Kajian Fenomena dan Penghambatan Retrogradasi Bika Ambon

(1)

KAJIAN FENOMENA DAN PENGHAMBATAN

RETROGRADASI BIKA AMBON

ANNI FARIDAH

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2005


(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul: Kajian Fenomena Dan Penghambatan Retrogradasi Bika Ambon adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Juni 2005

Anni Faridah F251020151


(3)

ABSTRAK

ANNI FARIDAH. Kajian Fenomena dan Penghambatan Retrogradasi Bika Ambon. Dibimbing oleh SUGIYONO, SOEWARNO T SOEKARTO dan BAMBANG HARYANTO.

Bika ambon merupakan produk unggulan kota Medan yang diolah secara tradisional dengan bahan baku campuran tapioka-santan-gula-telur, dan ragi. Kerusakan yang sering dijumpai pada bika ambon yang disimpan adalah keras, kering dan kasar akibat proses retrogradasi, bau tengik, serta tumbuhnya khamir dan kapang.

Penelitian ini bertujuan untuk 1). mendapatkan data lapangan mengenai formulasi, pengolahan, mutu, dan produksi/pemasaran dari bika ambon, 2). mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi proses retrogradasi dan, 3). melakukan usaha penghambatan proses retrogradasi pada bika ambon.

Kegiatan penelitian ini terdiri atas empat tahapan, yaitu: 1). observasi lapangan, 2). pengaruh pati dan lama fermentasi terhadap retrogradasi, 3). pengaruh konsentrasi santan dan suhu penyimpanan terhadap retrogradasi serta, 4). pengaruh penambahan gliserol dan sorbitol terhadap penghambatan retrogradasi. Parameter yang diamati meliputi sifat sensori, kadar air, Aw, tekstur, kristalinitas dan sifat birefrinjen.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa fenomena retrogradasi bika ambon terjadi selama penyimpanan. Retrogradasi ini ditandai dengan semakin besarnya kristalinitas bika ambon, semakin keras tekstur bika ambon, kadar air dan Aw menurun serta intensitas birefrinjen makin jelas. Retrogradasi bika ambon semakin cepat jika digunakan pati beramilosa tinggi, kadar santan yang rendah, dan penyimpanan pada suhu ruang. Semakin lama fermentasi, retrogradasi bika ambon cenderung semakin lambat. Substitusi 25% pati sagu dengan lama fermentasi 270 menit dapat diterima secara subjektif untuk kriteria tekstur, rasa, warna dan aroma. Semakin tinggi konsentrasi santan (30%) makin lambat terjadinya retrogradasi tapi konsentrasi yang paling diterima secara sensori adalah 24%. Penyimpanan pada suhu beku dapat menghambat retrogradasi bika ambon. Penambahan gliserol 0,5% dan sorbitol 1,5% dapat menghambat retrogradasi. Kombinasi gliserol 0,5% dan sorbitol 1,5% menghambat retrogradasi bika ambon dari tiga hari menjadi lima hari.


(4)

KAJIAN FENOMENA DAN PENGHAMBATAN

RETROGRADASI BIKA AMBON

ANNI FARIDAH

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Pangan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2005


(5)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah Yang Maha Kuasa, karena hanya dengan rahmat-Nyalah penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juli 2004 ini adalah retrogradasi, dengan judul Kajian Fenomena dan Penghambatan Retrogradasi Bika Ambon. Kegiatan ini merupakan suatu rangkaian dari proses studi selama penulis memperoleh kesempatan mengikuti program Pascasarjana di Institut Pertanian Bogor. Shalawat dan salam semoga tetap tercurah kepada kekasih kita semua yakni Nabiyana Muhammad S.A.W.

Menyadari bahwa kesempatan dan keberhasilan yang diperoleh tidak lepas dari dukungan berbagai pihak, untuk itu penulis menghaturkan terima kasih atas bimbingan Dr. Ir. Sugiyono, M.App.Sc. sebagai ketua komisi pembimbing, Prof. Dr Soewarno T. Soekarto, MSc dan Dr. Ir. Bambang Haryanto MSi sebagai anggota komisi pembimbing yang telah dengan penuh kesabaran membimbing dan mengarahkan penulis untuk menjadi lebih baik dalam penyelesaian tesis ini. Semoga segala amal dan pengorbanannya menjadikan amal ibadah bagi beliau. Terima kasih juga kepada Dr. Ir. Yadi Haryadi, MSc atas kesediaannya sebagai penguji luar komisi dan masukan yang sangat berguna untuk penyempurnaan tesis ini.

Terima kasih penulis sampaikan kepada Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Jakarta yang telah membantu mendanai penelitian ini. Disamping itu terimakasih penulis sampaikan kepada Bapak Sulistiyoso beserta staf unit pelaksana analisa diffraksi sinar-X BATAN Serpong, Ibu Rubiah, Ibu Sri, Mbak Ari dan Pak Karna, yang telah membantu analisis. Ungkapan terima kasih juga disampaikan khususnya pada suami tercinta, ayah, ibu, dan anakku tersayang, atas segala doa dan kasih sayangnya.

Semoga tesis ini bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya di bidang ilmu pangan.

Bogor, Juni 2005


(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Tapanuli Selatan pada tanggal 30 Maret 1968 dari ayah Drs. A. Sulaiman Lubis dan ibu Almarhumah Mariah Batubara. Penulis merupakan putri kedua dari tujuh bersaudara.

Tahun 1987 penulis lulus dari SMA Negeri 2 Padangsidempuan dan pada tahun yang sama lulus seleksi di Jurusan Teknik Kimia Fakultas Teknik, Universitas Sumatera Utara Medan dan selesai pada tahun 1992. Kemudian pada tahun 2002 penulis melanjutkan ke Program Magister pada Program Studi Ilmu Pangan, dengan program khusus Rekayasa Proses Pangan, Sekolah Pascasarjana IPB. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari BPPS.

Penulis bekerja sebagai staf pengajar di FMIPA UNIMED Medan sejak tahun 1994-1998. Tahun 1998 sampai sekarang penulis sebagai staf pengajar di FT UNP Padang.


(7)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ………..………... vi

DAFTAR GAMBAR………... viii

DAFTAR LAMPIRAN………..………... ix

PENDAHULUAN………...…...…... 1

Latar Belakang………...…... 1

Tujuan dan Manfaat Penelitian………... 3

TINJAUAN PUSTAKA.………... 4

Bika Ambon ………...…… 4

Pangan Semi Basah………...………...……… 6

Pati………...…... 12

Retrogradasi………. 17

Penyimpanan dan Umur Simpan ………..……...…. 21

METODOLOGI PENELITIAN……….…... 24

Tempat dan Waktu………..…... 24

Bahan dan Alat ……….…... 24

Metode Percobaan……….…... 24

Prosedur Analisis………....………... 29

HASIL DAN PEMBAHASAN……….……... 30

Observasi Lapangan………...… 30

Pengaruh Jenis Pati dan Lama Fermentasi………... 36

Pengaruh Konsentrasi Santan dan Suhu Penyimpanan…... 46

Penghambatan Retrogradasi Bika Ambon………... 57

SIMPULAN DAN SARAN…..………... 63

Simpulan ………. 63

Saran ……….……….. 64

DAFTAR PUSTAKA………... 65


(8)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Klasifikasi pangan semi basah berdasarkan bahan dasar,

cara pengolahan dan daya awet……… ……….. …………. …….. 8

2. Nilai Aw minimal bagi pertumbuhan mikroorganisme dalam PSB…… 9

3. Kadar air dari beberapa bahan pada suhu kamar ……… ... 11

4. Sifat fisiko kimia tapioka dan sagu……… ....………..……… 13

5. Komposisi kimia tapioka dan pati sagu………..……….. 13

6. Formulasi bika ambon ... 25

7. Komposisi bika ambon dengan jumlah adonan 1000 gram ... 27

8. Setting pengukuran tekstur bika ambon dengan tekstur analiser ... 30

9. Komposisi bahan bika ambon pada adonan pengembang tuak dan biang 32

10. Hasil uji lanjut firmness dan spiringiness akibat pengaruh jenis pati dan lama fermentasi ... 39

11. Hasil uji lanjut hardness dan kelengketan pengaruh jenis pati dan lama fermentasi... 40

12. Hasil uji lanjut Aw dan kadar air pengaruh jenis pati dan lama fermentasi 41 13. Rata-rata hasil uji organoleptik pengaruh jenis pati dan lama fermentasi penyimpanan hari pertama... 42

14. Rata-rata uji organoleptik akibat pengaruh jenis pati dan lama fermentasi penyimpanan hari ketiga... 42

15. Hasil uji lanjut uji organoleptik pengaruh jenis pati dan lama fermentasi 44

16. Pengaruh konsentrasi santan dan suhu penyimpanan terhadap nilai laju peningkatan firmness ... 49

17. Pengaruh konsentrasi santan dan suhu penyimpanan terhadap nilai spiringiness bika ambon ... 50


(9)

19. Pengaruh penambahan gliserol, sorbitol dan campurannya terhadap nilai firmness selama penyimpanan... 58

20. Pengaruh penambahan gliserol, sorbitol dan campurannya terhadap nilai hardness bika ambon selama penyimpanan... 59

21. Pengaruh penambahan gliserol, sorbitol dan campurannya terhadap nilai Aw dan kadar air bika ambon ... 61


(10)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Skema perbedaan tingkat struktur dari suatu granula pati... 14

2. Skema perubahan yang terjadi pada pati yang ditambahkan air saat pemanasan pendinginnan dan penyimpanan... 20

3. Pembuatan bika ambon……… .……….... .. 26

4. Contoh grafik firmness (2) dan spiringiness (1)... 37

5. Contoh grafik hardness (1) dan kelengketan (2)... 38

6. Pengaruh jenis pati dan lama fermentasi terhadap pola diffraksi sinar-X bika ambon... 45

7. Pengaruh konsentrasi santan terhadap nilai firmness dan hardness bika ambon hari kenol (sebelum penyimpanan)... 46

8. Pengaruh konsentrasi santan dan suhu penyimpanan terhadap nilai firmness bika ambon... 47

9. Pengaruh konsentrasi santan dan suhu penyimpanan terhadap nilai hardness bika ambon ... 48

10. Pengaruh konsentrasi santan dan suhu penyimpanan terhadap kadar air dan Aw bika ambon ... 51

11. Pengaruh konsentrasi santan dan lama penyimpanan terhadap pola diffraksi sinar-X bika ambon... 52

12. Sifat birefrinjen granula adonan bika ambon sebelum dan sesudah Fermentasi... 53

13. Sifat birefrinjen bika ambon hari ke-nol pada tiga titik pengambilan.... 54

14. Mikrostruktur bika ambon selama penyimpanan... 55

15. Pengaruh penambahan gliserol, sorbitol dan campurannya terhadap nilai firmness bika ambon selama penyimpanan... 57

16. Pengaruh penambahan gliserol, sorbitol dan campurannya terhadap nilai spiringiness bika ambon selama penyimpanan... 58


(11)

17. Nilai kelengketan bika ambon pengaruh penambahan gliserol, sorbitol

dan campurannya selama penyimpanan... 59

18. Pengaruh penambahan gliserol, sorbitol dan campurannya terhadap nilai kadar air bika ambon selama penyimpanan... 60

19. Pengaruh penambahan gliserol, sorbitol dan campurannya terhadap nilai Aw bika ambon selama penyimpanan... 60

20. Perubahan Aw dan kadar air bika ambon dari hasil terbaik dibandingkan kontrol selama penyimpanan... 61

21. Kristalin bika ambon pengaruh penambahan gliserol, sorbitol dan


(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Format uji organoleptik akibat pengaruh jenis pati dan lama fermentasi.. 72

2. Format uji organoleptik akibat pengaruh konsentrasi ... 73

3. Analisa sidik ragam pengaruh jenis pati dan lama fermentasi…...… 75

4. Data-data pengaruh konsentrasi santan dan suhu penyimpanan bika ambon 81

5. Data-data pengaruh penambahan gliserol (G), sorbitol (S) dan campuran gliserol-sorbitol (G-S) pada bika ambon……….. 84

6. Analisa sidik ragam pengaruh penambahan gliserol (G), sorbitol (S) dan


(13)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kebutuhan pangan merupakan masalah rumit yang menimpa banyak negara, baik negara berkembang maupun negara yang sudah maju, bahkan telah menjadi salah satu masalah internasional. Pertambahan penduduk yang meningkat, yang tidak disertai peningkatan sumber pangan merupakan salah satu sebab.

Masalah pangan tidak saja terjadi karena kesukaran proses penyediaan bahan baku, tetapi juga karena penurunan mutu pada proses pengolahan dan penyimpanan. Penurunan mutu pangan ini dapat disebabkan oleh faktor fisik, aktivitas mikroba, aktivitas enzim maupun reaksi kimia yang terjadi pada bahan pangan itu sendiri. Kadar air, kadar serat, kadar protein, kadar lemak dan komposisi bahan pangan sangat mempengaruhi sifat bahan pangan tersebut, baik tekstur maupun daya tahannya ( Labuza 1974) .

Pangan semi basah seperti wingko, jenang, ikan pindang dan lain-lain merupakan salah satu produk yang telah lama dikenal. Pangan semi basah bahkan pernah menjadi makanan pokok bagi astronot dalam penerbangan luar angkasa dan untuk keperluan militer. Keuntungan pangan semi basah bagi militer adalah makanan tersebut dapat langsung dimakan, awet, ringan, padat gizi, mudah dikemas dan ditransportasikan, serta mudah digunakan dalam suasana genting (Brockman 1970). Pangan semi basah didefinisikan sebagai makanan dengan kadar air berkisar antara 10% – 40%, dan aktifitas air (Aw) antara 0 , 6 – 0,9 (Soekarto 1979).

Di Indonesia terdapat beberapa jenis makanan yang dapat dikategorikan sebagai makanan semi basah diolah secara tradisional seperti golongan hasil ikan yang difermentasi, manisan buah, dan hasil olahan kedelai yang difermentasi (Soekarto 1979). Bika ambon yang banyak diproduksi di Medan adalah salah satu jenis makanan tradisional semi basah dengan bahan baku utamanya campuran tapioka-santan-gula-telur, dan tuak/nira terfermentasi atau ragi.

Akhir-akhir ini pemerintah menggalakkan dan mendorong pengembangan pangan lokal atau pangan tradisional serta mensosialisasikan pangan yang beragam, bergizi, dan berimbang untuk mewujudkan


(14)

ketahanan pangan. Pangan tradisional merupakan bagian dari khasanah budaya yang perlu dilestarikan. Keberadaan pangan tradisional semakin terdesak oleh makanan asing yang berpenampilan lebih menarik, tahan disimpan dan bercitra modern. Dalam pengembangan makanan tradisional penelitian memegang peranan penting agar makanan tradisional memenuhi kebutuhan pasar dan standar teknis (mutu, gizi dan keamanan pangan).

Bika ambon termasuk makanan yang sangat digemari tidak hanya oleh penduduk setempat tetapi juga berbagai kalangan masyarakat. Produksi ini memiliki cita rasa yang khas, tekstur yang lunak dan palatabilitas yang baik. Bika ambon merupakan produk pangan kaya karbohidrat, lemak dan protein, dalam pembuatannya adonan difermentasi sebelum pemanggangan.

Salah satu kendala dalam upaya mengembangkan bika ambon adalah daya simpannya yang relatif pendek, yang berpengaruh terhadap upaya perluasan pemasarannya. Bika ambon mempunyai daya awet sekitar 3-4 hari pada suhu kamar (Murtadlo 2004). Hal ini mengakibatkan pendistribusian produk relatif terbatas, baik dari segi waktu distribusi maupun jarak. Padahal produk ini sangat digemari dan diinginkan masyarakat di berbagai daerah. Selain hal di atas yang tidak kalah pentingnya adalah masih banyaknya pendapat masyarakat tentang kehalalan (bagi umat Islam) bika ambon, karena dalam pembuatannya ditambahkan tuak atau nira yang telah difermentasikan.

Penurunan mutu yang sering dijumpai pada bika ambon adalah keras, kering, dan kasarnya produk. Penurunan mutu bika ambon ini diduga terjadi karena proses retrogradasi pati. Yang dimaksud retrogradasi pati adalah suatu proses penggabungan kembali komponen pati tergelatinisasi untuk membentuk kristal. Proses retrogradasi pati dipengaruhi oleh jenis pati, jumlah amilosa, suhu penyimpanan dan bahan aditif (Ward et al. 1994). Selain itu kristalisasi pati juga dipengaruhi oleh jumlah komplek amilosa-lipid yang terbentuk. Menurut Collison (1968), retrogradasi terjadi karena adanya kecenderungan yang kuat dari gugus hidroksil molekul-molekul pati untuk saling membentuk ikatan hidrogen. Eliasson (1985) berpendapat bahwa sejumlah faktor yang terlibat dalam mengerasnya produk antara lain peranan


(15)

lipid, protein, dan migrasi uap air dari produk. Pomeranz dan Shellenberger (1971) menyatakan bahwa mengerasnya produk disebabkan oleh reaksi fisikokimia namun bukan kerja mikroba, yang mempengaruhi redistribusi uap air dan perubahan karakteristik organoleptik (flavor dan mouthfeel).

Pada bika ambon juga mudah timbul bau tengik dan tidak enak (off odor) serta tumbuhnya khamir dan kapang. Ketengikan ini terjadi karena oksidasi lemak yang mengakibatkan terbentuknya peroksida, aldehid, dan asam-asam lainnya yang berbau tidak enak. Tumbuhnya khamir dan kapang pada produk disebabkan RH lingkungan, kadar air dan aktivitas air dari produk, serta tersedianya nutrisi yang cocok bagi khamir dan kapang.

Adanya beberapa masalah di atas mendorong penulis untuk melakukan penelitian tentang fenomena terjadinya retrogradasi serta usaha untuk menghambat retrogradasi pada bika ambon.

Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Mendapatkan data lapangan mengenai formulasi, pengolahan, mutu, dan produksi/pemasaran dari bika ambon.

2. Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi proses retrogradasi bika ambon.

3. Melakukan usaha penghambatan proses retrogradasi bika ambon.

Manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah memahami fenomena pada bika ambon sehingga dapat dihasilkan bika ambon dengan mutu dan daya simpan yang lebih baik.


(16)

TINJAUAN PUSTAKA

Bika Ambon

Bika ambon merupakan pangan semi basah yang sudah berkembang menjadi usaha industri kecil di kota Medan. Bika ambon ini memiliki sifat yang khas misalnya tekstur yang lembut dan lentur/elastis, berpori-pori seperti sisir atau bersarang, aromanya cenderung alkoholik, rasanya yang enak dan manis. Produk ini relatif banyak penggemarnya karena selain sifatnya yang khas di atas juga bergizi lengkap yaitu karbohidrat, lemak dan protein.

Sejarah

Bika ambon berasal dari Medan Sumatera Utara. Makanan ini disebut bika ambon karena orang pertama yang membuat bika ini bertempat tinggal di Jalan Ambon Medan (Apriyantono dan Nurbowo 2003). Murtadlo (2004) mengatakan bahwa bika ambon dibuat secara tidak sengaja oleh seorang ibu asal Medan keturungan Tionghoa. Ibu tersebut memasukkan tuak yang biasa diteguk suaminya ke dalam adonan. Hasilnya menakjubkan, selagi dipanggang tampak lubang-lubang kecil mirip sarang tawon dipermukaan kue. Setelah dipotong-potong kue tersebut bersarang seperti sisir rambut.

Naluri dagang ibu tersebut langsung terusik, dengan mengandalkan resep bika ambon yang sederhana, mulailah ia mengembangkan bisnis bika ambon. Bermula dari seloyang bika ambon, kini resep bika ambon telah diturunkan dari generasi ke generasi. Penjual bika ambon di Medan rata-rata telah memasuki generasi ketiga (Murtadlo 2004).

Apriyantono dan Nurbowo (2003) mengatakan bahwa awalnya bika ini diproduksi terbatas, hanya untuk perlengkapan Kong Hu Chu, tapi karena rasanya enak bika ini semakin lama makin berkembang. Tidak hanya orang Cina yang suka, etnis lain seperti Batak, Melayu dan suku pendatang menyukainya. Banyak etnis lain yang membuat dan menjual bika ini di Medan (Apriyantono dan Nurbowo 2003). Kini bika ambon telah populer dan menjadi produk unggulan kota Medan, bahkan sudah mulai diekspor ke beberapa negara tetangga.


(17)

Formulasi dan pembuatan

Bika ambon sebaiknya dibuat dengan menggunakan bahan dasar berkualitas baik agar menghasilkan bika yang lembut, lentur, dan bersarang. Murtadlo (2004) membagi bahan untuk membuat bika ambon dalam tiga bagian yaitu bahan dasar, bahan cair, dan bahan pengembang. Bahan dasar bika ambon adalah tapioka, gula pasir, telur, garam, pandan dan daun jeruk. Bahan cair bika ambon berupa air, tuak/nira terfermentasi, minyak sayur dan santan. Adonan pengembang ikut menentukan keberhasilan pembuatan bika ambon dengan tujuan agar bika mengembang, berserat dan bersarang/berpori-pori. Adonan pengembang dibuat dari campuran ragi, gula, tepung dan air (Lilyana 2004; Murtadlo 2004) dan dapat juga dengan menggunakan tuak (Lilyana 2004).

Dalam pembuatan bika ambon, Lilyana (2004) melakukan dengan tiga macam cara. Pertama, pembuatan dengan menggunakan bahan pengembang dari campuran ragi, tepung, gula dan air. Kedua, hanya menambahkan ragi (tanpa membuat adonan pengembang). Ketiga, pembuatan dengan bahan pengembang dari tuak. Murtadlo (2004) membuat bika ambon dengan menggunakan adonan pengembang dan tanpa menggunakan tuak. Selanjutnya Murtadlo (2004) membuat adonan pengembang dengan mencampur ragi, gula, terigu, dan air dalam tiga kategori yaitu adonan pengembang cair, semi padat dan padat. Pembuatan adonan pengembang cair dan semi padat sama, hanya komposisi air lebih banyak pada adonan pengembang cair. Pembuatan adonan pengembang cair yaitu menuangkan air ke dalam bahan lainnya lalu diaduk dan difermentasikan 15 menit – 120 menit (Murtadlo 2004). Adonan pengembang padat mirip dengan adonan roti yaitu dengan cara menguleni adonan sambil sesekali dibanting hingga lembut, kalis dan tidak melekat ditangan, lalu difermentasi sekitar 60 – 120 menit.

Lama fermentasi dalam pembuatan bika ambon dengan adonan pengembang campuran ragi, air, gula dan tepung berkitar 2 – 3 jam, dan jika menggunakan tuak 12 jam (Lilyana 2004). Murtadlo (2004) melakukan fermentasi dengan berbagai variasi mulai dari 2 jam sampai 14 jam tergantung jenis bika ambon yang dibuat.

Murtadlo (2004) melakukan teknik pembuatan bika ambon dengan dua cara. Pertama mengocok telur dengan gula lalu memasukkan pati ke dalamnya


(18)

dan ditepuk sambil dimasukkan adonan pengembang dan santan, kemudian difermentasi sebelum dipanggang. Kedua yaitu membuat sirup gula lalu dimasukkan ke dalam adonan pengembang sambil ditepuk-tepuk dan diaduk, kemudian telur yang telah dikocok dimasukkan ke dalam adonan, ditambahkan pati, terakhir memasukkan santan dan difermentasikan.

Penulis melakukan tiga kali fermentasi dalam pembuatan bika ambon. Fermentasi pertama saat pembuatan adonan pengembang 10 menit, kedua saat penambahan pati/tapioka dan air kelapa 20 menit dan yang ketiga setelah semua bahan bercampur 120 menit.

Mutu dan daya simpan

Dari segi penampakan bika ambon merupakan produk pangan yang menarik yaitu tekstur yang lembut dengan pori-pori seperti sisir, warna kuning telur, aroma harum dan berminyak. Rasanya enak dan produknya bergizi lengkap baik lemak, protein, dan karbohidrat, tetapi bika ambon ini tidak tahan lama (mudah mengeras/retrogradasi, tumbuhnya jamur dan kapang serta timbulnya bau tengik) yang mengakibatkan sempitnya pendistribusian baik dari segi jarak dan waktu. Murtadlo (2004) mengatakan jika bika ambon disimpan pada suhu ruang dapat bertahan 3-4 hari sedangkan dalam lemari pendingin bisa bertahan selama seminggu.

Pangan Semi Basah

Bika ambon merupakan makanan padat berbahan dasar tapioka dengan kadar air 33% – 36%, Aw 0,85 – 0,9, tekstur lunak dan plastis. Dari bentuk dan sifatnya bika ambon digolongkan pada makanan semi basah.

Pangan semi basah (Intermediate Moisture Food atau IMF) merupakan makanan yang mempunyai kadar air sedang, berbentuk padatan, dapat merupakan hasil olahan dari aneka jenis bahan baku seperti biji-bijian, umbi-umbian, buah-buahan, dan daging. Makanan semi basah dicirikan oleh kadar air 10% – 40%, aktivitas air (Aw) 0,65 – 0,9, tidak memerlukan rehidrasi untuk mengkonsumsinya, tekstur lunak dan plastis (Soekarto 1979).


(19)

Jenis pangan semi basah

Menurut Karel (1976) ada beberapa jenis makanan semi basah tradisional, antara lain: produk yang dikeringkan tanpa penambahan humektan (buah plum kering, kurma, dan buah aprikot), produk dengan penambahan gula (selai dan madu), produk yang dikeringkan dengan penambahan gula dan garam (abon) dan produk roti-rotian.

Pangan semi basah modern dikembangkan dari industri pakan hewan. Menurut Karel (1976) jenis pangan semi basah modern berdasarkan teknik pengolahannya ada tiga. Pertama adalah penyeduhan basah, dimana bagian padatan dicelupkan dan atau dimasak di dalam cairan untuk menghasilkan produk yang mempunyai Aw tertentu. Kedua penyeduhan kering, dimana bagian padatan dikeringkan terlebih dahulu kemudian baru dicelupkan ke dalam cairan yang mempunyai tekanan osmotik tertentu. Ketiga adalah pencampuran, dimana komponen-komponen pembentukannya ditimbang, dicampur, dimasak dan diekstrusi atau kombinasi lainnya untuk menghasilkan produk akhir dengan nilai Aw yang diinginkan. Bermacam-macam variasi pengolahan diperlukan untuk memperbaiki produk yang dihasilkan.

Pengertian dan klasifikasi pangan semi basah

Soekarto (1979) mendefinisikan makanan semi basah sebagai makanan dengan kadar air 10% – 40% dengan nilai Aw 0,6 – 0,9, serta mempunyai tekstur yang plastis sehingga memungkinkan untuk dapat dibentuk dan dapat langsung dimakan. Karel (1976) menggolongkan pangan semi basah menjadi dua tipe, yaitu tradisional dan modern.

Menurut Sudarsono (1981) pangan semi basah digolongkan berdasarkan daya awetnya, yaitu daya awet antara 0 – 1 minggu seperti tape ubi kayu, daya awet antara 1 minggu – 1 bulan seperti ikan pindang, dan daya awet yang lebih dari 1 bulan seperti dodol garut dan kecap. Tabel 1 memperlihatkan klasifikasi pangan semi basah berdasarkan bahan dasar, cara pengolahan dan daya awetnya.


(20)

Tabel 1 Klasifikasi pangan semi basah berdasarkan bahan dasar, cara pengolahan dan daya awet

Jenis Soekarto (1979) Karel (1976) Sudarsono (1981) I Hasil fermentasi

seperti kecap, tape, dan terasi

Hasil olahan tampa penambahan

humektan

Daya awet 0-1 minggu seperti tape ubi kayu dan

wingko babat II Hasil olahan

dengan garam/gula seperti telur asin dan manisan buah

Hasil olahan dengan gula

Daya awet 1 minggu sampai 1 bulan seperti

ikan peda dan ikan pindang III Hasil olahan tepung

seperti dodol, jenang, onde-onde,

dan pia

Hasil olahan dengan pengeringan dan penambahan gula dan

garam

Daya awet lebih dari 1 bulan seperti madu, dodol garut, kecap, terasi, telur asin, dan

tauco

IV - Produk bakery

-Daya awet

Daya awet dari pangan semi basah sangat dipengaruhi oleh mikroorganisme (Leistner dan Rodel 1976). Prinsip proses pengolahan pangan secara modern untuk pangan semi basah adalah melakukan penurunan Aw sampai pada tingkat dimana mikroorganisme tidak dapat tumbuh tetapi masih tersedia cukup air dalam bahan pangan tersebut untuk menjaga tingkat keenakannya (Leistner dan Rodel 1976).

Pada umumnya, melihat hubungan antara mikroorganisme dengan makanan, kapang lebih toleran pada Aw rendah bila dibandingkan dengan khamir, sedangkan khamir lebih toleran dari pada bakteri. Tabel 2 memperlihatkan berbagai mikroorganisme yang toleran pada Aw pangan semi basah yaitu antara 0,6 – 0,9.

Beberapa mikroba dapat menghasilkan toksin, seperti Staphylococcus, Penicillium, Aspergillus, Emericella dan Eurotium, dan sebagian kecil merupakan mikroba patogen seperti Candida. Walaupun demikian pengendalian mikroba yang tidak diinginkan tidak hanya tergantung pada penurunan Aw saja, juga dipengaruhi oleh pH, suhu, dan bahan tambahan makanan.

Meskipun peranan Aw terhadap pertumbuhan mikroba cukup besar, tapi penggunaan bahan antimikroba masih diperlukan untuk meningkatkan daya


(21)

simpan pangan semi basah. Apalagi sudah banyak terjadi kegagalan untuk mempertahankan sifat organoleptik (misalnya palatabilitas) pada penurunan Aw di bawah 0,8. Bahan antimikroba memegang peranan penting pada pangan semi basah dalam Aw 0,80-0,90 untuk mencegah pertumbuhan bakteri seperti Staphylococcus aureus yang dapat tumbuh pada Aw 0,85 (Alabastr et al. 1988).

Tabel 2 Nilai Aw untuk pertumbuhan mikroorganisme dalam pangan semi basah

Aw Bakteri Khamir Kapang

0,9 0,88 0,87 0,86 0,8 0,75 0,7 0,62 Lactobacillus Micrococcus Pediococcus Vibrio Staphylococcus Halophilic Hansenulla Saccharomyces Hanseniaspora Torulopsis Debaryomyces Candida Debaryomyces Saccharomycess Saccharomycess Cladosporium Paecilomyces Aspergillus Penicillium Emericella Eremascus Aspergillus Wallemia Eurotium Chrysosporium Eurotium Monascus Sumber: Leistner dan Rodel (1976)

Menurut Purnomo (1995) kapang merupakan mikroba yang tahan terhadap Aw rendah pada suhu dekat pertumbuhan optimum. Seperti Aspergillus ruber dapat tumbuh pada suhu 5oC dengan Aw 0,85; 10oC pada Aw 0,80; 30oC pada Aw 0,725; 35oC pada Aw 0,75.

Kapang dapat tumbuh pada pangan semi basah, misalnya wingko dan jenang selama penyimpanan mendorong terjadinya ketengikan (Nasution et al. 1999). Penggunaan bahan pengawet berupa garam sorbat dapat mengurangi laju pertumbuhan kapang (Djatmiko et al. 1999). Pendekatan serupa dapat dilakukan pada pembuatan bika ambon.


(22)

Dalam penambahan bahan pengawet harus dibatasi oleh karena berhubungan erat dengan kesehatan konsumen dan juga penurunan pH dibawah 4,5 umumnya tidak dikehendaki pada pangan semi basah.

Menurut Karel (1976) penentuan adanya mikroba dalam pangan semi basah dapat dilihat dengan adanya pertumbuhan tiga macam mikroba, yaitu Aspergillus niger, Aspergillus glucus dan Staphylococcus. Hal ini disebabkan tiga macam mikroba tersebut yang paling tahan terhadap kondisi substrat. Vora et al. (2003) juga melaporkan bahwa Staphylococcus aureus dapat bertahan pada pangan semi basah.

Perubahan mutu pangan semi basah selain disebabkan karena serangan mikroba, terjadi juga karena proses oksidasi seperti oksidasi lemak maupun terjadinya proses pencoklatan non enzimatis. Beberapa jenis pangan semi basah banyak mengandung komponen lemak yang tidak jenuh, sehingga sering menyebabkan terjadinya reaksi oksidasi. Untuk mencegah terjadinya oksidasi sering digunakan bahan antioksidan Butylated hydroxyanisole (BHA) dan Butylated hydroxytoluene (BHT) atau dilakukan pengepakan yang baik (Karel 1976).

Humektan

Humektan adalah senyawa kimia yang bersifat higroskopis dan mampu menurunkan Aw dalam bahan pangan (Sloan dan Labuza 1975). Dengan demikian aktifitas air dapat diatur dengan menambahkan bermacam-macam humektan seperti garam, gula, alkohol polyhidrat dan yang lainnya (Burrows dan Barker 1976). Menurut Sinskey (1976) ada tiga jenis mekanisme penggunaan humektan. Pertama kemampuannya menurunkan Aw, kedua kemampuannya mempertahankan kadar air dan ketiga pengaruhnya terhadap pertumbuhan mikroba selain sifat Awdan kadar air.

Selain kemampuannya mengikat air dan menurunkan Aw, dapat juga berperan dalam memperbaiki tekstur, cita-rasa dan nilai kalori (Sloan dan Labuza 1975). Berbagai humektan mempunyai sifat mengikat air yang berbeda. Tabel 3 menunjukkan tingkat kadar air dari beberapa jenis humektan pada beberapa tingkat Aw.


(23)

Tabel 3 Kadar air dari beberapa bahan pada suhu kamar

Kadar air (% db) Jenis Bahan

Aw 0.7 Aw 0.8 Aw 0.9

Kasein Tepung kentang Tepung susu Glicerol Sorbitol Sukrosa Polietil glikol Tepung jagung NaCl 15 28 28 64 46 38 38 16.5 -19 20 56 108 67 56 60 19.7 332 26 28 92 215 135 77 120 26.7 605 Sumber: Karel (1976)

Tabel 3 menunjukkan bahwa senyawa poliol seperti gliserol dan sorbitol yang dikenal sebagai humektan (Labuza, 1980; Oku, 1994) dapat membantu mencegah terjadinya retrogradasi apabila dicampurkan pada produk semi basah. Penggunaan poliol dengan atau tanpa polifosfat dapat membantu menekan denaturasi protein dan sineresis yang berakibat mengerasnya tekstur surimi yang disimpan beku (Park dan Lanier 1987; Park et al. 1988) membuat adonan menjadi lebih plastis (Suhendro et al. 1995; Barret et al. 1998). Jadi senyawa gliserol dan sorbitol yang dapat mengikat air dan bersifat sebagai plasticizer jika ditambahkan ke dalam adonan diperkirakan akan membuat tekstur bika ambon menjadi lebih lembut dan mengurangi pengerasan teksturnya selama penyimpanan.

Senyawa gliserol dan sorbitol untuk pembuatan buah nangka setengah kering ternyata dapat menekan terjadinya oksidasi senyawa fenol yang menyebabkan perubahan warna (Sukarsih et al. 1999). Hal ini menunjukkan bahwa senyawa ini berpotensi untuk menekan reaksi pencoklatan karena oksidasi fenol dengan cukup baik. Selain itu senyawa ini merupakan turunan sakarida yang sudah kehilangan karbonil (Oku, 1994) sehingga kehilangan potensinya untuk mengalami reaksi Maillard. Oleh karena itu penggunaan senyawa ini dalam pembuatan pangan semi basah diharapkan dapat mengurangi atau menekan reaksi pencoklatan. Juga Cordl et al. (1994) melaporkan bahwa penggunaan poliol dapat melindungi


(24)

Pati

Pati adalah salah satu jenis polisakarida yang amat luas tersebar di alam, merupakan komponen utama dari banyak bahan pangan dengan fungsi bukan hanya sebagai sumber energi utama, tetapi juga berfungsi penting sebagai pembentuk struktur maupun tekstur serta konsistensi pada formulasi dan pengolahan pangan. Beberapa sifat native pati adalah mempunyai rasa yang tidak manis, tidak larut di dalam air dingin tetapi dalam air panas dapat membentuk sol atau gel yang bersifat kental. Sifat kekentalan ini dapat di gunakan untuk mengatur tekstur makanan.

Jenis pati

Pati terdiri dari berbagai jenis yang disimpan sebagai cadangan makanan bagi tumbuh-tumbuhan di dalam biji buah (padi, jagung, gandum, jawa wood, sorgum, dll), di dalam umbi (ubi kayu, ubi jalar, uwi, talas, kentang dll), dan pada batang (aren, sagu, dll). Dalam hal ini pati yang digunakan adalah pati singkong (tapioka) dan pati sagu.

(1). Pati singkong

Pati singkong diperoleh dari hasil ekstraksi akar tanaman singkong (Manihot utilisima). Dalam perdagangan internasional dikenal dengan nama tapioka. Tapioka berbeda dengan tepung singkong, tepung singkong merupakan hasil olahan singkong segar yang sebagian besar terdiri dari pati (Wurzburg 1989).

Tapioka merupakan granula dari karbohirat, berwarna putih, tidak mempunyai rasa manis dan tidak berbau. Granulanya sering berbentuk mangkok dan sangat kompak, tetapi selama pengolahan granula tersebut akan pecah menjadi komponen-komponen yang tidak teratur bentuknya. Granula pati tapioka sudah terpecah sempurna dibawah suhu 80oC. Ukurannya bervariasi antara 5-35

µm dan rata-rata 17 µm (Wurzburg, 1989). Sifat fisiko kimia tapioka dapat dilihat pada Tabel 4.

Komponen intermediet tapioka berupa protein, lemak, mineral dan air. Komposisi gizi tapioka disajikan pada Tabel 5 dan terlihat bahwa komponen utamanya adalah karbohidrat.


(25)

Tabel 4 Sifat fisiko kimia tapioka dan sagu

Kisaran nilai Parameter

Tapioka Sagu

Kadar pati (%) Kadar amilosa (%) Rasio amilosa : amilopektin

Bentuk Granula Ukuran granula (µ m) Suhu gelatinisasi (oC)

50 – 70 17 – 25 20 : 80 17 : 83a

Oval 17 – 83 52 – 64

50 – 65 20 – 30 27 : 73 27 : 73a Elips 20 – 60 60 – 72

Sumber: Knight (1989), aSwinkels (1985)

(2). Pati sagu

Pati sagu merupakan hasil ekstrasi inti batang sagu (Metroxylon Sp) yang juga hampir seluruh bagiannya mengandung pati. Pati sagu diperoleh dari tepung sagu atau empelur batang sagu dengan cara mengekstrak pati dengan bantuan air sebagai perantara. Bentuk granula pati sagu berbentuk elips dengan ukuran 5µ m – 80µ m dan relatif lebih besar dari pati serealia (Wirakartakusumah et al. 1986). Rasio amilosa amilopektin pati sagu menurut Wirakartakusumah et al. (1986) 27,4 : 72,6 dengan suhu gelatinisasi 72oC – 90oC. Hilum pati sagu tidak berpusat, berada pada ujung yang bulat dan terdapat cincin yang tidak seragam pada granula pati tersebut. Karakteristik fisiko-kimia pati sagu dapat dilihat pada Tabel 4 sedangkan komposisi gizi pati sagu dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5 Komposisi kimia tapioka dan pati sagu per 100 gr bahan

Komponen Tapioka Pati sagu

Air (g) Karbohidrat (g) Protein (g) Lemak (g) Fosfor (mg) Kalsium (mg) Besi (mg) 14 84,7 0,7 0,2 13,0 11,0 1,5 9,1 88,2 1,1 0,5 12,5 84 1


(26)

Granula pati

Dalam bentuk aslinya secara alami pati merupakan butiran-butiran kecil yang sering disebut granula. Granula pati dalam keadaan murni berwarna putih, mengkilat, tidak berbau dan tidak berasa (Brautlecht 1953). Bentuk dan ukuran granula merupakan karakteristik setiap jenis pati, karena itu dapat digunakan untuk identifikasi (Hill dan Kelley 1942). Selain ukuran granula karakteristik lain adalah bentuk, keseragaman granula, lokasi hilum, serta permukaan granulannya (Hodge dan Osman 1976).

Goesaert et al. (2005) melaporkan bahwa dalam granula, molekul-molekul linier dan bercabang tersusun secara radial dalam sel yang konsentrik dan membentuk cincin atau lamela (Gambar 1). Penampakan cincin atau lamela pada granula pati diduga sebagai akibat dari adanya pelapisan dari molekul pada granula (Banks 1973).

Gambar 1 Skema perbedaan tingkat struktur dari suatu granula pati (a) granula dengan amorf dan kristalin yang berselang seling (b) perbesaran struktur 100 nm (c) perbesaran lapisan semi kristalin yang terdiri dari lamela kristalin dan lamela amorf (d) struktur kluster amilopektin dalam sel semi kritalin (e) skema representasi dari amilosa dan amilopektin (Goesaert et al. 2005).


(27)

Banks dan Greenwood (1975) menyatakan bahwa bentuk butiran pati secara fisik berupa semi kristalin yang terdiri dari unit kristal dan unit amorf. Unit kristal lebih tahan terhadap perlakuan asam kuat dan enzim. Bagian amorf dapat menyerap air dingin sampai 30 persen tanpa merusak struktur pati secara keseluruhan (Hodge dan Osman 1976).

Hingga kini diduga bahwa komponen yang bertanggung jawab terhadap sifat-sifat kristal dari granula pati adalah amilopektin (Banks at al. 1973). Karena pemeriksaan dengan mikroskop polasisasi memperlihatkan bahwa pati dengan kandungan amilopektin tinggi (waxy starch) tetap memperlihatkan sifat birefrinjennya seperti pati normal, sementara pati dengan kandungan amilosa tinggi sering tidak menampakkan adanya pola tersebut (Baker dan Whelan 1950).

Sifat birefrinjen adalah sifat granula pati yang mampu merefleksikan cahaya

terpolarisasi sehingga terlihat kontras gelap terang yang tampak sebagai warna

biru-kuning. Sifat ini akan terlihat jika pati diamati di bawah mikroskop

polarisasi (Hoseney 1998). Warna biru-kuning pada permukaan granula pati

disebabkan adanya perbedaan indeks refraksi dalam granula pati. Indeks

refraksi dipengaruhi oleh struktur amilosa dalam granula pati. Bentuk heliks

dari amilosa dapat menyerap sebagian cahaya yang melewati granula pati. Jika

arah getar dari gelombang cahaya paralel terhadap sumbu heliks amilosa,

terjadi penyerapan cahaya secara intensif. Intensitas birefrinjen sangat

tergantung pada derajat dan orientasi kristal (French 1984).

Menurut Swinkels (1985) gugus hidroksil yang terletak sejajar dari polimer berantai lurus atau bagian lurus dari struktur berbentuk cabang, akan berasosiasi melalui ikatan hidrogen sehingga mendorong pembentukan kristal pati. Cowd dan Stark (1991) juga menyatakan bahwa daerah kristal dapat terbentuk jika rantai-rantai polimer mampu saling mendekati sampai jarak sedemikian dekat sehingga menyebabkan gaya tarik antar rantai bekerja. Daerah dimana rantai-rantai polimer tersusun secara teratur di dalam molekul pati dinyatakan sebagai daerah kristalin. Diantara daerah-daerah teratur terdapat


(28)

daerah yang tidak teratur dimana rantai-rantai polimer tersusun secara tidak teratur dinyatakan sebagai daerah amorf. Gambar 1 (d) menunjukkan daerah kristal dan amorf.

Sifat kristal pati dapat hilang apabila granula mengalami kerusakan. Hal ini disebabkan amilopektin dengan rantai pendek dan ukuran tertentu yang seharusnya tersusun secara teratur dalam granula menjadi tidak teratur (Billiaderis 1992).

Amilosa dan amilopektin

Pati tersusun paling sedikit oleh tiga komponen utama, yaitu amilosa, amilopektin dan material antara, seperti lipid dan protein (Banks dan Greenwood

1975). Amilosa mempunyai struktur lurus dengan ikatan α-(1,4)-D-glukosa dan pada setiap rantai terdapat 500-600 unit D-glukosa dengan berat molekul sekitar 100.000. Sementara amilopektin selain α-(1,4) juga mempunyai cabang dengan ikatan α-(1,6)-D-glukosa sebanyak 4-5 % berat total (Hodge dan Osman 1976). Komponen penyusun pati yang ketiga bervariasi menurut sumbernya, serta dipengaruhi oleh sifat botani lainnya.

Amilosa dan amilopektin mempunyai sifat fisik yang berbeda (Gambar 1e). Amilosa lebih mudah larut dalam air dan kurang kental dibandingkan amilopektin. Amilosa mudah membentuk senyawa komplek dengan asam lemak dan molekul organik. Komplek amilosa dengan yodium akan memberikan warna biru, yang dapat dijadikan dasar untuk menentukan kadar amilosa. Amilopektin tidak dapat membentuk senyawa komplek dan dengan senyawa yodium memberikan warna merah.

Perbandingan kandungan amilosa dan amilopektin berbeda menurut sumbernya. Perbedaan ini akan menyebabkan perbedaan sifat-sifat fisiko kimia lainnya. Pada beras, perbedaan kandungan amilosa amilopektin tersebut berpengaruh pada kepulenan nasi. Amilosa akan mempengaruhi sifat pemekaran nasi, semakin tinggi amilosanya akan semakin mekar nasinya atau semakin tinggi amilopektin akan semakin pulen nasinya (Winarno 1994).


(29)

Gelatinisasi

Winarno (1994) mengatakan bahwa gelatinisasi adalah peristiwa hilangnya sifat birefrinjen granula pati akibat penambahan air secara berlebihan dan pemanasan pada waktu dan suhu tertentu, sehingga granula pati membengkak dan tidak dapat kembali pada kondisi semula (irreversible).

Fennema (1985); Greenwood (1979) mengemukakan pati tidak larut dalam air dingin, tetapi secara reversible dapat mengembang dalam air hangat. Namun demikian jumlah air yang terserap dan pembengkakannya terbatas. Pada saat itu granula pati dapat mengembang sampai 30% untuk pati yang kaya amilosa. Pengembangan volume granula ini dimulai dari bagian amorf. Energi yang cukup akan memutuskan ikatan hidrogen inter-molekul pada bagian ini, yang menyebabkan granula mengembang, tetapi belum cukup untuk merusak susunan kristal pada bagian lain dari granula. Jika suhu yang digunakan meningkat dan telah mencapai suhu tertentu pengembangan granula menjadi irreversibel, maka ikatan molekul pati menjadi pecah sehingga ikatan hidrogennya mengikat lebih banyak molekul air. Penetrasi air ini menyebabkan peningkatan derajat ketidak teraturan dan meningkatnya molekul pati yang terpisah serta hilangnya sifat birefrinjen. Hodge dan Osman (1976) juga menyatakan hal yang serupa bahwa pemanasan akan lebih meregangkan misella, sehingga air akan lebih banyak terperangkap dalam granula yang mengakibatkan granula semakin membesar sampai pada suatu keadaan dimana pati kehilangan struktur kristalnya sama sekali.

Menurut Wirakartakusumah (1981), gelatinisasi sangat tergantung kepada jumlah air dan panas yang diberikan. Menurut Osman (1972); Hodge dan Osman (1976); Heckman (1977), penambahan bahan tambahan seperti gula, lemak, garam dan asam dapat mempengaruhi gelatinisasi pati. Penambahan gula lebih dari 16% pada suspensi pati akan menghambat pembengkakan granula, karena gugus hidroksi gula bersifat hidrofilik sehingga akan bersaing dengan pati untuk mengadakan interaksi dengan air (Heckman 1977). Juga penambahan gula dapat menurunkan laju peningkatan viskositas pasta selama pemanasan atau juga menurunkan kecepatan pembengkaan granula (Sulistiyanto 1988).


(30)

Retrogradasi

Retrogradasi merupakan fenomena umum yang terjadi pada gel pati yang didinginkan/disimpan dan sering terjadi pada makanan yang berbasis pati. Karena itu beberapa prinsip dasar retrogradasi seperti pengertian retrogradasi, fenomena retrogradasi dan penghambatan retrogradasi perlu dipahami dengan baik.

Pengertian retrogradasi

Retrogradasi adalah proses penggabungan kembali rantai linier pati yang mengalami gelatinisasi (Wurzburg 1989). Winarno (1994) mengatakan bahwa retrogradasi adalah proses kristalisasi kembali pati yang telah mengalami gelatinisasi. Demikian juga Miles et al. (1985) berpendapat bahwa retrogradasi adalah perubahan yang terjadi selama pendinginan dan penyimpanan pada pati tergelatinisasi. Eliasson dan Gudmundsson (1996) melaporkan bahwa retrogradasi adalah perubahan gel amorf menjadi kristalin yang terjadi pada pati tergelatinisasi selama penyimpanan. Perkembangan awal kristalinitis terjadi pada fraksi amilosa dan perubahan jangka panjang ditandai dengan kristalinitis pada fraksi amilopektin (Eliasson 1985). Sifat retrogradasi fraksi amilopektin dipengruhi oleh sumber pati (Orford et al. 1987; Ward et al. 1994) dan konsentrasi (Orford et al. 1987). Faktor lain yang mempengaruhi retrogradasi adalah suhu penyimpanan, struktur amilopektin, keberadaan komponen lain. Sedangkan Fardiaz (1989) mengatakan bahwa penyimpanan pasta pati atau dispersi pati akan menyebabkan terjadinya retrogradasi yaitu fenomena dimana hidrasi hilang dan rantai pati menjadi lebih sukar untuk dibasahi dibandingkan dengan granula asalnya dan granula pati yang telah mengalami retrogradasi tidak mudah untuk diserang oleh enzim.

Menurut Collison (1968) retrogradasi dapat mengakibatkan perubahan pada sifat gel pati. Perubahan yang terjadi diantaranya peningkatan resistensi pati terhadap hidrolisa oleh enzim amilolitik, penurunan kemampuan transmisi cahaya dan hilangnya reaksi pembentukan komplek berwarna biru dengan penambahan yodium. Eliasson dan Gudmundsson (1996) menyatakan


(31)

bahwa perubahan sifat reologi gel akibat retrogradasi adalah peningkatan firmness gel, kehilangan water holding capasity dan munculnya kembali kristalinitas.

Fenomena retrogradasi

Beberapa molekul pati, terutama amilosa yang dapat terdispersi dalam air panas, meningkatkan granula-granula yang membengkak dan masuk ke dalam cairan yang ada disekitarnya. Karena itu gel pati yang telah mengalami gelatinisasi terdiri dari granula-granula yang membengkak tersuspensi dalam air panas dan molekul-molekul amilosa yang terdispersi dalam air. Molekul-molekul amilosa tersebut akan terus terdispersi, asalkan gel pati tersebut tetap dalam keadaan panas. Maka dalam kondisi panas, gel masih memiliki kemampuan untuk mengalir yang fleksibel dan tidak kaku. Bila gel tersebut didinginkan, energi kinetik tidak lagi cukup tinggi untuk melawan kecenderungan molekul-molekul amilosa untuk bersatu kembali. Molekul-molekul amilosa berikatan kembali satu sama lain serta berikatan dengan cabang amilopektin pada pinggir-pinggir luar granula. Dengan demikian mereka menggabungkan butir pati yang membengkak itu menjadi semacam jaring-jaring membentuk mikrokristal dan mengendap. Proses kristalisasi kembali pati yang telah mengalami gelatinisasi inilah terbentuknya retrogradasi (Winarno 1994). Jika gel pati didiamkan beberapa lama, maka akan terjadi perluasan daerah kristal sehingga mengakibatkan pengkerutan struktur gel, yang biasanya diikuti dengan keluarnya air dari gel yang disebut sineresis (Winarno 1994). Fenomena yang terjadi pada pati selama pemanasan, pendinginan dan penyimpanan dapat dilihat pada Gambar 2.

Menurut Collison (1968), retrogradasi terjadi karena adanya kecenderungan yang kuat dari gugus-gugus hidroksil molekul-molekul pati untuk saling membentuk ikatan hidrogen. Dan pembentukan ikatan ini jauh lebih mudah terjadi pada amilosa dibanding dengan amilopektin. Percabangan amilopektin menghambat gerakan molekul-molekul amilopektin serta menurunkan kecenderungannya untuk saling berikatan. Menurut Hodge


(32)

dan Osman (1976) bahwa retrogradasi pada molekul amilopektin bersifat reversible bila diberi panas, tetapi tidak demikian dengan retrogradasi yang terjadi pada amilosa.

Pemanasan Pendinginan Penyimpanan

Gambar 2 Skema perubahan yang terjadi pada pati yang ditambahkan air saat pemanasan, pendinginan dan penyimpanan. (I) granula native pati, (II) gelatinisasi (a) pembengkakan granula (b) ikatan molekul pati pecah keluarnya amilosa dari granula (III) retrogradasi (a) pembentukan retrogradasi amilosa selama pendinginan (b) pembentukan kristalin pada amilopektin (retrogradasi amilopektin) selama penyimpanan (Goesaert et al 2005).

Antara molekul-molekul amilosa yang berdekatan atau bagian luar cabang amilopektin dapat mengadakan hubungan paralel melalui ikatan hidrogen membentuk daerah kristal atau misel. Diantara misel-misel terdapat daerah amorf yang mempunyai sifat mudah menyerap air (Hodge dan Osman 1976). Terbentuknya daerah kristal yang tersusun secara radial menyebabkan granula pati mempunyai sifat birefrinjen (Pomeranz dan Shellenberger 1971). Birefrinjen adalah kemampuan granula merefleksikan sinar terpolarisasi akan terlihat daerah gelap-terang (Winarno 1994)

Penghambatan retrogradasi

Selain dengan menambahkan humektan seperti yang telah dijelaskan pada bagian sub humektan, laju retrogradasi dapat dihambat dengan menambahkan lemak santan. Menurut Furia (1968) lemak dapat mengadakan ikatan dengan


(33)

amilosa. Ikatan ini membentuk endapan yang tidak larut dan diduga adanya lemak ini akan menghambat pengeluaran amilosa dari granula pati yang mengakibatkan kadar amilosa menurun dan pembentukan kristalin terhambat (Furia 1968). Collison (1968); Osman (1972) menyebutkan permukaan granula pati dapat mengabsorbsi lemak sehingga permukaannya terlapisi oleh lemak dan ini dapat menghalangi terjadinya retrogradasi lebih cepat. Eliasson and Gudmundsson (1996) melaporkan bahwa lemak dan fraksi amilopektin dengan rantai unit pendek atau derajat polimerisasi 6-9 telah menunjukkan penghambatan retrogradasi. Sedangkan Russell (1987) melaporkan bahwa pada pati amilosa tinggi, fraksi amilosa mempunyai efek sinergis dalam retrogradasi amilopektin.

Temperatur juga berpengaruh terhadap retrogradasi, dimana retrogradasi dapat dihambat dengan pembekuan (M deMan 1997). Suhu penyimpanan produk pangan berbasis pati berpengaruh nyata dalam stabilitas sifat fungsional bahan; yang berarti juga mempengaruhi umur simpan produk (Fennema 1985).

Metode untuk mempelajari retrogradasi pati dapat diklasifikasikan dengan dua cara yaitu teknik makroskopic dan teknik molekuler. Teknik makroskopik metode yang memonitor perubahan sifat fisis sebagai manifestasi retrogradasi yang termasuk dalam hal ini teknik reologi, evaluasi organoleptik tekstur, metode differential scanning calorimetry (DSC), light scattering, dan turbidometri. Teknik molekuler metode yang mempelajari perubahan pati dengan mobilitas air didalam gel pati pada level molekuler misalnya diffraksi sinar-X, spekroskopi resonansi maknetik nuklir (NMR), vibrasi spekroskopi.

Penyimpanan dan Umur Simpan

Penyimpanan tidak dapat dipisahkan dari proses dalam industri pangan dan merupakan suatu kesatuan, hal ini menentukan umur simpan dari makanan.

Penyimpanan

Selama penyimpanan, terjadi perubahan tekstur yang disebabkan: terjadinya retrogradasi, reaksi enzimatis, dan penyerapan air juga reaksi oksidasi meningkat. Efek penyerapan air tergantung pada level kandungan air produk dan karakteristik teksturnya, dimana air dapat bertambah atau hilang selama penyimpanan.


(34)

Selama penyimpanan terjadi kenaikan bilangan TBA dan kadar air bahan. Selain itu juga terjadi reaksi kimia yang juga akan mempengaruhi umur simpan. Nilai TBA merupakan indikasi ketengikan yang terjadi (oksidasi lemak). Menurut Syarif dan Halid (1993) bahwa daerah primer oksidasi lemak yang terjadi cukup tinggi dan akan menurun ketika mendekati batas air terikat primer. Reaksi oksidasi meningkat dengan peningkatan nilai TBA yang disebabkan karena reaksi ketengikan bukan hanya disebabkan oleh kandungan air saja, tetapi oleh berbagai hal diantaranya suhu penyimpanan akan mempengaruhi reaksi oksidasi.

Penyimpanan pangan merupakan proses yang tidak akan terpisahkan dari pengolahan pangan, bahkan penyimpanan mempunyai arti ekonomi. Kondisi penyimpanan yang kurang baik menyebabkan penurunan mutu produk dan memperpendek umur simpan. Pengawetan, pengemasan dan penyimpanan selalu dilakukan bersamaan (Syarief dan Halid 1993).

Menurut Roberts (1999), berdasarkan sifat bahan pangan sehubungan dengan penyimpanan, maka bahan pangan mempunyai 3 kategori, yaitu sangat mudah rusak, mudah rusak, dan tidak mudah rusak. Pangan semi basah termasuk pangan yang mudah rusak.

Umur simpan

Bahan pangan baik yang diolah maupun yang belum, makanan ataupun minuman mempunyai jangka waktu tertentu sebelum makanan dan minuman tersebut ditolak. Lama waktu dari produksi makanan dan minuman sampai ditolak disebut umur simpan. Produk pangan berada dalam umur simpannya apabila kualitas dan mutunya diterima oleh konsumen dan selama wadah yang digunakan dapat memproteksi isinya. Produk berada dalam umur simpannya jika selama waktu antara produksi dan pemasaran produk dinyatakan masih dapat dikondisikan dari segi kualitas (nutrisi, rasa, tekstur, dan penampakan). Beberapa faktor yang mempengaruhi umur simpan, antara lain karakteristik produk (permeabilitas, densitas kamba, konsentrasi), lingkungan, dan sifat kemasan (transfer terhadap uap air, bau, serta interaksi produk dan kemasan) (Robert 1999; Hine 1987)

Faktor yang mempengaruhi umur simpan bahan pangan dibedakan menjadi faktor : intrinsik (bahan baku, formulasi, komposisi produk, aktivis air,


(35)

pH, reduksi oksidasi), dan faktor ekstrinsik berupa proses, sanitasi, kemasan, dan penyimpanan.

Adanya protein menyebabkan produk kurang sensitif terhadap air dibandingkan dengan pati atau karbohidrat. Hal ini akan memperpanjang umur simpannya terhadap kerusakan karena penyerapan air. Penggunaan pengemasan multilayer juga akan memberikan umur simpan yang sangat lama. Mengingat kerusakan bukan hanya disebabkan karena penyerapan uap air, maka dalam kenyataan umur simpannya tidak akan selama itu. Kerusakan juga dapat disebabkan oleh reaksi-reaksi kimiawi.

Terdapat beberapa metode untuk menentukan umur simpan antara lain model Heiss-Eichner, Rudolph, Labuza, Waktu paruh, Linier dan Arhenius. Metode lain yang banyak digunakan adalah metode akselerasi yaitu penentuan umur simpan yang dipercepat dengan menggunakan suhu dan RH relatif tinggi. Keuntungan penggunaan metode akselerasi ini adalah waktu pengujian relatif singkat, tetapi tetap mempunyai ketepatan dan akurasi yang tinggi (Arpah 2001).


(36)

METODOLOGI PENELITIAN

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Laboratorium Rekayasa Proses Pangan, Departemen Teknologi Pangan dan Gizi, IPB dan Laboratorium Rekayasa Proses Pangan, Labaratorium Gizi Masyarakat, Laboratorium Mikrobiologi PSPG IPB, Bogor, serta analisa diffraksi sinar-X di BATAN Serpong, Jakarta. Waktu penelitian sekitar 7 bulan pada bulan Juni 2004 – Januari 2005.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam pembuatan bika ambon adalah tapioka, pati sagu, telur, santan kelapa, gula, ragi, air kelapa, daun jeruk purut, pandan, gliserol, dan sorbitol. Peralatan yang digunakan dalam pembuatan bika ambon adalah timbangan, wadah stainless steel atau plastik, alat pencampur (mixer), wadah pencetak (loyang), dan oven. Peralatan yang digunakan untuk analisa antara lain Aw meter, texture analyser, difraksi sinar-X, mikroskop polarisasi, gelas objek, desikator, oven dan timbangan.

Metode Percobaan Penelitian ini dilakukan dalam empat tahap yaitu : Tahap pertama: 1) Observasi lapangan.

Tujuan observasi ini untuk mendapatkan data dasar di lapangan mengenai formulasi, pengolahan, mutu, dan produksi/pemasaran bika ambon. Metode yang dilakukan dengan pengamatan dan wawancara terhadap pembuat/pengrajin, pedagang dan konsumen bika ambon di Medan.

Klasifikasi pembuat dan pedagang bika ambon yang dilaksanakan dalam penelitian ini dikelompokkan menjadi tiga kategori; 1) industri kecil komersial yang berada di Jalan Mojopahit yaitu pada pengusaha; Ati, Majestik, Bika Ambon Medan, Achian, Zulaikha, dan Lia, 2. kursus-kursus yaitu Yulia di Jalan Taruma, Nilawati Baru dan Pink di Jalan Prof M. Yamin, Nilawati di Jalan Sunyatsen, Euro di jalan Wahidin 3) pedagang di pasar tradisional antara lain pasar; Gajah, Aksara, dan Petisah.


(37)

Identifikasi dan pengamatan yang dilakukan berkaitan dengan jenis bahan, proses pembuatan dan pemasaran/penyimpanan, serta sifat-sifat mutu, komponen bahan, formulasi, dan harga.

2) Percobaan pembuatan bika ambon

Dalam pembuatan bika ambon dilakukan penelitian pendahuluan untuk mendapatkan formulasi dan pengolahan bika ambon yang tepat. Kriteria bika ambon dengan pengamatan visual antara lain: tekstur seperti sisir/bersarang, warna kuning, aroma alkoholik, berminyak, dan rasanya manis.

Pembuatan bika ambon berdasarkan refrensi yang penulis kumpulkan. Penulis mengumpulkan beberapa refrensi seputar pembuatan bika ambon dengan memilih formulasi bika ambon tidak menggunakan tuak (jumlahnya minim). Penulis mendapatkan beberapa formulasi bika ambon dari internet dengan kata kunci bika ambon (Tabel 6). Ketiga formulasi pada Tabel 6 dicobakan untuk melatih penulis dan juga melihat yang terbaik.

Tabel 6 Formulasi bika ambon

Bahan Formula I Formula II Formula III

Adonan pengembang Ragi Gula pasir Air terigu 1 sdm 1 sdm 3 sdm 1 sdm 1 sdm -200 cc 60 gr 10 gr 10 gr 50 ml 2 sdm Adonan dasar Kuning telur Putih telur Tapioka Gula pasir Santan kental Daun jeruk 10 butir -150 gr 200 gr 300 ml -9 butir 4 butir 110 gr 200 gr 250 ml -12 butir -150 gr 200 gr 300 ml 10 lembar

Pengolahan bika ambon dari Tabel 6 diatas hampir sama yaitu dengan cara membuat adonan pengembang terlebih dahulu dan memfermentasikannya berkisar 10 – 20 menit. Kemudian menghomogenkan telur dan gula, setelah itu mencampurkan semua bahan menjadi satu dan memfermentasikannya sekitar 2 – 3 jam. Formulasi diatas juga dicoba dengan memodifikasi lama fermentasi, menggunakan berbagai merek tapioka dan menggantikan air dengan air kelapa.

Untuk memastikan formulasi dan pengolahan yang benar, penulis mengikuti kursus pembuatan bika ambon di Medan. Setelah mengikuti kursus


(38)

penulis terus berlatih untuk mendapatkan formulasi dan pengolahan yang tepat. Dari beberapa formulasi yang telah diperoleh dan dari latihan-latihan yang dilakukan, akhirnya penulis membuat sendiri formulasi bika ambon untuk penelitian ini seperti pada Gambar 3 dengan komposisi pada Tabel 7.

ragi 0,5% Fermentasi (I) 10 menit terigu 4%

gula 1% air kelapa 6%

tapioka 18% Pengadonan air kelapa 18%

Fermentasi (II) 20 menit

gula 19%

kuning telur 9,5% Pencampuran dengan mixer santan 24%

Fermentasi (III) 120 menit

Pemanggangan 150°C - 160°C

Didinginkan pada suhu kamar

Bika ambon

Gambar 3 Prosedur pembuatan bika ambon.

Pembuatan bika ambon dilakukan dengan membuat adonan pengembang terlebih dahulu. Adonan pengembang dibuat dengan cara mencampur ragi, gula, air kelapa, dan terigu lalu difermentasikan selama 10 menit. Tapioka dan air kelapa dimasukkan kedalam adonan pengembang dan diaduk supaya homogen, lalu difermentasikan selama 20 menit. Telur, gula, dan santan kental (kelapa tanpa penambahan air dan dipasteurisasikan terlebih


(39)

dahulu) dihomogenkan dengan mixer. Semua adonan disatukan dan dihomogenkan kemudian difermentasikan selama 120 menit. Adonan dipanggang dalam oven selama 45 menit dengan suhu 150oC – 160oC (Gambar 3).

Tabel 7 Komposisi bika ambon dengan jumlah adonan 1000 gram

Bahan Persen (%) Gram

Adonan pengembang Ragi Gula pasir Air kelapa terigu 0,5 1 6 4 5 10 60 40 Adonan dasar Kuning telur Tapioka Gula pasir Santan kental Air kelapa Daun jeruk Daun pandan 9,5 18 19 24 18 aroma aroma 95 180 190 240 180 aroma aroma

Tahap kedua: Pengaruh jenis pati dan lama fermentasi terhadap retrogradasi bika ambon.

Tujuan tahap kedua ini untuk mendapatkan faktor yang mempengaruhi retrogradasi bika ambon dari jenis pati dan lama fermentasi. Percobaan ini menguji perlakuan yang terdiri dari dua faktor. Faktor pertama berupa jenis pati empat tingkat yaitu pati tapioka 100%, substitusi sagu (25%, 50%, dan 75%) dan faktor kedua berupa lama fermentasi yaitu (90, 150, 210 dan 270 menit). Pembuatan bika ambon sesuai dengan Gambar 3.

Analisis yang dilakukan meliputi: kadar air, Aw, retrogradasi (metode makroskopis dengan texture analyzer dan organoleptik, metode molekuler dengan difraksi sinar-X) dengan ulangan dua kali dan dianalisa pada hari pertama dan hari ke-tiga. Rancangan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap dengan 2 faktor atau yang disebut Faktorial RAL.

Model linier dari rancangan ini adalah : Yijk = µ + ái + βj + (áβ)ij + •ijk

Dimana :


(40)

µ = komponen aditif dari rataan

ái, = faktor bahan/pati

βj = faktor lama fermentasi

(áβ)ij = komponen interaksi dari kedua faktor •ijk = pengaruh acak yang menyebar normal

Tahap ketiga: Pengaruh konsentrasi santan dan suhu penyimpanan terhadap retrogradasi bika ambon.

Tahap ini bertujuan untuk mendapatkan faktor yang mempengaruhi retrogradasi bika ambon akibat pengaruh lemak santan dan suhu penyimpanan. Percobaan ini menguji perlakuan yang terdiri dari dua faktor yaitu faktor konsentrasi santan (0%, 6%, 12%, 18%, 24% dan 30%) dan faktor kedua yaitu suhu penyimpanan (suhu kamar, suhu dingin dan suhu beku). Dalam hal ini pembuatan bika ambon sesuai dengan Gambar 3 dengan menggantikan konsentrasi santan sebagai perlakuan. Analisa yang dilakukan meliputi: kadar air, Aw, retrogradasi (metode makroskopis dengan texture analyzer dan organoleptik, metode molekuler dengan difraksi sinar-X) dan analisa mikroskopis dengan menggunakan mikroskop polarisasi. Analisa dilakukan secara periodik selama penyimpanan.

Tahap keempat: Kajian penghambatan retrogradasi bika ambon

Percobaan ini bertujuan untuk menghambat terjadinya retrogradasi dan mendapatkan bika ambon dengan mutu dan daya simpan yang lebih baik. Dalam hal ini pembuatan bika ambon sesuai dengan Gambar 3 dengan menambahkan gliserol 0,5%, sorbitol 1,5% dan campurannya sebagai perlakuan. Pemilihan konsentrasi gliserol 0,5%, dan sorbitol 1,5% berdasarkan hasil penelitian dari Harijono et al. (2001).

Pada tahap ini menguji empat perlakuan yaitu penambahan 0,5% gliserol, 1,5% sorbitol dan campuran gliserol 0,5% sorbitol 1,5%, sebagai pembanding dibuat bika ambon tanpa penambahan gliserol dan sorbitol. Pengamatan pada bika ambon segar dan setelah penyimpanan (pada suhu ruang) meliputi : kadar air, Aw, retrogradasi (metode makroskopis dengan texture analyzer dan organoleptik,


(41)

metode molekuler dengan difraksi sinar-X). Rancangan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap dengan 1 faktor dan ulangan tiga kali.

Model linier dari rancangan ini adalah : Yij = µ + ái + •ij

Dimana :

Yij = nilai pengamatan pada faktor ke-i dan ulangan ke-j µ = rataan umum

ái = efek perlakuan antiretrogradasi •ij = galat perlakuan ke i ulangan ke j

Prosedur Analisis

Kadar air (AOAC 1995)

Cawan kosong dikeringkan dalam oven dan didinginkan dalam desikator sampai mencapai suhu ruang, lalu ditimbang (A). Sejumlah sampel ditimbang dalam cawan (B) lalu dimasukkan kedalam oven bersuhu 105oC sampai mencapai berat konstan. Setelah mencapai berat konstan, wadah berisi sampel diletakkan dalam desikator sampai mencapai suhu ruang, kemudian ditimbang (C)

% Kadar Air = ( ) 100

( )

B C X

B A

− %

Sifat birefrinjen (Wirakartakusumah 1981)

Perubahan sifat birefrinjen granula pati diamati menggunakan mikroskop

polarisasi yang dilengkapi kamera. Pengamatan ini dilakukan terhadap adonan

sebelum dan setelah fermentasi juga terhadap bika ambon selama

penyimpanan. Sampel yang dilihat sifat birefrinjennya dicampur dengan

akuades, kemudian suspensi tersebut diteteskan di atas gelas objek dan ditutup

dengan gelas penutup. Objek diuji dengan meneruskan cahaya melalui alat

polarisator dan selama pengamatan alat analisator diputar sehingga cahaya

terpolarisasi sempurna yang ditunjukkan oleh butir-butir pati yang belum


(42)

tanpa menggunakan polarisator dan alat penganalisa (analisator) maka disebut

mikroskop cahaya. Gambar akan dipotret menggunakan film berwarna (Fuji

Film ASA 200, 35, Japan).

Tekstur (Manual Texture Analyzer TA-XT2i)

Firmness (kekerasan dengan menekan), spiringiness (kelentingan), hardness (kekerasan dengan memotong) dan adhesiveness (kelengketan) diukur dengan menggunakan alat yang sama yaitu texture analyzer TA-XT2i yang dinyatakan dalam satuan gf (gram force). Alat ini telah dilengkapi dengan sistem komputerisasi, sehingga alat harus disetting sesuai dengan kebutuhan dan jenis produk yang akan diuji. Adapun probe dan setting yang digunakan dalam pengukuran ini ada dua macam, yaitu probe silinder untuk firmness dan spiringiness dan probe berbentuk pisau (cutting and shearing) untuk hardness dan adhesiveness hal ini dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 8 Setting pengukuran tekstur bika ambon dengan texture analyzer

Setting Parameter

Firmness dan spiringiness Hardness dan adhesiveness Mode

Option Pre-speed

Speed Post-speed

Distance Strain Tringger

PPS

Force in Compression Hold until time

mm/s mm/s 10.0 mm/s

-25%

5 g 200

Force in Compression Return to start

mm/s mm/s

10 mm/s 25 %

-20 g

400

Diffraksi sinar-X (Manual Siemens D 5005)

Pada prinsipnya diffraksi sinar-X yaitu pembelokan sinar yang dipancarkan terhadap sampel, dimana makin intensif kristal sampel makin terjadi pembelokan sinar yang dihasilkan. Diffraksi sinar-X ini menunjukkan pengulangan keadaan yang teratur pada sturktur molekul dobel helik, tapi tidak


(43)

mendeteksi ketidak-teraturan struktur yang padat. Metode analisa dengan diffraksi sinar-X menggunakan Siemens D 5005 (Cu K á radiasi ë = 1,540) dengan kondisi

operasi pada 45 kV dan 40 mA. Alat dihidupkan, sampel diletakkan pada suatu wadah, setelah itu bagian tersebut akan mendapat sinar yang dipancarkan dari alat yang bergerak. Pola diffraksi sinar-X ini diproses dengan perangkat lunak yang ada dalam recorder dan keluarannya berupa grafik.

Aktivitas air, metode Aw meter (ASTM 1983)

Aktivitas air diukur dengan alat Aw meter Shibura WA-360 dengan cara sebagai berikut: Aw meter dikalibrasi dengan menggunakan larutan NaCl sampai menunjukkan nilai Aw sebesar 0,750 pada suhu 28oC – 30oC. Sampel dimasukkan ke dalam cawan pengukur Aw, lalu ditutup dan dikunci, Aw meter siap untuk dijalankan. Selama pengukuran berlangsung akan muncul tulisan under test. Pengukuran selesai bila tulisan completed muncul, dan nilai Aw langsung terbaca.

Organoleptik (Soekarto dan Hubeis 1992)

Analisa organoleptik merupakan pernyataan respon yang melambangkan besaran, tingkat intensitas, setelah panelis melakukan pengindraan. Tiap panelis melakukan uji dan penilaian terhadap contoh dan menuliskan responnya. Analisa organoleptik terhadap rasa dan tekstur dilakukan dengan uji jenjang dengan skor 1-9 untuk tekstur dan 1-7 untuk rasa. Makin tinggi nilai makin baik mutu bika ambonnya. Jumlah yang dilibatkan 20-25 orang. Penilaian terhadap warna, aroma dan hedonik menggunakan uji beda. Setelah 20-25 panelis memberikan penilaiannya, skor dari masing-masing sampel dijumlahkan. Hasil penjumlahan ini kemudian dirata-ratakan dibandingkan dengan tabel uji beda nyata pada uji pasangan dengan hipotesis berekor dua atau tak berarah untuk parameter warna dan aroma. Untuk tekstur dan rasa dilakukan analisa varian dan jika berbeda nyata diuji lanjut dengan uji Duncan. Pengujian dilakukan pada jam 09.00 – 11.00 atau jam 14.00 – 16.00 WIB dimana panelis dalam keadaan tidak lapar dan tidak kenyang. Bentuk kertas nilai (format uji) yang digunakan terdapat pada Lampiran 1 dan 2.


(44)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Observasi Lapangan

Bika ambon merupakan salah satu jenis makanan semi basah yang banyak ditemukan di Medan. Penulis telah melakukan observasi lapangan di Medan untuk mendapatkan informasi mengenai formulasi dan pengolahan, mutu produk, serta produksi/pemasaran bika ambon dengan hasil sebagai berikut:

Formulasi dan pengolahan

Bahan yang digunakan dalam pembuatan bika ambon adalah tapioka, telur, santan kelapa, gula, ragi, air, daun jeruk dan pandan. Bahan pengembang yang digunakan ada dua jenis pilihan yaitu tuak (nira yang telah terfermentasi) atau biang (campuran ragi-air-gula-terigu). Perbedaan jenis bahan pengembang berpengaruh pada lama fermentasi. Formulasi dengan bahan pengembang tuak memerlukan waktu fermentasi 12 – 15 jam dan jika menggunakan biang berkisar 2 – 3 jam. Komposisi bahan pembuat bika ambon pada kedua jenis formulasi adonan pengembang di atas relatif sama seperti pada Tabel 9.

Tabel 9 Komposisi bahan bika ambon pada adonan pengembang tuak dan biang

Bahan Tuak (gram) Biang (gram)

Adonan pengembang Ragi Gula pasir Air Terigu Tuak -190 5 10 40 30 -Adonan dasar Kuning telur Tapioka Gula pasir Santan kental Air kelapa Daun jeruk Daun pandan 160 265 265 320 -aroma aroma 160 240 255 320 140 aroma aroma

Pada industri kecil komersial penulis tidak mendapatkan formulasi secara transparan. Penulis mendapatkan informasi bahwa bahan pengembang yang digunakan adalah nira yang telah mengalami fermentasi spontan (yang sebenarnya


(45)

sudah berubah menjadi tuak). Mereka tidak setuju jika penulis mengatakan itu adalah tuak. Pembuatan bika ambon pada kursus-kursus lebih transparan memberi informasi tentang formulasi. Para pengrajin lebih menyukai membuat bika ambon menggunakan nira terfermentasi (tuak) sebagai bahan pengembang karena hasilnya lebih disukai oleh konsumen.

Sesuai dengan formulasinya secara umum pengolahan bika ambon ada dua macam. Yang pertama, apabila menggunakan tuak sebagai pengembang maka fermentasi dilakukan hanya satu kali. Sementara pengolahannya dilakukan dengan cara: mengocok gula dan telur terlebih dahulu, kemudian ditambahkan tuak, santan dan tapioka. Adonan ini lalu difermentasikan sekitar 12 – 15 jam, kemudian diaduk dan disaring sebelum pemanggangan. Cara yang kedua adalah dengan membuat biang terlebih dahulu lalu adonan difermentasikan beberapa kali. Biang dibuat dari campuran gula-ragi-air-terigu dengan lama fermentasi berkisar 10 - 30 menit. Cara yang kedua ini ada dua macam cara pengolahan yaitu a) mencampur telur-tapioka-gula dan santan lalu dimasukkan biang kemudian difermentasikan sekitar 1 – 2 jam, b) mencampur tapioka dan air kedalam biang kemudian difermentasi sekitar 20 – 30 menit, lalu telur-gula-santan yang telah dikocok dimasukkan ke dalam adonan dan difermentasikan lagi sekitar 1 – 2 jam. Santan yang digunakan untuk membuat bika ambon adalah ekstraksi kelapa tanpa penambahan air, lalu santan dipasteurisasi dengan menambahkan daun jeruk dan pandan sebagai aroma. Saat dimasukkan ke dalam adonan santan dalam keadaan dingin.

Kunci keberhasilan pembuatan bika ambon salah satunya saat pembakaran. Adonan yang sudah siap dimasak dengan cara memanggang pada suhu 150oC – 180oC. Adonan masuk kedalam pembakaran jika suhu oven dan loyang (tempat adonan) sudah stabil 150oC – 180oC. Udara dapat masuk dan keluar ke dalam oven saat pembakaran. Hal ini penting untuk pembentukan tekstur.

Bika ambon yang masih panas tidak boleh langsung dikeluarkan dari cetakan karena akan berpinggang yaitu bagian tengah keliling sisinya akan masuk kedalam/penyok. Begitu juga dengan pemotongan, bika ambon tidak boleh dipotong dalam keadaan panas karena teksturnya masih lunak.


(46)

Mutu produk

Hasil wawancara terhadap pembuat bika ambon menunjukkan bahwa secara umum penyebab mutu produk kurang baik adalah penggunaan bahan yang berkualitas rendah dan ketidakkonsistenan bahan. Misalnya tapioka dengan kualitas rendah, penggunaan telur yang sudah lama atau yang telah pecah, santan yang sudah mulai asam atau jenis kelapa yang kurang bagus. Hal lain adalah metode pembakaran seperti laju kenaikan temperatur yang terlalu tinggi dan waktu pembakaran yang terlalu lama.

Kualitas bika ambon yang dihasilkan industri kecil relatif sama dengan yang dihasilkan penyelenggara kursus, berbeda dengan yang ada di pasar tradisional. Umumnya bika ambon yang dihasilkan berpenampakan segar, kuning, berminyak dengan aroma yang khas, namun yang ada di pasar tradisional bervariasi mulai dari yang cerah sampai yang suram. Tidak jarang ditemui warna yang mencolok, secara umum kurang berminyak dan kurang beraroma.

Menurut pengamatan penulis dan hasil wawancara pada beberapa konsumen di Jalan Mojopahit Medan, bika ambon yang baru dimasak mempunyai tekstur yang lembut, harum, berminyak dan segar. Setelah tiga hari, mutunya turun. Kesegaran, minyak dan aroma bika ambon tersebut berkurang, mulai mengeras, kasar, kering dan jika dikemas dengan kemasan plastik cenderung mudah tengik, ditumbuhi jamur dan kapang. Umumnya konsumen tidak menyukai bika ambon setelah tiga hari penyimpanan karena terjadinya penurunan mutu seperti tersebut di atas. Namun untuk mengatasi rasa yang tidak enak karena pengerasan, bika ambon dapat dipanaskan atau mengukusnya sebelum dikonsumsi, tidak untuk disimpan lagi sebagaimana disarankan para pengrajin.

Produksi/pemasaran

Pada umumnya pembuat bika ambon sekaligus menjadi pedagang. Pembuat/pedagang bika ambon dikelompokkan menjadi tiga kategori yaitu industri kecil komersial, kursus-kursus, dan pedagang di pasar tradisional.

Umumnya industri kecil pembuat bika ambon menggunakan bahan yang pemasoknya sudah tetap untuk menjaga kualitas yang baik dan konsisten. Masalah pemasaran relatif tidak mengalami kendala karena mereka sudah


(1)

B

Firmness, springiness, hardness

, dan kelengketan ulangan 1

Hari

Sampel

Firmness

Springiness Hardness

Kelengketan

Gliserol

54.2

61.12

361.47

-75.333

Sorbitol

56.5

62.05

355.4

-86.767

G+S

48.67

61.77

311.4

-67.933

0

Kontrol

74.833

61.42

427.7

-82.033

Gliserol

177.45

58.93

523.34

-131.5

Sorbitol

181.4

60.82

600.07

-134.55

G+S

84.8

59.56

497.51

-142.9

3

Kontrol

439.85

58.42

699.05

-134.85

Gliserol

603.37

58.44

605.29

-106.8

Sorbitol

615.21

57.21

645.3

-116.6

G+S

421.34

57.67

521.6

-128.5

5

Kontrol

979.65

56.89

602.6

-86.64

Gliserol

1034.2

57.63

702.8

-97.2

Sorbitol

1076.6

55.43

781

-87.9

G+S

779.44

58.05

554.3

-85.05

7

Kontrol

1487.6

54.80

1154.32

-79.65

C

Firmness, springiness, hardness

, dan kelengketan ulangan 2

Hari

Sampel

Firmness Springiness Hardness

Kelengketan

Gliserol

73.3

64.12

375.1

-111.2

Sorbitol

91.8

63.99

386.3

-114.4

G+S

44.55

64.54

366.9

-123.65

0

Kontrol

131

62.34

407.7

-98.033

Gliserol

234.6

59.42

415.15

-131.5

Sorbitol

224.35

61.64

431.03

-112.05

G+S

102.7

60.14

388.15

-122.9

3

Kontrol

489.32

60.10

489.45

-124.85

Gliserol

714.31

56.06

677.7

-137.8

Sorbitol

811.16

56.71

704.5

-142.6

G+S

607.5

56.10

625.5

-146.7

5

Kontrol

1108.5

56.75

812.2

-143

Gliserol

1193.6

53.06

945.3

-79.41

Sorbitol

1305.8

53.04

1004.5

-76.12

G+S

993.9

54.23

917.7

-87.32

7


(2)

D

Firmness, Springiness, Hardness

, Kelengketan ulangan 3

Hari

Sampel

Firmness Springiness

Hardness

Kelengketan

Gliserol

46.2

63.80

383.7

-78.60

0

Sorbitol

53.3

64.30

351.4

-86.77

G+S

40.4

63.60

307,34

-67.93

Kontrol

65.9

63.31

389.67

-82.03

Gliserol

146.8

60.76

420.1

-118.10

3

Sorbitol

166.4

60.10

398.83

-115.70

G+S

76.53

61.43

411.23

-134.62

Kontrol

387.5

58.82

450.78

-121.71

Gliserol

499.9

58.78

506.3

-87.55

Sorbitol

514.8

57.90

485.43

-98.24

5

G+S

389.45

58.06

476.21

-93.61

Kontrol

916.56

56.23

908.4

-77.34

Gliserol

1078.5

56.43

700.4

-71.5

Sorbitol

1006.8

54.65

689.4

-79.49

7

G+S

782.17

56.28

607.86

-74.3

Kontrol

1446.2

55.80

993.4

-59.1

E Rata-rata nilai

firmness, springiness, hardness

, kelengketan

Hari

Sampel

Firmness Springiness

Hardness

Kelengketan

Gliserol

57.90

63.01

373.42

-88.38

Sorbitol

67.20

63.45

364.37

-95.98

G+S

44.54

63.30

339.15

-86.51

0

Kontrol

90.58

62.36

408.36

-87.37

Gliserol

186.28

59.70

452.86

-127.03

Sorbitol

190.72

60.85

476.64

-120.77

G+S

88.01

60.38

432.30

-133.47

3

Kontrol

438.89

59.11

546.43

-127.14

Gliserol

605.86

57.76

596.43

-110.72

Sorbitol

647.06

57.27

611.74

-119.15

G+S

472.76

57.28

541.10

-122.94

5

Kontrol

1001.58

56.62

774.40

-102.33

Gliserol

1102.10

55.71

782.83

-82.70

Sorbitol

1129.73

54.37

824.97

-81.17

G+S

851.84

56.19

693.29

-82.22

7


(3)

Lampiran 6 Analisa ragam pengaruh penambahan gliserol (G), sorbitol (S)

dan campuran gliserol-sorbitol pada bika ambon

General Linear Models Procedure Class Level Information Class Levels Values TREAT 4 G GS Kontrol S

Number of observations in data set = 12

Hasil Analisis Ragam-RAL Aw hari ke-nol

Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Model 3 0.00052292 0.00017431 1.29 0.3432 Error 8 0.00108333 0.00013542 Corrected Total 11 0.00160625

Hasil Analisis Ragam-RAL Aw hari ke-tiga

Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Model 3 0.00357292 0.00119097 63.52 0.0001 Error 8 0.00015000 0.00001875 Corrected Total 11 0.00372292

Hasil Analisis Ragam-RAL Aw hari ke-lima

Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Model 3 0.00442500 0.00147500 17.70 0.0007 Error 8 0.00066667 0.00008333 Corrected Total 11 0.00509167

Hasil Analisis Ragam-RAL Aw harike-tujuh

Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Model 3 0.00427121 0.00142374 54.36 0.0001 Error 7 0.00018333 0.00002619 Corrected Total 10 0.00445455

Hasil Analisis Ragam-RAL Kadar air hari ke-nol

Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Model 3 4.28366667 1.42788889 1.71 0.2426 Error 8 6.69680000 0.83710000 Corrected Total 11 10.98046667

Hasil Analisis Ragam-RAL Kadar air hari ke-tiga

Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Model 3 24.28382500 8.09460833 7.49 0.0104 Error 8 8.64300000 1.08037500 Corrected Total 11 32.92682500

Hasil Analisis Ragam-RAL Kadar air hari ke-lima Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F


(4)

Model 3 23.69166667 7.89722222 8.32 0.0077 Error 8 7.59780000 0.94972500 Corrected Total 11 31.28946667

Hasil Analisis Ragam-RAL Kadar air hari ke-tujuh

Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Model 3 15.23673939 5.07891313 4.37 0.0494 Error 7 8.13553333 1.16221905 Corrected Total 10 23.37227273

Hasil Analisis Ragam-RAL Firmness hari ke-nol

Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Model 3 3552.31569558 1184.10523186 2.47 0.1364 Error 8 3836.23005933 479.52875742 Corrected Total 11 7388.54575492

Hasil Analisis Ragam-RAL Firmness hari ke-tiga

Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Model 3 201557.15076667 67185.71692222 47.47 0.0001 Error 8 11323.69253333 1415.46156667

Corrected Total 11 212880.84330000

Hasil Analisis Ragam-RAL Firmness hari ke-lima

Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Model 3 458769.48929167 152923.16309722 10.61 0.0037 Error 8 115311.71573333 14413.96446667

Corrected Total 11 574081.20502500

Hasil Analisa Ragam-RAL Firmness hari ke-tujuh

Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Model 3 725105.07969167 241701.69323056 15.65 0.0010 Error 8 123571.20580000 15446.40072500

Corrected Total 11 848676.28549166

Hasil Analisa Ragam-RAL Hardness hari ke-nol

Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Model 3 9210.87860000 3070.29286667 6.62 0.0147 Error 8 3711.28626667 463.91078333

Corrected Total 11 12922.16486667

Hasil Analisa Ragam-RAL Hardness hari ke-tiga

Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Model 3 22198.05775833 7399.35258611 0.81 0.5236 Error 8 73174.17186667 9146.77148333

Corrected Total 11 95372.22962500


(5)

Model 3 90632.54595833 30210.84865278 2.39 0.1443 Error 8 101106.03873333 12638.25484167

Corrected Total 11 191738.58469167

Hasil Analisa Ragam-RAL Hardness hari ke-tujuh

Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Model 3 304353.24596667 101451.08198889 4.19 0.0467 Error 8 193774.82400000 24221.85300000

Corrected Total 11 498128.06996667

Hasil Analisis Ragam-RAL Kelengketan hari ke-nol Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Model 3 170.25523714 56.75174571 0.13 0.9406 Error 8 3536.01298530 442.00162316

Corrected Total 11 3706.26822244

Hasil Analisis Ragam-RAL Kelengketan hari ke-tiga

Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Model 3 241.95333333 80.65111111 0.91 0.4772 Error 8 707.54666667 88.44333333

Corrected Total 11 949.50000000

Hasil Analisis Ragam-RAL Kelengketan hari ke-lima

Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Model 3 1204.54570000 401.51523333 2.40 0.1438 Error 8 1340.96946667 167.62118333

Corrected Total 11 2545.51516667

Hasil Analisis Ragam-RAL Kelengketan hari ke-tujuh

Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Model 3 440.43135833 146.81045278 1.59 0.2660 Error 8 737.78213333 92.22276667

Corrected Total 11 1178.21349167

Hasil Analisis Ragam-RAL Spiringiness hari ke-nol

Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Model 3 2.10593333 0.70197778 0.40 0.7591 Error 8 14.15726667 1.76965833

Corrected Total 11 16.26320000

Hasil Analisis Ragam-RAL Spiringiness hari ke-tiga

Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Model 3 5.23110000 1.74370000 2.20 0.1664 Error 8 6.35506667 0.79438333

Corrected Total 11 11.58616667

Hasil Analisis Ragam-RAL Spiringiness hari ke-lima


(6)

Model 3 1.95886667 0.65295556 0.70 0.5799 Error 8 7.50160000 0.93770000

Corrected Total 11 9.46046667

Hasil Analisis Ragam-RAL Spiringiness hari ke-tujuh

Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Model 3 8.97635833 2.99211944 0.80 0.5293 Error 8 30.03466667 3.75433333