Utilization of Organic Enzyme Papain In Effort to Improve Quality Old Male Horse Meat In Kabupatern Humbang Hasundutan

(1)

PEMANFAATAN ENZIM PAPAIN ORGANIK DALAM UPAYA

MENINGKATKAN KUALITAS DAGING KUDA JANTAN

TUA DI KABUPATEN HUMBANG HASUNDUTAN

SKRIPSI

Oleh :

WIWIET GESTY UTAMI 090306028

PROGRAM STUDI PETERNAKAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(2)

PEMANFAATAN ENZIM PAPAIN ORGANIK DALAM UPAYA

MENINGKATKAN KUALITAS DAGING KUDA JANTAN

TUA DI KABUPATEN HUMBANG HASUNDUTAN

SKRIPSI

Oleh :

WIWIET GESTY UTAMI 090306028/PETERNAKAN

Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Program Studi Peternakan Fakultas Pertanian

Universitas Sumatera Utara

PROGRAM STUDI PETERNAKAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(3)

Judul Skripsi : Pemanfaatan Enzim Papain Organik dalam Upaya Meningkatkan Kualitas Daging Kuda Jantan Tua di Kabupaten Humbang Hasundutan.

Nama : Wiwiet Gesty Utami

NIM : 090306028

Program Studi : Peternakan

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Nurzainah Ginting, M.Sc Ir. Tri Hesti Wahyuni, M.Sc Ketua Anggota

Mengetahui,

Dr. Ir. Ma’aruf Tafsin, M.Si. Ketua Program Studi Peternakan


(4)

ABSTRAK

WIWIET GESTY UTAMI, 2014. Pemanfaatan Enzim Papain Organik Dalam Upaya Meningkatkan Kualitas Daging Kuda Jantan Tua Di Kabupatern Humbang Hasundutan. Dibimbing oleh NURZAINAH GINTING dan TRI HESTI WAHYUNI.

Daging kuda dari ternak berumur tua memiliki karakteristik yang alot/liat sehingga diperlukan pengelolaan untuk meningkatkan keempukan daging kuda.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh perendaman daging kuda pada enzim papain terhadap keempukan, pH, susut masak, daya mengikat air, uji organoleptik dan uji mikrobba. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Teknologi Pangan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara dari bulan Juli 2013 - Agustus 2013. Rancangan yang dipakai dalam penelitian ini adalah dalam Rancangan Acak Lengkap pola Faktorial (RAL Faktorial) menggunakan 2 faktor yaitu: konsentrasi enzim papain (K): (0, 25, 50 %) dan waktu perendaman (W): (60, 90, 120 menit). Parameter yang dianalisis yaitu keempukan, pH, susut masak, daya mengikat air, uji organoleptik (tekstur, aroma, rasa dan keempukan) dan uji jumlah mikroba.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsentrasi enzim papain memberikan pengaruh berbeda sangat nyata (P<0.01) terhadap keempukan, susut masak, daya mengikat air dan uji organoleptik, tetapi tidak mempengaruhi nilai pH secara nyata (P>0.05). Waktu perendaman berpengaruh berbeda tidak nyata (P>0.05). hasil terbaik diperoleh pada perendaman konsentrasi enzim papain 50% dengan waktu perendaman 90 menit atau lebih dan menghasilkan keempukan daging yang dapat diterima konsumen.


(5)

ABSTRACT

WIWIET GESTY UTAMI, 2014. Utilization of Organic Enzyme Papain In Effort to

Improve Quality Old Male Horse Meat In Kabupatern Humbang Hasundutan. Supervised by NURZAINAH GINTING and TRI HESTI WAHYUNI

Horse meat fromold agedcattleusually is tough to chew.Therefore we need superintendence way to improvetenderness of the horse meat. This studyaims to determineeffects ofhorse meat of papain enzymesoaking to tenderness, pH,

cookingshrinkage, water binding power, and organoleptic testand micro bacterial test. This research was conducted at the Laboratory of Food Technology Faculty of

Agriculture, University of North Sumatra in July 2013 - August 2013. The design used in this studyis Factorial Complete Randomized Design patterns (CRD factorial) using two factors: the concentration of the enzyme papain (K): (0, 25, 50 %) and immersion time (W): (60, 90, 120 min).parameters analyzed are tenderness , pH, cookingshrinkage, water binding power, organoleptic test (texture, aroma, flavor and tenderness) and micro bacterial test.

.

The research results showed that the concentration of the papain enzymegives highly significant effect (P<0.01) in the tenderness, cooking shrinkage, water binding power and organoleptic test, but does not affect the pH value significantly (P>0.05). Different soaking time effectis not significant (P>0.05). Best results is obtainedin the soaking of the concentration of50 % papain enzymeby 90 minutes soaking timeor more in order to produce edibletenderness of horse meat for consumers.


(6)

RIWAYAT HIDUP

Penullis dilahirkan di Rantauprapat pada tanggal 30 Januari 1991 dari Bapak Jarwadi dan Ibu Suwanti. Penulis merupakan putri pertama dari tiga bersaudara.

Tahun 2009 penulis lulus dari SMA Negeri 3 Rantauprapat dan pada tahun yang sama masuk ke Program Studi Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara melalui jalur ujian tertulis Ujian Masuk Bersama (UMB).

Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif sebagai sekretaris umum Himpunan Mahasiswa Muslim Peternakan pada tahun 2011-2012, sekretaris Departemen

Kemuslimahan BKM Al-Mukhlisin FP USU pada taun 2010-2011, sekretaris Departemen Ukhuwah Islamiyah BKM Al-Mukhlisin pada tahun 2011-2012, Ketua Departemen Kemuslimahan BKM Al-Mukhlisin pada tahun 2012, Bendahara Umum Unit Kegiatan Mahasiswa Islam Ad-Dakwah USU pada tahun 2012, anggota Himpunan Mahasiswa Muslim Labuhanbatu pada tahun 2010-2014, Juara 3 lomba Fotografi Dies Natalis FP USU, Juara 2 lomba Poster Ilmiah Dies Natalis USU, asisten praktikum di Laboratorium Genetika Dasar Program Studi Peternakan FP USU pada tahun 2011.

Penulis melaksanakan praktek kerja lapangan (PKL) di PPKS (Pusat Penelitian Kelapa Sawit) Bukit Sentang Pangkalan Brandan dari Juni 2012 sampai dengan Agustus 2012.


(7)

KATA PENGANTAR

Puji syukur alhamdulillah penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul ”Pemanfaatan Enzim Papain Organik dalam Upaya Meningkatkan Kualitas Daging Kuda Jantan Tua di Kabupaten Humbang Hasundutan”.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada kedua orang tua yang telah memberikan dukungan penuh kepada penulis. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Dr. Ir. Nurzainah Ginting, M.Sc. selaku Ketua Komisi Pembimbing danIr. Tri Hesti Wahyuni, M.Sc. selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah banyak meluangkan waktu, pikiran, tenaga dan dorongan maupun memberikan informasi yang berharga bagi penulis. KepadaDr. Ir. Ma’aruf Tafsin, M.Si.selaku ketua Program Studi Peternakan dan seluruh staf pengajar dan administrasi Program Studi Peternakan dan Fakultas Pertanian.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat serta informasi bagi yang memerlukannya. Kritik dan saran penulis harapkan untuk menyempurnakan skripsi ini.


(8)

DAFTAR ISI

Hal.

ABSTRAK ... i

ABSTRACK ... ii

RIWAYAT HIDUP ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR LAMPIRAN ... ix

PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1

Tujuan Penelitian ... 4

Hipotesis Penelitian ... 4

Kegunaan Penelitian ... 4

TINJAUAN PUSTAKA Kuda ... 5

Klasifikasi ... 5

Kuda Indonesia ... 6

Kuda Batak ... 7

Penentuan Umur Kuda ... 8

Daging ... 9

Struktur dan Komposisi Daging Kuda ... 9

Perubahan Fisiologi Pasca Mortem ... 11

Nilai pH Daging ... 12

Daya Mengikat Air ... 13

Susut Masak Daging ... 14

Keempukan Daging ... 15

Papain ... 17

Lokasi Enzim Papain dalam Buah Pepaya ... ... 17

Mekanisme Kerja Enzim ... ... 20

Penyimpanan Dingin dan Pertumbuhan Bakteri ... ... 21

Uji Organoleptik ... ... 24

METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu ... 26


(9)

Bahan ... 26

Alat ... 26

Metode Penelitian ... 26

Pengambilan Sampel ... 26

Enzim Papain dari Buah Pepaya ... 27

Perendaman Daging dengan Ekstrak Kasar Enzim Papain ... 27

Rancangan Percobaan ... 27

Pengamatan ... 30

Pengukuran Aktivitas Enzim Papain ... 30

Parameter yang Diukur ... 31

... Pengukura n Keempukan ... 31

Pengukuran pH Daging ... 31

Pengukuran Susut Masak ... 32

Pengukuran Daya Mengikat Air ... 32

Uji Organoleptik ... 32

Pengujian Jumlah Bakteri ... 33

HASIL DAN PEMBAHASAN Pengukuran Keempukan Daging ... 34

Pengukuran pH Daging ... 35

Pengukuran Susut Masak ... 37

Pengukuran Daya Mengikat Air ... 38

Uji Organoleptik ... 39

Tekstur ... 39

Aroma ... 40

Keempukan ... 41

Rasa ... 42

Penentuan Jumlah Mikroba ... 43

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ... 45

Saran ... 45

DAFTAR PUSTAKA ... 46


(10)

DAFTAR TABEL

No. Hal.

1. Karakteristik Kuda Lokal Indonesia ... 7 2. Metoda Analisis Aktivitas Enzim Protease ... 30 3. Pengaruh Interaksi antara Konsentrasi Larutan Enzim Papain dan Lama

Perendamanterhadap Keempukan Daging Kuda Jantan Tua ... 34 4. Pengaruh Interaksi antara Konsentrasi Larutan Enzim Papain dan Lama

Perendaman terhadap pH Daging Kuda Jantan Tua ... 36 5. Pengaruh Interaksi antara Konsentrasi Larutan Enzim Papain dan Lama

Perendaman terhadap susut masak Daging Kuda Jantan Tua ... 37 6. Pengaruh Interaksi antara Konsentrasi Larutan Enzim Papain dan Lama

Perendaman terhadap Daya Mengikat Air Daging Kuda Jantan Tua... 38 7. Pengaruh interaksi antara konsentrasi larutan enzim papain dan lama

perendaman terhadap organoleptik tekstur daging kuda jantan tua ... 39 8. Pengaruh interaksi antara konsentrasi larutan enzim papain dan lama

perendaman terhadap organoleptik aroma daging kuda jantan tua ... 40 9. Pengaruh interaksi antara konsentrasi larutan enzim papain dan lama

perendaman terhadap organoleptik keempukkan daging kuda jantan tua ... 41 10. Pengaruh interaksi antara konsentrasi larutan enzim papain dan lama


(11)

DAFTAR GAMBAR

No. Hal.

1. Skema Mekanisme KerjaEnzim Papain. ... 21 2.Kurva Pertumbuhan Bakteri ... 22


(12)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Hal.

1. Data Pengamatan Keempukan daging kuda dengan perlakuan perendamanlarutan enzim papain. ... 54 2. Data Pengamatan pH daging kuda dengan perlakuan perendaman larutan

enzim papain. ... 55 3. Data Pengamatan Susut masak daging kuda dengan perendaman larutan

enzim papain ... 56 4. Data Pengamatan Daya mengikat air pada daging kuda dengan perlakuan

perendaman larutan enzim papain ... 57 5. Data Pengamatan Organoleptik tekstur pada daging kuda dengan perlakuan

perendaman larutan enzim papain ... 58 6. Data Pengamatan Organoleptik aroma pada daging kuda dengan perlakuan

perendaman larutan enzim papain. ... 60 7. Data Pengamatan Organoleptik Keempukan pada daging kuda dengan

perlakuan perendaman larutan enzim papain ... 62 8. Data Pengamatan Organoleptik rasa pada daging kuda dengan perlakuan

perendaman larutan enzim papain. ... 64 9. Lembar Isian Panelis untuk Uji Organoleptik ... 66 10. Uji Kualitatif dan Kuantitatif Mikroba. ... 77


(13)

ABSTRAK

WIWIET GESTY UTAMI, 2014. Pemanfaatan Enzim Papain Organik Dalam Upaya Meningkatkan Kualitas Daging Kuda Jantan Tua Di Kabupatern Humbang Hasundutan. Dibimbing oleh NURZAINAH GINTING dan TRI HESTI WAHYUNI.

Daging kuda dari ternak berumur tua memiliki karakteristik yang alot/liat sehingga diperlukan pengelolaan untuk meningkatkan keempukan daging kuda.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh perendaman daging kuda pada enzim papain terhadap keempukan, pH, susut masak, daya mengikat air, uji organoleptik dan uji mikrobba. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Teknologi Pangan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara dari bulan Juli 2013 - Agustus 2013. Rancangan yang dipakai dalam penelitian ini adalah dalam Rancangan Acak Lengkap pola Faktorial (RAL Faktorial) menggunakan 2 faktor yaitu: konsentrasi enzim papain (K): (0, 25, 50 %) dan waktu perendaman (W): (60, 90, 120 menit). Parameter yang dianalisis yaitu keempukan, pH, susut masak, daya mengikat air, uji organoleptik (tekstur, aroma, rasa dan keempukan) dan uji jumlah mikroba.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsentrasi enzim papain memberikan pengaruh berbeda sangat nyata (P<0.01) terhadap keempukan, susut masak, daya mengikat air dan uji organoleptik, tetapi tidak mempengaruhi nilai pH secara nyata (P>0.05). Waktu perendaman berpengaruh berbeda tidak nyata (P>0.05). hasil terbaik diperoleh pada perendaman konsentrasi enzim papain 50% dengan waktu perendaman 90 menit atau lebih dan menghasilkan keempukan daging yang dapat diterima konsumen.


(14)

ABSTRACT

WIWIET GESTY UTAMI, 2014. Utilization of Organic Enzyme Papain In Effort to

Improve Quality Old Male Horse Meat In Kabupatern Humbang Hasundutan. Supervised by NURZAINAH GINTING and TRI HESTI WAHYUNI

Horse meat fromold agedcattleusually is tough to chew.Therefore we need superintendence way to improvetenderness of the horse meat. This studyaims to determineeffects ofhorse meat of papain enzymesoaking to tenderness, pH,

cookingshrinkage, water binding power, and organoleptic testand micro bacterial test. This research was conducted at the Laboratory of Food Technology Faculty of

Agriculture, University of North Sumatra in July 2013 - August 2013. The design used in this studyis Factorial Complete Randomized Design patterns (CRD factorial) using two factors: the concentration of the enzyme papain (K): (0, 25, 50 %) and immersion time (W): (60, 90, 120 min).parameters analyzed are tenderness , pH, cookingshrinkage, water binding power, organoleptic test (texture, aroma, flavor and tenderness) and micro bacterial test.

.

The research results showed that the concentration of the papain enzymegives highly significant effect (P<0.01) in the tenderness, cooking shrinkage, water binding power and organoleptic test, but does not affect the pH value significantly (P>0.05). Different soaking time effectis not significant (P>0.05). Best results is obtainedin the soaking of the concentration of50 % papain enzymeby 90 minutes soaking timeor more in order to produce edibletenderness of horse meat for consumers.


(15)

BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Salah satu jenis ternak yang perlu mendapatkan perhatian dan potensial untuk produksi daging adalah ternak kuda. Ternak kuda dapat menjadi alternatif penyedia daging dan mempunyai potensi yang cukup besar sebagai salahsatu sumber pangan yang mempunyai kandungan protein yang sangat tinggi, seperti sebagai ternak kerja dan bisa juga di jadikan sebagai ajang perlombaan di masyarakat seperti pacuan kuda(Kadir, 2011).

Menurut Setyobudi et al. (2009) menjelaskan bahwa kuda berkaitan erat dengan manusia yang secara ekonomis berperanan dalam transportasi (kuda delman, kuda tunggang) dan pengangkut beban dan bahkan di beberapa tempat digunakan sebagai sumber protein hewani (penghasil daging dan susu). Dijelaskan lebih lanjut bahwa kuda dapat dimanfaatkan sebagai kuda perang, kuda pacu, kuda rekreasi dan dijadikan sebagai simbol status sosial pada kebudayaan tertentu.

Dalam upaya pemenuhan dan perbaikan gizi masyarakat melalui konsumsi protein hewani, maka perlu pemanfataan sumber daya lokal yang optimal. Salah satu sumber daya lokal yang ketersediaannya cukup luas tetapi belum termanfaatkan dengan baik ádalah daging kuda. Menurut Direktorat Jendral Peternakan data populasi ternak kuda seluruh Indonesia mengalami kenaikan hingga tahun 2012 mencapai 421.645 ekor dan data populasi ternak kuda di Sumatera Utara mencapai 416 ekor (Dirjen Peternakan, 2012).


(16)

Potensi ternak kuda secara teknis tidak jauh berbeda dengan sapi, dimana karkas ternak kuda lokal mencapai 125 kg, dengan jeroan mencapai 20% dari karkas dibandingkan sapi yang mencapai angka rata-rata 156,4 kg. Baik daging maupun jeroan mempunyai nilai ekonomi yang potensial, karena masyarakat di wilayah Sulawesi Selatan dikenal mengkonsumsi jeroan yang cukup tinggi, dengan adanya masakan khas yang dikenal dengan coto. Dari segi mutu, daging kuda memiliki kelebihan tersendiri, dimana kadar lemaknya hanya 4,1% dibanding dengan sapi yang mencapai 14,0%, sedangkan kadar protein hampir sama yakni kuda 18,1% sedangkan pada sapi 18,8%, jauh lebih tinggi dari daging kambing yang hanya 16,6% dengan kadar lemak mencapai 9,2% (Kadir, 2006).

Kuda mengandung banyak gizi dibandingkan dengan hewan lain yaitu kadar zat besi tinggi mencapai 3,82 mg per 100g sedangkan kadar zat besi daging sapi hanya 2,2 mg per 100g, dan daging kambing 3 mg per 100g, dimana zat besi penting untuk membantu membawa oksigen dalam darah merah ke seluruh tubuh. Selin itu, kadar kolesterol daging kuda 50-60 mg per 100g, lebih rendah daripada daging sapi yang berkisar 70-84 mg per 100g. Selain itu, kuda juga mengandung unsur zat anti Biotik untuk Tetanus dan juga sebagai obat Diabetes atau sakit gula, juga untuk meningkatkan stamina daya tahan tubuh. Ada juga informasi secara empiris dari pengalaman masyarakat yang beredar dari mulut ke mulut, bahwa coto kuda dapat mengatasi lesu, pegal linu, encok dan rheumatik. Selain itu juga dapat menyembuhkan sakit asma, gatal-gatal dan epilepsi (Hariyanto, 2011).

Ditambahkan pula oleh Kadir, (2006) bahwa daging kuda memiliki kelebihan tersendiri, dimana kadar lemaknya hanya 4,1% dibanding ternak sapi 14,0%. Sedangkan

1 1


(17)

kadar protein hewaninya hampir sama, yakni kuda 18,1% dan sapi 18,8%. Selain itu, kandungan lemak daging kuda yang relative rendah dan cita rasa yang manis.

Di wilayah Kabupaten Humbang Hasudutan terdapat suatu kebiasaan masyarakat dalam mengkonsumsi daging kuda yang telah afkir. Karena kebiasaan dan sumber ternak kuda yang terbatas maka kuda afkir banyak didatangkan dari wilayah lain misalnya dari Sumatera Barat dan Padang Sidempuan. Kuda afkir yaitu kuda tua terutama kuda jantan yang biasa digunakan menarik beban sehingga jaringan ikat pada daging berubah menjadi sangat liat atau alot jika dikonsumsi. Oleh karena itu diperlukan suatu penelitian untuk memperbaiki kualitas daging kuda sehinggalebih empuk dan lebih mudah dikonsumsi masyarakat. Salah satu bahan yang dapat dimanfaatkan untuk mengempukkan daging adalah enzim papain yang berasal dari buah pepaya.

Tanaman papaya (Carcia papaya L) merupakan tanaman asal Amerika tropis, Meksiko bagian selatan dan Nicaraguay. Di Indonesia tanaman papaya tergolong sebagai tanaman yang populer dan sering digunakan dalam pengobatan tradisional.

Batang, daun, dan buah papaya muda mengandung getah berwarna putih. Getah ini mengandung suatu enzim pemecah protein atau enzim proteolitik yang disebut papain. Untuk mendapatkan daging yang empuk telah diusahakan berbagai cara diantaranya dengan melakukan pemuliaan ternak, karena 50% dari faktor yang menentukan keempukan daging adalah faktor genetik atau keturunan. Disamping itu digunakan cara pemberian pakan ternak yang baik, sebab pakan berperan dalam pembentukan tekstur daging, serta dengan cara pemeraman (penyimpanan dalam suhu dingin). Terjadinya keempukan daging selama pemeraman disebabkan protein daging mengalami perubahan oleh enzim proteolitik. Kini cara pengempukan daging sudah maju, yaitu dengan menggunakan protease (enzim pemecah protein) kasar maupun


(18)

murni. Enzim papain paling banyak digunakan. Enzim ini tergolong protease sulfhidril. Secara umum yang dimaksud dengan papain adalah papain yang telah murni maupun yang masih kasar.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas daging kuda jantan tua dengan cara perendaman enzim papain terhadap keempukan, pH, susut masak, daya mengikat air, uji organoleptik dan uji jumlah mikroba.

Hipotesis Penelitian

Pemberian enzim papain dapat meningkatkan keempukan, pH, susut masak, daya mengikat air, organoleptik dan menurunkan jumlah mikroba pada daging kuda jantan tua.

Kegunaan Penelitian

Sebagai bahan informasi untuk memperkenalkan daging kuda sebagai alternatif pemenuhan protein hewani kepada masyarakat luas.


(19)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Kuda

Kuda adalah mamalia ungulata (hewan yang berdiri pada kuku) yang berukuran paling besar di kelasnya. Kuda dari spesies Equus caballus yang dahulu merupakan bangsa dari jenis kuda liar, kini kuda sudah menjadi hewan yang didomestikasi dan secara ekonomi memegang peranan penting bagi kehidupan manusia terutama dalam pengangkutan barang dan orang selama ribuan tahun. Kuda juga dapat ditunggangi manusia dengan menggunakan sadel dan dapat pula digunakan untuk menarik sesuatu, seperti kendaraan beroda atau bajak, dan di beberapa daerah kuda digunakan sebagai sumber pangan (Ronald et al.,1996).

Klasifikasi

Kuda (Equus caballus atau Equus ferus caballus) memiliki klasifikasi ilmiah yaitu kerajaan Animalia (hewan), filum Chordata (bertulang belakang), kelas Mammalia (menyusui), ordo Perissodactylater (tidak memamah biak), famili Equidae, genus Equus dan spesies Equus caballus (Mills dan Nankervis, 1999).

Kuda dimanfaatkan sebagai kuda perang, kuda pacu, kuda rekreasi dan sebagai symbol status sosial kebudayaan tertentu. Kuda dibedakan menjadi kuda berdarah panas (hot blood) dan kuda berdarah dingin (cold blood). Kuda hoot blood diidentifikasikan sebagai kuda tipe ringan yang memiliki sifat agresif seperti kuda arab dan kuda cold blood diidentifikasikan sebagai kuda tipe berat yang sering digunakan untuk menarik beban (Edwards, 1994).


(20)

Kuda Indonesia

Kuda yang terdapat di wilayah Asia Tenggara termasuk ke dalam ras timur karena memiliki bentuk tengkorak yang kecil. Hal tersebut berbeda dengan kuda ras eropa yang memiliki tengkorak kepala yang besar. Melihat bentuk wajahnya, kuda ras timur diduga merupakan keturunan kuda mongol(Soehardjono, 1990).

Keadaan fisik kuda yang terdapat di Indonesia beraneka ragam karena dipengaruhi oleh keadaan geografis wilayahnya. Kuda-kuda di Indonesia memiliki ukuran tubuh yang tidaklah terlalu besar yaitu bertinggi badan 1,13 m hingga 1,33 m, hal ini disebabkan karena Indonesia berada di daerah beriklim tropis (Soehardjono, 1990). Dari ukuran tersebut maka kuda Indonesia termasuk kedalam jenis kuda poni.Soehardjono (1990) menyatakan jenis kuda lokal di Indonesia terdiri atas kuda Makassar, kuda Gorontalo dan Minahasa, kuda Sumba, kuda Sumbawa, kuda Bima, kuda Flores, kuda Savoe, kuda Roti, kuda Timor, kuda Sumatera, kuda Bali, dan kuda Lombok serta kuda Kuningan.

Kegunaan kuda lokal Indonesia sebagian besar adalah sebagai sarana transportasi dan pengangkut barang, sarana hiburan, dan juga sebagai bahan pangan masyarakat lokal. McGregor dan Morris (1980), menyatakan kuda poni di Indonesia merupakan salah satu sarana yang dapat digunakan untuk transportasi dan pengembangan peternakan. Tabel 1 menyajikan berbagai karakteristik kuda lokal Indonesia.


(21)

Tabel 1. Karakteristik kuda lokal indonesia

Jenis Kuda Tinggi

Badan (m) Karakteristik

Kuda Sumba 1,27 - Bentuk kepala terlihat lebih besar dibandingkan ukuran

badannya dengan leher yang pendek - Sifatnya jinak dan cerdas

- Konformasi badan kurang sempurna - Bagian punggung kuat

Kuda Timor 1,22 - Bentuk badan kurus dan leher pendek

- Bagian punggung lurus dengan bahu dan ekor tinggi - Bagian tengkuk dan ekor penuh dengan bulu

Kuda Sandel 1,35 - Ukuran tubuh kecil

- Bentuk kepala kecil dan bagus, mata yang besar - Bulu yang lembut dan berkilauan

- Mempunyai kecepatan yang baik dan sangat aktif - -Kuku kaki yang keras dan kuat

Kuda Batak 1,32 - Bentuk kepala bagus dengan bagian muka yang lurus,

leher, pendek, dan lemah

- Memiliki bagian punggung yang panjang dan sempit dengan kaki bagian belakang ramping

- Bagian rump tinggi

- Ekor dan tengkuk mempunyai rambut yang bagus - Posisi ekor cukup tinggi sehingga sangat baik dalam

pergerakan

Kuda Jawa 1,27 - Memiliki stamina yang baik dan tahan terhadap panas

- Ukuran tubuh lebih besar dibandingkan kuda poni lainnya

- Sifatnya jinak

- Kaki dan persendiannya tidak berkembang dengan baik sehingga mempengaruhi kekuatannya

Kuda Padang 1,27 - Kuku kaki keras dan bentuknya bagus

- Bagian tumit lemah

- Mempunyai konformasi yang baik tetapi pertulangannya kecil

Kuda Makasar 1,25 - Daya tahan tubuh kuat

- Kaki tegap dan kuat - Bertemperamen stabil

Kuda Flores 1,24 - Bentuk badan kecil dan sifatnya jinak

Kuda Bima - - Bentuk badan kecil

- Memiliki pinggang yang pendek

- Daya tahan tubuh baik dan memiliki langkah yang cepat

Sumber : Edwards, 1994; Soehardjono, 1990

Kuda Batak

Populasi Kuda Batak banyak di daerah Dolok Sanggul, Kabupaten Humbang Hasundutan, sekitar 14 km dari Lembah Bakara. Penduduk Dolok Sanggul (Par Dolok


(22)

Sanggul) sejak ratusan tahun lalu hingga saat ini masih memelihara tradisi membudidayakan Kuda Batak. Daging kuda merupakan makanan konsumsi sehari-hari dan sebagai menu khas istimewa di kedai-kedai makan Dolok Sanggul (Sitanggang, 2013)

Kuda Batak merupakan kuda terbaik dari jenis kuda Sumatera yang banyak diternakan di daerah Toba dan Karo. Kuda ini banyak digemari sebagai kuda penarik (Bongianni, 1995). Bentuknya menyerupai kuda Mongol. Tubuhnya kecil, perimbangan tubuhnya baik, memiliki hidung yang besar dan relatif panjang, kepala sukar ditundukkan secara sempurna karena tengkuknya yang pendek, ekor duduknya tinggi, warna bermacam-macam, dan tipe kuda beban (Sostroamidjojo dan Soeradji, 1990).

Penentuan Umur Kuda

Penentuan umur dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu berdasarkan catatan kelahiran dan berdasarkan pergantian gigi seri susu menjadi gigi permanen.Anak kuda dengan umur 6 sampai 10 bulan mempunyai gigi sebanyak 24 buah yang disebut dengan gigi susu, dimana gigi tersebut terdiri dari 12 gigi seri dan 12 gigi geraham. Gigi seri meliputi tiga pasang pada bagian rahang atas dan tiga pasang pada bagian rahang bawah (Bogart dan Taylor, 1983).

Mengunyah dapat membuat gigi seri menjadi usang (aus dan menipis). Proses pengusangan gigi seri dimulai pada gigi seri bagian pusat (dari pertengahan) dan berlanjut secara menyamping. Anak kuda dengan umur satu tahun, bagian pusat gigi seri sudah mulai usang; umur 1,5 sampai 2 tahun gigi seri mulai pada bagian pertengahan hingga bagian luar dan mengarah kesamping sudah mulai usang. Proses penanggalan gigi seri dimulai pada umur 2,5 tahun. Gigi seri bagian pusat tanggal terlebih dahulu dan akan menjadi gigi parmanen. Kuda yang berumur empat tahun ditandai dengan tanggalnya gigi


(23)

bagian pertengahan dan pada umur lima tahun, bagian luar, atau samping, gigi seri sudah mulai tanggal dan digantikan dengan gigi permanen. Kuda yang berumur lima tahun ini dikatakan telah bermulut “penuh” karena semua gigi telah permanen. Umur 6 sampai 8 tahun gigi parmanen sudah usang yang mulai dari bagian pusat hingga bagian pertengahan mengarah kesamping (Bogart dan Taylor, 1983).

Daging

Struktur dan Komposisi Daging Kuda

Daging tersusun dari jaringan ikat, epitelial, jaringan-jaringan saraf, pembuluh darah dan lemak. Jumlah jaringan ikat berbeda diantara otot, jaringan ikat berhubungan dengan kealotan daging. Otot skeletal merupakan sumber utama jaringan otot daging dengan komposisi terbanyak dalam karkas, yaitu 35–65% dari berat karkasatau 35–40% dari berat hewan hidup (Lukman et al., 2007).

Otot skeletal mengandung sekitar 75 % air dengan kisaran 68-80%, protein sekitar 19%, substansi-substansi non protein yang larut 3.5 % serta lemak sekitar 2.5 % (Forrest et al. 1975 dan Lawrie 1979 dalam Soeparno 2005). Sedangkan menurut Winarno (1993) dan Burhan (2003) komponen terbesar dari daging adalah air (65-80%) kemudian protein yang merupakan komponen terbesar dari berat kering (16-22%), lemak (1.3-13%), karbohidrat (0.5-1.3%) dan mineral (1%).Ashbrook (1955) menambahkan Untuk hewan-hewan muda kadar airnya lebih besar dari hewan-hewan-hewan-hewan tua. Protein daging terdiri dari protein sederhana dan protein terkonjugasi dengan radikal non-lemak. Berdasarkan asalnya, protein daging dapat dibedakan dalam tiga kelompok, yaitu protein sarkoplasma, protein miofibril, dan protein jaringan ikat. Protein sarkoplasma dikenal sebagai protein yang larut air, karena dapat terekstrak oleh air atau larutan garam encer.


(24)

Protein miofibril bersifat larut dalam garam, sedangkan protein jaringan ikat merupakan protein yang tidak dapat larut dalam air. Dalam 100 gram daging segar terdapat 6.0% sarkoplasma, 9.5% miofibril, dan 1.6% jaringan ikat (Buckle et al., 1985). Komposisi lemak pada daging umumnya berbentuk trigliserida, sedikit fosfolipid, asam lemak bebas, dan sterol. Lemak dalam daging tidak mempunyai rasa, tetapi kandungan lemak ini dapat mempengaruhi cita rasa daging (Adnan, 1977).

Karbohidrat pada daging umumnya dalam bentuk glikogen otot, yaitu sebesar 0.8% dari berat daging. Selain itu, ada sebagian kecil glukosa sebanyak 0.1% dan karbohidrat dalam bentuk intermedier dari metabolisme sebanyak 0.1% dari berat daging. Karbohidrat dalam bentuk intermedier tersebut antara lain asam nitrat, asam laktat, formiat, dan gula-gula fosfat (Aberle et al., 2001).

Menurut Cassens (1987) di dalam daging juga terdapat mineral-mineral seperti kalsium, magnesium, kalium, natrium, fosfor, klor, besi, belerang, tembaga, dan mangan. Vitamin yang terdapat pada daging terutama golongan vitamin B (B1, B12, B6, dan B2), vitamin C, A, D, E, dan K. Selain itu, daging juga mengandung pigmen pemberi warna merah (mioglobin). Daging merupakan sumber vitamin B yang baik disamping mengandung vitamin A dan vitamin C dalam jumlah kecil. Daging sapi mengandung 3.79 mg vitamin B tiap 100 mg daging, 2 UI vitamin A tiap 1 gram lemak daging, sedangkan sebagian besar kandungan vitamin C akan hilang dalam proses penanganan daging segar. Sebanyak 100 gram daging dapat memenuhi kebutuhan gizi orang dewasa setiap harinya, yang mengandung sekitar 10% kalori, 50% protein, 35% zat besi (Fe), dan 25-60% vitamin B kompleks (Lukman et al., 2007).

Perubahan Fisiologi Pasca Mortem


(25)

oksigen berhenti. Reaksi oksidasi dan reduksi berhenti pula, akibatnya terjadinya glikolisis anaerobik dan berhentinya proses respirasi. Berhentinya proses respirasi mengakibatkan perubahan ATP dalam otot menurun (fase pre-rigor) dan habis sama sekali pada fase kejang bangkai (rigor mortis). Setelah itu mulai terjadi akumulasi pekursor cita rasa dan metabolik yang menimbulkan aroma khas daging yang disebut fase pasca-rigor (Lawrie, 1995).

Menurut Muchtadi dan Sugiono (1992) daging pada fase pre-rigor mempunyai keempukan yang baik namun cita rasa belum terbentuk. Pada tahap ini daging hewan masih lunak karena daya mengikat air dari jaringan otot masih tinggi. Lamanya fase pre-rigor berkisar antara 5-8 jam, tergantung pada jenis hewan (Buckle et al., 1987).

Menurut Buckle et al. (1987), rigor mortis adalah keadaan karkas yang kaku setelah 24-48 jam penyembelihan. Kekejangan atau hilangnya kelenturan ini merupakan akibat dari serentetan kejadian biokimia kompleks yang menyangkut hilangnya creatin phospat (CP) dan adenosine triphospat (ATP) daro otot, tidak berfungsinya sistem enzim cytochrome dan reaksi-reaksi kompleks lainnya. Salah satu hasil akhir proses biokimiawi ini adalah terbentuknya aktomiosin. Proses ini bersifat dapat balik (reversible) pada otot yang masih hidup akan tetapi bersifat tidak balik (irreversible) pada otot yang sedang atau sudah mati (Lawrie, 1995).

NilaipH Daging

Perubahan pH setelah ternak mati pada dasarnya ditentukan oleh kandungan asam laktat yang tertimbun didalam otot yang selanjutnya ditentukkan oleh kaandungan glikogen dan penanganan sebelum penyembelihan(Buckle et al., 1987). Lukman et al. (2007) menyatakan bahwa perubahan nilai pH sangat penting untuk diperhatikan dalam perubahan daging postmortem. Nilai pH dapat menunjukkan penyimpangan kualitas


(26)

daging, karena berkaitan dengan warna, keempukan, cita rasa, daya mengikat air dan masa.

Nilai pH daging pada saat masih hidup sekitar 6,8-7,2 (Forrest et al., 1975) sedangkan menurut Buckle et al.(1987) berkisar antara 7,2-7,4. Nilai pH pasca mati akan ditentukan oleh jumlah asam laktat yang dihasilkan dari glikogen selama proses glikolisis anaerob yaitu sekitar 5,1-6,2 dan hal ini disebabkan hewan lelah, kelaparan atau takut pada hewan sebelum dipotong, hampir semua bakteri tumbuh secara optimal pada pH sekitar 7 dan tidak akan tumbuh di bawah pH 4 atau di atas pH 9. Nilai pH tidak langsung turun begitu saja tetapi menurun secara bertahap yaitu pada satu jam pertama setelah ternak dipotong dan semakin menurun lagi setelah tercapainya rigormortis (Forrest et al.,1975).

Jaringan otot hewan pada saat hidupmempunyai nilai pH sekitar 5,1 sampai 7,2 danmenurun setelah pemotongan karenamengalami glikolisis dan dihasilkan asamlaktat yang akan mempengaruhi pH. pHultimat daging tercapai setelah glikolisis ototmenjadi habis atau setelah enzim-enzimglikolitik menjadi tidak aktif pada pH rendahatau glikogen tidak lagi sensitif terhadapserangan-serangan enzim glikolitik. pH ultimatnormal daging postmortem adalah sekitar 5,5yang sesuai dengan titik isoelektrik sebagianbesar protein daging termasuk protein miofibril(Lawrie, 1995).Forest et al. (1975), menambahkan bahwa pH ultimat daging normal adalah 5,4-5,8. Penurunan pH normal perlahan-lahan dari pH 7 (hewan hidup) menjadi 5,6-5,7 dalam waktu 6-8 jam setelah mati, kemudian pH akhir sekitar 5,3-5,7 dicapai kira-kira 24 jam post mortem.

Pengukuran pH produk selama penyimpanan dilakukan untuk mengetahui tingkat keasamannya dan untuk mengetahui adanya kemungkinan pertumbuhan mikroba. Nilai pH merupakan faktor yang berpengaruh terhadap sifat fisik lainnya seperti warna, daya


(27)

mengikat air, keempukan dan susut masak. Nilai pH dari jaringan otot merupakan suatu

faktor penentu yang penting menyangkut keempukan dari produk daging segar (Silva et al., 1999).

Daya Mengikat Air

Daya mengikat air adalah istilah yang diberikan untuk mencirikan karakteristik daging untuk menahan air selama pengolahan. Daya mengikat air ini penting karena jumlahnya mempengaruhi hasil evaporasi, kehilangan akibat drip, kehilangan karena pemasakan atau penambahan air selama pengolahan. Kehilangan air karena pemasakan akan menyebabkan penurunan bobot, juga dapat menyebabkan perubahan keempukan daging (Burson, 1988).

Daya Mengikat Air (DMA) adalahkemampuan daging untuk mengikat airnya atauair yang ditambahkan selama ada pengaruhkekuatan dari luar, misalnya pemotongandaging, pemanasan, penggilingan, dan tekanan(Soeparno, 2005).

Lawrie (2003) menyatakan bahwa daya mengikat air daging sangatdipengaruhi oleh pH, semakin tinggi pH akhir semakin tinggi daya mengikat air ataunilai mgH2O rendah. Tingkat penurunan pH postmortem berpengaruh terhadap dayamengikat air. Penurunan pH yang semakin cepat, terjadi karena semakin banyaknyaprotein sarkoplasmik yang terdenaturasi dan selanjutnya akan meningkatkanaktomiosin untuk berkontraksi, sehingga akan memeras cairan keluar dari proteindaging. Daya mengikat air pada daging selain dipengaruhi oleh pH, juga dipengaruhioleh faktor yang mengakibatkan perbedaan daya mengikat air diantara otot, misalnyaspesies, umur dan fungsi otot serta pakan, transportasi, temperatur kelembaban,penyimpanan, jenis kelamin, kesehatan, perlakuan sebelum pemotongan dan lemakintramuskuler (Soeparno, 2005). Susut Masak Daging


(28)

Menurut Soeparno (1998), faktor-faktor yang mempengaruhi susut masak ada bermacam-macam, seperti susut masak bisa meningkat dengan panjang serabut otot yang lebih pendek, pemasakan yang relatif lama akan menurunkan pengaruh panjang serabut otot terhadap susut masak. Susut masak menurun secara linier dengan bertambahnya umur ternak. Perbedaan bangsa ternak juga dapat menyebabkan perbedaan susut masak. Pada umur yang sama, jenis kelamin mempunyai pengaruh yang kecil terhadap susut masak. Berat potong mempengaruhi susut masak terutama bila terdapat perbedaan deposisi lemak intramuskular. Konsumsi pakan dapat juga mempengaruhi besarnya susut masak.

Besarnya susut masak dipengaruhi oleh banyaknya kerusakanmembran seluler, banyaknya air yang keluar dari daging, umur simpan daging,degradasi protein dan kemampuan daging untuk mengikat air (Shanks et al., 2002).

susut masak dapat dipengaruhi olehpH, panjang sarkomer serabut otot, panjang potongan serabut otot, status kontraksimiofibril, ukuran dan berat sampel daging serta penampang lintang daging (Soeparno, 2005).

Lawrie (2003) menyatakan bahwa jumlah cairan yang diperoleh dalam pemanasanakan meningkat lebih lanjut pada suhu antara 107oC dan 155oC. Hal ini mungkinmenggambarkan beberapa kerusakan protein, dengan kerusakan asam-asam aminoyang akan terjadi dalam kisaran suhu tersebut.

Keempukan Daging

Keempukan merupakan faktor yangmempengaruhi mutu produk terutama

hubungannya dengan selera konsumen danmempengaruhi penerimaan secara umum.Keempukan daging dapat diketahui denganmengukur daya putusnya, semakin rendah nilaidaya putusnya, semakin empuk daging tersebut(Maruddin, 2004).


(29)

Menurut Forrest et al. (1975), komponen utama yang mempengaruhi keempukan adalah kelompok jaringan ikat, kelompok serat daging dan kelompok lemak yang berhubungan dengan otot.

Keempukan daging akan menurun seiring denganmeningkatnya umur hewan, jaringan ikat pada otot hewan muda banyak mengandungretikuli dan memiliki ikatan silang yang lebih rendah jika dibandingkan denganhewan tua (Epley, 2008).Considine danConsidinie (1993), menyatakan bahwa selama pemeraman,perubahan terbesar terjadi pada proteinmiofibril. Pada saat rigor mortis sempurna,keempukan daging terjadi paling minimum,kemudian meningkat selama proses pelayuan.Adanya degradasi protein miofibril dapatmeningkatkan keempukan daging.Pengempukan secara alami ini terjadi karenaefek pencernaan sendiri dengan enzim autolisisseperti kathepsin, lipase dan nuclease yangdihasilkan oleh jaringan. Enzim ini mampumelonggarkan struktur jaringan otot menyebabkan meningkatnya daya mengikat airdan keempukan.

Pengujian keempukan secara obyektif dapat dilakukan secara mekanik termasuk pengujian kompresi (indikasi kealotan jaringan ikat), daya iris Warner Bratzler (indikasi kealotan miofibril), adhesi (indeks kekuatan jaringan ikat) dan susut masak (sensitif terhadap perubahan jus daging) (Soeparno, 1992). Kisaran ukuran keempukan daging menurut Pearson (1963) terbagi atas empuk dengan skala 0-3, cukup/sedang dengan skala > 3-6 dan alot dengan skala > 6-11. Jika hasil pengukuran daya iris menunjukan angka lebih dari 11 maka daging tersebut sulit dimakan manusia.

Derajat ikatan silang intra dan intermuskelur antara rantai-rantai polipeptida dalam kolagen meningkat dengan meningkatnya umur hewan. Hasil pengamatan Bailey dan Light (1989) telah memberi penjelasan perubahan yang ada hubungannya dengan umur dalam kolagen tendon, urat daging dan jaringan lain. Pada hewan-hewan muda


(30)

hampir semua ikatan silang (dapat direduksi, labil terhadap panas dan asam) meningkat sampai umur dua tahun, kemudian secara perlahan diganti oleh ikatan-ikatan yang stabil terhadap panas. Mereka juga menambahkan bahwa perbedaan urat daging bukan hanya dalamm total kadar tenunan pengikat, tetapi juga dalam tipe molekul kolagen yang ada.

Menurut Bendell (1967) dikutip oleh Lawrie (1995), serat-serat elastis walau berasosiasi dengan dinding pembuluh darah dan umumnya hanya sedikit yang mengandung tenunan pengikat urat daging, tetapi berhubung serat tersebut mengkerut dan menjadi liat bila dipanaskan, maka kontribusinya terhadap tekstur daging patut mendapat perhatian. Hampir semua serat elastis terdiri dari elastin (kelihatannya seperti suatu protein yang amorf) ; yang lainnya adalah protein multifibler yang mengandung banyak asam amino tidak larut dengan meningkatnya umur hewan.

Menurut Lawrie (1995) diameter miofibril menurun bila dipanaskan dalam media air pada suhu sampai 90°C dan berkas-berkas kecil miofibril memendek mencapai 30% dari panjangnya semula pada suhu 90°C.

Menurut Hinner dan Hankins (1950) dikutip oleh Farida (1992), terdapat perbedaan keempukan menurut letak daging pada bagian tubuh seekor ternak, berturut-turut yang paling liat adalah leher dan kaki depan, kaki belakang dan pinggul, kemudian rusuk dan pinggang bagian depan dan yang paling empuk adalah pinggang bagian belakang.

Fiems et al. (2000) menambahkan bahwa nilai keempukan daging sangat dipengaruhi oleh faktor penanganan ternak sebelum pemotongan, pakan ternak, pH dan perlemakan.


(31)

Penampakan atau lebih spesifik tekstur dilihat dengan mata adalah suatu fungsi ukuran atau dari berkas-berkas serat dimana perimisium dari tenunan pengikat membagi-bagi daging secara longitudinal (Anton, 2001).

Papain

Lokasi Enzim Papain dalam Buah Pepaya

Kata enzim berasal dari bahasa Yunani yang arti harfiahnya di dalam sel, selain itu kata enzimjuga dikenal dengan istilah fermen yang berarti ragi atau cairan ragi. Istilah ini dalam literatur Jermandan Prancis masih digunakan sebagai sinonim istilah enzim. Enzim merupakan katalisator dari sistembiologis yang dapat menyebabkan perubahan dan reaksi tertentu. Hampir semua enzim yang telahdiketahui adalah protein sehingga enzim merupakan biokatalisator yang dibentuk dari molekul proteinterutama yang berbentuk globulan.

Enzim yang berperan penting dalam hidrolisis protein ada 2 yaitu protease yang dapatmemecah ikatan protein menjadi peptide, dan peptidase yang dapat memecah ikatanpeptida menjadiasam amino. Dengan kombinasi protease dan peptidase dapat memecah 90% ikatan peptide.MenurutFennema (1985), enzim papain adalah enzim proteolitik yang terdapat pada getah tanaman papaya (cacica

papaya L). secara umum yang dimaksud papain adalah papain yang dimurnikan maupunpapain yang masih kasar. Semua bagian papaya seperti buah, daun, tangkai daun, dan batangmengandung enzim papain dalam getahnya, tetapi bagian yang paling banyak mengandung enzimpapain adalah buahnya.Papaya merupakan jenis tanaman dari famili


(32)

caricacea yang mudah tumbuh dan banyakterdapat di daerah tropis. Famili caricacea terdiri dari 4 genus yaitu carica, jarilla, jacaratia, dancylicomorpha.

Papain merupakan salah satu jenis enzim hidrolase yang bersifat proteolitik. Papain oleh Komisi Enzim Internasional diklasifikasikan ke dalam EC 3.4.22.2 dimana (3) menunjukkan kelas Hidrolase, (4) menunjukkan sub-kelas amidase, dan (22) menunjukkan sub-sub kelas endopeptidase (Suhartono, 1991).

Beveridge (1996) menjelaskan bahwa papain memiliki sisi aktif yang terdiri atas asam amino sistein dan histidin. Diantara kedua asam amino tersebut, asam amino yang sangat bersifat reaktif adalah sistein, dimana di dalam sistein tersebut terdapat sebuah gugus tiol (-SH). Oleh karena itu, papain digolongkan ke dalam protease tiol (Suhartono, 1991). Menurut Poedjiadi (2006), papain juga tergolong ke dalam endopeptidase, dimana papain dapat memecah protein pada tempat-tempat tertentu dalam molekul protein dan biasanya tidak mempengaruhi gugus yang terletak di ujung molekul.

Sisteina merupakan asam amino non esensial bagi manusia yang memiliki atom S, bersama-sam dengan metionin. Atom S terdapat pada gugus tiol (dikenal juga sebagai sulfihidril atau merkaptan). Karena memilki atom S, sistein menjadi sumber utama dalam sintesis senyawa-senyawa biologis lain yang mengandung belerang. Sistein dan metionin pada protein juga berperan dalam menentukan konformasi protein karena adanya ikatan hydrogen pada gugus tiol. Sisteina mudah teroksidasi oleh oksigen dan membentuk sistin, senyawa yang terbentuk dari dua melekul sisteina yang berikatan pada atom S masing-masing. Reaksi ini melepas satu molekul air (reaksi dehidrasi) (Wikipedia, 2009).

Enzim papain menyerang protein pada serat-serat dan menghidrolisanya menjadi peptida yang lebihkecil. Enzim papain dapat menghasilkanperubahan keempukan daging (Bratzler, 1971).


(33)

Lehninger dalam Budiyanto dan Usmiati (2009), bahwa penambahan papain dapat meningkatkan kesan keempukan daging dibanding dengan kontrol. Jumlah enzim semakin meningkat, maka semakin banyak substrat yang diubah menjadi produk.

Proses pengempukan secara alamiah terjadi karena pemecahan protein-protein daging oleh enzim protease. Tampak bahwa penggunaan enzim papain membantu dalam proses pemecahan protein-protein daging yang semakin banyak. Peningkatan nilai keempukan daging kambing disebabkan adanya aktivitas enzim proteolitik/protease yang memiliki kemampuan dalam memecahkan endomisium yang menyelubungi serabut-serabut daging dan menghancurkan tenunan pengikat menjadi serabut-serabut amorf (Sunarlim dan Usmiati, 2009).

Menurut Kalie (2006) rasa pahit daun pepaya disebabkan oleh kandungan alkaloid carpain (C14H25NO2) yang banyak terdapat pada daun muda. Alkaloid ini dapat menurunkan tekanan darah dan membunuh amoeba. Batang, daun, dan buah pepaya muda mengandung getah berwarna putih. Getah ini mengandung suatu enzim pemecah atau enzim proteolitik yang disebut papain. Papain termasuk enzim hidrolase, yaitu enzim yang mampu mengkatalis reaksi-reaksi hidrolisis suatu substrat (protein). Sebagai enzim proteolitik, papain banyak digunakan dalam industri, diantaranya industri makanan, minuman, farmasi, kosmetik, tekstil, dan penyamak. Sementara itu, getah pepaya selain mengandung enzim papain juga mengandung kemokapain, lisosim, lipase, glutamin, dan siklotransferas.

Sifat basa penyebab rasa pahit pada alkaloid menyebabkan senyawatersebut mudah mengalami dekomposisi terutama oleh panas (Sastrohamidjojo, 1996).


(34)

Mekanisme kerja papain melibatkan triad katalitik yang terbentuk antara Cys25, His159, dan Asn 175. Gugus amida dari Asn 175 akan menarik proton dari inti imidazol His159 sehingga kebasaannya meningkat. Inti imidazol dari His159 akan menarik H+ dari–SH pada Cys25 sehingga kenuklofilikan gugus SH bertambah. Sementara itu nitrogen amida dari Cys25 membentuk ikatan hidrogen dengan atom O gugus karbonil pada substrat. Ikatan hidrogen kedua terbentuk antara gugus –NH2 dari Gln 19 dengan O gugus karbonil pada substrat. Keadaan ini akan mempermudah penyerangan ion sulfida (S2-) terhadap gugus C=O dari substrat yang diikuti oleh pecahnya katan peptida dari substrat membentuk suatu amina (Gambar 1) (Fersht, 1985).

Gambar 1.Skema mekanisme kerja enzim papain (Sumber: Tutik, 2003)

Penyimpanan Dingin dan Pertumbuhan Bakteri

Pertumbuhan bakteri dapat dinyatakan sebagai konstanta laju pertumbuhan (k) yaitu jumlah generasi per jam dengan rumusk = log �1−����0

0,301� , sedangkan waktu generasi

dinyatakan sebagai 1/k. Keterangan :

X0 = Jumlah sel awal X1 = Jumlah sel akhir t = Waktu dari X0 ke X1

His 159 Substrat H

N

N H N

S-H

H H

N 19 Gln

Cys 25 N

Asn 175 NH


(35)

Waktu generasi menurut Fardiaz (1992) adalah waktu yang dibutuhkan oleh suatu populasi bakteri untuk bertambah jumlahnya menjadi dua kalinya. Pertumbuhan bakteri digambarkan sebagai suatu kurva seperti ditampilkan pada Gambar 2.

Gambar 2. Kurva Pertumbuhan Bakteri

Menurut Soeparno (1992), banyak faktor yang mempengaruhi pertumbuhan mikroorganisme dalam daging termasuk temperatur, kadar air, kelembaban, oksigen, tingkat keasaman dan kebasaan (pH) dan kandungan zat gizi. Daging sangat memenuhi persyarat untuk perkembangan mikroorganisme, termasuk mikroorganisme perusak dan pembusuk, karena (1) mempunyai kadar air tinggi (kira-kira 68-73 %), (2) kaya akan zat yang mengandung nitrogen dengan kompleksitas yang berbeda, (3) mengandung sejumlah karbohidrat yang dapat difermentasi, (4) kaya akan mineral ndann kelengkapan faktor untuk pertumbuhan mikroorganisme, (5) mempunyai pH yang menguntungkan bagi sejumlah mikroorganisme (5,3-6,5) (Soeparno, 1992).

Menurut Winarno (1993) pendinginan adalah penyimpanan bahan pangan diatas suhu pembekuan bahan yaitu -2 sampai 10°C. Pendinginan yang biasa dilakukan sehari-hari dalam lemari es adalah pada suhu 5-8°C.


(36)

Pendinginan berbeda degan pembekuan dalam hal suhu penyimpanan dan kemampuan mengawetkan bahan pangan. Pendinginan dan pembekuan juga akan berbeda pengaruhnya terhadap rasa, tekstur, nilai gizi dan sifat-sifat lain dari bahan pangan. Pendinginan merupakan cara yang sudah umum bagi pengawetan makanan yang sifatnya sementara. Beberapa faktor yang kritis dalam pendinginan adalah temperatur, kelembaban relatif, ventilasi dan penggunaan cahay ultra violet (Apandi, 1974).

Menurut Annan dan Kolari (1965) dikutip oleh Palupi (1963), karkas yang masih segar biasanya disimpan pada suhu sekitar 0°C. Pendinginan ini tidak membunuh mikroba, tetapi hanya menghambat pertumbuhannya. Daging juga harus selalu disimpan pada suhu rendah sejak hewan dipotong sampai pada waktu daging akan diolah.

Pada umumnya faktor yang mempengaruhi pertumbuhan mikroorganisme dalam daging dibagi menjadi dua kelompok yaitu (1) faktor dalam (intrinsik) termasuk nilai nutrisi daging, kadar air, pH, potensial oksidai dan reduksi dan ada tidaknya substansi penghalang atau penghambat, (2) faktor luar (eksterinsik) misalnya temperatur, kelembaban relatif, ada tidaknya oksigen dan bentuk atau kondisi daging, misalnya karkas atau potongan karkas, daging cacahan atau daging giling (Forrest et al., 1975). Salah satu faktor eksterinsik yang sangat menentukan laju pertumbuhan atau jumlah mikroorganisme pada daging adalah temperatur. Berdasarkan temperatur maksimum dan optimum pertumbuhan, mikroorganisme dibagi menjadi 3 kelompok yaitu mesophiles, psychrophiles dan thermophiles.

Menurut Lawrie (1995), invasi mikroba ke dalam daging (infeksi)menyebabkan produk tidak menarik karena terjadi beberapa perubahan yaitu terjadipembusukan. Buckle et al. (1987) menjelaskan bahwa daging menjadi berlendir,berbau busuk, dan rusak jika jumlah mikroba 107-108 CFU/cm2. Pendapat ini didukung oleh Frazier dan


(37)

Weshoff (1988) yang menyatakan, bahwa bau dari dagingtimbul jika jumlah bakterinya berkisar antara 1,2x106-108 CFU/cm2 dan akan timbullendir jika jumlah mikrobanya 3,0x106-3,0x108 CFU/cm2. Menurut Standar NasionalIndonesia (SNI) standar perdagangan (SP)-SMP-93-1975, jumlah mikroba yangdiperkenankan per gram adalah 5x105 CFU/cm2 (Badan Standarisasi Nasional,1995).

Uji Organoleptik

Menurut Soekarto (1985), uji hedonik adalah salah satu jenis uji penerimaan di dalam penilaian organoleptik. Tujuan dari uji penerimaan adalah untuk mengetahui apakah suatu produk atau sifat sensory tertentu diterima oleh masyarakat. Oleh karena itu, tanggapan suka atau tidak harus pula diperoleh dari sekelompok orang yang dapat mewakili pendapat umum atau mewakili suatu populasi masyarakat tertentu.

Sifat organoleptik menggunakan indera manusia sebagai instrumen penilaian. Beberapa sifat yang menentukan dari suatu produk dapat dinilai secara organoleptik, misalnya aroma, warna, rasa, dan tekstur (Utami, 2008).

Untuk melaksanakan penilaian organoleptik diperlukan panel. Menurut Soekarto (1985), menyatakan bahwa terdapat enam macam panel yaitu panel pencicip perorangan, pencicip terbatas, terlatih, tidak terlatih, agak terlatih dan panel konsumen. Panelis tak terlatih jumlahnya berkisar antara 15–25 orang.

Panelis terlatih merupakan panelis hasil seleksi dari sejumlah panel (5-10 orang atau 15-25 orang). Seleksi pada panelis terlatih umumnya mencakup hal kemampuan untuk membedakan citarasa dan aroma dasar, ambang pembedaan, kemampuan membedakan derajat konsentrasi, daya ingat terhadap citarasa dan aroma. Hal ini untuk menciptakan kemampuan atas kepekaan tertentu di dalam menilai sifat organoleptik


(38)

bahan makanan tertentu. Anggota panel terlatih yang digunakan tidak selalu dari personalia laboratorium ataupun orang non laboratorium (Suardi, 2010).

Berbeda dengan uji kesukaan (hedonik), uji mutu hedonik tidak menyatakan suka atau tidak suka, melainkan menyatakan kesan tentang baik atau buruk. Kesan baik-buruk ini disebut kesan mutu hedonik, karena itu beberapa ahli memasukan uji mutu hedonik ke dalam uji hedonik (Soekarto, 1985).


(39)

BAB III

METODE PENELITIAN

Lokasi dan Waktu

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Teknologi Pangan Program Studi Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara. Penelitian ini berlangsung selama 4 minggu yaitu pada Bulan Juli 2013 sampai Agustus 2013.

Bahan dan Alat Bahan

Penelitian ini menggunakan paha belakang kuda jantan tua yang telah afkir yang diperoleh dari Pasar Dolok Sanggul, enzim papain yang diperoleh dari pepaya mentah (Carica papaya L), nutrient agar, larutan Na-fisiologis 0,85%, buffer universal, buffer kasein, HCl, aquades, tirosin, TCA, CaCl2, NaCO3, dan folin.

Alat

Alat-alat yang dipakai dalam penelitian ini meliputi curer (pengebor daging), Penetrometer, sentrifuse, pH meter, ruang pendingin (kulkas 6°C), timbangan elektrik, plastik poly ethylene, mangkuk tempat merendam sampel, stop watch, pisau, panci, kompor gas, pemanasan bunsen, inkubator dan alat-a0lat gelas yang terdapat di Laboratorium Teknologi Pangan.

Metode Penelitian Pengambilan Sampel

Pengambilan sampel dipenelitian ini terbagi dua, yaitu pengambilan sampel pada daging kuda dan enzim papain yang berasal dari buah pepaya muda.


(40)

Enzim Papain dari Buah Pepaya

Enzim papain diperoleh melalui penyadapan getah buah pepaya mentah minimal berumur 3 bulan. Kualitas papain tergantung jenis pepaya, jumlah torehan, interval penyadapan. Jumlah torehan maksimal 5 buah dengan kedalaman 2 mm, tujuannya agar pepaya tidak cepat busuk. Penyadapan dilakukan 4 hari sekali pada pukul 05.30–08.30 WIB atau 17.30-18.30 WIB. Buah pepaya disadap 14 kali dengan pisau khusus sehingga satu buah pepaya menghasilkan 40 gr getah.

Perendaman daging dengan ekstrak kasar enzim papain.

Bagian paha belakang kuda yang telah dibeli di Pasar Dolok Sanggul, selanjutnya paha belakang dibagi menurut jumlah sampel yang dibutuhkan dengan berat sampel antara 200 gr per perlakuan dengan perbandingan 1:1 terhadap konsentrasi enzim papain. Sampel-sampel tersebut diambil secara acak dan direndam dalam larutan enzim papain sesuai perlakuan, lalu diukur keempukan, susut masak, pH dan daya mengikat air, juga dilakukan pengujian organoleptik terhadap beberapa perlakuan yang dipilih.

Rancangan Percobaan. Rancangan percobaan untuk tahap ini adalah rancangan acak lengkap (RAL) Faktorial dengan 3 kali ulangan. Model rancangan percobaan ini adalah: Faktor I:

A1 = enzim papain dengan konsentrasi 0% A2 = enzim papain dengan konsentrasi 25% A3 = enzim papain dengan konsentrasi 50% Faktor II:

B1 = waktu perendaman 60 menit B2 = waktu perendaman 90 menit


(41)

B3 = waktu perendaman 120 menit Perlakuan:

A1B1 = perendaman dalam ekstrak enzim papain konsentrasi 0% selama 60 menit A1B2 = perendaman dalam ekstrak enzim papain konsentrasi 0% selama 90 menit A1B3 = perendaman dalam ekstrak enzim papain konsentrasi 0% selama 120 menit A2B1 = perendaman dalam ekstrak enzim papain konsentrasi 25% selama 60 menit A2B2 = perendaman dalam ekstrak enzim papain konsentrasi 25% selama 90 menit A2B3 = perendaman dalam ekstrak enzim papain konsentrasi 25% selama 120 menit A3B1 = perendaman dalam ekstrak enzim papain konsentrasi 50% selama 60 menit A3B2 = perendaman dalam ekstrak enzim papain konsentrasi 50% selama 90 menit A3B3 = perendaman dalam ekstrak enzim papain konsentrasi 50% selama 120 menit

Model matematik percobaan yang digunakan adalah :

Dimana:

Yijk = nilai pengamatan pada faktor A taraf ke-i, faktor B taraf ke-j dan ulangan ke

k,

µ = rataan umum

αi = pengaruh utama faktor A ke-i

βj = pengaruh utama faktor B ke-j

(αβij) = pengaruh interaksi dari faktor A ke-i dan faktor B ke-j

εijk = pengaruh acak yang menyebar Normal (0, σ2).

Pengulangan : t (n – 1) ≥ 15

( )

ij ijk j

i ijk


(42)

9 (n -1 ) ≥ 15 9n – 9 ≥ 15 9n ≥ 2,5 9n ≥ 3


(43)

BAB IV

PENGAMATAN Pengamatan yang diukur dalam penelitian ini adalah: Pengukuran Aktivitas Enzim Papain

Aktivitas enzim papain diukur dengan menggunakan metode Bergmeyer dan Grassl (1983) sebagai berikut:

Tabel 2. Metode Analisis Aktivitas Enzim Protease.

reaksi mpel anko ndar

ffer ฀actor฀฀฀ Ph 8,0

0 0 0

ffer kasein 0 0 0

Cl (0,05 mol/l) 0 0 0

rutan enzim 0

uades 0

osin standar (5 µM) 0

Inkubasi selama 10 menit pada suhu 30°C

A (0,1 mol/l) 0 0 0

Cl2 (2 mmol/ l) 0

rutan enzim 0 0

nkubasi selama 10 menit pada suhu 30°C dan dilanjutkan dengan sentrifuse pada 4000 rpm selama 10 menit

pernatan 0 0 0

CO3 (0,4 mol/ l) 0 0 0

reaksi folin 0 0 0

kubasi ฀acto 20 menit pada shu 30°C, kemudian dibaca absorbansinya pada 2, 578 nm

*Bergmeyer dan Grass (1983)

Setelah percobaan absorbansi dilakukan, maka nilai aktivitas protease per ml per menit dihitung dengan rumus:

U = Asp – Abl Ast – Abl P

x1x 10 menit

Keterangan :

U : unit aktivitas protease per ml per menit (u/ ml/ menit) Asp : nilai absorbansi sampel

Abl : nilai absorbansi standar Abl : nilai absorbansi blanko


(44)

P : ฀actor pengenceran T : waktu inkubasi

Parameter yang Diukur Pengukuran Keempukan

Pengukuran keempukan dilakukan secara obyektif menggunakan alat Penetrometer.Sampel yang telah direbus dipotong persegi panjang ketebalan sekitar 3-4 cm. Tiap sampel diukur dengan cara ditusuk pada tiga titik dengan menggunakan alat panetrometer ฀actor฀฀฀ yang diberi tekanan sebesar 50 gr dengan skala 1/10 mm selama 10 detik. Nilai keempukkan daging dapat dibaca pada skala yang ditunjuk oleh jarum penunjuk.

250 Keempukkan (gr/mm) =

10

( Pangkal + Ujung + Tengah / 3 )

Pengukuran Ph daging

Pengukuran Ph daging dilakukan dengan menggunakan alat Ph meter. Menurut Bendall (1973) dikutip oleh Soeparno (1992) persiapan sampel untuk pengukuran Ph daging adalah sebagai berikut, 5 gr daging dilumatkan menjadi daging maserasi, kemudian ditambah 5 ml aquades, diaduk hingga rata (฀actor฀฀) lalu diukur dengan Ph meter.

Pengukuran Susut Masak

Sampel daging ditimbang sebelum dimasukkan ke dalam kantong ฀actor฀ poly ethylene dan dicelupkan dalam air panas pada suhu sekitar 90 ± 0,5°C selama 30 menit. Kemudian sampel didinginkan didalam air mengalir selama 30 menit dan disimpan semalam pada suhu 10°C sebelum dtimbang lagi untuk menetukan susut masak.


(45)

Berat sampel segar

Pengukuran Daya Mengikat Air

Pengukuran daya mengikat air dilakukan dengan menggunakan metode sentrifuse. Caranya adalah sejumlah contoh daging dicacah atau dilumatkan, kemudian diambil sebanyak 5 gr daging, dimasukkan dalam tabung 10 ml dan ditambahkan aquades 5 ml. Dilakukan penutupan tabung dan disimpan selama semalam pada suhu 10°C. Setelah itu disentrifuse dengan kecepaatan 3000 rpm selama 20 menit. Sisa cairan yang tidak terserap oleh daging dituangkan dan diukur dengan gelas ukur. Perhitungannya adalah sebagai berikut:

Daya Mengikat Air (%) = a – b a

x 100%

Keterangan: a = jumlah air yang ditambah

b = jumlah air yang tidak terserap daging

Uji Organoleptik

Penilaian uji organoleptik terhadap empat ฀actor฀฀ yaitu tekstur, aroma, keempukkan dan rasa. Penilaian dilakukan 15 panelis agak terlatih. Skala ini untuk keempatkriteria tersebut dari 1-5. Format penilaian disajikan pada Lampiran 9.

Pengujian Jumlah Bakteri

Pertama-tama dilakukan pembuatan ekstrak daging. Sebanyak 1 gr daging yang telah dipotong kecil-kecil secara ฀actor฀, dimasukkan ke dalam 45 ml Na-fisiologis 0,85%, kemudian dihomogenkan. Ekstrak ini digunakan untuk uji jumlah bakteri. Pengujian jumlah bakteri dilakukan dengan cara 1 ml ekstrak daging dipindahkan ke


(46)

dalam 9 ml pengencer Na-fisiologis 0,85% steril dan dihomogenkan. Pemupukkan dilakukan dengan metode tuang memakai medium nutrient agar. Pengenceran yang dilakukan sampai 10-6. Pupukan diinkubasi pada 35-37°C selama 48 jam, kemudian diamati adanya pertumbuhan koloni. Koloni yang tumbuh dihitung menggunakan metode SPC (Standard Plate Count) dengan rumus:


(47)

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengukuran Keempukan Daging

Keempukan merupakan faktor yangmempengaruhi mutu produk terutama

hubungannya dengan selera konsumen danmempengaruhi penerimaan secara umum.Keempukan daging dapat diketahui denganmengukur daya putusnya, semakin rendah nilaidaya putusnya, semakin empuk daging tersebut(Maruddin, 2004).

Tabel 3.Pengaruh interaksi antara konsentrasi larutan enzim papain dan lama perendaman terhadap keempukan daging kuda jantan tua

SK DB JK KT F.Hit F.Tab

0.05

F.Tab

0.01 Ket A 2 820,4718519 410,2359 276,7017 3,55 6,01 ** B 2 0,142962963 0,071481 0,048214 3.55 6,01 tn AB 4 0,865925926 0,216481 0,146015 2,93 4,58 tn Galat 18 26,68666667 1,482593

Total 26 848,1674074

Hasil analisis sidik ragam pada Tabel 3 menunjukkan bahwa perlakuan perendaman larutan enzim papain berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap keempukan daging kuda jantan tua. Sedangkan pengaruh terhadap lamanya perendaman dan interaksi tidak berbedanyata (P>0,05).

Semakin tinggi konsentrasi enzim papain 100 ml yang digunakan pada sample daging 200 gr menghasilkan keempukan yang paling tinggi (lampiran 1).

Peningkatan keempukan daging kuda jantan tua ini dapat disebabkan oleh kerja enzim papain yang menyerang protein pada serat-serat danmenghidrolisanya menjadi peptida yang lebihkecil sehingga enzim papain dapat menghasilkanperubahan keempukan daging (Bratzler,1971).Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi enzim yang digunakan, maka kecepatan reaksi akan semakin meningkat, sehingga kerja enzim


(48)

dalam menghidrolisis protein serat otot dan tenunan pengikat semakin tinggi pula sehingga dihasilkan daging yang semakin empuk.

Penurunan nilai keempukan daging kuda jantan tua ini terjadi karena adanya aktivitas enzim proteolitik yang menghidrolisis protein daging sehingga dihasilkan daging yang lebih empuk. Selama proses pengempukan daging terjadi hidrolisis protein daging, jaringan ikat dan serabut otot yang akan dihasilkan jaringan lunak yang menyebabkan daging menjadi empuk. Hal ini sesuai dengan pernyataan Fennema (1985), yang menyatakan bahwa enzim yang berperan penting dalam hidrolisis protein ada 2 yaitu protease yang dapatmemecah ikatan protein menjadi peptide, dan peptidase yang dapat memecah ikatanpeptida menjadiasam amino. Dengan kombinasi protease dan peptidase dapat memecah 90% ikatan peptide.

Pengukuran pH Daging

Berdasarkan data (lampiran 2) nilai pH daging kuda jantan tuapada konsentrasi 25% (50 ml) dan 50% (100 ml), daging memiliki nilai pH yang sama-sama dibawah pH ultima daging yaitu berkisar 5,00. Rata-rata nilai pH daging kuda jantan tua yang tidak diberi perlakuan perendaman larutan enzim papain adalah berkisar 6,00. Dari hal ini dapat diketahui bahwa penambahan enzim papainberpengaruh terhadap penurunan pH daging dari 6.00 menjadi 5.00namun tidak adanya interaksi antara konsentrasi enzim dan waktu perendaman terhadap kondisi pH daging. Kondisi pH daging yang tidak diberikan perlakuan adalah 6.00, dapat dikarenakan daging telah mengalami proses glikolisis dan penghasilan asam laktat yang menyababkan penurunan pH menjadi sedikit asam.

Jaringan otot hewan pada saat hidupmempunyai nilai pH sekitar 5,1 sampai 7,2 danmenurun setelah pemotongan karenamengalami glikolisis dan dihasilkan asamlaktat yang akan mempengaruhi pH. pHultimat daging tercapai setelah glikolisis ototmenjadi


(49)

habis atau setelah enzim-enzimglikolitik menjadi tidak aktif pada pH rendahatau glikogen tidak lagi sensitif terhadapserangan-serangan enzim glikolitik. pH ultimatnormal daging postmortem adalah sekitar 5,5yang sesuai dengan titik isoelektrik sebagianbesar protein daging termasuk protein miofibril(Lawrie, 1995).Forrest et al (1975) menambahkan bahwa pH ultimat daging normal adalah 5,4-5,8. Penurunan pH normal perlahan-lahan dari pH 7 (hewan hidup) menjadi 5,6-5,7 dalam waktu 6-8 jam setelah mati, kemudian pH akhir sekitar 5,3-5,7 dicapai kira-kira 24 jam post mortem.

Hasil analisis sidik ragam terhadap pH daging kuda jantan tua dengan perendaman larutan enzim papain pada Tabel 4 menunjukkan bahwa perlakuan perendaman tidak mempengaruhi nilai pH(P>0,05).

Tabel 4. Pengaruh interaksi antara konsentrasi larutan enzim papain dan lama perendaman terhadap ph daging kuda jantan tua

SK DB JK KT F.Hit F.Tab

0.05

F.Tab

0.01 Ket

A 2 6 3 0 3,55 6,01 tn

B 2 0 0 0 3.55 6,01 tn

AB 4 0 0 0 2,93 4,58 tn

Galat 18 0,0 0

Total 26 6

Nilai pH daging kuda jantan tua cenderung semakin menurun dengan adanya perlakuan perendaman larutan enzim papain (konsentrasi perendaman 25% dan 50%) dibandingkan dengan nilai pH daging kuda jantan tua tanpa perlakuan perendaman (0%). Hal ini dikarenakan dalam proses perendaman daging kuda jantan tua terjadi hidrolisis protein daging sehingga menyebabkan terlepasnya ion-ion hidrogen (H+) yang akan diikuti dengan terjadinya penurunan pH daging.


(50)

Pengukuran Susut Masak

Susut masak merupakan salah satu indikator nilai nutrisi daging yangberhubungan dengan kadar jus daging yaitu banyaknya air yang terikat di dalam dandiantara serabut otot.

Tabel 5. Pengaruh interaksi antara konsentrasi larutan enzim papain dan lama perendaman terhadap susut masak daging kuda jantan tua

SK DB JK KT F.Hit F.Tab

0.05

F.Tab

0.01 Ket A 2 6860,574074 3430,287 821,8079 3,55 6,01 ** B 2 0,074074074 0,037037 0,008873 3.55 6,01 tn AB 4 0,677037037 0,169259 0,04055 2,93 4,58 tn Galat 18 75,13333333 4,174074

Total 26 6936,458519

Hasil analisis sidik ragam terhadap susut masak daging kambing dengan perlakuan perendaman enzim papain menunjukkan bahwa perlakuan perendaman meningkatkan persentase susut masak daging secara sangat nyata (P<0,01).

Pada data penelitian(lampiran 3)menunjukkan bahwa jumlah cairan yang keluar dari dalam daging lebih banyak pada konsentrasi 50% dibanding 25%. Perbedaan ini diduga disebabkan oleh kerja sifat enzim papain yang merupakan enzim proteolitik (Miller, 1958) dalam meningkatkan degadrasi protein pada daging, sehingga dengan meningkatnya konsentrasi enzim papain yang diberikan maka semakin tinggi tingkat kerusakan membran seluler ikatan-ikatan peptida dan semakin banyak air keluar dari daging. Menurut Shanks et al. (2002) besarnya susut masak dipengaruhi oleh banyaknya kerusakanmembran seluler, banyaknya air yang keluar dari daging, umur simpan daging,degradasi protein dan kemampuan daging untuk mengikat air. Soeparno (2005) menambahkan Susut masak dapat dipengaruhi olehpH, panjang sarkomer serabut otot, panjang potongan serabut otot, status kontraksimiofibril, ukuran dan berat sampel daging serta penampang lintang daging.


(51)

Pengukuran Daya Mengikat Air

Daya Mengikat Air (DMA) adalahkemampuan daging untuk mengikat airnya atauair yang ditambahkan selama ada pengaruhkekuatan dari luar, misalnya pemotongandaging, pemanasan, penggilingan, dan tekanan(Soeparno, 2005).

Tabel 6. Pengaruh interaksi antara konsentrasi larutan enzim papaindan lama perendaman terhadap daya mengikat air daging kuda jantan tua

SK DB JK KT F.Hit F.Tab

0.05

F.Tab

0.01 Ket A 2 18,48222222 9,241111 493,4929 3,55 6,01 ** B 2 0,000422222 0,000211 0,011274 3.55 6,01 tn AB 4 0,004155556 0,001039 0,055479 2,93 4,58 tn Galat 18 0,33706667 0,018726

Total 26 18,82386667

Dari hasil analisis sidik ragam pada Tabel 6 menunjukkan pemberian konsentrasi larutan enzim papain menunjukkan pengaruh yang sangat nyata (P<0,01) terhadap daya mengikat air. Sedangkan pada waktu perendaman tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap daya mengikat air daging kuda jantan tua, demikian pula antar perlakuan tidak saling berinteraksi.

Dari data penelitian (lampiran 4) menunjukkan bahwa nilai d.m.a yang diberi perlakuan cenderung meningkat dibandingkan dengan yang tanpa perlakuan. Hal ini menurut Soeparno (2005) menyatakan bahwa dengan penurunan pH yang semakin cepat terjadi karena semakin banyaknya protein sarkoplasmik yang terdenaturasi dan selanjutnya meningkatkan aktomiosin untuk berkontraksi, sehingga akan memeras cairan keluar dari protein daging.

Uji Organolpetik

Uji organoleptik ini dilakukan oleh 15 panelis agak terlatih di Laboratorium Teknologi Pangandi Universitas Sumatera Utara.Jumlah panelis diambil sesuai dengan


(52)

pendapat Soekarto (1985), yang menyatakan bahwa terdapat enam macam panel yaitu panel pencicip perorangan, pencicip terbatas, terlatih, tidak terlatih, agak terlatih dan panel konsumen. Panelis agak terlatih jumlahnya berkisar antara 15–25 orang.

a. Tekstur

Penampakan atau lebih spesifik tekstur dilihat dengan mata adalah suatu fungsi ukuran atau dari berkas-berkas serat dimana perimisium dari tenunan pengikat membagi-bagi daging secara longitudinal (Anton, 2001).

Tabel 7. Pengaruh interaksi antara konsentrasi larutan enzim papaindan lama perendaman terhadap organoleptik tekstur daging kuda jantan tua

SK DB JK KT F.Hit F.Tab

0.05

F.Tab

0.01 Ket A 2 48,41481 24,2074074 38,90476 3,55 6,01 ** B 2 0,548148 0,27407407 0,440476 3.55 6,01 tn AB 4 3,62963 0,90740741 1,458333 2,93 4,58 tn Galat 126 78,4 0,62222222

Total 134 130,9926

Dari hasil analisis sidik ragam pada Tabel 7 menunjukkan bahwa perlakuan pemberian konsentrasi larutan enzim papain terhadap daging kuda jantan tua berpengaruh sangat nyata (P<0,01), sedangkan waktu perendaman tidak berpengaruh nyata (P<0,05). Demikian pula tidak adanya pengaruh interaksi antara pemberian konsentrasi larutan enzim papain dengan waktu perendaman terhadap daging kuda jantan tua. Dari data penelitian (lampiran 5) pada pemberian konsentrasi enzim 50% menyatakan bahwa daging yang telah diberi perlakuan yaitu bertekstur kurang halus dan mendekati halus. Hal ini disebabkan karena pada protein terdapat sistein dan metionin yang berperan dalam menentukan konformasi protein karena adanya ikatan hydrogen pada gugus tiol. Sisteina mudah teroksidasi oleh oksigen dan membentuk sistin, senyawa yang terbentuk dari dua melekul sisteina yang berikatan pada atom S masing-masing, reaksi ini melepas satu molekul air (reaksi dehidrasi) (Wikipedia, 2009), sehingga semakin banyak enzim


(53)

papain yang diberikan pada daging maka semakin banyak ikatan sistein yang terhidrolisis dan daging menjadi empuk dan halus.

b. Aroma

Dari data pengamatan(lampiran 6) bahwa daging yang diberi perlakuan beraroma khas daging kuda atau berbau sedang.

Tabel 8.Pengaruh interaksi antara konsentrasi larutan enzim papain dan lama perendaman terhadap organoleptik aroma daging kuda jantan tua

SK DB JK KT F.Hit F.Tab

0.05

F.Tab

0.01 Ket A 2 18,85926 9,42963 11,48325 3,55 6,01 ** B 2 0,414815 0,207407 0,252577 3.55 6,01 tn AB 4 0,474074 0,118519 0,14433 2,93 4,58 tn Galat 126 103,4667 0,821164

Total 134 123,2148

Dari hasil analisis sidik ragam pada Tabel 8 menunjukkan bahwa perlakuan pemberian konsentrasi larutan enzim papain terhadap aroma daging kuda jantan tua berpengaruh sangat nyata (P<0,01), sedangkan waktu perendaman tidak berpengaruh nyata (P>0,05). Demikian pula tidak ada pengaruh interaksi antara pemberian konsentrasi larutan enzim papain dengan waktu perendaman terhadap aroma daging kuda jantan tua, artinya bau khas daging kuda jantan tua yang diperoleh dari penilaian panelis menunjukkan agak berbau dan tidak berbau.

c. Keempukan

Dari pengamatan tentang organoleptik keempukan pada daging kuda, berikut data dan rataan daya organoleptik keempukan pada daging kuda dengan perlakuan perendaman larutan enzim papain yang disajikan pada Tabel 9.


(54)

Tabel 9. Pengaruh interaksi antara konsentrasi larutan enzim papain dan lama perendaman terhadap organoleptik keempukan daging kuda jantan tua

SK DB JK KT F.Hit F.Tab

0.05

F.Tab

0.01 Ket K 2 32,01481 16,00741 23,85962 3,55 6,01 ** W 2 0,414815 0,207407 0,309148 3.55 6,01 tn KW 4 9,140741 2,285185 3,406151 2,93 4,58 * Galat 126 84,53333 0,670899

Total 134 126,1037

Dari hasil analisis sidik ragam pada Tabel 9 menunjukkan bahwa terdapat pada perlakuan pemberian konsentrasi larutan enzim papain terhadap daging kuda jantan tua berpengaruh sangat nyata (P<0,01), demikian pula dengan interaksi pemberian konsentrasi larutan enzim papain dengan waktu perendaman terhadap daging kuda jantan tua berpengaruh nyata. Sedangkan waktu perendaman tidak berpengaruh nyata (P>0,05). Konsentrasi enzim papain 50% (100 ml)menghasilkan keempukan yang paling tinggi dan nilai keempukan semakin meningkat dengan meningkatnya waktu perendaman yakni 90 menit atau lebih.Jadi nilai keempukan daging kambing menjadi semakin tinggi seiring dengan semakin besarnya konsentrasi enzim papain dan semakin lama waktu perendamannya.

Hal ini sesuai dengan yang dikatakan oleh Lehninger dalam Budiyanto dan Usmiati (2009), bahwa penambahan papain dapat meningkatkan kesan keempukan daging dibanding dengan kontrol. Jumlah enzim semakin meningkat, maka semakin banyak substrat yang diubah menjadi produk.

Proses pengempukan secara alamiah terjadi karena pemecahan protein-protein daging oleh enzim protease. Tampak bahwa penggunaan enzim papain membantu dalam proses pemecahan protein-protein daging yang semakin banyak. Peningkatan nilai keempukan daging kambing disebabkan adanya aktivitas enzim proteolitik/protease yang memiliki kemampuan dalam memecahkan endomisium yang menyelubungi


(55)

serabut-serabut daging dan menghancurkan tenunan pengikat menjadi serabut-serabut amorf (Sunarlim dan Usmiati, 2009).

d. Rasa

Tabel 10. Pengaruh interaksi antara konsentrasi larutan enzim papain dan lama perendaman terhadap organoleptik rasa daging kuda jantan tua

SK DB JK KT F.Hit F.Tab

0.05

F.Tab

0.01 Ket K 2 8,903704 4,451852 7,848881 3,55 6,01 ** W 2 1,348148 0,674074 1,188433 3.55 6,01 tn KW 4 1,362963 0,340741 0,600746 2,93 4,58 tn Galat 126 71,46667 0,567196

Total 134 83,08148

Dari hasil analisis sidik ragam pada Tabel 10 menunjukkan bahwa perlakuan pemberian konsentrasi larutan enzim papain terhadap daging kuda jantan tua berpengaruh sangat nyata (P<0,01), sedangkan waktu perendaman tidak berpengaruh nyata (P>0,05). Demikian pula tidak adanya pengaruh interaksi antara pemberian konsentrasi larutan enzim papain dengan waktu perendaman terhadap daging kuda jantan tua.Semakin meningkatnya penambahan jumlah larutan enzim papain pada daging akan semakin meningkatkan penerimaan ogranoleptik dari segi rasa.Hal ini disebabkan oleh semakin menurunnya senyawa alkaloid pada daging. Senyawa alkaloid pada enzim papain menyebabkan rasa dari produk olahan menjadi pahit. Menurut Kalie (2006), rasa pahit pada daun pepayadisebabkan karena alkaloid karpain (C14H25NO2). menurut Sastrohamidjojo(1996), sifat basa penyebab rasa pahit pada alkaloid menyebabkan senyawatersebut mudah mengalami dekomposisi terutama oleh panas, hasil dari reaksi ini artinya jika diberikan larutan enzim papain pada daging maka akan memberikan rasa pahit sehingga pemberiannya disarankan jangan melebihi dari setengah banyaknya daging yang diperlukan dalam pengempukan.


(56)

Penentuan Jumlah Mikroba

Dari hasil pemeriksaan uji kualitatif dan kuantitatif mikroba pada daging kuda jantan tua pada penelitian ini daapat dilihat pada Lampiran 10. Pada awal percobaan, daging telah mengandung bakteri sebanyak 21 koloni, pada percobaan kedua daging mengandung bakteri sebanyak 13 koloni. Dan pada percobaan ketiga hingga ke uji 10-6 bakteri sudah tidak terdapat lagi. Ini artinya bahwa daging kuda jantan tua telah memenuhi syarat untuk dapat dikonsumsi oleh masyarakat.

Kecepatan mikroba pada penelitian ini disebabkan tingginya jumlah mikroba pada awal percobaan, hal ini disebabkan pada saat kontaminasi pada saat penyembelihan, transportasi ke Laboratorium dan penangan di Laboratorium sehingga menyebabkan meningkatnya tingkat keasaman dan kebasaan (pH) pada daging tersebut.

Hal ini juga diperkuat oleh Separno (1992), yang menyatakan bahwabanyak faktor yang mempengaruhi pertumbuhan mikroorganisme dalam daging termasuk temperatur, kadar air kelembaban, oksigen, tingkat keasaman dan kebasaan (pH) dan kandungan gizi. Daging sangat memenuhi persyarat untuk perkembangan mikroorganisme, termasuk mikroorganisme perusak dan pembusuk, karena (1) mempunyai kadar air tinggi (kira-kira 68-73 %), (2) kaya akan zat yang mengandung nitrogen dengan kompleksitas yang berbeda, (3) mengandung sejumlah karbohidrat yang dapat difermentasi, (4) kaya akan mineral ndann kelengkapan faktor untuk pertumbuhan mikroorganisme, (5) mempunyai pH yang menguntungkan bagi sejumlah mikroorganisme (5,3-6,5)


(57)

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Getah pepaya mengandung enzim papain sehingga dapat dipakai sebagai bahan pengempuk daging.Enzim papain memberikan pengaruh pada keempukan, susut masak, daya mengikat air, dan uji oerganoleptik pada tekstur, aroma, keempukkan dan rasa pada daging kuda jantan tua. Enzim papain tidak memberikan pengaruh pada pH daging kuda jantan tua.

Saran

Untuk dapat menjelaskan perubahan yang terjadi pada daging kuda secara rinci akibat perlakuan perendaman enzim papain maka perlu dilakukan penelitian lanjutan mengenai pengaruh perendaman enzim papain terhadap keempukkan daging kuda dilihat secara histologis.


(58)

DAFTAR PUSTAKA

Aberle, E.D, J.C. Forrest, D.E. Gerrard, & E.W. Mills. 2001. Principles of Meat Science. 4th Ed. Kendall/Hunt Publishing Company.

Adnan, AS. 1977. Tinjauan Umum Tentang Daging dan Masalahnya. Bogor : Lembaga Penelitian Peternakan.

_____. 2011. Dari Kota Delman, Bemo dan Kota Angkot (02 Maret 2013)

Apandi, R. M. 1974. Pengantar Teknologi Pangan. Fakultas Pertanian. Universitas Padjajaran, Bandung.

Ashbrook, F. G. 1995. Butchering, Processing and Preservation of Meat. Canda : D. Van Nostrand Company, Inc.

Bailey, A. J. dan Light, N. D. 1989. Connective Tissue in Meat and Meat Product. Elsevier Appl. Sei., London.

Bergmeyer H. U. dan M. M. Grassl. 1983. Method of Enzymatic Analysis. Ed ke-2. Weinheim: Verlag Chemie.

Beveridge A J. 1996. A Theoritical Study of the Active Sites of Papain and S195C Rat Tripsin: Implication for the Low Reactivity of Mutant Serine Proteinases. Cambridge University Press: Journal of Protein Science.

Bogart, R. dan R. E. Taylor. 1983. Scientific Farm Animal Production. 2nd Ed. Macmillan Publishing Company, New York.

Bongianni, M. 1995. Simon and Schuster’s Guide to Horses and Ponies of The World. Simon and Schuster’s Inc. New York.

Bratzler, L.J. 1971. The Science of Meat and Meat Products 2nd Edition. W.H. Freeman and Co. San Fransisco.

Buckle K. A, R. A.Edward, G. H. Fleet danM.Wooton. 1987. Ilmu Pangan.Adiono M, Purnomo H, penerjemah. Jakarta: UI Press. Terjemahan dari: Food Science.

Burhan, B. 2003. Panduan Praktis Memilih Produk Daging Sapi. Jakarta : Gamedia Pustaka Utama.

Burson, D. E. 1988. Eating Quality. Di dalam Encyclopedia of Food Science and Technology. Academic Press, London.

Cassens RG. 1987. Structure of muscle. Di dalam: Price JF, Schweigert BS, editor. The Science of Meat and Meat Products. 3nd ed. Westport Connecticut: Food & Nutrition Pr.

Considine, D.M. and G. Considine. 1982. Food and Food Production Encyclopedia. Van Nonstran Reinhold Company: New York


(59)

Edwards, E. H. 1994. The encyclopedia of The horse. CABI Publishing, London.

Epley. RJ. 2008. Meat Tenderness nutrition/DJ0856.html [20 Maret 2013].

Fardiaz, S. 1992. Mikrobiologi Pangan. Jilid I. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Farida. 1992. Pengaruh Dosis dan Lama Pencampuran Sari Buah Nenas Matang terhadap

Keempukan Daging Paha Belakang Sapi Bali. Skripsi. Fakultas Peternakan. Universitas Padjajaran, Bandung.

Fennema, O.W., 1985. Principle of Food Science, Food Chemistry, 2nd (ed). Marcel Dekker Inc, New York.

Fersht, A. 1985. Enzyme: Structure and mechanism, 2nd Edition, New York: Wr Freeman and Company.

Fiems, L. O., S. De Campeneere, S.De Smet, G. Van de Voorde, J. M.Vanaker, and Ch. V.Boucque. 2000. Relationship between fat depots in carcasses of beef bulls and effect on meat colour and terderness. Meat Science, 56, 41-47.

Forrest, C. J., E. D. Aberle, H. B. Hedrick, M. D. Judge dan R. A. Merkel. 1975. Principles of Meat Science. W. H. Freeman and Co., San Fransisco, USA.

Frazier, W. C. danD. C. Westhoff. 1988. Food Mycrobiology. 4th Ed. Singapore : McGrawhill.

Hariyanto. 2011. Coto Kuda Jeneponto Penambah Vitalitas. Diakses tanggal 13 januari 2012.Kacker, R, Panwar B. 1996. Textbook of Equine Husbandry. Vikas publishing House. New Delhi.

http://WikipediaBahasaIndonesia,ensiklopediabebas.htm diakses pada 6 April 2013. Kadir, S. 2011. Jurnal Agribisnis Vol. XPreferensi Konsumen Terhadap Hasil Olahan

Daging Kuda Di Makassar. Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin.

Kadir, S. 2006. Analisis Permintaan dan Efisiensi Penggunaan Sumber Daya Dalam Rangka Meningkatkan Produksi Ternak Kuda Di Sulawesi Selatan, Lembaga Penelitian Universitas Hasanuddin. Makassar.

Kalie, 2006. Bertanam pepaya. Jakarta: Penebar Swadaya.


(1)

3 3 3 9

4 4 4 12

4 4 4 12

4 4 4 12

4 4 4 12

5 5 5 15

4 5 5 14

3 3 3 9

4 4 4 12

4 4 4 12

SubTotal 57 58 58 173

Total 152 148 154 454

Sumber: Data primer yang diolah (2013)

Daftar analisis ragam organoleptik aroma pada daging kuda dengan perlakuan perendaman larutan enzim papain

SK DB JK KT F.Hit F.Tab

0.05

F.Tab

0.01 Ket A 2 18,85926 9,42963 11,48325 3,55 6,01 ** B 2 0,414815 0,207407 0,252577 3.55 6,01 tn AB 4 0,474074 0,118519 0,14433 2,93 4,58 tn Galat 126 103,4667 0,821164


(2)

Lampiran7.Data pengamatan organoleptik Keempukan pada daging kuda dengan perlakuan perendaman larutan enzim papain

Konsentrasi Waktu Perendaman(menit) Total

60 90 120

Kontrol

3 4 2 9

4 1 1 6

4 1 4 9

1 2 2 5

2 2 2 6

4 2 3 9

3 3 1 7

4 3 2 9

4 3 2 9

3 3 2 8

3 2 2 7

3 2 2 7

2 2 2 6

1 2 2 5

3 3 1 7

SubTotal 44 35 30 109

25%

4 3 3 10

2 1 2 5

2 2 3 7

4 4 4 12

2 2 3 7

3 1 3 7

2 2 2 6

1 1 1 3

3 3 4 10

2 3 3 8

2 3 3 8

4 4 4 12

2 2 3 7

4 4 4 12

2 2 2 6

SubTotal 39 37 44 120


(3)

2 3 3 8

4 4 4 12

3 4 4 11

3 4 4 11

4 4 4 12

4 4 4 12

4 4 4 12

3 3 3 9

SubTotal 50 55 55 160

Total 133 127 129 389

Sumber: Data primer yang diolah (2013)

Daftar analisa ragam organoleptik keempukan pada daging kuda dengan perlakuan perendaman larutan enzim papain

SK DB JK KT F.Hit F.Tab

0.05

F.Tab

0.01 Ket A 2 32,01481 16,00741 23,85962 3,55 6,01 ** B 2 0,414815 0,207407 0,309148 3.55 6,01 tn AB 4 9,140741 2,285185 3,406151 2,93 4,58 * Galat 126 84,53333 0,670899


(4)

perendaman larutan enzim papain

Konsentrasi Waktu Perendaman (menit) Total

60 90 120

Kontrol

2 3 3 8

5 3 3 11

3 3 2 8

2 3 5 10

4 2 3 9

3 3 3 9

5 2 4 11

3 4 3 10

3 2 2 7

2 2 4 8

4 3 3 10

3 3 3 9

3 3 3 9

2 3 3 8

2 2 4 8

SubTotal 46 41 48 135

25%

2 3 3 8

3 4 4 11

1 2 2 5

4 3 3 10

2 2 3 7

3 3 3 9

3 3 3 9

4 4 4 12

2 2 2 6

3 2 3 8

4 4 4 12

4 4 4 12

3 3 3 9

2 3 3 8

3 2 3 8

SubTotal 43 44 47 134


(5)

4 4 4 12

4 4 4 12

3 3 3 9

3 3 3 9

4 4 4 12

4 4 4 12

4 4 4 12

3 4 4 11

3 3 3 9

SubTotal 51 54 54 159

Total 140 139 149 428

Sumber: Data primer yang diolah (2013)

Daftar analisa ragamorganoleptik rasa pada daging kuda dengan perlakuan perendaman larutan enzim papain

SK DB JK KT F.Hit F.Tab

0.05

F.Tab

0.01 Ket A 2 8,903704 4,451852 7,848881 3,55 6,01 ** B 2 1,348148 0,674074 1,188433 3.55 6,01 tn AB 4 1,362963 0,340741 0,600746 2,93 4,58 tn Galat 126 71,46667 0,567196


(6)

Nama Panelis : Tgl Pengujian :

Bahan : Daging kuda jantan tua

No. Kode Perlakuan Kriteria

Tekstur Aroma Rasa Keempukan

1 A1B1

2 A1B2

3 A1B3

4 A2B1

5 A2B2

6 A2B2

7 A3B1

8 A3B2

9 A3B3

Keterangan :

Tekstur: Aroma: Rasa:

1. Sangat kuat 1. Berbau sangat kuat 1. Sangat kuat terasa 2. Kasar 2. Berbau kuat 2. Kuat terasa 3. Kurang halus 3. Berbau sedang 3. Sedang terasa

4. Halus 4. Agak berbau 4. Agak terasa

5. Sangat halus 5. Tidak berbau 5. Tidak ada rasa Keempukan:

1. Sangat keras 2. Kuat terasa 3. Sedang 4. Empuk 5. Sangat empuk