STUDI KOMPARATIF TARI FALUAYA DI NIAS SELATAN DENGAN TARI FALUAYA DI MEDAN.
STUDI KOMPARATIF TARI FALUAYA DI NIAS SELATAN
DENGAN TARI FALUAYA DI MEDAN
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Oleh:
LAURENSIA DORA MELISA
NIM. 2113142038
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN TARI
JURUSAN SENDRATASIK
FAKULTAS BAHASA DAN SENI
UNIVERSITAS NEGERI MEDAN
2015
KATA PENGANTAR
Puji syukur Penulis ucapkan kepada Tuhan Yesus Kristus, yang telah
melimpahkan berkat dan rahmat kasih-Nya yang luar biasa, sehingga Penulis
dapat menyelesaikan Skripsi yang berjudul “Studi Komparatif Tari Faluaya di
Nias Selatan Dengan Tari Faluaya di Medan” ini tepat waktu. Skripsi ini
merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana S-I, Jurusan
Sendratasik Program Studi Pendidikan Tari di Universitas Negeri Medan.
Penulisan Skripsi ini didukung dengan referensi-referensi dan sumber
informasi lainnya. Penulis menyadari bahwa Skripsi ini masih belum mencapai
hasil yang maksimal, untuk itu Penulis mengharapkan kritik dan saran yang
bersifat membangun demi perbaikan Skripsi ini nantinya. Semoga Skripsi ini
dapat memberikan kontribusi dan membantu terhadap kegiatan penelitianpenelitaian relevan selanjutnya.
Pada kesempatan ini, Penulis ingin menyampaikan rasa terimakasih serta
penghargaan yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah memberikan
bantuan dan bimbingan serta fasilitas, sehingga Skripsi ini dapat disusun. Untuk
itu. Rasa hormat dan ucapan terimakasih Penulis sampaikan kepada:
Prof. Dr. Syawal Gultom, M.Pd, Rektor Universitas Negeri Medan
Dr. Isda Pramuniati, M.Hum, Dekan Fakultas Bahasa dan Seni Universitas
Negeri Medan
Uyuni Widiastuti, M.Pd, Ketua Jurusan Seni Drama Tari dan Musik
Sitti Rahmah, S.Pd, M.Si, Ketua Program Studi Pendidikan Tari, yang
sekaligus sebagai Dosen Pembimbing Skripsi II, yang telah memberikan
dorongan dan motivasi dalam membimbing Penulis.
Martozet, S.Sn, MA Pembimbing Skripsi I, yang telah bersedia
membimbing, mengarahkan dan memberikan dorongan serta motivasi
kepada Penulis dalam menyelesaikan Skripsi ini.
Dra. Dilinar Adlin, M.Pd Dosen Pembimbing Akademik, yang selalu
memberikan motivasi-motivasi yang membangun serta saran-saran kepada
Penulis dalam perkuliahan dan dalam menyelesaikan Skripsi ini
Seluruh Bapak dan Ibu Dosen di Jurusan Sendratasik khusunya Program
Studi Pendidikan Tari yang telah mendidik dan memberikan dorongan
serta motivasi dalam menyelesaikan perkuliahan kepada penulis.
Hubari Gulo, Pebriaman Kanista Manao dan Ibu Teguh selaku
narasumber, yang telah memberikan banyak informasi dan masukan
mengenai Tari Faluaya kepada Penulis.
Teristimewa Penulis sampaikan terimakasih kepada kedua orangtua yang
luar biasa, Ayahanda A. Antonius Sinaga dan Ibunda Rosli Sinambela
terkasih, yang telah memberikan dukungan, motivasi yang menguatkan,
kesabaran dalam mendidik, kasih sayang yang berlimpah dan doa yang
selalu menguatkan Penulis. Serta Ester Eka Julita Sinaga Amd, RO,
Ignatia Susi Santika Sinaga, Andika Julius Sinaga, Sonya Theresia Sinaga
dan Dea Fransisco Sinaga, yang selalu hadir menemani Penulis dalam
keadaan suka maupun duka.
ii
Sahabat terkasih Novinta Sari, yang selalu bersedia hadir dalam
memberikan motivasi yang membangun kepada Penulis. Terimakasih
kepada sahabat tersayang Hestyoni Lase, Riska Junianda, Ina Refida
Daulay, Eli Darmika, Suriya Setiawan juga kepada Janter C. Sihombing
yang telah memberikan motivasinya dan seluruh teman-teman Seni Tari
stambuk 2011 yang tidak bisa disebutkan satu persatu, yang telah
membantu pada masa perkuliahan maupun pada saat penyusunan Skripsi
ini.
Penulis berharap, semoga kebaikan yang telah diberikan mendapat balasan
dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Amin.
Medan, September 2015
Penulis,
Laurensia Dora Melisa
NIM. 2113142038
iii
ABSTRAK
Laurensia Dora Melisa, 2113142038. Studi Komparatif Tari Faluaya di Nias
Selatan Dengan Tari Faluaya di Medan. Skripsi. Medan. Fakultas Bahasa
dan Seni Universitas Negeri Medan, 2015.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana perbandingan Tari
Faluaya di Nias Selatan dengan Tari Faluaya di Medan.
Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori studi komparatif
dari Anya Peterson Royce, teori bentuk penyajian dari Hermin dan teori bentuk
dari Sumandiyo Hadi.
Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif kualitatif. Populasi
dalam penelitian ini adalah di Nias Selatan, tepatnya di desa Bawömataluo dan di
jalan Tembakau Raya Simalingkar, Kecamatan Medan Tuntungan. Untuk
melengkapi data-data dalam penelitian ini, peneliti melakukan observasi lapangan,
dokumentasi berupa video dan foto-foto serta melakukan wawancara.
Hasil penelitian berdasarkan data yang terkumpul, dapat diketahui bahwa
Tari Faluaya di Nias Selatan dan Tari Faluaya di Medan terdapat persamaan dan
juga perbedaan. Lahir dari ungkapan kemenangan para Masyarakat Nias atas
musuh yang menyerang tanah kekuasaan mereka, yang dilakukan dengan
bernyanyi dan menari. Masyarakat Nias di Medan, menjadikan Tari Faluaya
sebagai salah satu tarian yang mencerminkan identitas etnis mereka, dengan
memperlihatkan bagaimana harga diri seorang pemuda yang dilihat dari tanggung
jawabnya terhadap keamanan dan ketertiban kampung halaman. Di Nias Selatan,
penari Tari Faluaya haruslah suku Nias itu sendiri, sedangkan di Medan
penarinya tidak diwajibkan dari suku Nias. Namun kedua tarian ini menggunakan
properti yang sama, yaitu baluse (tameng), toho (tombak) dan tolögu (pedang).
Persegi empat dan lingkaran merupakan pola lantai yang sering digunakan dalam
kedua tarian ini, akan tetapi di Medan telah terdapat penambahan pola lantai
lainnya yang disesuaikan dengan koreografernya. Tata rias pada Tari Faluaya di
Nias Selatan biasanya tanpa make up atau riasan wajah. Dengan memakai baju
berwarna hitam pada bagian dalam dan rompi pada bagian luar. Ada beberapa
jenis warna dari rompi yang biasa digunakan oleh penari Tari Faluaya di Nias
Selatan, ada yang berbahan dasar merah dan ada juga yang berbahan dasar hitam,
dengan warna ornament merah, hitam dan kuning yang kontras serta kain kuning
yang disebut dengan gőndőra sebagai bawahan, ada juga rompi berwarna cokelat
yang terbuat dari kulit kayu dan rumput laut. Penari Tari Faluaya di Medan
memakai make up atau riasan wajah yang sederhana. Mengenakan baju hitam
pada bagian dalam dan rompi pada bagian luar. Rompi ini ada yang berbahan
dasar merah dan ada juga yang berbahan dasar hitam, dengan ornament-ornament
berwarna hitam, kuning dan merah yang lembut serta kain kuning atau biasa
disebut gőndőra dibagian bawah. Ragam gerak pada Tari Faluaya di Nias Selatan
memiliki beberapa motif gerak, dan gerakannya masih original dan tidak
terpengaruh oleh etnis lain.
Kata Kunci: Faluaya, Studi Komparatif
i
DAFTAR ISI
ABSTRAK .............................................................................................
KATA PENGANTAR ...........................................................................
DAFTAR ISI ..........................................................................................
DAFTAR TABEL .................................................................................
DAFTAR GAMBAR .............................................................................
Hal.
i
ii
iv
vi
vii
BAB I PENDAHULUAN ......................................................................
A. Latar Belakang ............................................................................
B. Indentifikasi Masalah ..................................................................
C. Pembatasan Masalah ...................................................................
D. Rumusan Masalah .......................................................................
E. Tujuan Masalah ...........................................................................
F. Manfaat Masalah .........................................................................
1
1
7
7
8
8
9
BAB II LANDASAN TEORI DAN KERANGKA
KONSEPTUAL ................................................................................
A. Landasan Teori ............................................................................
1. Teori Studi Komparatif ........................................................
2. Teori Bentuk Penyajian ........................................................
3. Teori Bentuk .........................................................................
4. Pegertian Tari .......................................................................
B. Kerangka Konseptual ..................................................................
10
10
11
12
13
14
15
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ...........................................
A. Metode Penelitian .......................................................................
B. Lokasi dan Waktu Penelitian ......................................................
C. Populasi dan Sampel ...................................................................
D. Teknik Pengumpulan Data ..........................................................
1. Observasi ...............................................................................
2. Studi Kepustakaan .................................................................
3. Wawancara ............................................................................
4. Dokumentasi .........................................................................
E. Teknik Analisa Data ....................................................................
18
18
19
19
20
20
21
23
24
24
BAB IV PEMBAHASAN DAN HASIL PENELITIAN.....................
A. Masyarakat Nias di Nias Selatan ................................................
B. Masyarakat Nias di Kota Medan ................................................
C. Tari Faluaya di Nias Selatan .....................................................
D. Tari Faluaya di Kota Medan .......................................................
E. Perbandingan Tari Faluaya di Nias Selatan Dengan Tari Faluaya
26
26
29
33
37
iv
di Kota Medan .............................................................................
40
BAB V PENUTUP .................................................................................
A. Kesimpulan .................................................................................
B. Saran ...........................................................................................
68
68
70
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................
LAMPIRAN
71
v
DAFTAR TABEL
Tabel 4.1. Bentuk Penyajian. ..................................................................
Tabel 4.2. Bentuk Penyajian. ..................................................................
Tabel 4.3. Bentuk Penyajian ...................................................................
Tabel 4.4. Bentuk Penyajian ...................................................................
Tabel 4.5. Bentuk Penyajian ...................................................................
43
45
57
62
66
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1. Kerangka Konseptual .........................................................
Gambar 4.1. Peta Kabupaten Nias Selatan..............................................
Gambar 4.2. Peta Kecamatan Medan Tuntungan....................................
Gambar 4.19. Baluse atau tameng, tolőgu atau pedang
dan toho atau tombak ..................................................................
17
26
30
56
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Negara Indonesia sebagai salah satu negara besar di Asia Tenggara,
merupakan negara kepulauan yang terdiri dari lebih 17.000 pulau, yang memiliki
kekayaan budaya serta suku bangsa yang beragam. Hal ini menandakan bangsa
Indonesia sebagai bangsa yang majemuk jika dipandang dari masyarakat yang
mendiaminya. Kemajemukan ini pula yang menjadikan penduduk Kota sangat
heterogen.
Kota Medan sebagai ibu Kota Provinsi Sumatera Utara merupakan salah
satu pusat perekonomian yang terbesar di luar Jawa, yang menjadi salah satu
tempat impian bagi masyarakat di sekitarnya untuk mendapat kesempatan
mencapai tingkat kehidupan yang lebih baik. Sebuah Kota besar, tentunya tidak
hanya menjadi pusat perekonomian, akan tetapi juga merupakan pusat
pemerintahan, pusat administrasi dan pusat pengembangan berbagai kegiatan
kehidupan masyarakat yang berada di kawasan Sumatera khususnya Sumatera
Utara. Kondisi ini menimbulkan dorongan bagi berbagai suku, untuk melakukan
urbanisasi dengan tujuan utamanya yaitu Kota Medan (Pelly, 1983:79).
Fenomena
urbanisasi
merupakan
salah
satu
faktor
dasar
yang
mempengaruhi pertumbuhan penduduk, selain faktor kelahiran dan kematian.
Urbanisasi cenderung dilakukan orang dengan berbagai alasan, baik faktor
ekonomi, maupun sosial dan budaya. Dan seperti yang telah dijelaskan di atas,
1
2
tempat yang sering dijadikan untuk daerah urbanisasi oleh para pendatang
merupakan daerah Kota yang sudah berkembang, seperti Kota Medan.
Keadaan tersebut di atas tentu juga menjadi salah satu alasan logis
masyarakat Nias untuk keluar dari daerahnya dan melakukan urbanisasi ke
berbagai daerah, seperti Sibolga, Medan, Padang dan juga Jakarta. Bagi
masyarakat Nias yang tinggal di pulau Nias, Kota Medan merupakan salah satu
Kota yang dibayangkan sebagai daerah yang sangat ideal untuk mencari pekerjaan
dan dapat merubah kehidupan mereka. Urbanisasi ataupun perpindahan yang
dilakukan oleh masyarakat Nias, sudah berlangsung lama yang diperkirakan sudah
terjadi dari abad ke-17 yaitu pada waktu berinteraksi dalam hal perdagangan
dengan Arab dan bangsa Cina serta Hindia (Pelly, 1990:80).
Suku Nias menamakan diri mereka sebagai Ono Niha yang artinya Ono
adalah anak atau keturunan dan Niha artinya manusia (Chical Teodali, 2012:2). Di
Medan, masyarakat Nias banyak bermukim di daerah seperti di Polonia,
Simalingkar, Aksara, Simpang Limun, Deli Tua, Padang Bulan, dan kemudian di
daerah Belawan, di jalan M. Basir gg. Damak, terdapat sebuah kampung yang
dapat dikatakan seluruh masyarakatnya merupakan masyarakat Nias.
Masyarakat Nias yang datang ke Kota Medan, beradaptasi dengan cara
berbaur dengan etnis-etnis lain yang ada di Kota Medan. Masyarakat Nias juga
memiliki system garis keturunan yang sama seperti mayarakat Batak Toba,
seperti sistem garis keturunan patrialisme yaitu mengikuti garis keturunan Ayah,
dibuktikan dengan adanya marga (klan), dan juga membawa kesenian yang di
dalamnya termasuk seni musik dan seni tari. Dengan begitu, mayarakat Nias tetap
3
melakukan adat istiadat mereka, mekipun di luar daerah mereka (pulau Nias).
Unsur-unsur kebudayaan, seperti sistem bahasa, sistem kesenian, sistem
kemasyarakatan, sistem religi, sistem teknologi, sistem ekonomi dan sistem
organisasi sosial merupakan unsur-unsur yang bersifat universal. Oleh karena itu
dapat diperkirakan bahwa kebudayaan suatu bangsa mengandung suatu aktivitas
adat-istiadat dari antara ketujuh unsur universal tersebut (Koentjarningrat,
1997:4). Kenyataan ini juga dapat dijumpai pada etnik Nias yang melakukan
urbanisasi ke Kota Medan.
Kesenian yang merupakan salah satu unsur kebudayaan, yang dalam
kehidupannya tidak lepas dari masyarakat, karena mencakup aktivitas masyarakat
dari tiap-tiap daerah tempat kesenian tersebut hidup dan berkembang. Sebagai
salah satu unsur kebudayaan, kesenian merupakan tiang yang menopang
keberadaan masyarakat dalam berbagai upacara yang terdapat di tengah-tengah
masyarakat, seperti upacara keagamaan (religi), upacara adat perkawinan, upacara
adat kematian dan berbagai macam aktifitas manusia lainnya. Kesenian juga
menjadi sarana komunikasi yang baik dengan warga masyarakat maupun alam
semesta dan sering hadir dalam berbagai aktifitas masyarakat seperti halnya pada
masyarakat Nias di Medan.
Tari sebagai cabang kesenian, turut melengkapi kebutuhan jiwa manusia.
Tari adalah keindahan ekspresi jiwa manusia yang diungkapkan berbentuk gerak
tubuh yang diperhalus melalui estetika. Seperti yang dikemukakan Edi Sedyawati
(1981:10) bahwa, “Tari merupakan warisan budaya yang harus dikembangkan
selaras dengan perkembangan masyarakat”. Karena kerinduan akan berbagai
4
tradisi yang ada di daerah asalnya, masyarakat Nias yang ada di Kota Medan
mulai menghadirkan berbagai kesenian tradisi Nias dengan mendirikan sanggarsanggar yang khususnya bergerak dalam tradisi dan kesenian Nias, yang salah
satunya adalah Tari Faluaya atau Tari Perang.
Tari Faluaya atau tari Perang ini berasal dari Nias Selatan. Dahulu kala,
Tari Faluaya atau Tari Perang ini merupakan tari pemacu semangat para pasukan
perang sebelum berperang. Biasanya pemicu perang adalah perebutan lahan atau
bahkan merebut kampung orang lain. Seperti halnya sistem kepemimpinan
kampung yang dipimpin seorang kepala desa atau kepala suku, dahulu setiap
kampung di Nias juga dipimpin oleh seorang kepala suku yang disebut Si'ulu
yang berarti bangsawan.
Untuk mempertahankan kekuasaan dan kampungnya dari serangan
penduduk kampung lain, setiap Si’ulu berinisiatif mengumpulkan pemuda desa
untuk dilatih berperang. Jenis latihan yang diberikan oleh Si’ulu adalah dengan
melatih kemampuan Lompat Batu “Hombo Batu” untuk para pemuda. Jika
mereka mampu menaklukkan batu setinggi 2 meter berbentuk prisma yang
dibentuk dari tumpukan batu tersebut, maka mereka dianggap mampu untuk
membela dan mempertahankan kampung mereka.
Ketika dipertunjukkan, prosesi tarian Faluaya ini dipimpin seorang
komando layaknya prosesi dalam perang yang dipimpin oleh seorang panglima.
Kemudian dia akan mengomando penari untuk membentuk formasi berjajar
panjang. Posisi komando berada di depan menghadap kearah penari. Tarian
kemudian dimulai dengan gerakan kaki maju mundur sambil dihentakkan ke
5
tanah dan meneriakkan kata-kata pembangkit semangat. Makna gerakan ini
adalah kesiapan pasukan untuk maju ke medan perang dengan penuh semangat
kepahlawanan. Kemudian diikuti dengan formasi melingkar yang bertujuan untuk
mengepung musuh, setelah musuh terkepung para kesatria akan dengan mudah
untuk melumpuhkan mereka.
Dalam konteks yang tradisional, Tari Faluaya biasanya ditampilkan di
halaman desa atau disebut dengan newali banua. Newali banua adalah sebuah
halaman desa yang dilapisi dengan batu-batu persegi empat. Di bagian kiri dan
kanannya berjejer dengan rapi dan indah puluhan atau ratusan rumah-rumah adat
tradisional Nias menghadap ke halaman desa. Dalam setting seperti inilah
biasanya Tari Faluaya ditampilkan di Nias Selatan.
Masyarakat Nias sangat menghargai setiap unsur budaya yang melekat
dalam kehidupan mereka dan menjadikan unsur budaya itu, menjadi suatu hal
yang sangat sakral dan harus dijalani dan dipatuhi oleh setiap masyarakat Nias.
Namun begitu, pada daerah asal mereka (pulau Nias) dan di daerah urbanisasi
terdapat berbagai perbedaan dalam menjalakan adat istiadat ataupun kesenian
mereka, seperti misalnya terdapat pada Tari Faluaya.
Sanggar Fanayama, merupakan sanggar kebudayaan Nias yang terletak di
jalan Tembakau Raya Simalingkar. Pada sanggar ini, Tari Faluaya merupakan
embrio dari Tari Faluaya di Nias Selatan. Di sanggar Fanayama, penari Tari
Faluaya tidak terikat dari suku Nias, melainkan bebas dari berbagai suku. Ragam
geraknya merupakan embrio dari Tari Faluaya yang ada di Nias Selatan, dengan
6
durasi waktu yang terikat. Hal ini sangat berbeda dengan Tari Faluaya di Nias
Selatan, yang mewajibkan seluruh penarinya berasal dari suku Nias itu sendiri.
Pola lantai dalam Tari Faluaya di Kota Medan juga sudah mengalami
pengembangan dengan berbagai jenis pola lantai, yang disesuaikan dengan
koreografernya. Busana pada Tari Faluaya adalah memakai baju hitam polos
dengan sedikit ornament di lengan, dengan ukuran lengan tiga perempat dan juga
ada yang berlengan panjang pada bagian dalam dan rompi pada bagian luar.
Ornament dari rompi ini berwarna merah, kuning dan juga hitam. Rompi yang
dipakai pada Tari Faluaya di Nias Selatan dan Tari Faluaya di Medan, berbahan
dasar warna merah ataupun hitam. Aksesoris pada Tari Faluaya adalah rai atau
sebuah mahkota yang terbuat dari kuningan dan kalabubu atau yang biasa disebut
dengan kalung.
Perubahan ini, tentu disebabkan karena beberapa bahan pertimbangan atau
yang disesuaikan dengan kebutuhan dalam suatu acara tertentu. Hoho (merupakan
tradisi lisan masyarakat Nias yang dilagukan secara puitis dengan memilih katakata yang menarik untuk diperdengarkan secara lemah-lembut atau disebut syairsyair) pada penyajian Tari Faluaya atau Tari Perang isi dari hoho tersebut
disesuaikan dengan tema suatu acara.
Berdasarkan apa yang diamati oleh peneliti, maka peneliti tertarik untuk
meneliti lebih dalam tentang Tari Faluaya dalam sebuah penelitian yang berjudul
“Studi Komparatif Tari Faluaya di Nias Selatan dengan Tari Faluaya di
Medan”.
7
B. Identifikasi Masalah
Tujuan dari identifikasi masalah adalah agar penelitian yang dilakukan
terarah, serta cakupan masalah tidak terlalu luas. Hal ini sejalan dengan pendapat
Hadeli (2006:23) yang menyatakan bahwa: “Identifikasi masalah adalah suatu
situasi yang merupakan akibat interaksi dua atau lebih faktor (seperti kebiasaankebiasaan, keadaan-keadaan dan lain sebagainya) yang menimbulkan beberapa
pertanyaan”.
Dari
uraian
di
atas,
maka
permasalahan
penelitian
ini
dapat
diidentifikasikan menjadi beberapa bagian, yaitu :
1. Bagaimana bentuk penyajian Tari Faluaya di Nias Selatan dengan Tari
Faluaya di Medan?
2. Bagaimana bentuk Tari Faluaya di Nias Selatan dengan tari Faluaya
di Medan?
3. Bagaimana gerak Tari Faluaya di Nias Selatan dengan Tari Faluaya di
Medan?
C. Pembatasan Masalah
Setelah diidentifikasi masalah, maka arah penelitian harus dibatasi agar
tidak meluas kemana-mana. Hal ini dilakukan dalam proses menganalisis dan
penelitian. Berdasarkan identifikasi masalah diatas, maka pembatasan masalah
dalam penelitian ini adalah: “Bagaimana bentuk penyajian Tari Faluaya di Nias
Selatan dengan Tari Faluaya di Medan”.
8
D. Rumusan Masalah
Seperti yang telah diuraikan dalam latar belakang, maka diperlukan
rumusan masalah dalam penelitian ini. Perumusan masalah merupakan pertanyaan
yang lengkap dan terperinci mengenai ruang lingkup permasalahan yang akan
diteliti.
Dalam perumusan masalah diharapkan mampu untuk memperkecil batasabatasan masalah dan sekaligus lebih mempertajam arah penelitian. Adapun
rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: “Bagaimana bentuk
penyajian Tari Faluaya di Nias Selatan dan Tari Faluaya di Medan”.
E. Tujuan Penelitian
Setiap kegiatan yang dilakukan pasti memiliki tujuan, tanpa ada tujuan
yang jelas maka penelitian yang diadakan akan sia-sia. Tujuan penelitian
mengungkapkan sasaran yang ingin dicapai dalam penelitian. Tujuan penelitian
adalah pernyataan mengenai ruang kegiatan yang akan dilakukan berdasarkan
masalah yang dirumuskan. Hal ini sesuai dengan pendapat Arikunto (1978:69),
yang menyatakan: “Penelitian adalah rumusan kalimat yang menunjukkan adanya
hasil yang diperoleh setelah penelitian selesai”.
Berhasil atau tidaknya suatu penelitian terlihat dari tercapai atau tidaknya
tujuan penelitian. Maka sesuai dengan perumusan masalah, tujuan penelitian ini
adalah sebagai berikut: “Mendeskripsikan bentuk penyajian Tari Faluaya di Nias
Selatan dengan Tari Faluaya di Medan”.
9
F. Manfaat Penelitian
Dalam kamus lengkap Bahasa Indonesia, manfaat adalah guna atau faedah.
Sebuah penelitian pasti akan memperoleh hasil yang bermanfaat, manfaat
penelitian diharapkan dapat mengisi kebutuhan segala komponen masyarakat baik
dari instansi yang berkaitan dan lembaga-lembaga kesenian maupun praktisi
kesenian, serta bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan masyarakat luas. Maka
manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Sebagai bahan informasi tertulis kepada masyarakat atau lembaga yang
mengembangkan visi dan misi kebudayaan, khususnya dibidang kesenian
tradisional.
2. Sebagai masukan bagi penelitian dalam menambah pengetahuan wawasan
mengenai Tari Faluaya di Nias Selatan dengan Tari Faluaya di Medan.
3. Sebagai bahan motivasi bagi setiap pembaca yang menekuni atau
mendalami tari.
4. Sebagai motivasi dikalangan pemuda agar lebih membangkitkan keinginan
masyarakat untuk melestarikan budaya Nias.
5. Sebagai salah satu bahan masukan di Jurusan Sendratasik khususnya
Program Studi Pendidikan Seni Tari, Universitas Negeri Medan.
6. Referensi bagi peneliti-peneliti lainnya yang hendak meneliti kesenian ini
lebih lanjut.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Dari hasil penelitian dan pembahasan mengenai Studi Komparatif Tari
Faluaya di Nias Selatan Dengan Tari Faluaya di Medan, yang telah
dideskripsikan pada bab sebelumnya, maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut:
1. Faluaya adalah keselurahan ekspresi suatu peperangan, untuk
memperjuangkan semua aspek kehidupan, termasuk membela diri dan
mempertahankan kehormatan kampung. Tari Faluaya atau Tari Perang
ini merupakan lambang kesatria para pemuda desa di Nias Selatan,
untuk
melindungi
desa
dari
ancaman
musuh.
Tarian
ini
menggambarkan persatuan dan kesatuan suatu kampung saat
menghadapi berbagai ancaman musuh.
2. Di Kota Medan, Tari Faluaya merupakan salah satu tari yang
mencerminkan identitas etnis masyarakat Nias. Melalui Tari Faluaya,
masyarakat Nias yang ada di Kota Medan ingin menyampaikan
bagaimana harga diri pemuda-pemuda di Nias yang dilihat dari
tanggung jawabnya terhadap keamanan dan ketertiban kampung saat
berperang melawan musuh. Tari Faluaya tidak menggunakan alat
musik sebagai pengiring tari, panglima dan pasukan perang
melantukan hoho. Hoho merupakan tradisi lisan masyarakat Nias yang
68
69
dilagukan secara puitis dengan memilih kata-kata yang menarik untuk
diperdengarkan atau disebut dengan syair-syair.
4. Jika di Nias Selatan, maka penari Tari Faluaya haruslah suku Nias itu
sendiri, maka di Medan penari dalam Tari Faluaya ini tidak
diwajibkan dari suku Nias. Namun dalam kedua tarian ini, properti
yang digunakan adalah sama, yaitu baluse (tameng), toho (tombak)
dan tolögu (pedang).
5. Pola lantai dalam kedua tarian ini cenderung serupa, namun karena
jumlah penari yang berbeda maka ada tampak perbedaan. Persegi
empat dan lingkaran merupakan pola lantai yang sering digunakan
dalam kedua tarian ini, Tari Faluaya di Medan juga memakai pola
persegi empat dan lingkaran, akan tetapi ditambah dengan pola lantai
lainnya yang disesuaikan dengan koreografernya.
6. Tata rias pada Tari Faluaya di Nias Selatan biasanya tanpa make up
atau riasan wajah. Dengan memakai baju berwarna merah pada bagian
dalam dan rompi pada bagian luar. Ada beberapa jenis warna dari
rompi yang biasa digunakan oleh penari Tari Faluaya di Nias Selatan,
ada yang berbahan dasar merah dan ada juga yang berbahan dasar
hitam, dengan warna ornament merah, hitam dan kuning yang kontras
serta kain kuning yang disebut dengan gőndőra sebagai bawahan, ada
juga rompi berwarna cokelat yang terbuat dari kulit kayu dan rumput
laut.
70
7. Penari Tari Faluaya di Medan memakai make up atau riasan wajah
yang sederhana. Mengenakan baju hitam pada bagian dalam dan
rompi pada bagian luar. Rompi ini ada yang berbahan dasar merah dan
ada juga yang berbahan dasar hitam, dengan ornament-ornament
berwarna hitam, kuning dan merah yang lembut serta kain kuning atau
biasa disebut gőndőra dibagian bawah.
B. Saran
Berdasarkan beberapa kesimpulan di atas, terhadap Studi Komparatif Tari
Faluaya di Nias Selatan Dengan Tari Faluaya di Medan, maka penulis
memberikan beberapa saran berikut:
1. Setelah dilakukannya penelitian ini, penulis berharap agar pemerintah
selalu memberikan perhatian terhadap kesenian, baik itu pemerintah yang
ada di Nias Selatan maupun pemerintah di Kota Medan
2. Kepada para seniman, baik di Kota Medan maupun di Kabupaten Nias
agar selalu berkarya, memperhatikan dan memberikan pengarahan serta
pengenalan kepada masyarakat untuk tetap melestarikan budaya.
3. Pada generasi muda, khususnya pemuda Nias disarankan untuk
mengetahui tentang Tari Faluaya, sehingga tarian ini akan tetap hidup dan
terjaga kelestariannya.
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, Suharsimi, 1978, Prosedur Penelitian, Jakarta : Rieneke Cipta.
Aziz, Alimut Hidayat, 2007, Metode Penelitian Kebidanan dan Teknik Analisis
Data, Surabaya : Salemba Media.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 2001, Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Jakarta : Balai Pustaka.
Hadeli, 2006, Metode Penelitian Kependidikan, Padang : Quantum Teaching.
Hadi, Sumandiyo, 1984, Aspek-aspek Dasar Koreografi Kelompok, Yogyakarta :
ELKAPHI.
, 2007, Kajian Tari Teks dan Konteks, Yogyakarta : Pustaka.
Hermin, Kusumawati,1980, Makna Tari dalam Upacara di Indonesia, Jakarta :
Pidato.
Jazuli, M, 1994, Telaah Teoritis Seni Tari, Semarang : IKIP Semarang Press.
Koentjaningrat, 2000, Pengantar Ilmu Antropologi, Jakarta : Rineka Cipta.
Kraus, Richard, 1969, History of THE Dance : Prentice-hall inc Englewood eliffs,
Newjersey.
Murgianto, Sal, 1983, Koreografi Pengetahuan Dasar Komposisi Tari, Jakarta :
(Direktorat Jendral) Pendidikan Dasar dan Menengah Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan.
Nata’alui, 2011, Pusaka Nias Dalam Media Warisan, Gunungsitoli : Yayasan
Pusaka Nias, Kumpulan Artikel dan Opini.
Pelly, Usman, 1983, Hubungan Antar Kelompok Etnis, Beberapa Kerangka
Teoritis Dalam Kasus Kota Medan dalam Interaksi Antar Suku Bangsa
Yang Majemuk, Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Royce, Peterson Anya, 2007, Antropology Of Dance, Terjemahan F.X
Widiaryanto, Bandung : Sunan Ambu PRESS STSI.
Sari, Nur Utari Septiana, 2013, “Makna Gerak Tari Faluaya Tari Perang Pada
Masyarakat Nias Selatan”, Medan : Universitas Negeri Medan.
Sedyawati, Edi, 1981, Pertumbuhan Seni Pertunjukan, Seri Esni No : 4.
71
72
Soedarsono, 1977, Tari-tarian Indonesia, Jakarta : Proyek Pengembangan Media
Kebudayaan Direktorat Jendral Kebudayaan.
Sugiono, 2008, Metode Penelitian Pendidikan, Bandung : Alfabeta.
Soeharto, Ben, 1985, Komposisi Tari, Yogyakarta : Ikalasti.
Tafönaö, Agusman, 2012, “Analisis Musik Vokal Pada Pertunjukan Maena Dalam
Pesta Adat Falöwa (Perkawinan) Masyarakat Nias di Kota Medan”,
Departemen Etnomusikologi, Universitas Sumatera Utara : Skripsi.
Tasman, A, 2008, Analisa Gerak Dan Karakter, Surakarta : ISI Press Surakarta.
Telaumbanua, Chical Teodali, 2012, “Analisis Sinunӧ Pada Pertunjukan Fanari
Ya’Ahowu Dalam Kebudayaan Nias di Kota Gunungsitoli”, Universitas
Sumatera Utara : Skripsi.
Telaumbanua, Christ Mart, “Maena Fangowai ditinju dari Peranan dan Bentuk
Penyajian dalam Acara Perkawinan Masyarakat Nias di Pematang
Siantar”, Skripsi Jurusan Sendratasik, Fakultas Bahasa dan Seni :
Universitas Negeri Medan.
Wau, Tafaewasi, 2013, “Pertunjukan Hombo Batu Sebagai Daya Tarik Wisata di
Desa Bawömataluo Kecamatan Fanayama Kabupaten Nias Selatan
Provinsi Sumatera Utara”, Universitas Udayana : Thesis.
DENGAN TARI FALUAYA DI MEDAN
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Oleh:
LAURENSIA DORA MELISA
NIM. 2113142038
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN TARI
JURUSAN SENDRATASIK
FAKULTAS BAHASA DAN SENI
UNIVERSITAS NEGERI MEDAN
2015
KATA PENGANTAR
Puji syukur Penulis ucapkan kepada Tuhan Yesus Kristus, yang telah
melimpahkan berkat dan rahmat kasih-Nya yang luar biasa, sehingga Penulis
dapat menyelesaikan Skripsi yang berjudul “Studi Komparatif Tari Faluaya di
Nias Selatan Dengan Tari Faluaya di Medan” ini tepat waktu. Skripsi ini
merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana S-I, Jurusan
Sendratasik Program Studi Pendidikan Tari di Universitas Negeri Medan.
Penulisan Skripsi ini didukung dengan referensi-referensi dan sumber
informasi lainnya. Penulis menyadari bahwa Skripsi ini masih belum mencapai
hasil yang maksimal, untuk itu Penulis mengharapkan kritik dan saran yang
bersifat membangun demi perbaikan Skripsi ini nantinya. Semoga Skripsi ini
dapat memberikan kontribusi dan membantu terhadap kegiatan penelitianpenelitaian relevan selanjutnya.
Pada kesempatan ini, Penulis ingin menyampaikan rasa terimakasih serta
penghargaan yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah memberikan
bantuan dan bimbingan serta fasilitas, sehingga Skripsi ini dapat disusun. Untuk
itu. Rasa hormat dan ucapan terimakasih Penulis sampaikan kepada:
Prof. Dr. Syawal Gultom, M.Pd, Rektor Universitas Negeri Medan
Dr. Isda Pramuniati, M.Hum, Dekan Fakultas Bahasa dan Seni Universitas
Negeri Medan
Uyuni Widiastuti, M.Pd, Ketua Jurusan Seni Drama Tari dan Musik
Sitti Rahmah, S.Pd, M.Si, Ketua Program Studi Pendidikan Tari, yang
sekaligus sebagai Dosen Pembimbing Skripsi II, yang telah memberikan
dorongan dan motivasi dalam membimbing Penulis.
Martozet, S.Sn, MA Pembimbing Skripsi I, yang telah bersedia
membimbing, mengarahkan dan memberikan dorongan serta motivasi
kepada Penulis dalam menyelesaikan Skripsi ini.
Dra. Dilinar Adlin, M.Pd Dosen Pembimbing Akademik, yang selalu
memberikan motivasi-motivasi yang membangun serta saran-saran kepada
Penulis dalam perkuliahan dan dalam menyelesaikan Skripsi ini
Seluruh Bapak dan Ibu Dosen di Jurusan Sendratasik khusunya Program
Studi Pendidikan Tari yang telah mendidik dan memberikan dorongan
serta motivasi dalam menyelesaikan perkuliahan kepada penulis.
Hubari Gulo, Pebriaman Kanista Manao dan Ibu Teguh selaku
narasumber, yang telah memberikan banyak informasi dan masukan
mengenai Tari Faluaya kepada Penulis.
Teristimewa Penulis sampaikan terimakasih kepada kedua orangtua yang
luar biasa, Ayahanda A. Antonius Sinaga dan Ibunda Rosli Sinambela
terkasih, yang telah memberikan dukungan, motivasi yang menguatkan,
kesabaran dalam mendidik, kasih sayang yang berlimpah dan doa yang
selalu menguatkan Penulis. Serta Ester Eka Julita Sinaga Amd, RO,
Ignatia Susi Santika Sinaga, Andika Julius Sinaga, Sonya Theresia Sinaga
dan Dea Fransisco Sinaga, yang selalu hadir menemani Penulis dalam
keadaan suka maupun duka.
ii
Sahabat terkasih Novinta Sari, yang selalu bersedia hadir dalam
memberikan motivasi yang membangun kepada Penulis. Terimakasih
kepada sahabat tersayang Hestyoni Lase, Riska Junianda, Ina Refida
Daulay, Eli Darmika, Suriya Setiawan juga kepada Janter C. Sihombing
yang telah memberikan motivasinya dan seluruh teman-teman Seni Tari
stambuk 2011 yang tidak bisa disebutkan satu persatu, yang telah
membantu pada masa perkuliahan maupun pada saat penyusunan Skripsi
ini.
Penulis berharap, semoga kebaikan yang telah diberikan mendapat balasan
dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Amin.
Medan, September 2015
Penulis,
Laurensia Dora Melisa
NIM. 2113142038
iii
ABSTRAK
Laurensia Dora Melisa, 2113142038. Studi Komparatif Tari Faluaya di Nias
Selatan Dengan Tari Faluaya di Medan. Skripsi. Medan. Fakultas Bahasa
dan Seni Universitas Negeri Medan, 2015.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana perbandingan Tari
Faluaya di Nias Selatan dengan Tari Faluaya di Medan.
Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori studi komparatif
dari Anya Peterson Royce, teori bentuk penyajian dari Hermin dan teori bentuk
dari Sumandiyo Hadi.
Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif kualitatif. Populasi
dalam penelitian ini adalah di Nias Selatan, tepatnya di desa Bawömataluo dan di
jalan Tembakau Raya Simalingkar, Kecamatan Medan Tuntungan. Untuk
melengkapi data-data dalam penelitian ini, peneliti melakukan observasi lapangan,
dokumentasi berupa video dan foto-foto serta melakukan wawancara.
Hasil penelitian berdasarkan data yang terkumpul, dapat diketahui bahwa
Tari Faluaya di Nias Selatan dan Tari Faluaya di Medan terdapat persamaan dan
juga perbedaan. Lahir dari ungkapan kemenangan para Masyarakat Nias atas
musuh yang menyerang tanah kekuasaan mereka, yang dilakukan dengan
bernyanyi dan menari. Masyarakat Nias di Medan, menjadikan Tari Faluaya
sebagai salah satu tarian yang mencerminkan identitas etnis mereka, dengan
memperlihatkan bagaimana harga diri seorang pemuda yang dilihat dari tanggung
jawabnya terhadap keamanan dan ketertiban kampung halaman. Di Nias Selatan,
penari Tari Faluaya haruslah suku Nias itu sendiri, sedangkan di Medan
penarinya tidak diwajibkan dari suku Nias. Namun kedua tarian ini menggunakan
properti yang sama, yaitu baluse (tameng), toho (tombak) dan tolögu (pedang).
Persegi empat dan lingkaran merupakan pola lantai yang sering digunakan dalam
kedua tarian ini, akan tetapi di Medan telah terdapat penambahan pola lantai
lainnya yang disesuaikan dengan koreografernya. Tata rias pada Tari Faluaya di
Nias Selatan biasanya tanpa make up atau riasan wajah. Dengan memakai baju
berwarna hitam pada bagian dalam dan rompi pada bagian luar. Ada beberapa
jenis warna dari rompi yang biasa digunakan oleh penari Tari Faluaya di Nias
Selatan, ada yang berbahan dasar merah dan ada juga yang berbahan dasar hitam,
dengan warna ornament merah, hitam dan kuning yang kontras serta kain kuning
yang disebut dengan gőndőra sebagai bawahan, ada juga rompi berwarna cokelat
yang terbuat dari kulit kayu dan rumput laut. Penari Tari Faluaya di Medan
memakai make up atau riasan wajah yang sederhana. Mengenakan baju hitam
pada bagian dalam dan rompi pada bagian luar. Rompi ini ada yang berbahan
dasar merah dan ada juga yang berbahan dasar hitam, dengan ornament-ornament
berwarna hitam, kuning dan merah yang lembut serta kain kuning atau biasa
disebut gőndőra dibagian bawah. Ragam gerak pada Tari Faluaya di Nias Selatan
memiliki beberapa motif gerak, dan gerakannya masih original dan tidak
terpengaruh oleh etnis lain.
Kata Kunci: Faluaya, Studi Komparatif
i
DAFTAR ISI
ABSTRAK .............................................................................................
KATA PENGANTAR ...........................................................................
DAFTAR ISI ..........................................................................................
DAFTAR TABEL .................................................................................
DAFTAR GAMBAR .............................................................................
Hal.
i
ii
iv
vi
vii
BAB I PENDAHULUAN ......................................................................
A. Latar Belakang ............................................................................
B. Indentifikasi Masalah ..................................................................
C. Pembatasan Masalah ...................................................................
D. Rumusan Masalah .......................................................................
E. Tujuan Masalah ...........................................................................
F. Manfaat Masalah .........................................................................
1
1
7
7
8
8
9
BAB II LANDASAN TEORI DAN KERANGKA
KONSEPTUAL ................................................................................
A. Landasan Teori ............................................................................
1. Teori Studi Komparatif ........................................................
2. Teori Bentuk Penyajian ........................................................
3. Teori Bentuk .........................................................................
4. Pegertian Tari .......................................................................
B. Kerangka Konseptual ..................................................................
10
10
11
12
13
14
15
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ...........................................
A. Metode Penelitian .......................................................................
B. Lokasi dan Waktu Penelitian ......................................................
C. Populasi dan Sampel ...................................................................
D. Teknik Pengumpulan Data ..........................................................
1. Observasi ...............................................................................
2. Studi Kepustakaan .................................................................
3. Wawancara ............................................................................
4. Dokumentasi .........................................................................
E. Teknik Analisa Data ....................................................................
18
18
19
19
20
20
21
23
24
24
BAB IV PEMBAHASAN DAN HASIL PENELITIAN.....................
A. Masyarakat Nias di Nias Selatan ................................................
B. Masyarakat Nias di Kota Medan ................................................
C. Tari Faluaya di Nias Selatan .....................................................
D. Tari Faluaya di Kota Medan .......................................................
E. Perbandingan Tari Faluaya di Nias Selatan Dengan Tari Faluaya
26
26
29
33
37
iv
di Kota Medan .............................................................................
40
BAB V PENUTUP .................................................................................
A. Kesimpulan .................................................................................
B. Saran ...........................................................................................
68
68
70
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................
LAMPIRAN
71
v
DAFTAR TABEL
Tabel 4.1. Bentuk Penyajian. ..................................................................
Tabel 4.2. Bentuk Penyajian. ..................................................................
Tabel 4.3. Bentuk Penyajian ...................................................................
Tabel 4.4. Bentuk Penyajian ...................................................................
Tabel 4.5. Bentuk Penyajian ...................................................................
43
45
57
62
66
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1. Kerangka Konseptual .........................................................
Gambar 4.1. Peta Kabupaten Nias Selatan..............................................
Gambar 4.2. Peta Kecamatan Medan Tuntungan....................................
Gambar 4.19. Baluse atau tameng, tolőgu atau pedang
dan toho atau tombak ..................................................................
17
26
30
56
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Negara Indonesia sebagai salah satu negara besar di Asia Tenggara,
merupakan negara kepulauan yang terdiri dari lebih 17.000 pulau, yang memiliki
kekayaan budaya serta suku bangsa yang beragam. Hal ini menandakan bangsa
Indonesia sebagai bangsa yang majemuk jika dipandang dari masyarakat yang
mendiaminya. Kemajemukan ini pula yang menjadikan penduduk Kota sangat
heterogen.
Kota Medan sebagai ibu Kota Provinsi Sumatera Utara merupakan salah
satu pusat perekonomian yang terbesar di luar Jawa, yang menjadi salah satu
tempat impian bagi masyarakat di sekitarnya untuk mendapat kesempatan
mencapai tingkat kehidupan yang lebih baik. Sebuah Kota besar, tentunya tidak
hanya menjadi pusat perekonomian, akan tetapi juga merupakan pusat
pemerintahan, pusat administrasi dan pusat pengembangan berbagai kegiatan
kehidupan masyarakat yang berada di kawasan Sumatera khususnya Sumatera
Utara. Kondisi ini menimbulkan dorongan bagi berbagai suku, untuk melakukan
urbanisasi dengan tujuan utamanya yaitu Kota Medan (Pelly, 1983:79).
Fenomena
urbanisasi
merupakan
salah
satu
faktor
dasar
yang
mempengaruhi pertumbuhan penduduk, selain faktor kelahiran dan kematian.
Urbanisasi cenderung dilakukan orang dengan berbagai alasan, baik faktor
ekonomi, maupun sosial dan budaya. Dan seperti yang telah dijelaskan di atas,
1
2
tempat yang sering dijadikan untuk daerah urbanisasi oleh para pendatang
merupakan daerah Kota yang sudah berkembang, seperti Kota Medan.
Keadaan tersebut di atas tentu juga menjadi salah satu alasan logis
masyarakat Nias untuk keluar dari daerahnya dan melakukan urbanisasi ke
berbagai daerah, seperti Sibolga, Medan, Padang dan juga Jakarta. Bagi
masyarakat Nias yang tinggal di pulau Nias, Kota Medan merupakan salah satu
Kota yang dibayangkan sebagai daerah yang sangat ideal untuk mencari pekerjaan
dan dapat merubah kehidupan mereka. Urbanisasi ataupun perpindahan yang
dilakukan oleh masyarakat Nias, sudah berlangsung lama yang diperkirakan sudah
terjadi dari abad ke-17 yaitu pada waktu berinteraksi dalam hal perdagangan
dengan Arab dan bangsa Cina serta Hindia (Pelly, 1990:80).
Suku Nias menamakan diri mereka sebagai Ono Niha yang artinya Ono
adalah anak atau keturunan dan Niha artinya manusia (Chical Teodali, 2012:2). Di
Medan, masyarakat Nias banyak bermukim di daerah seperti di Polonia,
Simalingkar, Aksara, Simpang Limun, Deli Tua, Padang Bulan, dan kemudian di
daerah Belawan, di jalan M. Basir gg. Damak, terdapat sebuah kampung yang
dapat dikatakan seluruh masyarakatnya merupakan masyarakat Nias.
Masyarakat Nias yang datang ke Kota Medan, beradaptasi dengan cara
berbaur dengan etnis-etnis lain yang ada di Kota Medan. Masyarakat Nias juga
memiliki system garis keturunan yang sama seperti mayarakat Batak Toba,
seperti sistem garis keturunan patrialisme yaitu mengikuti garis keturunan Ayah,
dibuktikan dengan adanya marga (klan), dan juga membawa kesenian yang di
dalamnya termasuk seni musik dan seni tari. Dengan begitu, mayarakat Nias tetap
3
melakukan adat istiadat mereka, mekipun di luar daerah mereka (pulau Nias).
Unsur-unsur kebudayaan, seperti sistem bahasa, sistem kesenian, sistem
kemasyarakatan, sistem religi, sistem teknologi, sistem ekonomi dan sistem
organisasi sosial merupakan unsur-unsur yang bersifat universal. Oleh karena itu
dapat diperkirakan bahwa kebudayaan suatu bangsa mengandung suatu aktivitas
adat-istiadat dari antara ketujuh unsur universal tersebut (Koentjarningrat,
1997:4). Kenyataan ini juga dapat dijumpai pada etnik Nias yang melakukan
urbanisasi ke Kota Medan.
Kesenian yang merupakan salah satu unsur kebudayaan, yang dalam
kehidupannya tidak lepas dari masyarakat, karena mencakup aktivitas masyarakat
dari tiap-tiap daerah tempat kesenian tersebut hidup dan berkembang. Sebagai
salah satu unsur kebudayaan, kesenian merupakan tiang yang menopang
keberadaan masyarakat dalam berbagai upacara yang terdapat di tengah-tengah
masyarakat, seperti upacara keagamaan (religi), upacara adat perkawinan, upacara
adat kematian dan berbagai macam aktifitas manusia lainnya. Kesenian juga
menjadi sarana komunikasi yang baik dengan warga masyarakat maupun alam
semesta dan sering hadir dalam berbagai aktifitas masyarakat seperti halnya pada
masyarakat Nias di Medan.
Tari sebagai cabang kesenian, turut melengkapi kebutuhan jiwa manusia.
Tari adalah keindahan ekspresi jiwa manusia yang diungkapkan berbentuk gerak
tubuh yang diperhalus melalui estetika. Seperti yang dikemukakan Edi Sedyawati
(1981:10) bahwa, “Tari merupakan warisan budaya yang harus dikembangkan
selaras dengan perkembangan masyarakat”. Karena kerinduan akan berbagai
4
tradisi yang ada di daerah asalnya, masyarakat Nias yang ada di Kota Medan
mulai menghadirkan berbagai kesenian tradisi Nias dengan mendirikan sanggarsanggar yang khususnya bergerak dalam tradisi dan kesenian Nias, yang salah
satunya adalah Tari Faluaya atau Tari Perang.
Tari Faluaya atau tari Perang ini berasal dari Nias Selatan. Dahulu kala,
Tari Faluaya atau Tari Perang ini merupakan tari pemacu semangat para pasukan
perang sebelum berperang. Biasanya pemicu perang adalah perebutan lahan atau
bahkan merebut kampung orang lain. Seperti halnya sistem kepemimpinan
kampung yang dipimpin seorang kepala desa atau kepala suku, dahulu setiap
kampung di Nias juga dipimpin oleh seorang kepala suku yang disebut Si'ulu
yang berarti bangsawan.
Untuk mempertahankan kekuasaan dan kampungnya dari serangan
penduduk kampung lain, setiap Si’ulu berinisiatif mengumpulkan pemuda desa
untuk dilatih berperang. Jenis latihan yang diberikan oleh Si’ulu adalah dengan
melatih kemampuan Lompat Batu “Hombo Batu” untuk para pemuda. Jika
mereka mampu menaklukkan batu setinggi 2 meter berbentuk prisma yang
dibentuk dari tumpukan batu tersebut, maka mereka dianggap mampu untuk
membela dan mempertahankan kampung mereka.
Ketika dipertunjukkan, prosesi tarian Faluaya ini dipimpin seorang
komando layaknya prosesi dalam perang yang dipimpin oleh seorang panglima.
Kemudian dia akan mengomando penari untuk membentuk formasi berjajar
panjang. Posisi komando berada di depan menghadap kearah penari. Tarian
kemudian dimulai dengan gerakan kaki maju mundur sambil dihentakkan ke
5
tanah dan meneriakkan kata-kata pembangkit semangat. Makna gerakan ini
adalah kesiapan pasukan untuk maju ke medan perang dengan penuh semangat
kepahlawanan. Kemudian diikuti dengan formasi melingkar yang bertujuan untuk
mengepung musuh, setelah musuh terkepung para kesatria akan dengan mudah
untuk melumpuhkan mereka.
Dalam konteks yang tradisional, Tari Faluaya biasanya ditampilkan di
halaman desa atau disebut dengan newali banua. Newali banua adalah sebuah
halaman desa yang dilapisi dengan batu-batu persegi empat. Di bagian kiri dan
kanannya berjejer dengan rapi dan indah puluhan atau ratusan rumah-rumah adat
tradisional Nias menghadap ke halaman desa. Dalam setting seperti inilah
biasanya Tari Faluaya ditampilkan di Nias Selatan.
Masyarakat Nias sangat menghargai setiap unsur budaya yang melekat
dalam kehidupan mereka dan menjadikan unsur budaya itu, menjadi suatu hal
yang sangat sakral dan harus dijalani dan dipatuhi oleh setiap masyarakat Nias.
Namun begitu, pada daerah asal mereka (pulau Nias) dan di daerah urbanisasi
terdapat berbagai perbedaan dalam menjalakan adat istiadat ataupun kesenian
mereka, seperti misalnya terdapat pada Tari Faluaya.
Sanggar Fanayama, merupakan sanggar kebudayaan Nias yang terletak di
jalan Tembakau Raya Simalingkar. Pada sanggar ini, Tari Faluaya merupakan
embrio dari Tari Faluaya di Nias Selatan. Di sanggar Fanayama, penari Tari
Faluaya tidak terikat dari suku Nias, melainkan bebas dari berbagai suku. Ragam
geraknya merupakan embrio dari Tari Faluaya yang ada di Nias Selatan, dengan
6
durasi waktu yang terikat. Hal ini sangat berbeda dengan Tari Faluaya di Nias
Selatan, yang mewajibkan seluruh penarinya berasal dari suku Nias itu sendiri.
Pola lantai dalam Tari Faluaya di Kota Medan juga sudah mengalami
pengembangan dengan berbagai jenis pola lantai, yang disesuaikan dengan
koreografernya. Busana pada Tari Faluaya adalah memakai baju hitam polos
dengan sedikit ornament di lengan, dengan ukuran lengan tiga perempat dan juga
ada yang berlengan panjang pada bagian dalam dan rompi pada bagian luar.
Ornament dari rompi ini berwarna merah, kuning dan juga hitam. Rompi yang
dipakai pada Tari Faluaya di Nias Selatan dan Tari Faluaya di Medan, berbahan
dasar warna merah ataupun hitam. Aksesoris pada Tari Faluaya adalah rai atau
sebuah mahkota yang terbuat dari kuningan dan kalabubu atau yang biasa disebut
dengan kalung.
Perubahan ini, tentu disebabkan karena beberapa bahan pertimbangan atau
yang disesuaikan dengan kebutuhan dalam suatu acara tertentu. Hoho (merupakan
tradisi lisan masyarakat Nias yang dilagukan secara puitis dengan memilih katakata yang menarik untuk diperdengarkan secara lemah-lembut atau disebut syairsyair) pada penyajian Tari Faluaya atau Tari Perang isi dari hoho tersebut
disesuaikan dengan tema suatu acara.
Berdasarkan apa yang diamati oleh peneliti, maka peneliti tertarik untuk
meneliti lebih dalam tentang Tari Faluaya dalam sebuah penelitian yang berjudul
“Studi Komparatif Tari Faluaya di Nias Selatan dengan Tari Faluaya di
Medan”.
7
B. Identifikasi Masalah
Tujuan dari identifikasi masalah adalah agar penelitian yang dilakukan
terarah, serta cakupan masalah tidak terlalu luas. Hal ini sejalan dengan pendapat
Hadeli (2006:23) yang menyatakan bahwa: “Identifikasi masalah adalah suatu
situasi yang merupakan akibat interaksi dua atau lebih faktor (seperti kebiasaankebiasaan, keadaan-keadaan dan lain sebagainya) yang menimbulkan beberapa
pertanyaan”.
Dari
uraian
di
atas,
maka
permasalahan
penelitian
ini
dapat
diidentifikasikan menjadi beberapa bagian, yaitu :
1. Bagaimana bentuk penyajian Tari Faluaya di Nias Selatan dengan Tari
Faluaya di Medan?
2. Bagaimana bentuk Tari Faluaya di Nias Selatan dengan tari Faluaya
di Medan?
3. Bagaimana gerak Tari Faluaya di Nias Selatan dengan Tari Faluaya di
Medan?
C. Pembatasan Masalah
Setelah diidentifikasi masalah, maka arah penelitian harus dibatasi agar
tidak meluas kemana-mana. Hal ini dilakukan dalam proses menganalisis dan
penelitian. Berdasarkan identifikasi masalah diatas, maka pembatasan masalah
dalam penelitian ini adalah: “Bagaimana bentuk penyajian Tari Faluaya di Nias
Selatan dengan Tari Faluaya di Medan”.
8
D. Rumusan Masalah
Seperti yang telah diuraikan dalam latar belakang, maka diperlukan
rumusan masalah dalam penelitian ini. Perumusan masalah merupakan pertanyaan
yang lengkap dan terperinci mengenai ruang lingkup permasalahan yang akan
diteliti.
Dalam perumusan masalah diharapkan mampu untuk memperkecil batasabatasan masalah dan sekaligus lebih mempertajam arah penelitian. Adapun
rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: “Bagaimana bentuk
penyajian Tari Faluaya di Nias Selatan dan Tari Faluaya di Medan”.
E. Tujuan Penelitian
Setiap kegiatan yang dilakukan pasti memiliki tujuan, tanpa ada tujuan
yang jelas maka penelitian yang diadakan akan sia-sia. Tujuan penelitian
mengungkapkan sasaran yang ingin dicapai dalam penelitian. Tujuan penelitian
adalah pernyataan mengenai ruang kegiatan yang akan dilakukan berdasarkan
masalah yang dirumuskan. Hal ini sesuai dengan pendapat Arikunto (1978:69),
yang menyatakan: “Penelitian adalah rumusan kalimat yang menunjukkan adanya
hasil yang diperoleh setelah penelitian selesai”.
Berhasil atau tidaknya suatu penelitian terlihat dari tercapai atau tidaknya
tujuan penelitian. Maka sesuai dengan perumusan masalah, tujuan penelitian ini
adalah sebagai berikut: “Mendeskripsikan bentuk penyajian Tari Faluaya di Nias
Selatan dengan Tari Faluaya di Medan”.
9
F. Manfaat Penelitian
Dalam kamus lengkap Bahasa Indonesia, manfaat adalah guna atau faedah.
Sebuah penelitian pasti akan memperoleh hasil yang bermanfaat, manfaat
penelitian diharapkan dapat mengisi kebutuhan segala komponen masyarakat baik
dari instansi yang berkaitan dan lembaga-lembaga kesenian maupun praktisi
kesenian, serta bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan masyarakat luas. Maka
manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Sebagai bahan informasi tertulis kepada masyarakat atau lembaga yang
mengembangkan visi dan misi kebudayaan, khususnya dibidang kesenian
tradisional.
2. Sebagai masukan bagi penelitian dalam menambah pengetahuan wawasan
mengenai Tari Faluaya di Nias Selatan dengan Tari Faluaya di Medan.
3. Sebagai bahan motivasi bagi setiap pembaca yang menekuni atau
mendalami tari.
4. Sebagai motivasi dikalangan pemuda agar lebih membangkitkan keinginan
masyarakat untuk melestarikan budaya Nias.
5. Sebagai salah satu bahan masukan di Jurusan Sendratasik khususnya
Program Studi Pendidikan Seni Tari, Universitas Negeri Medan.
6. Referensi bagi peneliti-peneliti lainnya yang hendak meneliti kesenian ini
lebih lanjut.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Dari hasil penelitian dan pembahasan mengenai Studi Komparatif Tari
Faluaya di Nias Selatan Dengan Tari Faluaya di Medan, yang telah
dideskripsikan pada bab sebelumnya, maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut:
1. Faluaya adalah keselurahan ekspresi suatu peperangan, untuk
memperjuangkan semua aspek kehidupan, termasuk membela diri dan
mempertahankan kehormatan kampung. Tari Faluaya atau Tari Perang
ini merupakan lambang kesatria para pemuda desa di Nias Selatan,
untuk
melindungi
desa
dari
ancaman
musuh.
Tarian
ini
menggambarkan persatuan dan kesatuan suatu kampung saat
menghadapi berbagai ancaman musuh.
2. Di Kota Medan, Tari Faluaya merupakan salah satu tari yang
mencerminkan identitas etnis masyarakat Nias. Melalui Tari Faluaya,
masyarakat Nias yang ada di Kota Medan ingin menyampaikan
bagaimana harga diri pemuda-pemuda di Nias yang dilihat dari
tanggung jawabnya terhadap keamanan dan ketertiban kampung saat
berperang melawan musuh. Tari Faluaya tidak menggunakan alat
musik sebagai pengiring tari, panglima dan pasukan perang
melantukan hoho. Hoho merupakan tradisi lisan masyarakat Nias yang
68
69
dilagukan secara puitis dengan memilih kata-kata yang menarik untuk
diperdengarkan atau disebut dengan syair-syair.
4. Jika di Nias Selatan, maka penari Tari Faluaya haruslah suku Nias itu
sendiri, maka di Medan penari dalam Tari Faluaya ini tidak
diwajibkan dari suku Nias. Namun dalam kedua tarian ini, properti
yang digunakan adalah sama, yaitu baluse (tameng), toho (tombak)
dan tolögu (pedang).
5. Pola lantai dalam kedua tarian ini cenderung serupa, namun karena
jumlah penari yang berbeda maka ada tampak perbedaan. Persegi
empat dan lingkaran merupakan pola lantai yang sering digunakan
dalam kedua tarian ini, Tari Faluaya di Medan juga memakai pola
persegi empat dan lingkaran, akan tetapi ditambah dengan pola lantai
lainnya yang disesuaikan dengan koreografernya.
6. Tata rias pada Tari Faluaya di Nias Selatan biasanya tanpa make up
atau riasan wajah. Dengan memakai baju berwarna merah pada bagian
dalam dan rompi pada bagian luar. Ada beberapa jenis warna dari
rompi yang biasa digunakan oleh penari Tari Faluaya di Nias Selatan,
ada yang berbahan dasar merah dan ada juga yang berbahan dasar
hitam, dengan warna ornament merah, hitam dan kuning yang kontras
serta kain kuning yang disebut dengan gőndőra sebagai bawahan, ada
juga rompi berwarna cokelat yang terbuat dari kulit kayu dan rumput
laut.
70
7. Penari Tari Faluaya di Medan memakai make up atau riasan wajah
yang sederhana. Mengenakan baju hitam pada bagian dalam dan
rompi pada bagian luar. Rompi ini ada yang berbahan dasar merah dan
ada juga yang berbahan dasar hitam, dengan ornament-ornament
berwarna hitam, kuning dan merah yang lembut serta kain kuning atau
biasa disebut gőndőra dibagian bawah.
B. Saran
Berdasarkan beberapa kesimpulan di atas, terhadap Studi Komparatif Tari
Faluaya di Nias Selatan Dengan Tari Faluaya di Medan, maka penulis
memberikan beberapa saran berikut:
1. Setelah dilakukannya penelitian ini, penulis berharap agar pemerintah
selalu memberikan perhatian terhadap kesenian, baik itu pemerintah yang
ada di Nias Selatan maupun pemerintah di Kota Medan
2. Kepada para seniman, baik di Kota Medan maupun di Kabupaten Nias
agar selalu berkarya, memperhatikan dan memberikan pengarahan serta
pengenalan kepada masyarakat untuk tetap melestarikan budaya.
3. Pada generasi muda, khususnya pemuda Nias disarankan untuk
mengetahui tentang Tari Faluaya, sehingga tarian ini akan tetap hidup dan
terjaga kelestariannya.
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, Suharsimi, 1978, Prosedur Penelitian, Jakarta : Rieneke Cipta.
Aziz, Alimut Hidayat, 2007, Metode Penelitian Kebidanan dan Teknik Analisis
Data, Surabaya : Salemba Media.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 2001, Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Jakarta : Balai Pustaka.
Hadeli, 2006, Metode Penelitian Kependidikan, Padang : Quantum Teaching.
Hadi, Sumandiyo, 1984, Aspek-aspek Dasar Koreografi Kelompok, Yogyakarta :
ELKAPHI.
, 2007, Kajian Tari Teks dan Konteks, Yogyakarta : Pustaka.
Hermin, Kusumawati,1980, Makna Tari dalam Upacara di Indonesia, Jakarta :
Pidato.
Jazuli, M, 1994, Telaah Teoritis Seni Tari, Semarang : IKIP Semarang Press.
Koentjaningrat, 2000, Pengantar Ilmu Antropologi, Jakarta : Rineka Cipta.
Kraus, Richard, 1969, History of THE Dance : Prentice-hall inc Englewood eliffs,
Newjersey.
Murgianto, Sal, 1983, Koreografi Pengetahuan Dasar Komposisi Tari, Jakarta :
(Direktorat Jendral) Pendidikan Dasar dan Menengah Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan.
Nata’alui, 2011, Pusaka Nias Dalam Media Warisan, Gunungsitoli : Yayasan
Pusaka Nias, Kumpulan Artikel dan Opini.
Pelly, Usman, 1983, Hubungan Antar Kelompok Etnis, Beberapa Kerangka
Teoritis Dalam Kasus Kota Medan dalam Interaksi Antar Suku Bangsa
Yang Majemuk, Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Royce, Peterson Anya, 2007, Antropology Of Dance, Terjemahan F.X
Widiaryanto, Bandung : Sunan Ambu PRESS STSI.
Sari, Nur Utari Septiana, 2013, “Makna Gerak Tari Faluaya Tari Perang Pada
Masyarakat Nias Selatan”, Medan : Universitas Negeri Medan.
Sedyawati, Edi, 1981, Pertumbuhan Seni Pertunjukan, Seri Esni No : 4.
71
72
Soedarsono, 1977, Tari-tarian Indonesia, Jakarta : Proyek Pengembangan Media
Kebudayaan Direktorat Jendral Kebudayaan.
Sugiono, 2008, Metode Penelitian Pendidikan, Bandung : Alfabeta.
Soeharto, Ben, 1985, Komposisi Tari, Yogyakarta : Ikalasti.
Tafönaö, Agusman, 2012, “Analisis Musik Vokal Pada Pertunjukan Maena Dalam
Pesta Adat Falöwa (Perkawinan) Masyarakat Nias di Kota Medan”,
Departemen Etnomusikologi, Universitas Sumatera Utara : Skripsi.
Tasman, A, 2008, Analisa Gerak Dan Karakter, Surakarta : ISI Press Surakarta.
Telaumbanua, Chical Teodali, 2012, “Analisis Sinunӧ Pada Pertunjukan Fanari
Ya’Ahowu Dalam Kebudayaan Nias di Kota Gunungsitoli”, Universitas
Sumatera Utara : Skripsi.
Telaumbanua, Christ Mart, “Maena Fangowai ditinju dari Peranan dan Bentuk
Penyajian dalam Acara Perkawinan Masyarakat Nias di Pematang
Siantar”, Skripsi Jurusan Sendratasik, Fakultas Bahasa dan Seni :
Universitas Negeri Medan.
Wau, Tafaewasi, 2013, “Pertunjukan Hombo Batu Sebagai Daya Tarik Wisata di
Desa Bawömataluo Kecamatan Fanayama Kabupaten Nias Selatan
Provinsi Sumatera Utara”, Universitas Udayana : Thesis.