Pengaruh Pemberian Bungkil Inti Sawit (BIS) Termodifikasi Terhadap Efek Immunomodulasi Pada Ayam Pedaging Umur 42 Hari
PENGARUH PEMBERIAN BUNGKIL INTI SAWIT (BIS) TERMODIFIKASI TERHADAP EFEK IMMUNOMODULASI PADA
AYAM PEDAGING UMUR 42 HARI
SKRIPSI
Oleh :
ROI MARTINUS TUMANGGOR 050306047
DEPARTEMEN PETERNAKAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
(2)
PENGARUH PEMBERIAN BUNGKIL INTI SAWIT (BIS) TERMODIFIKASI TERHADAP EFEK IMMUNOMODULASI PADA
AYAM
PEDAGING UMUR 42 HARI
SKRIPSI
Oleh :
ROI MARTINUS TUMANGGOR 050306047/ ILMU PRODUKSI TERNAK
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Fakultas Pertanian
Universitas Sumatera Utara
DEPARTEMEN PETERNAKAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
(3)
Judul Penelitian : Pengaruh Pemberian Bungkil Inti Sawit (BIS) Termodifikasi
Terhadap Efek Immunomodulasi Pada Ayam Pedaging
Umur 42 Hari.
Nama : Roi Martinus Tumanggor NIM : 050306047
Departemen : iPeternakan
Disetujui Oleh : Komisi Pembimbing
Ir. Eniza Saleh, MS
Ketua Anggota Ir. Soehadi Aris
Diketahui Oleh :
Ketua Departemen
Prof. Dr. Ir. Zulfikar Siregar, MP
(4)
ABSTRAK
ROI MARTINUS TUMANGGOR: Pengaruh Pemberian Bungkil Inti Sawit (BIS) Termodifikasi Terhadap Efek Immunomodulasi Pada Ayam Pedaging Umur 42 Hari. Dibimbing oleh ENIZA SALEH dan SOEHADI ARIS.
Penelitian dilakukan di Laboratorium Biologi Ternak, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara pada September – November 2009 menggunakan metode rancangan acak lengkap. Parameter yang dianalisis adalah Titer ND (Newcastle Desease), Titer IBD (Infectious Bursal Desease), dan Analisis Komponen Darah (eritrosit, hematokrit dan hemoglobin).
Bungkil inti sawit dapat digunakan sebagai alternatif antibiotik dalam ransum karena kapasitasnya menghambat kolonisasi bakteri merugikan pada ternak. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui efek BIS termodifikasi dalam ransum terhadap sistem kekebalan pada ayam broiler. Proses modifikasi BIS dilakukan menggunakan enzim β - mannanase. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan BIS termodifikasi dapat menurunkan kolonisasi bakteri E. coli pada ayam pedaging. Dapat disimpulkan bahwa penggunaan BIS termodifikasi dalam ransum memberi pengaruh sangat nyata pada parameter titer ND (Newcastle Desease), sedangkan pada parameter Titer IBD (Infectious Bursal
Desease), dan Analisis Komponen Darah (eritrosit, hematokrit dan hemoglobin)
memberikan pengaruh yang tidak nyata. Hasil terbaik diperoleh pada penggunaan BIS termodifikasi sebanyak 2%.
(5)
ABSTRACT
ROI MARTINUS TUMANGGOR : The effect of Supplementation Modified Palm
Kernel Meal (PKM)) On the Effect of Immunomodulasi At Age 42 Days of Broiler Chicken Supervised by ENIZA SALEH and SOEHADI ARIS.
Research conducted in Animal Biology Veterinery Laboratory at animal husbandry departement of Agriculture faculty of North Sumatera university at the September - November 2009 by using completely randomized design. Titer of ND (Newcastle Disease), titer of IBD (Infectious Bursal Disease), and Blood Component Analysis (erythrocyte, hematocrit and haemoglobin).
Palm kernel Meal (PKM) can be used as an alternative to antibiotics in the ration because of its ability to inhibit harmful bacterial colonization of cattle. The purpose of this study is to investigate the influence PKM changed in ration on the immune system of broiler chickens. PKM modification process carried out by using the enzyme β - mannanase. Results showed that use of PKM changed can reduce bacterial colonization E. coli in broilers. Can be concluded that the use of PKM ration modified to provide a very real effect on the parameters titer ND (Newcastle Disease), whereas in IBD parameters titer (Infectious bursal disease), and Blood Component Analysis (erythrocyte, hematocrit and haemoglobin) were not significant effects. The best results obtained on the use changed as much as 2% PKM.
(6)
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Kabanjahe 05 Maret 1986 dari ayah Arsenius Tumanggor (alm) dan ibu Lastri br. Situmorang. Penulis merupakan putra pertama dari dua bersaudara.
Tahun 2004 penulis lulus dari SMU Negeri 1 Sidikalang, Kab. Dairi, Sumatera Utara dan pada tahun 2005 masuk ke Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara melalui jalur SPMB. Penulis memilih program studi Ilmu Produksi ternak, Departemen Peternakan.
Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif sebagai anggota Himpunan Mahasiswa Peternakan, Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara.
Penulis melaksanakan PKL di Kelurahan Gunung Maligas Kabupaten Simalungun, Pematang Siantar dari tanggal 20 Juni sampai 20 Juli 2008.
Melaksanakan penelitian pada September 2009 hingga November 2009 di Laboratorium Biologi Ternak Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara.
(7)
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul ” Pengaruh Pemberian Bungkil Inti Sawit (BIS) Terhadap Efek Immunomodulasi Pada Ayam Pedaging Umur 42 Hari”
Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada Ibu Ir. Eniza Saleh, MS. selaku ketua komisi pembimbing dan Bapak Ir. Soehadi Aris selaku anggota komisi pembimbing serta kepada Bapak Dr. Ir. Ma’aruf Tafsin, MSi. selaku dosen pembimbing lapangan yang telah membimbing dan memberikan berbagai masukan berharga kepada penulis dari mulai menetapkan judul, melakukan penelitian sampai pada ujian akhir.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua staf pengajar dan pegawai di Departemen Peternakan USU, Medan, serta rekan-rekan mahasiswa yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Medan, Mei 2010
(8)
DAFTAR ISI
... Hal
ABSTRAK ... i
ABSTRACT ... ii
RIWAYAT HIDUP ... iii
KATAPENGANTAR ... iv
DAFTAR ISI ... v
DAFTAR TABEL ... vi
DAFTAR GAMBAR ... vii
DAFTAR LAMPIRAN ... viii
PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1
Tujuan Penelitian ... 3
Hipotesis Penelitian ... 3
Kegunaan Penelitian ... 3
TINJAUAN PUSTAKA Bungkil Inti Sawit ... 4
Ayam Pedaging ... 5
Kebutuhan Nutrisi Ayam Pedaging... 6
Sistem Pencernaan Ayam Pedaging ... 8
Escherichia coli ... 9
Mannanoligosakarida (MOS) ... 11
Sistem Kekebalan Tubuh Ayam Pedaging ... 13
Newcastle Desease (ND) ... 14
Infectious Bursal Desease (IBD) ... 16
Darah ... 18
Sel darah merah (Eritrosit) ... 20
Hematokrit (PCV) ... 20
Hemoglobin (Hb) ... 21
BAHAN DAN METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu ... 22
Bahan dan Alat ... 22
Bahan ... 22
Alat ... 22
Metode Penelitian ... 23
Parameter Penelitian ... 24
1. Titer ND (Newcastle Desease) ... 24
2. Titer IBD (Infectious Bursal Desease)... 24
3. Sel darah merah (Eritrosit) ... 24
4. Hematokrit (PCV) ... 24
(9)
HASIL DAN PEMBAHASAN
Titer ND (Newcastle Desease) ... 27
Titer IBD (Infectious Bursal Desease) ... 29
Sel darah merah (Eritrosit) ... 31
Hematokrit (PCV) ... 33
Hemoglobin (Hb) ... 35
Rekapitulasi hasil penelitian ... 37
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ... 38
Saran ... 38
DAFTAR PUSTAKA ... 39
(10)
DAFTAR TABEL
No... Hal
1. Komposisi zat nutrisi Bungkil Inti Sawit (BIS) ... 4
2. Persentase komponen gula netral pada Bungkil Inti Sawit (BIS) ... 5
3. Ciri ayam pedaging AA CP-707 ... 6
4. Kebutuhan zat makanan ayam pedaging fase starter dan finisher ... 7
5. Nilai normal jumlah eritrosit, hemoglobin, hematokrit dan leuko sit ayam pedaging ... 19
6. Rataan titer ND (NewcastleDesease) ayam pedaging umur 42 hari ... 27
8. Analisis keragaman titer ND (Newcastle Desease) ayam pedaging umur 42 hari ... 28
9. Uji duncan ayam pedaging umur 42 hari... 29
10. Rataan titer IBD (Infectious Bursal Desease) ayam pedaging umur 42 hari ... 30
11. Analisis keragaman titer IBD (Infectious Bursal Desease) ayam pedaging umur 42 hari ... 31
12. Rataan eritrosit ayam pedaging umur 42 hari ... 32
13. Analisis kekeragaman eritrosit ayam pedaging umur 42 hari ... 33
14. Rataan hematokrit (PCV) ayam pedaging umur 42 hari ... 33
15. Analisis keragaman hematokrit (PCV) ayam pedaging umur 42 hari... 35
16. Rataan haemoglobin (Hb) ayam pedaging umur 42 hari... 35
17. Analisis keragaman haemoglobin (Hb) ayam pedaging umur 42 hari .. 36
18. Rekapitulasi Titer ND (Newcastle Desease), Titer IBD (Infectious Bursal Desease), eritrosit, hematokrit (PCV) dan haemoglobin (Hb) titer IBD (Infectious Bursal Desease) ayam pedaging umur 42 hari .... 37
(11)
DAFTAR GAMBAR
No... Hal 1. Diagram rataan titer ND (Newcastle Desease) ayam pedaging umur 42
hari ... 27
2. Diagram rataan titer IBD (Infectious Bursal Desease) ayam pedaging umur 42 hari ... 30
3. Diagram rataan Eritrosit ayam pedaging umur 42 hari ... 32
4. Diagram rataan Hematokrit (PCV) ayam pedaging umur 42 hari ... 34
(12)
DAFTAR LAMPIRAN
No... Hal
1. Susunan ransum ... 43
2. Skema modifikasi bungkil inti sawit yang diaplikasi untuk ayam pedaging ... 44
3. Skema pengambilan darah ayam pedaging sebagai spesimen untuk uji laboratoris ... 44
4. Rataan konsumsi ransum ayam pedaging selama penelitian (g/ekor/minggu) ... 45
5. Analisis keragaman konsumsi ransum ayam pedaging selama penelitian.. ... 45
6. Rataan titer ND (NewcastleDesease) ayam pedaging umur 42 hari ... 45
7. Analisis ragam titer ND (Newcastle Desease) ayam pedaging umur 42 hari ... 46
8. Uji duncan titer ND (Newcastle Desease) ayam pedaging umur 42 hari .. 46
9. Rataan titer IBD (Infectious Bursal Desease) ayam pedaging umur 42 hari ... 46
10. Analisis ragam titer IBD (Infectious Bursal Desease) ayam pedaging umur 42 hari ... 46
11. Rataan eritrosit ayam pedaging umur 42 hari ... 47
12. Analisis ragam eritrosit ayam pedaging umur 42 hari ... 47
13. Rataan hematokrit ayam pedaging umur 42 hari ... 47
14. Analisis ragam PCV (packed cell volume) ayam pedaging umur 42 hari . 47 15. Rataan hemoglobin (Hb) ayam pedaging umur 42 hari ... 48
16. Analisis ragam henoglobin (Hb) ayam pedaging umur 42 hari ... 48
17. Rekapitulasi titer ND, titer IBD, eritrosit, PCV dan hemoglobin (Hb) ayam pedaging umur 42 hari ... 49
(13)
ABSTRAK
ROI MARTINUS TUMANGGOR: Pengaruh Pemberian Bungkil Inti Sawit (BIS) Termodifikasi Terhadap Efek Immunomodulasi Pada Ayam Pedaging Umur 42 Hari. Dibimbing oleh ENIZA SALEH dan SOEHADI ARIS.
Penelitian dilakukan di Laboratorium Biologi Ternak, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara pada September – November 2009 menggunakan metode rancangan acak lengkap. Parameter yang dianalisis adalah Titer ND (Newcastle Desease), Titer IBD (Infectious Bursal Desease), dan Analisis Komponen Darah (eritrosit, hematokrit dan hemoglobin).
Bungkil inti sawit dapat digunakan sebagai alternatif antibiotik dalam ransum karena kapasitasnya menghambat kolonisasi bakteri merugikan pada ternak. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui efek BIS termodifikasi dalam ransum terhadap sistem kekebalan pada ayam broiler. Proses modifikasi BIS dilakukan menggunakan enzim β - mannanase. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan BIS termodifikasi dapat menurunkan kolonisasi bakteri E. coli pada ayam pedaging. Dapat disimpulkan bahwa penggunaan BIS termodifikasi dalam ransum memberi pengaruh sangat nyata pada parameter titer ND (Newcastle Desease), sedangkan pada parameter Titer IBD (Infectious Bursal
Desease), dan Analisis Komponen Darah (eritrosit, hematokrit dan hemoglobin)
memberikan pengaruh yang tidak nyata. Hasil terbaik diperoleh pada penggunaan BIS termodifikasi sebanyak 2%.
(14)
ABSTRACT
ROI MARTINUS TUMANGGOR : The effect of Supplementation Modified Palm
Kernel Meal (PKM)) On the Effect of Immunomodulasi At Age 42 Days of Broiler Chicken Supervised by ENIZA SALEH and SOEHADI ARIS.
Research conducted in Animal Biology Veterinery Laboratory at animal husbandry departement of Agriculture faculty of North Sumatera university at the September - November 2009 by using completely randomized design. Titer of ND (Newcastle Disease), titer of IBD (Infectious Bursal Disease), and Blood Component Analysis (erythrocyte, hematocrit and haemoglobin).
Palm kernel Meal (PKM) can be used as an alternative to antibiotics in the ration because of its ability to inhibit harmful bacterial colonization of cattle. The purpose of this study is to investigate the influence PKM changed in ration on the immune system of broiler chickens. PKM modification process carried out by using the enzyme β - mannanase. Results showed that use of PKM changed can reduce bacterial colonization E. coli in broilers. Can be concluded that the use of PKM ration modified to provide a very real effect on the parameters titer ND (Newcastle Disease), whereas in IBD parameters titer (Infectious bursal disease), and Blood Component Analysis (erythrocyte, hematocrit and haemoglobin) were not significant effects. The best results obtained on the use changed as much as 2% PKM.
(15)
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Penggunaan bahan pakan konvensional saat ini, ternyata masih belum memberikan jawaban atas tuntutan produktivitas yang tinggi dan ancaman patogen tersebut. Hal ini disebabkan karena peternakan ayam pedaging komersil banyak berhadapan dengan faktor cekaman yang tinggi (internal dan eksternal) seperti tuntutan produktivitas yang tinggi dan ancaman patogen (bakteri dan virus). Beberapa upaya telah ditempuh untuk mengatasi hal tersebut seperti melakukan vaksin, sanitasi ataupun penggunaan antibiotik. Upaya tersebut disamping mempunyai banyak manfaat juga mempunyai keterbatasan, sebagai contoh untuk antibiotik sekarang ini ditemukan beberapa strain bakteri yang resisten terhadap antibiotik. Selain itu penggunaannya terutama pada negara maju pengaturannya sangat ketat karena akan berpengaruh pada aspek keamanan pangan untuk manusia.
Upaya alternatif dicoba untuk mengatasi keterbatasan tersebut, diantaranya dengan menggunakan karbohidrat. Devegowda et al. (1997) melaporkan bahwa tiga oligosakarida utama yang dapat memperbaiki produksi ternak, yaitu mannanoligosakarida (MOS), fruktooligosakarida, dan galaktooligosakarida, dan MOS dilaporkan memberikan hasil yang paling baik. Keterbatasan tersebut dapat diangkat menjadi sebuah potensi untuk menggunakan bungkil inti sawit (BIS) sebagai mannanoligosakarida (MOS) yang sejauh ini lebih banyak dikembangkan dari Saccharomyces cerevisiae. Mannanoligosakarida (MOS) banyak memberikan manfaat sebagai pengendali patogen dan immunomodulator, dan dimasa yang
(16)
akan datang akan dapat dijadikan alternatif antibiotik yang digunakan dalam pakan.
Bungkil inti sawit (BIS) adalah produk samping industri pengolahan kelapa sawit yang mempunyai ketersediaan tinggi di Sumatera Utara. Sampai sejauh ini BIS hanya digunakan sebagai salah satu komponen pakan untuk ternak monogastrik atau ruminansia. Penggunaan bungkil inti sawit (BIS) pada ternak monogastrik terbatas karena adanya struktur mannan dalam ikatan yang sulit dipecah oleh enzim pencernaan.
Salah satu faktor pembatas penggunaan bungkil inti sawit (BIS) terutama pada ternak monogastrik adalah kandungan serat yang tinggi dan komponen dominannya adalah berupa mannose yang mencapai 56,4% dari total dinding sel
bungkil inti sawit (BIS) dan ada dalam bentuk ikatan β-mannan (Daud et al. 1993). Selanjutnya Tafsin (2007) melaporkan komponen gula yang
terdeteksi dari ekstraksi bungkil inti sawit (BIS) tersusun atas komponen mannose, glukosa dan galaktosa dengan rasio mendekati 3: 1: 1. kandungan mannan yang tinggi disamping faktor pembatas juga dapat dianggap sebagai potensi untuk mendapatkan imbuhan pakan seperti prebiotik yang akan meningkatkan kesehatan ternak. Sundu et al. (2005) menduga bahwa ada kesamaan antara bungkil inti sawit (BIS) dengan mannanoligosakarida (MOS) yang akan memperbaiki kesehatan dan sistem kekebalan ternak unggas.
Produk yang dihasilkan dari proses fermentasi akan mengalami perubahan-perubahan yang menguntungkan seperti perbaikan mutu bahan pakan baik dari aspek gizi maupun daya cernanya serta meningkatkan daya simpannya. Mikroorganisme yang digunakan adalah Trichoderma reseei yang dapat memecah
(17)
struktur mannan yang terdapat pada bungkil inti sawit (BIS) sebagai pengendali
Eschericia coli di dalam saluran pencernaan dan sebagai immunomodulator pada
ternak unggas.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menguji kemampuan bungkil inti sawit (BIS) termodifikasi sebagai pengendali patogen dan dampaknya terhadap sistem kekebalan tubuh atau efek immunodulasi pada ayam pedaging.
Hipotesis Penelitian
Diduga dengan pemberian bungkil inti sawit (BIS) termodifikasi pada dua kondisi yaitu tanpa infeksi dan dengan infeksi Eschericia coli memberikan pengaruh terhadap perubahan penampilan ternak dan sistem kekebalan atau efek immunomodulasi pada ayam pedaging.
Kegunaan Penelitian
- Sebagai bahan informasi bagi masyarakat tentang penggunaan bungkil inti sawit (BIS) termodifikasi yang di uji tantang Eschericia coli sebagai immunomodulator untuk ternak unggas
- Sebagai bahan informasi bagi para peneliti dan kalangan akademis maupun instansi yang berhubungan dengan peternakan.
- Sebagai bahan penulisan skripsi yang merupakan salah satu syarat menempuh ujian sarjana peternakan pada Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara, Medan.
(18)
TINJAUAN PUSTAKA
Bungkil Inti Sawit
Bungkil inti sawit (BIS) adalah hasil ikutan dari industri pengolahan kelapa sawit dan di Indonesia ketersediaannya sangat tinggi. Luas lahan kelapa sawit pada tahun 2004 di proyeksikan sekitar 4,4 juta ha (Jakarta Future Exchange 2001) dan pada tahun 2006 mencapai luas 5,2 juta ha . Produksi tandan buah segar kelapa sawit sekitar 12,5 – 27,5 ton/ha, dan sekitar 2 % nya menjadi bungkil inti sawit (Sinurat 2001). Penggunaan BIS sebagai salah satu pakan potensial telah banyak dilaporkan baik pada ternak ruminansia (Elisabeth dan Ginting 2003; Mathius et al. 2003), ternak ayam (Sundu dan Dingle 2005), bahkan ikan (Keong dan Chong 2002).
Kandungan protein bungkil inti sawit (BIS) lebih rendah dari bungkil lain. Namun demikian masih layak dijadikan sebagai sumber protein. Kandungan asam amino esensialnya cukup lengkap dan imbangan kalsium dan fosfor cukup baik (Lubis, 1993).
Adapun komposisi zat nutrisi bungkil inti sawit (BIS) dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Komposisi zat nutrisi bungkil inti sawit (BIS)
Kandungan Nutrisi %
Protein Kasar 18,15
Serat Kasar 15,89
Bahan Kering 91,08
GE (Kcal/g) 4.8964
(19)
Persentase komponen gula netral pada bungkil inti sawit (BIS) dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Persentase komponen gula netral pada bungkil inti sawit (BIS)
Netral Persentase dari dinding sel (%)
Mannosa 56,4 + 7,0
Selulosa 11,6 + 0,7
Xylosa 3,7 + 0,1
Galaktosa 1,4 + 0,2
Total 73,1 + 7,2
Sumber : Daud et al (1993).
Ayam Pedaging
Ayam pedaging merupakan salah satu alternatif yang dipilih dalam upaya pemenuhan kebutuhan protein hewani karena ayam pedaging memiliki pertumbuhan dan pertambahan berat badan yang sangat cepat, efisiensi pakan cukup tinggi, ukuran badan besar dengan bentuk dada yang lebar, padat dan berisi sehingga sangat efisien diproduksi. Dalam jangka waktu 5 – 6 minggu ayam pedaging tersebut dapat mencapai berat hidup 1,4 – 1,6 Kg dan bila dipelihara sampai umur 7 – 8 minggu ayam pedaging dapat mencapai berat hidup 1,8 – 2,0 Kg. Secara umum ayam pedaging dapat memenuhi selera konsumen atau masyarakat, selain dari pada itu ayam pedaging lebih dapat terjangkau oleh masyarakat karena harganya relatif murah (Rasyaf, 1997).
Menurut Irawan (1996) ditinjau dari genetis, ayam pedaging sengaja diciptakan agar dalam waktu singkat dapat segera dimanfaatkan hasilnya. Jadi istilah pedaging adalah untuk menyebut strain ayam hasil budidaya teknologi yang memiliki karakteristik ekonomis, memiliki pertumbuhan cepat sebagai penghasil daging, konversi pakan sangat irit, siap dipotong pada umur muda, serta mampu menghasilkan kualitas daging yang bersih, berserat lunak dengan
(20)
kandungan protein tinggi. Adapun ciri ayam pedaging AA CP-707 dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Ciri Ayam Pedaging AA CP-707
Data Biologis Satuan Bobot hidup umur 6 minggu 1,56 Kg Konversi pakan 1,93 Berat bersih 70% Daya hidup 98% Warna kulit Kuning Warna bulu Putih
Sumber : Murtidjo (1992).
Kebutuhan Nutrisi Ayam Pedaging
Ransum merupakan salah satu faktor yang penting untuk keberhasilan usaha pemeliharaan ayam pedaging. Ransum adalah campuran bahan-bahan untuk memenuhi zat-zat ransum yang seimbang dan tepat. Seimbang dan tepat berarti zat makanan tidak berlebihan dan juga tidak kekurangan. Ransum yang diberikan harus mengandung protein, lemak, karbohidrat, vitamin, mineral dan air. Tujuan utama pemberian ransum pada ayam untuk menjamin pertambahan berat badan yang paling ekonomis selama pertumbuhan (Rasyaf, 1995).
Menurut AAK (1994) konsumsi di daerah tropis dipengaruhi oleh kandungan energi ransumnya. Kandungan yang rendah dalam ransum menyebabkan unggas akan meningkatkan konsumsi ransumnya guna memenuhi kebutuhan energi setiap harinya tetapi dibatasi oleh tembolok dalam sistem pencernaan. Maka bila energi ransum terlalu rendah, akan menyebabkan defisiensi energi. Sebaliknya ransum dengan kandungan energi tinggi menyebabkan unggas mengkonsumsi ransum sedemikian rupa sehingga unggas kenyang akan energi tapi lapar protein.
(21)
Adapun kebutuhan zat makanan ayam pedaging fase starter dan finisher dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Kebutuhan zat makanan ayam pedaging fase starter dan finisher
Protein Kasar (%) 23 20
Zat Nutrisi Starter Finisher
Lemak Kasar (%) 4-5 3-4
Serat Kasar (%) 3-5 3-5
Kalsium (%) 1 0,9
Pospor (%) 0,45 0,4
EM (Kkal/Kg) 3200 3200
Sumber : NRC (1984).
Bagi ayam pedaging jumlah konsumsi yang banyak bukanlah merupakan jaminan mutlak untuk menjamin pertumbuhan dan produksi puncak. Kualitas dari bahan makanan dan keserasian komposisi gizi sesuai dengan kebutuhan pertumbuhan merupakan dua hal mutlak yang menentukan tercapai performans puncak (Wahyu, 1992).
Tujuan pemberian ransum pada ayam adalah untuk memenuhi kebutuhan hidup pokok dan berproduksi. Untuk produksi maksimum dilakukan dalam jumlah cukup, baik kualitas maupun kuantitas. Ransum pedaging harus seimbang antara kandungan protein dengan energi dalam ransum. Disamping itu kebutuhan vitamin dan mineral juga harus diperhatikan. Sesuai dengan tujuan pemeliharaannya yaitu memproduksi daging sebanyak-banyaknya dalam waktu singkat, maka jumlah pemberian pakan tidak dibatasi (ad-libitum). Ayam pedaging selama masa pemeliharaannya mempunyai dua macam pakan yaitu pedaging starter dan pedaging finisher (Kartadisastra, 1994).
(22)
Sistem Pencernaan Ayam Pedaging
Pencernaan adalah penguraian makanan ke dalam zat-zat makanan dalam saluran pencernaan untuk dapat diserap dan digunakan oleh jaringan-jaringan tubuh (Anggorodi, 1985).
Peranan utama dari pencernaan adalah mencerna makanan secara mekanik, fisik, dan kimia, menyerap zat makanan yang diperlukan tubuh seperti air, karbohidrat, protein, lemak, vitamin, dan mineral serta mengolah dan membuang ampas pencernaan (Church, 1973).
Ayam merupakan ternak non-ruminansia yang artinya ternak yang mempunyai lambung sederhana atau monogastrik. Pada umumnya bagian-bagian penting dari alat pencernaan adalah mulut, farinks, esofagus, lambung, usus halus dan usus besar. Makanan yang bergerak dari mulut sepanjang saluran pencernaan oleh gelombang peristaltik yang disebabkan karena adanya kontraksi otot di sekeliling saluran (Tillman et al., 1991).
Seperti kita ketahui bahwa ayam tidak mempunyai gigi geligi untuk mengunyah ransum sebagaimana ternak lainnya, namun punya paruh yang dapat melumatkan makanan. Oleh karena itu, daya cerna ayam terhadap ransumnya lebih rendah 10% dari pada ternak lain (Kartadisastra, 1994).
Pati dan gula mudah dicerna oleh unggas sedangkan pentosan dan serat kasar (sellulosa, hemisellulosa, dan lignin) sulit dicerna. Saluran pencernaan pada unggas sangat pendek dibandingkan ternak lain, sehingga jasad renik mempunyai waktu yang sedikit untuk mencerna karbohidrat kompleks (Anggorodi, 1985).
Pencernaan secara mekanik tidak terjadi di dalam mulut melainkan di Gizard (empedal) dengan menggunakan batu-batu kecil atau pecahan-pecahan
(23)
kaca yang sengaja dimakan, lalu masuk ke dalam usus halus lalu di sinilah terjadi proses pencernaan dengan menggunakan enzim-enzim pencernaan yang disekresikan oleh usus halus, seperti cairan duodenum, empedu, pankreas, dan usus. Di dalam usus besar terjadi proses pencernaan yang dilakukan oleh jasad renik yang berfungsi sebagai penghancur protein yang tidak dapat diserap oleh usus halus (proteolitik) (Tillman et al., 1991).
Di dalam empedal bahan-bahan makanan mendapat proses pencernaan secara mekanis. Partikel-partikel yang besar secara mekanik akan diperkecil dengan tujuan memudahkan proses pencernaan enzimatis di dalam mulut ataupun di dalam saluran pencernaan berikutnya. Untuk memudahkan proses pencernaan mekanis maupun enzimatis dalam mempersiapkan ransum ternak banyak dilakukan dengan menggiling bahan-bahan ransum tersebut (Parakkasi, 1990).
Escherichia coli
Superdomain: Phylogenetica, Filum: Proteobacteria, Kelas: Gamma
Proteobacteria, Ordo: Enterobacteriales, Famili: Enterobacteriaceae, Genus: Escherichia, Species: Eschericia coli
Escherichia coli adalah bakteri batang pendek gram negatif dengan ukuran
1,1 – 1,5 µm x 2- 6 µm, kadang-kadang berbentuk oval bulat, tersusun tunggal atau berpasangan. Banyak galur mempunyai kapsul atau mikrokapsul. Dapat bersifat motil maupun non motil. Bersifat fakulatif anearob yang mempunyai tipe metabolisme respirasi maupun fermentasi. Eschericia coli tumbuh optimal pada suhu 37°C, membentuk koloni bulat konveks dengan pinggir yang nyata. Pada media Mc Conkey koloni berwarna merah jambu karena ada peragian laktosa (Pelczar dan Chan, 1988).
(24)
Faktor virulensi Eschericia coli dipengaruhi oleh ketahanannya terhadap pagositosis, kemampuan perlekatan terhadap epitel sel pernafasan dan ketahanannya terhadap daya bunuh oleh serum. Eschericia coli yang patogen ini mempunyai struktur dinding sel yang disebut “pili” yang tidak ditemukan pada serotipe yang tidak patogen (Tabbu, 2000), dan “pili” inilah yang berperan dalam kolonisasi (Lay dan Hastowo, 1992).
Ada tiga macam struktur antigen yang penting dalam klasifikasi
Eschericia coli yaitu, antigen O (Somatik), antigen K (Kapsel) dan antigen H
(Flagella) (Gupte, 1990; Lay dan Hastowo, 1992). Determinan antigen (tempat aktif suatu antigen) O terletak pada bagian liposakarida, bersifat tahan panas dan dalam pengelompokannya diberi nomor 1,2,3 dan seterusnya. Antigen K merupakan polisakarida atau protein, bersifat tidak tahan panas dan berinterferensi dengan aglutinasi O, sedangkan antigen H mengandung protein, terdapat pada flagella yang bersifat termolabil. Pada saat ini telah diketahui ada 173 grup serotipe antigen O, 74 jenis antigen K dan 53 jenis antigen H (Barnes dan Gross, 1997).
Dalam kondisi normal Eschericia coli terdapat di dalam saluran pencernaan ayam. Sekitar 10−15 persen dari seluruh Eschericia coli yang ditemukan di dalam usus ayam yang sehat tergolong serotipe patogen. Bagian usus yang paling banyak mengandung kuman tersebut adalah jejunum, ileum dan sekum. Jenis Eschericia coli yang terdapat di dalam usus tidak selalu sama dengan jenis yang ditemukan pada jaringan lain. Sebagai agen penyakit sekunder, Eschericia coli sering mengikuti penyakit lain, misalnya pada berbagai penyakit pernafasan dan pencernaan yang menyerang ayam.
(25)
Kenyataan di lapangan, timbulnya kasus kolibasilosis, terutama akibat pengaruh imunosupresif dari Gumboro (ayam pedaging lebih dominan dibanding petelur) dan sebagai penyakit ikutan pada Chronic Respiratory Disease (CRD), Infectious Coryza (Snot), Swollen Head Syndrome (SHS), Infectious Laryngo Tracheitis (ILT) dan koksidiosis (Tabbu, 2000).
Tabbu (2000) mengatakan bahwa, Eschericia coli akan bermultiplikasi secara cepat di dalam usus DOC yang baru menetas. Infeksinya akan menyebar secara cepat dari DOC yang satu ke DOC lainnya di dalam indukan buatan (brooder), terutama bila umbilicus belum tertutup sempurna. Kematian mungkin saja tidak terjadi, tetapi litternya sudah tercemari oleh bakteri.
Mannanoligosakarida (MOS)
Kemampuan lain dari MOS adalah dapat merangsang sistem kekebalan (Spring, 1997). Mekanisme MOS sebagai immunomodulator belum sepenuhnya diketahui (Swanson et al. 2002). Selanjutnya Shashidara et al. (2003) menjelaskan bahwa sel pertahanan tubuh pada GALT (Gut Associated Lymphoid Tissue) mendeteksi kehadiran mikroba akibat adanya molekul unik yang disebut PAMP (Patogen-Associated Moleculer Pattern) yang selanjutnya akan mengaktifkan sistem kekebalan. Penggunaan bahan yang bersifat immunomodulator sangat penting dilakukan untuk mengatasi banyaknya cekaman yang dapat mengganggu respon kekebalan tubuh ayam.
Mannan merupakan sumber biomasa setelah sellulosa dan xylan yang masih belum banyak dimanfaatkan. Dari degradasi mannan dengan beberapa jenis enzim mannanase dapat diperoleh mannosa atau mannanoligosakarida yang
(26)
berfungsi sebagai komponen pangan fungsional. Limbah biomasa dari industri perkebunan di Indonesia yang mengandung polisakarida mannan seperti limbah bungkil kelapa sawit, kopra dan kopi dapat dimanfaatkan untuk produksi mannosa dan manno-oligosakarida tersebut. Dari hasil uji aktivitas enzim mannanase dari sekitar 488 mikroba lokal koleksi BTCC (Biotechnology Culture Collection) telah diperoleh sedikitnya 6 isolat yang memiliki aktivitas tinggi dalam degradasi substrat mannan. Metoda mutasi dengan UV digunakan untuk meningkatkan produksi enzim oleh mikroba yang memiliki aktivitas mendegradasi mannan. Dua pendekatan dilakukan dalam proses produksi, yaitu 1) Melakukan preparasi substrat mannan secara kimia kemudian baru mereaksikan dengan enzim kasar yang diproduksi. 2) Melakukan fermentasi langsung dengan subtrat bungkil tanpa preparasi khusus. Untuk itu telah dilakukan analisa ekstraksi mannan dari bungkil secara kimia. Hasil hidrolisis subtrat mannan dengan menggunakan mikroba selektif yaitu dari strain Streptomyces dan Saccahropolyspora menunjukkan secara kualitatif senyawa oligosakarida terbentuk. Kedua mikroba tersebut memproduksi enzim mannanase dengan spesifik aktivitas tertinggi setelah 24 jam masa fermentasi. Proses analisa enzim mannanase dan optimasi fermentasi dengan menggunakan bungkil inti kelapa sawit sebagai karbon dan mikroba terpilih di atas sedang dilakukan pada saat ini (Anonimus, 2007).
Pendekatan baru untuk mencegah infeksi mikroba ditemukan dengan diketahuinya pentingnya proses penempelan pada saluran pencernaan. Diketahui bahwa fimbriae tipe 1 yang sensitif terhadap mannosa berperan dalam menempelnya mikroba patogen. Bakteri seperti Salmonella, Eschericia coli, dan
(27)
spesifik terhadap mannosa, dengan demikian mannosa dapat menghambat penempelan mikroba merugikan pada saluran pencernaan (Center for Food and Nutrtition Policy, 2002).
Sistem Kekebalan Tubuh Ayam Pedaging
Pencegahan penyakit adalah suatu tindakan untuk melindung individu terhadap serangan penyakit atau menurunkan keganasannya. Vaksinasi merupakan salah satu di antara berbagai cara yang efektif untuk melindungi individu terhadap berbagai serangan berbagai macam jenis penyakit tertentu. Tindakan vaksinasi adalah satu usaha agar hewan yang divaksin memiliki daya kebal sehingga terlindung dari serangan penyakit (Akoso, 1997).
Sistem kekebalan ayam seperti halnya ternak lain merupakan sistem yang sangat kompleks. Sistem kekebalan dapatan tubuh unggas terdiri atas kekebalan humoral dan selular. Kekebalan humoral melibatkan antibodi spesifik terhadap antigen yang masuk. Pada ayam, ada dua organ tubuh yang berhubungan dengan sistem kebal, yakni Bursa Fabricius dan Timus. Bursa Fabricius sebagian besar berisi sel B yang berperan dalam memproduksi antibodi humoral atau yang bersikulasi. Timus sebagian besar berisi sel T dengan fungsi mengenal dan menghancurkan sel yang terinfeksi bakteri atau virus, mengaktifkan makrofag dalam fagositisis dan membantu sel B dalam memproduksi antibodi. Pada masa embrio, kedua sistem ini diprogramkan untuk menghasilkan kekebalan aktif terhadap penyakit, artinya kekebalan yang didapat sebagai akibat pernah terinfeksi atau karena inokulasi dengan bahan-bahan penyebab penyakit yang telah diubah bentuknya (Junaidi, 2007).
(28)
Sel B yang dihasilkan oleh bursa Fabricius akan menghasilkan antibodi dan sel pengingat (sel memori). Dalam menanggapi adanya antigen, sel-sel plasma menghasilkan antibodi. Antibodi adalah suatu protein yang besar molekulnya dapat membantu menghancurkan dan melumpuhkan patogen dengan jalan mengikat patogen tersebut dengan protein yang bersifat antigenik. Sel-sel plasma yang menghasilkan antibodi berasal dari sel B. Sel-sel memori akan mengingat dan mengenal antigen yang pernah masuk keadaan tubuh, sehingga sistem kekebalan unggas dapat bertindak cepat (Cheville, 1967).
Newcastle Desease (ND)
Newcastle Disease (ND) atau disebut juga penyakit Tetelo, Pseudofowl pest, Pseudovogel pest, avian distemper, avian pneumoenchephalitis, pseudopoultry plague dan ranikhet disease. Newcastle Disease (ND) merupakan penyakit viral yang sangat menular pada unggas, bersifat sistemik yang melibatkan saluran pernafasan dan menyerang berbagai jenis unggas terutama ayam serta burung-burung liar dengan angka mortalitas yang tinggi 80-100% (Alexander, 1991).
Newcastle Disease (ND) disebabkan oleh virus yang termasuk dalam famili Paramyxoviridae, genus Paramyxovirus. Paramyxovirus mempunyai genom virus ssRNA berpolaritas negative, panjangnya 15-16 kb dan
mempunyai kapsid simetris heliks tidak bersegmen, berdiameter 13-18 nm. (Fenner et.al, 1995), genom virus Newcastle Desease (ND) membawa sandi untuk
6 protein virus yaitu protin L, Protein HN (hemaglutinin neuraminidase), protin F (protin fusi), protein NP (protin nukleokapsid), protin P (Fosfoprotein), dan protein M (matik) (Beard dan Hanson, 1984).
(29)
Masa inkubasi penyakit ini antara 2-15 hari, rata-rata 5-6 hari. Kejadian infeksi oleh virus Newcastle Desease (ND) terutama terjadi secara inhalasi (Alexander, 1991).
Sifat-sifat fisik virus Newcastle Desease (ND) antara lain virus Newcastle
Desease (ND) mempunyai kemampuan untuk mengaglutinasi dan melisikan
eritrosit ayam. Selain eritrosit ayam, virus Newcastle Desease (ND) juga
mampu mengaglutinasi eritrosit mamalia dan unggas lain serta reptilia (Beard dan Hanson, 1984).
Virus Newcastle Desease (ND) bila dipanaskan pada suhu 56o C akan kehilangan kemampuan untik mengaglutinasi eritrosit ayam, karena hemaglutininnya rusak. Selain itu juga akan merusak infektivitas dan imunogenesitas virus.
Gejala klinis Newcastle Desease (ND) dibedakan menjadi 5 patotipe menurut Beard dan Hanson, 1984, yakni bentuk Doyle, Beach, Baudette, Hithcner da enteric Asimptomatik. Bentuk Doyle merupakan bentuk per akut atau akut, menimbulkan kematian pada ayam segala umur dengan mortalitas 100%. Lsi menciri dengan adanya perdarahan pada saluran pencernaan. Bentuk ini disebabkan oleh virus strain velogenik. Penyakit ini terjadi secara tiba-tiba, ayam mati tanpa menunjukkan gejala klinis, ayam kelihatan lesu, respirasi meningkat, jaringan sekitar mata bengkak, diare dengan feses hijau atau putih dapat bercampur darah, tortikalis, tremor otot, paralisa kaki dan sayap (Alexander, 1991).
(30)
Infectious Bursal Desease (IBD)
Penyakit Infectious Bursal Desease (IBD) pertama kali dilaporkan di Gumboro, Delaware, Amerika Seriakat pda tahun 1962 oleh Cosgrove, oleh karena itu penyakit itu dikenal juga dengan nama Gumboro desease (Lukert dan Saif, 1997).
Kasus penyakit Infectious Bursal Desease (IBD) di Indonesia pertama kali ditemuakan pada tahun 1980 di sebuah peternakan ayam jantan di daerah Sawangan, Bogor (Partadireja dan Juniman, 1985). Penyebaran penyakit ini telah meluas hampir di seluruh daerah di Indonesia dan bersifat endemik (Santhia, 1986).
Penyakit Gumboro sangat mudah menular. Suatu peternakan yang terkena wabah Infectious Bursal Desease (IBD) akan sangat mudah menyebar ke peternakan lain, bahkan penularan berlanjut sampai generasi berikutnya pada peternakan yang sama. Terjadinya penularan ini dapat ditimbulkan karena kontak langsung antara ayam penderita dengan ayam sehat, litter yang tercemar virus Gumboro atau lewat makanan akan terkontaminasi. Serangga dapat juga berperan dalam penyebaran penyakit ini (Murtidjo, 1992).
Penyakit Infectious Bursal Desease (IBD) merupakan satu diantara unggas penyakit unggas terpenting di USA, Eropa dan Asia khususnya di Indonesia. Penyakit ini menimbulkan kerugian berupa angka mortalitas tinggi, penurunan produksi daging, telur, peningkatan biaya manajemen serta bersifat imunosupresi, akibatnya ayam menjadi lebih peka terhadap berbagai jenis infeksi (Jackwood and Sommers, 1994). Menurut Subekti (2000), infeksi Infectious Bursal Desease
(31)
(IBD) juga diperparah oleh infeksi Escherichia coli, Aspergillus flavus dan Avian
nephritis.
Infectious Bursal Desease (IBD) adalah penyakit yang disebabkan oleh
virus golongan Birnaviridae, menyerang ayam muda, bersifat akut dan mudah menular. Virus tersebut berdiameter 55-65 nm. Ketahanan virus Infectious Bursal
Desease (IBD) terhadap pengaruh lingkungan dan bahan kimiawi, maka virus
tersebut dapat bertahan dalam kandang ayam maupun di lingkungan dalam periode yang lama walaupun telah dilakukan sanitasi maupun desinfeksi (Tabbu, 2000).
Umur yang sensitif terhadap virus tersebut adalah 3-6 minggu. Kejadian Gumboro dapat dibagi dua yaitu : infeksi dini pada anak ayam umur 1-21 hari dan infeksi tertunda pada yang berumur lebih dari 3 minggu. Jika virus Gumboro menyerang ayam yang berumur 1-21 hari biasanya akan timbul Gumboro bentuk subklinis yang mempunyai efek sangat imunosupresi (menekan kekebalan) dan menyebabkan kegagalan berbagai program vaksinasi (Wiryawan, 2007).
Okeye and Uzoukwu (1991), menyatakan bahwa infeksi oleh virus
Infectious Bursal Desease (IBD) akan meningkatkan kepekaan ayam terhadap
infeksi Eschericia coli. Infeksi campuran antara Infectious Bursal Desease (IBD) dan Eschericia coli makin merangsang pertumbuhan jumlah sel limfosit dalam bursa Fabricius maupun kelenjar timus. Pada kondisi lapangan, penyakit
Infectious Bursal Desease (IBD) subklinis ini lebih sulit dideteksi. Penyakit
Gumboro yang bersifat klinis, menyebabkan kematian yang lebih tinggi, sulit dikontrol dan menyebabkan kerugian ekonomi yang besar. Penyakit Infectious
(32)
pendarahan berupa titik-titik atau garis-garis pada otot bagian paha bagian tengah lateral abdomen.
Darah
Darah adalah suatu cairan jaringan yang beredar melalui jantung, beserta pembuluhnya berperan dalam: 1) mengangkut oksigen dan nutrisi ke dalam tubuh, 2) mengatur panas, 3) mengangkut hasil metabolisme, hormon dan sisa produk menuju tempat yang sesuai di dalam tubuh ayam, dan 4) mengeluarkan karbondioksida dan sisa produk. Darah ayam berisi sekitar 2,5-3,5 juta sel darah merah per millimeter kubik, tergantung dari umur dan jenis kelamin. Darah pejantan dewasa 500.000 sel darah merah lebih banyak dibanding ayam betina (Akoso, 1997).
Frandson (1992) menjelaskan beberapa fungsi darah, yaitu: 1) Membawa nutrient yang telah disiapkan oleh saluran pencernaan menuju jaringan tubuh, 2) Membawa oksigen dari paru-paru ke seluruh jaringan tubuh, 3) Membawa karbondioksida dari jaringan ke paru-paru untuk dibuang, 4) Membawa produk buangan dari berbagai jaringan menuju ginjal untuk diekskresikan, 5) Berperan penting dalam pengendalian suhu, dengan cara mengangkut panas dari bagian tubuh menuju permuakaan tubuh, 6) Berperan dalam sistem buffer, seperti bikarbonat di dalam darah membantu mempertahankan pH yang konstan pada jaringan dan cairan tubuh, 7) Sebagai pembeku darah yang mencegah terjadinya kehilangan darah yang berlebihan pada waktu luka.
Darah adalah jaringan khusus yang berperan dalam sirkulasi dan terdiri atas sel-sel yang terendam dalam plasma darah. Sel darah terdiri dari tiga macam,
(33)
yaitu: benda darah merah (erythrocyte), benda darah putih (leukocyte), dan kepingan darah (thrombocytes atau platelets). Aliran darah dalam seluruh tubuh menjamin lingkungan yang tetap agar semua sel serta jaringan mampu melaksanakan fungsinya. Jadi fungsi utama darah adalah mempertahankan
homeostasis tubuh (Dellman and Brown, 1992).
Jika tubuh hewan mengalami ganguan fisiologis maka akan terjadi perubahan profil darah. Adanya perubahan profil darah tersebut dapat disebabkan oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal misalnya kesehatan, stress, status gizi, suhu tubuh, sedangkan faktor eksternal misalnya akibat perubahan suhu lingkungan, dan infeksi kuman. Ternak yang sehat akan memiliki gambaran darah yang normal. Kekurangan asam folat, vitamin B12 dapat menyebabkan keadaan anemia (kekurangan sel darah merah) (Guyton and Hall, 1997).
Jumlah leukosit yang meningkat merupakan pertanda adanya infeksi dalam tubuh (Frandson, 1992). Faktor-faktor tersebut dapat mengganggu proses pembentukan darah secara normal yang terjadi dalam sumsum tulang. Nilai normal gambaran darah ayam pedaging dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Nilai Normal Jumlah Eritrosit, Haemoglobin, Hematokrit dan Leukosit Ayam Pedaging
Sumber Eritrosit (106/mm3)
Haemoglobin (g/100ml)
Hematrokit (%)
Leukosit (103/mm3) Swenson (1984) 2,5-3,2 6,5-9,0 30,0-33,0 20,0-30,0 Mangko ewidjojo
dan Smith (1998)
(34)
Sel Darah Merah (Eritrosit)
Guyton dan Hall (1997) menyatakan eritrosit adalah sel darah merah yang membawa haemoglobin dan O2 dari paru-paru ke jaringan tubuh. Kandungan
eritrosit pada hewan dewasa terdiri atas 62-72% air, 35% padatan dan dari padatan tersebut 95% haemoglobin (Swenson, 1984).
Menurut Guyton dan Hall (1997), faktor utama yang berperan dalam pembentukan sel darah merah adalah hormon dalam sirkulasi yang disebut
eritropoietin, yaitu suatu glikoprotein dengan berat molekul kira-kira 34.000.
Eritrosit dipengaruhi oleh konsentrasi haemoglobin dan hematokrit. Jumlah eritrosit yang tinggi akan diikuti oleh titer haemoglobin yang tinggi (Swenson, 1984). Keadaan hipoksia (difisiensi oksigen), anemia (kekurangan sel darah merah) juga mempengaruhi produksi eritrosit (Guyton dan Hall, 1997).
Eritrosit merupakan produk proses eritropoesis, yang terjadi dalam sumsum tulang merah(medulla osseum rubrum). Eritropoesis membutuhkan bahan dasar protein, glukosa dan berbagai aktivator. Beberapa aktivator eritropoesis adalah mikromineral Cu, Fe dan Zn. Unsur Cu berperan dalam memetabolisme protein, Fe berperan dalam pembentukan senyawa heme dan Zn berperan dalam pembentukan protein pada umumnya (Praseno, 2005).
Hematokrit
Hematokrit atau packed cell volume (PCV) adalah persentase sel darah merah dalam 100 ml darah. Hewan normal memiliki nilai hematokrit sebanding dengan jumlah eritrosit dan titer haemoglobin (Widjajakusuma dan Sikar, 1986).
(35)
Nilai hematokrit juga dipengaruhi oleh temperatur lingkungan yang dapat bertambah jika keadaan hipoksia atau polisitemia (jumlah sel-sel darah merah dalam tubuh meningkat) sehingga jumlah eritrosit lebih banyak dibandingkan dengan jumlah normal (Guyton, 1996).
Haemoglobin
Menurut, Swenson (1984), haemoglobin adalah pigmen eritrosit berisi darah yag tersusun atas protein konjunggasi dan protein sederhana. Protein haemoglobin adalah globulin berupa sel, dan warna merah adalah heme yang berupa atom besi. Hemoglubulin yang ada dalam eritrosit memungkinkan timbulnya kemampuan untuk mengangkut oksigen, serta penyebab warna merah pada darah (Frandson, 1992). Haemoglobin mengikat O2 untuk membentuk
oksihaemoglobin (Ganong, 1992).
Haemoglobin merupakan petunjuk kecukupan oksigen yang diangkut. Kandungan oksigen dalam darah yang rendah menyebabkan peningkatan produksi haemoglobin dan jumlah eritrosit (Swenson, 1984). Penurunan titer haemoglobin terjadi karena adanya gangguan pembentukan eritrosit (eritropoesis). Dari segi kimia, haemoglobin merupakan salah satu senyawa organik kompleks yang terdiri dari empat pigmen porifin merah (heme). Masing-masing pigmen mengandung atom besi ditambah globin, yang merupakan protein globular yang terdiri dari empat rantai asam-asam amino (Frandson, 1992).
(36)
BAHAN DAN METODE PENELITIAN
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Biologi Ternak Departemen Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Jl. Dr. A. Sofyan No. 3, Medan. Penelitian ini dilaksanakan selama 42 hari dimulai pada bulan September 2009 sampai November 2009.
Bahan dan Alat Bahan
150 ekor DOC strain abor Acress-CP 707, ransum (tepung jagung, tepung ikan, bungkil kedelai, dedak halus, bungkil kelapa, DCP (di- Calsium Pospat), minyak nabati, top mix), bungkil inti sawit (BIS), Eschericia coli, NaOH 0,1 N, HCl 0,1 N, enzim b-mannanase, Trichoderma ressei, air minum, obat-obatan, vitamin, vaksin Newcastle Desease (ND) dan Infectious Bursal Desease (IBD), rodalon, gula merah, formalin dan Kalium Permanganat (KMnO4) untuk fumigasi
kandang.
Alat
Kandang dengan ukuran 1 x 0,5 m sebanyak 15 buah, tempat pakan dan minum (15 buah), timbangan salter dengan kapasitas 5 kg dengan kepekaan 0,01 gram, thermometer untuk mengetahui suhu kandang, bola lampu pijar 40 watt sebanyak 15 buah (alat penerang), timbangan, terpal plastik, kantong plastik, saringan 1mm, buku data, alat tulis dan kalkulator.
(37)
Metode Penelitian
Uji In vivo pada Ayam Pedaging
Hasil proses modifikasi bungkil inti sawit (BIS) terbaik yang diperoleh akan dilanjutkan dengan uji In vivo dengan menggunakan ayam pedaging sebanyak 150 ekor. Perlakuan yang diuji terdiri atas faktor, yaitu perlakuan infeksi
Eschericia coli dan taraf bungkil inti sawit (BIS) termodifikasi dalam ransum.
Vaksinasi dilakukan terhadap penyakit Newcastle Desease (ND) dan Infectious
Bursal Desease (IBD). Adapun metode penelitian yang digunakan adalah
rancangan acak lengkap (RAL) yang terdiri dari 3 perlakuan dan 5 ulangan. Perlakuan selengkapnya adalah sebagai berikut:
Infeksi Eschericia coli (107 CFU/ekor pada hari ke 5) R0 = Ransum kontrol (tanpa BIS)
R1 = Ransum kontrol + BIS 2% R2 = Ransum kontrol + BIS 4% Dengan susunan sebagai berikut:
R23 R21 R03
R04 R15 R14
R01 R13 R05
R24 R22 R25
(38)
Model metematika yang digunakan berdasarkan Hanafiah (2003) yaitu : Yij = μ + αi + ∑ij
Dimana :
i = 1,2,3,..., t (perlakuan) j = 1,2,3, ...., n (ulangan)
Yij = Hasil pengamatan pada ulangan ke-i dan perlakuan ke-j
μ = Nilai rata-rata (mean) harapan
αi = Pengaruh perlakuan ke-i
∑ij = Pengaruh sisa pada satuan percobaan dalam kelompok ke-3 yang mendapat perlakuan ke-i
Parameter Penelitian
1. Titer Newcastle Desease (ND)
Titer Newcastle Desease (ND) diperoleh dari hasil uji Hemaglutinasi (HA) dan Hemaglutinasi Inhibisi (HI).
2. Titer Infectious Bursal Desease (IBD)
Titer Infectious Bursal Desease (IBD) diperoleh dari hasil uji ELISA (Enzym Linked Immunosorbant Assay).
3. Sel Darah Merah (Eritrosit)
Perhitungan sel darah merah ditujukan untuk mengetahui jumlah sel darah merah. Uji ini dapat menentukan jumlah darah merah yang normal atau tidak sehingga dapat menentukan tingkat anemia atau tidak.
4. Packed Cell Volume (PCV)
Perhitungan Packed Cell Volume (PCV) yang dimampatkan atau dipadatkan (bagian yang berwarna merah) dihitung dengan satuan %, periksaan
(39)
Packed Cell Volume (PCV) mempunyai petunjuk yang baik terhadap gambaran
Hb dan eritrosit yang bersirkulasi.
5. Haemoglobin (Hb)
Perhitungan jumlah atau konsentrasi haemoglobin dalam darah dapat menunjukkan tingkat anemia dan kelainan lainnya.
Pelaksanaan Penelitian
Persiapan Kandang
Kandang dipersiapkan seminggu sebelum DOC atau anak ayam umur satu hari masuk dalam kandang, terlebih dahulu kandang didesinfektan dengan rodalon dan difumigasi dengan formalin dan KMnO4 untuk membasmi kandang dari
jamur dan bakteri. Begitu juga untuk tempat minum dan tempat pakan didesinfektan dengan rodalon. Satu hari sebelum DOC tiba, alat pemanas sudah dihidupkan untuk menstabilkan suhu kandang dan suhu tubuh ayam.
Penyusunan Ransum
Sebelum ransum disusun, bahan ransum yang digunakan ditimbang terlebih dahulu sesuai dengan perlakuan. Metode yang dipakai dalam penyusunan ransum adalah secara manual dimana penyusunan dilakukan dua kali dalam seminggu untuk menghindari ketengikan sehingga ransum tetap bermutu baik.
Random Ayam
Sebelum DOC atau anak ayam umur satu hari dimasukkan ke dalam kandang sesuai dengan perlakuan, dilakukan penimbangan untuk mengetahui bobot badan awal dari masing-masing DOC kemudian dilakukan random (pengacakan) pada DOC yang bertujuan memperkecil nilai keragaman. Lalu DOC
(40)
dimasukkan ke dalam kandang sebanyak 10 ekor per plot dengan banyak plot sebanyak 15 plot.
Pemeliharaan
DOC yang dibeli dari Poultry Shop dipelihara dalam kandang dengan alat penerang sebesar 60 Watt dan diberi air gula (2:1). Ransum dan air minum diberikan secara ad-libitum. Pengisian air minum dilakukan setiap pagi dan sore hari. Vaksinasi dilakukan dua kali yaitu pada umur tiga hari Newcastle Desease (ND) dan umur tiga minggu Infectious Bursal Desease (IBD) dengan cara tetes mata atau hidung dan suntikan. Penerangan diberikan secara terus-menerus selama dua minggu dan minggu selanjutnya penerangan hanya diberikan pada malam hari saja. Pembersihan kandang dilakukan satu kali dalam sehari.
(41)
HASIL DAN PEMBAHASAN
Titer Newcastle Desease (ND)
Titer Newcastle Desease (ND) didapat dari hasil Uji Hemaglutinasi (HA) dan Hemaglutinasi Inhibisi (HI). Adapun rataan titer Newcastle Desease (ND) dapat dilihat dari Tabel 6.
Tabel 6. Rataan titer Newcastle Desease (ND) ayam pedaging umur 42 hari
Perlakuan Ulangan Total Rataan
1 2 3 4 5
R0 512 512 256 256 128 1664 332.8
R1 1024 512 1024 1024 1024 4608 921.6
R2 512 512 512 512 1024 3072 614.4
Total 2048 1536 1792 1792 2176 9344
Rataan 682.66 512.00 597.33 597.33 725.33 622.93
Gambar 1. Diagram rataan titer Newcastle Desease (ND) ayam pedaging umur 42 Hari.
Dari Tabel 6. dapat dilihat bahwa rataan tertinggi dari titer Newcastle
(42)
2% yaitu 921.6 dan rataan titer Newcastle Desease (ND) terendah terdapat pada perlakuan R0 tanpa penambahan BIS termodifikasi yaitu 332.8, sehingga daya
tahan tubuh pedaging efektif terhadap virulensi Newcastle Desease (ND) pada perlakuan R1 dengan konsentrasi BIS termodifikasi 2% dan daya tahan tubuh
pedaging terhadap virulensi Newcastle Desease (ND) mulai menurun dengan konsentrasi BIS termodifikasi 4% dan tanpa penambahan BIS termodifikasi, ini disebabkan karena sel imunitas tubuh pedaging merespon BIS termodifikasi sehingga tubuh mengaktifkan sistem kekebalan terhadap benda asing yang masuk ke dalam tubuh. Hal ini sesuai dengan pernyataan Shashidara et al. (2003) menjelaskan bahwa sel pertahanan tubuh pada GALT (Gut Associated Lymphoid Tissue) mendeteksi kehadiran mikroba akibat adanya molekul unik yang disebut PAMP (Patogen-Associated Moleculer Pattern) yang selanjutnya akan mengaktifkan sistem kekebalan.
Penambahan bungkil inti sawit (BIS) termodifikasi terhadap titer
Newcastle Desease (ND) dapat dilihat pengaruhnya dengan melakukan analisis
keragaman seperti yang tertera pada tabel 7.
Tabel 7. Analisis keragaman titer Newcastle Desease (ND) pada ayam pedaging umur 42 hari
SK DB JK KT Fhitung Ftabel
0.05 0.01 Perlakuan 2 867259.733 433629.9 9.682927** 3.88 6.93 Galat 12 537395.2 44782.93
Total 14 1404654.93
Keterangan : ** = sangat berbeda nyata KK = 33.97%
Hasil analisis keragaman pada Tabel 7. Menunjukkan bahwa F hitung lebih besar dari F tabel pada taraf 0.05 yang berarti perlakuan R0, R1, dan R2,
(43)
pada pedaging memberikan pengaruh yang sangat berbeda nyata (P<0,05) terhadap Titer Newcastle Desease (ND) dalam darah ayam, karena itu dilakukan uji lanjut dengan menggunakan uji Duncan pada tabel 8.
Tabel 8. Uji Duncan ayam pedaging umur 42 hari Perlakuan Rataan notasi Duncan
0.05 0.01
R0 332.8 A A
R1 614.4 AB AB
R2 921.6 C B
Keterangan : 5% = 21.87045 1% = 36.22815
Dari Tabel 8. dapat dilihat bahwa keterangan perlakuan memiliki notasi yang sangat berbeda nyata. Level peng
gunaan BIS termodifikasi sebesar 2% merupakan level penggunaan yang efisien dimana titer Newcastle Desease (ND) cukup tinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya yaitu sebesar 921.6 dan level penggunaaan BIS termodifikasi sebesar 4% menunjukkan pengaruh negatif dimana hasilnya titer Newcastle
Desease (ND) menurun yaitu 614.4.
Titer Infectious Bursal Desease (IBD)
Titer Infectious Bursal Desease (IBD) didapat dari hasil Uji ELISA, prinsip dari uji ini adalah adanya ikatan antigen atau antibodi kemudian direaksikan dengan anti-immunoglobulin yang telah disenyawakan (conjungation) dengan enzim dan ditambahkan dengan substrat yang apabila dipecah dengan enzim akan menghasilkan warna. Intensitas warna ini kemudian diukur dengan fotometer (ELISA Reader). Intensitas warna menunjukkan kepekatan komplek
(44)
antigen antibodi dan enzim. Adapun rataan titer Infectious Bursal Desease (IBD) ayam pedaging umur 42 hari pada Tabel 9.
Tabel 9. Rataan titer Infectious Bursal Desease (IBD) ayam pedaging umur 42 hari
Perlakuan Ulangan Total Rataan
1 2 3 4 5
R0 13017 23153 10069 8007 14212 68458 13691.6
R1 9743 9014 9699 10380 11036 49872 9974.4
R2 10621 13788 10711 297 6719 42136 8427.2
Total 33381 45955 30479 18684 31967 160466
Rataan 11127 15318.33 10159.67 6228 10655.67 10697.73
Gambar 2. Diagram rataan titer Infectious Bursal Desease (IBD) ayam pedaging umur 42 hari.
Rataan titer Infectious Bursal Desease (IBD) tertinggi diperoleh dari perlakuan R0 tanpa penambahan BIS termodifikasi yaitu 13691.6 dan rataan titer
Infectious Bursal Desease (IBD) terendah terdapat pada perlakuan R2 dengan
penambahan BIS termodifikasi yaitu 8427.2. Perlakuan R0 tanpa penambahan BIS
termodifikasi dapat meningkatkan titer Infectious Bursal Desease (IBD) yang dikarenakan infeksi campuran Infectious Bursal Desease (IBD) dengan Eschericia
(45)
coli dapat merangsang sistem kekebalan tubuh ayam pedaging, hal ini sesuai
dengan pernyatan Okeye dan Uzoukwu (1991), yang menyatakan bahwa infeksi oleh virus Infectious Bursal Desease (IBD) akan meningkatkan kepekaan ayam terhadap infeksi Eschericia coli. Infeksi campuran antara Infectious Bursal
Desease (IBD) dan Eschericia coli makin merangsang pertumbuhan jumlah sel
limfosit dalam bursa Fabricius maupun kelenjar timus.
Penambahan BIS (Bungkil Inti Sawit) termodifikasi terhadap titer
Infectious Bursal Desease (IBD) dapat dilihat pengaruhnya dengan melakukan
Analisis keragaman seperti yang tertera pada tabel 10.
Tabel 10. Analisis keragaman titer Infectious Bursal Desease (IBD) ayam pedaging umur 42 hari
SK DB JK KT Fhitung Ftabel
0.05 0.01 Perlakuan 2 73208851.7 36604426 1.786962 3.88 6.93 Galat 12 245809941 20484162
Total 14 319018793
Keterangan : KK= 22.61%
Hasil Analisis keragaman pada Tabel 10. menunjukkan bahwa F hitung lebih kecil dari F tabel pada taraf 0.05 yang berarti perlakuan R0, R1, dan R2,
pada pedaging memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata (P>0,05) terhadap titer Infectious Bursal Desease (IBD) dalam darah ayam pedaging.
Sel Darah Merah (Eritrosit)
Perhitungan sel darah merah ditujukan untuk mengetahui jumlah sel darah
merah. Uji ini dapat menentukan jumlah darah merah yang normal atau tidak sehingga dapat menentukan tingkat anemi atau tidak. Adapun rataan eritrosit ayam pedaging umur 42 hari pada Tabel 11.
(46)
Tabel 11. Rataan eritrosit ayam pedaging umur 42 hari
Perlakuan Ulangan Total Rataan
1 2 3 4 5
R0 4.3 3.2 5.1 5.2 3.3 21.1 4.22
R1 3.2 5.1 3.1 3.6 3.3 18.3 3.66
R2 4.2 3.3 3.2 3.2 5.2 19.1 3.82
Total 11.7 11.6 11.4 12 11.8 58.5
Rataan 11127 15318.33 10159.67 6228 10655.67 3.9
Gambar 3. Diagram rataan eritrosit ayam pedaging umur 42 hari.
Rataan eritrosit tertinggi diperoleh dari perlakuan R0 tanpa penambahan
BIS termodifikasi sebesar 4,22 10/mm3 dan rataan terendah pada perlakuan R1
dengan konsentrasi BIS 2% sebesar 3,66 10/mm3. Jumlah eritrosit dalam darah pedaging tertinggi diperoleh pada perlakuan R0 dan Hb tertinggi dalam darah juga
diperoleh pada perlakuan R0 tanpa penambahan BIS termodifikasi dimana jumlah
eritrosit yang tinggi akan diikuti juga dengan kenaikkan jumlah Hb. Hal ini sesuai dengan pernyataan Swenson (1984) yang menyatakan jumlah eritrosit yang tinggi akan diikuti oleh haemoglobin yang tinggi.
Penambahan BIS (Bungkil Inti Sawit) termodifikasi terhadap eritrosit dapat dilihat pengaruhnya dengan melakukan analisis keragaman seperti yang
(47)
Tabel 12. Analisis keragaman eritrosit ayam pedaging umur 42 hari
SK DB JK KT Fhitung Ftabel
0.05 0.01
Perlakuan 2 0.832 0.416 0.528366 3.88 6.93
Galat 12 9.448 0.787333
Total 14 10.28
Keterangan : KK= 22.61%
Hasil analisis keragaman pada Tabel 12. menunjukkan bahwa F hitung lebih kecil dari F tabel pada taraf 0.05 yang berarti perlakuan R0, R1, dan R2,
pada pedaging memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata (P>0,05) terhadap sel darah merah.
Hematokrit (PCV)
Hematokrit atau packed cell volume (PCV) adalah persentase sel darah merah dalam 100 ml darah. Adapun rataan Hematokrit (PCV) ayam pedaging umur 42 hari pada Tabel 13.
Tabel 13. Rataan Hematokrit (PCV) ayam pedaging umur 42 hari
Perlakuan Ulangan Total Rataan
1 2 3 4 5
R0 20 24 16 20 20 100 20
R1 21 10 18 15 22 86 17.2
R2 9 22 27 22 30 110 22
Total 50 56 61 57 72 296
(48)
Gambar 4. Diagram rataan PCV ayam pedaging umur 42 hari.
Rataan PCV tertinggi diperoleh dari perlakuan R2 dengan penambahan
BIS termodifikasi 4% yaitu 22% dan rataan terendah pada perlakuan R1 dengan
konsentrasi BIS 2% sebesar 17.2%. Jumlah hematokrit dipengaruhi oleh temperature lingkungan yang nilainya sebanding dengan jumlah eritrosit dan haemoglobin darah. Hal ini sesuai dengan pernyataan Widjajakusuma dan Sikar (1986) dan Guyton (1996) yang menyatakan bahwa hewan normal memiliki nilai hematokrit sebanding dengan jumlah eritrosit dan kadar haemoglobin. Nilai hematokrit juga dipengaruhi oleh temperatur lingkungan yang dapat bertambah jika keadaan hipoksia atau polisitemia (jumlah sel-sel darah merah dalam tubuh meningkat) sehingga jumlah eritrosit lebih banyak dibandingkan dengan jumlah normal (Guyton, 1996).
Penambahan BIS (Bungkil Inti Sawit) termodifikasi terhadap hematokrit (PCV) dapat dilihat pengaruhnya dengan melakukan analisis keragaman seperti yang tertera pada tabel 14.
(49)
Tabel 14. Analisis keragaman Hematokrit (PCV) ayam pedaging umur 42 hari
SK DB JK KT Fhitung Ftabel
0.05 0.01
Perlakuan 2 58.13 29.066 0.906 3.88 6.93
Galat 12 384.79 32.066
Total 14 442.933
Keterangan : KK = 28.69%
Hasil analisis keragaman pada Tabel 14. menunjukkan bahwa F hitung lebih kecil dari F tabel pada taraf 0.05 yang berarti perlakuan R0, R1, dan R2,
pada pedaging memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata (P>0,05) terhadap PCV.
Haemoglobin (Hb)
Perhitungan jumlah atau konsentrasi haemoglobin dalam darah dapat menunjukkan tingkat anemia dan kelainan lainnya. Adapun rataan haemoglobin (Hb) ayam pedaging umur 42 hari pada Tabel 15.
Tabel 15. Rataan haemoglobin (Hb) ayam pedaging umur 42 hari
Perlakuan Ulangan Total Rataan
1 2 3 4 5
R0 8.1 7.6 8.6 9.2 7.1 7.1 8.12
R1 8.4 3 9.2 3.1 1.9 25.6 5.12
R2 6.4 5.5 3.2 4.2 6.8 26.1 5.22
Total 22.9 16.1 21 16.5 15.8 58.8
(50)
Gambar 5. Diagram rataan haemoglobin (Hb) pada ayam pedaging umur 42 hari Rataan haemoglobin tertinggi diperoleh dari perlakuan R0 tanpa
penambahan BIS termodifikasi yaitu 8,12 dan rataan terendah pada perlakuan R1
dengan konsentrasi BIS 2% sebesar 5,12. Rataan haemoglobin tertinggi diperoleh pada perlakuan R0 dan rataan eritrosit tertinggi juga terdapat pada perlakuan R0
sehingga titer haemoglobin sebanding dengan titer eritrosit dalam darah. Hal ini sesuai dengan pernyataan Swenson (1984) yang menyatakan jumlah eritrosit yang tinggi akan diikut i oleh titer haemoglobin yang tingg i.
Penambahan BIS (Bungkil Inti Sawit) termodifikasi terhadap haemoglobin (Hb) dapat dilihat pengaruhnya dengan melakukan analisis keragaman seperti yang tertera pada tabel 16.
Tabel 16. Analisis keragaman Haemoglobin (Hb) ayam pedaging umur 42 hari
SK DB JK KT Fhitung Ftabel
0.05 0.01
Perlakuan 2 46.9 23.45 0.744969 3.88 6.93
Galat 12 377.734 31.47783
Total 14 424.634
(51)
Hasil analisis keragaman pada Tabel 16. menunjukkan bahwa F hitung lebih kecil dari F tabel pada taraf 0.05 yang berarti perlakuan R0, R1, dan R2,
pada pedaging memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata (P>0,05) terhadap PCV.
Rekapitulasi Hasil Penelitian
Setelah diperoleh hasil penelitian maka dapat dibuat hasil rekapitulasi penelitian seperti tertera pada Tabel 17.
Tabel 17. Rekapitulasi Titer Newcastle Desease (ND), Titer Infectious Bursal
Desease (IBD), eritrosit, hematokrit (PCV) dan haemoglobin (Hb)
ayam pedaging umur 42 hari
Perlakuan Titer
ND Titer IBD
Eritrosit
PCV (%)
Haemoglobin (106/mm3) (g/100ml) R0 332.8 A 13691.6 tn 4.22 tn 20 tn 8.12 tn R1 921.6 B 9974.4 tn 3.66 tn 17.2 tn 5.12 tn R3 614.4 A 8427.2 tn 3.82 tn 22 tn 5.22 tn
Tabel 17 menunjukkan bahwa penambahan BIS ke dalam ransum ayam pedaging memberikan pengaruh yang sangat berbeda nyata terhadap Titer
Newcastle Desease (ND) ayam pedaging umur 42 hari. Namun, penambahan BIS ke dalam ransum ayam pedaging memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata terhadap Titer Infectious Bursal Desease (IBD), eritrosit, PCV dan Haemoglobin pad ayam pedaging umur 42 hari.
(52)
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Penggunaan bungkil inti sawit (BIS) termodifikasi oleh enzim β-mannase pada tingkat 4% dapat menurunkan konsumsi ayam pedaging, sedangkan dengan jumlah hematokrit (PCV) dapat meningkat dengan penggunaan bungkil inti sawit (BIS) termodifikasi 4%. Konsumsi ayam pedaging dengan penggunaan bungkil inti sawit (BIS) termodifiksi 2% dapat meningkatkan titer Newcastle Desease (ND) dalam tubuh ternak dan dapat menurunkan titer Newcastle Desease (ND) dalam darah dengan konsentrasi bungkil inti sawit (BIS) termodifikasi 4%. Konsumsi ayam pedaging tanpa penggunaan bungkil inti sawit (BIS) termodifikasi dapat meningkat kan titer Infectious Bursal Desease (IBD) serta dapat meningkatkan jumlah eritrosit dan haemoglobin dalam darah tubuh ternak.
Saran
Disarankan penggunaan bungkil inti sawit (BIS) termodifikasi tidak lebih dari 2% agar sistem immunomodulator yang terbentuk lebih efektif serta tidak meningkatkan tekanan darah ayam pedaging.
(53)
DAFTAR PUSTAKA
AAK., 1994. Beternak Ayam Pedaging. Kanisius, Yogyakarta. Akoso., 1997. Kesehatan Unggas. Kanisius, Yogyakarta.
Alexander,D.J. 1991. ND and Other Paramyxovirus Injection in Disease of
Poultry,9th ed. Edited by Calnek , B .J., dkk. Iowa State University Press,
Armes, Iowa. USA.
Anggorodi, R., 1985. Ilmu Makanan Ternak Unggas. Universitas Indonesia, Jakarta.
Anonimus, 2007. Pemamfaatan Limbah Bungkil Inti Kelapa Sawit Untuk Produksi Mannooligosakarida Sebagai Komponen Pangan Fungsional. Puslit Bioteknologi lipi. 20 Mei 2009.
Balai Penyidikan dan Pengujian Veteriner, Regional I Medan.
Barnes, H.J. and W.B. Gross, 1997. Collibacillosis. In: Diseases of Poultry. 10th ed B.W. Calnek, H.J. Barnes, C.W. Beard, L.R. MC Dougald and Y.M. Saif. (Eds.). Ames, I.A.: Iowa State University Press. pp. 131−141 Beard, C.W, and Hanson. 1984. Newcastle Disease in Disease of Poultry,
8th ed. Iowa StateUniversity Press, Armes Iowa. USA.
Buckle, K.A., R.A., Edwards, G.H., Fleet., dan M., Wootton, 1989. Ilmu Pangan. Universitas Indonesia Press, Jakarta.
Cheville NF. 1967. Studies on Phatogenesis of Gumboro desease in the bursa of Fabricius, spleen and thymus of the chicken. Am. J. Pathol, 51 : 527-551. Church, D. C., 1973. Digestive Physiology and Nutrient of Ruminan Vol. 1.
Departement of Animal Science Oregon State University, Carvalis.
[CFNP TAP] Center for Food and Nutrition Policy Technical Advisory Panel Review . 2002. Cell Wall Carbohydrates; Livestock. Virgina; CFNP. Daud, M. J., Jarvis, M. C., Rasidah, A. 1993. Fibre of PKC and its Potential as
Poultry Feed. Proceeding. 16th MSAP Annual Conference, Kuala Lumpur, Malaysia.
Dellman, H.D. dan E. M. Brown. 1992. Histologi Veteriner I. Terjemahan : Hartono . Universitas Indonesia, Jakarta.
(54)
Devegowda, G. Aravind BIR, Morton MG., 1997. Immunosupression in poultry caused by aflatoxin and its allevation by Saccharomyces cerevisiae (Yea sacc, 1026) and Mannanoligosacharides. Proc. Alltech 11 th Annual Asia
Pacific Lecture Tour. 121-132.
Elisabeth W.. Ginting SP.. 2003. Pemanfaatan Hasil Samping Industri Kelapa Sawit Sebagai Bahan pakan Ternak Sapi Potong. Pros. kakarya Nasional Sistem Integrasi Kelapa-Sawit Sapi (9-10 September 2003),Bengkulu. Jackwood, D.J., and S.E. Sommers. 1999. Restriction fragment length
polymorphism in the VP2 gen of IBDV. From Outside United States. Avian Dis.41 : 627-637.
Junaidi. 2007. Gumboro, vaksin dan kekebalan. Fenner, Frank J., dkk.1995. Virologi Veteriner. Edisi kedua. Academic Press
INC. California.
Frandson, R. D., 1992. Anatomi dan Fisiologi Ternak. Edisi 4. Terjemahan : Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Ganong, W. F. 1998. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 17. Terjemahan Penerbit Buku Kedokteran, Jakarta. Hlm: 487-500
Gupte. S. 1990. The Short Textbook of Medical Microbiology. First Edition. Jaypee Brothers India. pp. 261−269.
Guyton, A. C. 1996. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi ke-7 bagian 1. Terjemahan : Ken Arita Tengadi, Penerbit Buku Kedokteran. E. G. C. Jakarta. hlm:530-560.
Guyton, A. C. dan J. E. Hall. 1997. Sel Darah Merah, Anemia dan Polisitimia Di dalam Fisiologi Kedokteran. Terjemahan : dr. Irawati, dr. L. M. A. Ken Arita Tengadi dan dr. Alex Santoso. Penerbit Buku Kedokteran, E. G. C. Jakarta. Hlm: 93-130
Hardjo, S.N.S., Indastri, B. Tajuddin, 1989. Biokonveksi : Pemanfaatan Limbah Industri Pertanian. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. IPB, Bogor.
Juni 2009.
Irawan, A., 1996. Ayam-ayam Pedaging Unggul. CV. Aneka, Solo.
Jakarta Future Exchange. 2001. Perkembangan Produk Minyak Goreng Sawit di
Indonesia. http/www.bbj.jfx.com.
(55)
Keong NW., Chong KK.. 2002. The nutritive value of palm kernel meal and the
effect of enzyme supplementation in practical diets for red hybrid tilapia (Oreochromis sp.). Asian Fish Sci 15:167-176.
Lay, B.W. dan S. Hastowo, 1992. Mikrobiologi. Edisi Pertama. Rajawali Pers, Jakarta.
Lubis, D. A., 1993. Ilmu Makanan ternak. Cetakan II, PT. Pembangunan, Jakarta.S
Lukert, P.D., Saif, Y.M. 1997. Infectious bursal desease. Di dalam : Calnek, B.W., editor. Desease of Poultry Ed. Ke-10. USA : Iowa University, hlm : 721-738.
Mathius, I. W., Sitompul, D., Manurung, B. p., Azmi. 2003. Produk Samping Tanaman dan Pengolahan Buah Kelapa Sawit Sebagai Bahan Dasar Pakan Komplit Untuk Sapi: Suatu Tinjauan. Pros. Lokakarya Nasional Sistem Integrasi Kelapa-Sawit Sapi (9-10 September 203), Bengkulu.
Maynard, L. A., 1984. Animal Nutrition, 7thEd, Mc, Grow Hill, Publishing Co Ltd, New Delhi.
Murtidjo, B A., 1992. Pedoman Beternak Ayam Pedaging. Kanisius, Yogyakarta. N.R.C; 1984. Nutrient Requirement of poultry. 8 th Ed. National Academy of
Science.
Okeye, J.O.A., and Uzoukwu. 1991. Pathogonesis of infectious bursal desease in embrionally bursectomized chicken. Av. Pathol, 19:48-50.
Parakkasi, A., 1990. Ilmu Gizi dan Makanan Ternak Monogastrik. Angkasa, Bandung.
Poedjiadi, A. 1994. Dasar-Dasar Biokimia. Cetakan ke-1. Idonesia University Press, Jakarta.
Praseno, K. 2005. Respon Eritrosit Terhadap Perlakuan Mikromineral Cu, Fe dan Zn Pada Ayam (Gallus gallus domesticus). J. Ind. Trop. Anim. Agric. 30(3) : 179-185.
Pelczar MJ. Chan ECS, 1988. Dasar-dasar Mikrobiologi, Universitas Indonesia Press, Jakarta.
Rasyaf, M. 1995. Pengelolaan Usaha Peternakan Ayam Pedeging. Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama Jakarta.
(56)
Rasyaf, M., 2003. Beternak Ayam Pedaging. Penebar Swadaya, Jakarta. Santhia, K. 1996. Penyakit Gumboro. Buletin Veteriner. BPPH 9 (50) : 1-37. Sarwono, B., 1996. Membuat Tempe dan Oncom. Penebar Swadaya, Jakarta Shashidara RG, Devegowda G. 2003. Effect of dietary mannan oligosaccharide on
pedaging breeder production traits and immunity. Poult Sci 82: 1319-1325.
Sinurat A. P., 2001. Pemanfaatan Bahan Pakan Lokal. Makalah Pada Dies Natalis
HIMASITER III, Fapet IPB Bogor.
Spring, P., 1997, Understending the development of the avian gastrointestinal microflora : an essential key for developing competitive exclusion products. Proc. Alltech 11th Annual Asia Pacific Lecture Tour. 149-160.
Subekti, T.S. 2000. Bibit, vaksin dan vaksinasi. Infovet, 074: 12-15.
Sundu B.. Dingle J.. 2005. Use of Enzyme to Improve The Nutrition Value of
Palm Kernel Meal and Copra Meal. Proc. Quensland Poult Sci Symp,
Australia 11:1-15.
Swanson K. S. et al. 2002. Supplemental Fructooligosaccharides and Mannanoligosaccharides influence immune fuction, ileal and total tract nutrient digestibilities, microbial population and concentrations of protein catabolist in the large bowel of dogs. J Nut 132: 980-989.
Tabbu, C.R., 2000. Penyakit Ayam dan Penanggulangannya. Vol. I. Kanisius, Yogyakarta.
Tafsin, M., L. A. Sofian, Nahrowi, K. G. Wiryaman, K. Zarkasie, W. G. Piliang. 2007. “ Polisakarida Mengandung Mannan dari Bungkil Inti Sawit Sebagai Anti Mikroba Salmonella Thypimurium Pada Ayam”. Media Peternakan 30: 139-146
Tillman, A. D., H. Hartadi, S. Reksohadiprojo, S. Prawirokusumo dan S. Lebdosoekojo, 1991. Ilmu Makanan Ternak Dasar. UGM Press, Yogyakarta.
Wahyu, J., 1992, Ilmu Nutrisi Unggas, Universitas Gajah Mada Press, Yogyakarta Widjajakusuma, R. dan Sikar, H. 1986. Fisiologi Hewan Laboratorium. Fisiologi
dan Farmakologi. Fakultas Kedokteran Hewan. Institut Pertanian Bogor. Wiryawan, W. 2007. Pengebalan terhadap Gumboro dengan vaksin yang tidak menimbulkan dampak imunosupresi.
(1)
Hasil analisis keragaman pada Tabel 16. menunjukkan bahwa F hitung lebih kecil dari F tabel pada taraf 0.05 yang berarti perlakuan R0, R1, dan R2, pada pedaging memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata (P>0,05) terhadap PCV.
Rekapitulasi Hasil Penelitian
Setelah diperoleh hasil penelitian maka dapat dibuat hasil rekapitulasi penelitian seperti tertera pada Tabel 17.
Tabel 17. Rekapitulasi Titer Newcastle Desease (ND), Titer Infectious Bursal Desease (IBD), eritrosit, hematokrit (PCV) dan haemoglobin (Hb) ayam pedaging umur 42 hari
Perlakuan Titer
ND Titer IBD
Eritrosit
PCV (%)
Haemoglobin (106/mm3) (g/100ml) R0 332.8 A 13691.6 tn 4.22 tn 20 tn 8.12 tn R1 921.6 B 9974.4 tn 3.66 tn 17.2 tn 5.12 tn R3 614.4 A 8427.2 tn 3.82 tn 22 tn 5.22 tn
Tabel 17 menunjukkan bahwa penambahan BIS ke dalam ransum ayam pedaging memberikan pengaruh yang sangat berbeda nyata terhadap Titer
Newcastle Desease (ND) ayam pedaging umur 42 hari. Namun, penambahan BIS ke dalam ransum ayam pedaging memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata terhadap Titer Infectious Bursal Desease (IBD), eritrosit, PCV dan Haemoglobin pad ayam pedaging umur 42 hari.
(2)
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Penggunaan bungkil inti sawit (BIS) termodifikasi oleh enzim β-mannase pada tingkat 4% dapat menurunkan konsumsi ayam pedaging, sedangkan dengan jumlah hematokrit (PCV) dapat meningkat dengan penggunaan bungkil inti sawit (BIS) termodifikasi 4%. Konsumsi ayam pedaging dengan penggunaan bungkil inti sawit (BIS) termodifiksi 2% dapat meningkatkan titer Newcastle Desease (ND) dalam tubuh ternak dan dapat menurunkan titer Newcastle Desease (ND) dalam darah dengan konsentrasi bungkil inti sawit (BIS) termodifikasi 4%. Konsumsi ayam pedaging tanpa penggunaan bungkil inti sawit (BIS) termodifikasi dapat meningkat kan titer Infectious Bursal Desease (IBD) serta dapat meningkatkan jumlah eritrosit dan haemoglobin dalam darah tubuh ternak.
Saran
Disarankan penggunaan bungkil inti sawit (BIS) termodifikasi tidak lebih dari 2% agar sistem immunomodulator yang terbentuk lebih efektif serta tidak meningkatkan tekanan darah ayam pedaging.
(3)
DAFTAR PUSTAKA
AAK., 1994. Beternak Ayam Pedaging. Kanisius, Yogyakarta. Akoso., 1997. Kesehatan Unggas. Kanisius, Yogyakarta.
Alexander,D.J. 1991. ND and Other Paramyxovirus Injection in Disease of Poultry,9th ed. Edited by Calnek , B .J., dkk. Iowa State University Press, Armes, Iowa. USA.
Anggorodi, R., 1985. Ilmu Makanan Ternak Unggas. Universitas Indonesia, Jakarta.
Anonimus, 2007. Pemamfaatan Limbah Bungkil Inti Kelapa Sawit Untuk Produksi Mannooligosakarida Sebagai Komponen Pangan Fungsional. Puslit Bioteknologi lipi. 20 Mei 2009.
Balai Penyidikan dan Pengujian Veteriner, Regional I Medan.
Barnes, H.J. and W.B. Gross, 1997. Collibacillosis. In: Diseases of Poultry. 10th ed B.W. Calnek, H.J. Barnes, C.W. Beard, L.R. MC Dougald and Y.M. Saif. (Eds.). Ames, I.A.: Iowa State University Press. pp. 131−141 Beard, C.W, and Hanson. 1984. Newcastle Disease in Disease of Poultry,
8th ed. Iowa StateUniversity Press, Armes Iowa. USA.
Buckle, K.A., R.A., Edwards, G.H., Fleet., dan M., Wootton, 1989. Ilmu Pangan. Universitas Indonesia Press, Jakarta.
Cheville NF. 1967. Studies on Phatogenesis of Gumboro desease in the bursa of Fabricius, spleen and thymus of the chicken. Am. J. Pathol, 51 : 527-551. Church, D. C., 1973. Digestive Physiology and Nutrient of Ruminan Vol. 1.
Departement of Animal Science Oregon State University, Carvalis.
[CFNP TAP] Center for Food and Nutrition Policy Technical Advisory Panel Review . 2002. Cell Wall Carbohydrates; Livestock. Virgina; CFNP. Daud, M. J., Jarvis, M. C., Rasidah, A. 1993. Fibre of PKC and its Potential as
Poultry Feed. Proceeding. 16th MSAP Annual Conference, Kuala Lumpur, Malaysia.
Dellman, H.D. dan E. M. Brown. 1992. Histologi Veteriner I. Terjemahan : Hartono . Universitas Indonesia, Jakarta.
(4)
Devegowda, G. Aravind BIR, Morton MG., 1997. Immunosupression in poultry caused by aflatoxin and its allevation by Saccharomyces cerevisiae (Yea sacc, 1026) and Mannanoligosacharides. Proc. Alltech 11 th Annual Asia Pacific Lecture Tour. 121-132.
Elisabeth W.. Ginting SP.. 2003. Pemanfaatan Hasil Samping Industri Kelapa Sawit Sebagai Bahan pakan Ternak Sapi Potong. Pros. kakarya Nasional Sistem Integrasi Kelapa-Sawit Sapi (9-10 September 2003),Bengkulu. Jackwood, D.J., and S.E. Sommers. 1999. Restriction fragment length
polymorphism in the VP2 gen of IBDV. From Outside United States. Avian Dis.41 : 627-637.
Junaidi. 2007. Gumboro, vaksin dan kekebalan. Fenner, Frank J., dkk.1995. Virologi Veteriner. Edisi kedua. Academic Press
INC. California.
Frandson, R. D., 1992. Anatomi dan Fisiologi Ternak. Edisi 4. Terjemahan : Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Ganong, W. F. 1998. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 17. Terjemahan Penerbit Buku Kedokteran, Jakarta. Hlm: 487-500
Gupte. S. 1990. The Short Textbook of Medical Microbiology. First Edition. Jaypee Brothers India. pp. 261−269.
Guyton, A. C. 1996. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi ke-7 bagian 1. Terjemahan : Ken Arita Tengadi, Penerbit Buku Kedokteran. E. G. C. Jakarta. hlm:530-560.
Guyton, A. C. dan J. E. Hall. 1997. Sel Darah Merah, Anemia dan Polisitimia Di dalam Fisiologi Kedokteran. Terjemahan : dr. Irawati, dr. L. M. A. Ken Arita Tengadi dan dr. Alex Santoso. Penerbit Buku Kedokteran, E. G. C. Jakarta. Hlm: 93-130
Hardjo, S.N.S., Indastri, B. Tajuddin, 1989. Biokonveksi : Pemanfaatan Limbah Industri Pertanian. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. IPB, Bogor.
Juni 2009.
Irawan, A., 1996. Ayam-ayam Pedaging Unggul. CV. Aneka, Solo.
Jakarta Future Exchange. 2001. Perkembangan Produk Minyak Goreng Sawit di Indonesia. http/www.bbj.jfx.com.
(5)
Keong NW., Chong KK.. 2002. The nutritive value of palm kernel meal and the effect of enzyme supplementation in practical diets for red hybrid tilapia (Oreochromis sp.). Asian Fish Sci 15:167-176.
Lay, B.W. dan S. Hastowo, 1992. Mikrobiologi. Edisi Pertama. Rajawali Pers, Jakarta.
Lubis, D. A., 1993. Ilmu Makanan ternak. Cetakan II, PT. Pembangunan, Jakarta.S
Lukert, P.D., Saif, Y.M. 1997. Infectious bursal desease. Di dalam : Calnek, B.W., editor. Desease of Poultry Ed. Ke-10. USA : Iowa University, hlm : 721-738.
Mathius, I. W., Sitompul, D., Manurung, B. p., Azmi. 2003. Produk Samping Tanaman dan Pengolahan Buah Kelapa Sawit Sebagai Bahan Dasar Pakan Komplit Untuk Sapi: Suatu Tinjauan. Pros. Lokakarya Nasional Sistem Integrasi Kelapa-Sawit Sapi (9-10 September 203), Bengkulu.
Maynard, L. A., 1984. Animal Nutrition, 7thEd, Mc, Grow Hill, Publishing Co Ltd, New Delhi.
Murtidjo, B A., 1992. Pedoman Beternak Ayam Pedaging. Kanisius, Yogyakarta. N.R.C; 1984. Nutrient Requirement of poultry. 8 th Ed. National Academy of
Science.
Okeye, J.O.A., and Uzoukwu. 1991. Pathogonesis of infectious bursal desease in embrionally bursectomized chicken. Av. Pathol, 19:48-50.
Parakkasi, A., 1990. Ilmu Gizi dan Makanan Ternak Monogastrik. Angkasa, Bandung.
Poedjiadi, A. 1994. Dasar-Dasar Biokimia. Cetakan ke-1. Idonesia University Press, Jakarta.
Praseno, K. 2005. Respon Eritrosit Terhadap Perlakuan Mikromineral Cu, Fe dan Zn Pada Ayam (Gallus gallus domesticus). J. Ind. Trop. Anim. Agric. 30(3) : 179-185.
Pelczar MJ. Chan ECS, 1988. Dasar-dasar Mikrobiologi, Universitas Indonesia Press, Jakarta.
Rasyaf, M. 1995. Pengelolaan Usaha Peternakan Ayam Pedeging. Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama Jakarta.
(6)
Rasyaf, M., 2003. Beternak Ayam Pedaging. Penebar Swadaya, Jakarta. Santhia, K. 1996. Penyakit Gumboro. Buletin Veteriner. BPPH 9 (50) : 1-37. Sarwono, B., 1996. Membuat Tempe dan Oncom. Penebar Swadaya, Jakarta Shashidara RG, Devegowda G. 2003. Effect of dietary mannan oligosaccharide on
pedaging breeder production traits and immunity. Poult Sci 82: 1319-1325.
Sinurat A. P., 2001. Pemanfaatan Bahan Pakan Lokal. Makalah Pada Dies Natalis HIMASITER III, Fapet IPB Bogor.
Spring, P., 1997, Understending the development of the avian gastrointestinal microflora : an essential key for developing competitive exclusion products. Proc. Alltech 11th Annual Asia Pacific Lecture Tour. 149-160. Subekti, T.S. 2000. Bibit, vaksin dan vaksinasi. Infovet, 074: 12-15.
Sundu B.. Dingle J.. 2005. Use of Enzyme to Improve The Nutrition Value of
Palm Kernel Meal and Copra Meal. Proc. Quensland Poult Sci Symp, Australia 11:1-15.
Swanson K. S. et al. 2002. Supplemental Fructooligosaccharides and Mannanoligosaccharides influence immune fuction, ileal and total tract nutrient digestibilities, microbial population and concentrations of protein catabolist in the large bowel of dogs. J Nut 132: 980-989.
Tabbu, C.R., 2000. Penyakit Ayam dan Penanggulangannya. Vol. I. Kanisius, Yogyakarta.
Tafsin, M., L. A. Sofian, Nahrowi, K. G. Wiryaman, K. Zarkasie, W. G. Piliang. 2007. “ Polisakarida Mengandung Mannan dari Bungkil Inti Sawit Sebagai Anti Mikroba Salmonella Thypimurium Pada Ayam”. Media Peternakan 30: 139-146
Tillman, A. D., H. Hartadi, S. Reksohadiprojo, S. Prawirokusumo dan S. Lebdosoekojo, 1991. Ilmu Makanan Ternak Dasar. UGM Press, Yogyakarta.
Wahyu, J., 1992, Ilmu Nutrisi Unggas, Universitas Gajah Mada Press, Yogyakarta Widjajakusuma, R. dan Sikar, H. 1986. Fisiologi Hewan Laboratorium. Fisiologi
dan Farmakologi. Fakultas Kedokteran Hewan. Institut Pertanian Bogor. Wiryawan, W. 2007. Pengebalan terhadap Gumboro dengan vaksin yang tidak menimbulkan dampak imunosupresi.