Penyelidikan Umur Simpan Bika Ambon Dengan Film Layak Makan Berbasis Pati Ubi Kayu

(1)

FILM LAYAK MAKAN BERBASIS

PATI UBI KAYU

TESIS

Oleh

HELBINE SIAHAAN

087006012/KM

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2010

S

E K

O L A H

P A

S C

A S A R JA

N A


(2)

PENYELIDIKAN UMUR SIMPAN BIKA AMBON DENGAN

FILM LAYAK MAKAN BERBASIS PATI UBI KAYU

T E S I S

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Sains dalam Program Studi Ilmu Kimia pada Fakultas Matematika dan Ilmu

Pengetahuan Alam Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh

HELBINE SIAHAAN

087006012/KM

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2010


(3)

ABSTRAK

Penelitian tentang kemasan film layak makan berbasis pati ubi kayu dan serbuk batang ubi kayu dengan pemlastis gliserol telah dilakukan terhadap umur simpan bika ambon. Penelitian ini menggunakan metode Labuza akselerasi untuk mengetahui aplikasi kemasan film layak makan terhadap umur simpan bika ambon. Uji yang dilakukan terhadap kemasan film layak makan yaitu uji ketahanan air sedangkan untuk uji umur simpan dilakukan uji karbohidrat serta uji protein. Sampel bika ambon yang dikemas dengan 4 kemasan yang berbeda yaitu K0, K1, K2, dan K3 pada temperatur 300C dan 2 kemasan pada temperatur 150C yaitu K0 dan K1. Hasilnya menunjukkan bahwa preparasi kemasan film layak makan yang terbaik dibuat dari campuran 10 g pati ubi kayu , 0,5 g serbuk batang ubi kayu , 1 g gliserol dan 120 g air mempunyai ketahanan air 71,43 %. Pada penyimpanan 300C maupun 150C kemasan yang terbaik adalah K1

( kemasan film layak makan ) yang dapat memperpanjang umur simpan bika ambon dari 4 hari menjadi 7 hari.

Kata Kunci : Bika ambon, film layak makan, pati ubi kayu, serbuk batang ubi kayu, gliserol, umur simpan.


(4)

ABSTRACT

Research of edible film based on cassava starch and powder of cassava wood, with glycerol as plasticizer, has been done to improve expiry period of "Bika Ambon". This research use Labuza acceleration method to know application of the edible film againts expiry period of "Bika Ambon". Test carried out to the edible film is water resistant test, where as test againts expiry period are carbohydrate and protein contens. The "Bika Ambon" samples were packaged using 4 different packing method at temperature 300C, i.e.: K0, K1, K2 and K3 and 2 packaging method at 150C, i.e.: K0 and K1. The results showed that preparation of the best edible film is : mixture of 10 g cassava starch, 0,5 g powder of cassava wood, 1 g glycerol, 120 g water, which has water resistant: 71,43 %. During preservation at 300C and 150C the best packaging method is K1 i.e.: edible film, which be able to increase expiry period of

"Bika Ambon" from 4 to 7 days.

Key words : "Bika ambon", edible film, cassava starch, powder of cassava wood, glycerol, expiry period.


(5)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Pengasih lagi Penyayang, yang telah memberikan kasih dan karunia-NYA sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul "Penyelidikan Umur Simpan Bika Ambon Dengan Film Layak Makan Berbasis Pati Ubi Kayu" .

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Gubernur Sumatera Utara c.q Kepala Bappeda Provinsi Sumatera Utara yang memberikan beasiswa kepada penulis sebagai mahasiswa Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. Dengan selesainya tesis ini penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada

Rektor Universitas Sumatera Utara Prof. Chairuddin P. Lubis, DTM & H, Sp. A(K) atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan. Kepada Direktur Sekolah Pascasarjana Ibu Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, MSc, dan Ketua Program Studi Kimia Prof. Basuki Wirjosentono, MS, Ph.D atas kesempatan yang diberikan untuk menjadi mahasiswa Program Magister pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

Terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya ditujukan kepada:

1. Prof. Basuki Wirjosentono, MS, Ph.D selaku Pembimbing Utama dan Dra. Yugia Muis, Msi, selaku anggota komisi pembimbing yang setiap saat dengan penuh perhatian selalu memberikan bimbingan dan saran dalam penyusunan tesis ini.


(6)

2. Bapak Drs. Sawaluddin, MSc Kepala SMA Negeri 21 Medan yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan pada Program Studi Kimia Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Medan. 3. Kepala Laboratorium Fisika dan Kimia polimer serta Laboratorium Biokimia

FMIPA Universitas Sumatera Utara Medan beserta staf dan asisten atas fasilitas dan sarana yang diberikan.

4. Rekan-rekan mahasiswa khususnya dindaku Rusphiandri Program Studi Kimia Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Medan 2008 yang telah banyak membantu penulis selama menjalankan perkuliahan dan penelitian.

5. Rekan-rekan Guru SMA Negeri 21 Medan yang telah memberikan dukungan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan pada Program Studi Kimia Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Medan.

6. Keluarga tercinta: kedua orang tua penulis Ayahanda (Alm) Alboin Siahaan dan Ibu Minur Sagala serta Kel. Kakanda Hotbel Lumbanbatu atas berkat doa, motivasi dan pengorbanannya.

7. Akhirnya Penulis mengucapkan terima kasih kepada Suami tercinta Pahala Tambunan Dengan penuh kasih sayang, kesabaran dan perhatian memberikan doa restu serta dorongan baik materi maupun moril sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan.

Beserta semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan penulisan usulan penelitian ini.


(7)

Penulis menyadari bahwa usulan penelitian ini masih jauh dari yang diharapkan, untuk itu penulis mengharapkan masukan dan saran yang membangun demi terciptanya penelitian yang lebih sempurna di kemudian hari.

Medan, Pebruari 2010 Penulis


(8)

RIWAYAT HIDUP

Penulis lahir tanggal 29 September 1970 di Pakan Baru, anak kedua dari dua bersaudara, dari (Alm) Alboin Siahaan dan Minur Sagala.

Penulis menjalani pendidikan Sekolah Dasar Inpres No. 064991 Medan tahun 1977 - 1983. Sekolah Menengah Pertama Swasta Daerah Medan tahun 1983 - 1986. Sekolah Menengah Atas Negeri 5 Medan tahun 1986 - 1989.

Pada tahun 1989 Penulis diterima pada Jurusan Kependidikan Kimia, S-1, FPMIPA IKIP Medan dan lulus pada tahun 1995.

Pada tahun 2002 ditempatkan menjadi Guru PNS di SMA Negeri 2 Sibolga Kotamadya Sibolga, dan pada tahun 2005 pindah tugas menjadi guru SMA Negeri 21 Medan sampai sekarang.

Pada tahun 2008 melanjutkan pendidikan S-2 Program Studi Kimia pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara (bantuan beasiswa dari Bappeda Provinsi Sumatera Utara) dan lulus serta memperoleh gelar Magister Sains tahun 2010.


(9)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK i

ABSTRACT ii

KATA PENGANTAR iii

RIWAYAT HIDUP v

DAFTAR ISI vi

DAFTAR TABEL ix

DAFTAR GAMBAR x

BAB I. PENDAHULUAN 1

1.1. Latar Belakang 1

1.2. Permasalahan 5

1.3. Tujuan Penelitian 5

1.4. Manfaat Penelitian 6

1.5. Metodologi Penelitian 6

1.6. Lokasi Penelitian 7

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 8

2.1. Ubi Kayu 8

2.2. Karbohidrat 10

2.3. Jenis Karbohidrat 11

2.4. Pati 11

2.5. Protein 14

2.6. Gliserol 15

2.6.1. Pemurnian Gliserol 17


(10)

2.7. Pengemasan 19

2.8. Karakteristik Film 21

2.8.1. Karakterisasi Edible Film Berbasis Ubi Kayu 22

2.9. Plastisasi Polimer 22

2.9.1. Mekanisme Plastisasi 23

2.10. Bika Ambon 24

BAB III. METODE PENELITIAN 26

3.1. Alat 26

3.2. Bahan 27

3.3. Prosedur Penelitian 28

3.3.1. Pembuatan Film Campuran Pati Ubi Kayu, Serbuk Batang Ubi Kayu dan Gliserol 28

3.3.2. Uji Ketahanan Air 28

3.3.3. Uji Umur Simpan 29

3.3.4. Uji Kadar Karbohidrat ( Gula Reduksi ) 29 3.3.5. Uji Kadar Protein Metode Kjeldhal 31

3.4. Bagan Penelitian 33

3.4.1. Pembuatan Film Campuran Pati Ubi Kayu,

Serbuk Batang Ubi Kayu dan Gliserol 33

3.4.2. Uji Ketahanan Air 34

3.4.3. Uji Umur Simpan 35

3.4.4. Uji Kadar Karbohidrat 36


(11)

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 39 4.1. Hasil Preparasi Dan Uji Ketahanan Air 39

4.2 Hasil Pengaruh Kemasan Terhadap Kadar Karbohidrat

Dan Protein Serta Umur Simpan Bika Ambon 42

4.2.1. Perhitungan Kadar Karbohidrat ( Gula Reduksi )

Pada Suhu 300C 46

4.2.2. Perhitungan Kadar Karbohidrat ( Gula Reduksi )

Pada Suhu 150C 47

4.2.3. Perhitungan Kadar Protein Pada Suhu 300C 48 4.2.4. Perhitungan Kadar Protein Pada Suhu 150C 49 4.3. Pembahasan Pengaruh Kemasan Terhadap Karbohidrat

Dan Protein Serta Umur Simpan Bika Ambon 50

4.3.1. Sampel K0 Pada Suhu 300C 55

4.3.2. Sampel K1 Pada Suhu 300C 58 4.3.3. Sampel K2 Pada Suhu 300C 60

4.3.4. Sampel K3 Pada Suhu 300C 63

4.3.5. Sampel K0 Pada Suhu 150C 65

4.3.6. Sampel K1 Pada Suhu 150C 67

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN 70

5.1. Kesimpulan 70

5.2. Saran 71


(12)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

4.1. Data Dan Hasil Uji Ketahanan Air ………... 41

4.2. Data Pengamatan Uji Gula Reduksi Pada Suhu 300C ………. 42

4.3. Data Pengamatan Uji Gula Reduksi Pada Suhu 150C ………. 43

4.4. Data Pengamatan Uji Kadar Protein Pada Suhu 300C………. 44

4.5. Data Pengamatan Uji Kadar Protein Pada Suhu 150C………. 45

4.6. Hasil Perhitungan Uji Gula Reduksi Pada Suhu 300C………. 46

4.7. Hasil Perhitungan Uji Gula Reduksi Pada Suhu 150C ………. 47

4.8. Hasil Perhitungan Uji Protein Pada Suhu 300C ………... 49


(13)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

2.1. Struktur Amilosa 13

2.2. Struktur Amilopektin 14

2.3. Glikolisis Lemak 16 2.4. Bika Ambon 24

4.1. Film Kemasan Variasi 100 g Air 39 4.2. Film Kemasan Variasi 110 g Air 40 4.3. Film Kemasan Variasi 120 g Air 40 4.4. Grafik Kadar Gula Reduksi Pada Suhu 300C 52

4.5. Grafik Kadar Protein Pada Suhu 300C 52

4.6. Grafik Kadar Gula Reduksi Pada Suhu 150C 54

4.7. Grafik Kadar Protein Pada Suhu 150C 54

4.8. K0 ( Blanko ) 55 4.9. K0 hari ke – 4 pada suhu 300C 55 4.10. K0 hari ke – 7 pada suhu 300C 56 4.11. K0 hari ke – 11 pada suhu 300C 56 4.12. K0 hari ke – 15 pada suhu 300C 57 4.13. K0 hari ke – 19 pada suhu 300C 57 4.14. K1 hari ke – 4 pada suhu 300C 58 4.15. K1 hari ke – 7 pada suhu 300C 58


(14)

4.16. K1 hari ke – 11 pada suhu 300C 59 4.17. K1 hari ke – 15 pada suhu 300C 59 4.18. K1 hari ke – 19 pada suhu 300C 60 4.19. K2 hari ke – 4 pada suhu 300C 60 4.20. K2 hari ke – 7 pada suhu 300C 61

4.21. K2 hari ke – 11 pada suhu 300C 61

4.22. K2 hari ke – 15 pada suhu 300C 62 4.23. K2 hari ke – 19 pada suhu 300C 62

4.24. K3 hari ke –4 pada suhu 300C 63

4.25. K3 hari ke – 7 pada suhu 300C 63

4.26. K3 hari ke – 11 pada suhu 300C 64

4.27. K3 hari ke – 15 pada suhu 300C 64

4.28. K3 hari ke – 19 pada suhu 300C 65

4.29. K0 hari ke – 7 pada suhu 150C 65

4.30. K0 hari ke – 11 pada suhu 150C 66

4.31. K0 hari ke – 15 pada suhu 150C 66

4.32. K0 hari ke – 19 pada suhu 150C 67

4.33. K0 hari ke – 7 pada suhu 150C 67

4.34. K0 hari ke – 11 pada suhu 150C 68

4.35. K0 hari ke – 15 pada suhu 150C 68


(15)

ABSTRAK

Penelitian tentang kemasan film layak makan berbasis pati ubi kayu dan serbuk batang ubi kayu dengan pemlastis gliserol telah dilakukan terhadap umur simpan bika ambon. Penelitian ini menggunakan metode Labuza akselerasi untuk mengetahui aplikasi kemasan film layak makan terhadap umur simpan bika ambon. Uji yang dilakukan terhadap kemasan film layak makan yaitu uji ketahanan air sedangkan untuk uji umur simpan dilakukan uji karbohidrat serta uji protein. Sampel bika ambon yang dikemas dengan 4 kemasan yang berbeda yaitu K0, K1, K2, dan K3 pada temperatur 300C dan 2 kemasan pada temperatur 150C yaitu K0 dan K1. Hasilnya menunjukkan bahwa preparasi kemasan film layak makan yang terbaik dibuat dari campuran 10 g pati ubi kayu , 0,5 g serbuk batang ubi kayu , 1 g gliserol dan 120 g air mempunyai ketahanan air 71,43 %. Pada penyimpanan 300C maupun 150C kemasan yang terbaik adalah K1

( kemasan film layak makan ) yang dapat memperpanjang umur simpan bika ambon dari 4 hari menjadi 7 hari.

Kata Kunci : Bika ambon, film layak makan, pati ubi kayu, serbuk batang ubi kayu, gliserol, umur simpan.


(16)

ABSTRACT

Research of edible film based on cassava starch and powder of cassava wood, with glycerol as plasticizer, has been done to improve expiry period of "Bika Ambon". This research use Labuza acceleration method to know application of the edible film againts expiry period of "Bika Ambon". Test carried out to the edible film is water resistant test, where as test againts expiry period are carbohydrate and protein contens. The "Bika Ambon" samples were packaged using 4 different packing method at temperature 300C, i.e.: K0, K1, K2 and K3 and 2 packaging method at 150C, i.e.: K0 and K1. The results showed that preparation of the best edible film is : mixture of 10 g cassava starch, 0,5 g powder of cassava wood, 1 g glycerol, 120 g water, which has water resistant: 71,43 %. During preservation at 300C and 150C the best packaging method is K1 i.e.: edible film, which be able to increase expiry period of

"Bika Ambon" from 4 to 7 days.

Key words : "Bika ambon", edible film, cassava starch, powder of cassava wood, glycerol, expiry period.


(17)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dalam dunia modern seperti sekarang ini, kemasan menjadi bagian kehidupan masyarakat sehari-hari. Pada umumnya bahan kemasan yang digunakan banyak terbuat dari plastik. Hal ini dikarenakan plastik memiliki sifat unggul seperti ringan tapi kuat, transparan, tahan air serta harganya relatif murah.

Kebutuhan plastik masyarakat Indonesia di tahun 2002 sekitar 1,9 juta ton kemudian meningkat menjadi 2,1 juta ton di tahun 2003 dan di tahun 2004 meningkat lagi menjadi 2,3 juta ton per tahun (Dewi Martaningtyas, ISBN : 978-979-1165-74-7, 2004).

Plastik yang digunakan masyarakat saat ini adalah polimer sintetik yang terbuat dari minyak bumi (non-renewable) yang tidak dapat terdegradasi mikroorganisme di alam. Penggunaan polimer plastik yang tidak terdegradasi oleh mikroorganisme akan mengakibatkan terjadinya penumpukan sampah plastik dan menjadi penyebab pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup. Sebagai contoh jenis plastik polipropilen (PP), polietilen (PE), polivinil klorida (PVC), dan polistiren (PS) merupakan plastik yang tidak dapat terdegradasi oleh mikroorganisme di lingkungan. Akibatnya sampah plastik yang tertimbun dalam tanah akan mempengaruhi kualitas air serta memusnahkan kandungan humus yang menyebabkan tanah menjadi kurang subur. Penimbunan sampah plastik juga sangat mengganggu sirkulasi udara dari dan


(18)

ke dalam tanah karena bahan plastik umumnya memiliki sifat perintang yang cukup tinggi terhadp permeabilitas O2 dan CO2 (Ani Setiani, 2001). Selain itu, plastik dalam proses pembuatannya menggunakan minyak bumi, yang ketersediaannya semakin berkurang dan sulit untuk diperbarui. Kondisi demikian menyebabkan bahan kemasan plastik sintetik tidak dapat dipertahankan penggunaannya secara meluas karena akan menambah persoalan lingkungan dan kesehatan diwaktu mendatang. Dalam memecahkan masalah sampah plastik dilakukan beberapa pendekatan salah satunya adalah pengembangan plastik biodegradable yaitu plastik yang dapat hancur terurai oleh aktivitas mikroorganisme. Karena sifatnya yang dapat kembali ke alam, plastik biodegreadable merupakan bahan plastik yang ramah lingkungan. Plastik biodegradable terbuat dari material yang dapat diperbaharui,yaitu senyawa-senyawa yang terdapat dalam tanaman misalnya selulosa, pati, kolagen, kasein, protein atau lipid yang terdapat dalam hewan. Disamping plastik biodegradable ini ramah lingkungan, materialnya dapat diperbaharui juga tidak berbahaya bagi tubuh manusia karena terbuat dari bahan tananam. Jadi dengan pertimbangan hal inilah dikembangkan penggunaan jenis kemasan dari bahan organik. Salah satu jenis kemasan ramah lingkungan adalah kemasan layak makan. Kemasan layak makan merupakan kemasan yang dapat melindungi produk makanan, mempertahankan keaslian produk dan dapat langsung dimakan serta aman bagi lingkungan. Kemasan layak makan dapat dikelompokkan menjadi dua bagian yaitu yang berfungsi sebagai pelapis (edible coating) dan yang berbentuk lembaran (edible film).


(19)

Edible coating adalah lapisan tipis yang dapat dikonsumsi yang digunakan pada makanan dengan cara pembungkusan, pencelupan, penyikatan, atau penyemprotan untuk memberikan penahan yang selektif terhadap perpindahan gas, uap air dan bahan terlarut serta perlindungan terhadap kerusakan mekanis.

Edible film adalah suatu lapisan tipis yang dibuat dari bahan yang dapat dimakan, dibentuk untuk melapisi makanan (coating) atau diletakkan di antara komponen makanan (film) yang berfungsi sebagai penghalang terhadap perpindahan massa (misalnya kelembaban, oksigen, cahaya,lipid, zat terlarut) dan atau sebagai pembawa aditif serta untuk meningkatkan penanganan suatu makanan (Krochta, 1992).

Selain edible film istilah lain untuk kemasan yang berasal dari bahan hasil pertanian adalah biopolimer, yaitu polimer dari hasil pertanian yang digunakan sebagai bahan baku film kemasan tanpa dicampur dengan polimer sintetik (plastik). Bahan polimer diperoleh secara murni dari hasil pertanian dalam bentuk tepung dan pati.

Pengemasan adalah wadah atau pembungkus yang dapat membantu mencegah atau mengurangi terjadinya kerusakan-kerusakan pada bahan yang dikemas/dibungkus. Menurut Syarief et.al (1988), ada lima syarat kemasan yaitu penampilan, perlindungan,fungsi, harga dan biaya, serta penanganan limbah kemasan. Dengan adanya persyaratan bahwa kemasan yang digunakan harus ramah lingkungan, maka penggunaan edible film merupakan yang sangat menjanjikan. Keuntungan edible film adalah dapat melindungi produk pangan, penampakan asli produk dapat


(20)

dipertahankan dan dapat langsung dimakan dan aman bagi lingkungan (Kinzel, 1992).

Pati merupakan suatu bahan baku alternatif yang sehat untuk pengemasan yang dapat dimakan (edible), aman dan mudah untuk diserap tubuh sehingga kemasan layak makan berbasis pati layak untuk dikembangkan. (Indarti,Eti,et.al.2007).

Penggunaan pati sebagai bahan utama pembuatan kemasan layak makan memiliki potensi yang besar karena di Indonesia terdapat berbagai tanaman penghasil pati seperti tanaman ubi kayu (Mannihot esculenta) . Untuk memperoleh edible film, pati ditambahkan dengan plastisiser seperti gliserol, sehingga diperoleh edible film yang lebih fleksibel dan elastis. Penelitian telah dilakukan oleh Hj.Yusmarlela ( 2008 ) dengan judul Studi Pemanfaatan Plastisiser Gliserol Dalam Film Layak Makan Pati Ubi Dengan Pengisi Serbuk Batang Ubi Kayu, menghasilkan edible film yang menurut hasil analisa uji Tarik, uji DTA, dan uji FT-IR menunjukkan bahwa adanya interaksi fisik antara pati – gliserol dan serbuk batang ubi kayu.

Hasil penelitian Helmi Haris ( 2001 ) Kemungkinan Penggunaan Edible Film

Dari Pati Tapioka Untuk Pengemas Lempuk , menghasilkan edible film yang

dapat diaplikasikan untuk pengemas lempuk dimana edible film dibuat berdasarkan pada metode mendoza yang dimodifikasi dengan penambahan gliserol , karboksimetilselulosa dan lilin lebah.


(21)

Bika ambon merupakan salah satu jenis makanan khas kota Medan yang sudah dikenal secara luas sehingga tidak heran produk pangan ini merupakan jajanan atau oleh- oleh tamu domestik yang berkunjung ke kota Medan.

Kondisi demikian membuat peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dalam hal aplikasi dari edible film berbasis pati ubi kayu untuk pengemas produk pangan bika ambon.

1.2 Permasalahan

1. Bagaimana preparasi dan karakteristik ketahanan air bahan film layak makan berbasis pati ubi kayu yang sesuai untuk dijadikan sebagai kemasan bika ambon?

2. Bagaimana pengaruh kemasan yang berbeda terhadap kadar protein dan karbohidrat dari bika ambon jika disimpan pada suhu 30 0C dan 150C pada variasi waktu ?

3. Bagaimana pengaruh kemasan yang berbeda pada umur simpan bika ambon terutama terhadap pertumbuhan jamur?

1.3 Tujuan Penelitian

1. Menyelidiki preparasi dan karakteristik ketahanan air bahan film layak makan berbasis pati ubi kayu yang sesuai untuk dijadikan sebagai kemasan bika ambon.


(22)

2. Menyelidiki pengaruh kemasan yang berbeda terhadap kadar protein dan karbohidrat dari bika ambon jika disimpan pada suhu 30 0C dan 150C pada variasi waktu.

3. Menyelidiki pengaruh kemasan yang berbeda pada umur simpan bika ambon terutama terhadap pertumbuhan jamur.

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang :

1. Preparasi dan karakteristik ketahanan air bahan film layak makan berbasis pati ubi kayu yang sesuai untuk dijadikan sebagai kemasan bika ambon. 2. Pengaruh kemasan yang berbeda terhadap kadar protein dan karbohidrat

dari bika ambon jika disimpan pada suhu 30 0C dan 15 0C pada variasi waktu.

3. Pengaruh kemasan yang berbeda pada umur simpan bika ambon terutama terhadap pertumbuhan jamur.

1.5 Metodologi Penelitian

Penelitian ini bersifat eksperimen laboratorium dengan langkah sebagai berikut:

a. Proses Pembuatan Film ( Edible Film )

Edible Film dibuat dengan menggunakan pati ubi kayu, serat batang ubi kayu yang dihaluskan ( berukuran 325 mesh ), gliserol sebagai plastisiser dan air yang beratnya divariasikan. Keempat bahan tersebut dicampur dalam


(23)

satu wadah lalu dihomogenkan dan dipanaskan pada suhu 100 oC sampai campuran membentuk gel.

b. Karakteristik Uji umur Simpan

Dilakukan dengan memvariasikan penyimpanan bika ambon pada dua kondisi yaitu;

1. Pada ruang terbuka ( 30 oC ), dengan memvariasikan waktu penyimpanan : 0, 4, 7, 11, 15, 19 hari dan bentuk kemasan yaitu :

 K0 ( tanpa pengemas)  K1 (edible film )

K2 ( edible film dengan kertas minyak)  K3 (dengan kertas minyak)

2. Pada ruang pendingin ( 15 oC ),dengan memvariasikan waktu penyimpanan : 0, 7, 11, 15, 19 hari dan variasi bentuk kemasan yaitu:

 K0 (tanpa pengemas),  K1 ( edible film ).

c. Analisa yang dilakukan

 Analisa Protein ( Metode kjeldhal )  Analisa Karbohidrat ( Gula Reduksi )  Uji Tahan Air


(24)

1.6 Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Kimia Polimer dan Laboratorium Biokimia FMIPA Universitas Sumatera Utara Medan.


(25)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ubi Kayu

Ubi kayu ( Mannihot esculenta ) yang biasa disebut singkong atau ketela pohon berasal dari Brazilia, Amerika Selatan, menyebar ke Asia pada awal abad ke 17 dibawa oleh pedagang Spanyol dari Mexico ke Philipina. Kemudian menyebar ke Asia Tenggara, namun memasyarakat tahun 1952 terutama di Pulau Jawa. Memasyarakatnya ubi kayu dikalangan petani karena dua hal. Pertama tanaman ini mudah sekali dibudidayakan. Bahkan di tanah yang tandus pun tanaman ini dapat memberikan hasil. Kedua, kandungan karbohidratnya tinggi sehingga dapat digunakan sebagai bahan makanan alternative pengganti beras.

Ubi kayu ( Manihot esculenta ) termasuk tumbuhan berbatang pohon lunak atau getas ( mudah patah ). Ubi kayu berbatang bulat dan bergerigi yang terjadi dari bekas pangkal tangkai daun, bagian tengahnya bergabus dan termasuk tumbuhan yang tinggi. Ubi kayu bisa mencapai ketinggian 1-4 meter. Pemeliharaannya mudah dan produktif. Ubi kayu dapat tumbuh subur di daerah yang berketinggian 1200 meter di atas permukaan air laut. Daun ubi kayu memiliki tangkai panjang dan helaian daunnya menyerupai telapak tangan, dan tiap tangkai mempunyai daun sekitar 3-8 lembar. Tangkai daun tersebut berwarna kuning, hijau atau merah.


(26)

Secara taksonomi ubi kayu dapat diklasifikasikan sebagai berikut : Kerajaan : Plantae

Divisio : Magnoliophyta Kelas : Magnoliopsida Ordo : Malpighiales Suku : Euphorbiaceae Subsuku : Crotonoideae Tribe : Manihoteae Marga : Mannihot Spesies : M. esculenta

Ubi kayu dikenal dengan nama Casava ( Inggris ), Kasapen,Sampeu, Kowi Dangdeur ( Sunda ), Ubi kayu, Singkong, Ketela pohon ( Indonesia ), Pohon bodin, ketela bodin, tela jandral, tela kapos ( Jawa ). Ubi kayu merupakan makanan pokok di beberapa Negara Afrika. Disamping sebagai bahan makanan ubi kayu juga digunakan sebagai bahan baku industri dan pakan ternak. Ubi kayu mengandung air sekitar 60%, pati 25 – 35 % serta protein, mineral, serat, kalsium dan fosfor. Ubi kayu merupakan sumber energi yang lebih tinngi dibandingkan padi, jagung, ubi jalar dan sorgun. Ubi kayu mempunyai komposisi kandungan kimia ( per 100 gram ) antara lain : - Kalori 146 kal - Protein 1,2 gram - Lemak 0,3 gram - Hidrat arang 34,7 gram - Kalsium 33 mg - Fosfor 40 mg - Zat besi 0,7 mg - Vitamin B1 0,06 mg - Vitamin C 30 mg. Daun ubi kayu mengandung ( per 100 gram ) : - Vitamin A 11000 SI - Vitamin C 275 mg - Vitamin B1 0,12 mg - Kalsium 165 mg - Kalori 73 kal - Fosfor


(27)

54 mg - Protein 6,8 gram - Lemak 1,2 gram - Hidrat arang 13 gram - Zat besi 2 mg - dan 87 % bagian daun dapat dimakan. Kulit batang ubi kayu mengandung tanin, enzim peroksidase, glikosida dan kalsium oksalat.

2.2. Karbohidrat

Karbohidrat merupakan senyawa hidrokarbon yang dibentuk oleh unsur unsur C, H, dan O. Karbohidrat merupakan sakarida (Yunani, Sakcharon, Gula) yang didefinisikan sebagai polihidroksil aldehida atau polihidrosil keton. Karbohidrat mempunyai rumus empiris ( CH2O )n. Sebagai contoh glukosa ( C6H12O6 ) yang

merupakan kelipatan enam dari CH2O (Fessenden, 1990). Pada tanaman karbohidrat

dibentuk dari reaksi CO2 dan H2O dengan bantuan sinar matahari melalui proses

fotosintesis dalam sel tanaman yang berklorofil ( Winarno, F.G, 1984 ). Reaksi fotosintesis:

6nCO2 +6n H2O Sinar matahari ( C6H12O6 )n + 6nO2

Karbohidrat banyak terdapat dalam bahan nabati, baik berupa gula sederhana, heksosa, pentosa, maupun karbohidrat dengan berat molekul tinggi seperti pati, pectin, sellulosa dan lignin. Berbagai polisakarida seperti pati banyak terdapat dalam serelia dan umbi-umbian. Selama proses pematangan kandungan pati berubah menjadi gula-gula pereduksi yang akan menimbulkan rasa manis.

Semua monosakarida dan disakarida berperan sebagai gula reduksi. Kemampuan senyawa-senyawa gula mereduksi agensia pengoksidasi mendasari berbagai cara pengujian untuk glukosa dan gula-gula reduksi lainnya. Misalnya gula


(28)

ini jika dididihkan akan dapat mereduksi ion-ion tembaga dari larutan fehling membentuk endapan merah bata. ( Gaman, 1991 ).

2.3 Jenis Karbohidrat

Pada umumnya karbohidrat dapat dikelompokkan menjadi 3 bagian yaitu:

1. Monosakarida, merupkan suatu molekul yang terdiri dari 5 atau 6 atom C (karbon).

2. Oligosakarida yang umumnya merupakan polimer dari 2 sampai 10 monosakarida. Oligosakarida adalah polimer dengan derajat polimerisasi 2 sampai 10 yang biasanya larut dalam air. Oligosakarida yang terdiri dari 2 molekul disebut disakarida.

3. Polisakarida, yang umumnya merupakan polimer yang terdiri dari lebih dari 10 monomer monosakarida.

2.4 Pati

Pati adalah karbohidrat yang tidak larut dalam air, berwujud bubuk putih, tawar dan tidak berbau. Pati merupakan bahan utama yang dihasilkan oleh tumbuhan untuk menyimpan kelebihan glukosa (sebagai produk fotosintesis) dalam jangka panjang. Pati diperoleh dalam seluruh organ tanaman tingkat tinggi yang disimpan dalam biji, umbi, akar dan jaringan batang tanaman sebagai cadangan energi untuk masa pertumbuhan dan pertunasan. Hewan dan manusia menjadikan pati sebagai sumber energi yang penting. Selain sebagai bahan makanan, pati juga digunakan dalam


(29)

industri yaitu sebagai komponen perekat, campuran kertas dan tekstil dan pada industri kosmetik. Pati merupakan polisakarida alami yang dapat diperbaharui (renewable), mudah rusak (biodegradable ).

Sifat pati tidak larut dalam air, namun bila suspensi pati dipanaskan akan terjadi gelatinasi setelah mencapai suhu tertentu ( suhu gelatinasi ). Hal ini disebabkan oleh pemanasan energi kinetik molekul – molekul air yang menjadi lebih kuat dari pada daya tarik menarik antara molekul pati dalam butiran, sehingga air dapat masuk ke dalam pati tersebut dan pati akan membengkak. Butiran pati dapat membengkak luar biasa dan pecah sehingga tidak dapat kembali pada posisi semula. Perubahan sifat inilah yang disebut gelatinasi ( Winarno,1984 ). Sedangkan suhu pada saat butir pati pecah disebut suhu gelatinasi.

Pati merupakan homopolimer glukosa dengan ikatan  – glikosida dan merupakan rantai gula panjang. Berbagai macam pati tidak sama sifatnya tergantung pada panjang rantai atom C nya, apakah lurus atau bercabang rantai molekulnya (Winarno, 1984).

Untuk menganalisa adanya pati digunakan iodin, karena pati yang berikatan dengan iodin akan menghasilkan warna biru. Pati merupakan granula berwarna putih dengan diameter 2 – 100 ìm ( Winarno, 1984 ) . Pati merupakan polimer karbohidrat dari unit anhidroglukosa, ( C6H10O5 )x terdiri dari dua polisakarida dengan struktur


(30)

Amilosa merupakan polimer isotatik linier dari  – d glukosa yang saling berikatan pada posisi 1,4 sedangkan amilopektin merupakan polimer bercabang dengan rantai pendek dari - d glukosa yang saling berikatan melalui ( 1,6 ). Satu unit anhidroglukosa terdiri atas satu OH primer dan 2 OH sekunder dan satu gugus aldehid tereduksi dalam bentuk hemiasetal, bertambahnya hidroksil merupakan sifat hidrofilik dengan memberikan kelembaban yang tinggi dan terdispersi dalam air.

.

Gambar 2.1 Struktur Amilosa

Sifat-sifat dari amilosa: 1. Ikatannya linear (lurus).

2. Larutan dalam air dingin dalam batas tertentu. 3. Berat molekul rata-rata 10000 . 60000 (10³-60³).


(31)

Gambar 2.2 Struktur Amilopektin

Sifat-sifat dari amilopektin: 1. Ikatannya bercabang.

2. Tidak larut dalam air dingin.

3. Mempunyai molekul 10000 - 60000

4. Ikatan antar molekul  - D . glukosa dihubungkan oleh ikatan 1,4 dan ikatan 1,6 pada percabangan.

2.5. Protein

Kata protein berasal dari protos atau proteos yang berarti pertama atau utama. Protein merupakan komponen penting atau komponen utama sel hewan atau manusia. Oleh karena sel itu merupakan pembentuk tubuh kita, maka protein yang terdapat


(32)

dalam makanan berfungsi sebagai zat utama dalam pembentukan dan pertumbuhan tubuh.

Kita memperoleh protein dari makanan yang berasal dari hewan atau tumbuhan. Protein yang berasal dari hewan disebut protein hewani, sedangkan protein yang berasal dari tumbuhan disebut protein nabati. Beberapa makanan sumber protein adalah: daging, susu, telur, ikan, beras, beras ketan, kacang kedelai, gandum, jagung dan buah-buahan.

Komposisi rata-rata unsur kimia yang terdapat dalam protein ialah sebagai berikut: karbon 50 %, hydrogen 7 %, oksigen 23 %, nitrogen 16 %, belerang 0 – 3 %, dan phosphor 0 – 3 %. Dengan berpedoman pada kadar nitrogen sebesar 16% dapat dilakukan penentuan kandungan protein dari suatu bahan makanan. Dimana unsur nitrogen ditentukan secara kuantitatif misalnya kjeldhal yaitu dengan cara destruksi dengan asam pekat. Unsur protein yang ditentukan adalah 6,25 kali berat unsur nitrogen (Poedjiadi.A, 1994 ).

2.6. Gliserol

Salah satu alkil trihidrat yang penting adalah gliserol (propa- 1,2,3 .triol) CH2OHCHOHCH2OH. Senyawa ini kebanyakan ditemui hampir semua lemak

hewani dan minyak nabati sebagai ester gliserin dari asam palmitat dan oleat (Austin, 1985). Gliserol adalah senyawa yang netral, dengan rasa manis tidak berwarna, cairan kental dengan tiik lebur 20°C dan memiliki titik didih yang tinggi yaitu 290°C gliserol dapat larut sempurna dalam air dan alkohol, tetapi tidak dalam minyak.


(33)

Sebaliknya banyak zat dapat lebih mudah larut dalam gliserol dibanding dalam air maupun alkohol. Oleh karena itu gliserol merupakan pelarut yang baik (Anonymous, 11, 2006).

Senyawa ini bermanfaat sebagai anti beku (anti freeze) dan juga merupakan senyawa yang higroskopis sehingga banyak digunakan untuk mencegah kekeringan pada tembakau, pembuatan parfum, tinta, kosmetik, makanan dan minuman lainnya (Austin, 1985).

Gliserol banyak dihasilkan dari industri di Sumatera Utara, merupakan bahan baku yang sangat potensial untuk dikembangkan menjadi produk yang bernilai ekonomis tinggi. Gliserol dapat diperoleh dari pemecahan ester asam lemak dari minyak dan lemak industri oleokimia (Bhat, 1990).

Gliserol dapat digunakan untuk gliserolisis lemak atau metil ester untuk membentuk gliserolat monogliserida, digliserida dan trigliserida. Gliserol mengandung tiga gugus hidroksi yang terdiri dari dua gugus alkohol primer dan satu gugus alkohol skunder. Atom karbon yang terdapat dalam gliserol dapat ditunjukkan sebagai atom karbon ,â dan (Nouriedden,et.al ).


(34)

O O O

OH O C R1 O C R1 O C R1

O O 2 OH + O C R2 OH + O C R2

O

OH O C R3 OH OH

Gliserol Trigliserida Monogliserida Digliserida

Gambar 2.3 Gliserolisis Lemak

2.6.1 Pemurnian Gliserol

Gliserol yang diproduksi biodisel berskala kecil dapat digunakan sebagai sabun tanpa harus diproses lebih lanjut. Gliserol dapat juga dikomposkan atau diletakkan di tanah sehingga cepat dikonsumsi oleh bakteri dan mikroba alami.

Gliserol murni digunakan untuk membuat ratusan produk dan harganya biasanya mahal. Namun gliserol yang diproduksi selama transesterifikasi berlangsung mengandung banyak bahan tidak murni. Sebagian besar katalis dan alkohol yang tidak bereaksi dalam reaksi biodisel akan turun kedalam lapisan gliserol.

Hasil samping proses pembuatan biodisel berbahan baku RBDPO (Refined Bleached Deodorized Palm Oil) dan metanol dengan katalis basa diperoleh dalam bentuk hasil samping residu gliserol yang jumlahnya dapat mencapai lebih kurang 20% dari jumlah produk. Residu gliserol ini masih mengandung komponen selain


(35)

gliserol, seperti senyawa lemak, sabun, KOH dan lain-lain. Sebagai perbandingan gliserol yang berasal dari Palm Kernel Oil Methyl Ester mengandung 20,3% gliserol, 6,6% asam lemak (dalam bentuk senyawa sabun) dan 64,3% garam –garam (Syah, 2002)

2.6.2 Pemanfaatan gliserol dan Turunannya

Dewasa ini, sumber utama gliserol komersil diperoleh dari pengolahan minyak nabati, sebagai produk samping industri oleokimia dan juga dari industri petrokimia. Gliserol yang diperoleh ini hanya sebagai bahan baku industri dan masih merupakan sumber komoditas yang melimpah. Gliserol umumnya digunakan pada pembuatan bahan peledak, bahan pembasah atau pengemulsi produk kosmetik dan sebagai bahan anti beku. Sehubungan dengan terbatasnya diversifikasi produk olahan berbasis gliserol, maka harga jual komoditas gliserol masih tetap rendah, kecuali bila kebutuhan bahan peledak meningkat.

Pada tahun 2004, Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) di Medan telah membangun pabrik biodisel berbahan baku minyak kelapa sawit mentah dengan dalam industri kapasitas 2 ton/hari dengan rendemen mencapai lebih dari 95%. Namun kelayakan ekonomi pabrik biodisel ini masih rendah, karena residu gliserol yang dihasilkan masih belum dimanfaatkan secara optimal. Melalui penelitian kerja sama antara PPKS dan USU, Herawan, et.al. (2006) telah berhasil mengolah residu gliserol pabrik biodisel untuk mendapatkan gliserol komersial dengan kadar mencapai 88%.


(36)

Dalam hal lain, sehubungan dengan stuktur gliserol yang mempunyai gugus alkohol primer dan gugus alkohol sekunder, maka akan memberikan banyak kemungkinan terjadinya reaksi untuk mengembangkan senyawa turunan alkohol ini (Finar, 1986).

Misalnya, dengan menambahkan gugus asetal pada stuktur gliserol akan dihasilkan senyawa surfaktan yang dapat terdegradasi oleh pengaruh bahan kimia atau dalam air dan oleh kegiatan mikroba (Piasecki, 2000).

Secara umum senyawa poliol (polihidroksi termasuk gliserol) dari berbagai sumber banyak dimanfaatkan untuk berbagai keperluan industi seperti dalam industri polimer, senyawa poliol banyak digunakan sebagai plastisiser maupun pemantap. Senyawa poliol ini dapat diperoleh dari hasil industri petrokimia, maupun langsung dari transformasi minyak nabati dan olahan industri oleokimia. Dibandingkan dengan hasil industri petrokimia, senyawa poliol dari minyak nabati dan industri oleokimia dapat diperbaharui, sumber mudah diperoleh, dan juga akrab dengan lingkungan karena mudah terdegradasi dalam alam (Goudung,, 2004).

2.7 Pengemasan

Pengemasan (Packaging) disebut juga pembungkusan, pewadahan atau

pengepakan, dan merupakan salah satu cara pengawetan bahan hasil pertanian, karena pengemasan dapat memperpanjang umur simpan bahan.

Fungsi pengemas pada bahan pangan adalah mencegah atau mengurangi kerusakan, melindungi bahan pangan dari bahaya pencemaran serta gangguan fisik seperti gesekan benturan dan getaran. Selain itu pengemasan berfungsi sebagai wadah


(37)

agar mempunyai bentuk yang memudahkan dalam penyimpanan, pengangkutan dan pendistribusian.

Kemasan layak makan ( edible packaging ) adalah jenis kemasan yang terbuat dari satu atau beberapa jenis bahan tara – pangan ( food grade ), dan dapat dimakan bersama produk pangan yang dikemas tampa menimbulkan pengaruh yang membahayakan.

Edible Packaging dalam aplikasinya dikelompokkan menjadi dua bagian yaitu yang berbentuk lembaran film ( edible film ) atau dalam bentuk proses salut ( edible coating ). Edible coating banyak digunakan untuk pelapis produk daging beku, kamasan semi basah, ayam beku, produk hasil laut, sosis, buah-buahan dan obat-obatan terutama untuk pelapis kapsul. sedangkan edible film digunakan untuk produk pangan dan penguasaan teknologinya masih terbatas. Edible film sangat potensial digunakan sebagai pembungkus dan pelapis produk-produk pangan, industri, farmasi maupun hasil-hasil pertanian (Krochta, 1994).

Edible film harus mempunyai sifat-sifat yang sama dengan film kemasan seperti plastik, yaitu harus memiliki sifat menahan air sehingga dapat mencegah kehilangan kelembaban produk, memiliki permeabilitas selektif terhadap gas tertentu, mengendalikan perpindahan padatan terlarut untuk mempertahankan warna, pigmen alami dan gizi, serta menjadi pembawa bahan aditif seperti pewarna, pengawet dan penambah aroma yang memperbaiki mutu bahan pangan.


(38)

Penggunaan edible film untuk pengemasan produk-produk pangan seperti sosis, buah-buahan dan sayuran segar dapat memperlambat penurunan mutu, karena edible film dapat berfungsi sebagai penahan difusi gas oksigen, karbondioksida dan uap air serta komponen flavor. Keuntungan penggunaan edible film untuk kemasan bahan pangan adalah untuk memperpanjang umur simpan produk serta tidak mencemari lingkungan karena edibel film ini dapat dimakan bersama produk yang dikemasnya.

Komponen utama penyusun edible film dikelompokkan menjadi tiga, yaitu: 1. Hidrokoloid.

Hidrokoloid yang digunakan dalam pembuatan edible film berupa protein atau polisakarida. Bahan dasar protein dapat berasal dari kedele, gelatin dan lain – lain. Polisakarida yang digunakan adalah pati dan selulosa serta turunannya. 2. Lemak, seperti lilin lebah

3. Komposit, adalah bahan yang didasarkan pada campuran hidrokoloid dan lipida.

Dalam pembuatan edible film plastisiser juga memegang peranan penting seperti gliserol bahan organik yang ditambahkan dengan maksud untuk memperlemah kekakuan dari polimer ( Ferry, 1980 ).

2.8 Karakteristik film

Karakteristik mekanik suatu film kemasan terdiri dari : kuat tarik (tensile strenth), kuat tusuk (pencture strenght), persen perpanjangan (elongation to break) dan elastisitas (elastic/young modulus). Parameter-parameter tersebut dapat


(39)

menjelaskan bagaimana karakteristik mekanik dari bahan film yang berkaitan dengan struktur kimianya. Selain itu, juga menunjukkan indikasi integrasi film pada kondisi tekanan (stress) yang terjadi selama proses pembentukan film kuat tarik adalah faya tarik maksimum yang dapat ditahan oleh film selama pengukuran berlangsung. Kuat tarik dipengaruhi oleh pemlastis yang ditambahkan selama proses pembuatan film, sedangkan kuat tusuk menggambarkan tusukan maksimum yang dapat ditahan oleh film. Film dengan struktur yang kaku akan menghasilkan nilai kuat tusuk yang tinggi atau tahan terhadap tusukan. Adapun persen pemanjangan merupakan perubahan panjang maksimum film sebelum terputus. Berlawanan dengan itu adalah elastisitas akan semakin menurun jika seiring dengan meningkatnya jumlah bahan pemlastis dalam film. Elastisitas merupakan kekuatan ukuran film yang dihasilkan (Latif, 2001).

2.8.1 Karakterisasi Edible Film Berbasis Ubi Kayu.

Karakteristik edible film berbasis ubi kayu dengan perbandingan pati : gliserol

: serbuk batang ubi kayu = 10 g : 1 g : 0,5 g adalah : 1. Kekuatan Tarik = 9,333 Mpa

2. Kemuluran = 18,531 %

3. Sifat Thermal ; pada temperatur 290ºC bahan mulai terbakar. Bahan ini tidak meleleh akan tetapi langsung terbakar, hal ini disebabkan bahan mengandung serbuk sebagai penguat.


(40)

4. Analisa Gugus Fungsi dengan Spektrum FT-IR ; uluran C – H pada 2927,98 cm-1, C = O pada 1633,13 cm-1, dan gugus fungsi O – H ikatan hidrogen pada 3423,29 cm-1. ( Yusmarlela, 2008 ).

2.9 Plastisasi Polimer

Pembuatan film layak makan dari pati (starch) memerlukan campuran bahan aditif untuk mendapatkan sifat mekanis yang lunak, ulet dan kuat. Untuk itu perlu ditambahkan suatu zat cair/padat agar meningkatkan sifat plastisitasnya. Proses ini dikenal dengan plastisasi, sedang zat yang ditambah disebut pemlastis. Di samping itu pemlastis dapat pula meningkatkan elastisitas bahan, membuat lebih tahan beku dan menurunkan suhu alir, sehingga pemlastis kadang-kadang disebut juga dengan ekastikator antibeku atau pelembut. Jelaslah bahwa plastisasi akan mempengaruhi semua sifat fisik dan mekanisme film seperti kekuatan tarik, elastisitas kekerasan, sifat listrik, suhu alir, suhu transisi kaca dan sebagainya.

Adapun pemlastis yang digunakan adalah gliserol, karena gliserol merupakan bahan yang murah, sumbernya mudah diperoleh, dapat diperbaharui dan juga akrab dengan lingkungan karena mudah terdegradasi dalam alam.

Proses plastisasi pada prinsipnya adalah dispersi molekul pemlastis kedalam fase polimer. Jika pemlastis mempunyai gaya interaksi dengan polimer, proses dispersi akan berlangsung dalam skala molekul dan terbentuk larutan polimer pemlastis yang disebut dengan kompatibel.


(41)

Sifat fisik dan mekanis polimer-terplastisasi yang kompatibel ini akan merupakan fungsi distribusi dari sifat komposisi pemlastis yang masing-masing komponen dalam sistem. Bila antara pemlastis dengan polimer tidak terjadi percampuran koloid yang tak mantap (polimer dan pemlastis tidak kompatibel) dan menghasilkan sifat fisik polimer yang berkulitas rendah. Karena itu, ramalan karakteristik polimer yang terplastisasi dapat dilakukan dengan variasi komposisi pemlastis.

2.9.1 Mekanisme Plastisasi

Interaksi antara polimer dengan pemlastis dipengaruhi oleh sifat affinitas kedua komponen, jika affinitas polimer-pemlastis tidak terlalu kuat maka akan terjadi plastisas antara struktur (molekul pemlastis hanya terdistribusi diantara struktur). Plastisasi ini hanya mempengaruhi gerakan dan mobilitas struktur.

Jika terjadi interaksi polimer-polimer cukup kuat, maka molekul pemlastis akan terdifusi kedalam rantai polimer (rantai polimer amorf membentuk satuan struktur globular yang disebut bundle) menghasilkan plastisasi infrastruktur intra bundle. Dalam hal ini molekul pemlastis akan berada diantara rantai polimer dan mempengaruhi mobilitas rantai yang dapat meningkatkan plastisasi sampai batas kompatibilitas rantai yang dapat terdispersi (terlarut) dalam polimer. Jika jumlah pemlastis melebihi batas ini, maka akan terjadi sistem yang heterogen dan plastisasi berlebihan, sehingga plastisasi tidak efisien lagi (Wirjosentono, 1995).


(42)

2.10 Bika Ambon

Gambar 2.4 Bika Ambon


(43)

 Bahan A :

 100 gr Tepung terigu  200 ml Air kelapa segar  11 gr Ragi instant

 Bahan B :

 16 btr Kuning telur  600 ml Santan kental  400 gr Gula pasir  300 gr Tepung sagu  1 sdt Garam

 1 sdt Vanilli

 1 batang serai, memarkan  3 lembar daun jeruk  2 lembar daun pandan

Cara membuatnya:

1.Aduk bahan A sampai rata, diamkan selama 15 menit.

2.Rebus santan bersama daun pandan, serai, dan daun jeruk sampai mendidih dan terus diaduk, dinginkan.

3.Aduk rata : telur, gula, garam, dan vanili, lalu masukkan bahan A, dan tepung sagu, aduk rata sambil tuangi santan sedikit demi sedikit sampai santan habis. Saring, diamkan selama 2-3 jam.

4.Tuang adonan ke dalam cetakan yang telah dipoles minyak tipis-tipis. Panggang dalam oven panas sampai matang.

http://www.doyan-masak.info/2009/10/resep-kue-khas-medan-bika-ambon.html


(44)

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1 Alat

- Neraca Analitik Sartorius

- Hotplate Stirrer Ika-Ret BC

- Magnetic Stirrer

- Oven Memmert

- Desikator

- Alat-alat gelas Pyrex

- Labu Kjeldahl Pyrex

- Alat Destilasi

- Buret Pyrex

- Statif dan Klem

- Bunsen

- Seperangkat alat cetak tekan

- Labu ukur


(45)

3.2 Bahan

- Pati ubi kayu 325 mesh

- Serbuk Batang Ubi Kayu 325 mesh

- Gliserol 88 %

- Aquadest

- Bika Ambon

- Fehling A

- Fehling B

- Indikator Methylen blue

- Indikator Fenolftalein

- H3BO3

- H2SO4 pekat

- HCl 0,1 N

- NaOH 30 %

- Selenium

- Indikator Tashiro

- Kertas Lakmus


(46)

3.3 Prosedur Penelitian

3.3.1 Pembuatan Film campuran pati ubi kayu, serbuk batang ubi kayu dan gliserol sebagai pengemas

Sebanyak 1 gram gliserol ditambahkan 120 gram air dan diaduk sampai

homogen. Kemudian ditambahkan 10 gram pati ubi kayu dan 0,5 gram serbuk

batang ubi kayu sambil diaduk hingga tercampur rata, lalu dipanaskan pada suhu

100 0C sampai campuran membentuk gel. Hasilnya dicetak di atas plat kaca

dengan tebal 2 mm, matrix kemudian dikeringkan (udara terbuka) dan divakum

sampai dengan berat tetap. Hal yang sama dilakukan untuk variasi air 110 gr dan

120 gr .

3.3.2 Uji Ketahanan Air

Prosedur uji ketahanan air pada sampel bioplastik adalah sebagai berikut :

1. Gunakan digital balance, ukur berat awal ( Wo ) sampel berukuran 2 x 2

cm2 yang akan diuji.

2. Isi tempat desikan pada desikator dengan air aquades. Letakkan sampel

edible film pada desikator.

3. Setelah 24 jam, keluarkan dari desikator dan timbang berat akhir sampel

( W ) yang telah dikondisikan dalam desikator.

Air yang diserap dihitung melalui persamaan :

Air yang diserap % = 100 0

0

W W W

Dimana Wo adalah berat sampel kering dan W adalah berat sampel setelah


(47)

3.3.3 Uji Umur Simpan

Uji umur simpan ditentukan dengan metoda Akselerasi (Labuza, 1982).Film

layak makan digunakan untuk membungkus bika ambon yang telah dipersiapkan

sesuai dengan perlakuan, yaitu: 1. Penyimpanan pada ruang terbuka ( 30 oC ) ada

3 variasi pengemasan: Ko ( tanpa pengemas ), K1 ( edible film ), K2 ( edible film

dan kertas minyak ) K3 ( kertas minyak ), 2. Penyimpanan pada ruang pendingin

( 15 oC ) ada 2 variasi pengemasan: Ko ( tanpa pengemas ), K1 ( edible film ).

3.3.4 Uji kadar Karbohidrat ( gula pereduksi )

- Sebanyak 5 gram bika ambon dihaluskan kemudian dilarutkan dalam 100

mL air dan dikocok.

- Masukkan 10 mL larutan sampel ke dalam labu takar kemudian

tambahkan air 100 mL.

- Masukkan 5 mL Fehling A dan 5 mL Fehling B ke dalam erlenmeyer,

ditambahkan 15 mL larutan sampel yang telah diencerkan dan 3 tetes

indikator methylen blue lalu dipanaskan diatas hot plate sampai mendidih

- Dilakukan titrasi dengan larutan sampel sebagai tritran. Penambahan

tritran diatur sedemikian sehingga titik akhir terjadi. Titik akhir ditandai

dengan hilangnya warna biru dan timbulnya warna merah bata yang

menunjukkan adanya endapan kupro oksida.

- Dicatat volume titran yang dibutuhkan.

- Dihitung % gula reduksinya.

% Gula Reduksi = Fp titran V

100 F

 


(48)

Ket :

F = Faktor koreksi analisis gula reduksi (berdasarkan tabel Lane-Eynon)

Fp = Faktor Pengenceran

Reaksinya:

CuSO4 + NaOH → Cu(OH)2 + Na2SO4

O O ║ ║ C─OK C─OK

│ │

H─C─OH + NaOH + CuSO4 → H─C─O + Na2SO4+ 2 H2O

│ │ Cu

H─C─OH H─C─O

│ │ C═O C═O

│ │

ONa ONa K- Na tartrat Cu – alkalis

O O O O ║ ║ ║ ║

C─H C─OK C─OH C─OK

│ │ │ │

H─C─OH H─C─O H─C─OH H─C─OH

│ + │ Cu → │ + │ + Cu2O↓

HO─C─H H─C─O HO─C─H H─C─OH

│ │ │ │

H─C─OH C═O H─C─OH C═O

│ │ │ H─C─OH ONa H─C─OH ONa │ │

CH2OH CH2OH

glukosa Cu – alkalis glukonat


(49)

3.3.5 Uji Kadar Protein Metode Kjeldhal

a) Tahap Destruksi

- 2 gram sampel bika ambon dimasukkan dalam labu kjeldhal

- Ditambahkan 25 mL H2SO4 (p) dan 0,5 gr Se ke dalam labu tersebut

- Didestruksi dengan pemanasan sampai terbentuk larutan berwarna

kehijauan jernih

- Didinginkan dan diencerkan dalam 250 mL aquades

b) Tahap Destilasi

- Sebanyak 100 mL hasil destruksi yang telah diencerkan dimasukkan

ke dalam labu alas dan ditambahkan batu didih lalu dipanaskan

sambil diteteskan ke dalamnya 30 mL larutan NaOH 30 %.

- Destilat ditampung dalam gelas kimia yang berisi larutan H3BO3 3%

dan 2 tetes indikator tashiro.

- Destilasi dihentikan jika destilat tidak bereaksi basa dengan lakmus

merah

c) Tahap Titrasi

- Sebanyak 5 mL destilat dititrasi dengan larutan HCl 0,1 N sampai

berubah warna merah rose

% N = 100% 1000 008 , 14      grsampel Fp NHCl Vtitrasi

% P = % N x Fk

Keterangan :

Fp = faktor pengenceran


(50)

Reaksinya:

Tahap destruksi

( C,H,O)n + H2SO4



Se

(NH4)2SO4 + SO2↑ + CO2↑ + H2O ↑ Larutan bening

Tahap destilasi

(NH4)2SO4 + 2 NaOH



 Na2SO4 + 2 NH4OH

NH4OH (l)



 NH3 (g) + H2O (l)

NH3 (g)

NH3 (l )

2 NH3 (l ) + 4 H3BO3

 

Tashiro

(NH4)2B4O7 + 6 H2O

Biru dongker Lar. Hijau toska

Tahap titrasi

(NH4)2B4O7 + 2 HCl → 2 NH4Cl + H2B4O7↓ + 5 H2O


(51)

3.4 Bagan Penelitian

3.4.1 Pembuatan Film campuran pati ubi kayu, serbuk batang ubi kayu dan gliserol sebagai pengemas

Ditambahkan Ditambahkan 0,5 g

100 g aquades serbuk batang ubi kayu

(variasi 110 g dan 120 g)

Di campur sampai homongen

Dipanaskan sampai membentuk gel ( 1000C )

Dicetak diatas kaca

Dikeringkan ( udara terbuka ) Divakum sampai dengan berat tetap

1 g gliserol 10 g pati ubi kayu

Bentuk Film

Uji Ketahanan Air Hasil Campuran


(52)

3.4.2 Uji Ketahanan Air

Diukur 2 x 2 cm

Ditimbang

Dimasukkan ke dalam desikator yang berisi aquades

Dibiarkan selama 24 jam

Ditimbang Kemasan layak makan

Hasil


(53)

uji protein uji karbohidrat uji protein uji karbohidrat uji protein uji karbohidrat uji protein uji karbohidrat uji protein uji karbohidrat uji protein uji karbohidrat Bika Ambon

K0 K1 K2 K3

K1 K0

Data Data Data Data Data Data pada suhu 30 0C

variasi hari 4,7,11,15,19 dikemas dengan 4 cara (K0,K1,K2,K3)

pada suhu 15 0C variasi hari 7,11,15,19 dikemas dengan 2 cara (K0,K1) Disimpan


(54)

3.4.4 Uji Kadar Karbohidrat (Gula Pereduksi)

Dicuci

Dihaluskan dicampurkan dilarutkan dalam 100 mL air dimasukkan diambil 10 mL diencerkan dalam ke dalam 100 mL air elenmeyer Dimasukkan ke dalam buret

dicampurkan 15 mL larutan bika ambon dalam larutan biru

ditambahkan 3 tetes indikator methyl blue

dititrasi dengan larutan sampel

diukur volume titrant yang terpakai

dihitung % gula reduksi

Sepotong ( 5 g ) bika ambon 5 mL Fehling A + 5 mL Fehling B

Larutan bika Ambon Larutan Biru

Larutan Biru

Endapan merah bata

Hasil

Sepotong ( 5 g ) bika ambon 5 mL Fehling A + 5 mL Fehling B

Larutan bika Ambon Larutan Biru


(55)

3.4.5 Uji Kadar Protein

a) Tahap Destruksi

Dicuci

Dimasukkan ke dalam labu kjeldhal

Ditambahkan 0,5 g Selenium

Ditambahkan 20 mL H2SO4(p)

Didestruksi dengan pemanasan

Didinginkan

Diencerkan dalam 250 mL aquades

b) Tahap Destilasi

Dimasukkan ke dalam labu alas

Ditambahkan batu didih

Dipanaskan sambil diteteskan 20 mL NaOH 30 %

Ditampung dalam beaker gelass yang berisi campuran H3BO3 3 % dan indikator tashiro

sampai larutan bersifat basa Larutan Kehijauan

Hasil

2 g sampel bika ambon

100 mL larutan hasil destruksi

Hasil Destilat


(56)

c) Tahap Titrasi

Dimasukkan ke dalam erlenmeyer

Ditambahkan 3 tetes indikator pp

Dititrasi dengan HCl 0,1 N hingga berubah warna

Dicatat volume HCl yang terpakai 5 mL destilat


(57)

BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Preparasi dan Uji Ketahanan Air

1. Film pati ubi kayu variasi air 100 g

Terbuat dari 100 g air + 10 g pati ubi kayu + 0,5 g serbuk batang ubi kayu +

1 g gliserol.

Gambar 4.1. Film kemasan variasi 100 g air

Tampak dalam Gambar 4.1 bahwa film kemasan yang dihasilkan dari pati

ubi kayu variasi 100 g air agak buram, kurang jernih dan serbuk batang ubi kayu

kelihatan lebih jelas.

2. Film pati ubi kayu variasi air 110 g

Terbuat dari 110 g air + 10 g pati ubi kayu + 0,5 g serbuk batang ubi kayu +

1 g gliserol.


(58)

Gambar 4.2. Film kemasan variasi 110 g air

Terlihat pada Gambar 4.2 film kemasan yang dihasilkan sudah lebih

transparan dan lebih jernih dibandingkan dengan variasi 100 g air, dan serbuk

batang ubi kayu juga semakin tipis.

.

3. Film pati ubi kayu variasi air 120 g

Terbuat dari 120 g air + 10 g pati ubi kayu + 0,5 g serbuk batang ubi kayu +

1 g gliserol.


(59)

Terlihat pada Gambar 4.2 film kemasan yang dihasilkan jauh lebih

transparan, lebih jernih dan serbuk batang ubi kayu juga lebih tipis dibandingkan

dengan variasi 100 dan 110 g air. Mempunyai ketebalan 0,1 mm.

4. Uji Ketahanan Air

Uji ketahanan air terhadap film kemasan layak makan yang digunakan

sebagai pembungkus sampel dilakukan dengan 3 ( tiga ) kali

percobaan/pengulangan. Data dan hasil pengujian ketahanan air terlihat pada tabel

di bawah ini.

Tabel 4.1 Data Dan Hasil Uji Ketahanan Air

No.Percobaan W0 ( gr ) W ( gr ) Air Yang Diserap(%)

1 0,035 0.060 71,43

2 0,035 0,060 71,43

3 0,035 0,060 71,43

Percobaan 1.

Air yang diserap = 0 W 0 W W x 100 = 035 , 0 035 , 0 060 , 0  x 100

= 71,43 %

Dari 3 ( tiga ) kali pengulangan diperoleh persen rerata air yang diserap edible:

        3 43 , 71 43 , 71 43 , 71 % = 3 29 , 214


(60)

4.2 Hasil Pengaruh Kemasan Terhadap Kadar Protein, Karbohidrat dan Umur Simpan Bika Ambon

Pada sampel bika ambon yang telah dikemas dengan 4 (empat) cara

pengemasan yaitu terbuka tanpa pembungkus ( K0 ), dibungkus dengan film

kemasan layak makan ( K1), dibungkus dengan film kemasan layak makan

kemudian dilapisi kertas minyak (K2), dan terakhir dibungkus dengan kertas

minyak ( K3 ) dan disimpan pada 2 (dua) suhu yang berbeda yaitu suhu 150Cdan

300C.

Telah dilakukan uji gula reduksi ( karbohidrat ) dan uji kadar protein dengan

data - data terdapat pada Tabel berikut:

Tabel 4.2 Data Pengamatan Uji Gula Reduksi Pada Suhu 300C

K0 K1 K2 K3 Waktu/

Hari

Vtitran

(ml) (ml) V

Vtitran

(ml) (ml) V

Vtitran

(ml) (ml) V

Vtitran

(ml) (ml) V

V1=15,1 V1=15,1 V1=15,1 V1=15,1

V2=15,1 V2=15,1 V2=15,1 V2=15,1

0 V3=15,1 15,10 V3=15,1 15,10 V3=15,1 15,10 V3=15,1 15,10

V1=15,6 V1=15,11 V1=15,4 V1=15,5

V2=15,6 V2=15,12 V2=15,4 V2=15,5

4 V3=15,5 15,57 V3=15,11 15,11 V3=15,4 15,40 V3=15,6 15,53

V1=15,8 V1=15,2 V1=15,7 V1=15,8

V2=15,7 V2=15,2 V2=15,6 V2=15,7

7 V3=15,6 15,70 V3=15,2 15,20 V3=15,6 15,63 V3=15,6 15,70

V1=15,7 V1=15,4 V1=15,7 V1=15,8

V2=15,8 V2=15,4 V2=15,7 V2=15,7

11 V3=15,8 15,77 V3=15,4 15,40 V3=15,7 15,70 V3=15,8 15,77

V1=15,8 V1=15,6 V1=15,8 V1=15,8

V2=15,9 V2=15,5 V2=15,8 V2=15,9

15 V3=15,9 15,87 V3=15,6 15,57 V3=15,8 15,80 V3=15,8 15,83

V1=16,0 V1=15,8 V1=15,9 V1=15,9

V2=16,2 V2=15,7 V2=15,9 V2=15,9

19 V3=16,0 16,07 V3=15,8 15,77 V3=15,9 15,90 V3=15,9 15,90


(61)

Tabel 4.3 Data Pengamatan Uji Gula Reduksi Pada Suhu 150C

K0 K1

Waktu/ Hari

Vtitran

(ml) (ml) V

Vtitran

(ml) (ml) V V1= 15,1 V1= 15,10

V2= 15,1 V2= 15,10 0

V3= 15,1

15,10

V3= 15,10

15,10

V1= 15,4 V1= 15,11 V2= 15,4 V2= 15,12 7

V3= 15,4

15,40

V3= 15,11

15,11

V1= 15,5 V1= 15,20 V2= 15,5 V2= 15,20 11

V3= 15,5

15,50

V3= 15,20

15,20

V1= 15,6 V1= 15,20 V2= 15,6 V2= 15,30 15

V3= 15,5

15,57

V3= 15,30

15,27

V1= 15,6 V1= 15,30 V2= 15,7 V2= 15,40 19

V3= 15,7

15,67

V3= 15,30


(62)

Tabel 4.4 Data Pengamatan Uji Kadar Protein Pada Suhu 300C

K0 K1 K2 K3

Wak tu/ Hari V

dest (ml) V titran 1,2,3 (ml) V (ml) V dest (ml) V titran 1,2,3 (ml) V (ml) V dest (ml) V titran 1,2,3 (ml) V (ml) V dest (ml) V titran 1,2,3 (ml) V (ml)

0,3 0,3 0,3 0,3 0,3 0,4 0,4 0,4 0 9

0,4

0,37 9

0,4 0,37 9 0,4 0,37 10 0,4 0,37

0,3 0,3 0,3 0,3 0,2 0,4 0,3 0,2 4 11

0,2

0,23 9

0,3

0,33 10

0,3

0,30 9

0,3

0,27

0,2 0,3 0,2 0,2 0,2 0,3 0,2 0,2 7 11

0,2

0,20 9

0,3

0,30 9

0,2

0,20 11

0,2

0,20

0,1 0,3 0,2 0,1 0,1 0,3 0,1 0,1 11 10

0,1

0,10 11

0,3

0,30 11

0,2

0,17 9

0,1

0,10

0,1 0,2 0,1 0,1 0,1 0,2 0,1 0,1 15 11

0,1 0,10 11 0,2 0,20 10 0,1 0,10 9 0,1 0,10

0,1 0,1 0,1 0,1 0,1 0,1 0,1 0,1 19 12

0,1 0,10 9 0,1 0,10 10 0,1 0,10 10 0,1 0,10


(63)

Tabel 4.5 Data Pengamatan Uji Kadar Protein Pada Suhu 150C

K0 K1

Waktu/ Hari

Vdest (ml)

Vtitran

(ml) (ml) V

Vdest (ml)

Vtitran

(ml) (ml) V V1=0,3 V1=0,3

V2=0,4 V2=0,4 0 9

V3=0,4

0,37 9

V3=0,4

0,37

V1=0,3 V1=0,4 V2=0,3 V2=0,3 7 10

V3=0,3

0,30 9

V3=0,3

0,33

V1=0,2 V1=0,3 V2=0,3 V2=0,3 11 10

V3=0,3

0,27 9

V3=0,3

0,30

V1=0,2 V1=0,3 V2=0,2 V2=0,3 15 10

V3=0,2

0,20 10

V3=0,3

0,30

V1=0,2 V1=0,2 V2=0,2 V2=0,2 19 12

V3=0,2

0,20 9

V3=0,2


(64)

4.2.1. Perhitungan Kadar Gula Reduksi Bika Ambon Pada suhu 300C

Rumus: % Gula Reduksi (mg/ml ) = Fp titran V F  100 Ket :

F = Faktor koreksi analisis gula reduksi (berdasarkan tabel Lane-Eynon)

Fp = Faktor Pengenceran = 10

V titran rata – rata ( ml ) = titranV

Untuk K0 pada hari ke – 0 dengan

V1 = 15,10 ml ; V2 = 15,10 ml ; V3 = 15,10 ml ; titranV = 15,10 ml

Kadar Gula Reduksi ( mg/ml ) = Fp titran V F

 100

= 10 1000 , 15 100 5 ,

50 

= 3344,3 mg/ml

Kadar Gula Reduksi (gr/ml) = 3,34 g/ml

Dengan cara yang sama diperoleh hasil perhitungan kadar gula reduksi pada suhu

300C , ditunjukkan pada Tabel 4.6.

Tabel 4.6. Hasil Perhitungan Uji Gula Reduksi Pada Suhu 30 0C

Hari Ke

NO Sampel

0 4 7 11 15 19

1 K0 3,34 3,24 3,22 3,21 3,19 3,15

2 K1 3,34 3,34 3,32 3,28 3,24 3,21

3 K2 3,34 3,28 3,24 3,22 3,20 3,18


(65)

4.2.2. Perhitungan Kadar Gula Reduksi Bika Ambon Pada suhu 150C

Rumus : % Gula Reduksi ( mg/ml ) = Fp titran V F  100 Ket :

F = Faktor koreksi analisis gula reduksi (berdasarkan tabel Lane-Eynon)

Fp = Faktor Pengenceran = 10

V titran rata – rata ( ml ) = titranV

K0 : pada hari ke – 7 dengan titranV = 15,4000 ml

V1 = 15,40 ml ; V2 = 15,40 ml ; V3 = 15,40 ml ; titranV = 15,40 ml

Kadar Gula Reduksi (mg/ml ) = Fp titran V

F100

= 10 4000 , 15 100 5 , 50  

= 3279,2 mg/ml

Kadar Gula Reduksi (gr/ml) = 3,28 g/ml

Dengan cara yang sama diperoleh hasil perhitungan kadar gula reduksi pada suhu

150C, ditunjukkan pada Tabel 4.7.

Tabel 4.7. Hasil Perhitungan Uji Gula Reduksi Pada Suhu 15 0C Hari Ke

NO Sampel

0 7 11 15 19

1 K0 3,34 3,28 3,26 3,24 3,23


(66)

4.2.3. Perhitungan Kadar Protein Bika Ambon Pada Suhu 300C

Rumus : % N = 100%

1000 008 , 14      Grsampel Fp NHCl titran V

% P = % N x Fk

Keterangan :

Fp = faktor pengenceran = 250/V destilat

Fk = faktor konversi = 6,25

Gr sampel = 2

V titrasi rata – rata ( ml ) = titranV

K0 : pada hari ke – 0, V destilat = 9 ml ; titranV = 0,37 ml

V1 = 0,30 ml ; V2 = 0,40 ml ; V3 = 0,40 ml ; titranV = 0,37ml

% N = 100% 1000 2 9 250 008 , 14 1 , 0 37 , 0     

= 0,7132 %

% P = 0,7132 % x 6,25

= 4,46 %

Dengan cara yang sama diperoleh hasil perhitungan kadar protein pada suhu 300C,


(67)

Tabel 4.8. Hasil Perhitungan Kadar Protein Pada Suhu 30 0C

Hari Ke

NO Sampel

0 4 7 11 15 19

1 K0 4,46 2,32 1,99 1,09 0,99 0,91

2 K1 4,46 4,05 3,65 2,98 1,99 1,22

3 K2 4,46 3,28 2,43 1,66 1,09 1,09

4 K3 4,46 2,65 2,19 1,21 1,09 0,99

4.2.4. Perhitungan Kadar Protein Pada Suhu 150C

Rumus : % N = 100%

1000 008 , 14     Grsampel Fp NHCl titran V

% P = % N x Fk

Keterangan :

Fp = faktor pengenceran = 250/V destilat

Fk = faktor konversi = 6,25

Gr sampel = 2

V titrasi rata – rata ( ml ) = titranV

K1 : pada hari ke – 7, V destilat = 9 ml ; titranV = 0,33 ml

V1 = 0,40 ml ; V2 = 0,30 ml ; V3 = 0,30 ml ; titranV = 0,33 ml

% N = 100% 1000 2 9 250 008 , 14 1 , 0 33 , 0     


(68)

= 0,6484 %

% P = 0,6484 % x 6,25

= 4,05 %

Dengan cara yang sama diperoleh hasil perhitungan kadar protein pada suhu 150C,

ditunjukkan pada Tabel 4.9.

Tabel 4.9. Hasil Perhitungan Kadar Protein Pada Suhu 15 0C Hari Ke

NO Sampel

0 7 11 15 19

1 K0 4,46 3,28 2,92 2,19 1,82

2 K1 4,46 4,05 3,65 3,28 2,43

4.3. Pembahasan Pengaruh Kemasan Terhadap Kadar Karbohidrat dan Protein serta Umur Simpan.

Berdasarkan penampakan visual pada hari ke- 4 penyimpanan sampel pada

suhu 300C sampel K0 sudah ditumbuhi jamur dan kelihatan cukup jelas. Sampel

K2 dan K3 juga sudah berjamur tetapi tidak sebanyak pada sampel K0. Hal ini

dimungkinkan karena K0 tanpa pengemas apapun. Jamur pada sampel K2 lebih

sedikit dibandingkan dengan jamur pada sampel K3. Hal ini juga dimungkinkan

karena sampel K2 dikemas dengan edible dan kertas minyak sedangkan K3 hanya

dikemas dengan kertas minyak saja. Demikian seterusnya hasil pengamatan hari

ke- 7 sampai dengan hari ke- 19 sampel K0, K2 dan K3 jamurnya semakin banyak


(69)

Pertumbuhan mikroorganisme di dalam atau pada makanan dapat

mengakibatkan berbagai perubahan fisik maupun kimiawi yang tidak diinginkan.

Apabila ini terjadi, produk pangan tersebut dinyatakan sebagai bahan pangan yang

busuk (Buckle, et.al,1987) .

Kerusakan bahan makanan yang disebabkan mikroorganisme terjadi karena

mikroorganisme tersebut berkembang biak, karena bahan makanan memiliki

persyaratan untuk pertumbuhan mikroorganisme ( Doddi Yudhabuntara, 2008).

Secara visual sampel K1 pada hari ke- 4 penyimpanan pada suhu 300C tidak

menunjukkan adanya jamur, hal ini dapat dilihat pada Gambar 4.14. Pada hari

ke-7 jamur mulai kelihatan pada sampel K1 dengan jumlah yang sangat sedikit, dapat

dilihat pada Gambar 4.15. Demikian seterusnya pengamatan sampai hari ke- 19

jamur bertambah tetapi lebih lambat dibandingkan pada sampel K0, K2 dan K3.

Dibandingkan dengan sampel K0, K2, dan K3 pada penyimpanan dan waktu

yang sama maka sampel K1 mempunyai umur simpan yang lebih lama. Hal ini

dimungkinkan karena sampel dikemas dengan edible film dimana komponen

utama penyusunnya adalah hidrokoloid. Edible film yang dibuat dari hidrokoloid

dan penambahan selulosa merupakan barrier yang baik terhadap transfer oksigen.

Kebanyakan dari film hidrokoloid memiliki sifat yang baik sehingga sangat baik

dijadikan sebagai bahan pengemas ( Tekno Pangan & Agroindustri, Vol 1, No

12,).

Hasil uji gula reduksi dan uji protein pada sampel yang disimpan pada suhu

300C dan waktu penyimpanan yang sama menunjukkan kadar yang berbeda, dapat


(70)

protein paling sedikit dan lambat terjadi pada sampel K1. Penurunan kadar gula

reduksi dan kadar protein yang paling besar terjadi pada K0 diikuti K3 dan K2,

dapat dilihat pada Gambar 4.4 dan 4.5.

3.14 3.17 3.2 3.23 3.26 3.29 3.32 3.35

0 4 7 11 15 19

Waktu ( Hari )

K a d a r G u la R e d u k s i( g /m K0 K1 K2 K3

Gambar 4.4. Grafik Kadar Gula Reduksi Pada Suhu 300C

0.8 1.3 1.8 2.3 2.8 3.3 3.8 4.3 4.8

0 4 7 11 15 19

Waktu ( Hari )

K a d a r P ro te in K0 K1 K2 K3

Gambar 4.5. Grafik Kadar Protein Pada Suhu 300C

Enzim yang terdapat dalam jamur menguraikan karbohidrat maupun protein

menjadi senyawa dengan struktur yang lebih sederhana yang dapat larut dalam air.


(71)

menjadi glukosa yang akan diserap ke dalam sel. Demikian juga enzim protease

akan menguraikan protein menjadi asam amino.

Pada setiap sampel sebelum dilakukan uji gula reduksi dan uji protein

diberikan perlakuan yang sama yaitu pencucian sampel. Hal ini kemungkinan

yang menyebabkan kadar gula reduksi dan protein menurun. Karbohidrat yang

sudah terurai menjadi glukosa maupun protein yang terurai menjadi asam amino

larut dalam air pencucian.

Secara visual sampel K0 dan K1 penyimpanan pada suhu 150C tidak

menunjukkan adanya jamur baik penyimpanan sampai dengan hari ke- 19. Hal ini

dimungkinkan karena sampel disimpan pada suhu 150C. Dimana suhu adalah

salah satu faktor lingkungan yang mempengaruhi kehidupan dan pertumbuhan

mikroorganisme. Umumnya bakteri tumbuh baik pada suhu 25 – 350C.

Hasil uji gula reduksi dan uji protein pada sampel yang disimpan pada suhu

150C dan waktu penyimpanan yang sama menunjukkan kadar yang berbeda, dapat

dilihat pada Tabel 4.7 dan Tabel 4.9. Sampel K0 maupun K1 menunjukkan

adanya penurunan kadar gula reduksi maupun kadar protein dapat dilihat pada

Gambar 4.6 dan Gambar 4.7. Hal ini kemungkinan dikarenakan perlakuan


(72)

3.22 3.24 3.26 3.28 3.3 3.32 3.34 3.36

0 7 11 15 19

Waktu ( Hari )

K a d a r G u la R e d u k s i (g /m l) K0 K1

Gambar 4.6. Grafik Kadar Gula Reduksi Pada Suhu 150C

1.7 2 2.3 2.6 2.9 3.2 3.5 3.8 4.1 4.4 4.7

0 7 11 15 19

Waktu ( Hari )

K a d a r P ro te in K0 K1

Gambar 4.7. Grafik Kadar Protein Pada Suhu 150C


(73)

4.3.1. Sampel K0 pada Suhu 300C

Gambar 4.8. K0 (Blanko)

Kadar Gula Reduksi = 3,34 g/ml

Kadar Protein % = 4,46%

Gambar 4.9. K0 Hari ke – 4 pada Suhu 300C

Kadar Gula Reduksi = 3,24 g/ml


(74)

Gambar 4.10 K0 hari – 7 pada suhu 300C

Kadar Gula Reduksi = 3,22 g/ml

Kadar Protein = 1,99 %

Gambar 4.11 K0 hari ke – 11 pada suhu 300C

Kadar Gula Reduksi = 3,20 g/ml

Kadar Protein = 1,09 %


(1)

Gambar 4.36 K1 hari ke – 19 pada suhu 150C

Kadar Gula Reduksi = 3,29 g/ml Kadar Protein = 2,43 %


(2)

BAB 5

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1.KESIMPULAN

Dari penelitian yang telah kami lakukan dan berdasarkan data-data yang diperoleh setelah dilakukan uji kadar karbohidrat dan uji kadar p-rotein, dapat disimpulkan:

1. Preparasi film kemasan layak makan yang dibuat dari 10 g pati ubi kayu, 1 g gliserol dan 0,5 g serbuk batang ubi kayu menggunakan air sebanyak 120 g mempunyai ketebalan 0,1 mm dan ketahanan air 71,43 %.

2. Pada penyimpanan sampel bika ambon pada suhu 30 0C dan pada suhu 15 0C yang terbaik adalah yang menggunakan kemasan K1.

3. Ternyata penggunaan pembungkus K1 pada bika ambon dapat

memperpanjang umur simpan bika ambon tersebut hingga 7 hari dari yang sebelumnya hanya 4 hari.


(3)

5.2. SARAN

1. Untuk peneliti selanjutnya agar memperhatikan cara pembungkusan dengan kemasan film layak makan sehingga tidak membentuk adanya rongga udara antara makanan dengan film yang dapat mendorong pertumbuhan jamur dan penurunan kadar gula reduksi (karbohidrat serta kadar protein).

2. Agar melakukan uji organoleptik dan kadar gizi lainnya seperti kadar lemak pada makanan yang dikemas dengan kemasan film layak makan.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Anonymous II, 2006, Glycerin,www.pioneerthinking.com/glycerin.html

Austin, 1985, Shereve, s Chemical Proces Indusries, Mc Graw-Hill Book Co Tokyo

Averous luc. 2004, Biodegradable Multiphase Systems Based on Plasticized Starch: A review, Journal of Macromolecular Science, United Kingdom. Bhat, S.G.,1990, Oleic Acid AValue Added Product From Palm Oil. The

Conference Chemistry Technology. PORIM Kuala Lumpur.

Buckle, K.A., R.A. Edwards, G.H. Fleet, dan M.Wootton, 1987, Ilmu Pangan. Penerjemah H.Purnomo dan Adiono, UI – Press, Jakarta.

Darni Yuli, Chici A.,Sri Ismiyati D., 2008, Sintesa Bioplastik Dari Pati Pisang dan Gelatin Dengan Plasticizer Gliserol, Jurusan Tehnik Kimia, Fakultas Tehnik Universitas Lampung.

Fessenden, Ralp J & Joan S Fessenden., 1982, Kimia Organik, Jilid 2, Penerbit Erlangga: Jakarta

.

Finar,I.L,1986, Organic Chemistry. Mc Graw. Volume 1,6 th Ed. Longman Inc. New York.

Firdaus, F. dan Mulyaningsih S., 2008, Morfologi Film Plastik Biodegradeble dari Komposit Pati PLA, Pati Khitosan, dan Pati Tropis-PLA-Khitosan, Jurnal TEKNOIN ISSN 0853-8697 ( terakreditasi ) Edisi Juni 2008.

Gaman. P, 1991, Ilmu Pangan, Gajah Mada University Press, Yogyakarta.

Goudung, D.U., 2004. Catalytic Epoksidation of Methyl Lindeate. J.Am.Oil.Chem.Socs, Vol.81.No.4

Harris Helmi, 2001, Kemungkinan Penggunaan Edible Film dari Pati Tapioka Untuk Pengemasan Lempuk, Jurnal Ilmu-Ilmu Pertanian Indonesia. Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu.

Herawan T., Wirjosentono, B.,dan Rahmi U., 2006, Pemurnian Residu Gliserol Pabrik Biodisel dengan Cara Pengasaman, Penelitian PPKS USU, PPKS – Departemen Kimia, USU Medan.


(5)

Indarti,Eti.Sri Mulyani,dan Normalina Arpi.2007. Perbaikan Karekteristik Plastik Biodegradeble Pati Sagu dengan Penambahan Serat Selulosa dan Minyak Sawit. Universitas Syiah Kuala. Aceh.

Kinzel,B.1992.Protein-Rich Edible Coatings For Foods. Agricultural research. May 1992.

Krochta, J.M.,1992, Control Of Mass Transfer In Food With Edible Coating End Film. Di dalam : Singh, R.P. dan M.A. Wira

Krotcha, J.M., Balswin E.A dan M.O. Nisperos-Carriedo. 1994, Edible Coating and Film to improve Food Quality, Echnomic Publ. Co., Inc., USA. Krotcha, J.M dan De Mulder- Jhonston C. 1997. Edible and biodegradable

Polymer Films Challenges and Oppurtunities, Food technology, 51,61-74 dalamWeber C.J (Ed) 2000.Biobased Packaging Materials for The Food Industry, A European Concerted Action, Denmark.

Latief, R., 2001, Teknologi Kemasan Biodegradeble, Makalah Falsafah Sains (PPs 702) Program Pasca Sarjana/S3 IPB, Bandung. http:// www.hayati-ipb.com/user/rudyct/indiv2001/rindam_latief.htm.

Liu.L.J.F Kennedy And P.K.Joseph 2005, Selection of Optimum Extrasion Technology Parameters In the Manufacture of Edible / Biodegradable Packaging Films Derived From Food – Based Polymers, Journal Of Food Agriculture & Environment. Vol 3.

Martaningtyas, D., 2004, Potensi Biodegradable, 02 September 2004 http://www.pikiran rakyat.com/cetak/0904/02/cakrawala/lainnya 06.html. Nourieddini,H. dan Mendikonduru,v., 1997. Glycerolysis Of Fats And Methyls

Ester. J.Am.Oil.Chem.Socs.

Piasecki, 2000, Synthesis And Surface Properties Of Chemodegrable Anionic Surfactans Diastreomeric (2-N-Alkyl-1,3-Dioksan-5-yl) Sulafates. J.Am.Oil. Chem.Socs, Vol.74,1.

Poedjadi.A, 1994, Dasar-dasar Biokimia, universitas Indonesia, Jakarta.

Pramuda, H., 2003, Pengembangan Bahan Plastik Biodegradable Berbahan Baku Pati Tropis, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, Jakarta.

Sudarmadji.S, Bambang Haryono,Suhardi, 1984, Analisa Bahan Makanan dan Pertanian, Penerbit Liberty : Yogyakarta.


(6)

Syah,A.N.A., 2006, Biodisel Jarak Pagar Bahan Alternatif Yang Ramah Lingkungan. Agro Media Pustaka. Jakarta.

Syarief, R.Santausa.S.dan B.T.Isyana. 1988. Buku dan Monograf Teknologi Pengemasan Pangan. IPB. Bogor.

Weiping Ban, JianguoSong, Argyrop, 2005, Improving The Physical Functionally of Starch – Derived Films With Biopolymers, Journal of Applied Polymer Science 2006 Vol. 100, United State.

Winarno, F. G., 1984, Kimia Pangan dan Gizi, Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Wirjosentono,Basuki, 1995. Perkembangan Industri Polimer di Indonesia, Orasi Ilmiah Lustrum 6. FMIPA-USU.Medan.

Yudhabuntara, Doddi, 2008. Pengendalian Mikroorganisme Dalam Bahan Pangan, http://milkoerdie.blogspot.com/2008/05/pengendalian-mikrooranisme-dlm-bahan.html.

Yusmarlela, Hj.,2009, Studi Pemanfaatan Plastisiser Gliserol Dalam Film Pati Ubi Dengan Pengisi Serbuk Batang Ubi Kayu, USU Medan.

..., Edible Film, Tekno Pangan & Agroindustri, Volume 1, Nomor 12,

Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi – IPB,

http://www.warintek.ristek.go.id/pangan_kesehatan/pangan/ipb/Edible%2 0film.pdf