Laju Dekomposisi Serasah Daun Ceriops tagal Perr pada Berbagai Tingkat Salinitas di Kampung Nipah Desa Sei Naga Lawan Kecamatan Perbaungan
4
TINJAUAN PUSTAKA
Mangrove Secara Umum
Hutan mangrove merupakan tipe hutan tropika dan subtropika yang khas,
tumbuh di sepanjang pantai atau muara sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut
air laut. Mangrove banyak di jumpai di wilayah pesisir yang terlindung dari
gempuran ombak dan daerah yang landai. Mangrove tumbuh optimal di wilayah
pesisir yang memiliki muara sungai besar dan delta yang aliran airnya banyak
mengandung lumpur. Sedangkan di wilayah pesisir yang tidak bermuara sungai,
pertumbuhan vegetasi mangrove tidak optimal. Mangrove sulit tumbuh di wilayah
pesisir yang terjal dan berombak besar dengan arus pasang surut kuat, karena
kondisi ini tidak memungkinkan terjadinya pengendapan lumpur yang diperlukan
sebagai substrat bagi pertumbuhannya (Dahuri, 2003).
Hutan mangrove meliputi pohon-pohon dan semak yang tergolong ke
dalam 8 (delapan) famili, dan terdiri atas 12 (dua belas) genera tumbuhan
berbunga yaitu Avicennia, Sonneratia, Rhyzophora, bruguiera, Ceriops,
Xylocarpus, Lumnitzera, Languncularia, Aegiceras, Aegiatilis, Snaeda, dan
Conocarpus (Bengen, 2002).
Mangrove merupakan karakteristik dari bentuk tanaman pantai, estuari
atau muara sungai, dan delta di tempat yang terlindung daerah tropis dan sub
tropis. Dengan demikian maka mangrove merupakan ekosistem yang terdapat di
antara daratan dan lautan dan pada kondisi yang sesuai mangrove akan
membentuk hutan yang ekstensif dan produktif. Karena hidupnya di dekat pantai,
mangrove sering juga dinamakan hutan pantai, hutan pasang surut, hutan payau,
atau hutan bakau. Hutan bakau sebagian besar vegetasinya didominasi oleh jenis
Universitas Sumatera Utara
5
bakau, dan disebut hutan payau karena hutannya tumbuh di atas tanah yang selalu
tergenang oleh air payau (Dedi, 2008).
Bentuk morfologi C. tagal dapat dilihat pada Gambar 1, sedangkan taksonomi C.
tagal adalah sebagai berikut:
Kingdom
: Plantae
Divisi
: Magnoliophyta
Kelas
: Magnoliopsida
Ordo
: Malpighiales
Famili
: Rhizophoraceae
Genus
: Ceriops
Spesies
: Ceriops tagal
Gambar 1. Ceriops tagal
Tengar adalah nama sekelompok tumbuhan dari marga Ceriops, suku
Rhizophoraceae. Dari segi penampilan, tengar mirip dengan bakau, meski
umumnya lebih kecil. Deskripsi umum dari C. tagal yaitu pohon kecil atau semak
dengan ketinggian mencapai 25 m. Kulit kayu berwarna abu-abu, kadang-kadang
coklat, halus dan pangkalnya menggelembung. Memiliki nama ilmiah C. tagal,
Universitas Sumatera Utara
6
tumbuhan ini juga dikenal dengan beberapa nama lain seperti tangar, tengal,
tengah, tingi, palun, parun, bido-bido dan lain-lain (Noor et al., 1999).
Akar banir dari bentukan seperti akar tunjang, kadang membentuk akar
lutut atau akar nafas yang menonjol. Batang berkayu, warna coklat agak jingga.
Bagian bawah batang terdapat banyak akar tunjang dengan panjang ± 50 cm.
Percabangannya banyak dan tidak teratur. Hipokotil berbintil, berkulit halus, agak
menggelembung dan seringkali agak pendek. Leher kotiledon menjadi kuning jika
sudah matang/dewasa. Ukuran hipokotil silindris panjang 4-25 cm dan diameter
8-12 mm. Daun hijau mengkilap dan sering memiliki pinggiran yang melingkar ke
dalam, ukuran daunnya 1-10 x 2-3,5 cm (Noor et al, 1999).
Faktor-Faktor Lingkungan yang Mempengaruhi Pertumbuhan C. tagal
Tanah
Jenis tanah yang mendominasi kawasan mangrove biasanya adalah fraksi
lempeng berdebu, akibat rapatnya bentuk perakaran-perakaran yang ada. Fraksi
lempung berpasir hanya terdapat dibagian depan (arah pantai). Nilai pH tanah
dikawasan mangrove berbeda-beda, tergantung pada tingkat kerapatan vegetasi
yang tumbuh dikawasan tersebut. Jika kerapatan rendah, tanah akan mempunyai
nilai pH yang tinggi. Nilai pH tidak banyak berbeda, yaitu antara 4,6-6,5 dibawah
tegakan jenis Rhizophora spp (Noor et al., 1999).
Hutan mangrove tanahnya selalu basah, mengandung garam, mempunyai
sedikit oksigen dan kaya akan bahan organik. Bahan organik yang terdapat di
dalam tanah, terutama berasal dari sisa tumbuhan yang diproduksi oleh mangrove
sendiri. Serasah secara lambat akan diuraikan oleh mikroorganisme, seperti
bakteri, jamur dan lainnya. Selain itu juga terjadi sedimen halus dan partikel
Universitas Sumatera Utara
7
kasar, seperti potongan batu dan koral, pecahan kulit kerang dan siput. Biasanya
tanah mangrove kurang membentuk lumpur berlempung dan warnanya bervariasi
dari abu-abu muda sampai hitam (Soeroyo, 1993).
Umumnya tanah yang ditumbuhi mangrove adalah tanah-tanah yang
bertekstur halus, mempunyai tingkat kematangan rendah, mempunyai kadar
garam rendah alkalinitas tinggi, dan sering mengandung lapisan sulfat masam atau
bahan sulfidik (cat clay). Kandungan liat atau debu umumnya tinggi, kecuali
tanah-tanah atau pecahan batu karang. Lapisan gambut dengan kandungan garam
tinggi kadang-kadang ditemukan pada tanah mangrove baik di daerah batu karang
maupun di daerah endapan liat (Mardiana, 2005).
Suhu
Suhu penting dalam proses fisiologis, seperti fotosintesis dan respirasi.
Pada Rhizophora spp., Ceriops spp., Exocoecaria spp., dan Lumnitzera spp., laju
tertinggi produksi daun baru adalah pada suhu 26-28 ºC, untuk Bruguiera spp
adalah 27ºC dan Avicennia marina memproduksi daun baru pada suhu 18-20 ºC
(Hutchings and Saenger, 1987).
Pasang Surut
Pasang surut menentukan zonasi komunitas flora dan fauna mangrove.
Durasi pasang surut berpengaruh besar terhadap perubahan salinitas pada areal
mangrove. Salinitas air menjadi sangat tinggi pada saat pasang naik dan menurun
selama pasang surut. Perubahan tingkat salinitas pada saat pasang merupakan
salah satu faktor yang membatasi distribusi jenis mangrove. Pada areal yang
selalu tergenang hanya Rhizophora mucronata yang tumbuh baik, sedangkan
Universitas Sumatera Utara
8
Bruguiera spp dan Xylocarpus spp jarang mendominasi daerah yang sering
tergenang. Pasang surut juga berpengaruh terhadap perpindahan massa antara air
tawar dengan air laut, dan oleh karenanya mempengaruhi organisme mangrove
(Ansori, 1998).
Salinitas
Kebanyakan tumbuhan memiliki toleransi sangat rendah terhadap salinitas,
sehingga tidak mampu tumbuh di dalam atau di dekat air laut. Hal ini terjadi
karena kebanyakan jaringan makhluk hidup lebih cair daripada air laut, akibatnya
air dari dalam jaringan tumbuhan dapat keluar akibat proses osmosis, sehingga
tumbuhan kekeringan, menjadi layu, dan mati. Lingkungan yang keras ini
menyebabkan diversitas hutan mangrove cenderung lebih rendah daripada
umumnya hutan hujan tropis (Noor et al., 1999).
Secara umum di perairan terdapat dua tipe rantai makanan yaitu rantai
makanan langsung dan rantai makanan detritus. Di ekosistem mangrove, rantai
makanan yang ada untuk biota perairan adalah rantai makanan detritus. Detritus
diperoleh dari daun mangrove yang gugur ke perairan kemudian mengalami
penguraian
dan
berubah
menjadi
partikel
kecil
yang
dilakukan
oleh
mikroorganisme seperti bakteri dan fungi (Dedi, 2000 dalam oleh Emma, 2009).
Fungsi Ekologis Hutan Mangrove
Fungsi ekologis mangrove menurut Dahuri et al. (1996) dalam
Azis (2006) adalah sebagai berikut:
Universitas Sumatera Utara
9
a. Dalam ekosistem hutan mangrove terjadi mekanisme hubungan antara
ekosistem mangrove dengan jenis-jenis ekosistem lainnya seperti padang
lamun dan terumbu karang.
b. Dengan sistem perakaran yang kokoh ekosistem hutan mangrove memiliki
kemampuan meredam gelombang, menahan lumpur dan melindungi pantai
dari abrasi, gelombang pasang dan topan.
c. Sebagai pengendalian banjir, hutan mangrove yang banyak tumbuh di daerah
estuaria juga dapat berfungsi untuk mengurangi bencana banjir.
d. Hutan mangrove dapat berfungsi sebagai penyerap bahan pencemar
(environmental service), khususnya bahan-bahan organik.
e. Sebagai penghasil bahan organik yang merupakan mata rantai utama dalam
jaring-jaring makanan di ekosistem pesisir, serasah mangrove yang jatuh dan
gugur ke dalam air akan menjadi substrat yang baik bagi bakteri dan sekaligus
berfungsi membantu proses daun-daun tersebut menjadi detritus. Selanjutnya
detritus menjadi bahan makanan bagi hewan pemakan, seperti cacing, udangudang kecil dan akhirnya hewan-hewan ini akan menjadi makanan larva
ikan,udang, kepiting dan hewan lainnya.
f. Merupakan daerah asuhan (nursery ground) hewan-hewan muda (juvenile
stage) yang akan bertumbuh kembang menjadi hewan-hewan dewasa dan juga
merupakan daerah pemijahan (spawning ground) beberapa perairan seperti
udang,ikan dan kerang-kerangan.
Salinitas Mangrove
Di Indonesia, areal yang selalu digenangi walaupun pada saat pasang
rendah umumnya didominasi oleh Avicennia alba atau Sonneratia alba. Areal
Universitas Sumatera Utara
10
yang digenangi oleh pasang sedang didominasi oleh jenis-jenis Rhizophora.
Adapun areal yang digenangi hanya pada saat pasang tinggi, yang mana areal ini
lebih ke daratan, umumnya didominasi oleh jenis-jenis Bruguiera dan Xylocarpus
granatum, sedangkan areal yang digenangi hanya pada saat pasang tertinggi
(hanya beberapa hari dalam sebulan) umumnya didominasi oleh Bruguiera
sexangula dan Lumnitzera littorea.
Pengaruh Salinitas Terhadap Fisiologi
Dalam kaitannya dengan adaptasi terhadap kandungan garam, mangrove
dikelompokkan menjadi dua kelompok yakni (1) salt-excreting mangrove, seperti
jenis Avicennia, Aegiceras, dan Aegialitis, dan (2) non-secretor mangrove, seperti
jenis Rhizophora, Bruguiera, Sonneratia, dan lain-lain. Sehubungan dengan ini
Hutching dan Saenger (1987) mengemukakan tiga cara mangrove beradaptasi
terhadap garam sebagai berikut:
1. Sekresi garam (salt extrusion/salt secretion)
Flora mangrove menyerap air dengan salinitas tinggi kemudian
mengekskresikan garam dengan kelenjar garam yang terdapat pada daun.
Mekanisme ini dilakukan oleh Avicennia, Sonneratia, Aegiceras, Aegialitis,
Acanthus, Laguncularia dan Rhizophora (melalui unsur-unsur gabus pada
daun).
2. Mencegah masuknya garam (salt exclusion)
Flora mangrove menyerap air tetapi mencegah masuknya garam, melalui
saringan yang terdapat pada akar. Mekanisme ini dilakukan oleh Rhizophora,
Ceriops, Sonneratia, Avicennia, Osbornia, Bruguiera, Excoecaria, Aegiceras,
Aegalitis, dan Acrostichum.
Universitas Sumatera Utara
11
3. Akumulasi garam (salt accumulation)
Flora mangrove seringkali menyimpan Na dan Cl pada bagian kulit
kayu, akar dan daun yang lebih tua. Daun penyimpan garam umumnya
sukulen dan pengguguran daun sukulen ini diperkirakan merupakan
mekanisme mengeluarkan kelebihan garam yang dapat menghambat
pertumbuhan dan pembentukan buah.
Laju Dekomposisi Serasah
Mason (1974) membagi proses-proses dekomposisi menjadi tiga yaitu
pelindihan (leaching), penghawaan (weathering) dan aktivitas biologi. Ketiga
proses tersebut berlangsung secara simultan. Leaching adalah mekanisme
hilangnya bahan-bahan yang dapat larut dari serasah atau detritus organik oleh
hujan atau aliran air. Weathering adalah mekanisme pelapukan oleh faktor-faktor
fisik, seperti pengikisan dan penguapan air dari serasah oleh angin, es dan
pergerakan gelombang. Aktivitas biologi adalah proses yang menghasilkan
pecahan-pecahan detritus bahan organik secara bertahap oleh mahkluk hidup.
Makhluk hidup yang melakukan dekomposisi dikenal sebagai dekomposer,
pengurai atau saproba. Serasah atau organik yang berasal dari bahan tumbuhan
yang telah mati setelah mengalami beberapa tahapan dekomposisi dapat
menghasilkan energi potensial bagi kehidupan konsumer. Sebutan serasah
biasanya digunakan untuk bahan dalam ekosistem daratan khususnya bahan yang
berasal dari tumbuhan tingkat tinggi, sedang detritus digunakan untuk bahan
dalam ekosistem perairan.
Proses dekomposisi dimulai dari proses penghancuran yang dilakukan oleh
makrobentos terhadap tumbuhan dan sisa bahan organik mati selanjutnya menjadi
Universitas Sumatera Utara
12
ukuran yang lebih kecil. Kemudian dilanjutkan dengan proses biologi yang
dilakukan oleh bakteri dan fungi untuk menguraikan partikel-partikel organik.
Proses dekomposisi oleh bakteri dan fungi sebagai dekomposer mengeluarkan
enzim yang dapat menguraikan bahan organik menjadi protein. Kecepatan
terdekomposisi mungkin berbeda dari waktu ke waktu tergantung faktor-faktor
yang mempengaruhinya (Sunarto, 2003).
Laju dekomposisi bahan organik ditentukan oleh faktor bahan organik dan
lingkungan yang mempengaruhi berbagai aktivitas organisme, organisme tersebut
membantu pada proses awal perombakan bahan organik dalam tanah
(Notohadiprawiro, 1998).
Proses dekomposisi serasah daun A. marina terjadi selama 105 hari. Hasil
penelitian memperlihatkan adanya perubahan berat kering dan perubahan fisik
serasah daun A. marina yang bervariasi. Rata-rata berat kering berbeda-beda pada
setiap stasiun. Pada hari ke-105, bobot berat kering serasah daun A. marina pada
stasiun I adalah sebesar 1,83, stasiun II sebesar 5,0, dan pada stasiun III sebesar
3,73. Nilai bobot kering terendah terdapat pada stasiun I sebesar 1,83 yang artinya
stasiun I mengalami laju dekomposisi paling cepat. Hal ini sesuai dengan literatur
(Indriani, 2008), Perubahan bobot kering serasah daun A. marina mengalami
penurunan dengan lamanya penguraian per 15 hari. Penurunan berat kering daun
terbesar yaitu pada daerah dekat dengan aliran air laut yang berfungsi untuk
memberikan asupan air laut bagi tambak-tambak di sekitarnya (Naibaho, 2014).
Kecepatan dekomposisi serasah dapat diketahui dengan menempatkan
serasah daun mangrove yang massanya diketahui di dalam kantong serasah yang
tidak dapat dimasuki oleh mikrofauna pemakan daun serasah daun, seperti
Universitas Sumatera Utara
13
Gastropoda dan kepiting. Kantong-kantong berisi serasah daun ini selanjutnya
ditempatkan di areal mangrove dan pengamatan dilakukan dengan selang waktu
tertentu. Tiap kali pengamatan sisa serasah yang terdapat dalam kantong tersebut
ditimbang (Hogarth, 1999).
Hasil Penelitian Odum dan Heald (1975) dilaporkan bahwa sekitar 83%
dari total produksi daun daun mangrove (880 gram berat kering/m²/tahun)
didekomposisi. Lebih lanjut dilaporkan bahwa laju dekomposisi serasah daun
tersebut sangat bervariasi, tergantung kondisi substrat dimana serasah daun
tersebut jatuh. Serasah daun yang jatuh di tempat atau substrat dasar yang kering,
proses dekomposisinya cenderung lebih lambat dibandingkan bila jatuh di
perairan. Adapun kecepatan dekomposisinya juga berbeda, tergantung pada kadar
garam perairan dimana serasah daun itu jatuh, air laut cenderung lebih cepat
mendekomposisi serasah daun mangrove dibandingkan dengan air payau dan
terlambat adalah air tawar.
Perubahan bobot serasah per satuan waktu disebabkan terjadinya proses
dekomposisi dimana mikroorganisme tanah memanfaatkan karbon serasah sebagai
bahan makanan dan membebaskannya sebagai CO2. Perubahan bobot molekul
juga terjadi pada proses dimana senyawa kompleks yang berbobot molekul tinggi
akan diubah menjadi senyawa yang lebih sederhana dengan bobot molekul yang
lebih rendah (Aprianis, 2011).
Laju dekomposisi serasah dipengaruhi oleh jenis serasah, jenis pohon, dan
penggenangan lantai hutan mangrove oleh air laut (Day, 1982 dalam oleh
Alrasjid, 1986). Selama 10 sampai 14 hari, hampir semua kehilangan bobot
serasah daun secara fisik yang menyebabkan karbon organik terlarut (Dissolved
Universitas Sumatera Utara
14
Organic Carbon) tercuci. Diketahui bahwa sekitar 30 sampai 50 persen bahanbahan organik serasah daun hilang dengan cara seperti ini dan sisanya yaitu
karbohidrat seperti selulosa yang tidak larut. Bahan-bahan ini selanjutnya
diuraikan dengan bantuan enzim ekstraseluler yang dihasilkan oleh bakteri atau
fungi. Satu di antara berbagai macam substrat yang banyak terurai di awal proses
dekomposisi adalah tannin. Keberadaan tannin pada serasah daun dapat
menghambat pertumbuhan bakteri pada serasah daun yang mengalami
dekomposisi,
terjadi
setelah
kandungan
taninnya
berkurang
(Gonzales dan Mee, 1988 dalam Yunasfi, 2006).
Faktor fisik kimia lingkungan, termasuk salinitas mempengaruhi
keberadaan mikroorganisme dimana suatu mikroorganisme memiliki kemampuan
beradaptasi yang tinggi terhadap lingkungannya dalam melangsungkan aktivitas
kehidupan meliputi pertumbuhan, menghasilkan energi dan bereproduksi
(Darkuni, 2001).
Dekomposisi menjadi sempurna ketika campuran bahan organik
dikembalikan kelingkungan dalam bentuk anorganik atau bentuk mineral, yaitu
karbon dalam bentuk karbondioksida, nitrogen dalam bentuk ammonia dan fosfor
dalam bentuk fosfat (Moore-Landecker, 1990).
Dari hasil penelitian Dewi (2010) tentang laju dekomposisi serasah daun
Avicennia marina di hutan mangrove Sicanang Belawan, Medan. Didapatkan laju
dekomposisi daun Avicennia marina pada tingkat salinitas 0-10 ppt, 10-20 ppt,
20-30 ppt, dan >30 ppt dapat dilihat pada Tabel 1.
Universitas Sumatera Utara
15
Tabel 1. Laju dekomposisi serasah daun Avicennia marina pada berbagai tingkat
salinitas di Secanang Belawan
Laju Dekomposisi (gram)
Salinitas
Kontrol Hari ke-15 Hari ke-30 Hari ke-45 Hari ke-60
0-10 ppt
50
25,11
27,23
20,28
19,06
10-20 ppt
50
30,02
32,84
16,13
16,23
20-30 ppt
50
25,68
41,86
39,3
36,3
>30 ppt
50
22,87
17,87
10,69
9,49
Sumber : Dewi (2010).
Ratio C/N merupakan faktor kimia pembentuk kecepatan dekomposisi dan
mineralisasi nitrogen. Penyebab pembusukan pada bahan organik diakibatkan
adanya karbon dan nitrogen. Rasio C/N digunakan untuk mendapatkan degradasi
biologis dan bahan-bahan organik yaitu sampah tersebut baik atau tidak untuk
dijadikan kompos, serta menunjukkan kematangan kompos (Allo., dkk 2014).
Penguraian bahan-bahan organik yang terkandung dalam sampah organik
daun adalah hasil kegiatan penguraian oleh mikroorganisme dan selanjutnya
diperlukan oleh
mikroorganisme itu sendiri sebagai sumber energi. Adanya
perbedaan hasil pengiraian bahan organik dapat disebabkan oleh perbedaan
bioaktivator yang diberikan dan kandungan mikroorganisme yang ada dalam
activator (Marady, 2009 dalam Allo., dkk 2014).
Dengan bertambahnya waktu, kadarnitrogen organik berkurang karena
konversi menjadi amonia. Beberapa jenis organisme memanfaatkan nitrogen pada
daun dan mengeluarkan tinja (kotoran) dari organisme tersebut. Kotoran itu
mengandung amonia yang menempel pada serasah daun tanaman. Berdasarkan
jumlah makrobentos memiliki empat tingkat salinitas kandungan nitrogen yang
(Effendi, 2003 dalam Gultom, 2009).
Nilai N yang mengalami peningkatan dan penurunan selama proses
pengomposan, hal ini dikarenakan nitrogen (N) yang bersifat fluktuatif. Secara
Universitas Sumatera Utara
16
keseluruhan kadar nitrogen pada kompos matang masing-masing komposter
mengalami peningkatan. Kadar nitrogen dibutuhkan mikroorganisme untuk
memelihara dan pembentukan sel tubuh. Semakin banyak kandungan nitrogen,
maka akan semakin cepat bahan organik terurai, karena mikroorganisme yang
menguraikan bahan kompos memerlukan nitrogen untuk perkembangannya
(Sriharti, 2008).
Perkembangan salinitas berpengaruh terhadap perkembangan jenis
makrobentos. Adanya masukan air sungai atau hujan akan menurunkan kadar
salinitas,
yang
mengakibatkankematian
beberapa
makrobentos
tersebut.
Kehidupan beberapa makrobentos tergantung pada rendahnyasalinitas, tetapi ada
juga sebaliknya. Aktivitas makroorganisme yang tahan terhadap salinitas yang
tinggi dan mikoorganisme membantu dalam proses pendekomposisian bahan
organik dalam tanah (Arief, 2003 dalam Gultom, 2009).
Menurut Effendi (2003) kadar karbondioksida di perairan dapat
mengalami pengurangan akibat proses fotosintesis dan evaporasi yang terjadi.
Karbon yang terdapat di atmosfer dan perairan diubah menjadi karbon organik
melalui proses fotosintesis. Di perairan, bentuk unsur fosfor berubah secara terusmenerus, akibat proses dekomposisi dan sintesis antara bentuk organik dan bentuk
anorganik yang dilakukan oleh mikroba. Keberadaan fosfor yang berlebihan dapat
diakibatkan oleh pertumbuhan alga di perairan.
Universitas Sumatera Utara
TINJAUAN PUSTAKA
Mangrove Secara Umum
Hutan mangrove merupakan tipe hutan tropika dan subtropika yang khas,
tumbuh di sepanjang pantai atau muara sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut
air laut. Mangrove banyak di jumpai di wilayah pesisir yang terlindung dari
gempuran ombak dan daerah yang landai. Mangrove tumbuh optimal di wilayah
pesisir yang memiliki muara sungai besar dan delta yang aliran airnya banyak
mengandung lumpur. Sedangkan di wilayah pesisir yang tidak bermuara sungai,
pertumbuhan vegetasi mangrove tidak optimal. Mangrove sulit tumbuh di wilayah
pesisir yang terjal dan berombak besar dengan arus pasang surut kuat, karena
kondisi ini tidak memungkinkan terjadinya pengendapan lumpur yang diperlukan
sebagai substrat bagi pertumbuhannya (Dahuri, 2003).
Hutan mangrove meliputi pohon-pohon dan semak yang tergolong ke
dalam 8 (delapan) famili, dan terdiri atas 12 (dua belas) genera tumbuhan
berbunga yaitu Avicennia, Sonneratia, Rhyzophora, bruguiera, Ceriops,
Xylocarpus, Lumnitzera, Languncularia, Aegiceras, Aegiatilis, Snaeda, dan
Conocarpus (Bengen, 2002).
Mangrove merupakan karakteristik dari bentuk tanaman pantai, estuari
atau muara sungai, dan delta di tempat yang terlindung daerah tropis dan sub
tropis. Dengan demikian maka mangrove merupakan ekosistem yang terdapat di
antara daratan dan lautan dan pada kondisi yang sesuai mangrove akan
membentuk hutan yang ekstensif dan produktif. Karena hidupnya di dekat pantai,
mangrove sering juga dinamakan hutan pantai, hutan pasang surut, hutan payau,
atau hutan bakau. Hutan bakau sebagian besar vegetasinya didominasi oleh jenis
Universitas Sumatera Utara
5
bakau, dan disebut hutan payau karena hutannya tumbuh di atas tanah yang selalu
tergenang oleh air payau (Dedi, 2008).
Bentuk morfologi C. tagal dapat dilihat pada Gambar 1, sedangkan taksonomi C.
tagal adalah sebagai berikut:
Kingdom
: Plantae
Divisi
: Magnoliophyta
Kelas
: Magnoliopsida
Ordo
: Malpighiales
Famili
: Rhizophoraceae
Genus
: Ceriops
Spesies
: Ceriops tagal
Gambar 1. Ceriops tagal
Tengar adalah nama sekelompok tumbuhan dari marga Ceriops, suku
Rhizophoraceae. Dari segi penampilan, tengar mirip dengan bakau, meski
umumnya lebih kecil. Deskripsi umum dari C. tagal yaitu pohon kecil atau semak
dengan ketinggian mencapai 25 m. Kulit kayu berwarna abu-abu, kadang-kadang
coklat, halus dan pangkalnya menggelembung. Memiliki nama ilmiah C. tagal,
Universitas Sumatera Utara
6
tumbuhan ini juga dikenal dengan beberapa nama lain seperti tangar, tengal,
tengah, tingi, palun, parun, bido-bido dan lain-lain (Noor et al., 1999).
Akar banir dari bentukan seperti akar tunjang, kadang membentuk akar
lutut atau akar nafas yang menonjol. Batang berkayu, warna coklat agak jingga.
Bagian bawah batang terdapat banyak akar tunjang dengan panjang ± 50 cm.
Percabangannya banyak dan tidak teratur. Hipokotil berbintil, berkulit halus, agak
menggelembung dan seringkali agak pendek. Leher kotiledon menjadi kuning jika
sudah matang/dewasa. Ukuran hipokotil silindris panjang 4-25 cm dan diameter
8-12 mm. Daun hijau mengkilap dan sering memiliki pinggiran yang melingkar ke
dalam, ukuran daunnya 1-10 x 2-3,5 cm (Noor et al, 1999).
Faktor-Faktor Lingkungan yang Mempengaruhi Pertumbuhan C. tagal
Tanah
Jenis tanah yang mendominasi kawasan mangrove biasanya adalah fraksi
lempeng berdebu, akibat rapatnya bentuk perakaran-perakaran yang ada. Fraksi
lempung berpasir hanya terdapat dibagian depan (arah pantai). Nilai pH tanah
dikawasan mangrove berbeda-beda, tergantung pada tingkat kerapatan vegetasi
yang tumbuh dikawasan tersebut. Jika kerapatan rendah, tanah akan mempunyai
nilai pH yang tinggi. Nilai pH tidak banyak berbeda, yaitu antara 4,6-6,5 dibawah
tegakan jenis Rhizophora spp (Noor et al., 1999).
Hutan mangrove tanahnya selalu basah, mengandung garam, mempunyai
sedikit oksigen dan kaya akan bahan organik. Bahan organik yang terdapat di
dalam tanah, terutama berasal dari sisa tumbuhan yang diproduksi oleh mangrove
sendiri. Serasah secara lambat akan diuraikan oleh mikroorganisme, seperti
bakteri, jamur dan lainnya. Selain itu juga terjadi sedimen halus dan partikel
Universitas Sumatera Utara
7
kasar, seperti potongan batu dan koral, pecahan kulit kerang dan siput. Biasanya
tanah mangrove kurang membentuk lumpur berlempung dan warnanya bervariasi
dari abu-abu muda sampai hitam (Soeroyo, 1993).
Umumnya tanah yang ditumbuhi mangrove adalah tanah-tanah yang
bertekstur halus, mempunyai tingkat kematangan rendah, mempunyai kadar
garam rendah alkalinitas tinggi, dan sering mengandung lapisan sulfat masam atau
bahan sulfidik (cat clay). Kandungan liat atau debu umumnya tinggi, kecuali
tanah-tanah atau pecahan batu karang. Lapisan gambut dengan kandungan garam
tinggi kadang-kadang ditemukan pada tanah mangrove baik di daerah batu karang
maupun di daerah endapan liat (Mardiana, 2005).
Suhu
Suhu penting dalam proses fisiologis, seperti fotosintesis dan respirasi.
Pada Rhizophora spp., Ceriops spp., Exocoecaria spp., dan Lumnitzera spp., laju
tertinggi produksi daun baru adalah pada suhu 26-28 ºC, untuk Bruguiera spp
adalah 27ºC dan Avicennia marina memproduksi daun baru pada suhu 18-20 ºC
(Hutchings and Saenger, 1987).
Pasang Surut
Pasang surut menentukan zonasi komunitas flora dan fauna mangrove.
Durasi pasang surut berpengaruh besar terhadap perubahan salinitas pada areal
mangrove. Salinitas air menjadi sangat tinggi pada saat pasang naik dan menurun
selama pasang surut. Perubahan tingkat salinitas pada saat pasang merupakan
salah satu faktor yang membatasi distribusi jenis mangrove. Pada areal yang
selalu tergenang hanya Rhizophora mucronata yang tumbuh baik, sedangkan
Universitas Sumatera Utara
8
Bruguiera spp dan Xylocarpus spp jarang mendominasi daerah yang sering
tergenang. Pasang surut juga berpengaruh terhadap perpindahan massa antara air
tawar dengan air laut, dan oleh karenanya mempengaruhi organisme mangrove
(Ansori, 1998).
Salinitas
Kebanyakan tumbuhan memiliki toleransi sangat rendah terhadap salinitas,
sehingga tidak mampu tumbuh di dalam atau di dekat air laut. Hal ini terjadi
karena kebanyakan jaringan makhluk hidup lebih cair daripada air laut, akibatnya
air dari dalam jaringan tumbuhan dapat keluar akibat proses osmosis, sehingga
tumbuhan kekeringan, menjadi layu, dan mati. Lingkungan yang keras ini
menyebabkan diversitas hutan mangrove cenderung lebih rendah daripada
umumnya hutan hujan tropis (Noor et al., 1999).
Secara umum di perairan terdapat dua tipe rantai makanan yaitu rantai
makanan langsung dan rantai makanan detritus. Di ekosistem mangrove, rantai
makanan yang ada untuk biota perairan adalah rantai makanan detritus. Detritus
diperoleh dari daun mangrove yang gugur ke perairan kemudian mengalami
penguraian
dan
berubah
menjadi
partikel
kecil
yang
dilakukan
oleh
mikroorganisme seperti bakteri dan fungi (Dedi, 2000 dalam oleh Emma, 2009).
Fungsi Ekologis Hutan Mangrove
Fungsi ekologis mangrove menurut Dahuri et al. (1996) dalam
Azis (2006) adalah sebagai berikut:
Universitas Sumatera Utara
9
a. Dalam ekosistem hutan mangrove terjadi mekanisme hubungan antara
ekosistem mangrove dengan jenis-jenis ekosistem lainnya seperti padang
lamun dan terumbu karang.
b. Dengan sistem perakaran yang kokoh ekosistem hutan mangrove memiliki
kemampuan meredam gelombang, menahan lumpur dan melindungi pantai
dari abrasi, gelombang pasang dan topan.
c. Sebagai pengendalian banjir, hutan mangrove yang banyak tumbuh di daerah
estuaria juga dapat berfungsi untuk mengurangi bencana banjir.
d. Hutan mangrove dapat berfungsi sebagai penyerap bahan pencemar
(environmental service), khususnya bahan-bahan organik.
e. Sebagai penghasil bahan organik yang merupakan mata rantai utama dalam
jaring-jaring makanan di ekosistem pesisir, serasah mangrove yang jatuh dan
gugur ke dalam air akan menjadi substrat yang baik bagi bakteri dan sekaligus
berfungsi membantu proses daun-daun tersebut menjadi detritus. Selanjutnya
detritus menjadi bahan makanan bagi hewan pemakan, seperti cacing, udangudang kecil dan akhirnya hewan-hewan ini akan menjadi makanan larva
ikan,udang, kepiting dan hewan lainnya.
f. Merupakan daerah asuhan (nursery ground) hewan-hewan muda (juvenile
stage) yang akan bertumbuh kembang menjadi hewan-hewan dewasa dan juga
merupakan daerah pemijahan (spawning ground) beberapa perairan seperti
udang,ikan dan kerang-kerangan.
Salinitas Mangrove
Di Indonesia, areal yang selalu digenangi walaupun pada saat pasang
rendah umumnya didominasi oleh Avicennia alba atau Sonneratia alba. Areal
Universitas Sumatera Utara
10
yang digenangi oleh pasang sedang didominasi oleh jenis-jenis Rhizophora.
Adapun areal yang digenangi hanya pada saat pasang tinggi, yang mana areal ini
lebih ke daratan, umumnya didominasi oleh jenis-jenis Bruguiera dan Xylocarpus
granatum, sedangkan areal yang digenangi hanya pada saat pasang tertinggi
(hanya beberapa hari dalam sebulan) umumnya didominasi oleh Bruguiera
sexangula dan Lumnitzera littorea.
Pengaruh Salinitas Terhadap Fisiologi
Dalam kaitannya dengan adaptasi terhadap kandungan garam, mangrove
dikelompokkan menjadi dua kelompok yakni (1) salt-excreting mangrove, seperti
jenis Avicennia, Aegiceras, dan Aegialitis, dan (2) non-secretor mangrove, seperti
jenis Rhizophora, Bruguiera, Sonneratia, dan lain-lain. Sehubungan dengan ini
Hutching dan Saenger (1987) mengemukakan tiga cara mangrove beradaptasi
terhadap garam sebagai berikut:
1. Sekresi garam (salt extrusion/salt secretion)
Flora mangrove menyerap air dengan salinitas tinggi kemudian
mengekskresikan garam dengan kelenjar garam yang terdapat pada daun.
Mekanisme ini dilakukan oleh Avicennia, Sonneratia, Aegiceras, Aegialitis,
Acanthus, Laguncularia dan Rhizophora (melalui unsur-unsur gabus pada
daun).
2. Mencegah masuknya garam (salt exclusion)
Flora mangrove menyerap air tetapi mencegah masuknya garam, melalui
saringan yang terdapat pada akar. Mekanisme ini dilakukan oleh Rhizophora,
Ceriops, Sonneratia, Avicennia, Osbornia, Bruguiera, Excoecaria, Aegiceras,
Aegalitis, dan Acrostichum.
Universitas Sumatera Utara
11
3. Akumulasi garam (salt accumulation)
Flora mangrove seringkali menyimpan Na dan Cl pada bagian kulit
kayu, akar dan daun yang lebih tua. Daun penyimpan garam umumnya
sukulen dan pengguguran daun sukulen ini diperkirakan merupakan
mekanisme mengeluarkan kelebihan garam yang dapat menghambat
pertumbuhan dan pembentukan buah.
Laju Dekomposisi Serasah
Mason (1974) membagi proses-proses dekomposisi menjadi tiga yaitu
pelindihan (leaching), penghawaan (weathering) dan aktivitas biologi. Ketiga
proses tersebut berlangsung secara simultan. Leaching adalah mekanisme
hilangnya bahan-bahan yang dapat larut dari serasah atau detritus organik oleh
hujan atau aliran air. Weathering adalah mekanisme pelapukan oleh faktor-faktor
fisik, seperti pengikisan dan penguapan air dari serasah oleh angin, es dan
pergerakan gelombang. Aktivitas biologi adalah proses yang menghasilkan
pecahan-pecahan detritus bahan organik secara bertahap oleh mahkluk hidup.
Makhluk hidup yang melakukan dekomposisi dikenal sebagai dekomposer,
pengurai atau saproba. Serasah atau organik yang berasal dari bahan tumbuhan
yang telah mati setelah mengalami beberapa tahapan dekomposisi dapat
menghasilkan energi potensial bagi kehidupan konsumer. Sebutan serasah
biasanya digunakan untuk bahan dalam ekosistem daratan khususnya bahan yang
berasal dari tumbuhan tingkat tinggi, sedang detritus digunakan untuk bahan
dalam ekosistem perairan.
Proses dekomposisi dimulai dari proses penghancuran yang dilakukan oleh
makrobentos terhadap tumbuhan dan sisa bahan organik mati selanjutnya menjadi
Universitas Sumatera Utara
12
ukuran yang lebih kecil. Kemudian dilanjutkan dengan proses biologi yang
dilakukan oleh bakteri dan fungi untuk menguraikan partikel-partikel organik.
Proses dekomposisi oleh bakteri dan fungi sebagai dekomposer mengeluarkan
enzim yang dapat menguraikan bahan organik menjadi protein. Kecepatan
terdekomposisi mungkin berbeda dari waktu ke waktu tergantung faktor-faktor
yang mempengaruhinya (Sunarto, 2003).
Laju dekomposisi bahan organik ditentukan oleh faktor bahan organik dan
lingkungan yang mempengaruhi berbagai aktivitas organisme, organisme tersebut
membantu pada proses awal perombakan bahan organik dalam tanah
(Notohadiprawiro, 1998).
Proses dekomposisi serasah daun A. marina terjadi selama 105 hari. Hasil
penelitian memperlihatkan adanya perubahan berat kering dan perubahan fisik
serasah daun A. marina yang bervariasi. Rata-rata berat kering berbeda-beda pada
setiap stasiun. Pada hari ke-105, bobot berat kering serasah daun A. marina pada
stasiun I adalah sebesar 1,83, stasiun II sebesar 5,0, dan pada stasiun III sebesar
3,73. Nilai bobot kering terendah terdapat pada stasiun I sebesar 1,83 yang artinya
stasiun I mengalami laju dekomposisi paling cepat. Hal ini sesuai dengan literatur
(Indriani, 2008), Perubahan bobot kering serasah daun A. marina mengalami
penurunan dengan lamanya penguraian per 15 hari. Penurunan berat kering daun
terbesar yaitu pada daerah dekat dengan aliran air laut yang berfungsi untuk
memberikan asupan air laut bagi tambak-tambak di sekitarnya (Naibaho, 2014).
Kecepatan dekomposisi serasah dapat diketahui dengan menempatkan
serasah daun mangrove yang massanya diketahui di dalam kantong serasah yang
tidak dapat dimasuki oleh mikrofauna pemakan daun serasah daun, seperti
Universitas Sumatera Utara
13
Gastropoda dan kepiting. Kantong-kantong berisi serasah daun ini selanjutnya
ditempatkan di areal mangrove dan pengamatan dilakukan dengan selang waktu
tertentu. Tiap kali pengamatan sisa serasah yang terdapat dalam kantong tersebut
ditimbang (Hogarth, 1999).
Hasil Penelitian Odum dan Heald (1975) dilaporkan bahwa sekitar 83%
dari total produksi daun daun mangrove (880 gram berat kering/m²/tahun)
didekomposisi. Lebih lanjut dilaporkan bahwa laju dekomposisi serasah daun
tersebut sangat bervariasi, tergantung kondisi substrat dimana serasah daun
tersebut jatuh. Serasah daun yang jatuh di tempat atau substrat dasar yang kering,
proses dekomposisinya cenderung lebih lambat dibandingkan bila jatuh di
perairan. Adapun kecepatan dekomposisinya juga berbeda, tergantung pada kadar
garam perairan dimana serasah daun itu jatuh, air laut cenderung lebih cepat
mendekomposisi serasah daun mangrove dibandingkan dengan air payau dan
terlambat adalah air tawar.
Perubahan bobot serasah per satuan waktu disebabkan terjadinya proses
dekomposisi dimana mikroorganisme tanah memanfaatkan karbon serasah sebagai
bahan makanan dan membebaskannya sebagai CO2. Perubahan bobot molekul
juga terjadi pada proses dimana senyawa kompleks yang berbobot molekul tinggi
akan diubah menjadi senyawa yang lebih sederhana dengan bobot molekul yang
lebih rendah (Aprianis, 2011).
Laju dekomposisi serasah dipengaruhi oleh jenis serasah, jenis pohon, dan
penggenangan lantai hutan mangrove oleh air laut (Day, 1982 dalam oleh
Alrasjid, 1986). Selama 10 sampai 14 hari, hampir semua kehilangan bobot
serasah daun secara fisik yang menyebabkan karbon organik terlarut (Dissolved
Universitas Sumatera Utara
14
Organic Carbon) tercuci. Diketahui bahwa sekitar 30 sampai 50 persen bahanbahan organik serasah daun hilang dengan cara seperti ini dan sisanya yaitu
karbohidrat seperti selulosa yang tidak larut. Bahan-bahan ini selanjutnya
diuraikan dengan bantuan enzim ekstraseluler yang dihasilkan oleh bakteri atau
fungi. Satu di antara berbagai macam substrat yang banyak terurai di awal proses
dekomposisi adalah tannin. Keberadaan tannin pada serasah daun dapat
menghambat pertumbuhan bakteri pada serasah daun yang mengalami
dekomposisi,
terjadi
setelah
kandungan
taninnya
berkurang
(Gonzales dan Mee, 1988 dalam Yunasfi, 2006).
Faktor fisik kimia lingkungan, termasuk salinitas mempengaruhi
keberadaan mikroorganisme dimana suatu mikroorganisme memiliki kemampuan
beradaptasi yang tinggi terhadap lingkungannya dalam melangsungkan aktivitas
kehidupan meliputi pertumbuhan, menghasilkan energi dan bereproduksi
(Darkuni, 2001).
Dekomposisi menjadi sempurna ketika campuran bahan organik
dikembalikan kelingkungan dalam bentuk anorganik atau bentuk mineral, yaitu
karbon dalam bentuk karbondioksida, nitrogen dalam bentuk ammonia dan fosfor
dalam bentuk fosfat (Moore-Landecker, 1990).
Dari hasil penelitian Dewi (2010) tentang laju dekomposisi serasah daun
Avicennia marina di hutan mangrove Sicanang Belawan, Medan. Didapatkan laju
dekomposisi daun Avicennia marina pada tingkat salinitas 0-10 ppt, 10-20 ppt,
20-30 ppt, dan >30 ppt dapat dilihat pada Tabel 1.
Universitas Sumatera Utara
15
Tabel 1. Laju dekomposisi serasah daun Avicennia marina pada berbagai tingkat
salinitas di Secanang Belawan
Laju Dekomposisi (gram)
Salinitas
Kontrol Hari ke-15 Hari ke-30 Hari ke-45 Hari ke-60
0-10 ppt
50
25,11
27,23
20,28
19,06
10-20 ppt
50
30,02
32,84
16,13
16,23
20-30 ppt
50
25,68
41,86
39,3
36,3
>30 ppt
50
22,87
17,87
10,69
9,49
Sumber : Dewi (2010).
Ratio C/N merupakan faktor kimia pembentuk kecepatan dekomposisi dan
mineralisasi nitrogen. Penyebab pembusukan pada bahan organik diakibatkan
adanya karbon dan nitrogen. Rasio C/N digunakan untuk mendapatkan degradasi
biologis dan bahan-bahan organik yaitu sampah tersebut baik atau tidak untuk
dijadikan kompos, serta menunjukkan kematangan kompos (Allo., dkk 2014).
Penguraian bahan-bahan organik yang terkandung dalam sampah organik
daun adalah hasil kegiatan penguraian oleh mikroorganisme dan selanjutnya
diperlukan oleh
mikroorganisme itu sendiri sebagai sumber energi. Adanya
perbedaan hasil pengiraian bahan organik dapat disebabkan oleh perbedaan
bioaktivator yang diberikan dan kandungan mikroorganisme yang ada dalam
activator (Marady, 2009 dalam Allo., dkk 2014).
Dengan bertambahnya waktu, kadarnitrogen organik berkurang karena
konversi menjadi amonia. Beberapa jenis organisme memanfaatkan nitrogen pada
daun dan mengeluarkan tinja (kotoran) dari organisme tersebut. Kotoran itu
mengandung amonia yang menempel pada serasah daun tanaman. Berdasarkan
jumlah makrobentos memiliki empat tingkat salinitas kandungan nitrogen yang
(Effendi, 2003 dalam Gultom, 2009).
Nilai N yang mengalami peningkatan dan penurunan selama proses
pengomposan, hal ini dikarenakan nitrogen (N) yang bersifat fluktuatif. Secara
Universitas Sumatera Utara
16
keseluruhan kadar nitrogen pada kompos matang masing-masing komposter
mengalami peningkatan. Kadar nitrogen dibutuhkan mikroorganisme untuk
memelihara dan pembentukan sel tubuh. Semakin banyak kandungan nitrogen,
maka akan semakin cepat bahan organik terurai, karena mikroorganisme yang
menguraikan bahan kompos memerlukan nitrogen untuk perkembangannya
(Sriharti, 2008).
Perkembangan salinitas berpengaruh terhadap perkembangan jenis
makrobentos. Adanya masukan air sungai atau hujan akan menurunkan kadar
salinitas,
yang
mengakibatkankematian
beberapa
makrobentos
tersebut.
Kehidupan beberapa makrobentos tergantung pada rendahnyasalinitas, tetapi ada
juga sebaliknya. Aktivitas makroorganisme yang tahan terhadap salinitas yang
tinggi dan mikoorganisme membantu dalam proses pendekomposisian bahan
organik dalam tanah (Arief, 2003 dalam Gultom, 2009).
Menurut Effendi (2003) kadar karbondioksida di perairan dapat
mengalami pengurangan akibat proses fotosintesis dan evaporasi yang terjadi.
Karbon yang terdapat di atmosfer dan perairan diubah menjadi karbon organik
melalui proses fotosintesis. Di perairan, bentuk unsur fosfor berubah secara terusmenerus, akibat proses dekomposisi dan sintesis antara bentuk organik dan bentuk
anorganik yang dilakukan oleh mikroba. Keberadaan fosfor yang berlebihan dapat
diakibatkan oleh pertumbuhan alga di perairan.
Universitas Sumatera Utara