Makna dan tujuan perkawinan dengan pendekatan tasawuf

BAB V ANALISIS DATA

A. Makna dan tujuan perkawinan dengan pendekatan tasawuf

Pada bab sebelumnya telah dikemukakan bahwa secara bahasa perkawinan atau nikah adalah berkumpul atau bercampur. Akan tetapi menurut istilah hukum, perkawianan itu adalah “Akad yang dilakukan antara laki-laki dan perempuan yang dengannya dihalalkan bagi mereka untuk melakukan hubungan seksual” . 1 Istilah “akad” diartikan sebagai janji. Dalam Al-Quran disebut Mitsaqan Ghalidza yang berarti perjanjian yang kuat. Dalam mengartikan mitsaqan ghalidza yang tersebut didalam al-Quran surat an-Nisak ayat 21 terdapat beberapa pendapat. Menurut Ibnu Abas dan Mujahid adalah aqad sedangkan menurut Sofyan al-Tsuri mitsaqan ghalidza itu maksudnya “Imsakun bi ma’ruf au tasrihun bi Ihsan” 2 Jadi menurut istilah syarak nikah adalah ijab dan qabul ‘aqad yang menghalalkan persetubuhan antara lelaki dan perempuan yang diucapkan dengan kata-kata yang menunjukkan nikah, menurut peraturan yang ditentukan oleh Islam. Perkataan zawaj digunakan di dalam al-Quran bermaksud pasangan, dalam penggunaannya perkataan ini bermaksud perkawinan. Allah s.w.t. menjadikan manusia itu berpasang-pasangan, menghalalkan perkawinan dan mengharamkan zina. Adapun nikah menurut syari’at juga berarti akad. Sedangkan pengertian hubungan badan itu hanya metafora saja. Islam adalah agama yang syumul universal. Agama yang mencakup semua sisi kehidupan. Tidak ada suatu masalahpun dalam kehidupan ini yang tidak diatur oleh Islam. Dan tidak ada satu pun masalah yang tidak disentuh nilai Islam, walau masalah tersebut nampak kecil dan sepele. Itulah Islam, agama yang memberi rahmat bagi sekalian alam. Dalam masalah perkawinan, Islam telah berbicara banyak, mulai dari bagaimana mencari calon pendamping hidup hingga bagaimana memperlakukannya sebagai isteri atau suami bila telah melangsungkan akad nikah. Begitu pula Islam mengajarkan bagaimana mewujudkan sebuah pesta pernikahan yang meriah namun tetap mendapatkan berkah dan tidak melanggar tuntunan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, begitu pula dengan pernikahan yang sederhana namun tetap penuh dengan pesona. 1 Sofiyurrahman al-Mubarakfuri, Ittihaf al Kiram, hlm. 288, Abu Bakar al-Jazairi, Minhaj al-Muslim, h.349 2 Lihat : Tafsir al-Quran v1.4 standar bagian ayat 21 surat an-Nisak versi Ibnu Katsir Pernikahan adalah sunnah karuniah yang apabila dilaksanakan akan mendapat pahala tetapi apabila tidak dilakukan tidak mendapatkan dosa tetapi dimakruhkan karana tidak mengikuti sunnah rosul. 3 Arti dari pernikahan disini adalah bersatunya dua insan dengan jenis berbeda yaitu laki-laki dan perempuan yang menjalin suatu ikatan dengan perjanjian atau akad. Suatu pernikahan mempunyai tujuan yaitu ingin membangun keluarga yang sakinah mawaddah warohmah serta ingin mendapatkan keturunan yang solihah. Keturunan inilah yang selalu didambakan oleh setiap orang yang sudah menikah karena keturunan merupakan generasi penerus bagi orang tuanya. 4 Dalam al-Qur’an dan as-Sunah kata “Nikah” kadang digunakan untuk menyebut akad nikah, tetapi kadang juga dipakai untuk menyebut suatu hubungan seksual. Contoh nikah yang berarti akad adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala : م م ك ك للَ ب ل َاط ل َ َاملَ اُوحكككنمَافلَ َىملَاتليللماَ ِيفكَ اُوط ك س ك قمتكَ للألَ م م تكفمخكَ ن م إكول اُولكدكعمتلَ للألَ ممتكفمخكَ نمإكفلَ علَابلركولَ ث ل للثكولَ َىنلثمملَ ءكَاس ل ننلاَ ن ل مك اُولكُوعكتلَ للألَ َىنلدمألَ ك ل لكذلَ ممككنكَامليمألَ ت م ك ل للملَ َاملَ ومألَ ةةدلحكاُولفل “Maka lakukanlah akad nikah dengan wanita-wanita lain yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka kawinilah seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya” 5 Contoh lain adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala : ف ل للس ل َ د م قلَ َاملَ للإكَ ءكَاس ل ننلاَ ن ل مكَ م م ك ك ؤكَابلآَ حلكلنلَ َاملَ اُوحكككنمتلَ للول لةيبكس ل َ ءلَاس ل ولَ َاتةقمملولَ ةةش ل حكَافلَ ن ل َاك ل َ هكنلإك Dan janganlah kamu lakukan akad nikah dengan wanita-wanita yang telah melakukan akad nikah dengan ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan yang ditempuh .6 Adapun contoh kata nikah yang berarti melakukan hubungan seksual adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala yang berbunyi; 3 Syaikh Kamil Muhammad ‘uwaidah, Fiqih Wanita, Jakarta:pustaka al-kautsar, 1998 hal. 375 4 Ahmad Rafi Baihaqi, Membangun Syurga Rumah Tangga, surabayah:gita mediah press, 2006 hal. 8 5 Qs. an-Nisa’ : 3 6 Qs. an-Nisa : 22 ن م إكفلَ هكرليمغلَ َاجةومزلَ حلككنمتلَ َىتلحلَ دكعمبلَ ن م مكَ هكللَ ل ل ح ك تلَ للفلَ َاهلقلللط ل َ نمإكفل دلودكحكَ َامليقكيكَ نمألَ َانلظ ل َ نمإكَ َاعلجلارلتليلَ نمألَ َاملهكيمللعلَ حلَانلجكَ للفلَ َاهلقلللط ل ن ل ُومكللعميلَ م م ُومقللكَ َاهلنكينبليكَ هكلللاَ دكودكحكَ ك ل لمتكولَ هكلللا Kemudian jika si suami mentalaknya sesudah talak yang kedua, maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dia melakukan hubungan seksual dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya bekas suami pertama dan istri untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang mau mengetahui. 7 Arti nikah pada ayat di atas adalah al-wath-u atau al-jima’u melakukan hubungan seksual, bukan akad nikah. 8 Karena seseorang tidak disebut suami kecuali kalau sudah melakukan akad nikah. Seorang istri yang telah diceraikan suaminya yang pertama sebanyak tiga kali, dan sudah menikah dengan suami yang kedua, maka dia harus melakukan “ nikah “ dengan suaminya yang kedua tersebut, kemudian diceraikannya, sebelum kembali kepada suaminya yang pertama. Melakukan “ nikah “ dengan suami yang kedua, maksudnya adalah melakukan “ hubungan seksual “. 9 Nikah dalam arti melakukan hubungan seksual pada ayat di atas dikuatkan oleh hadist Aisyah yallahu ‘anha yang berbunyi; هيييلعَ هللاَ َىلص-َ هكلللاَ ل ك ُوس ك رلَ ل ل ئكس ك َ ت م للَاقلَ ةلش ل ئكَاع ل َ ن م ع ل -َ َاييثةل ل ثلَ َىيينكعميلَ -َ هكييتلألرلمماَ ق ل ييللط ل َ لمييجكرلَ نمييعلَ -ملييسو ن م ألَ ل ل يبمقلَ َايهلقلللط ل َ مليثكَ َايهلبكَ للخلدلييفلَ هكرليمغلَ َاجةومزلَ تمجلولزلتلفل َىلييص-َ َى ل ييبكنللاَ ل ل َاقلَ ت م للَاقلَ ل ك ولل ل اَ َاهلجكومزللكَ للحكتلألَ َاهلعلقكاُوليك 7 Qs. al- Baqarah : 230 8 Ibnu Qudamah di dalam kitab al-Mughni, juz : 7, h. 333, Dar al-Kitab al-Arabi mengatakan: Disebutkan bahwa lafadh nikah di dalam al-Qur’an tidak ada yang artinya melakukan hubungan seksual, kecuali firman Allah subhanahu wa ta’ala: “ hatta tanhika zaujan ghairahu 2 : 230 9 Ibnu al-Arabi di dalam buku Ahkam al-Qur’an, juz : 1, hlm : 267 menyebutkan bahwa Sa’id bin al-Musayib berpendapat bahwa seorang perempuan yang telah dicerai suaminya tiga kali, maka dia menjadi halal lagi bagi suaminya yang pertama, jika sudah melakukan akad nikah dengan suami yang kedua, tanpa harus melakukan hubungan seksual dengannya berdasarkan dhahir dari ayat di atas Qs 2 : 230 , kemudian Ibnu Arabi membantah pendapat tersebut. Ibnu Mundzir mengatakan bahwa para ulama sepakat bahwa istri yang sudah dicerai 3 kali, harus melakukan hubungan seksual dengan suami yang kedua sebelum kembali kepada suami yang pertama Muhammad Syamsul al-Haq al –Adhim Abadi, Aun al-Ma’bud, juz : 6, hlm : 301 ةللليمييس ل ع ك َ ق ل وذ ك ييتلَ َىييتلحلَ لكولل ل لكَ للييحكتلَ للَ -ملسوَ هيلعَ هللا َاهلتللليمس ل ع ك َ ق ل وذ ك يلولَ ركخللا َ “Dari Aisyah, ia berkata; Rasulullah shallallahu alaihi wasallam ditanya mengenai seorang laki-laki yang mencerai isterinya tiga kali, kemudian wanita tersebut menikah dengan laki- laki yang lain dan bertemu muka dengannya kemudian ia mencerainya sebelum mencampuri, maka apakah ia halal bagi suaminya yang pertama? Aisyah berkata; tidak. Nabi shallallahu alaihi wasallam berkata: Ia tidak halal bagi suaminya yang pertama hingga ia merasakan manisnya hubungan seksua dengan suaminya yang lain, dan ia sang suami juga merasakan manisnya hubungan seksual dengannya. 10 Contoh dari hadits yang menunjukan bahwa arti nikah adalah melakukan hubungan seksual adalah sabda Rasulullah shalallahu a’alaihi wa sallam : حَاك ل ننلاَ للإَ ءمِي م ش ل َ ل ل ك ك َ اُومعكنلص م اك “Lakukanlah segala sesuatu dengan istrimu yang sedang haid kecuali nikah, yaitu jima’” 11 Dalam riwayat lain disebutkan : عَاملجكلاَ للإَ ءمِي م ش ل َ ل ل ك ك َ اُومعكنلص م ا “Lakukanlah segala sesuatu d engan istrimu yang sedang haid kecuali jima’” 12 Setelah kita mengetahui bahwa nikah mempunyai dua arti, yaitu akad nikah dan melakukan hubungan seksual, maka pertanyaan yang muncul adalah bagaimana kita membedakan antara dua arti tersebut di dalam suatu pembicaraan ? Para ulama membedakan antara keduanya dengan keterangan sebagai berikut : Jika dikatakan bahwa seorang laki-laki menikah dengan seorang perempuan yaitu fulanah binti fulan maka artinya bahwa laki-laki tersebut melakukan akad nikah dengannya. Jika dikatakan bahwa seorang laki-laki menikah dengan istrinya, maka artinya bahwa laki-laki tersebut melakukan hubungan seksual dengannya. 13 Dari kedua makna nikah di atas, mana yang hakikat dan mana yang majaz ? Para ulama berbeda pendapat : Pendapat Pertama : bahwa nikah pada hakikatnya digunakan 10 HR Bukhari dan Muslim. Lafadh di atas dari riwayat Abu Daud. 11 Hadist Shahih Riwayat Ibnu Majah 12 Hadist Shahih Riwayat Ibnu Majah 13 Penjelasan di atas disebutkan oleh al- Farisi dan dinukil oleh Abu Bakar bin Muhammad al Husaini di dalam Kifayah al- Akhyar, hlm : 460. Dan disebutkan juga oleh Syekh al-Utsaimin di dalam Syarh al-Mumti’, juz : 5, hlm : 79. untuk menyebut akad nikah, dan kadang dipakai secara majaz untuk menyebutkan hubungan seksual. Ini adalah pendapat shahih dari madzhab Syafi’iyah, dishahihkan oleh Abu Thoyib, Mutawali dan Qadhi Husain. 14 Ini juga merupakan pendapat yang dipilih oleh Syekh al- Utsaimin. 15 Pendapat kedua : bahwa nikah pada hakikatnya dipakai untuk menyebut hubungan seksual. Tetapi kadang dipakai secara majaz untuk menyebut akad nikah. Ini adalah pendapat al-Azhari, al-Jauhari dan az-Zamakhsari, ketiga orang tersebut adalah pakar dalam bahasa Arab. 16 Dari pengertian ini nampak jelas bahwa kata nikah dengan pengertian aqad adalah ikatan lahir batin yang dilakukan oleh dua orang yang berlainan jenis dalam sebuah perkawinan untuk membangun keluarga yang sakinah mawaddah warahmah dalam waktu yang tidak ditentukan sesuai dengan ajaran agama Islam. Dari aqad nikah itu terkandung makna bahwa perkawinan itu mesti dalam pergaulan yang baik, dan dalam waktu yang tidak ditentukan. Namun kalau memang sudah tidak lagi bisa bersama-sama karena ketidak cocokan antara kedua suami isteri maka berpisahlah dengan baik-baik pula. Jadi setelah akad nikah terdapat ikatan yang kuat antara suami isteri dan karenanya tidak boleh cepat mengambil keputusan untuk berpisah, sebab perjanjian yang dilakukan oleh kedua belah pihak bukan perjanjian biasa antara seorang hamba dengan hamba yang lain, tetapi perjanjian dengan menggunakan “kalimat Allah”. Dalam hal ini Abu Jakfar al-Razi berkata; :َ هلُوييقَ ُوييهَ ةيييلاَ ِيييفَ سيينأَ نييبَ عيييبرلاَ نييعَ ،َ يزارييلاَ رييفعجَ ُوبأَ لَاقو نإفَ ،َ هللاَ ةملكبَ نهجورفَ متللحتساوَ ،َ هللاَ ةنَامأبَ نهُومتذخأ هللاَ ةملكَ هيلعَ هللاَ َىلصَ ِيبنلاَ َىطعأَ َاميفَ نَاكوَ :َ لَاقَ .َ ةبطخلاَ ِيفَ دهشتلاَ ِيه َىتييحَ ةييبطخَ مييهلَ زُوييجتَ لَ كييتمأَ تييلعجَ :َ هلَ لَاقَ هبَ يرسأَ ةليلَ ملسو متَاحَ ِيبأَ نباَ هاورَ .َ ِيلُوسروَ يدبعَ كنأَ اودهشي 17 Abu Jakfar al-Rozi berkata; dari al-Rabi’ bin Anas dalam menjelaskan ayat 21 surat al-Nisak itu beliau berkata “Kamu ambil mereka dengan amanah Allah, kamu menghalalkan faraj mereka dengan kalimah Allah. Sesungguhnya kalimah Allah itu adalah Syahadat dalam berkhithobah. Beliau juga mengatakan bahwa Allah telah memberikan sesuatu kepada Nabi 14 Abu Bakar bin Muhammad al Husaini, Kifayah al-Akhyar, hlm : 460 15 Al-Utsaimin, Syarh al-Mumti’, juz : 5, hlm : 79. 16 Pendapat Zamakhsari ini dinukil oleh Syekh Kamil Muhammad Uwaidhah di dalam komentarnya pada buku Kifayah al Akhyar, hlm : 460. Beliau juga memilih pendapat ini dengan alasan bahwa Zamakhsari adalah ahli bahasa yang lebih unggul dibanding dengan yang lainnya. Lihat juga di Ibnu al-Mandhur, Lisan al-Arab, juz : 2, hlm : 626 17 Ibid SAW ketika beliau menjalani Israk dan Mikraj, Allah berfirman; Aku jadikan ummatmu bahwa mereka tidak boleh berkhithobah kecuali mereka bersyahadat bahwa engkau adalah hamba-Ku dan Rasul-Ku. Sejalan dengan makna aqad nikah ini dipertegas lagi dengan hadis Nabi SAW yang beliau sampaikan pada saat haji wadak, beliau berkata; ،َ هييللاَ نَاييمأبَ نهُومتذييخأَ مكنإييفَ ،َ اريييخَ ءَاييسنلَابَ اُوييصُوتساو هللاَ ةملكبَ نهجورفَ متللحتساو 18 َ Aku wasiatkan kalian agar berbuat baik kepada perempuan, kalian telah mengambilnya dengan amanah Allah, dan kalian halalkan faraj mereka dengan kalimah Allah. Dari pengertian akad nikah seperti tersebut diatas nampak jelas bahwa perkawinan itu adalah sesuatu yang sangat berat karena isteri itu diambil dengan amanah Allah, dan dihalalkan dengan kalimat Allah. Ini artinya bukan hanya pertemuan dua insan yang dibalut asmara yang kalau sudah bosan lalu dicerai, tetapi harus dipertanggung jawabkan kehadirat Allah, dan karenanya susah senang ditanggung bersama, ada masalah dihadapi bersama, dan dituntut tanggung jawab penuh terutama bagi sang suami. Ada dua hal yang membuat perkawinan itu menjadi berat yaitu “mengambilnya dengan dengan amanah Allah, dan menghalalkan farajnya dengan kalimah Allah”. Oleh karena itu harus dipertanggung jawabkan kepada Allah. Tentang amanah ini terdapat beberapa ayat dalam al-Quran dengan pokok persoalan yang berbeda-beda namun intinya sama yaitu para pemegang amanah harus menunaikan amanah yang diberikan kepadanya. Diantara ayat-ayat tersebut adalah; 1. Q.S. al-Baqarah : 283  َ  َ  َ  َ  َ   َ  َ  َ  َ  jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya hutangnya dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; 2. Q.S. al-Mukminun : 8 - 11  َ  َ  َ  َ   َ َ َ  َ  َ  َ  َ   َ َ َ  َ  َ  َ  َ َ َ   َ  َ  َ  َ  َ  َ 18 Dari Jabir RA. Dalam shohih Muslim Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat yang dipikulnya dan janjinya. Dan orang-orang yang memelihara sembahyangnya. Mereka Itulah orang-orang yang akan mewarisi, yakni yang akan mewarisi syurga Firdaus. mereka kekal di dalamnya. 3. Q.S. al-Marij : 32 - 35  َ  َ  َ  َ   َ َ َ  َ  َ  َ  َ   َ  َ  َ  َ  َ   َ  َ  َ  َ  Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat yang dipikulnya dan janjinya. Dan orang-orang yang memberikan kesaksiannya. Dan orang-orang yang memelihara shalatnya. Mereka itu kekal di syurga lagi dimuliakan. 4. Q.S. al-Anfal : 27  َ  َ  َ  َ  َ   َ  َ  َ   َ  Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul Muhammad dan juga janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui. Imam al-Saadi mengemukakan pendapatnya tentang amanah ini beliau berkata; هيلعَ هلللاَ مهنمتئاَ َامَ اودؤيَ نأَ نينمؤملاَ هدَابعَ َىلَاعتَ رمأي َىييلعَ هييلللاَ َاهييضرعَ دييقَ ةيينَاملاَ نإييفَ ،هيهاُونوَ هرماوأَ نم نقفييشأوَ َاييهنلمحيَ نأَ نيبأفَ ،لَابجلاوَ ضرلاوَ تاوَامسلا ىدأَ نمفلُوييهجَ َاييمُولظَ نَاييكَ هيينإَ نَاييسنلاَ َاييهلمحوَ َاييهنم َاييهدؤيَ مييلَ نييموَ ،ليييزجلاَ باُوثلاَ هلللاَ نمَ قحتساَ ةنَاملا َ ،ليبُولاَ بَاقعلاَ قحتساَ َاهنَاخَ لب 19 Allah memerintahkan hambanya yang mukmin untuk menunaikan amanah Allah kepada mereka seperti perintah-perintah-Nya dan larangan-larangan-Nya. Karena sesungguhnya amanah tersebut pernah ditawarkan kepada bumi dan langit serta gunung dan bukit mereka semuanya menolak karena takut akan terabaikan lalu manusia menyatakan kesanggupannya padahal manusia itu banyak yang zolim dan bodoh. Siapa yang menunaikan amanah tersebut dia berhak mendapatkan pahala besar 19 Tafsir al-Quran v1.4 standar bagian ayat 27 surat al-Anfal 8 versi As-Saadi, hal. 180 dari Allah, tetapi siapa yang tidak menunaikannya dan bahkan mengkhianatinya maka dia berhak mendapatkan azab yang mengerikan. Pengabaian terhadap amanah Allah ini terdapat beberapa pendapat; Imam al-Saadiy berkata “apabila mereka mengkhianati Allah dan Rasul maka sungguh mereka mengkhianati amanah mereka sendiri”. Ibnu Abbas berkata; “Janganlah kamu mengkhianati Allah dengan meninggalkan fardhunya, dan Rasul dengan meninggal sunnahnya dan mengkhianati amanah kamu sendiri” Qotadah berkata; “ketahuilah bahwa agama Allah itu adalah amanah, maka tunaikanlah kepada Allah, apa yang telah diamanahkan kepadamu tentang berbagai kewajiaban dan batas-batasnya, barang siapa yang diberi amanah maka hendaklah dia menunaikannya terhadap orang yang memberi amanah tersebut” 20 Para mufassirin berbeda pendapat dalam menafsirkan kata amanah pada ayat di atas, pendapat-pendapat tersebut antara lain: 1 Imam Al-Aufi dari Ibnu Abbas – radhiyallahu anhu - berkata, Yang dimaksud dengan al-amanah adalah, ketaatan yang ditawarkan kepada seluruh makhluk sebelum ditawarkan kepada Adam Alaihissalam, akan tetapi mereka tidak menyanggupinya. Lalu Allah berfirman kepada Adam, Sesungguhnya Aku memberikan amanah kepada langit dan bumi serta gunung-gunung, akan tetapi mereka tidak menyanggupinya. Apakah engkau sanggup untuk menerimanya ? . Adam menjawab, Ya Rabbku, apa isinya ? Maka Allah berfirman, Jika engkau berbuat baik maka engkau akan diberi balasan, dan jika engkau berbuat buruk maka engkau akan diberi siksa. Lalu Adam menerimanya dan menanggungnya. Itulah maksud firman Allah, Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh. 2 Ali bin Abi Thalhah dari Ibnu Abbas – radhiyallahu anhu - berkata, Amanah adalah kewajiban-kewajiban yang diberikan oleh Allah kepada langit, bumi dan gunung- gunung. Jika mereka menunaikannya, Allah akan membalas mereka. Dan jika mereka menyia - nyiakannya, maka Allah akan menyiksa mereka. Mereka enggan menerimanya dan menolaknya bukan karena maksiat, tetapi karena tazhim menghormati agama Allah kalau-kalau mereka tidak mampu menunaikannya. Kemudian Allah Taala menyerahkannya kepada Adam, maka Adam menerimanya dengan segala konsekwensinya. Itulah maksud dari firman Allah: Dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zhalim dan amat bodoh, 20 Ibid. yaitu banyak manusia yang mengabaikan amanah tersebut dengan melanggar larangannya dan menyia-nyakan perintahnya. 3 Imam Malik meriwayatkan bahwa Zaid bin Aslam berkata, Amanah itu ada tiga: shalat, zakat, dan mandi junub. 4 Imam Al-Qurthubi berkata: amanah meliputi semua tugas agama menurut pendapat yang paling kuat. Sebagaimana ia berkata dalam firman-Nya: QS. Al-Muminun:8 ن ل ُوع ك ارلَ ممهكدكهمعلولَ ممهكتكَانلَاملل ل َ ممهكَ نليذكللاول Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat yang dipikulnya dan janjinya. Amanah dan janji menggabungkan segala yang dipikul manusia baik dalam perkara agama maupun masalah dunia, ucapan dan perbuatan. Dan hal ini meliputi pergaulan dengan manusia, janji-janji, dan selain yang demikian itu termasuk akad nikah. Akhir dari kesemuanya itu menjaga dan melaksanakannya. Ketika amanah meliputi segala hal, maka pemegang amanah harus menunaikan amanahnya, seperti halnya diberi amanah tentang harta yang banyak atau sedikit, menjaga keutuhan rumah tangga, menjaga anak dan isteri. Karena Allah memerintahkan menunaikan amanah kepada pemiliknya, dan melarang berkhianat kepada Allah dan Rasul-Nya, serta melarang mengkhianati semua amanah mereka. Dan Dia menjadikan di antara sifat orang- orang yang beruntung adalah bahwa sesungguhnya mereka menjaga janji dan amanah mereka. Dan jiwa manusia dengan fitrahnya cenderung kepada pemberi nasehat yang dipercaya al-amin dan berpegang kepada orang yang kuat lagi dipercaya, Diriwayatkan dalam cerita penduduk Najran, tatkala mereka setuju membayar jizyah, sesungguhnya mereka berkata: Sesungguhnya kami memberikan kepadamu apa-apa yang engkau minta kepada kami, utuslah bersama kami seorang laki-laki yang amin dipercaya, dan janganlah engkau mengutus bersama kami kecuali orang yang amanah. Maka beliau Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda: ن م يممكأ ل َ ق ل حلَ َانةيممكأ ل َ لةجكرلَ ممككعلملَ نلثلعلبملل “Sungguh aku akan mengutus seorang laki-laki yang amanah bersamamu, orang yang benar-benar amanah”. Dan beliau mengirim Abu Ubaidah. Nilai amanah itu jauh lebih berharga daripada dunia dan seisinya. Rasulullah SAW mengatakan; ق ك دمييص ك َ :َايلنمدلييلاَ ن ل ييمكَ ك ل ييتلَافلَ َاييملَ ك ل يييمللعلَ ل ل فلَ ك ل يييمفكَ نلككَ الذإكَ ععبلرمأل .م ك علط م ملَ ةكفلعكولَ قكلكخكلماَ نكسمحكولَ ةكنلَاملللامَ ظ ك فمحكولَ ثكيمدكحللما Empat perkara, apabila ada padamu, maka tidak mengapa engkau kehilangan dunia: benar ucapan, menjaga amanah, akhlak yang baik, dan menjaga makanan dari yang tidak baik. Amanah merupakan salah satu rukun akhlak yang empat perkara, yang tidak bisa ditukar dengan apapun juga. Bahkan bisa menjadi sebab datangnya dunia kepada hamba, karena manusia mendapatkan padanya. Amanah adalah sifat istimewa bagi para pemangku risalah para nabi, sesungguhnya setiap orang dari mereka berkata kepada kaumnya: “Inniy lakum Rasuulun Amiin” Sesungguhnya aku adalah seorang rasul kepercayaan yang diutus kepadamu. QS. Asy-Syuara:107 Amanah tersebut merupakan persaksian musuh-musuh mereka para nabi kepada mereka, seperti dalam dialog Heraclius raja Romawi dengan Abu Sufyan – radhiyallahu anhu-, ketika Heraclius berkata: Aku bertanya kepadamu, apa yang diperintahkannya kepadamu? Maka Abu Sufyan menjelaskan bahwa ia Muhammad SAW memerintahkan shalat, jujur, menahan dari yang haram, melaksanakan janji, menunaikan amanah- ia berkata: dan ini adalah sifat seorang nabi. HR. Bukhari dan Muslim Dan di tempat yang lain dalam Ash-Shahih …Dan aku bertanya kepadamu: apakah ia menipu? Maka engkau menjelaskan bahwa ia tidak pernah menipu. Demikian pula para rasul, mereka tidak pernah menipu… Sungguh, jika ini merupakan sifat para penyeru risalah, maka sesungguhnya para pengikut mereka juga memiliki karasteristik seperti itu. Karena itulah beliau menyatakan bahwa seorang mukmin berperilaku istimewa, beliau bersabda: م م هكلكاُولممأ ل ولَ ممهكئكَاملدكَ َىللعلَ س ك َانللاَ هكنمأَ ن م ملَ ن ك مكؤممكلماول Dan seorang mukmin adalah orang yang manusia memberikan amanah kepadanya terhadap darah dan harta mereka. HR. At-Tirmidzi Apabila sifat amanah sudah menyatu dengan pemiliknya, ia bergaul dengan sifat itu bersama yang dekat dan jauh, muslim dan non muslim. Ibnu Hajar rahimahullah berkata: Menipu hukumnya haram dengan kesepakatan ulama, sama saja terhadap muslim atau kafir zimmi. Demikian pula keadaan orang yang beriman, sehingga bersama orang yang terkenal sebagai pengkhianat dan masyhur sebagai penipu, sebagaimana dalam hadits: ك ل نلَاخلَ ن م ملَ ن م خ ك تلل ل ولَ كلنلملتلئماَ نكملَ َىللإكَ ةلنلَاملللامَ دنأل Tunaikanlah amanah kepada orang yang memberi amanah kepadamu, dan janganlah engkau berkhianat kepada orang yang berkhianat kepadamu. HR. Abu Dawud Yang demikian itu karena bahaya terjatuh dalam pengkhianatan dan rusaknya fitrah dengan membatalkan janji lebih berat dari pada membalas kepada pengkhianat dengan balasan serupa, dan karena sesungguhnya terjatuh sekali bisa disukai nafsu dan terus berada dalam kenistaan pengkhianatan. Penipuan yang dilakukan orang-orang besar, para pemuka, dan pengkhianatan orang-orang yang berkedudukan lebih keji dan lebih jahat dari pada tergelincirnya kalangan awam, karena kesalahan orang besar merupakan kerusakan besar. Al-Qurthubi menjelaskan masalah ini dalam pembicaraannya tentang penipuan para pemimpin, ia berkata: Para ulama kita berkata: Sesungguhnya penipuan yang dilakukan pemimpin lebih besar dan lebih keji darinya pada selainnya, karena mengandung kerusakan dalam hal itu. Maka sesungguhnya apabila mereka menipu dan diketahui hal tersebut dari mereka, tidak menepati janji secaya merata, musuh tidak merasa aman atas perjanjian dan tidak pula atas perdamaian dengan mereka. Maka bertambahlah kekerasannya dan besarlah bahayanya, dan hal itu membuat orang berlari dari agama dan menyebabkan celaan terhadap para pemimpin kaum muslimin. Dan para ulama berbeda pendapat, apakah boleh berjihad bersama pemimpin yang menipu? Apabila orang awam berkhianat termasuk sifat tercela, maka lebih tercela lagi bila seorang terhormat dan terpandang menlakukan pengkhianatan terhadap amanah yang diberikan kepadanya sampailah kehinaan seseorang saat rusaknya fitrahnya, yang Rasulullah SAW bersabda; ل ل َ ل ع جكرلولَ ُ,هكنلَاخلَ ل ل إكَ قلدلَ نمإكولَ ععممط ل َ هكيمللعلَ َىفلخميلل ل َ يذكللاَ ن ك ئكَاخ ل لامول... ك ل لكَاملولَ كللكهمألَ َىللعلَ كلعكدكَاخليكَ ُولهكولَ ِيس ك مميكل ل ولَ حكبكص م يك … dan pengkhianat adalah orang yang tidak sepi sifat tamak atasnya, meskipun sangat kecil ia pasti berkhianat. Begitu juga seorang laki-laki yang tidak berlalu pagi dan sore kecuali ia menipumu, keluarga dan hartamu… HR. Ahmad dan Muslim Sudah terlalu sering hati kita seakan pecah saat kita melihat golongan-golongan ini berada di antara kaum muslimin. Maka mereka bersegera kepada setiap keinginan yang nampak, mereka berkhianat di setiap janji yang suci dan setiap benda yang dipelihara. Tidak bersifat amanah bukan hanya mendapatkan kehinaan dan kenistaan di dunia, sesungguhnya ia akan mendapatkannya tergambar baginya di hari kiamat saat berada di titian, agar ia tersungkur karenanya dari atas titian, menuju dasar neraka jahanam, sebagai akibat menyia- nyiakan amanah dan melewati batas dalam melanggarnya, sebagaimana dalam hadits: َانةيممكيلَ ط ك ارلص ن لاَ ِي ك بلنمجلَ ن ك َاملُومقكتلفلَ م ك حكرللاولَ ةكنلَاملل ل امَ لكسلرمتكول ...ل ة َاملشلول Dan dikirimlah amanah dan silaturrahim, maka keduanya berdiri di kedua sisi titian, sebelah kanan dan kiri… HR. Muslim Selamat bagi orang yang melaksanakan amanah dengan benar, maka ia berlari di atas titian pada hari kiamat tanpa rasa takut dan khawatir, tanpa rasa rugi dan penyesalan. Di mana tidak berguna lagi rasa rugi dan penyesalan atas orang yang meremehkan lalu berkhianat, dan terjatuh lalu menipu, karena nafsu syahwat atau rasa dendam yang buta… Di antara gambaran amaliyah terhadap amanah: bahwa engkau memberi nasehat kepada orang yang meminta pendapatmu dan jujur kepada orang yang percaya terhadap pendapatmu. Disebutkan dalam Shohih al-Jami’ Nabi SAW mengatakan “Al-Mustasyar Mu’tamanun” Yang diminta pendapat adalah yang dipercaya هكركيمغلَ َىفكَ دلشمرللاَ نلألَ مكللعميلَ رمممأ ل بكَ هكيمخكألَ َىللعلَ رلَاشلألَ نمملول... هكنلَاخلَ دمقلفل Dan barangsiapa yang memberi isyarat kepada saudaranya dengan perkara yang ia mengetahui bahwa petunjuk kebenaran ada pada yang lainnya, berarti ia telah berkhianat kepadanya. Shahih Al-Jami Dengan pengertian tersebut diatas dapat dipahami bahwa akad nikah dalam perkawinan termasuk bagian daripada amanah Allah kepada suami yang harus ditunaikannya dengan baik. Mengabaikan amanah tersebut akan mendapat siksaan dan kehinaan dalam hidupnya. Dengan kita memahami bahwa akad nikah itu adalah suatu amanah pastilah tidak akan mengabaikannya dengan terlalu mudah menjatuhkan talaq. Demikian juaga seorang isteri juga memikul beban amanah yang sama untuk mengurus suami dan anak-anaknya dan karenanya tidak terlalu mudah untuk meminta cerai dari suaminya. Pernikahan dapat dikatakan sebagai kelahiran kedua. Kelahiran pertama, saat kehadiran anak manusia di muka bumi ini. Saat ia pertama kali menghirup udara lepas yang diberikan Allah SWT kepada hambanya. Ketika itu, masing-masing datang membawa amanah Allah kepada orang tua mereka. Kelahiran kedua, saat seorang hamba melangkahkan kaki memasuki pintu gerbang pernikahan dengan ijab Kabul. Mereka lahir kedua kalinya. Tetapi kini, masing-masing menerima amanah dari Allah SWT melalui orang tua mereka. Selama menjadi amanah di tangan kedua orang tua, maka sekuat kemampuan pula mereka harus memelihara amanah itu. Ketulusan, dan juga pengorbanan mereka lakukan demi menunaikan amanah itu. Kini saat kedua mempelai menerima amanah yang besar, maka hendaknya apa yang dilakukan oleh kedua orang tua mereka, diletakkan di pelupuk mata dan jendela hati, agar sebesar itu pula amanah bisa tertunaikan. Kesungguhan dan keikhlasan, serta pengorbanan kedua mempelai harus dijalankan dalam memelihara amanah yang diterimanya. Perbedaan budaya dan kebiasaan yang ada di antara kedua pasangan bukan sebagai sumber masalah, akan tetapi menjadi inspirasi keindahan kehidupan bagi keluarga yang nantinya akan dijalani. Karena memang pernikahan tidak cukup hanya dibangun, tetapi ia juga harus dipertahankan. Pernikahan dilakukan dengan kalimat Allah SWT, agar calon suami dan istri menyadari betapa sucinya peristiwa yang sedang mereka alami. Dan pada saat yang sama mereka harus berupaya untuk menjadikan keluarga mereka dinaungi oleh makna kalimat itu, yaitu kebenaran, ketegaran, keadilan, kelanggengan. Ia tidak boleh berubah, penuh keluhuran, penuh kebajikan dan berdoa agar dikaruniai anak shalih, yang akan menjadi panutan, pandai menahan diri, serta menjadi orang terkemuka di dunia dan di akhirat lagi dekat kepada Allah. Ijab dan kabul merupakan amanah yang agung dari Allah SWT dan dari orang tua. Seagung dan sekokoh perjanjian Allah SWT dengan para Rasul-Nya. Karenanya, ijab kabul itu, hanya akan bermakna bila diucapkan oleh orang yang beriman, yang akan melahirkan sikap amanah dan rasa tanggung jawab kepada Allah SWT dan kedua orang tua. Istri adalah amanah di pelukan suami, dan suami pun amanah di pangkuan istri. Orang tua dan keluarga masing-masing, tidak mungkin akan merestui pernikahan tanpa rasa percaya dan aman. Begitu pula dengan suami istri, ia tidak akan menjalin hubungan, kecuali jika masing-masing mereka merasa aman dan percaya kepada pasangannya. Kesediaan seorang istri ataupun suami meninggalkan orang tua dan keluarga yang membesarkannya, serta mengganti semua itu dengan penuh kerelaan untuk hidup bersama lelaki atau perempuan asing yang menjadi suami atau istrinya, serta bersedia membuka rahasianya yang paling dalam. Semua itu adalah sungguh hal yang mustahil, kecuali jika ia merasa yakin bahwa kebahagiaannya bersama suami atau istri akan lebih besar dibanding dengan kebahagiaannya dengan kedua orang tuanya, pembelaan seorang suami atau istri terhadapnya tidak lebih sedikit dari pembelaan saudara-saudara sekandungnya. Keyakinan inilah yang dilakukan istri kepada suami ataupun sebaliknya. Inilah yang dinamai Al-Quran suatu ‘perjanjian yang sangat kokoh’. Karena pernikahan tidak hanya amanah dari mereka, tetapi juga amanah dari Allah SWT. Pernikahan dijalin atas nama Allah SWT dan dengan menggunakan kalimat-Nya. Amanah dipelihara dengan mengingat kebesaran dan kemurahan Allah SWT. Ia dipelihara dengan melaksanakan tuntunan agama. Jagalah amanah itu dengan shalat walau hanya lima kali sehari. Kokohkan ia dengan berjamaah bersama pasangan, karena berjamaah juga dapat menjamin perekonomian keluarga. Niatkan sebuah pernikahan itu sebagai bagian dari beribadah kepada Allah SWT. Sehingga akan menjadi ringan bagi suami-istri untuk saling mendekatkan diri kepada Allah SWT. Jagalah amanah Allah dan kedua orang tua ini dengan baik, pergaulilah pasangan sebagaimana dipesankan di dalam Al-Quran.  َ  َ  َ  َ  َ  َ   َ  َ  َ  َ  َ   َ  َ  َ  َ  َ   َ  َ  َ  َ   َ  َ  َ  َ  َ   َ  َ  َ  َ  َ   َ  َ َ َ Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mewarisi wanita dengan jalan paksa 21 dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata 22 , dan bergaullah dengan mereka secara patut. kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, maka bersabarlah karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, Padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak. QS. An Nisa: 19

B. Tujuan perkawinan dalam Islam