, M. H. Kordi K. M. 2012. Ekosistem Mangrove : Potensi, Fungsi, Dan
Pengelolaan. p. 44-45. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Gultom, I, M. 2009. Laju Dekomposisi Serasah Daun Rhizophora mucronataPada
Berbagai Tingkat Salinitas. [Skripsi]. USU. Medan.
Hogarth, P. J. 1999. The Biology of Mangrove. Oxford university Press. New
York.
Hutching, P. And P. Saenger. 1987. Ecology of Mangrove. University of
Queensland Press. Australia.
Indriani, Y. 2008. Produksi dan Laju Dekomposisi Mangrove Api-Api (Avicennia
marina forks. Vierh) di Desa Lontar, Kecamatan Kemiri, Kabupaten
Tangerang, Provinsi Banten. [Skripsi] Program Studi Ilmu dan Teknologi
Kelautan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, ITB. Bogor.
Mardiana, S. 2005. Perbedaan Kondisi Fisik Lingkungan Terhadap Pertumbuhan
Berbagai Tanaman Mangrove. Fakultas Pertanian Universitas Medan
Area. Medan. Jurnal Penelitian Bidang Ilmu Pertanian Volume 3, Nomor
1, April 2005.
Mason, C. F. 1974. Mollusca. Hlm. 555-591 dalam Biology of Plant Litter
Decomposition. Vol ke-1. C.H. Dickinson dan G. J. Pugh (Peny.).
Academic Press. London, New York.
Moore-Landecker, E. 1990. Fundamentals of Fungi. Fourth Edition. Prentice Hall,
Englewood. New Jersey.
Mukhlis, 2007. Analisis Tanah Tanaman. USU Press. Medan.
Naibaho, R. F. 2014. Laju Dekomposisi Serasah Daun Avicennia marina dan
Kontribusinya Terhadap Nutribusi di Perairan Pantai Serambi Deli
Kecamatan Pantai Labu. [Skripsi]. USU. Medan.
Noor, Y, R., M. Khazali, I. N. N. Suryadiputra. 1999. Panduan Pengenalan
Mangrove di Indonesia. PKA/WI-IP. Bogor.

Universitas Sumatera Utara

Notohadiprawiro, T. 1998. Tanah dan Lingkungan. Direktorat Jenderal
Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta.
Odum, W.E. dan Heald, E.J. 1975. The detritus-based food web of an estuarine
mangrove community. In L.E. Cronin, ed. Estuarine Research. p. 265-286..
Diterjemahkan oleh: M. Ghufran H. Kordi K. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Rismunandar. 2000 . Laju Dekomposisi Serasah Daun Avicennia marina pada
Berbagai Tingkat Salinitas (Studi Kasus di Kawasan Hutan Mangrove
Blanakan, RPH Tegal Tangkil, BKPH Ciasem-Pamanukan, KPH
Purwakarta, Perum Perhutani Unit III Jawa Barat). Skripsi. Fakultas
Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Romimohtarto, K. dan Sri, J. 2001. Biologi Laut. Ilmu Pengetahuan Tentang
Biota Laut. Penerbit Djambatan. Jakarta.
Setiawan, M. A. 2013. Laju Dekomposisi Serasah Daun Rhizopora mucronata
Pada Berbagai Tingkat Salinitas. Jurnal Program Strata 1 Ilmu Kelautan.
Universitas Padjajaran. Bandung.
Sriharti., Salim, T., 2008. Pemanfaatan Limbah Pisang Untuk Pembuatan Pupuk
Kompos Menggunakan Kompos Rotary Drum. Prosising Seminar Nasional
Bidang Teknik Kimia dan Tekstil, Yogyakarta.
Soeroyo. 1993. Pertumbuhan Mangrove dan Permasalahannya. Buletin Ilmiah
INSTIPER. Yogyakarta.
Subkhan. 1991. Produksi dan Penguraian Serasah Hutan Mangrove di Sungai
Talidendan Besar, HPH PT Bina Lestari, Riau. Skripsi. Jurusan
Konservasi Sumberdaya Hutan, Fakultas Kehutanan IPB. Bogor.
Sunarto. 2003. Peranan Dekomposisi dalam Proses Produksi pada Ekosistem
Laut. Pengantar Falsafah Sains, Program Pascasarjana/S3 IPB. Bogor.
Parmelee, R. W., Beare, W. Cheng, P. F. Hendrix, S.J. Rider, D. A. Crossley Jr.,
and D. C. Coleman. 1990. Earthworm and Enchytraeids in conventional
and notilage agroecosystems: A biocide approach to ases theirnrolenin
organic matter breakdown. Biol. Fertil. Soil 10: 1-10
Vaiphasa C., A.K., Skidmore, W.F., de Boer. 2006. A Post-classifier for
Mangrove Mapping Using Ecological Data.Elsevier.International Journal
of Photogrammetry & Remote Sensing. 61 (1) : 1-10
Yunasfi. 2006. Laju Dekomposisi Serasah Daun Avicennia marina pada berbagai
tingkat salinitas. Disertasi. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Universitas Sumatera Utara

17

METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Juni-september 2015 di kawasan
hutan mangrove Kampumg Nipah Desa Sei Nagalawan, Kecamatan Perbaungan,
Kabupaten Serdang Bedagai, Sumatera Utara. Pengambilan sampel dilakukan di
Pulau Sembilan, Kecamatan Pangkalan Susu, Kabupaten Langkat, Sumatera
Utara. Penimbangan serasah dilakukan di Laboratorium Hama dan Penyakit
Tanaman, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara. Analisis unsur hara
karbon (C), nitrogen (N), dan fosfor (P) di lakukan di Laboratorium Riset dan
Teknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara, Medan.
Alat dan Bahan
Bahan yang diperlukan dalam melakukan penelitian ini adalah serasah
daun Ceriops tagal yang diambil dari kawasan hutan mangrove Pulau Sembilan
Kabupaten Langkat. Peralatan yang digunakan meliputi : Hand refractometer,
oven, timbangan analitik, kantong serasah (litter bag) yang berukuran 40 x 30 cm
yang terbuat dari nilon, kantong plastik dengan ukuran ¼ kg, tali palastik, patok
bambu, amplop sampel, alat tulis dan koran.
Prosedur Penelitian
Penentuan zona salinitas
Penentuan zona salinitas dilakukan dengan pengukuran tingkat salinitas
yang dilakukan dari arah laut menuju ke darat dengan menggunakan
Handrefractometer. Lokasi penelitian terdiri atas 3 zona yaitu, zona 1 dengan
salinitas 0-10 ppt berjarak 23 meter dari pantai, zona 2 dengan salinitas 11-20 ppt

Universitas Sumatera Utara

18

berjarak 55 meter dari pantai, zona 3 dengan salinitas 21-30 ppt berjarak 262
meter dari pantai dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Lokasi Penelitian
Pengumpulan sampel serasah daun C. tagal
Pengambilan sampel serasah daun C. tagal dilakukan di beberapa lokasi
pada hutan mangrove Pulau Sembilan, Kecamatan Pangkalan Susu, Kabupaten
Langkat, Sumatera Utara, yang banyak ditumbuhi oleh jenis C. tagal.
Pengumpulan dilakukan di Pulau Sembilan karena jumlah serasah daun C. tagal
tergolong banyak dan jumlah serasah yang dibutuhkan tersedia, berbeda dengan
lokasi penelitian yang dilakukan di Kampung Nypa Desa Sei Nagalawan yang
merupakan lokasi rehabilitas mangrove dengan jumlah serasah yang terbatas.
Pengambilan serasah dilakukan secara langsung dari lantai hutan dan
dikumpulkan ke dalam kantong plastik berukuran 20 kg dan kemudian dikering
udarakan untuk mengurangi kadar airnya dan selanjutnya dilakukan penimbangan
sebelum dimasukkan ke dalam kantong serasah.

Universitas Sumatera Utara

19

Penempatan Sampel Serasah Daun C. tagal
Serasah daun C. tagal yang telah ditimbang sebanyak 50 gram
dimasukkan ke dalam kantong serasah yang terbuat dari nilon. Kantong serasah
dipasang pada tiga tingkat salinitas yang telah ditentukan, masing-masing
sebanyak 18 kantong serasah. Total keseluruhan kantong serasah yang digunakan
adalah 54 kantong serasah. Selama penelitian kantong serasah diikat pada pancang
bambu sebagai antisipasi kantong serasah terbawa oleh pasang surut air laut dan
dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Lokasi penempatan kantong serasah. (A) 0-10 ppt,
(B) 11-20 ppt, dan (C) 21-30 ppt.

Kawasan hutan mangrove lokasi penelitian terletak di Desa Sei
Nagalawan, Kecamatan Perbaungan, Kabupaten Serdang Bedagai, Provinsi
Sumatera Utara. Pada posisi 7° 50’ LU 9° 21’ LU dan 97° 18’ BT - 98° 42’ BT.

Universitas Sumatera Utara

20

Secara geografis jarak Desa Sei Nagalawan adalah salah satu desa dari 41
desa dari desa yang ada di Perbaungan Kabupaten Serdang Bedagai. Desa Sei
Nagalawan mempunyai luas wilayah 871 Ha, yang terbagi atas tiga dusun wilayah
nya memiliki batas-batas yakni:
-

Sebelah utara berbatasan dengan Selat Malaka

-

Sebelah selatan berbatasan dengan desa Lubuk Bayas

-

Sebelah timur berbatasan dengan Teluk Mengkudu, dan

-

Sebelah barat berbatasan dengan kecamatan Pantai Cermin.

Pengambilan sampel serasah daun C. tagal
Pengambilan serasah C. tagal dilakukan dikawasan hutan Pulau Sembilan
Kabupaten Langkat yang banyak ditumbuhi C tagal. Kemudian serasah daun
C. tagal dimasukkan ke dalam kantong plastik/karung plastik dan dibawa ke
laboratorium untuk ditimbang. Selanjutnya serasah daun C. tagal yang
dimasukkan kedalam kantong serasah dengan berat 50 gram untuk setiap kantong
serasah. Kantong serasah dipasang pada setiapa zona salinitas yang telah
ditentukan dengan serasah secara acak. Semua kantong serasah tersebut akan
diikatkan pada bambu agar tidak terbawa arus pasang.
Pengambilan kantong serasah akan dilakukan 15 hari sekali, sebanyak 3
buah kantong berisi sisa serasah untuk setiap zona salinitas selama 90 hari.
Kemudian serasah C. tagal dari kantong serasah tersebut dikeluarkan dan
ditiriskan (dikering-anginkan), untuk selanjutnya dimasukkan ke dalam kantong
kertas HVS Folio. Kantong kertas yang berisi serasah daun C. tagal tersebut
dimasukkan kedalam oven pada suhu 70ºC selama 2 x 24 jam. Setelah dioven
serasah tersebut ditimbang untuk mengetahui berat keringnya. Laju dekomposisi

Universitas Sumatera Utara

21

serasah daun C. tagal di hitung dari penyusutan bobot serasah yang
terdekomposisi dalam satu satuan waktu. Sebagai kontrol digunakan serasah
yang tidak ditempatkan di lapangan dan juga digunakan untuk analisis unsur hara.
Pengolahan Data
Laju dekomposisi serasah daun Ceriops tagal
Pendugaan nilai laju dekomposisi serasah dilakukan menurut persamaan
berikut (Olson, 1963 dalam Subkhan, 1991) :
Xt/ X0= e-kt

(1)

Adapun penentuan lama masa serasah terdapat (resiedence time) di lantai hutan
digunakan rumus:
1/k

(2)

Keterangan : Xt = Berat serasah setelah periode pengamatan ke-t (g)
X0 = Berat serasah awal (g)
e = Bilangan logaritma natural (2,72)
t = Periode pengamatan (hari)
k = Laju dekomposisi
Analisis serasah daun Ceriops tagal
Contoh serasah daun C. tagal dari setiap zona salinitas yang telah
diketahui berat keringnya sebanyak 5 gram dibawa ke Laboratorium Riset dan
Teknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara. Medan. untuk
dianalisis unsur hara karbon, nitrogen dan fosfor dengan menggunakan metode
Kjehdahl (Unsur Nitrogen) dan metode pengabuan kering (Unsur Karbon dan
Fosfor).

Universitas Sumatera Utara

22

Analisis Unsur Hara Karbon (C), nitrogen (N) dan fosfor (P)
a. Karbon (C)
Penentuan kadar unsur hara C dilakukan dengan metode Walkey dan
Black (Mukhlis, 2007). Ditimbang 0,1 gram daun kering oven, dimasukkan
ke dalam Erlenmeyer 500 cc, ditambahkan 5 ml K2CrO7 1 N (menggunakan
pipet) digoncang dengan tangan. Ditambahkan 10 mL H2SO4 pekat, kemudian
digoncang 3-4 menit, selanjutnya diamkan 30 menit. Ditambahkan 100 ml air
suling dan 5 ml H3PO4 85%, NaF 4% 2,5 ml, kemudian ditambahkan 5 tetes
Diphenylamine dan digoncang hingga larutan berwarna biru tua kehijauan kotor.
Dititrasikan dengan Fe (NH4)2 (SO4) 0,5 N dari buret hingga warna berubah
menjadi hijau terang. Dilakukan kerja ini lagi (tanpa daun) untuk mendapat
volume titrasi Fe (NH4)2(SO4) 0,5 N untuk blanko.
Perhitungan :
Kadar C organik = 5

0,003

Keterangan :
T

= Volume titrasiFe (NH4)2(SO4) 0,5 N dengan daun

S

= Volume titrasiFe (NH4)2 0,5 N blanko (tanpa daun)

0,003 = 1 mL K2Cr2O7 1 N + H2SO4 mampu mengoksidasi 0,003 g C-organik
1/0,77 = Metode ini hanya 77% C-organik yang dapat dioksidasi
BCT

= Berat Contoh Tanaman

b. Nitrogen (N)
Penentuan kadar nitrogen daun dilakukan dari ekstraksi destruksi basah.
Ditempatkan 20 ml cairan destruksi pekat kedalam tabung destilasi dan tambahan
H2O 50 ml. ditempatkan tabung destilasi di alat destilasi N. ditambahkan NaOH

Universitas Sumatera Utara

23

40% ± 15 ml (langsung pada alat). Ditampung hasil destilasi berupa amoniak pada
Erlenmeyer 250cc yang berisi 25 mL H3BO3 4% dan ditetesi indikator campuran.
Titrasi berakhir bila H3BO3 telah berwarna hijau dan volumenya telah mencapai
75 ml. Amonika hasil destilasi diukur dengan mentitrasi dengan HCL 1 N sampai
warna berubah dari hijau ke warna merah (Mukhlis, 2007).
Perhitungan:
N daun (%)

=
= mL HCl x N HCl x 11,2

c. Fosfor (P)
Diambil dengan pipet 5 ml cairan destruksi encer dari ekstraksi destruksi basah
atau cairan dari ekstraksi pengabuan kering tempatkan pada tabung reaksi.
Ditambahkan 10 ml reagen fosfat B biarkan ± 10 menit, kemudian diukur
transmittance (absorbence) pada spectronic dengan π 660 nm. Dilakukan pada
larutan standar 0-2-4-6-8 dan 10 ppm P, dengan cara mengambil masing-masing
5 ml dan ditambahkan 10 ml reagen fosfat B dan diukur pada spectronic
(Mukhlis, 2007).
Perhitungan:
P daun (%)

=
= P larutan x 0,02

Universitas Sumatera Utara

24

HASIL DAN PEMBAHASAN
Laju Dekomposisi
Serasah daun C. tagal yang mengalami dekomposisi mulai dari hari ke-15
sampai dengan hari ke-90 mengalami penurunan bobot kering. Perubahan bobot
kering serasah C. tagal rata-rata pada berbagai tingkat salinitas untuk setiap waktu
pengamatan dapat dilihat pada Gambar 4. Perubahan bobot kering serasah daun
C. tagal dari ketiga tingkat salinitas menunjukkan bahwa tingkat salinitas 11-20
ppt lebih cepat terdekomposisi sehingga laju dekomposisinya lebih tinggi
daripada tingkat salinitas yang lainnya dalam pengambilan data (15 hari). Tingkat
salinitas 21-30 ppt menunjukkan nilai laju dekomposisi serasah terendah dan
tingkat salinitas 11-20 ppt menunjukkan nilai laju dekomposisi tertinggi. Semakin
cepat hilangnya bobot kering serasah maka semakin tinggi nilai laju
dekomposisinya.

Gambar 4. Sisa serasah daun C. tagal rata-rata yang telah mengalami
proses dekomposisi 15 sampai 90 hari di lingkungan dengan
berbagai tingkat salinitas.

Universitas Sumatera Utara

25

Hasil penelitian pada Gambar 4 memperlihatkan bahwa proses
dekomposisi tertinggi terjadi pada 15 hari pertama, hal ini terjadi pada semua
stasiun penelitian. Tingginya dekomposisi serasah pada 15 hari pertama diduga
karena kehilangan bahan-bahan organik serasah akibat kelimpahan penguraian
bakteri maupun makrobentos (dekomposer) yang terjadi di waktu awal serasah
diletakkan.

Hasil

penelitian

ini

sesuai

dengan

hasil

penelitian

oleh

(Setiawan, 2013) dari data penelitiannya menunjukan bahwa sisa bobot kering
serasah daun R. mucronata pada berbagai tingkat salinitas dari awal sampai
ke hari 15 itu mengalami proses dekomposisi paling besar.
Laju dekomposisi serasah daun C. tagal pada tingkat salinitas 0-10 ppt,
11-20 ppt dan 21-30 ppt cukup beragam dan menghasilkan laju dekomposisi dari
masing-masing tingkat salinitas sebesar 0,252, 0,297 dan 0,198 disajikan pada
pada Tabel 2.
Tabel 2. Rata-rata laju dekomposisi dan lama masa serasah terdapat di lingkungan
dengan berbagai tingkat salinitas.
Lama masa serasah terdapat
NO
Tingkat Salinitas
K (tahun -1)
(tahun)
1
0-10 ppt
0,252
3,96
2
11-20 ppt
0,297
3,36
3
21-30 ppt
0,198
5,05
Laju dekomposisi serasah daun C. tagal pada tingkat salinitas 0-10 ppt
yaitu 0,252, tingkat salinitas 11-20 ppt yaitu 0,297, tingkat salinitas 21-30 ppt
yaitu 0,198 dapat dilihat pada Gambar 5. Tingkat salinitas 11-20 ppt menunjukkan
nilai laju dekomposisi tertinggi dan tingkat salinitas 21-30 ppt menunjukkan nilai
laju dekomposisi terendah.
Laju dekomposisi dapat dilihat dengan terjadinya perubahan bentuk dari
serasah daun C. tagal dari daun utuh menjadi cercahan-carcahan daun. Serasah

Universitas Sumatera Utara

26

daun C. tagal mengalami proses dekomposisi dengan berkurangnya bobot kering
serasah pada tingkat salinitas yang berbeda seiring berjalannya waktu pengamatan
mulai dari hari ke-15 sampai dengan hari ke-90. Hal ini menunjukkan bahwa
salinitas berpengaruh terhadap proses dekomposisi karena serasah yang
ditempatkan di dalam kantong serasah pada masing-masing tingkat salinitas
mengalami penurunan bobot kering serasah daun. Data laju dekomposisi
diperoleh karena adanya peran organisme dekomposer di dalam tanah yang
memanfaatkan

serasah

C.

tagal

sebagai

bahan

makananan

dengan

menguraikannya menjadi bahan makanan yang dibutuhkan organisme-organisme
tersebut. Menurut Dedi (2000) dalam oleh Emma, (2009) menyebutkan bahwa
secara umum di perairan terdapat dua tipe rantai makanan yaitu rantai makanan
langsung dan rantai makanan detritus. Di ekosistem mangrove, rantai makanan
yang ada untuk biota perairan adalah rantai makanan detritus. Detritus diperoleh
dari daun mangrove yang gugur ke perairan kemudian mengalami penguraian dan
berubah menjadi partikel kecil yang dilakukan oleh mikroorganisme seperti
bakteri dan fungi.
Adapun laju dekomposisi yang terjadi paling lama terdapat pada tingkat
salinitas 21-30 ppt dengan lama masa serasah terdapat (tahun) yaitu 5,05 dengan
nilai k sebesar 0,198/tahun dengan sisa bobot kering serasah yaitu 22,35 g. Hal ini
disebabkan karena jenis organisme pada tingkat salinitas 21-30 ppt merupakan
yang paling sedikit ditemukan organisme laut yaitu sebanyak 78 organisme dan
kondisi vegetasi mangrove yang seragam pada tingkat salinitas 21-30 ppt, hal ini
didukung oleh Dita (2007) bahwa kondisi vegetasi yang seragam mendukung
lambatnya laju dekomposisi karena mengakibatkan rendahnya keragaman

Universitas Sumatera Utara

27

mikroorganisme yang berperan dalam proses dekomposisi. Jika serasah cocok
tehadap mikroorganisme tanah apalagi jika kaya akan nutrisi dan mengandung
sedikit kayu atau kulit, dan kondisi kelembaban, drainase serta aerasi tanah cukup
baik, maka bahan organik akan terdekomposisi secara cepat dan tidak akan
terakumulasi dalam tanah.
Sisa serasah dari pengamatan hari ke-15 sampai hari ke-90 mengalami
penurunan bobot basah serasah dan penampakan fisiknya menunjukkan cercahan
daun C. tagal semakin menuju hari ke-9 berubah menjadi partikel yang lebih kecil
dan semakin menurun bobot keringnya. Penampakan bentuk dan rata-rata berat
bobot kering serah C. tagal disajikan pada Gambar 5 dan Gambar 6.

Gambar 5. Rata-rata bobot kering sisa serasah daun C. tagal yang telah
mengalami proses dekomposisi selama 90 hari di lingkungan
dengan berbagai tingkat salinitas.

Universitas Sumatera Utara

28

A

B

C

D

E

F

G
Gambar 6. Bentuk serasah daun C. tagal yang mengalami proses dekomposisi
selama 90 hari pada tingkat salinitas 11-20 ppt. Kontrol (A), 15 hari
(B), 30 hari (C), 45 hari (D), 60 hari (E), 75 hari (F) dan 90 hari (G).
Data yang diperoleh dari proses dekomposisi yang terjadi pada serasah
daun C. tagal selama 90 hari dilapangan pada berbagai tingkat salinitas cukup
bervariasi ditandai dengan adanya perubahan berat kering dan perubahan fisik
serasah dapat dilihat pada Gambar 5 dan Gambar 6. Rata-rata berat kering
berbeda-beda pada setiap tingkat salinitas. Pada hari ke-90, bobot berat kering
serasah daun C. tagal pada salinitas 0-10 ppt adalah sebesar 31,17, salinitas 11-20
ppt sebesar 25,93, dan pada salinitas 21-30 ppt sebesar 27,46. Nilai bobot kering
terendah terdapat pada salinitas 11-20 ppt sebesar 25,93 yang artinya salinitas
11-20 ppt mengalami laju dekomposisi paling cepat. Penurunan bobot kering pada

Universitas Sumatera Utara

29

serasah daun C. tagal diduga adanya peran organisme yang membantu dalam
proses

laju

dekomposisi.

Organisme

tersebut

berperan

pada

awal

pendekomposisian yaitu dengan mencacah dan merobek-robek serasah daun yang
kemudian dikeluarkan kembali menjadi kotoran dan diteruskan oleh bakteri dan
fungi. Menurut Dix dan Webster (1995) dalam oleh Yunasfi (2006) kecepatan
dekomposisi serasah dipengaruhi oleh kecepatan serasah tersebut terpecah-pecah
(fragmented). Pemecahan ini sebagian besar dilakukan oleh banyak hewan tanah
seperti siput, cacing, larva serangga dan lain-lain.
Dibandingkan dengan hasil penelitian Dewi (2010) yang dilakukan di
Sicanang Belawan didapatkan data bahwa laju dekomposisi serasah daun
A. marina yang paling lambat juga terjadi pada tingkat salinitas 20-30 ppt
sedangkan laju dekomposisi serasah daun A. marina yang tertinggi terjadi pada
tingkat salinitas >20 ppt. Hal ini disebabkan menurut Sunarto (2003) bahwa
kecepatan terdekomposisi mungkin berbeda dari waktu ke waktu tergantung
faktor-faktor yang mempengaruhinya.
Makrobentos merupakan salah satu organisme yang membantu proses
dekomposisi dengan cara mengurai atau mencacah daun menjadi cacahan daun
yang berukuran yang lebih kecil. Jenis makrobentos yang terdapat dalam kantong
serasah selama proses dekomposisi dapat dilihat pada Tabel 3 dan Gambar 7.
Tabel 3. Jenis-jenis makrobentos yang ditemukan di dalam kantong serasah daun
C. tagal
Kelas
Ordo
Genus
Gastropoda

Mesogastropoda

Telescopium

Turbellaria

Macrostomida

Microstonum

Crustaceae

Decapada

Chiromantes

Universitas Sumatera Utara

30

Kehidupan makrobentos membutuhkan habitat berlumpur yang telah
dihambat oleh perakaran pohon. Selain itu, makrobentos harus mampu hidup dan
membenamkan diri dalam lumpur di bawah pohon (Gultom, 2009). Hal ini sesuai
dengan lokasi penelitian pada setiap tingkat salinitas, dimana semua salinitas
memiliki

substrat

yang

berlumpur

sehingga

terdapat

keanekaragaman

makrobentos yang mempengaruhi proses laju dekomposisi serasah daun
dilapangan.

A

B

C
Gambar 7. Makrobentos yang ditemukan di dalam kantong serasah daun
C. tagal Kepiting (A), siput (B), dan cacing (C).
Makrobentos yang terdapat di dalam kantong serasah yaitu kelas
Gastropoda, Turbellaria, Insecta, dan Crustaceae (Tabel 2), banyak makrobentos
yang terdapat di dalam kantong serasah dipengaruhi oleh tingkat salinitas
(Lampiran 5). Makrobentos dapat hidup berkoloni di hutan mangrove tergantung
pada rendahnya tingkat salinitas ataupun sebaliknya dan jumlah makrobentos
yang terdapat setiap tingkat salinitas dipengaruhi konsentrasi salinitas yang

Universitas Sumatera Utara

31

terdapat dilingkungan. Ini sesuai dengan pendapat Arief (2003) dalam Gultom
(2009) yang menyatakan bahwa perkembangan salinitas berpengaruh terhadap
perkembangan jenis makrobentos dan kehidupan beberapa makrobentos
tergantung pada rendahnya salinitas, tetapi ada juga sebaliknya. Adanya
organisme tersebut menunjukkan bahwa kadar C-organik serasah dan biomassa
serasah, secara tidak langsung dapat memberikan peran dalam kehadiran dan
aktivitas organisme dalam ekosistem mangrove. Hal ini didukung oleh
Notohadiprawiro (1998) yang menyatakan bahwa laju dekomposisi bahan organik
ditentukan oleh faktor bahan organik dan lingkungan yang mempengaruhi
berbagai aktivitas organisme, organisme tersebut membantu pada proses awal
perombakan bahan organik dalam tanah.
Kandungan Unsur Hara Karbon (C), Nitrogen (N), Fosfor (P) dan Rasio C/N
Nilai kandungan unsur hara karbon, nitrogen, dan fosfor dari setiap
pengamatan unsur hara memiliki nilai yang beragam. Hal ini membuktikan bahwa
kadar salinitas yang berbeda berpengaruh dalam pelepasan unsur hara serasah
selama proses dekomposisi. Proses pelepasan unsur hara dari setiap sampel
serasah ini juga dipengaruhi mikroorganisme dekomposer yang berperan dalam
proses dekomposisi serasah daun C. tagal sesuai dengan pernyataan dari Aprianis
(2011) yang menyatakan bahwa perubahan bobot serasah persatuan waktu
disebabkan terjadinya proses dekomposisi dimana mikroorganisme tanah
memanfaatkan karbon serasah sebagai bahan makanan dan membebaskannya
sebagai CO2.
Proses dekomposisi serasah daun C. tagal terjadi mulai hari ke-15 sampai
hari ke-90. Serasah daun C. tagal mengandung unsur hara karbon, nitrogen, dan

Universitas Sumatera Utara

32

fosfor. Berdasarkan analisis nilai kandungan unsur karbon lebih tinggi dari
kandungan unsur nitrogen dan unsur fosfor. Unsur hara karbon berperan dalam
pembentukan iklim dan pelapukan kimia batuan dan mineral. Kandungan unsur
hara karbon, nitrogen dan fosfor dapat dilihat pada Gambar 8, Gambar 9 dan
Gambar 10.
Unsur Hara Karbon (C)
Unsur hara karbon pada serasah C. tagal yang telah mengalami masa
dekomposisi pada berbagai tingkat salinitas dan waktu pengambilan serasah dapat
dilihat pada Gambar 8.

Gambar 8. Kadar unsur hara karbon pada berbagai tingkat salinitas
Berdasarkan Gambar 8, dapat diketahui bahwa kandungan unsur hara
karbon mengalami penurunan dari hari ke-15 sampai hari ke-90. Unsur hara
karbon tertinggi terdapat pada tingkat salinitas 0-10 ppt, dan unsur hara karbon
terendah terdapat pada salinitas 21-30 ppt.
Kandungan unsur hara karbon (C) yang terdapat dalam serasah daun
C. tagal mengalami penurunan yang signifikan dimulai hari ke-15 sampai hari

Universitas Sumatera Utara

33

ke-90 pengamatan terutama pada tingkat salinitas 21-30 ppt. Unsur hara karbon
yang paling tinggi terjadi pada salinitas 0-10 ppt pada hari ke-15 yang mencapai
15,7% sedangkan yang paling kecil terjadi pada hari ke-90 salinitas 11-20 ppt
yaitu 9,8%. Menurut Effendi (2003) kadar karbondioksida di perairan dapat
mengalami pengurangan akibat proses fotosintesis dan evaporasi yang terjadi.
Karbon yang terdapat di atmosfer dan perairan diubah menjadi karbon organik
melalui proses fotosintesis.
Unsur Hara Nitrogen (N)
Kandungan unsur hara nitrogen mengalami peningkatan dibandingkan
dengan persen (%) nitrogen pada kontrol. Unsur hara nitrogen tertinggi terdapat
pada tingkat salinitas 0-10 ppt, dan unsur hara nitrogen terendah terdapat pada
tingkat salinitas 11-20 ppt dapat dilihat pada Gambar 9.

Gambar 9. Kadar unsur hara nitogen pada berbagai tingkat salinitas
Nitrogen merupakan unsur yang penting dalam penyusunan asam amino,
asam nukleat, dan protein yang berperan besar dalam metabolisme tanaman. Dari

Universitas Sumatera Utara

34

pengamatan hari ke-15 sampai hari ke-90 pada setiap tingkat salinitas 11-20 ppt
mengalami penurunan dan terjadi peningkatan pada tingkat salinitas 21-30 ppt, hal
ini dikarenakan pada tingkat salinitas 21-30 ppt organisme yang memanfaatkan
nitrogen sedikit dijumpai hal ini diduga disebabkan salinitas yang tinggi sehingga
terjadi kenaikan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Effendi (2003) dalam Gultom
(2009) yang menyatakan bahwa dengan bertambahnya waktu, kadar nitrogen
organik berkurang karena konversi menjadi amonia. Beberapa jenis organisme
memanfaatkan nitrogen pada daun dan mengeluarkan tinja (kotoran) dari
organisme tersebut.
Kadar nitrogen yang terdapat pada daun serasah daun C. tagal pada
berbagai tingkat salinitas mengalami kenaikan dan penurunan kadar nitrogen.
Naik dan turunnya kandungan kadar nitrogen pada serasah daun C. tagal
berpengaruh terhadap aktifitas mikroorganisme atau dekomposer. Kadar nitrogen
yang

terdapat

perkembangan.

pada

serasah

Menurut

daun

Sriharti

dibutuhkan
(2008)

kadar

mikroorganisme
nitrogen

untuk

dibutuhkan

mikroorganisme untuk memelihara dan pembentukan sel tubuh. Semakin banyak
kandungan nitrogen, maka akan semakin cepat bahan organik terurai, karena
mikroorganisme yang menguraikan bahan kompos memerlukan nitrogen untuk
perkembangannya.
Unsur Hara Fosfor (P)
Kandungan unsur hara mengalami penurunan dari hari ke-15 sampai hari
ke-90. Fosfor juga berperan dalam proses metabolisme tanaman. Kandungan
unsur hara fosfor tetinggi terdapat pada tingkat salinitas 0-10 ppt dan 11-20 ppt,

Universitas Sumatera Utara

35

dan kandungan unsur hara terendah terdapat pada tingkat salinitas 11-20 ppt dapat
dilihat pada Gambar 10.

Gambar 10. Kadar unsur hara fosfor pada berbagai tingkat salinitas
Berdasarkan Gambar 10 diketahui nilai persen (%) unsur hara fosfor pada
serasah C. tagal menunjukkan sesuai lamanya pengamatan serasah dilingkungan.
Rata-rata kandungan unsur hara fosfor serasah C. tagal pada tingkat salinitas 0-10
ppt, 11-20 ppt dan 21-30 ppt adalah 0,19 %, 0,18 dan ,18 %.
Kandungan unsur hara fosfor mengalami penurunan pada tingkat salinitas
0-10 ppt dan 11-20 ppt. Kandungan unsur hara fosfor pada C. tagal dibutuhkan
tanaman dalam proses metabolisme. Menurut Effendi (2003) di perairan, bentuk
unsur fosfor berubah secara terus-menerus, akibat proses dekomposisi dan sintesis
antara bentuk organik dan bentuk anorganik yang dilakukan oleh mikroba.
Keberadaan fosfor di perairan alami biasanya relatif kecil, dengan kadar yang
sedikit daripada kadar nitrogen karena sumber fosfor lebih sedikit dibandingkan
dengan sumber nitrogen di perairan. Kadar fosfat yang tinggi diduga berasal dari
penguraian senyawa-senyawa organik (hewan, tumbuhan dan sebagainya) disertai

Universitas Sumatera Utara

36

dengan pertumbuhan lumut yang berada di perairan. Menurut Effendi (2003)
bahwa keberadaan fosfor yang berlebihan dapat diakibatkan oleh pertumbuhan
alga di perairan.
Rasio C/N
Rasio C/N merupakan salah satu indikator dalam laju dekomposisi serasah
C. tagal. Hasil analisis diketahui nilai C/N tertinggi hari pada tingkat salinitas
0-10 ppt yaitu sebesar 5,34%. Nilai C/N terendah terdapat tingkat salinitas 11-20
ppt yaitu sebesar 3,92%. Hasil perbandingan Rasio C/N dapat dilihat pada
Gambar 11.

Gambar 11. Rasio C/N pada serasah daun C. tagal
Rasio C/N tertinggi yang diperoleh dari pengamatan dan perhitungan
terdapat pada tingkat salintas 21-30 ppt yaitu pada pengamatan hari ke-90 sebesar
4,69% dan nilai C/N terendah terdapat tingkat salinitas 11-20 ppt yaitu sebesar
3,92 %. Menurut Hairiah dan Rahayu (2007) dalam oleh Dewi (2010) bahwa C/N
merupakan salah satu indikator untuk melihat laju dekomposisi bahan organik,
dimana semakin tinggi C/N maka akan semakin lama bahan organik itu

Universitas Sumatera Utara

37

terdekomposisi. Semakin cepat serasah terdekomposisi maka akan semakin
banyak unsur hara yang tersedia bagi tanaman, makrobentos dan mikroorganisme.
Hal ini sesuai dengan hasil laju dekomposisi serasah daun C. tagal yang
menunjukkan pada 21-30 ppt adalah salinitas yang paling lama mengalami proses
dekomposisi. Hal ini juga dipengaruhi oleh keberadaan makrobentos seperti
cacing, siput, dan kepiting yang berperan dalam penghancuran serasah daun C.
tagal dimana pada tingkat salinitas 21-30 ppt tidak terlalu banyak dijumpai
keberadaan Makrobentos. Menurut Allo., dkk (2014) Ratio C/N merupakan faktor
kimia pembentuk kecepatan dekomposisi dan mineralisasi nitrogen. Penyebab
pembusukan pada bahan organik diakibatkan adanya karbon dan nitrogen. Rasio
C/N digunakan untuk mendapatkan degradasi biologis dan bahan-bahan organik
yaitu sampah tersebut baik atau tidak untuk dijadikan kompos, serta menunjukkan
kematangan kompos.
Rasio C/N dapat dipengaruhi dari aktifitas cacing, dimana cacing
memakan daun serasah yang ada dilantai hutan. Daun serasah mengandung
nitrogen dimana pada mulanya nitrogen tidak tersedia menjadi tersedia
disebabkan cacing mengeluarkan kotoran yang mengandung nitrogen yang berasal
dari kotoran cacing. Menurut Permelee et al (1990), cacing tanah juga berperan
dalam menurunkan rasio C/N bahan organik, dan mengubah nitrogen tidak
tersedia menjadi nitrogen tersedia setelah dikeluarkan berupa kotoran. Terdapat
interaksi antara pemberian bahan organik dan cacing tanah terhadap status hara
tanah terutama N dan K, dan pemberian inokulum cacing tanah juga berpengaruh
sangat nyata terhadap peningkatan P tersedia pada tanah ultisol (Anwar, 2007).

Universitas Sumatera Utara

KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Laju dekomposisi serasah daun C. tagal pada tingkat salinitas 11-20 ppt lebih
cepat terdekomposisi dengan nilai k sebesar 0,297/tahun dibandingkan laju
dekomposisi pada tingkat salinitas 0-10 ppt sebesar 0,252/tahun dan tingkat
salinitas 21-30 ppt sebesar 0,198/tahun.
2. Nilai kandungan rata-rata unsur hara Karbon tertinggi terdapat pada tingkat
salinitas 0-10 ppt sebesar 16,36 % dan terendah terdapat pada salinitas
11-20 ppt sebesar 15,2 %. Kandungan rata-rata unsur hara Nitrogen tertinggi
terdapat pada tingkat salinitas 20-30 ppt sebesar 2,6 % dan terendah terdapat
pada salinitas 0-10 ppt sebesar 2,5 %. Kandungan rata-rata unsur hara Fosfor
tertinggi terdapat pada tingkat salinitas 11-20 ppt sebesar 0,20 % dan terendah
terdapat pada salinitas 21-30 ppt sebesar 0,18 %.
Saran
Perlu dilakukan uji lanjutan mengenai mikroorganisme seperti fungi dan
jamur yang berperan dalam proses laju dekomposisi serasah daun C. tagal
danpada saat penentuan zona salinitas dilakukan dengan memilih lokasi yang
memiliki faktor lingkungan yang seragam dan minim gangguan.

Universitas Sumatera Utara

4

TINJAUAN PUSTAKA
Mangrove Secara Umum
Hutan mangrove merupakan tipe hutan tropika dan subtropika yang khas,
tumbuh di sepanjang pantai atau muara sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut
air laut. Mangrove banyak di jumpai di wilayah pesisir yang terlindung dari
gempuran ombak dan daerah yang landai. Mangrove tumbuh optimal di wilayah
pesisir yang memiliki muara sungai besar dan delta yang aliran airnya banyak
mengandung lumpur. Sedangkan di wilayah pesisir yang tidak bermuara sungai,
pertumbuhan vegetasi mangrove tidak optimal. Mangrove sulit tumbuh di wilayah
pesisir yang terjal dan berombak besar dengan arus pasang surut kuat, karena
kondisi ini tidak memungkinkan terjadinya pengendapan lumpur yang diperlukan
sebagai substrat bagi pertumbuhannya (Dahuri, 2003).
Hutan mangrove meliputi pohon-pohon dan semak yang tergolong ke
dalam 8 (delapan) famili, dan terdiri atas 12 (dua belas) genera tumbuhan
berbunga yaitu Avicennia, Sonneratia, Rhyzophora, bruguiera, Ceriops,
Xylocarpus, Lumnitzera, Languncularia, Aegiceras, Aegiatilis, Snaeda, dan
Conocarpus (Bengen, 2002).
Mangrove merupakan karakteristik dari bentuk tanaman pantai, estuari
atau muara sungai, dan delta di tempat yang terlindung daerah tropis dan sub
tropis. Dengan demikian maka mangrove merupakan ekosistem yang terdapat di
antara daratan dan lautan dan pada kondisi yang sesuai mangrove akan
membentuk hutan yang ekstensif dan produktif. Karena hidupnya di dekat pantai,
mangrove sering juga dinamakan hutan pantai, hutan pasang surut, hutan payau,
atau hutan bakau. Hutan bakau sebagian besar vegetasinya didominasi oleh jenis

Universitas Sumatera Utara

5

bakau, dan disebut hutan payau karena hutannya tumbuh di atas tanah yang selalu
tergenang oleh air payau (Dedi, 2008).
Bentuk morfologi C. tagal dapat dilihat pada Gambar 1, sedangkan taksonomi C.
tagal adalah sebagai berikut:

Kingdom

: Plantae

Divisi

: Magnoliophyta

Kelas

: Magnoliopsida

Ordo

: Malpighiales

Famili

: Rhizophoraceae

Genus

: Ceriops

Spesies

: Ceriops tagal

Gambar 1. Ceriops tagal
Tengar adalah nama sekelompok tumbuhan dari marga Ceriops, suku
Rhizophoraceae. Dari segi penampilan, tengar mirip dengan bakau, meski
umumnya lebih kecil. Deskripsi umum dari C. tagal yaitu pohon kecil atau semak
dengan ketinggian mencapai 25 m. Kulit kayu berwarna abu-abu, kadang-kadang
coklat, halus dan pangkalnya menggelembung. Memiliki nama ilmiah C. tagal,

Universitas Sumatera Utara

6

tumbuhan ini juga dikenal dengan beberapa nama lain seperti tangar, tengal,
tengah, tingi, palun, parun, bido-bido dan lain-lain (Noor et al., 1999).
Akar banir dari bentukan seperti akar tunjang, kadang membentuk akar
lutut atau akar nafas yang menonjol. Batang berkayu, warna coklat agak jingga.
Bagian bawah batang terdapat banyak akar tunjang dengan panjang ± 50 cm.
Percabangannya banyak dan tidak teratur. Hipokotil berbintil, berkulit halus, agak
menggelembung dan seringkali agak pendek. Leher kotiledon menjadi kuning jika
sudah matang/dewasa. Ukuran hipokotil silindris panjang 4-25 cm dan diameter
8-12 mm. Daun hijau mengkilap dan sering memiliki pinggiran yang melingkar ke
dalam, ukuran daunnya 1-10 x 2-3,5 cm (Noor et al, 1999).
Faktor-Faktor Lingkungan yang Mempengaruhi Pertumbuhan C. tagal
Tanah
Jenis tanah yang mendominasi kawasan mangrove biasanya adalah fraksi
lempeng berdebu, akibat rapatnya bentuk perakaran-perakaran yang ada. Fraksi
lempung berpasir hanya terdapat dibagian depan (arah pantai). Nilai pH tanah
dikawasan mangrove berbeda-beda, tergantung pada tingkat kerapatan vegetasi
yang tumbuh dikawasan tersebut. Jika kerapatan rendah, tanah akan mempunyai
nilai pH yang tinggi. Nilai pH tidak banyak berbeda, yaitu antara 4,6-6,5 dibawah
tegakan jenis Rhizophora spp (Noor et al., 1999).
Hutan mangrove tanahnya selalu basah, mengandung garam, mempunyai
sedikit oksigen dan kaya akan bahan organik. Bahan organik yang terdapat di
dalam tanah, terutama berasal dari sisa tumbuhan yang diproduksi oleh mangrove
sendiri. Serasah secara lambat akan diuraikan oleh mikroorganisme, seperti
bakteri, jamur dan lainnya. Selain itu juga terjadi sedimen halus dan partikel

Universitas Sumatera Utara

7

kasar, seperti potongan batu dan koral, pecahan kulit kerang dan siput. Biasanya
tanah mangrove kurang membentuk lumpur berlempung dan warnanya bervariasi
dari abu-abu muda sampai hitam (Soeroyo, 1993).
Umumnya tanah yang ditumbuhi mangrove adalah tanah-tanah yang
bertekstur halus, mempunyai tingkat kematangan rendah, mempunyai kadar
garam rendah alkalinitas tinggi, dan sering mengandung lapisan sulfat masam atau
bahan sulfidik (cat clay). Kandungan liat atau debu umumnya tinggi, kecuali
tanah-tanah atau pecahan batu karang. Lapisan gambut dengan kandungan garam
tinggi kadang-kadang ditemukan pada tanah mangrove baik di daerah batu karang
maupun di daerah endapan liat (Mardiana, 2005).
Suhu
Suhu penting dalam proses fisiologis, seperti fotosintesis dan respirasi.
Pada Rhizophora spp., Ceriops spp., Exocoecaria spp., dan Lumnitzera spp., laju
tertinggi produksi daun baru adalah pada suhu 26-28 ºC, untuk Bruguiera spp
adalah 27ºC dan Avicennia marina memproduksi daun baru pada suhu 18-20 ºC
(Hutchings and Saenger, 1987).
Pasang Surut
Pasang surut menentukan zonasi komunitas flora dan fauna mangrove.
Durasi pasang surut berpengaruh besar terhadap perubahan salinitas pada areal
mangrove. Salinitas air menjadi sangat tinggi pada saat pasang naik dan menurun
selama pasang surut. Perubahan tingkat salinitas pada saat pasang merupakan
salah satu faktor yang membatasi distribusi jenis mangrove. Pada areal yang
selalu tergenang hanya Rhizophora mucronata yang tumbuh baik, sedangkan

Universitas Sumatera Utara

8

Bruguiera spp dan Xylocarpus spp jarang mendominasi daerah yang sering
tergenang. Pasang surut juga berpengaruh terhadap perpindahan massa antara air
tawar dengan air laut, dan oleh karenanya mempengaruhi organisme mangrove
(Ansori, 1998).
Salinitas
Kebanyakan tumbuhan memiliki toleransi sangat rendah terhadap salinitas,
sehingga tidak mampu tumbuh di dalam atau di dekat air laut. Hal ini terjadi
karena kebanyakan jaringan makhluk hidup lebih cair daripada air laut, akibatnya
air dari dalam jaringan tumbuhan dapat keluar akibat proses osmosis, sehingga
tumbuhan kekeringan, menjadi layu, dan mati. Lingkungan yang keras ini
menyebabkan diversitas hutan mangrove cenderung lebih rendah daripada
umumnya hutan hujan tropis (Noor et al., 1999).
Secara umum di perairan terdapat dua tipe rantai makanan yaitu rantai
makanan langsung dan rantai makanan detritus. Di ekosistem mangrove, rantai
makanan yang ada untuk biota perairan adalah rantai makanan detritus. Detritus
diperoleh dari daun mangrove yang gugur ke perairan kemudian mengalami
penguraian

dan

berubah

menjadi

partikel

kecil

yang

dilakukan

oleh

mikroorganisme seperti bakteri dan fungi (Dedi, 2000 dalam oleh Emma, 2009).
Fungsi Ekologis Hutan Mangrove
Fungsi ekologis mangrove menurut Dahuri et al. (1996) dalam
Azis (2006) adalah sebagai berikut:

Universitas Sumatera Utara

9

a. Dalam ekosistem hutan mangrove terjadi mekanisme hubungan antara
ekosistem mangrove dengan jenis-jenis ekosistem lainnya seperti padang
lamun dan terumbu karang.
b. Dengan sistem perakaran yang kokoh ekosistem hutan mangrove memiliki
kemampuan meredam gelombang, menahan lumpur dan melindungi pantai
dari abrasi, gelombang pasang dan topan.
c. Sebagai pengendalian banjir, hutan mangrove yang banyak tumbuh di daerah
estuaria juga dapat berfungsi untuk mengurangi bencana banjir.
d. Hutan mangrove dapat berfungsi sebagai penyerap bahan pencemar
(environmental service), khususnya bahan-bahan organik.
e. Sebagai penghasil bahan organik yang merupakan mata rantai utama dalam
jaring-jaring makanan di ekosistem pesisir, serasah mangrove yang jatuh dan
gugur ke dalam air akan menjadi substrat yang baik bagi bakteri dan sekaligus
berfungsi membantu proses daun-daun tersebut menjadi detritus. Selanjutnya
detritus menjadi bahan makanan bagi hewan pemakan, seperti cacing, udangudang kecil dan akhirnya hewan-hewan ini akan menjadi makanan larva
ikan,udang, kepiting dan hewan lainnya.
f. Merupakan daerah asuhan (nursery ground) hewan-hewan muda (juvenile
stage) yang akan bertumbuh kembang menjadi hewan-hewan dewasa dan juga
merupakan daerah pemijahan (spawning ground) beberapa perairan seperti
udang,ikan dan kerang-kerangan.
Salinitas Mangrove
Di Indonesia, areal yang selalu digenangi walaupun pada saat pasang
rendah umumnya didominasi oleh Avicennia alba atau Sonneratia alba. Areal

Universitas Sumatera Utara

10

yang digenangi oleh pasang sedang didominasi oleh jenis-jenis Rhizophora.
Adapun areal yang digenangi hanya pada saat pasang tinggi, yang mana areal ini
lebih ke daratan, umumnya didominasi oleh jenis-jenis Bruguiera dan Xylocarpus
granatum, sedangkan areal yang digenangi hanya pada saat pasang tertinggi
(hanya beberapa hari dalam sebulan) umumnya didominasi oleh Bruguiera
sexangula dan Lumnitzera littorea.
Pengaruh Salinitas Terhadap Fisiologi
Dalam kaitannya dengan adaptasi terhadap kandungan garam, mangrove
dikelompokkan menjadi dua kelompok yakni (1) salt-excreting mangrove, seperti
jenis Avicennia, Aegiceras, dan Aegialitis, dan (2) non-secretor mangrove, seperti
jenis Rhizophora, Bruguiera, Sonneratia, dan lain-lain. Sehubungan dengan ini
Hutching dan Saenger (1987) mengemukakan tiga cara mangrove beradaptasi
terhadap garam sebagai berikut:
1. Sekresi garam (salt extrusion/salt secretion)
Flora mangrove menyerap air dengan salinitas tinggi kemudian
mengekskresikan garam dengan kelenjar garam yang terdapat pada daun.
Mekanisme ini dilakukan oleh Avicennia, Sonneratia, Aegiceras, Aegialitis,
Acanthus, Laguncularia dan Rhizophora (melalui unsur-unsur gabus pada
daun).
2. Mencegah masuknya garam (salt exclusion)
Flora mangrove menyerap air tetapi mencegah masuknya garam, melalui
saringan yang terdapat pada akar. Mekanisme ini dilakukan oleh Rhizophora,
Ceriops, Sonneratia, Avicennia, Osbornia, Bruguiera, Excoecaria, Aegiceras,
Aegalitis, dan Acrostichum.

Universitas Sumatera Utara

11

3. Akumulasi garam (salt accumulation)
Flora mangrove seringkali menyimpan Na dan Cl pada bagian kulit
kayu, akar dan daun yang lebih tua. Daun penyimpan garam umumnya
sukulen dan pengguguran daun sukulen ini diperkirakan merupakan
mekanisme mengeluarkan kelebihan garam yang dapat menghambat
pertumbuhan dan pembentukan buah.
Laju Dekomposisi Serasah
Mason (1974) membagi proses-proses dekomposisi menjadi tiga yaitu
pelindihan (leaching), penghawaan (weathering) dan aktivitas biologi. Ketiga
proses tersebut berlangsung secara simultan. Leaching adalah mekanisme
hilangnya bahan-bahan yang dapat larut dari serasah at